Anda di halaman 1dari 3

DAHULUKAN AKHLAK DI ATAS FIQIH

Salah satu orientasi dari ajaran agama Islam adalah perbaikan Akhlak. Hal ini sesuai dengan
misi diutusnya Nabi Muhammad SAW yang disebutkan dalam suatu riwayat bahwasanya beliau
bersabda : “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR Ahmad,
Baihaki, dan Malik). Kita semua mengakui keutamaan dari sosok paripurna yaitu Nabi Muhammad
SAW sebagai figur idealis dalam berakhlak. Dalam dakwahnya beliau seringkali memberi contoh
untuk umatnya tentang bagaimana seorang manusia memiliki akhlak yang baik sesuai dengan
tuntunan wahyu Allah SWT. Maka semua ulama sepakat bahwa akhlak Rasulullah SAW adalah
akhlak islam yang bersumber dari Al-Quran, dan Al-Quran bersumber dari Allah SWT.

Sementara orang salah dalam memahami definisi akhlak dan adab sehingga kita seringkali
menemukan penggunaan istilah yang salah dalam mengungkapkan hal yang berkaitan dengan
keduanya. Disini penulis akan sedikit mengemukakan pendapat salah satu cendikiawan muslim
indonesia yaitu Ust. Adi Hidayat, Lc. terkait konsep akhlak dan adab. Dalam suatu ceramahnya yang
di unggah dalam salah satu situs media sosial beliau menyampaikan definisi adab adalah seperangkat
nilai-nilai kemuliaan atau nilai-nilai kebaikan yang diperoleh dari pendidikan. Beliau memberikan
contoh dari pengalaman yang beliau alami ketika memperhatikan kehidupan orang jepang yang sarat
akan kedisiplinan dan kejujuran karena telah dididik sedari kecil untuk berlaku disiplin dan jujur.
Nilai-nilai kebaikan yang diperoleh dari sebuah proses pendidikan inilah yang selanjutnya disebut
dengan adab yang kemudian orang menyebut kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai adab tersebut
dengan peradaban. Adapun definisi dari akhlak adalah seperangkat nilai-nilai kemuliaan atau nilai-
nilai kebaikan yang diperoleh dari proses ibadah kepada Allah SWT. Sehingga jika ditinjau dari
pernyataan diatas dapat dikatakan bahwa jika seorang non-muslim yang memiliki nilai-nilai
kemuliaan dan kebaikan adalah orang yang beradab namun tidak bisa dikatakan bahwa ia adalah
orang yang berakhlak karena akhlak didasari oleh keimanan kepada Allas SWT.

Betapa tingginya agama islam dalam menempatkan kedudukan akhlak dengan keimanan
seorang mu’min, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Aalihi Wasallam bersabda, “Mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR Tirmidzi). Berdasarkan hadist
tersebut dapat kita maknai bahwa kesempurnaan iman seseorang dapat ditinjau dari seberapa baik
akhlak yang ia miliki. Seseorang yang beriman kepada Allah SWT tentu ia akan berusaha semaksimal
mungkin untuk berprilaku sesuai dengan tuntunan wahyu Allah SWT yang disampaikan oleh nabi
Muhammad SAW. Ibadah ritual tidaklah cukup jika tanpa diiringi oleh perubahan akhlak seseorang
menjadi lebih baik. Dalam bab shalat misalnya, kita tidak hanya dituntut untuk melakukan gerakan
shalat yang dzahir atau nampak. Apapun madzhab kita, kita harus mendalami hakikat dari shalat itu
sendiri sehingga kita dapat mencapai tujuan dari perintah diwajibkannya shalat yaitu mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an. Maka seorang muslim
tidaklah cukup shaleh dalam ritual tapi diapun harus shaleh secara sosial.

Rasulullah SAW sebelum menyeru umatnya untuk melakukan praktek ibadah ritual seperti
shalat, zakat, puasa, haji dll. Beliau mengawali dakwahnya dengan mengajak manusia untuk beriman
kepada Allah SWT, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh penulis bahwa keimanan seseorang akan
berbuah akhlak yang baik sebagai ciri dari kesempurnaan iman. Mendahulukan akhlak sama sekali
bukan meninggalkan fiqih, seperti sering disalahpahami oleh orang yang kurang mengerti. Justru
dengan mendahulukan akhlak kita dapat menghindari perpecahan antara umat muslim yang selalu
mengedepankan fanatisme dalam bermadzhab dan selalu mempersoalkan perbedaan interpretasi setiap
imam madzhab terhadap nash-nash Al-Quran dan hadist.

Betapa indahnya agama islam memberikan kemudahan bagi umatnya dalam menyikapi
perbedaan penetapan hukum syara’ melalui sabda Rasulullah SAW dalam perintah shalat beliau
bersabda : “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku sedang shalat”, dan beliau tidak mengatakan
“Shalatlah seperti shalatku”. Seandainya beliau bersabda dengan ungkapan yang kedua tentu hal ini
akan menimbulkan perselisihan yang amat sulit dileraikan antar sesama muslim dalam menyikapi
perbedaan penetapan hukum syara’.

Salah satu perkembangan yang memprihatinkan di masyarakat islam belakangan ini adalah
semakin kuatnya kecenderungan meninggalkan akhlak ketika menghadapi perbedaan dalam paham
keagamaan. Karena itulah kemudian kita perlu mulai berpikir bahwa sebenarnya ada hal yang
mungkin mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. Dalam bidang akhlak, semua orang bisa
bersepakat, apapun madzhabnya. Maka hemat penulis, jika kita berhadapan dengan perbedaan pada
level fiqih, kita mesti mendahulukan akhlak.

Alih-alih mengatakan bahwa akhlak cenderung sektarian, maka penulis lebih memegang
pendapat yang mengatakan bahwa akhlak sebenarnya tidak ada yang sektarian. Penulis ikut percaya,
tidak ada relativisme moral, termasuk relativisme akhlak. Ada yang mengatakan bahwa akhlak itu
relatif. Menurut penulis, orang baik yang menurut orang lain bukan orang baik itu tidak ada. Lalu
apakah tolong menolong, menebarkan cinta dan kedamaian adalah baik menurut madzhab tertentu
tapi buruk menurut madzhab lain?.

Dalam menentukan akhlak boleh saja orang lain memakai standar berbeda-beda. Tapi,
standarnya adalah akhlak yang disepakati bersama. Kalau kita bicara tentang akhlak, berarti kita
bicara tentang sesuatu yang kebaikannya disepakati bersama. Itulah yang disebut nilai-nilai universal
yang dimiliki agama islam.
Kita bisa menganalogikan fikih dengan hukum. Pada situasi tertentu jika kita berpegang kepada
hukum secara letterlijk maka akan ada situasi di mana hukum menjadi tidak adil. Disitulah keabsahan
hukum bertabrakan dengan nilai keadilan yang disepakati bersama. Analogi demikian mengibaratkan
soal akhlak dan fiqih. Akhlak adalah sesuatu yang pasti dan semua orang tau keutamaan akhlak.
Yang tidak sepakat adalah tentang fiqih. Untuk itu jika kita dihadapkan dengan perdebatan masalah
fiqih, kita harus mengedepankan keberlangsungan nilai-nilai akhlak. Wallahu a’lam bishawwab

PROVERB :

‫و العلم مع األدب‬, ‫ واألدب مع العلم‬,‫األخالق قبل العلم‬

Anda mungkin juga menyukai