Anda di halaman 1dari 4

MATA KULIAH : OPINI PUBLIK

DOSEN : Andi Muttaqin Mustari., S.Sos., M.Si

TUGAS MID OPINI PUBLIK MENGENAI CONTOH KASUS POLLING

Oleh :

1. Jenria Ayu Ramdhani Nahnu Stambuk : 06520200285

FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
Virus yang menyebabkan COVID-19 bisa saja mulai menyebar di China pada awal Oktober
2019, dua bulan sebelum kasus pertama diidentifikasi di pusat kota Wuhan, sebuah studi baru
menunjukkan pada Jumat.

Para peneliti dari Universitas Kent Inggris menggunakan metode dari ilmu konservasi untuk
memperkirakan bahwa SARS-CoV-2 pertama kali muncul dari awal Oktober hingga
pertengahan November 2019, menurut sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal PLOS
Pathogens.

Tanggal kemunculan virus yang paling mungkin adalah 17 November 2019, dan mungkin
sudah menyebar secara global pada Januari 2020, mereka memperkirakan. Kasus COVID-19
resmi pertama China terjadi pada Desember 2019 dan dikaitkan dengan pasar makanan laut
Huanan di Wuhan.

Namun, beberapa kasus awal tidak memiliki hubungan yang diketahui dengan Huanan,
menyiratkan bahwa SARS-CoV-2 sudah beredar sebelum mencapai pasar. Sebuah studi
bersama yang diterbitkan oleh China dan Organisasi Kesehatan Dunia pada akhir Maret
mengakui mungkin ada infeksi sporadis pada manusia sebelum wabah Wuhan.

Dalam sebuah makalah yang dirilis minggu ini sebagai pracetak, Jesse Bloom dari Pusat
Penelitian Kanker Fred Hutchinson di Seattle memulihkan data pengurutan yang dihapus dari
kasus awal COVID-19 di China.

Data menunjukkan bahwa sampel yang diambil dari pasar Huanan "tidak mewakili" SARS-
CoV-2 secara keseluruhan, dan merupakan varian dari urutan nenek moyang yang beredar lebih
awal dan menyebar ke bagian lain China. Kritikus mengatakan penghapusan data adalah bukti
lebih lanjut bahwa China berusaha menutupi asal-usul COVID-19.

"Mengapa para ilmuwan meminta basis data internasional untuk menghapus data penting yang
memberi tahu kita tentang bagaimana COVID-19 dimulai di Wuhan?" kata Alina Chan,
seorang peneliti di Harvard's Broad Institute, menulis di Twitter. "Itulah pertanyaan yang bisa
kamu jawab sendiri."

Sampel serum masih perlu diuji untuk membuat kasus yang lebih kuat tentang asal-usul
COVID-19, kata Stuart Turville, profesor di Kirby Institute, sebuah organisasi penelitian medis
Australia yang menanggapi studi University of Kent.

"Sayangnya dengan tekanan hipotesis kebocoran laboratorium saat ini dan kepekaan dalam
melakukan penelitian lanjutan ini di China, mungkin perlu waktu sampai kita melihat laporan
seperti itu," katanya.
Pandemi Covid-19 merupakan masa sulit yang membuat sebagian orang harus berhadapan
dengan masalah kesehatan mental, termasuk depresi dan kecemasan.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada Sabtu (9/10), menunjukkan kasus depresi dan
kecemasan sendiri melonjak lebih dari seperempat secara global selama tahun pertama
pandemi.

Dalam perkiraan pertama di seluruh dunia tentang dampak kesehatan mental dari Covid-19,
para peneliti memperkirakan bahwa pada 2020 terdapat tambahan 52 juta orang menderita
gangguan depresi mayor, dan tambahan 76 juta kasus kecemasan.
Menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet, angka tersebut menandai
peningkatan 28 dan 26 persen dalam masing-masing masalah kesehatan mental itu.

Sebagaimana dilansir AFP, Covid-19 telah merenggut hampir 5 juta nyawa sejak muncul pada
akhir 2019, tetapi para ahli mengatakan ini mungkin di bawah angka sebenarnya.

Pilihan Redaksi
Jangan Sepelekan Lelah, Gejala Long Covid Syndrome
Studi: Hipertensi di Usia Muda Terkait dengan Otak yang Kecil
Hiperseksual: Ciri-Ciri, Penyebab, dan Cara Mengatasinya
Studi menunjukkan bahwa negara-negara yang paling terpukul dibebani dengan beban
kesehatan mental terbesar, dengan hubungan kuat antara tingkat kasus Covid-19 yang tinggi,
pembatasan pergerakan, dan peningkatan tingkat depresi dan kecemasan.

"Temuan kami menyoroti kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem kesehatan mental
untuk mengatasi beban gangguan depresi dan kecemasan yang meningkat di seluruh dunia,"
kata penulis utama studi Damian Santomauro, dari University of Queensland's School of Public
Health.

"Memenuhi permintaan tambahan untuk layanan kesehatan mental karena COVID-19 akan
menjadi tantangan, tetapi tidak mengambil tindakan tidak boleh menjadi pilihan."

Studi ini menganalisis data yang dikumpulkan di seluruh Amerika Utara, Eropa, dan peneliti
Asia Timur memodelkan prevalensi depresi dan kecemasan.

Seandainya pandemi tidak terjadi, 193 juta kasus depresi diperkirakan akan terjadi. Sementara
karena pandemi, terdapat 246 juta kasus yang diamati selama 2020.

Demikian pula untuk kecemasan, model memperkirakan 298 juta kasus kecemasan secara
global tanpa Covid-19, tapi jumlah sebenarnya tahun lalu adalah 374 juta.

Analisis menunjukkan bahwa perempuan menderita secara tidak proporsional, terutama karena
langkah-langkah pandemi memperburuk ketidaksetaraan kesehatan dan sosial yang ada di
sebagian besar negara.

Perawatan tambahan dan tugas rumah tangga sebagian besar masih menjadi tanggung jawab
perempuan, dan perempuan jauh lebih mungkin menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga, yang melonjak selama pandemi.

Studi tersebut juga menunjukkan, penutupan sekolah dan perguruan tinggi membatasi
kemampuan anak muda untuk belajar, berinteraksi dengan teman sebaya, dan mendapatkan
pekerjaan, yang menyebabkan dampak kesehatan mental yang besar di antara anak muda
berusia 20-24 tahun.

"Pandemi COVID-19 telah memperburuk banyak ketidaksetaraan yang ada, dan determinan
sosial dari gangguan kesehatan mental, dan mekanisme yang mendasari untuk meningkatkan
kesehatan mental dalam konteks pandemi COVID-19 secara global," kata Alize Ferrari, dari
University of Queensland.

"Sangat penting bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan faktor-faktor mendasar


seperti ini sebagai bagian dari langkah-langkah untuk memperkuat layanan kesehatan mental."

Baca artikel CNN Indonesia "Studi: Kasus Depresi dan Kecemasan Naik saat Pandemi Covid"
selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20211009093509-255-
705506/studi-kasus-depresi-dan-kecemasan-naik-saat-pandemi-covid.
https://app.cnnindonesia.com/

Anda mungkin juga menyukai