Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

PUBLIKASI DATA IDENTITAS PASIEN COVID-19

MATA KULIAH
SISTEM INFORMASI KESEHATAN

DOSEN : RISTA DIAN A. S.TR. Keb. M. H

DISUSUN OLEH:

INDARSIH
NIM (2020050103)

STIKES HUSADA JOMBANG


PRODI S 1 KEBIDANAN
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmad dan hidayahnya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “ Publikasi Data
Identitas Pasien Covid-19 ” untuk menyelesaikan tugas mata kulia Sistem Informasi
Kesehatan.
Dalam penulisan makalah ini saya berupaya untuk semaksimal mungkin untuk
mengaplikasikan ilmu yang kita peroleh selama pembelajaran kuliah, kami
mengucapkan terimkasih kepada :
1. Zeny Fatmawati, SST,. MPH, selaku Kaprodi STIKES Husada Jombang..
2. Rista Dian A, S.TR. Keb, M. H, selaku dosen mata kuliah Sistem Informasi
Kesehatan, terimakasih untuk bimbingan dan arahannya selama proses
pembelajaran.
3. Teman-teman Prodi S1 Kebidanan STIKES Husada Jombang yang selalu
memberikan semangat.
Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari sepenuhnya, adanya
kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Untuk kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para dosen dan pembaca sangat kami harapkan, demi kesempurnaan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi saya selaku
penulis pada khusnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Tuban, 07 Desember 2020

Rini Hastutik

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 2
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ............................................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Epidemiologi ................................................................................................... 4
2.2 Etiologi ........................................................................................................... 5
2.3 Penularan ........................................................................................................ 6
2.4 Manifestasi klinis ............................................................................................ 7
2.5 Diagnosis ........................................................................................................ 8
2.6 Definisi operasional ....................................................................................... 8
2.7 Tata laksana ................................................................................................... 10
2.8 Pencegahan dan Pengendalian ....................................................................... 15
2.9 Publikasi data identitas pasien Covid-19 ....................................................... 23

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 28
3.2. Saran ........................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 30

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada Desember 2019, kasus pneumonia misterius pertama kali dilaporkan
di Wuhan, Provinsi Hubei. Sumber penularan kasus ini masih belum diketahui
pasti, tetapi kasus pertama dikaitkan dengan pasar ikan di Wuhan.1 Tanggal 18
Desember hingga 29 Desember 2019, terdapat lima pasien yang dirawat dengan
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).2 Sejak 31 Desember 2019 hingga
3 Januari 2020 kasus ini meningkat pesat, ditandai dengan dilaporkannya
sebanyak 44 kasus. Tidak sampai satu bulan, penyakit ini telah menyebar di
berbagai provinsi lain di China, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan
Awalnya, penyakit ini dinamakan sementara sebagai 2019 novel
coronavirus (2019-nCoV), kemudian WHO mengumumkan nama baru pada 11
Februari 2020 yaitu Coronavirus Disease (Covid-19) yang disebabkan oleh virus
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2).
Virus ini dapat ditularkan dari manusia ke manusia dan telah menyebar
secara luas di China dan lebih dari 190 negara dan teritori lainnya.5 Pada 12
Maret 2020, WHO mengumumkan Covid-19 sebagai pandemik. Hingga tanggal
29 Maret 2020, terdapat 634.835 kasus dan 33.106 jumlah kematian di seluruh
dunia.5 Sementara di Indonesia sudah ditetapkan 1.528 kasus dengan positif
Covid-19 dan 136 kasus kematian.
Covid-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020
sejumlah dua kasus.9 Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi
berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian.10 Tingkat mortalitas Covid-19 di
Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara Per
30 Maret 2020, terdapat 693.224 kasus dan 33.106 kematian di seluruh dunia.
Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi Covid-19, dengan kasus
dan kematian sudah melampaui China. Amerika Serikat menduduki peringkat
pertama dengan kasus Covid-19 terbanyak dengan penambahan kasus baru
sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30 Maret 2020 disusul oleh Spanyol dengan
6.549 kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu
11,3%.

1
Saat ini, penyebaran Covid-19 dari manusia ke manusia menjadi sumber
transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi Covid-19
dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin.
Definisi operasional pada kasus Covid-19 di Indonesia mengacu pada panduan
yang ditetapkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang mengadopsi
dari WHO.
Semakin hari angka kasus confirm pasien yang terinfeksi virus Covid-19
semakin bertambah, sehingga diperlukan perhatian khusus bagi kita semua dan
lebih waspada. Pencegahan dan pengendalian yang harus kita lakukan saat ini
agar meminimalisir penularan Covid-19, saat ini belum tersedia rekomendasi tata
laksana khusus pasien Covid-19, termasuk antivirus atau vaksin. Tata laksana
yang dapat dilakukan adalah terapi simtomatik dan oksigen. Penyebaran penyakit
ini telah memberikan dampak luas secara sosial dan ekonomi. Masih banyak
kontroversi seputar penyakit ini, termasuk dalam aspek penegakkan diagnosis, tata
laksana, hingga pencegahan. Memperhatikan fakta demikian maka penulis tertarik
untuk membuat makalah dengan judul, Publikasi Data Identitas Pasien Covid-19.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana epidemilogi virus Covid-19
2. Bagaimana etiologi virus Covid-19
3. Bagaimana penularan virus Covid-19
4. Bagaimana manifestasi klinis virus Covid-19
5. Bagaimana diagnosis virus Covid-19
6. Bagaimana definisi operasional Virus Covid-19
7. Bagaimana tata laksana virus Covid-19
8. Bagaimana pencegahan dan pengendalian virus Covid-19
9. Bagaimana publikasi data identitas pasien Covid-19
1.3 Tujuan
A. Tujuan Umum
Mengetahui publikasi data identitas pasien Covid-19
B. Tujuan khusus
1. Mengetahui epidemilogi virus Covid-19
2. Mengetahui etiologi virus Covid-19
3. Mengetahui penularan virus Covid-19

2
4. Mengetahui manifestasi klinis virus Covid-19
5. Mengetahui diagnosis virus Covid-19
6. Mengetahui definisi operasional kasus Covid-19
7. Mengetahui tata laksana virus Covid-19
8. Mengetahui pencegahan dan pengendalian Covid-19
9. Mengetahui publikasi data identitas pasien Covid-19

1.4 Manfaat
A. Bagi Penyusun

Dengan adanya pembuatan makalah ini diharapkan bisa menambah


ilmu dan pengetahuan tentang virus Covid-19 dan publikasi data identitas
pasien Covid-19, dan bisa menerapkan teori yang didapat untuk pemberian
asuhan.

B. Bagi institusi pendidikan


Dengan adanya pembuatan makalah ini diharapkan bisa digunakan
sebagai bahan, informasi untuk pembuatan makalah selanjutnya.
C. Bagi masyarakat
Dengan adanya makalah ini bisa membantu untuk meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang virus covid-19, dan bisa
membantu secara materi atau material, memberikan semangat kepada pasien
yang terinfeksi virus Covid-19.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang


disebabkan oleh Coronavirus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan munculnya kasus
pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Wuhan, China pada akhir Desember
2019 (Li et al, 2020). Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi, kasus tersebut
diduga berhubungan dengan Pasar Seafood di Wuhan. Pada tanggal 7 Januari 2020,
Pemerintah China kemudian mengumumkan bahwa penyebab kasus tersebut adalah
Coronavirus jenis baru yang kemudian diberi nama SARS-CoV-2 (Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2).

Virus ini berasal dari famili yang sama dengan virus penyebab SARS dan
MERS. Meskipun berasal dari famili yang sama, namun SARS-CoV-2 lebih menular
dibandingkan dengan SARS-CoV dan MERS-CoV (CDC China, 2020). Proses
penularan yang cepat membuat WHO menetapkan COVID-19 sebagai
KKMMD/PHEIC pada tanggal 30 Januari 2020. Angka kematian kasar bervariasi
tergantung negara dan tergantung pada populasi yang terpengaruh, perkembangan
wabahnya di suatu negara, dan ketersediaan pemeriksaan laboratorium

Thailand merupakan negara pertama di luar China yang melaporkan adanya


kasus COVID-19. Setelah Thailand, negara berikutnya yang melaporkan kasus
pertama COVID-19 adalah Jepang dan Korea Selatan yang kemudian berkembang ke
negara-negara lain. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020, WHO melaporkan
10.185.374 kasus konfirmasi dengan 503.862 kematian di seluruh dunia (CFR 4,9%).
Negara yang paling banyak melaporkan kasus konfirmasi adalah Amerika Serikat,
Brazil, Rusia, India, dan United Kingdom. Sementara, negara dengan angka kematian
paling tinggi adalah Amerika Serikat, United Kingdom, Italia, Perancis, dan Spanyol.

Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal 2 Maret 2020


dan jumlahnya terus bertambah hingga sekarang. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020
Kementerian Kesehatan melaporkan 56.385 kasus konfirmasi COVID-19 dengan
2.875 kasus meninggal (CFR 5,1%) yang tersebar di 34 provinsi. Sebanyak 51,5%

4
kasus terjadi pada laki-laki. Kasus paling banyak terjadi pada rentang usia 45-54 tahun
dan paling sedikit terjadi pada usia 0-5 tahun. Angka kematian tertinggi ditemukan
pada pasien dengan usia 55-64 tahun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa
kasus paling banyak terjadi pada pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun dan
paling sedikit terjadi pada usia <10 tahun (1%). Sebanyak 81% kasus merupakan
kasus yang ringan, 14% parah, dan 5% kritis (Wu Z dan McGoogan JM, 2020). Orang
dengan usia lanjut atau yang memiliki penyakit bawaan diketahui lebih berisiko untuk
mengalami penyakit yang lebih parah. Usia lanjut juga diduga berhubungan dengan
tingkat kematian. CDC China melaporkan bahwa CFR pada pasien dengan usia . 80
tahun adalah 14,8%, sementara CFR keseluruhan hanya 2,3%. Hal yang sama juga
ditemukan pada penelitian di Italia, di mana CFR pada usia . 80 tahun adalah 20,2%,
sementara CFR keseluruhan adalah 7,2% (Onder G, Rezza G, Brusaferro S, 2020).
Tingkat kematian juga dipengaruhi oleh adanya penyakit bawaan pada pasien. Tingkat
10,5% ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, 7,3% pada pasien
dengan diabetes, 6,3% pada pasien dengan penyakit pernapasan kronis, 6% pada
pasien dengan hipertensi, dan 5,6% pada pasien dengan kanker.

2.2 Etiologi
Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family
coronavirus. Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul
dan tidak bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada Coronavirus yaitu:
protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S
(spike), protein E (selubung). Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga
Coronaviridae. Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau
manusia. Terdapat 4 genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus,
gammacoronavirus, dan deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-19, ada 6
jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu HCoV-229E
(alphacoronavirus), HCoV-OC43 (betacoronavirus), HCoVNL63
(alphacoronavirus) HCoV-HKU1 (betacoronavirus), SARS-CoV
(betacoronavirus), dan MERS-CoV (betacoronavirus).
Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus
betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik, dan
berdiameter 60-140 nm. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini

5
masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah
SARS pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini, International
Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan nama penyebab
COVID-19 sebagai SARS-CoV-2.
Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19 bertahan di atas
permukaan, tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis coronavirus lainnya.
Lamanya coronavirus bertahan mungkin dipengaruhi kondisi-kondisi yang
berbeda (seperti jenis permukaan, suhu atau kelembapan lingkungan). Penelitian
(Doremalen et al, 2020) menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat bertahan
selama 72 jam pada permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada
tembaga dan kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus corona lain, SARS-
COV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas. Efektif dapat dinonaktifkan
dengan pelarut lemak (lipidsolvents) seperti eter, etanol 75%, ethanol, disinfektan
yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform (kecuali
khlorheksidin).

2.3 Penularan
Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).
Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke
manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber
penularan COVID-19 ini masih belum diketahui.
Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari
namun dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari
pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang
yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam sebelum onset
gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala. Sebuah studi
Du Z et. al, (2020) melaporkan bahwa 12,6% menunjukkan penularan presimptomatik.
Penting untuk mengetahui periode presimptomatik karena memungkinkan virus
menyebar melalui droplet atau kontak dengan benda yang terkontaminasi. Sebagai
tambahan, bahwa terdapat kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik),
meskipun risiko penularan sangat rendah akan tetapi masih ada kemungkinan kecil
untuk terjadi penularan.
Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa
COVID-19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke orang lain

6
yang berada jarak dekat melalui droplet. Droplet merupakan partikel berisi air dengan
diameter >5-10 μm. Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat
(dalam 1 meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk
atau bersin) sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau
konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang
terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena itu, penularan
virus COVID-19 dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi
dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau
benda yang digunakan pada orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop atau
termometer).
Dalam konteks COVID-19, transmisi melalui udara dapat dimungkinkan dalam
keadaan khusus dimana prosedur atau perawatan suportif yang menghasilkan aerosol
seperti intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction terbuka, pemberian pengobatan
nebulisasi, ventilasi manual sebelum intubasi, mengubah pasien ke posisi tengkurap,
memutus koneksi ventilator, ventilasi tekanan positif non-invasif, trakeostomi, dan
resusitasi kardiopulmoner. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai
transmisi melalui udara.

2.4 Manifestasi Klinis


Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara
bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan tetap
merasa sehat. Gejala COVID-19 yang paling umum adalah demam, rasa lelah, dan
batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung
tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit tenggorokan, diare, hilang
penciuman dan pembauan atau ruam kulit.
Menurut data dari negara-negara yang terkena dampak awal pandemi, 40%
kasus akan mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang
termasuk pneumonia, 15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5% kasus akan
mengalami kondisi kritis. Pasien dengan gejala ringan dilaporkan sembuh setelah 1
minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multi-organ, termasuk gagal ginjal atau gagal
jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan
kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, gangguan
jantung dan paru, diabetes dan kanker berisiko lebih besar mengalami keparahan.

7
2.5. Diagnosis
WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien
yang terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode
deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan
RT-PCR.

2.6 Definisi Operasional


Pada bagian ini, dijelaskan definisi operasional kasus COVID-19 yaitu
Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, Pelaku
Perjalanan, Discarded, Selesai Isolasi, dan Kematian. Untuk Kasus Suspek, Kasus
Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, istilah yang digunakan pada pedoman
sebelumnya adalah Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan
(PDP), Orang Tanpa Gejala (OTG).
1. Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pada 14 hari
terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di
negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal.
b. Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi/probable COVID-19.
c. Orang dengan ISPA berat/pneumonia bera yang membutuhkan perawatan di
rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis
yang meyakinkan.
2. Kasus Probable
Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS/meninggal dengan gambaran
klinis yang meyakinkan COVID-19 DAN belum ada hasil pemeriksaan
laboratorium RT-PCR.

8
3. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang
dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus konfirmasi
dibagi menjadi 2:
a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)
4. Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable
ataukonfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable ataukasus konfirmasi
dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu15 menit atau lebih.
b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi(seperti
bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasusprobable atau
konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuaistandar.
d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian
risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat.
5. Pelaku Perjalanan
Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri
(domestik)maupun luar negeri pada 14 hari terakhir.
6. Discarded
Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan RT-PCR 2
kali negatif selama 2 hari berturut-turut dengan selang waktu >24 jam.
b. Seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan masa
karantina selama 14 hari.
7. Selesai Isolasi
Selesai isolasi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) yang tidak dilakukan
pemeriksaan follow up RT-PCR dengan ditambah 10 hari isolasi mandiri
sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.
b. Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang tidak
dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR dihitung 10 hari sejak tanggal

9
onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan
gejala demam dan gangguan pernapasan.
c. Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang
mendapatkan hasil pemeriksaan follow up RT-PCR 1 kali negatif, dengan
ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan
gangguan pernapasan.
.
8. Kematian
Kematian COVID-19 untuk kepentingan surveilans adalah kasus
konfirmasi/probable COVID-19 yang meninggal.
2.7 Tata laksana
saat ini, belum ada vaksin dan obat yang spesifik untuk mencegah atau
mengobati Hingga COVID-19. Pengobatan ditujukan sebagai terapi simptomatis
dan suportif. Ada beberapa kandidat vaksin dan obat tertentu yang masih diteliti
melalui uji klinis
Terapi dan Penatalaksanaan Klinis Pasien COVID-19
Penatalaksanaan klinis dilakukan pada pasien COVID-19 tanpa gejala,
sakit ringan, sakit sedang, sakit berat, kondisi kritis, dan pada kondisi tertentu.
Berikut tata laksana klinis pasien terkonfirmasi COVID-19:
1. Tatalaksana Klinis Pasien terkonfirmasi COVID-19 Tanpa Gejala, Sakit Ringan
Atau Sakit Sedang
a. Pasien terkonfirmasi tanpa gejala
Pada prinsipnya pasien terkonfirmasi COVID-19 yang tanpa gejala
tidak memerlukan rawat inap di Rumah Sakit, tetapi pasien harus menjalani
isolasi selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi, baik
isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan
pemerintah.
Isolasi ini penting untuk mengurangi tingkat penularan yang terjadi di
masyarakat. Pasien yang menjalani isolasi harus menjalankan aturan-aturan
terkait PPI dan dilakukan monitoring secara berkala baik melalui kunjungan
rumah maupun secara telemedicine oleh petugas FKTP. Pasien sebaiknya
diberikan leaflet berisi hal-hal yang harus diketahui dan dilaksanakan, pasien
diminta melakukan pengukuran suhu tubuh sebanyak dua kali sehari. Setelah
10 hari pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.

10
b. Pasien terkonfirmasi sakit ringan
Pada prinsipnya tatalaksana pasien terkonfirmasi COVID-19 yang
mengalami sakit ringan sama dengan pasien terkonfirmasi yang tanpa gejala.
pasien harus menjalani isolasi minimal selama 10 hari sejak muncul gejala
ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernafasan. Isolasi dapat
dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan
Pemerintah. Pasien yang sakit ringan dapat diberikan pengobatan simptomatik
misalnya pemberian anti-piretik bila mengalami demam. Pasien harus
diberikan informasi mengenai gejala dan tanda perburukan yang mungkin
terjadi dan nomor contact person yang dapat dia hubungi sewaktu-waktu
apabila gejala tersebut muncul. Petugas FKTP diharapkan proaktif untuk
melakukan pemantauan kondisi pasien. Setelah melewati masa isolasi pasien
akan kontrol ke FKTP terdekat.
c. Pasien terkonfirmasi sakit sedang dan pasien sakit ringan dengan penyulit
Pasien terkonfirmasi COVID-19 yang mengalami sakit sedang dan pasien
yang sakit ringan tetapi memiliki faktor penyulit atau komorbid akan menjalani
perawatan di Rumah Sakit.
Prinsip tatalaksana untuk pasien yang sakit sedang adalah pemberian
terapi simptomatis untuk gejala yang ada dan fungsi pemantauan, dilaksanakan
sampai gejala menghilang dan pasien memenuhi kriteria untuk dipulangkan dari
Rumah Sakit
2. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang Sakit Berat
a. Terapi Suportif Dini dan Pemantauan
Pemberian terapi suplementasi oksigen segera pada pasien ISPA berat
dan pasien yang mengalami distress pernapasan, hipoksemia, atau syok.
1) Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5 L/menit dengan nasal kanul dan
titrasi untuk mencapai target SpO2 ≥90% pada anak dan orang dewasa, serta
SpO2 ≥ 92% - 95% pada pasien hamil.
2) Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi napas atau apneu,
distres pernapasan berat, sianosis sentral, syok, koma, atau kejang) harus
diberikan terapi oksigen selama resusitasi untuk mencapai target SpO2 ≥
94%;
3) Semua pasien dengan ISPA berat dipantau menggunakan pulse oksimetr dan
sistem oksigen harus berfungsi dengan baik, dan semua alat-alat untuk

11
menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup
dengan kantong reservoir) harus digunakan sekali pakai.
b. Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk menghantarkan
oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong
reservoir) yang terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti COVID-19.
Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami
perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan suportif
secepat mungkin.
1) Pasien COVID-19 yang menjalani rawat inap memerlukan pemantauan vital
sign secar memungkinkan menggunakan sistem kewaspadaan dini (misalnya
NEWS2) untuk memantau perburukan klinis yang dialami pasien.
2) Pemeriksaan darah lengkap, kimia darah dan EKG harus dilakukan pada
waktu pasien masuk perawatan untuk mengetahui dan memantau komplikasi
yang mungkin dialami oleh pasien seperti: acute liver injury, acute kidney
injury, acute cardiac injury atau syok.
3) Setelah melakukan tindakan resusitasi dan stabilisasi pasien yang sedang
hamil, harus dilakukan monitoring untuk kondisi janin.
c. Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan pengobatan dan
penilaian prognosisnya.
Perlu menentukan terapi mana yang harus dilanjutkan dan terapi mana
yang harus dihentikan sementara. Berkomunikasi secara proaktif dengan
pasien dan keluarga dengan memberikan dukungan dan informasi prognostik.
d. Melakukan manajemen cairan secara konservatif pada pasien dengan ISPA berat
tanpa syok.
Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati dalam pemberian cairan
intravena, karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk oksigenasi,
terutama dalam kondisi keterbatasan ketersediaan ventilasi mekanik.
3. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 Pada Kondisi Tertentu
a. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi pada kasus yang
dicurigai mengalami sepsis (termasuk dalam pengawasan COVID-19) yang
diberikan secepatnya dalam waktu 1 jam setelah dilakukan asesmen.
Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan semua etiologi yang
memungkinkan (pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial atau sepsis)
berdasarkan data epidemiologi, peta kuman penyebab, serta pedoman

12
pengobatan yang berlaku. Terapi empirik harus di de-ekskalasi apabila sudah
didapatkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan penilaian klinis.
b. Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan sesuai dengan
kondisi kehamilannya.a rutin dan apabila pelayanan persalinan dan terminasi
kehamilan perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti usia kehamilan,
kondisi ibu dan janin. Perlu dikonsultasikan ke dokter kandungan, dokter anak,
dokter lain sesuai kondisi kehamilannya, dan konsultan intensive care.
c. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk pengobatan
pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis kecuali terdapat alasan
lain.
Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi dapat
menyebabkan efek samping yang serius pada pasien dengan ISPA berat/SARI,
termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi baru bakteri dan
replikasi virus mungkin berkepanjangan. Oleh karena itu, kortikosteroid harus
dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan lain.
d. Perawatan pada Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang berusia lanjut
1) Perawatan pasien terkonfirmasi COVID-19 berusia lanjut memerlukan
pendekatan multidisipliner antara dokter, perawat, petugas farmasi dan tenaga
kesehatan yang lain dalam proses pengambilan keputusan mengingat masalah
multi-morbiditas dan penurunan fungsional tubuh.
2) Perubahan fisiologis terkait umur akan menurunkan fungsi intrinsik pasien
seperti malnutrisi, penurunan fungsi kognitif dan gejala depresi. Deteksi dini
mengenai kemungkinan pemberian obat yang tidak tepat harus dilakukan
untuk menghindari munculnya kejadian tidak diharapkan dan interaksi obat
untuk pasien lanjut usia.
Orang berusia lanjut memiliki resiko yang lebih besar mengalami
polifarmasi, dengan adanya pemberian obat-obat baru terkait COVID-19 maka
diperlukan koordinasi dengan caregiver atau keluarga selama proses
tatalaksana COVID-19 untuk menghindari dampak negatif terhadap kesehatan
pasien.
e. Perawatan pada Pasien COVID-19 anak
Terapi definitif untuk COVID-19 masih belum diketahui, tidak ada obat
yang efikasi dan keamanannya terbukti. Beberapa terapi masih dalam evaluasi
(terutama pada dewasa), penggunaan pada kasus COVID-19 pada anak masih

13
dalam penelitian. Pemberian antivirus maupun hidroksiklorokuin harus
mempertimbangkan derajat beratnya penyakit, komorbid dan persetujuan orang
tua. Perawatan isolasi pada pasien balita dan anak yang belum mandiri dilakukan
sesuai dengan standar.

4. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang Sakit Kritis


a. Manajemen Gagal Napas Hipoksemi dan ARDS
1) Mengenali gagal napas hipoksemi ketika pasien dengan distress pernapasan
mengalami kegagalan terapi oksigen standar
Pasien dapat mengalami peningkatan kerja pernapasan atau hipoksemi
walaupun telah diberikan oksigen melalui sungkup tutup muka dengan kantong
reservoir (10 sampai 15 L/menit, aliran minimal yang dibutuhkan untuk
mengembangkan kantong; FiO2 antara 0,60 dan 0,95). Gagal napas hipoksemi
pada ARDS terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau pirau/pintasan
dan biasanya membutuhkan ventilasi mekanik.
2) Oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow Nasal Oxygen/HFNO) atau ventilasi
non invasif (NIV), hanya pada pasien gagal napas hipoksemi tertentu, dan
pasien tersebut harus dipantau ketat untuk menilai terjadi perburukan klinis.
3) Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas terlatih dan berpengalaman
dengan memperhatikan kewaspadaan transmisi airborne Pasien dengan ARDS,
terutama anak kecil, obesitas atau hamil, dapat mengalami desaturasi dengan
cepat selama intubasi. Pasien dilakukan preoksigenasi sebelum intubasi dengan
Fraksi Oksigen (FiO2) 100% selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan
kantong udara, bag-valve mask, HFNO atau NIV dan kemudian dilanjutkan
dengan intubasi.

4) Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal yang rendah (4-8 ml/kg prediksi
berat badan, Predicted Body Weight/PBW) dan tekanan inspirasi rendah
(tekanan plateau <30 cmH2O). Sangat direkomendasikan untuk pasien ARDS
dan disarankan pada pasien gagal napas karena sepsis yang tidak memenuhi
kriteria ARDS.

14
2.8 Pencegahan Dan Pengendalian

Masyarakat memiliki peran penting dalam memutus mata rantai


penularan COVID-19 agar tidak menimbulkan sumber penularan baru. Mengingat
cara penularannya berdasarkan droplet infection dari individu ke individu, maka
penularan dapat terjadi baik di rumah, perjalanan, tempat kerja, tempat ibadah,
tempat wisata maupun tempat lain dimana terdapat orang berinteaksi sosial.
Prinsipnya pencegahan dan pengendalian COVID-19 di masyarakat dilakukan
dengan:

1. Pencegahan penularan pada individu

Penularan COVID-19 terjadi melalui droplet yang mengandung virus


SARS-CoV-2 yang masuk ke dalam tubuh melalui hidung, mulut dan mata,
untuk itu pencegahan penularan COVID-19 pada individu dilakukan dengan
beberapa tindakan, seperti:

a. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun dan air
mengalir selama 40-60 detik atau menggunakan cairan antiseptik berbasis
alkohol (handsanitizer) minimal 20 – 30 detik. Hindari menyentuh mata,
hidung dan mulut dengan tangan yang tidak bersih.
b. Menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan
mulut jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain yang
tidak diketahui status kesehatannya (yang mungkin dapat menularkan
COVID-19).
c. Menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari
terkena droplet dari orang yang yang batuk atau bersin. Jika tidak
memungkin melakukan jaga jarak maka dapat dilakukan dengan berbagai
rekayasa administrasi dan teknis lainnya.
d. Membatasi diri terhadap interaksi / kontak dengan orang lain yang tidak
diketahui status kesehatannya.
e. Saat tiba di rumah setelah bepergian, segera mandi dan berganti pakaian
sebelum kontak dengan anggota keluarga di rumah.
f. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan pola hidup bersih dan
sehat (PHBS) seperti konsumsi gizi seimbang, aktivitas fisik minimal 30
menit sehari, istirahat yang cukup termasuk pemanfaatan kesehatan

15
tradisional. Pemanfaatan kesehatan tradisional, salah satunya dilakukan
dengan melaksanakan asuhan mandiri kesehatan tradisional melalui
pemanfaatan Taman Obat Keluarga (TOGA) dan akupresur, yang meliputi;
 Cara kesehatan tradisional untuk meningkatkan dayatahan tubuh
 Cara kesehatan tradisional untuk meningkatkan nafsumakan
 Cara kesehatan tradisional untuk mengatasi susah tidur
 Cara kesehatan tradisional untuk mengatasi stress
 Cara kesehatan tradisional untuk mengurangi keinginanmerokok
g. Mengelola penyakit penyerta/komorbid agar tetap terkontrol
h. Mengelola kesehatan jiwa dan psikososial

Kondisi kesehatan jiwa dan kondisi optimal dari psikososialdapat


tingkatkan melalui:

 Emosi positif: gembira, senang dengan cara melakukankegiatan dan hobi


yang disukai, baik sendiri maupunbersama keluarga atau teman dengan
mempertimbangkanaturan pembatasan sosial berskala besar di daerah
masing-masing.
 Pikiran positif: menjauhkan dari informasi hoax,mengenang semua
pengalaman yang menyenangkan, bicarapada diri sendiri tentang hal yang
positif (positive self-talk),responsif (mencari solusi) terhadap kejadian, dan
selaluyakin bahwa pandemi akan segera teratasi;
 Hubungan sosial yang positif: memberi pujian, memberiharapan antar
sesama, saling mengingatkan cara-cara positif, meningkatkan ikatan emosi
dalam keluarga dan kelompok, menghindari diskusi yang negatif, tetap
melakukan komunikasi secara daring dengan keluarga dan kerabat.
i. Apabila sakit menerapkan etika batuk dan bersin. Jika berlanjutsegera
berkonsultasi dengan dokter/tenaga kesehatan.
j. Menerapkan adaptasi kebiasaan baru dengan melaksanakanprotokol kesehatan
dalam setiap aktivitas.
2. Perlindungan kesehatan pada masyarakat

COVID-19 merupakan penyakit yang tingkat penularannya cukup


tinggi, sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan kesehatan masyarakat
yang dilakukan secara komprehensif. Perlindungan kesehatan masyarakat

16
bertujuan mencegah terjadinya penularan dalam skala luas yang dapat
menimbulkan beban besar terhadap fasyankes. Tingkat penularan COVID-19
di masyarakat dipengaruhioleh adanya pergerakan orang, interaksi antar
manusia danberkumpulnya banyak orang, untuk itu perlindungan kesehatan
masyarakat harus dilakukan oleh semua unsur yang ada dimasyarakat baik
pemerintah, dunia usaha, aparat penegak hukumserta komponen masyarakat
lainnya. Adapun perlindungan kesehatan masyarakat dilakukan melalui,

a. Upaya pencegahan (prevent)


 Kegiatan promosi kesehatan (promote) dilakukan melalui sosialisasi,
edukasi, dan penggunaan berbagai media informasi untuk memberikan
pengertian dan pemahaman bagi semua orang, serta keteladanan dari
pimpinan, tokoh masyarakat, dan melalui media mainstream.
 Kegiatan perlindungan (protect) antara lain dilakukan melalui penyediaan
sarana cuci tangan pakai sabun yang mudah diakses dan memenuhi standar
atau penyediaan handsanitizer, upaya penapisan kesehatan orang yang
akan masuk ke tempat dan fasilitas umum, pengaturan jaga jarak,
disinfeksi terhadap permukaan, ruangan, dan peralatan secara berkala,
serta penegakkan kedisplinan pada perilaku masyarakat yang berisiko
dalam penularan dan tertularnya COVID-19 seperti berkerumun, tidak
menggunakan masker, merokok di tempat dan fasilitas umum dan lain
sebagainya.
b. Upaya penemuan kasus (detect)
 Deteksi dini untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19 dapat dilakukan
semua unsur dan kelompok masyarakat melalui koordinasi dengan dinas
kesehatan setempat atau fasyankes.
 Melakukan pemantauan kondisi kesehatan (gejala demam, batuk, pilek,
nyeri tenggorokan, dan/atau sesak nafas) terhadap semua orang yang
berada di lokasi kegiatan tertentu seperti tempat kerja, tempat dan fasilitas
umum atau kegiatan lainnya.
c. Unsur penanganan secara cepat dan efektif (respond)

Melakukan penanganan untuk mencegah terjadinya penyebaran yang


lebih luas, antara lain berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat atau

17
fasyankes untuk melakukan pelacakan kontak erat, pemeriksaan
laboratorium serta penanganan lain sesuai kebutuhan. Penanganan
kesehatan masyarakat terkait respond adanya kasus COVID-meliputi:

1) Pembatasan Fisik dan Pembatasan Sosial

Pembatasan fisik harus diterapkan oleh setiap individu. Pembatasan


fisik merupakan kegiatan jaga jarak fisik (physical distancing) antar individu
yang dilakukan dengan cara:

a) Dilarang berdekatan atau kontak fisik dengan orang mengatur jaga jarak
minimal 1 meter, tidak bersalaman, tidak berpelukan dan berciuman
b) Hindari penggunaan transportasi publik (seperti kereta, bus, dan angkot) yang
tidak perlu, sebisa mungkin hindari jam sibuk ketika berpergian.
c) Bekerja dari rumah (Work from Home), jika memungkinkan dan kantor
memberlakukan ini.
d) Dilarang berkumpul massal di kerumunan dan fasilitas umum
e) Hindari bepergian ke luar kota/luar negeri termasuk ke tempat-tempat wisata
f) Hindari berkumpul teman dan keluarga, termasuk berkunjung atau
bersilaturahmi atau mengunjungi orang sakit atau melahirkan tatap muka dan
menunda kegiatan bersama. Hubungi mereka dengan telepon, internet, dan
media sosial
g) Gunakan telepon atau layanan online untuk menghubungi dokter atau fasilitas
lainnya
h) Jika anda sakit, dilarang mengunjungi orang tua/lanjut usia. Jika anda tinggal
satu rumah dengan mereka, maka hindari interaksi langsung dengan mereka
dan pakai masker kain meski di dalam rumah
i) Untuk sementara waktu, anak sebaiknya bermain bersama keluarganya
sendiri di rumah
j) Untuk sementara waktu, dapat melaksanakan ibadah di rumah
k) Jika terpaksa keluar harus menggunakan masker kain
l) Membersihkan /disinfeksi rumah, tempat usaha, tempat kerja, tempat ibadah,
kendaraan dan tempat tempat umum secara berkala

18
m) Dalam adaptasi kebiasaan baru, maka membatasi jumlah pengunjung dan
waktu kunjungan, cek suhu pengunjung, menyediakan tempat cuci tangan
pakai sabun dan air mengalir, pengecekan masker dan desinfeksi secara
berkala untuk mall dan tempat tempat umum lainnya
n) Memakai pelindung wajah dan masker kepada para petugas/pedagang yang
berinteraksi dengan banyak orang

Semua orang harus mengikuti ketentuan ini. Kami menghimbau untuk


mengikuti petunjuk ini dengan ketat dan membatasi tatap muka dengan teman
dan keluarga, khususnya jika Anda:

 Berusia 60 tahun keatas


 Memiliki penyakit komorbid (penyakit penyerta) seperti diabetes melitus,
hipertensi, kanker, asma dan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dan
lain- lain
 Ibu hamil

Pada suatu wilayah yang telah terjadi penularan COVID-19 di


komunitas, perlu dilakukan tindakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) untuk mencegah kemungkinan penyebaran COVID-I9 dengan tetap
memperhatikan pembatasan fisik. PSBB diberlakukan berdasarkan pada
pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan
sumber daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan.

PSBB paling sedikit meliputi: meliburkan sekolah dan tempat kerja;


pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat
atau fasilitas umum. Selain itu, pembatasan sosial juga dilakukan dengan
meminta masyarakat untuk mengurangi interaksi sosialnya dengan tetap
tinggal di dalam rumah maupun pembatasan penggunaan transportasi publik.
Penjelasan lebih lengkap mengenai PSBB mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.

19
2) Penerapan Etika Batuk dan Bersin

Menerapkan etika batuk dan bersin meliputi:

a. Jika memiliki gejala batuk bersin, pakailah masker medis. Gunakan


masker dengan tepat, tidak membuka tutup masker dan tidak
menyentuh permukaan masker. Bila tanpa sengaja menyentuh segera
cuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau menggunakan
pembersih tangan berbasis alkohol
b. Jika tidak memiliki masker, saat batuk dan bersin gunakan tisu lalu
langsung buang tisu ke tempat sampah tertutup dan segera cuci tangan
dengan sabun dan air mengalir atau menggunakan pembersih tangan
berbasis alkohol.
c. Jika tidak ada tisu, saat batuk dan bersin tutupi dengan lengan atas
bagian dalam
3) Isolasi Mandiri/Perawatan di Rumah

Isolasi mandiri atau perawatan di rumah dilakukan terhadap orang


yang bergejala ringan dan tanpa kondisi penyerta seperti (penyakit paru,
jantung, ginjal dan kondisi immunocompromise). Tindakan ini dapat
dilakukan pada pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan dan
kontak erat yang bergejala dengan tetap memperhatikan kemungkinan
terjadinya perburukan. Beberapa alasan pasien dirawat di rumah yaitu
perawatan rawat inap tidak tersedia atau tidak aman. Pertimbangan
tersebut harus memperhatikan kondisi klinis dan keamanan lingkungan
pasien. Pertimbangan lokasi dapat dilakukan di rumah, fasilitas umum,
atau alat angkut dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi setempat.
Perlu dilakukan informed consent sebagaimana formulir terlampir
terhadap pasien yang melakukan perawatan rumah.

Penting untuk memastikan bahwa lingkungan tempat pemantauan


kondusif untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan medis yang
diperlukan orang tersebut. Idealnya, satu atau lebih fasilitas umum yang
dapat digunakan untuk pemantauan harus diidentifikasi dan dievaluasi
sebagai salah satu elemen kesiapsiagaan menghadapi COVID-19. Evaluasi
harus dilakukan oleh pejabat atau petugas kesehatan masyarakat.

20
Selama proses pemantauan, pasien harus selalu proaktif
berkomunikasi dengan petugas kesehatan. Petugas kesehatan yang
melakukan pemantauan menggunakan APD minimal berupa masker bedah
dan sarung tangan karet sekali pakai (jika harus kontak dengan cairan
tubuh pasien). Prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi untuk isolasi
di rumah:

a. Tempatkan pasien/orang dalam ruangan tersendiri yang memiliki


ventilasi yang baik (memiliki jendela terbuka, atau pintu terbuka).
b. Batasi pergerakan dan minimalkan berbagi ruangan yang sama.
Pastikan ruangan bersama (seperti dapur, kamar mandi) memiliki
ventilasi yang baik.
c. Anggota keluarga yang lain sebaiknya tidur di kamar yang berbeda, dan
jika tidak memungkinkan maka jaga jarak minimal 1 meter dari pasien
(tidur di tempat tidur berbeda).
d. Batasi jumlah orang yang merawat pasien. Idealnya satu orang yang
benar-benar sehat tanpa memiliki gangguan kesehatan lain atau
gangguan kekebalan. Pengunjung/penjenguk tidak diizinkan sampai
pasien benar-benar sehat dan tidak bergejala.
e. Lakukan hand hygiene (cuci tangan) segera setiap ada kontak dengan
pasien atau lingkungan pasien. Lakukan cuci tangan sebelum dan
setelah menyiapkan makanan, sebelum makan, setelah dari kamar
mandi, dan kapanpun tangan kelihatan kotor. Jika tangan tidak tampak
kotor dapat menggunakan handsanitizer, dan untuk tangan yang
kelihatan kotor menggunakan air dan sabun.
f. Jika mencuci tangan menggunakan air dan sabun, handuk kertas sekali
pakai direkomendasikan. Jika tidak tersedia bisa menggunakan handuk
bersih dan segera ganti jika sudah basah.
g. Pasien menggunakan masker bedah jika berada di sekitar orang-orang
yang berada di rumah atau ketika mengunjungi fasyankes untuk
mencegah penularan melalui droplet. Anak berusia 2 tahun ke bawah
tidak dianjurkan menggunakan masker.
h. Orang yang memberikan perawatan menggunakan masker bedah
terutama jika berada dalam satu ruangan dengan pasien. Masker tidak

21
boleh dipegang selama digunakan. Jika masker kotor atau basah segera
ganti dengan yang baru. Buang masker dengan cara yang benar (jangan
disentuh bagian depan, tapi mulai dari bagian belakang dengan
memegang tali masker). Buang masker bedah segera dan segera cuci
tangan.
i. Gunakan sarung tangan dan masker bedah jika harus memberikan
perawatan mulut atau saluran nafas dan ketika kontak dengan darah,
tinja, air kencing atau cairan tubuh lainnya seperti ludah, dahak, muntah
dan lain-lain. Cuci tangan sebelum dan sesudah membuang sarung
tangan dan masker.
j. Jangan gunakan masker atau sarung tangan yang telah terpakai.
k. Pisahkan alat makan untuk pasien (cuci dengan sabun dan air hangat
setelah dipakai agar dapat digunakan kembali).
l. Bersihkan permukaan di sekitar pasien termasuk toilet dan kamar
mandi secara teratur. Sabun atau detergen rumah tangga dapat
digunakan, kemudian larutan NaOCl 0.5% (setara dengan 1 bagian
larutan pemutih dan 9 bagian air).
m. Cuci pakaian, seprai, handuk, masker kain pasien menggunakan sabun
cuci rumah tangga dan air atau menggunakan mesin cuci dengan suhu
air 60-900C dengan detergen dan keringkan. Tempatkan pada kantong
khusus dan jangan digoyang-goyang, dan hindari kontak langsung kulit
dan pakaian dengan bahan-bahan yang terkontaminasi. Menggunakan
sarung tangan saat mencuci dan selalu mencuci tangan sebelum dan
setelah menggunakan sarung tangan.
n. Sarung tangan, masker dan bahan-bahan sisa lain selama perawatan
harus dibuang di tempat sampah di dalam ruangan pasien yang
kemudian ditutup rapat sebelum dibuang sebagai kotoran infeksius.
o. Hindari kontak dengan barang-barang terkontaminasi lainya seperti
sikat gigi, alat makan-minum, handuk, pakaian dan sprei.
p. Ketika petugas kesehatan memberikan pelayanan kesehatan rumah,
maka selalu perhatikan APD dan ikut rekomendasi pencegahan
penularan penyakit melalui droplet.

22
2.9 Publikasi Data Identitas Pasien Covid-19

Setiap petugas kesehatan, dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan


praktek kedokteran wajib menyimpan kerahasiaan yang menyangkut riwayat
penyakit pasien yang tertuang dalam rekam medik. Rekam medik tersebut hanya
boleh dibuka untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum (Majelis
hakim), permintaan pasien sendiri dan berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Brdasarkan kitab undang-undang hukum acara pidana, rahasia kedokteran (isi
rekam medis) baru dapat dibuka jika diminta oleh hakim majelis di hadapan
sidang majelis, dokter dan dokter gigi bertanggung jawab atas kerahasiaan rekam
medis, sedangkan kepala sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab
menyimpan rekam medis.

Dalam pasal 79 UU Praktik Kedokteran secara tegas mengatur bahwa


setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak membuat rekam medik
pasien dapat di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan
denda paling banyak Rp 50.000.000. Selain tanggung jawab pidana, dokter dan
dokter gigi yang tidak membuat rekam medis juga dapat dikenakan sanksi secara
perdata, karena dokter dan dokter gigi tidak melakukan yang seharusnya
dilakukan (ingkar janji/wanprestasi) dalam hubungan dokter dengan pasien.

Dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis selain medapat
sanksi hukum juga dapat dikenakan sanksi displin dan etika sesuai dengan UU
Parktik Kedokteran, Peraturan KKI, Kode Etik Kedokteran Indonesia. Dalam
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/PER/VII/2006 tentang
tata cara penanganan kasus dugaan pelanggaran disiplin yaitu :

 Pemberian peringatan tertulis


 Pencabutan surat tanda registrasi dan surat izin
 Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteranatau kedokteran gigi.

Selain sanksi disiplin, dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam
medis dapat dikenakan sanksi etik oleh profesi organisasi yaitu Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Gigi (MKEKG). Ada tiga alasan yang menyebabkan para pelayan kesehatan

23
(dokter dan para medis) yang wajib menandatangani rekam medis yang berisi
sejarah perkembangan kesehatan pasien dan ringkasannya, yaitu :

1. Pasien harus dilindungi


2. Tanda tangan dokter yang merawat ityu relevan jika kasus tersebut sampai
dipengadilan
3. Untuk mencegah kegagalan bagi Rumah Sakit dalam memeperoleh akreditasi

Dengan tiga alasan tersebut di atas, maka rekam medis dapat berfungsi
sebagai dokumen hukum yaitu sebagai alat bukti dokumen undang-undang yang
bernilai sebagai keterangan/saksi ahli/”expert wittness” (Periksa pasal 164RIB
untuk perkara perdata, dan pasal 184 KUHP untuk perkara pidana). Dengan
demikian pembubuhan tanda tangan itu sebagai bukti bahwa keputusan yang
diambil oleh pasien itu tanggung jawabnya, sedangkan apa yang dilakukan oleh
pelayan kesehatan (dokter dan paramedik) yang memberikan informasi yang
lengkap dan akurat bertanggungjawab atas kelengkapan dan kenaran
informasinya.

Berikut ini adalah beberapa hal yang berkaitan dengan perlindungan


hukum terhadap identitas pasien COVID-19:

1. Pasien, termasuk di dalamnya pasien COVID-19, mempunyai hak untuk


mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita, termasuk data-
data medisnya. Identitas pasien COVID-19 merupakan privasi pasien, sehingga
identitas pasien COVID-19 harus dijaga kerahasiaannya. (Pasal 32 huruf I
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit)
2. Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien.
Artinya, dokter tidak boleh menyebarkan identitas pasien serta penyakit pasien,
termasuk pasien COVID-19. (Pasal 51 huruf c Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2014 tentang Praktik Kedokteran)
3. Rumah sakit wajib menghormati dan melindungi hak-hak pasien. Apabila
terdapat rumah sakit yang membocorkan data pasien termasuk pasien COVID-
19, rumah sakit tersebut dapat dijatuhi sanksi berupa teguran, teguran tertulis,
denda, bahkan pencabutan izin rumah sakit. (Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit)

24
4. Tidak sembarang orang bisa mengakses data dan identitas pasien. Setiap orang
yang dengan sengaja mengakses riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan
fisik dan psikis seseorang akan dikenakan sanksi. (Pasal 54 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik)

Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan jika


mengungkap identitas orang terinfeksi virus corona (Covid-19) tidak bertentangan
dengan hukum. Sebab, saat ini telah terjadi pandemi Covid-19 secara global.

Ketua Umum PB IDI Daeng M. Faqih mengaku pihaknya sudah


mempelajari dan mempertimbangkan kasus ini. Untuk kemaslahatan dan
kepentingan umum maka kami nyatakan membuka rahasia kedokteran dalam
kondisi sekarang diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan hukum positif
peraturan perundang-undangan. Ini untuk kepentingan umum yang kondisinya
sudah terjadi pandemi yang mengancam kesehatan masyarakat. Dengan
dibukanya identitas pasien kapada publik, ia menjelaskan pemerintah melalui
satuan tugas penanganan Covid-19 bisa lebih efektif melakukan contact tracing
kepada siapapun yang diduga akan terjangkit Covid-19. Ia menegaskan,
mengungkap data pasien itu termasuk nama hingga dimana tempat tinggalnya jadi
hal sangat penting dan mempermudah ketika melakukan contact tracing, Sehingga
kalau mempermudah contact tracing maka diharapkan segera mengatasi penyakit
ini, ujarnya.

Dan memang ada kebijakan pemerintah yang mengatakan rahasia pasien


yang perlu dirahasiakan dan tidak bisa dibuka. Tetapi itu dalam kondisi umum.
Kemudian ketika Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi terinfeksi virus itu
kemudian ada indikasi pemerintah berubah, maka organisasi profesi kesehatan
segera menyampaikan pandangan,", meski kerahasiaan data pasien diatur dalam
empat undang-undang (UU) Lex Specialis yaitu pertama, pasal 48 UU Praktik
Kedokteran, kedua Pasal 57 UU Kesehatan, ketiga diatur pasal 38 UU RS, dan
terakhir diatur di pasal 73 UU 36 tetapi peraturan menteri kesehatan (permenkes)
nomor 36 tahun 2012 yang menyatakan rahasia medis bisa dibuka atas nama
kepentingan umum. Karena itu IDI meminta pemerintah membuka identitas
pasien untuk kepentingan umum. Justru pembukaan data pasien (orang terknfeksi
Covid-19) berupa nama dan alamat maka orang kemudian tahu kalau sudah

25
komunikasi (dengan orang positif Covid-19) maka akan sangat mudah diketahui
orang yang menjalin kontak dan ke rumah sakit. Jadi tidak memudahkan upaya
penularan, ujarnya. Apalagi, dia menambahkan, infeksi Covid-19 bukanlah
sebuah keadaan yang memalukan sehingga tidak akan mendapatkan stigma dan
diskriminasi dari masyarakat. ujarnya saat konferensi pers sikap IDI dan
organisasi profesi kesehatan menyikapi perkembangan hasil rapat dan arahan
Ketua BNPB Selaku Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Infeksi
COVID-19, di kantor IDI, di Jakarta, Senin (16/3).

Menurut pandangan penulis sesuai dengan Undang-undang yang


dipaparkan diatas sebenarnya rekam medis pasien tidak boleh dipublikaskan dan
bersifat rahasia, kecuali untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum
(hakim majelis), permintaan pasien sendiri dan berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Dengan adanya wabah yang terjadi sekarang ini, kasus
Covid-19 ini maka identitas pasien bisa dipublikasi dengan catatan tidak semua
yang berhubungan dengan pasien covid-19 bisa dipublikasikan, masih ada
batasan-batasan yang harus dijaga kerahasiaannya. Karena melakukan publikasi
indentitas pasien covid-19 mempunyai tujuan dan kepentingan dengan banyak
orang.

Dengan dibukanya identitas pasien Covid-19 kepada publik selama masa


pandemi ini, data pasien bisa di publikasikan kepada pihak-pihak yang terkait
dalam proses pemantauan pasien dan kontak eratnya di rumah, seperti bidan desa
pamong setempat, babinsa serta babinkamtibmas. Data tersebut digunakan guna
melihat perkembangan pasien meliputi kesehatan, keadaan ekonomi serta
keamanan pasien jika data tidak kita publikasikan, perkembangan kasus Covid-19
tidak dapat kita pantau karena dampak dari pandemi Covid-19 mempengaruhi
banyak aspek, seperti ekonomi, sosial dll. Menurut penulis data pasien Covid
boleh saja di publikasi kan kepada pihak – pihak terkait degan alasan :

1. Dengan dipublikasikannya data pasien covid-19 diharapkan untuk


memudahkan mengetahui sumber penyebaran wabah virus Covid-19.
2. Dengan mengetahui data pasien pihak terkait dapat membantu pemantauan
pasien dari sisi ekonomi (pihak Pamong Desa), sosial dan keamanan pasien

26
dan lingkungan (Babinsa dan Babinkamtibmas) serta aspek kesehatan pasien
dan warga sekitarnya di pantau oleh bidan desa.
3. Membantu mengurangi persebaran Covid-19, dengan mengetahui data pasien
maka, masyarakat tidak akan melakukan kontak dengan pasien Covid-19,
sehingga akan memutus mata rantai penularannya.
4. Masyarakat menjadi lebih waspada untuk menghindari terjadinya penularan
virus Covid-19.
5. Meningkatkan upaya-upaya pencegahan agar tidak tertular virus Covid-19.
6. Dengan mengetahui data pasien memunculkan peran serta masyarakat sekitar
rumah, untuk pemberian bantuan berupa bahan makanan atau makanan matang
kepada pasien yang terpapar Covid-19.
7. Dengan mengetahui data pasien yang terpapar Covid-19 maka akan
memudahkan petugas untuk melakukan kontak tracking, sehingga mampu
mencegah persebaran virus Covid-19.
8. Dengan di publikasinya data pasien Covid-19 warga yang kontak secara
langsung dengan pasien bisa melaporkan kepada petugas, sehingga bisa di
lakukan tidak lanjut berupa pemeriksaan, isolasi mandiri di rumah atau
penangan di ruang isolasi Rumah Sakit.

Akan tetapi sangat di sayangkan dengan di publish nya data pasien covid-
19, banyak timbul stigma negatif di masyarakat kepada keluarga pasien yang
terpapar Covid-19. Hal tersebut merupakan tugas dari petugas medis beserta lintas
terkait guna memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa tidak perlu
mengucilkan pasien terpapar Covid-19 baik yang masih dalam perawatan
difasilitas kesehatan, proses isolasi mandiri taupun sudah berstatus sembuh.

27
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang


disebabkan oleh Coronavirus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan munculnya kasus
pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Wuhan, China pada akhir Desember
2019 (Li et al, 2020).

Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family coronavirus.


Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak
bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada Coronavirus yaitu: protein N
(nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S (spike), protein E
(selubung). Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).
Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke
manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber
penularan COVID-19 ini masih belum diketahui.

Publikasi data pasien Covid-19 boleh dipublikasikan, mengingat banyak


pertimbangan-pertimbangan. masih ada batasan-batasan yang harus dijaga
kerahasiaannya. Karena melakukan publikasi indentitas pasien covid-19 mempunyai
tujuan dan kepentingan dengan banyak orang. Data pasien bisa di publikasikan kepada
pihak-pihak yang terkait dalam proses pemantauan pasien dan kontak eratnya di
rumah, seperti bidan desa pamong setempat, babinsa serta babinkamtibmas. Data
tersebut digunakan guna melihat perkembangan pasien meliputi kesehatan, keadaan
ekonomi serta keamanan pasien jika data tidak kita publikasikan, perkembangan kasus
Covid-19 tidak dapat kita pantau karena dampak dari pandemi Covid-19 ini
mempengaruhi banyak aspek, seperti ekonomi, sosial dll. Tujuan dipublikasikannya
data pasien covid-19 adalah untuk memudahkan pelacakan sumber penyebaran wabah,
masyarakat bisa lebih waspada untuk menghindari terjadinya penularan virus,
pemerintah maupun petugas di lapangan lebih mudah menelusuri penyebab dan

28
mencegah terjadinya penularan dan untuk melakukan tracking agar mampu mencegah
persebaran virus Covid-19.

3.2 Saran
1. Perlu adanya kerja sama antara lintas sektor, antara pemerintah desa, babinsa
petugas kesehatan dan elemen masyarakat untuk melakukan pencegahan dan
memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19.
2. Tidak melakukan diskriminasi atau mengucilkan pasien yang terpapar Covid-
19.
3. Memberikan dukungan baik secara moril atau materiil pada pasien yang
terpapar Covid-19 sehingga membantu proses penyermbuhan.

29
DAFTAR PUSTAKA

https://www.ponjong.desa.id/first/artikel/1860-PERLINDUNGAN-HUKUM-
TERHADAP-IDENTITAS-PASIEN-COVID-19
https://republika.co.id/berita/q7aalu384/idi-identitas-pasien-positif-covid19-boleh-
diungkap
https://mediaindonesia.com/humaniora/297442/pemerintah-akan-publikasikan-
identitas-pasien-positif-covid-19
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/413/2020
Tentang Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-
19)
Jurnal Medika Malahayati, Volume 4, Nomor 3, Juli 2020
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 7, No. 1 | Maret 2020|

30

Anda mungkin juga menyukai