Anda di halaman 1dari 14

MENINGKATKAN PERAN SERTA ORANG TUA DAN

MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN DI SEKOLAH


MELALUI FORUM KOMUNIKASI GURU DAN ORANG TUA

Ahmad Muhyani Rizalie1)


Program Studi PendidikanGuru Sekolah Dasar
Universitas Lambung Mangkurat

Abstrak
Sekolah sangat berkepentingan dengan keberadaan orang tua siswa sekaligus membutuhkan
dukungannya, karena dengan keberadaan orang tua siswa, sekolah dapat mengambil manfaat
pada sisi dukungan finansial, material, tenaga dan pemikiran. Dukungan yang diharapkan
oleh sekolah tersebut di atas menghendaki adanya komunikasi yang intens antara sekolah dan
orang tua siswa. Komunikasi tersebut seharusnya dibangun sebagai komunikasi yang saling
membutuhkan antara keduanya, sekolah membutuhkan orang tua siswa dan sebaliknya orang
tua siswa berkepentingan dengan sekolah. Untuk merealisasi hal tersebut di atas hendaknya
sekolah terlebih dahulu melakukan pemberdayaan masyarakat yang diindikasikan sebagai
proses peningkatan pengetahuan dan pengalaman anggota masyarakat terutama masyarakat
yang mempunyai hubungan khusus dengan sekolah agar secara sadar mau dan bersedia
terlibat langsung pada kegiatan-kegiatan tertentu di sekolah. Selanjutnya pemberdayaan
masyarakat tersebut diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya hingga mampu
berbuat dan bertindak sendiri atau bersama orang lain untuk membantu sekolah dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.Untuk itu akan menjadi penting sebuah suasana
kondusif yang mewadahinya orang tua siswa dan guru hingga merasa nyaman, tidak kaku,
terarah dan komunikatif. Suasana dimaksud didapat dari wahana sosial setara atau
dimanipulasi menjadi setara yang berimplikasi terhadap sekolah untuk: (1) mengelola forum
orang tua-guru tersebut menjadi komunitas pembelajaran; (2) mengelola forum orang tua-
guru sebagai tempat orang tua siswa dan guru bekerjasama dalam pengambilan keputusan
dan pemecahan masalah; (3) dalam forum orang tua-guru tersebut para orang tua siswa dan
para guru saling berhubungan dengan berbasis kekeluargaan; (4) layaknya sebagai sebuah
struktur keluarga mereka saling menerima penghormatan, saling menerima perhatian, dan
penghargaan atas kelebihan masing-masing; (5)saling menerima perbedaan sebagai berkah
individual.
Kata kunci : pemberdayaan, orang tua siswa dan masyarakat, forum komunikasi orang tua
siswa dan guru.

Salah satu kelemahan dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia pada masa


lalu adalah kurang maksimalnya peran serta masyarakat, terutama orang tua peserta
didik pada penyelenggaraan pendidikan. Hal ini seperti diungkapkan dari data hasil
penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasinal
bahwa partisipasi orang tua siswa dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di
sekolah hanya mencapai 57,40%. Rendahnya peran serta orang tua siswa ini terutama
pada aspek penentuan kebijakan program sekolah, pertemuan rutin, kegiatan ekstra
kurikuler dan pengembangan iklim sekolah (Nurkolis, 2005:124). Pada sisi lain
sekolah sangat berkepentingan dengan keberadaan orang tua siswa sekaligus
membutuhkan dukungannya. Karena dengan keberadaan orang tua siswa, sekolah

1
dapat mengambil manfaat pada sisi dukungan finansial, material, tenaga dan
pemikiran.
Dukungan yang diharapkan oleh sekolah tersebut di atas menghendaki adanya
komunikasi yang intens antara sekolah dan orang tua siswa. Komunikasi tersebut
seharusnya dibangun sebagai komunikasi yang saling membutuhkan antara keduanya,
sekolah membutuhkan orang tua siswa dan sebaliknya orang tua siswa
berkepentingan dengan sekolah. Sehingga komunikasi ini dapat diibaratkan seperti
dua sisi sebuah mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Tujuan
hakiki dari komunikasi atau hubungan sekolah dan masyarakat ini adalah untuk
meningkatkan kepedulian, keterlibatan, kepemilikan dan dukungan terhadap
pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Model Pengelolaan Sekolah Berbasis MBS
Model pengelolaan pendidikan di sekolah sekarang sudah bergeser dari
pengelolaan yang dikendalikan oleh Pemerintah Pusat ke arah model pengelolaan
pendidikan di sekolah yang berbasis sekolah itu sendiri, yang sekarang dikenal
dengan istilah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) itu sendiri didefinisikan sebagai model manajemen yang memberi otonomi
lebih besar pada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Penekanan pada pengambilan keputusan partisipatif adalah memberi arah
bahwa Manajemen Berbasis Sekolah dalam setiap proses pengambilan keputusan,
baik yang bermuara pada aspek finansial maupun yang berkonotasi pada dimensi
akademik harus melibatkan warga sekolah, warga masyarakat (orang tua siswa)
maupun stakeholders lainnya. Pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan secara khusus, maupun pada penyelenggaraan pendidikan secara umum
seperti telah dikemukakan di atas yaitu untuk meningkatkan kepedulian, keterlibatan,
kepemilikan dan dukungan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Apabila empat sasaran tersebut di atas dapat dicapai, maka secara sedarhana
masyarakat/orang tua siswa nampak jelas peranannya. Memberi peran tertentu kepada
masyarakat maupun orang tua dalam proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah,
memerlukan kesediaan dari yang bersangkutan untuk diperankan. Kesediaan
seseorang untuk menerima peran akan dipengaruhi oleh beberapa hal yang antara
lain: (1) peran dimaksud tidak akan merugikan yang bersangkutan, baik secara materi
maupun immateri; (2) adanya kesesuaian antara motif pribadi dengan motif
organisasi yang memberikan peran; (3) yang bersangkutan beranggapan bahwa
pemberian peran bukanlah semata-mata pembebanan tugas, tetapi juga merupakan
suatu penghargaan; (4) organisasi dimaksud telah menegakkan prinsip transparansi
dan akuntabilitas, hingga dapat dibangun kepercayaan terhadap organisasi. Keempat
hal dimaksud di atas hanya dapat dipahami dan disadari oleh yang bersangkutan,
manakala yang bersangkutan telah diberi stimulus atau proses penyadaran.
Yang dimaksud dengan penyadaran disini dapat diidentikkan dengan proses
pemberdayaaan atau dalam ini pemberdayaan orang tua siswa dan masyarakat.
Apabila hal ini dihubungkan dengan kerangka Manajemen Berbasis Sekolah, Rizalie,

2
(2015:413) mengungkapkan bahwa salah satu dari komponen Manajemen Berbasis
Sekolah adanya pemberdayaan masyarakat yang diindikasikan sebagai proses
peningkatan pengetahuan dan pengalaman anggota masyarakat terutama masyarakat
yang mempunyai hubungan khusus dengan sekolah agar secara sadar mau dan
bersedia terlibat langsung pada kegiatan-kegiatan tertentu di sekolah. Tujuan dari
pemberdayaan masyarakat tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang
berdaya hingga mampu berbuat dan bertindak sendiri atau bersama orang lain untuk
membantu sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Melihat ungkapan di atas jelas bahwa dalam konsep dan model pengelolaan
sekolah berbasis Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) selalu mengedepankan
keterlibatan masyarakat atau orang tua siswa. Bahkan lebih dari itu, masyarakat
diberdayakan melalui metode-metode efektif dengan maksud meningkatkan
kompetensi mereka yang pada saatnya mau dan mampu berperan serta dalam
penyelenggaraan pendidikan disekolah.
Peran Orang Tua dan Masyarakat dalam Pendidikan di Sekolah
Dalam kerangka sistem pengelolaan sekolah dengan Manajemen Berbasis
Sekolah menuntut keterlibatan semua pihak baik itu warga sekolah, warga
masyarakat maupun stakeholders lainnya. Hal ini sesuai dengan latar belakang
diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah sebagai pola pengelolaan sekolah di
Indonesia adalah dalam rangka proses demokratisasi pendidikan. Untuk kepentingan
tersebut di atas, dunia pendidikan membuka peluang bagi semua pihak termasuk
orang tua siswa dan masyarakat untuk berpastisipasi dalam pendidikan. Dengan
demikian maka bermunculanlah berbagai lembaga-lembaga sosial yang berkiprah
dalam pendidikan, misalnya Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, Yayasan
Pendidikan, Lembaga Sosial Masyarakat Peduli Pendidikan, Persatuan Guru dan
Orang Tua Siswa dan lain sebagainya, termasuk didalamnya unsur orang tua siswa
dan masyarakat luas. Masing-masing lembaga di atas menempati posisi peran sesuai
dengan maksud didirikannya lembaga tersebut, ada yang mengambil pada posisi
mikro pendidikan dan ada pula yang mengambil pada posisi makro pendidikan.
Namun semuanya adalah bertujuan agar pendidikan di Indonesia ini semakin maju,
berkualitas dan dilaksanakan dalam suasana demokratisasi.
Peran orang tua dalam pendidikan dikenal dengan istilah trilogi pendidikan
yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga dalam hal ini keluarga
inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak merupakan kesatuan sosial terkecil
dalam kerangka sistem sosial yang lebih besar. Keluarga merupakan lembaga
pendidikan yang tertua di dunia ini, yang sudah dikenal sejak dikenalnya peradaban
manusia. Sehingga dengan demikian apabila ditelusuri, maka keluarga dalam konteks
pendidikan dapat berfungsi sebagai: (a) keluarga adalah tempat tinggal yang
membetahkan; (b) keluarga adalah tempat berbagi rasa dan berbagi fikiran; (c)
keluarga adalah tempat mencurahkan suka dan duka; (d) keluarga adalah bukan
tempat bergantung anak-anak akan tetapi sebagai tempat berlatih mandiri; (e)
keluarga adalah bukan tempat menuntut hak; (f) keluarga adalah tempat
menumbuhkan kehidupan religius; (g) keluarga adalah tempat yang aman karena
aturan permainan antar anggota ditegakkan.

3
Orang tua siswa merupakan komponen sumber pendidikan yang pertama dan
utama dalam kehidupan anak-anaknya. Dalam kesehariannya yang berdurasi waktu
24 jam, sangat memungkinkan bagi orang tua untuk melakukan fungsi pendidikan di
atas terhadap anak-anaknya. Namun pada kondisi sekarang ini, waktu 24 jam
sebagaimana disebutkan di atas akan terbagi-bagi kepada keperluan-keperluan lain
seperti buat keperluan bekerja mencari nafkah, buat keperluan sosial kemasyarakatan,
buat keperluan pendidikan anak, dan buat keperluan lainnya dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup dan penghidupan. Walaupun demikian, fungsi sebagai pendidik
utama (the first teachers), tetap melekat pada diri pribadi orang tua tersebut. Dalam
konteks ini, orang tua berperan sebagai guru yang baik di lingkungan keluarga.
Layaknya sebagai guru, sosok orang tua harus dapat memberi inspirasi dan panutan
bagi anak-anaknya. Orang tua adalah menempati posisi sentral di lingkungan
keluarga. Seorang anak memandang atau menilai sosok orang tua sebagai orang yang
mau berbuat dan bersikap layaknya seorang guru, seperti mendidik, melatih,
membimbing, memotivasi, memberi perhatian dan sebagainya.
Dengan semakin banyaknya porsi waktu orang tua yang digunakan untuk
kegiatan-kegiatan lain, maka intensitas waktu untuk pendidikan anak cenderung
semakin terbatas atau berkurang. Tetapi pada sisi lain anak-anak mutlak harus
mendapat pendidikan yang memadai, apalagi menghadapi situasi globalisai yang
semakin tidak menentu. Kemudian kaitannya dengan hal tersebut di atas, orang tua
tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyerahkan anak-anaknya ke sekolah untuk
dididik sesuai kompetensi yang diharapkan. Ketika anak dididik di sekolah, bukan
berarti seluruh tugas dan kewajiban orang tua dalam mendidik anak berhenti sampai
disitu. Sebenarnya yang hakiki adalah sekolah hanya sebagai lembaga pendidikan
yang membantu para orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Jadi posisi sekolah
hanya sebagai pendidik pengganti (the second teachers) dan keluargalah atau orang
tualah yang berperan sebagai pendidik utama. Dengan demikian segala apa yang
dibutuhkan anak ketika menjalani pendidikan di sekolah, tetap merupakan kewajiban
orang tua untuk memenuhinya. Kebutuhan anak ketika masih dalam proses
pendidikan di sekolah terdiri dari kebutuhan psikologis dan fisik yang dibedakan
kepada kebutuhan yang berhubungan langsung dengan proses belajar dan kebutuhan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses belajar (Zuldafrial, 2004).
Kebutuhan fisik yang berhubungan dengan kebutuhan belajar anak antara lain buku-
buku pelajaran, alat-alat pelajaran seperti pensil, penghapus, pulpen, meja belajar dan
rak buku. Kebutuhan yang tidak berhubungan langsung dengan proses belajar anak
seperti pakaian seragam sekolah, pakaian pramuka, tas sekolah, sepatu, uang jajan,
transportasi dan lain lain.  Sedangkan kebutuhan psikologis yaitu perhatian orang tua
terhadap kebutuhan anak dalam belajar berupa penguat positif yaitu dalam bentuk
pujian atau penghargaan terhadap keberhasilan anak dalam belajar yang diwujudkan
dalam bentuk hadiah, serta penguat negatif berupa sanksi ataupun hukuman yang
diberikan kepada anak karena tidak berhasil dalam belajar, berupa pembatalan
hadiah yang dijanjikan ataupun pengurangan uang saku/jajan yang diberikan.
Pada dimensi lain ketika anak sudah belajar di sekolah, orang tua tidak hanya
cukup memberi perhatian kepada anak-anaknya saja, tetapi seyogyanya orang tua
siswa harus memberi perhatian kepada lembaga sekolah beserta warga sekolah,

4
berupa pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai pelanggan eksternal skunder
pendidikan di sekolah (Nurkolis, 2005:71). Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan pada pasal
8 bahwa masyarakat berhak untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Kemudian dalam pasal 9, masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Hal ini sangat jelas bahwa bentuk perhatian orang tua siswa/masyarakat
dalam proses pendidikan di sekolah adalah peran serta aktif orang tua siswa dan
masyarakat dalam pendidikan dalam bentuk keterlibatan langsung dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program serta berkewajiban
memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Bentuk konkret dari hal di atas, orang tua dapat berperan serta dalam
menyediakan kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, sarana
dan prasarana sekolah dan perlengkapan lain yang diperlukan dalam proses belajar
mengajar. Demikian pula dalam bentuk lain bagi orang tua yang memiliki
kompetensi bidang pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan khusus dapat
berperan serta dalam membantu sekolah seperti pada bidang proses pembelajaran,
pengelolaan persekolahan, dan pengelolaan keuangan sekolah. Dibawah ini ada
contoh orang tua siswa yang kebetulan berprofesi sebagai dokter yang tentunya
sangat memahami betul tentang arti hidup sehat, terutama bagi anak-anak di
sekolah. Dokter tersebut dapat memberikan pencerahan yang berharga terkait
dengan peningkatan mutu layanan usaha kesehatan sekolah (UKS), penataan
warung jajan yang sehat bagi anak-anak, serta pengaturan kamar mandi dan
toilet sekolah yang sehat.
Peran serta di atas telah diidentifikasi oleh Tim Penulis Paket Pelatihan Awal
MBS untuk Sekolah dan Masyarakat (2003:2-7), diungkapkan ada tujuh jenis peran
serta orang tua dalam pembelajaran, yaitu : (1) hanya sekedar pengguna jasa
pelayanan pendidikan yang tersedia, misalnya orang tua hanya memasukkan
anak ke sekolah dan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah; (2)
memberikan kontribusi dana, bahan material, dan tenaga secara fisik, misalnya
dalam pembangunan sarana dan prasarana sekolah; (3) menerima keputusan secara
pasif apapun substansinya yang diputuskan oleh pihak yang terkait dengan
sekolah, misalnya Komite Sekolah; (4) menerima konsultasi mengenai hal-hal
yang terkait dengan sekolah. misalnya, kepala sekolah berkonsultasi dengan
komite sekolah dan orang tua murid mengenai masalah pendidikan, masalah
pembelajaran matematika dll; (5) memberikan pelayanan tertentu, misalnya
sekolah bekerjasama dengan mitra tertentu seperti Komite Sekolah dan orang
tua siswa mewakili sekolah bekerjasama dengan puskesmas untuk memberikan
penyuluhan tentang perlunya sarapan pagi sebelum sekolah dan cuci tangan
sebelum makan; (6) melaksanakan kegiatan yang telah didelegasikan atau
dilimpahkan sekolah, misalnya meminta komite sekolah dan orang tua siswa
tertentu untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat umum tentang
pentingnya pendidikan atau hal-hal penting lainnya untuk kemajuan bersama;
dan (7) mengambil peran dalam pengambilan keputusan pada berbagai jenjang,
misalnya orang tua siswa ikut serta membicarakan dan mengambil keputusan

5
tentang rencana kegiatan pembelajaran di sekolah, baik dalam pendanaan,
pengembangan dan pengadaan alat bantu pembelajarannya.
Adapun peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah
merupakan bagian dari manifestasi kolaboratif antara sekolah (lembaga sosial bidang
pendidikan) sebagai sub sistem dengan masyarakat sebagai sistem sosial yang lebih
luas. Masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan sekolah, dan sekolahpun tidak dapat
dipisahkan dengan masyarakat. Dikatakan demikian karena keduanya memiliki
kepentingan, sekolah merupakan lembaga formal yang diserahi mandat untuk
mendidik, melatih, dan membimbing anak-anak bangsa agar mereka dapat berguna
dan berperan di masa depan, sementara masyarakat merupakan pengguna jasa
pendidikan (pelanggan pendidikan) yang senantiasa membutuhkan putera puteri
mereka menjadi orang-orang yang kompeten setelah dapat menyelesaikan pendidikan
di sekolah. Masyarakat merupakan komponen utama terselenggaranya proses
pendidikan, karena masyarakat mempunyai potensi yang sangat besar dalam rangka
mewujudkan pendidikan yang bermutu. Kontribusi dimasyarakat perlu dioptimalkan
sebagai upaya pemberdayaan dalam rangka mewujudkan visi dan misi sekolah
dengan paradigma pendidikan dan nuansa pengelolaan sekolah yang efektif. Sering
muncul pertanyaan yang menggelitik, mengapa masyarakat harus terlibat dalam
peningkatan mutu pendidikan disekolah? Salah satu alasan yang mendasar di
antaranya ialah adanya keterbatasan kemampuan pemerintah dalam menyediakan
kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, sarana dan prasarana
sekolah dan perlengkapan lain yang diperlukan dalam proses belajar mengajar.
Pendidikan yang bermutu tentu memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit, oleh itu
faktor simpati masyarakat terhadap sekolah perlu dibangun sedemikian rupa agar
masyarakat secara sadar memberikan kontribusinya secara aktif dan optimal untuk
ikut mendorong kemajuan sekolah. Namun kenyataan peran serta, dukungan dan
simpati masyarakat terhadap peningkatan mutu pendidikan tidaklah datang dengan
sendirinya, tetapi perlu adanya upaya proaktif dan kreatif sekolah untuk
mengembangkan hubungan kerjasama yang harmonis dan sinergis dengan
masyarakat
Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa peran serta masyarakat sangat
strategis dalam ikut serta pada pengelolaan sekolah, karena posisi masyarakat berada
pada user atau pengguna produk pendidikan. Karena situasinya sangat
berkepentingan terhadap output pendidikan ini, maka peran serta masyarakat untuk
mendukung peningkatan mutu pendidikan sekolah sangat dibutuhkan. Mutu
pendidikan sekolah yang meningkat merupakan harapan dari masyarakat, secara tidak
langsung masyarakat juga mengawal dan melakukan evaluasi terhadap peningkatan
mutu pendidikan putera puteri mereka di sekolah. Oleh itu seperti dikemukakan di
atas komunikasi antara sekolah dan masyarakat harus terjalin dengan harmonis dan
kondusif.
Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, peran serta masyarakat telah diatur mulai lingkup perorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, sampai kepada pengusaha dan organisasi
kemasyarakatan. Peranan itu baik dalam penyelenggaraan maupun pengendalian
pelayanan pendidikan yang bermutu di sekolah swasta, maupun pada sekolah negeri.

6
Masyarakat bukan hanya diminta dukungan dana saja, tetapi juga diberi kesempatan
untuk terlibat didalam penetapan kebijakan penyelenggaraan pada satuan pendidikan.
Masyarakat diposisikan sebagai salah satu stakeholder yang penting disamping
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Mekanisme peran serta yang luas itupun
disinergikan dan diberi wadah yang konkret, seperti Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah.
Pelibatan Orang Tua Siswa dan Masyarakat dalam Pendidikan
Sesuai dengan implementasi model pengelolaan pendidikan dengan MBS saat
sekarang ini, terdapat enam fungsi kegiatan sekolah yang mempunyai akses
keterlibatan orang tua siswa dan masyarakat. Keenam fungsi kegiatan sekolah
dimaksud yaitu : (1) pengelolaan kurikulum dan program pengajaran; (2) pengelolaan
sumber daya manusia; (3) pengelolaan sarana dan prasarana; (4) pengelolaan
anggaran dan keuangan; (5) pengelolaan pelayanan siswa; (6) pengelolaan hubungan
sekolah dan masyarakat. Keenam akses dimaksud, diakui tidaklah teraplikasi secara
merata, hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor lain seperti faktor tradisi setempat,
faktor nilai budaya yang dihormati dan faktor keterbatasan pengetahuan.
Situasi dan kondisi pelibatan orang tua siswa dan masyarakat dalam
pengelolaan kurikulum dan pengajaran terutama dalam kerangka pengambilan
keputusan partisipatif tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Padahal secara umum
diungkapkan oleh Rizalie, (2015:400) pengambilan keputusan partisipatif pada
pengelolaan kurikulum dan program pengajaran ini menghendaki keterlibatan
berbagai pihak mulai dari unsur pimpinan sekolah, unsur guru, unsur tenaga
penunjang akademik, unsur komite sekolah, unsur masyarakat termasuk kalangan
dunia usaha dan dunia industri. Tetapi pada kenyataannya sering ditemukan bahwa
pengambilan keputusan partisipatif memang dilakukan melalui rapat sekolah, akan
tetapi yang dilibatkan dalam rapat tersebut hanya unsur-unsur tertentu saja yaitu
unsur pimpinan sekolah, unsur para guru dan unsur komite sekolah, sedangkan unsur
masyarakat hanya dilibatkan pada persoalan-persoalan tertentu saja. Alasan mendasar
jarang dilibatkannya orang tua siswa atau masyarakat secara langsung dalam
penyusunan dan pengembangan kurikulum dan program pengajaran adalah karena
sekolah sering mempersepsikan bahwa kompetensi masyarakat terhadap seluk beluk
kurikulum masih lemah dan kurang mampu untuk mengontribusikan berbagai
pemikiran mereka guna kesempurnaan kurikulum dan program pengajaran tersebut.
Sehubungan dengan itu sekolah nampaknya lebih memilih melibatkan komite sekolah
yang berperan selaku perwakilan dari unsur masyarakat.
Kondisi obyektif pelibatan orang tua siswa dan masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya manusia terutama dalam kerangka pengambilan keputusan partisipatif
tidaklah sebaik apa yang diharapkan. Keberadaan orang tua dan masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya manusia, hampir nol besar. Karena pengelolaan sumber
daya manusia di sekolah sebagian besar bersentuhan dengan urusan legalitas formal
yang sepenuhnya menjadi kewenangan sekolah (pemerintah) dan yayasan (owner).
Masyarakat hanya mempunyai peluang pada aspek pembinaan kepegawaian yang
lebih khusus lagi pada aspek pengawasan masyarakat. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Rizalie (2015:415-416), ditemukan bahwa pengawasan masyarakat

7
sering dilakukan terhadap para guru yang menyimpang dari kewajaran seperti guru
terlambat datang ke sekolah, berkeliaran di luar sekolah saat jam belajar masih
berlangsung, melanggar etika kebiasaan dan etika pergaulan setempat. Namun
pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut tidak didasari dengan standar
pengawasan yang biasa berlaku seperti peraturan disiplin guru, kode etik guru,
ketentuan jam mengajar dan lain sebagainya. Pengawasan yang dilakukan tanpa
didukung dengan standar pengawasan tertentu maka hasil pengawasannya secara
legal formal tidak dapat dipertanggung jawabkan. Oleh itu sekolah tidak terlalu
merespon terhadap laporan masyarakat ini.
Pada sisi lain, melihat realitas yang terjadi pelibatan orang tua siswa dan
masyarakat dalam pengelolaan sarana dan prasarana terutama dalam rangka
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang terkait dengan sarana dan prasarana,
juga masih belum maksimal. Hal ini tampak jelas apabila dihadapkan dengan prinsip
pengelolaan sarana dan prasarana, yaitu: (1) prinsip pencapaian tujuan, (2) prinsip
efesiensi, (3) prinsip administratif, (4) prinsip kejelasan tanggung jawab, dan (5)
prinsip kekohesian. Kelima prinsip di atas adalah merupakan penuntun yang harus
diikuti dalam rangka pengelolaan sarana dan prasarana. Menurut Rizalie, (2015:418)
masyarakat belum mengenal tentang prinsip pengelolaan sarana dan prasarana
tersebut di atas, sehingga apa yang dilakukan mereka hanyalah berdasarkan keinginan
dan persepsi mereka masing-masing. Sebenarnya masyarakat berpeluang untuk
terlibat dalam penyusunan rencana, pelaksanaan pengadaan, dan pengawasan. Dari
tiga peluang yang ada, orang tua siswa atau masyarakat terlihat kurang tertarik untuk
terlibat dalam penyusunan rencana kebutuhan, dengan alasan mereka kurang tertarik
dalam membicarakan yang belum pasti dan belum terlihat dengan kasat mata, namun
sebaliknya mereka mau terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang konkret dan dapat
dilihat secara fisik, seperti pengadaan lahan dan fisik bangunan. Ada beberapa hal
yang melatar belakanginya antara lain masyarakat akan lebih tertarik untuk
membantu pada hal-hal yang bersifat monumental, termasuk didalamnya kategori
amal jariah, dan mudah disaksikan karena letaknya berada di luar gedung sekolah.
Hampir senada dengan kondisi di atas, dalam aspek peluang keterlibatan orang
tua siswa dan masyarakat dalam pengelolaan anggaran dan keuangan sebenarnya
sangat memungkinkan. Peluang dimaksud antara lain adalah dalam penyusunan
rencana anggaran, pelaksanaan penghimpunan keuangan, serta pengawasan
penggunaan dan belanja keuangan. Dalam hasil penelitian Rizalie, (2015:420-421)
diungkapkan bahwa masyarakat kurang tertarik untuk terlibat dalam penyusunan
rencana anggaran karena alasan-alasan tertentu, kemudian dalam hal pengawasan
keuangan masyarakat mempercayakan kepada komite sekolah untuk melaksanakan
fungsi pengawasan keuangan ini. Sedangkan pada fungsi pengelolaan usaha
menghimpun dana masyarakat, para orang tua siswa dan masyarakat dilibatkan dalam
panitia kolaboratif antara warga sekolah dan warga masyarakat. Dengan demikian
masyarakat terlibat langsung dalam kerja kepanitiaan dalam rangka menghimpun
dana, utamanya dana yang bersumber dari kalangan masyarakat. Menurut Suriansyah
(2014), Partisipasi masyarakat dan orang tua selama ini pada umumnya sebatas pada
dukungan dana, sementara dukungan lain seperti pemikiran, moral, dan barang atau
jasa kurang diperhatikan.

8
Pelibatan orang tua dan masyarakat dalam hal pengelolaan pelayanan siswa
terpengaruh dengan adanya perubahan paradigma di kalangan orang tua dan
masyarakat. Pada masa lalu masyarakat cenderung menerima apapun yang diberikan
oleh sekolah, sedangkan sekarang ini mereka tidak dengan mudah menerima apa
yang diberikan oleh sekolah. Pelayanan siswa di sekolah dilakukan pada tiga situasi
yang berbeda yaitu pada saat sebelum menjadi siswa (penerimaan siswa baru), pada
waktu menjadi siswa(pembinaan, pengarahan, pembimbingan dan pengembangan
potensi siswa) serta pada saat sudah menyelesaikan pendidikan (pembinaan
abituren/alumni).
Tanggung jawab melayani siswa bukan hanya dibebankan kepada sekolah akan
tetapi juga menjadi kewajiban orang tua (keluarga) dan masyarakat. Dengan
demikian, apa yang dilakukan guru di sekolah terhadap siswa-siswanya, seyogyanya
juga dilakukan oleh keluarga (orang tua) dan masyarakat saat anak-anak berada di
rumah atau di luar sekolah. Dalam konsep pendidikan sepanjang hari yang
menghendaki siswa mendapatkan layanan pembelajaran dari pagi sampai pagi
berikutnya, bukan berarti sekolah diharuskan mendampingi siswanya sepanjang hari.
Namun ada pembagian tugas antara guru di sekolah dan orang tua/masyarakat di luar
sekolah. Guru hanya dapat mendampingi siswanya selama berada di sekolah yang
berdurasi waktu sekitar 8 jam selebihnya para siswa berada di luar sekolah selama 16
jam harus menjadi kewajiban orang tua dan masyarakat dalam melakukan
pendampingan. Dalam waktu 16 jam tersebut konteksnya dengan pendidikan
sepanjang hari, para orang tua harus melakukan pendampingan dalam pembelajaran
di luar sekolah yang biasa diwujudkan dalam bentuk, anak belajar mengenal sopan
santun, anak belajar mengenal nilai-nilai yang berlaku di keluarga dan masyarakat,
anak belajar mengenal kehidupan sosial dan lain sebagainya. Rizalie (2015:423)
mengungkapkan bahwa hanya sebagian kecil para orang tua yang dapat memerankan
dirinya sebagai pendidik di rumah, selebihnya menyerahkan urusan pendidikan ini
seluruhnya ke sekolah. Sebagian besar para orang tua belum banyak memahami
tentang pendidikan yang sesungguhnya, sehingga mereka tidak mampu menentukan
skala prioritas alokasi waktu untuk kepentingan pendidikan anak saat mereka berada
di rumah atau di luar sekolah.
Akhirnya keterlibatan orang tua siswa dan masyarakat dalam aktivitas
hubungan sekolah dengan masyarakat, belum dilakukan secara maksimal. Sebenarnya
tujuan hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan,
kepedulian, kepemilikan dan dukungan terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Jadi sebagai kata kunci dari keterlibatan orang tua siswa dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah akan tergantung kepada keefektifan aplikasi
hubungan sekolah dengan masyarakat yang dikelola oleh sekolah. Hubungan sekolah
dan masyarakat intinya adalah komunikasi antara sekolah dan masyarakat.
Komunikasi yang efektif pada dasarnya dibangun dengan basis komunikasi langsung
yang diasumsikan mempunyai beberapa keunggulan-keunggulan antara lain bersifat
responsif, dapat menyesuaikan diri, menekankan keutuhan, memiliki kesempatan
untuk klarifikasi, dapat membangun hubungan keakraban, hubungan yang lebih wajar
dan alamiah, dan dapat membaca bahasa non verbal serta dapat memahami secara
alami kenyataan yang ada. Apabila tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat

9
dapat diwujudkan, maka masyarakat dapat bahu membahu bersama pemerintah
(sekolah) dan stakeholders lainnya meningkatkan dan mengembangkan pendidikan
saat ini. Rizalie (2015:411) mengungkapkan bahwa tujuan yang ingin diwujudkan
belum dapat dicapai secara maksimal dikarenakan terdapat beberapa alasan yang
mendasarinya baik dari sisi sekolah maupun dari sisi masyarakat. Dari dari sisi
sekolah ditemukan fakta: tuntutan tugas terhadap guru semakin banyak, masih banyak
guru mempunyai pikiran bahwa satu-satunya tugas guru adalah mengajar, terbatasnya
sumber daya untuk berhadapan dengan luasnya wilayah secara geografis. Dari sisi
masyarakat ditemukan fakta: tingkat kesadaran masyarakat masih rendah, kurang
cerdas dalam mengelola waktu, dan orientasi berfikirnya masih jangka pendek.
Pemberdayaan Orang Tua Siswa dan Masyarakat dalam Pendidikan melalui
forum komunikasi orang tua siswa dan guru
Salah satu komponen Manajemen Berbasis Sekolah yaitu adanya
pemberdayaan masyarakat yang diindikasikan sebagai proses peningkatan
pengetahuan dan pengalaman anggota masyarakat terutama masyarakat yang
mempunyai hubungan khusus dengan sekolah agar secara sadar mau dan bersedia
terlibat langsung pada kegiatan-kegiatan tertentu di sekolah. Tujuan dari
pemberdayaan masyarakat ini adalah untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya
hingga mampu berbuat dan bertindak sendiri atau bersama orang lain untuk
membantu sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Seperti
dikemukakan di atas bahwa kata kunci dari semua ini adalah bagaimana sekolah
melakukan dan mengelola hubungan sekolah dengan masyarakat.
Memberdayakan orang tua siswa dan masyarakat merupakan usaha yang selalu
bersentuhan dengan keterampilan berkomunikasi yang dilakukan oleh pihak sekolah.
Maksudnya adalah apabila komunikasi dapat dijalankan dengan efektif, maka optimis
pemberdayaan orang tua dan siswa dapat berhasil, sebaliknya apabila komunikasi
belum dapat dilakukan secara efektif maka pemberdayaan orang tua siswa dan
masyarakat nyaris menemui kendala yang besar.
Untuk mewujudkan tujuan dimaksud, sekolah telah melakukan berbagai
aktifitas yang bermaksud untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman orang
tua dan masyarakat serta bertujuan mendekatkan sekolah dengan masyarakat.
Aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan dapat dibedakan kepada aktivitas berupa
pemberian teori-teori ilmiah dan berupa aplikasi untuk mengasah ketrampilan.
Pertama, pemberian pengetahuan keilmuan seperti orientasi tentang perencanaan
anggaran dan keuangan serta program pengembangan sekolah yang diikuti oleh
komite sekolah, ceramah dan pencerahan oleh pejabat sekolah dan Dinas Pendidikan
saat-saat acara serimonial. Kedua, memberi kesempatan kepada orang tua siswa dan
masyarakat mengikuti acara-acara pemberdayaan yang dikemas dalam acara
pertemuan rapat, pengambilan raport anak, peringatan hari-hari besar keagamaan, dan
pertemuan-pertemuan khusus. Kegiatan atau aktivitas dimaksud semuanya adalah
untuk pemberdayaan orang tua siswa dan masyarakat yang pada gilirannya akan mau
dan mampu serta bersedia untuk terlibat dalam proses pendidikan di sekolah. Pada
sudut pandang lain pemberdayaan masyarakat dalam bentuk komunikasi langsung
terkadang dilakukan di sekolah dan terkadang dilakukan di tempat tinggal orang tua

10
siswa. Hal demikian sudah pernah diungkapkan Clark (1989) bahwa terdapat dua
jenis pendekatan untuk mengajak orang tua dan masyarakat berpartisipasi aktif
dalam pendidikan. Pertama, pendekatan shool-based dengan cara mengajak orang tua
datang ke sekolah melalui pertemuan-pertemuan, konferensi, diskusi guru dengan
orang tua dan mengunjungi anaknya yang sedang belajar di sekolah. Kedua,
pendekatan home-based, yaitu orang tua membantu anaknya belajar di rumah
bersama-sama dengan guru yang berkunjung ke rumah.
Konteksnya dengan komunikasi dalam kaitan hubungan sekolah dengan
masyarakat perlu dilakukan penciptaan suasana kondusif yang memungkinkan proses
komunikasi dimaksud dapat berlangsung secara efektif dan lancar. Suasana kondusif
yang diharapkan tidak akan bisa terwujud tanpa didukung oleh sarana yang
mewadahinya yang menjamin komunikator dan komunikan merasa nyaman, tidak
kaku, terarah dan komunikatif. Sarana dimaksud dapat berupa wahana sosial setara
atau dimanipulasi menjadi setara yang dapat menghilangkan sekat-sekat hambatan
komunikasi. Disamping itu wahana sosial dimaksud mempunyai karakteristik alamiah
seperti terdapatnya hasrat untuk menjadi bagian dari kelompok, untuk dihormati dan
untuk menikmati perhatian dari orang lain. Wahana dimaksud adalah forum
komunikasi orang tua siswa dan guru yang berorientasi fokus pada interaksi dengan
orang lain dan pengalaman interpersonal. Sebagai penguatan, Panksepp (1988) dalam
Barbara K. Given, menyatakan bahwa ”kecenderungan untuk berkelompok, menjalin
hubungan, hidup berdampingan dan bekerjasama merupakan karakteristik penting
manusia...”. Pernyataan ini didukung oleh Covey (1989) yang menyatakan bahwa
”sekalipun kita sangat menghargai kemandirian; saling bergantung merupakan ciri
alamiah manusia”. Implikasinya bagi sekolah antara lain: (1) sekolah harus mengelola
wahana menjadi komunitas pembelajaran para orang tua siswa dan warga sekolah; (2)
sekolah harus mengelola wahana ini sebagai tempat orang tua siswa dan guru
bekerjasama dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang nyata; (3)
dalam wahana tersebut para orang tua siswa dan para guru saling berhubungan
dengan basis kekeluargaan; (4) layaknya sebagai sebuah struktur keluarga mereka
saling menerima penghormatan, saling menerima perhatian, dan penghargaan atas
kelebihan masing-masing; (5) menerima perbedaan sebagai berkah individual.
Apabila implikasi di atas benar-benar dapat direalisasikan oleh sekolah, maka wahana
di atas betul-betul menjadi komunitas dengan keunggulan komunikasi.
Forum komunikasi orang tua siswa dan guru dimaksud di atas, dikenal
menggunakan bermacam-macam istilah dan penamaan. Ada yang menamakan forum
komunikasi, ada lagi diistilahkan dengan persatuan orang tua siswa dan guru, adalagi
yang memberi nama paguyuban orang tua siswa, dan lain sebagainya. Apapun
namanya yang ditetapkan, tidaklah menjadi persoalan karena semuanya bertujuan
yang sama yaitu untuk menggiring penyelenggaraan pendidikan di sekolah ke arah
pendidikan yang bermutu. Sebagai komunitas dengan posisi kesetaraan dalam
berkomunikasi, semua anggota merasakan tidak ada kendala yang berarti dalam
komunikasi, guru tidak merasa posisinya lebih tinggi dan orang tua tidak merasa
posisinya lebih rendah, sehingga semuanya menjunjung tinggi azas transparansi
dalam komunitas tersebut. Pertemuan rutin yang digagas oleh komunitas terlihat
adanya peningkatan dalam kehadiranya pada setiap kali pertemuan. Beberapa media

11
lain yang dapat dimanfaatkan komunitas ini untuk turut bertanggung jawab atas mutu
pendidikan adalah menyelenggarakan pertemuan intra komunitas seperti di atas,
tetapi diisi dengan menghadirkan pakar pendidikan lokal guna memberi pencerahan,
ataupun menghadirkan komite sekolah, atas nama komunitas melakukan bakti sosial
untuk sekolah, secara giliran melakukan home Visiting, menghadiri rapat sekolah dan
mengikuti pameran di sekolah.
Sehubungan dengan itu, hubungan kerja sama antara sekolah dan komunitas
orang tua siswa antara lain bertujuan: (a) saling membantu dan saling isi mengisi; (b)
bantuan keuangan dan barang-barang; (c) untuk mencegah anak dari perbuatan-
perbuatan yang kurang baik; (d) bersama-sama membuat rencana yang baik untuk
sang anak. Hal di atas senada dengan pendapat Cheng (1996) mengemukakan bahwa
peran para orang tua siswa dalam Manajemen Berbasis Sekolah adalah menerima
pelayanan yang berkualitas melalui siswa-siswa yang menerima pendidikan yang
mereka butuhkan. Peran orang tua sebagai patner dan pendukung, mereka dapat
berpartisipasi dalam proses sekolah, mendidik siswa secara kooperatif, berusaha
membantu perkembangan yang sehat kepada sekolah dan memberi sumbangan
sumber daya dan informasi, mendukung dan melindungi sekolah pada saat
mengalami kesulitan daan krisis. Pendapat Rhoda (1986) mengemukakan tentang
keuntungan dari keikutsertaan keluarga dan masyarakat dalam pendidikan, seakan
menjadi pembenar langkah sekolah untuk terus melakukan pemberdayaan
masyarakat. Pertama, pencapaian akademik dan perkembangan kognitif siswa
semakin meningkat; Kedua, perkembangan anaknya dalam proses pendidikan di
sekolah semakin terarah; Ketiga, orang tua akan menjadi guru yang baik di rumah
dan bisa menerapkan formula-formula positif untuk pendidikan anaknya. Keempat,
akhirnya orang tua memiliki sikap dan pandangan positif terhadap sekolah.
Uemura (1999) berpendapat tentang perlunya sekolah memberdayakan
masyarakat dalam pendidikan. Pertama, tujuan partisipasi masyarakat untuk
meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan sehingga siswa bisa belajar lebih
baik dan siap menghadapi perubahan zaman. Kedua, karena keterbatasan sumber
daya terutama finansial yang dimiliki pemerintah untuk menyeleneggarakan
pendidikan bagi setiap warganya. Ketiga, meningkatkan relevansi pendidikan karena
selama ini pendidikan selalu ketinggalan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berkembang di masyarakat. Keempat, agar mendorong
terselenggaranya sistem pendidikan yang adil dengan menyediakan pendidikan bagi
anak yang kurang mampu, kaum wanita, masyarakat terasing dan suku minoritas.
Kelima, untuk meningkatkan kerjasama antara sekolah dan masyarakat serta
mengurangi konflik yang sering terjadi di sekolah.
Kesimpulan
Salah satu kelemahan dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia pada masa
lalu sehingga mutu pendidikan di sekolah masih rendah dibandingkan dengan mutu
pendidikan di Negara-negara tetangga. Kelemahan ini berupa kurang maksimalnya
peran serta masyarakat, terutama orang tua peserta didik pada penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Hal ini seperti diungkapkan dari data hasil penelitian Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasinal bahwa partisipasi

12
orang tua siswa dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah hanya
mencapai 57,40%.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, maka peran orang tua dalam
pendidikan harus ditingkatkan, agar orang tua tidak hanya cukup memberi perhatian
kepada anak-anaknya saja, tetapi seyogyanya orang tua siswa harus memberi
perhatian kepada lembaga sekolah beserta warga sekolah, berupa pelaksanaan hak
dan kewajiban sebagai pelanggan eksternal skunder pendidikan di sekolah.
Masyarakat merupakan komponen utama terselenggaranya proses pendidikan, karena
masyarakat mempunyai potensi yang sangat besar dalam rangka mewujudkan
pendidikan yang bermutu. Kontribusi dimasyarakat perlu dioptimalkan sebagai upaya
pemberdayaan dalam rangka mewujudkan visi dan misi sekolah dengan paradigma
pendidikan dan nuansa pengelolaan sekolah yang efektif.
Implementasi model pengelolaan pendidikan dengan MBS saat sekarang ini,
mempunyai akses keterlibatan orang tua siswa dan masyarakat dalam: (1)
pengelolaan kurikulum dan program pengajaran; (2) pengelolaan sumber daya
manusia; (3) pengelolaan sarana dan prasarana; (4) pengelolaan anggaran dan
keuangan; (5) pengelolaan pelayanan siswa; (6) pengelolaan hubungan sekolah dan
masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat yang diindikasikan sebagai proses peningkatan
pengetahuan dan pengalaman anggota masyarakat agar secara sadar mau dan bersedia
terlibat langsung pada kegiatan-kegiatan tertentu di sekolah. Tujuan dari
pemberdayaan masyarakat ini adalah untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya
hingga mampu berbuat dan bertindak sendiri atau bersama orang lain untuk
membantu sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Komunikasi dalam kaitan hubungan sekolah dengan masyarakat perlu
dilakukan penciptaan suasana kondusif yang memungkinkan proses komunikasi
dimaksud dapat berlangsung secara efektif dan lancar. Suasana kondusif yang
diharapkan tidak akan bisa terwujud tanpa didukung oleh sarana yang mewadahinya
yang menjamin komunikator dan komunikan merasa nyaman, tidak kaku, terarah dan
komunikatif.
Implikasinya bagi sekolah antara lain: (1) sekolah harus mengelola wahana
menjadi komunitas pembelajaran para orang tua siswa dan warga sekolah; (2) sekolah
harus mengelola wahana ini sebagai tempat orang tua siswa dan guru bekerjasama
dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang nyata; (3) dalam wahana
tersebut para orang tua siswa dan para guru saling berhubungan dengan basis
kekeluargaan; (4) layaknya sebagai sebuah struktur keluarga mereka saling menerima
penghormatan, saling menerima perhatian, dan penghargaan atas kelebihan masing-
masing; (5) menerima perbedaan sebagai berkah individual. Apabila implikasi di atas
benar-benar dapat direalisasikan oleh sekolah, maka wahana di atas betul-betul
menjadi komunitas dengan keunggulan komunikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Cheng, Y. C., 1996. School Effectiveness And School-Based Management: A


Mechanism for Development. Washington D.C: The Falmer Press

13
Hadiyanto, dkk. 2012. Manajemen Berbasis Sekolah. Banten: Universitas Terbuka.
Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers
Jalal, F. & Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi
Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Mulyasa, E. 2004. Menjadi Kepala Sekolah Profesional, dalam Menyukseskan MBS
dan KBK, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nurkolis, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, Jakarta:
PT.GramediaWidiasarana Indonesia.
Rizalie, A. Muhyani. 2015. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Syaifuddin, M., 2007, Manajemen Berbasis Sekolah, Banjarmasin : Dinas
Pendidikan

14

Anda mungkin juga menyukai