ABSTRAK
Salah satu alasan rendahnya produksi jagung manis di Indonesia adalah kurangnya Kata Kunci:
ketersediaan bibit yang berkualitas dan kurang akuratnya teknis budidaya. Salah satu
upaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi jagung manis adalah dengan Pupuk Boron;
menetapkan rasio tanaman induk jantan dan betina dan penambahan boron pupuk pada Produksi dan
tanaman jantan. Penelitian ini dilakukan di Desa Kotes, Gandosari, Blitar dengan Kualitas Benih
ketinggian di atas 60 m dpl. Dilaksanakan dengan menggunakan rancangan kelompok Jagung;
petak terpisah (RBD) dengan 3 faktor dan 2 ulangan. Faktor pertama adalah rasio tanaman
yang terdiri dari 1: 4, 1: 5 dan 1: 6. Faktor kedua adalah penambahan pupuk boron yang Rasio Tanaman
terdiri dari 0 kg / ha (kontrol) dan 15 kg / ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Induk Jantan
perlakuan rasio tanaman induk jantan dan betina berpengaruh secara nyata pada dan Betina;
parameter jumlah biji setiap tongkol, berat 100 biji, perkecambahan dan kecepatan
perkecambahan. Rasio tanaman induk dari 1: 5 (R2) menunjukkan hasil terbaik dengan
menghasilkan 219,50 biji setiap tongkol dan viabilitas benih 83,67%, dan 32,75% untuk
kecepatan perkecambahan biji. Adapun perlakuan pemupukan boron sangat berbeda
nyata pada berat serbuk sari dan viabilitas serbuk sari. Pupuk Boron dengan dosis 15 kg
/ ha (B2) menunjukkan hasil terbaik pada produksi serbuk sari dan viabilitas serbuk sari
masing-masing 1,91 gram / tanaman dan 7,19%. Ada interaksi yang berbeda nyata antara
rasio tanaman induk dan pupuk boron pada jumlah biji di setiap tongkol. Kombinasi rasio
tanaman induk 1:5 dan pemupukan boron menunjukkan hasil terbaik pada jumlah rata-
rata benih dengan 232,30 biji pada setiap tongkol.
ABSTRACT
Keywords: One reason of low production sweet corn in Indonesia is the lack of availability quality
seeds and less accurate at cultivation technicals. One effort that can be used to increase
Boron the production sweet corn is by setting a ratio of male and female parent plants and the
Fertilizer; addition boron fertilizer on male plants. The research was conducted at Kotes Village,
Gandosari, Blitar a height above 60 m asl. And conducted split-plot design (RBD) with
Production and
3 factors and 2 replications. The first factor was ratio plants consisting of 1: 4, 1:5 and
Seed Corn
1:6. The second factor was an addition of boron fertilizer consisting of 0 kg/ha (control)
Quality;
and 15 kg/ha. The results showed that treatment ratio male and female parent plants
Ratio Male and significant effect on the parameters of seeds number each cob, a weight of 100 seeds,
Female germination and speed germination. Parent plant ratio of 1:5 (R2) showed the best
Parental; results by produce 219,50 seeds each cob and seed viability 83,67%, and 32,75% for
seed speed germination. As for boron fertilizer treatment was highly significant on the
weight of pollen and pollen viability. Boron fertilizer with a dose 15 kg/ha (B2) showed
the best results on the pollen production and pollen viability by 1.91 gram/plant and
7,19%, respectively. There was a significant interaction between parent plant ratio and
boron fertilizer on the number of seeds in each cob. The combination parent plant ratio
1:5 and boron fertilizer application showed the best result on the average number of seed
by 232,30 seedson each cob.
kandungan 48% yang berasal dari pupuk polen. Garg et al. (1979) menyatakan
boron sesuai dengan dosis perlakuan. bahwa perbaikan viabilitas serbuk sari
pada tanaman padi merupakan efek
Viabilitas Serbuk Sari (Polen) stimulasi boron dalam meningkatkan
Polen merupakan pembawa materi ketersediaan gula, aktivitas enzimatik, dan
genetik jantan kepada gametofit betina respirasi yang diperlukan untuk perbaikan
ketika terjadi fertilisasi. Pengujian pertumbuhan serbuk sari. Pemberian boron
viabilitas polen pada kegiatan penelitian ini juga menunjukkan respons yang positif
dilakukan dengan menggunakan metode terhadap peningkatan produksi biji
perkecambahan secara in vitro. tanaman tomat dan paprika (Sharma,
Berdasarkan hasil rangkuman sidik ragam 1999).
pada Tabel 1, perlakuan rasio tanaman Viabilitas polen merupakan kemam-
induk jantan dan betina (r), serta interaksi puan untuk hidup yang ditunjukkan oleh
antara rasio tanaman dengan pupuk boron pertumbuhan atau gejala metabolisme.
(r*b) tidak menunjukan adanya perbedaan Kelly, Rasch, & Kalisz, (2002)
yang nyata terhadap viabilitas serbuk sari menyatakan bahwa kualitas polen dapat
pada bunga jagung manis. Akan tetapi pada ditentukan dari tingkat viabilitasnya.
perlakuan pupuk boron (b), menunjukkan Fertilisasi tidak mungkin dapat terjadi
perbedaan yang sangat nyata. tanpa kehadiran polen dengan viabilitas
Hasil uji DMRT taraf 5% untuk yang tinggi. Polen dengan viabilitas tinggi
perlakuan dosis pupuk boron terhadap akan lebih dahulu membuahi sel telur,
parameter viabilitas serbuk sari pada sehingga sel telur yang dibuahi lebih awal
tanaman jagung manis disajikan pada akan lebih dahulu berkembang menjadi
Tabel 2 di bawah ini. embrio dari pada sel telur yang dibuahi
kemudian. Embrio yang terbentuk lebih
Tabel 2. Rerata Viabilitas Polen awal mempunyai kesempatan yang lebih
Perlakuan Pupuk Rerata Viabilitas baik untuk memanfaatkan fotosintat untuk
Boron Polen pertumbuhan dan perkembangannya dalam
b1 (Kontrol) 6,00 a pembentukan biji sehingga dengan
b2 (15 kg) 7,19 b demikian embrio tersebut dapat
berkembang menjadi biji yang memiliki
Keterangan :
Angka-angka yang diikiuti dengan huruf kecil yang viabilitas yang tinggi (Hoekstra, 1983).
sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji Hasil rerata viabilitas polen pada
DMRT taraf 5% perlakuan kontrol (b1) dan Pupuk Boron
(b2) menunjukkan hasil dengan viabilitas
Berdasarkan Tabel 2 di atas tampak sesuai standar PT. East West Seed
bahwa perlakuan pupuk boron Indonesia yaitu 1% untuk semua crop.
memberikan pengaruh yang sangat nyata Polen yang mempunyai viabilitas dengan
terhadap viabilitas polen. Aplikasi pupuk perkecambahan normal memiliki ciri-ciri
boron ini (b2) mampu meningkatkan berwarna merah dan polen yang tidak
viabilitas polen jagung manis dengan rerata viabel tetap transparan seperti yang terlihat
7,19%, sedangkan perlakuan kontrol (b1) pada Gambar 1.
memberikan hasil dengan rerata 5,72%.
Serbuk sari yang viabel merupakan syarat
untuk pembentukan biji dan kapsul (Knox,
1997). Salah satu usaha untuk
memperbaiki pembentukan biji dapat
dilakukan melalui peningkatan viabilitas
tanaman 1:4 dan lebih kecil dari rasio Hal ini diduga pada kombinasi perlakuan
tanaman 1:6. Dengan jarak tersebut proses tersebut serbuk sari bunga tanaman jantan
penyerbukan atau jatuhnya serbuk sari ke kurang mencukupi untuk menyerbuki
rambut betina lebih tepat, karena dalam tanaman betina yang berjumlah 6.
proses penyerbukan tanaman jagung faktor
yang berperan adalah angin dan setiap Bobot 100 Butir
daerah mempunyai kelembapan serta Hasil analisis sidik ragam pada Tabel
kecepatan angin yang berbeda. Semakin 1 menunjukkan bahwa perlakuan rasio
tinggi kecepatan angin maka semakin jauh tanaman (r) memberikan pengaruh yang
serbuk sari terjatuh. Berdasarkan data nyata terhadap berat kering 100 biji,
Badan Meteorologi dan Geofisika, sedangkan faktor aplikasi pupuk boron
kecepatan angin di kota Blitar pada bulan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
Oktober 2015 adalah 25 km/jam. terhadap berat kering 100 biji. Hasil uji
Penyerbukan tanaman jagung juga dapat lanjut dengan uji DMRT (Duncan Multiple
disebabkan oleh faktor genetik dari suatu Range Test) taraf eror 5% dapat dilihat
galur, dimana pengaruh genetik merupakan pada Tabel 4 berikut.
pengaruh keturunan yang dimiliki oleh
setiap galur (Mahdiannoor dan Istiqomah, Tabel 4. Rerata Jumlah Bobot 100 Butir
2015). Setiap galur mempunyai berat dan (gram) Perlakuan Rasio Tanaman
jumlah polen yang berbeda sehingga Perlakuan Rasio Rerata Bobot 100
semakin ringan sebuah polen pada tanaman Tanaman Butir
maka semakin mudah polen terbawa jauh r3 (1:6) 9,56 a
oleh angin. Sitompul and Guritno (1995) r1 (1:4) 9,63 ab
dalam (Mahdiannor & Istiqomah, 2015) r2 (1:5) 9,90 b
menambahkan bahwa faktor genetis Keterangan :
tanaman merupakan salah satu penyebab Angka-angka yang diikiuti dengan huruf kecil yang
sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji
perbedaan antara tanaman satu dengan
DMRT taraf 5%
lainnya.
Dari Tabel 4 di atas menunjukkan
Tabel 3. Jumlah Biji Pertongkol Pada
bahwa perlakuan rasio tanaman 1:5 (r2)
Rasio Tanaman (r) dan Pupuk
memiliki berat 100 butir benih lebih tinggi
Boron (b)
yakni 9,90 gram yang berbeda nyata
Rerata Jumlah Biji dengan perlakuan rasio tanaman 1:6 (r3)
Perlakuan
Pertongkol dan perlakuan rasio tanaman 1:4 (r1). Hal
r3 b1 153,75 a ini diduga karena benih yang dihasilkan
r1 b2 173,55 a pada perlakuan 1:5 lebih bernas sehingga
r3 b2 174,10 a bobot pada perlakuan ini lebih besar dari
r1 b1 181,60 b perlakuan yang lain. Rahimi et al. (2011)
r2 b1 206,70 c menambahkan bahwa tinggi rendahnya
r2 b2 232,30 d berat biji tergantung dari banyak atau
Keterangan : Angka-angka yang diikiuti dengan tidaknya bahan kering yang terkandung
huruf kecil yang sama menunjukan tidak berbeda
nyata pada uji DMRT taraf 5% dalam biji. Bahan kering dalam biji
diperoleh dari hasil fotosintesis yang
Sedangkan pada kombinasi selanjutnya dapat digunakan untuk
perlakuan rasio tanaman 1:6 dengan pengisian biji.
perlakuan tanpa penambahan pupuk boron Selain itu Mugnisjah et al. (1994)
(r3b1), memberikan hasil jumlah biji juga menyatakan bahwa rata-rata bobot biji
pertongkol paling rendah yaitu 153,75 biji. sangat ditentukan oleh bentuk dan ukuran
biji pada suatu varietas. Biji dari sebuah mencapai 83,67% yang berbeda nyata
tongkol jagung memiliki ukuran, bobot dan dengan perlakuan rasio tanaman 1:6 (r3)
bentuk yang bervariasi keragaman ini dan rasio tanaman 1:4 (r2). Hasil tersebut
terjadi disebabkan waktu terjadinya memperlihatkan bahwa rasio tanaman 1:5
fertilisasi yang bergantung pada proses biji (r2) tidak hanya memiliki keunggulan
di tongkol. Biji yang berada di sekitar 1- 2 dalam pertumbuhan dan hasil produksi
inci dari pangkal adalah yang pertama namun juga pada mutu benih. Angka
terbentuk. Biji pada ujung tongkol baru 83,67% telah melewati nilai SNI yang
terbentuk 4 - 6 hari setelah biji pada ditetapkan untuk kualitas benih dalam
pangkal tongkol terbentuk (Azrai, 2017) kemasan berlebel adalah 70 – 80%.
.Sedangkan bobot 100 butir benih tidak Ningsih (2014) menyatakan bahwa
dipengaruhi oleh pupuk boron. Mugnisjah daya kecambah berhubungan dengan bobot
et al. (1994) menyatakan bahwa rata-rata 100 butir. Bobot 100 butir benih pada
bobot biji sangat ditentukan oleh bentuk tanaman dengan perlakuan rasio tanaman
dan ukuran biji pada suatu varietas. Lebih 1:6 lebih rendah yakni 79,67 %. Sehingga
lanjut Ismunadji et al. (1988) dapat dikatakan bahwa pada perlakuan
menambahkan bahwa apabila tidak tersebut ukuran benihnya lebih kecil
terjadinya perbedaan pada ukuran biji dengan cadangan makanan di dalam benih
maka yang berperan adalah faktor genetik. yang lebih sedikit serta energi yang
disimpan untuk proses perkecambahan
Daya Kecambah Benih (DB) lebih kecil. Oleh karena itu daya
Berdasarkan hasil Tabel 1, perlakuan perkecambahan lebih rendah.
rasio tanaman induk jantan dan betina (r)
berpengaruh nyata terhadap daya Kecepatan Tumbuh Benih (KCT)
kecambah benih. Sedangkan perlakuan Berdasarkan hasil sidik ragam pada
pemberian pupuk boron (b) dan interaksi Tabel 1, perlakuan rasio tanaman induk
antara rasio tanaman serta pemberian jantan dan betina (r) berpengaruh nyata
pupuk boron pada tanaman jantan (r*b) terhadap daya kecambah benih. Sedangkan
tidak menunjukan adanya perbedaan yang perlakuan pemberian pupuk boron (b) dan
nyata pada daya kecambah benih. Hasil interaksi antara rasio tanaman serta
dengan uji DMRT (Duncan Multiple pemberian pupuk boron pada tanaman
Range Test) taraf eror 5% dapat dilihat jantan (r*b) tidak menunjukan adanya
pada Tabel 5. perbedaan yang nyata pada daya kecambah
benih. Hasil uji DMRT (Duncan Multiple
Tabel 5. Rerata Daya Kecambah Perlakuan Range Test) Perlakuan Rasio Tanaman
Rasio Tanaman terhadap daya kecambah pada taraf eror
Perlakuan Rasio Rerata Daya 5% dapat dilihat pada (Tabel 6).
Tanaman Kecambah Tabel 6 menunjukkan bahwa
r3 (1:6) 79,67 a perlakuan rasio tanaman 1:5 (r2)
r1 (1:4) 80,21 ab menghasilkan kecambah normal mencapai
r2 (1:5) 83,67 b 32,75 %/etmal yang berbeda nyata dengan
Keterangan : perlakuan rasio tanaman 1:4 (r1) dan rasio
Angka-angka yang diikiuti dengan huruf kecil yang tanaman 1:6 (r3). Hasil tersebut sejalan
sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji dengan daya kecambah yang dihasilkan
DMRT taraf 5%
oleh perlakuan 1:5 (r2) dimana pada
Dari Tabel 5 diatas menunjukkan perlakuan tersebut (r2) memiliki daya
bahwa perlakuan rasio tanaman 1:5 (r1) kecambah yang lebih tinggi dibandingkan
mampu menghasilkan kecambah normal dengan perlakuan rasio tanaman (1:4) dan
1:6 (r3). Seperti yang telah diungkapkan suboptimal. Berdasarkan hasil yang
diatas bahwa perlakuan rasio tanaman 1:5 didapat pada masing-masing perlakuan
(r2) memiliki bobot 100 butir terbaik, yang rasio tanaman diatas, semua perlakuan
artinya benih yang dihasilkan lebih bernas. menunjukkan hasil kecepatan
Sehingga dari benih yang bernas tersebut, pekecambahan diatas 30 % semua, maka
banyak cadangan makanan yang tersimpan benih-benih ini memiliki kecepatan
di dalam kotiledon dan menyebabkan tumbuh yang kuat. Hal ini sesuai dengan
benih mengalami metabolisme yang lebih pendapat Sadjad (1993), yang juga
aktif sehingga hal ini mendorong benih memberi kriteria bila benih mempunyai
untuk lebih cepat berkecambah. kecepatan tumbuh lebih besar dari 30 %
artinya benih tersebut memiliki vigor
Tabel 6. Rerata Kecepatan Tumbuh Benih kecepatan tumbuh yang kuat.
Perlakuan Rasio Tanaman Akan tetapi nilai kecepatan tumbuh
Perlakuan Rerata benih (KCT) pada seluruh perlakuan masih
Rasio Tanaman Kecepatan Tumbuh memenuhi standar vigor dengan kriteria
r3 (1:6) 30,34 a baik, di mana rata-rata vigor yang baik
r1 (1:4) 30,74 a berkisar antara 25%/etmal – 30%/etmal
(Sadjad, 1993).
r2 (1:5) 32,75 b
Keterangan : KESIMPULAN
Angka-angka yang diikiuti dengan huruf kecil yang
sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji Hasil penelitian ini dapat
DMRT taraf 5% disimpulkan bahwa:
Perlakuan rasio tanaman
Hasil pada uji kecepatan tumbuh berpengaruh sangat nyata (**) pada
menunjukkan kemampuan benih untuk parameter Jumlah Biji Pertongkol dan
berkecambah secara cepat pada kisaran Bobot 100 Butir, berpengaruh nyata (*)
hari itu. Kemampuan benih yang cepat terhadap parameter Daya Kecambah dan
untuk berkecambah tentunya didukung Kecepatan Tumbuh Benih. Rasio Tanaman
oleh nilai daya kecambah dari setiap benih 1:5 (r2) menghasilkan jumlah biji
yang menunjukkan viabilitas yang tinggi. pertongkol dan mutu benih tertinggi yaitu
Semakin tinggi jumlah hari yang sebesar 219.50 biji/tongkol, DB 83.67 %,
diperlukan untuk suatu proses KCT 32.75 %.
perkecambahan maka semakin rendah nilai Untuk perlakuan pupuk boron
indeks kecepatan perkecambahan yang berpengaruh sangat nyata (**) pada
didapatkan. Artinya bahwa semakin lama parameter Berat Pollen dan Viabilitas
jumlah hari yang dibutuhkan untuk Pollen. Aplikasi Pupuk Boron dengan
perkecambahan menunjukan bahwa indeks dosis 15 kg/ha (b2) menunjukkan hasil
kecepatan perkecambahan kecil (Sahilatua, terbaik pada produksi dan viabilitas pollen
1992). Nilai indeks kecepatan yaitu 1.91 gram/tanaman dan viabilitas
perkecambahan yang rendah menunjukan 7.19 %.
bahwa benih tersebut membutuhkan Terdapat interaksi yang nyata (*)
jumlah hari yang lebih lama yang antara rasio tanaman dan pupuk boron
dibutuhkan oleh suatu benih untuk proses terhadap jumlah biji pertongkol.
perkecambahan. Kombinasi rasio tanaman 1:5 dan aplikasi
Kecepatan tumbuh mengindikasikan pupuk boron (r2b2) menghasilkan jumlah
vigor kekuatan tumbuh benih karena benih biji pertongkol tertinggi yaitu 232.30
yang cepat tumbuh lebih mampu biji/tongkol.
menghadapi kondisi lapang yang
Mouradov, A., Cremer, F., & Coupland, G. Sharma, S. K. (1999). Effect of Boron and
(2002). Control of Flowering Time. Calcium on Seed Production of Bell-
The Plant Cell, 14(suppl 1), S111– Pepper (Capsicum annuum L.).
S130. https://doi.org/10.1105/tpc. Vegetable Science, 26(1), 87–88.
001362
Sitompul, S. M., & Guritno, B. (1995).
Mugnisjah, Setiawan W. Q. A., & Sania. Analisis Pertumbuhan Tanaman.
(1994). Panduan Praktikum dan Yogyakarta: Gadjah Mada University
Penelitian Bidang Teknologi Benih. Press.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sutopo, L. (2002). Teknologi Benih.
Ningsih, R. (2015). Aplikasi Paclobutrazol Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
dan Pemupukan NPK Terhadap
Produksi dan Mutu Benih Padi Warid. (2009). Korelasi Metode
(Oryza sativa L.) (Skripsi). Politeknik Pengecambahan In Vitro dengan
Negeri Jember. Pewarnaan dalam Pengujian
Viabilitas Polen. (Sripsi). Institut
Rahimi, Zuhry, Z., & Nurbaiti, E. (2011). Pertanian Bogor.
Pengaruh Jarak Tanam Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Padi
Sawah (Oryza sativa L.) Varietas
Batang Piaman dengan Metode
System of Rice Intensification (SRI)
di Padang Marpoyan Pekanbaru.
Jurnal. Fakultas Pertanian.
Universitas Riau, 7–13.