Anda di halaman 1dari 8

MATA KULIAH : OPINI PUBLIK DAN PENCITRAAN

DOSEN : Andi Muttaqin Mustari.,S.Sos.,M.Si

TUGAS MID SEMESTER OPINI PUBLIK DAN PENCITRAAN

Oleh :

Hasriani Desy Putri Hasan Stambuk : 06520200297

FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
Pandemi virus Corona sampai saat ini telah menyebar di 210 negara termasuk
Indonesia. Bagi Indonesia, ini menjadi tantangan multidimensi. Pemerintah dan
masyarakat dihadapkan pada berbagai keputusan sulit baik itu di sektor kesehatan,
sosial, ekonomi, maupun politik. Untuk merekam perspektif masyarakat terkait
kondisi krisis Covid-19 di Indonesia, Periode pengumpulan data dilakukan pada
tanggal 27 April -18 Mei 2020 dan menjangkau 1100 responden dari seluruh
provinsi di Indonesia. Beberapa hal menarik ditemukan dalam penelitian ini. Hasil
survei memperlihatkan bahwa 87% responden merasa bahwa virus Corona
membahayakan kesehatan mereka dan 65% responden merasa takut tertular virus
yang sampai tanggal 19 Mei 2020 kemarin menyebabkan kematian 1.191 orang di
Indonesia dan lebih dari 300.000 orang di seluruh dunia.
Selain itu, beberapa ditemukan bahwa kebijakan pemerintah untuk
membatasi penyebaran virus Corona dengan pelarangan mudik ternyata
mendapatkan dukungan mayoritas. Sebanyak 86% responden di seluruh Indonesia
mendukung kebijakan pelarangan mudik. Ini menjadi hal menarik mengingat
mudik telah menjadi ritual sosial masyarakat Indonesia. Namun demikian,
mayoritas masyarakat mengakui pandemi virus Corona dan penanganannya
dirasakan sangat mengganggu kondisi perekonomian mereka. Lebih dari 90%
responden menyatakan bahwa kondisi perekonomian keluarga mereka terganggu
karena adanya pandemi Covid-19. Meskipun begitu, hanya 32% responden yang
merasa marah terhadap kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang
membuat mereka tidak bisa melakukan hal-hal yang biasanya mereka lakukan.
Sejalan dengan itu, riset memperlihatkan 70% responden menyatakan bahwa
mereka puas dengan kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat dalam pengatasi
permasalahan Corona. Namun hal ini sangat mungkin untuk berubah mengingat
disaat yang bersamaan, 72% responden juga setuju dengan pernyataan bahwa
pemerintah kewalahan dalam mengatasi permasalahan virus Corona di Indonesia.
Selain itu, 46% responden merasa bahwa mereka tidak memiliki pengaruh atas
keputusan pemerintah dalam penanganan Covid-19.

Dalam hal pencarian sumber informasi, ditemukan bahwa lebih banyak


masyarakat yang mengandalkan informasi dari media massa dibandingkan dengan
informasi langsung dari pemerintah. Hal ini terlihat dari pengakuan 82%
responden yang mengaku sering mendapatkan informasi Covid-19 melalui siaran
TV swasta dan 58% responden mengaku sering menonton siaran TVRI Pusat dan
TVRI Daerah untuk mendapatkan informasi seputar Corona.
Selain dari media massa, hasil survei juga memperlihatkan bahwa
masyarakat lebih banyak mencari informasi melalui website asosiasi kesehatan
atau dokter dibandingkan website resmi pemerintah dalam krisis Covid-19.
Temuan ini sejalan dengan trend internasional bahwa masyarakat memiliki
kepercayaan tinggi terhadap ahli kesehatan dalam pandemi Covid-19 ini.
Tingginya pola konsumsi televisi untuk mendapat informasi seputar krisis Covid-
19 di Indonesia ini juga searah dengan tren internasional. Penelitian serupa yang
dilakukan oleh tim peneliti TU Ilmenau di Jerman menunjukkan bahwa tren
penggunaan televisi oleh masyarakat Jerman dalam masa krisis juga
memperlihatkan gambaran serupa. Hanya bedanya, penggunaan TV publik di
Jerman dalam mendapatkan informasi seputar Corona jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan TV swasta.
Meskipun demikian, kondisi ini menunjukan bahwa produk jurnalistik
masih dinilai penting sebagai sumber informasi masyarakat di masa krisis. Maka
tidak heran bahwa 90% responden menyatakan setuju bahwa jurnalis berperan
penting dalam memberikan informasi yang dibutuhkan seputar Corona. Selain
perolehan data di atas, secara keseluruhan terdapat 111 pertanyaan tentang
persepsi, sikap dan emosi masyarakat terhadap pandemi Covid-19 dan bagaimana
publik menggunakan media untuk mencari informasi seputar virus Corona selama
beberapa minggu terakhir.
Hingga saat ini, banyak negara termasuk Indonesia belum mampu
menghentikan penyebarannya karena belum ditemukan obat atau vaksinnya.
Pandemi Covid-19 belum juga bisa dikatakan berakhir, namun kehidupan harus
terus berjalan. Apakah kita mau terus hidup dengan pembatasan? Mengisolasi diri
di rumah terus menerus? Sudah pasti jawabannya tidak. Tentunya kita ingin
kembali bekerja, belajar, dan beribadah, serta bersosialisasi/beraktivitas agar bisa
produktif di era pandemi ini. Jika hal tersebut tidak dilakukan, cepat atau lambat
akan berdampak pada berbagai sektor, baik sosial, budaya, pertumbuhan ekonomi
akan mengalami perlambatan, industri tidak berjalan, atau masyarakat kehilangan
penghasilan. Untuk itu, masyarakat harus mulai beradaptasi dengan kebiasaan
hidup baru atau disebut dengan ‘new normal life’, sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh Ketua Tim Pakar Gugus Percepatan Penanganan Covid-19, Bapak
Wiku Adisasmito. New normal adalah perubahan perilaku untuk tetap melakukan
aktivitas normal dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah
terjadinya penularan Covid-19. Secara sederhana, new normal ini hanya
melanjutkan kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan saat diberlakukannya
karantina wilayah atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dengan
diberlakukannya new normal, kita mulai melakukan aktifitas di luar rumah dengan
tetap mematuhi protokol kesehatan yang telah diatur oleh pemerintah, yaitu
memakai masker bila keluar dari rumah, sering mencuci tangan dengan sabun, dan
tetap menjaga jarak serta menghindari kerumunan orang untuk mencegah
penularan virus corona.
Sejak mewabahnya Covid-19, guna menghindari terjadinya penularan,
sebagian besar aktivitas dilakukan melalui daring (online) seperti kegiatan rapat
yang selama ini dilaksanakan bersama-sama dalam suatu ruangan, sekarang
menggunakan aplikasi Zoom, begitu juga dengan aktifitas belajar mengajar.
Dengan diberlakukan new normal, mau tidak mau para pelajar akan kembali
belajar ke sekolah, tentunya dengan protokol kesehatan dan keamanan yang
menjamin mereka dari penularan virus.
Tatanan kehidupan baru, bisa dilakukan setelah adanya indikasi penurunan
kurva penyebaran angka Covid-19 menurun. Tersedianya fasilitas kesehatan yang
mumpuni dan pengawasan yang ketat. Inilah yang menjadi tanggung jawab kita
bersama dalam menghadapi new normal di tengah pandemi Covid-19. Pemerintah
sendiri sudah memberikan panduan dengan mengeluarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor HK 01.07/MENKES/328/2020 tanggal 20
Mei 2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di tempat
kerja perkantoran dan industri dalam mendukung keberlangsungan usaha pada
situasi pandemi Covid-19. Ada beberapa tindakan yang harus dilaksanakan oleh
manajemen maupun pekerja apabila menetapkan pegawainya untuk kembali
bekerja di kantor, mulai dari berangkat kantor, tiba di kantor, hingga pulang ke
rumah harus mematuhi semua protokol kesehatan. Bagi perkantoran yang telah
menerapkan new normal di tempat kerja, protokol kesehatan juga seharusnya
dilaksanakan, diantaranya adalah melakukan pengukuran suhu tubuh di pada saat
memasuki ruangan tempat kerja, mewajibkan semua pegawai menggunakan
masker selama di tempat kerja, larangan masuk bagi pegawai yang memiliki
gejala demam/nyeri tenggorokan/batuk/pilek/sesak nafas.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan tak henti-hentinya melakukan
sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat agar memahami protokol kesehatan
yang harus dilakukan dimanapun kita berada, baik di rumah, di kantor, di sekolah,
tempat ibadah termasuk tempat-tempat keramaian umum seperti pasar dan mal.
Tujuan dari new normal ini adalah agar masyarakat tetap produktif dan aman dari
penularan Covid-19 di tengah masa pandemi.
Sejak pemerintah mengumumkan vaksinasi Covid-19 di Indonesia, masyarakat
telah dihadapkan dengan berbagai dilema pemberlakuan kebijakan ini. Melihat
aktivitas masyarakat di media sosial media, masih ditemukan seruan kelompok
yang menolak vaksin Covid-19. Bahkan, terdapat 49,9 persen dari total 601
responden menolak untuk menjadi penerima vaksin Covid-19 pertama. Dari
survei CfDS yang dilakukan di bulan Februari 2021 berdasarkan tingkat
pendidikan dan persepsi terhadap vaksin Covid-19 disebutkan mayoritas
masyarakat Indonesia yang berpendidikan tinggi (diploma-S3) menganggap
vaksin Covid-19 penting, baik untuk diri sendiri maupun keluarga. Sementara
jenis atau merek vaksin yang paling banyak dirujuk diantaranya Sinovac (41,8
persen), Pzifer, dan Biofarma.
“Masyarakat menilai vaksin harus bersifat wajib, terlepas dari gratis atau
tidaknya. Meski begitu masih terdapat hampir 40 persen masyarakat tidak setuju
dengan kebijakan wajib vaksin Covid-19 yang mayoritas merupakan masyarakat
berpendidikan tinggi, dan ini secara langsung berdampak pada persepsi negatif
masyarakat yang menyurutkan kesediaan untuk menerima vaksin," ujar Amelinda
Pandu Kusumaningtyas, peneliti CfDS, Rabu (24/3) saat jumpa pers via Google
Meets. Amelinda menyebut hasil penelitian CfDS memperlihatkan sebagian besar
masyarakat Indonesia pengguna layanan digital mengakses informasi Covid-19
melalui lini sosial media, dan sebanyak 81,5 persen diantaranya masih
bersinggungan dengan berbagai bentuk postingan yang memuat teori konspirasi.
Menurutny, mayoritas masyarakat masih percaya dengan teori konspirasi elite
global yang menyatakan bahwa vaksin Covid-19 dibuat demi keuntungan
korporasi farmasi, ataupun untuk memasukan microchip dalam tubuh manusia.
“Belum lagi ada masyarakat Indonesia juga masih percaya dengan paparan
informasi hoaks bila kesembuhan pasien bisa dengan kalung anti Covid-19,"
ucapnya.
sebaran hoaks dan konspirasi terkait Covid-19, CfDS juga melakukan analisis
yang mendalam dengan memanfaatkan data dari cuitan dan postingan netizen di
berbagai platform sosial media. Iradat Wirid menyebut dari pengambilan data
sejak Maret 2020-Februari 2021 terdapat lebih dari 18.400 cuitan di Twitter yang
memuat “Tolak Vaksin” atau “Anti Vaksin”.
Bersamaan dengan postingan masyarakat tersebut, katanya, lebih dari 1.000 cuitan
merujuk pada bantahan terhadap penolakan vaksin Covid-19 Sinovac. Sementara
lebih dari 4.000 cuitan mengandung kata „PDIP‟, „rakyat‟, „PKI‟ dan „Pemerintah‟
sebagai bentuk penolakan balik postingan Anggota DPR Ribka Tjiptaning yang
tidak mendukung vaksin Covid-19. “Sama halnya pada platform berbagi video
Youtube, terdapat 11 video teratas yang membahas mengenai penolakan Ribka
Tjiptaning, dengan penonton lebih dari 13 juta pengguna dan 62.000 komentar,"
ungkapnya.
Berbeda dengan Twitter, kata Iradat, pada kolom komentar Youtube di
video tersebut lebih banyak memuat dukungan terhadap anggota DPR Ribka
Tjiptaning untuk menolak vaksin Covid-19. Sementara di platform Instagram,
terdapat berbagai akun yang dengan jelas menampilkan video atau foto dengan
wacana konspirasi. “Salah satunya: „Injeksi MRNA Moderna adalah sistem
operasi yang dirancang untuk memprogram manusia dan meretas fungsi
biologisnya‟, hingga upaya mengajak „apa yang perlu kita lakukan setelah
menolak vaksin?‟. Iradat menambahkan bahwa platform dengan basis audio dan
visual (Instagram dan Youtube) lebih banyak digunakan untuk membangun
wacana penolakan atas vaksin Covid-19, dan netizen akan ikut berkomentar
sejalan dengan isi konten tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan survei dan
analisis mendalam yang dilakukan CfDS melihat informasi media sosial di
berbagai platform berpengaruh terhadap pandangan masyarakat/netizen.
“Pengaruh tersebut membentuk persepsinya dalam keikutsertaan program
vaksinasi Covid-19 pemerintah,".

Anda mungkin juga menyukai