Anda di halaman 1dari 5

Bayi Tabung Perspektif Hukum Islam

Kehadiran seorang anak merupakan suatu hal yang didamba-dambakan bagi pasangan
suami-istri. Kehadirannya menjadi penyempurna dalam kehidupan rumah tangga sekaligus
investasi bagi orang tua baik di dunia maupun akhirat. Namun sayangnya, tak semua pasangan
suami istri beruntung bisa segera dikaruniai buah hati dengan cara normal.

Kemajuan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran melahirkan penemuan cara-cara baru
dalam memproduksi manusia secara buatan yang dalam istilah kedokteran disebut dengan
Fertilisasi in vitro atau bayi tabung. Pada dasarnya, program bayi tabung ini merupakan
alternatif yang bisa ditempuh untuk membantu pasangan suami istri yang tidak bisa melahirkan
keturunan secara alami.

Dr. Budi Wiweko Sp,OG(K), Ketua perhimpunan Fertilisasi In Vitro (PERFITRI)


menyatakan bahwa pada tahun 2020 ada 12.000 siklus bayi tabung di Indonesia dari 38 klinik
kesuburan dengan tingkat keberhasilan bayi tabung di Indonesia yaitu 30-35 persen untuk semua
tingkat usia. Salah satu medical editor alodokter menyampaikan bahwa Semakin muda usia,
semakin tinggi pula kesempatan hamil melalui bayi tabung. Peluang keberhasilan pada kelompok
usia di bawah 35 tahun mencapai 35,1%, dibandingkan kelompok usia di atas 42 tahun yang
hanya 6,7%.

Disisi lain, tentunya bayi tabung menimbulkan banyak pertanyaan di bidang hukum
islam mengenai kehalalan atau keharaman bayi tabung, status nasab anak dan lain-lain. Apabila
ditinjau dari segi ovum, sperma serta tempat embrio ditransplantasikan maka terdapat beberapa
jenis bayi tabung yang sudah teruji keberhasilannya dan perlu dibahas mengenai status
hukumnya, yaitu:

Pertama, Proses bayi tabung dengan menggunakan sperma dan ovum dari pasangan
suami istri kemudian embrio nya ditransfer kedalam rahim istrinya. Husein Yusuf
mengemukakan bahwa “Bayi tabung dilakukan bila sperma dan ovum dari pasangan suami-istri
yang diproses dalam tabung, setelah terjadi pembuahan kemudian disarangkan dalam rahim
istrinya sampai saat terjadi kelahiran. Maka secara otomatis anak tersebut dapat dipertalikan
keturunannya dengan ayah beserta ibunya, dan anak itu memiliki kedudukan yang sah menurut
syariat islam.”

Ulama NU menetapkan bahwa “Apabila mani yang ditabung itu mani suami istri dan cara
mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukkan kedalam rahim istri sendiri, maka
hukum bayi tabung menjadi mubah.”

Kedua, anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung dengan menggunakan sperma
dan ovum dari pasangan suami istri yang embrionya ditransfer ke dalam Rahim ibu pengganti
(surrogate mother). Ali Akbar berpendapat bahwa “Menitipkan bayi tabung pada Wanita yang
bukan ibunya boleh, karena si ibu tidak menghamilkannya sebab rahimnya mengalami
gangguan. Sedangkan menyusukan anak kepada wanita lain dibolehkan dalam islam, malah
boleh diupahkan. Maka boleh pula memberikan upah kepada Wanita yang meminjamkan
rahimnya”.

Pendapat diatas pada prinsipnya menyetujui penggunaan teknologi bayi tabung dengan
ovum dan sperma dari pasangan suami-istri kemudian embrio ditransplantasikan kedalam Rahim
ibu pengganti. Namun dari hasil jtihad Ahli Fiqih pada tahun 1986 yang tercantum dalam
ketetapan sidang ketiga dari Majma’ul Fiqhil Islamiy Athfaalul Annabilb menyatakan bahwa
cara kedua ini dilarang menurut hukum syara.

Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor : Kep-


952/MUI/XI/1990 tentang inseminasi buatan/bayi tabung menyebutkan bahwa “Bayi tabung dari
pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan
pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan
menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara
anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian
melahirkannya, dan sebaliknya)”.

Ketiga, anak yang dilahirkan dari proses bayi tabung dengan sperma atau ovum donor
kemudian ditransplantasikan kedalam Rahim istri. Penggunaan sperma atau ovum donor tersebut
dilarang oleh islam. Sebagaimana dalam QS. An-Nur ayat 30-31

َ‫م َويَحْ فَظُوْ ا فُرُوْ َجهُ ۗ ْم ٰذلِكَ اَ ْز ٰكى لَهُ ۗ ْم اِ َّن هّٰللا َ خَ بِ ْي ۢ ٌر بِ َما يَصْ نَعُوْ ن‬lْ ‫ار ِه‬
ِ ‫ص‬َ ‫قُلْ لِّ ْل ُم ْؤ ِمنِ ْينَ يَ ُغضُّ وْ ا ِم ْن اَ ْب‬
Artinya : katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar merekamenjaga pandangannya
dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat”.

ْ َ‫ار ِه َّن َويَحْ ف‬


……… ‫ظنَ فُرُوْ َجه َُّن‬ ِ ‫َوقُلْ لِّ ْل ُم ْؤ ِم ٰن‬
َ ‫ت يَ ْغضُضْ نَ ِم ْن اَب‬
ِ ‫ْص‬
Artinya : “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga
pandangannya dan memelihara kemaluannya…”

Kedua ayat diatas, memerintahkan kepada suami (laki-laki) mukmin untuk menahan
pandangan dan kemaluannya, termasuk memelihara jangan sampai sperma yang keluar dari
farjinya ditaburkan kepada wanita lain yang bukan istrinya. Begitu juga dengan istri (perempuan)
diperintahkan untuk menjaga kemaluannya termasuk jangan sampai farjinya menerima sperma
yang bukan berasal dari suaminya.

Dewan Pimpinan Majelis Ulama Islam menyampaikan bahwa “ Bayi tabung yang sperma
dan ovumnya diambil dari salah satu pasangan bukan suami-istri yang sah hukumnya haram,
karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis diluar pernikahan yang
tidak sah (zina), dan berdasarkan kaidah sadd az-zari’ah yaitu untuk menghindari terjadinya
perbuatan zina.”

Dari ketiga jenis bayi tabung diatas, jenis bayi tabung dengan menggunakan cara yang
pertama merupakan cara yang diperbolehkan dalam islam sehingga bisa diambil sebagai ikhtiar
bagi pasangan suami istri yang sulit mendapatkan keturunan secara alami.

Anda mungkin juga menyukai