Anda di halaman 1dari 15

BAB 4

LINGKUP KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA

A.Fenomena komunikasi Lintas Budaya


Mengenai Komunikasi sebagai fakta dan fenomena sosial, Tubbs (1996:239)
menjelaskan, dalam dua dekade terakhir ini telah terjadi peningkatan drastis interaksi
sosial di berbagai belahan dunia. Fenomena ini terjadi sebagai akibat kemajuan pesat
di bidang inovasi teknologi, terutama inovasi teknologi telekomunikasi dan
transportasi. Seiring dengan berkembangnya jaringan penerbangan dan jaringan
komunikasi elektronik, orang-orang mampu melakukan komunikasi secara langsung
di tempat-tempat berjauhan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Orang-orang
yang berbeda identitas sosial dapat berkomunikasi dalam konteks perdagangan dan
pariwisata, di negerinya sendiri atau diluar negeri, dengan memanfaatkan teknologi
telekomunikasi dan transportasi.
Orang-orang yang berbeda Negara, warna kulit, bahasa, dan kebangsaan dapat
bertemu di Bali atau di Frankfurt, atau di tempat lain, misalnya, ketika melakukan
wisata dan kegiatan usaha. Tanpa disadari telah terjadi kontak (komunikasi) yang
didalamnya melibatkan orang-orang yang berlainan dalam cara berbahasa, cara
berpikir, cara berperilaku, dan adat-istiadatnya. Bahkan perbedaan antara orang-orang
yang berkomunikasi tersebut tidak saja menyangkut nilai-nilai budaya saja, tetapi juga
aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan.
Dalam dunia yang sedemikian maju, perbedaan budaya tidak menjadi
halangan bagi satu sama lain untuk menjalin hubungan melalui komunikasi lintas
budaya yang mengantarkan mereka untuk saling memahami, bertoleransi, dan
beradaptasi. Kunci utama dari kemajuan pergaulan lintas budaya adalah tidak adanya
aturan konvensi yang membatasinya, tetapi membiarkan semua berjalan menurut
norma dan nilai budaya masing-masing. Justru perbedaan budaya adalah ladang untuk
mempelajari dengan arif dan bijak budaya orang lain.
Perbedaan budaya pada dasarnya adalah desain Tuhan dengan maksud agar
manusia saling mengenal satu sama lain. Ini memberikan pemahaman bahwa manusia
perlu menjalin pergaulan meskipun orang lain yang berbeda suku dan bangsa agar
semua manusia saling mengenal. Perbedaan budaya dalam pergaulan menuntut setiap
individu untuk saling menyadari dan memahami. Dengan cara demikian, Manusia
bisa saling melengkapi, berbagi, dan menjaga untuk menciptakan kesejahteraan serta
hidup berdampingan dalam suasana rukun dan damai. Salah satu prinsip yang berlaku
dalam hal ini bahwa pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat
untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
Secara teoretis, kemampuan untuk membangun komunikasi lintas budaya
menjadi penting. Selaras dengan hal itu, melengkapi diri dengan ke-mampuan
komunikasi lintas budaya menjadi penting pula, dan hal ini seyogia-nya tidak
dilakukan sekadar untuk tujuan pragmatis pergaulan, tetapi untuk tujuan yang bersifat
kognitif dan afektif. Menurut Livin (dalam Mulyana, ed., 2001: xi), berbagai tujuan
tersebut meliputi:
1. Menjadikan diri lebih peka secara budaya
2. Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri dan budaya lain.
3. Membantu memahami kontak lintas budaya sebagai suatu cara untuk memperoleh
pandangan ke dalam budaya sendiri mengenai asumsi-asumsi, nilai-nilai,
kebebasan-kebebasan, dan keterbatasan-keterbatasan-nya.
4. Mempelajari keterampilan komunikasi membuat seseorang mampu mene-rima
gaya dan isi komunikasi.
5. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain
dalam rangka menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan.
6. Membantu memahami model-model, konsep-konsep, dan aplikasi-aplikasi bidang
komunikasi lintas budaya.
7. Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari
secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.
Pada faktanya, sejak dunia semakin terbuka, dunia semakin ramai
dengan interaksi lintas budaya yang melibatkan anggota budaya yang berbeda-
beda, dan menampilkan fenomena hubungan yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Hal ini telah terdorong peningkatan hubungan sosial dan
komunikasi lintas budaya. Dari sini muncul saling ketergantungan yang
melahirkan sebuah komunitas bersama yang meniscayakan adanya berbagai
kemungkinan untuk tidak saling sependapat, dalam arti berbeda budaya,
ideology, gaya hidup, dan orientasi hidup.
B.Korelasi Komunikasi Lintas budaya dengan Hubungan dan Politik
Internasional
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa komunikasi lintas
budaya adalah kajian yang bersifat multidisipliner. Oleh sebab itu, Kajian ini
selalu bersentuhan dengan cabang-cabang ilmu sosial lain, termasuk
bersinggungan secara dekat dengan ilmu hubungan inter-nasional dan politik
internasional.
 HUBUNGAN INTERNASIONAL
Komunikasi lintas budaya bersinggungan dan cabang ilmu hubungan
internasional karena kajiannya tidak saja melibatkan aspek-aspek
dalam ranah batas Negara, tetapi juga melibatkan seluruh kegiatan
manusia secara mondial. Oleh sebab itu, kajian komunikasi lintas
budaya mempunyai wilayah yang sama dengan hubungan
internasional. Hanya saja, hubungan internasional memfokuskan
perhatian pada seluruh hubungan antarnegara, antarlembaga, dan
antarkelompok masyarakat yang berbeda bangsa, baik di-lakukan
secara langsung maupun lewat perantara telekomunikasi. Dalam hal
ini, termasuk studi tentang keadaan interaksi antara dua pihak, serta
keadaan relavan yang mengelilingi interaksi mereka, dan sumber daya
yang dimanfaatkan dalam interaksi tersebut. Selain itu, hubungan
internasional lebih menekankan pada aspek-aspek yang bersifat politik,
hukum, dan ekonomi. Sementara itu, komunikasi lintas budaya
mempunyai wilayah kajian tentang hubungan antarmanusia, baik
secara local hingga tingkat global, di luar batas yuridiksi nasionalnya.
Komunikasi lintas budaya memfokuskan perhatian pada masalah
komunikasi dan faktor-faktor yang memengaruhinya serta efek yang
ditimbulkan.
Peristiwa terorisme, seperti tragedi pemboman di Bali pada 13
oktober 2002, merupakan kajian lintas budaya sekaligus kajian
hubungan internasional. Peristiwa tersebut menjadi kajian komunikasi
lintas budaya karena pemboman itu dilakukan dengan melibatkan
komunikasi antarkelompok budaya dalam masyrakat global, yakni
kelompok barat yang dipimpin oleh Amerika serikat dengan kelompok
lain yang merupakan musuh-musuhnya. Dua kelompok sama-sama
melakukan perjuangan. Cara pandang yang berbeda dalam memaknai
“perjuangan” mengakibatkan konflik terbuka, seperti lahirnya
kekerasan dan peperangan. Di sinilah, dengan meminjam pendekatan-
pendekatan yang lazim digunakan dalam ilmu hubungan internasional
dan politik internasional, kajian komunikasi lintas budaya sangat
diperlukan untuk menguak makna di balik pemboman tersebut serta
efek yang ditimbulkan.
 POLITIK INTERNASIONAL
Komunikasi lintas budaya jelas bersinggungan dengan politik
internasional karena dalam hubungan politik, diplomasi, negoisasi,
lobi, dan mediasi mengandalkan peran komunikasi secara intensif.
Hanya saja, dalam politik internasional, aspek komunikasi tidak
menjadi focus perhatian karena pada dasarnya politik internasional
lebih memfokuskan perhatian pada perjuangan untuk meraih
kepentingan dan kekuasaan (the struggle for power). Morgenthau
dengan tegas menyatakan, “The ultimate aims of international politics
is power” (tujuan akhir politik internasional adalah kekuasaan).
Namun demikian, pada tingkat hubungan internasional,
pengetahuan mengenai politik internasional diperlukan untuk
menentukan strategi komunikasi, termasuk dalam komunikasi lintas
budaya. Misalnya, ketika terjadi peristiwa terorisme, komunikasi lintas
budaya memerlukan perspektif politik internasional sebagai bahan
untuk menyusun strategi agar komunikasi mampu meredam efek
negatif kekerasan global, dan pada waktu yang sama menimbulkan
efek pemulihan sosial politik yang konstruktif. Dalam hal ini,
sumbangan politik internasional sangat dibutuhkan untuk menjelaskan
tentang latar belakang politik yang menyebabkan peristiwa itu terjadi.
Ditinjau dari perspekstif komunikasi, terjadinya tindak
kekerasan seperti pemboman, misalnya, merupakan akibat dari
tersumbatnya saluran komunikasi. Dalam kasus bom Bali, komunikasi
antara peserta komunikasi berskala global itu menemui hambatan dan
penyumbatan saluran. Komunikasi verbal terhambat oleh faktor
politik, ekonomi, dan budaya sehingga komunikasi nonverbal, seperti
pemboman di Bali, menjadi pilihan. Dalam desain politik, tidak boleh
ada sesuatu yang tidak diperhitungkan atau tidak dikendalikan. Itu
berarti hambatan dan penyumbatan saluran komunikasi itu sudah
direncanakan (by design). Oleh karena itu, berbagai pihak sangat
menyesalkan tragedy yang telah menewaskan lebih dari 180 jiwa dan
mencederai lebih dari 280 orang itu.
C.Faktor Pemicu Komunikasi Lintas Budaya
Suatu fenomena atau realitas tidak hadir dengan sendirinya, melainkan selalu
melibatkan faktor pemicunya. Beberapa faktor pemicu yang melatarbelakangi
komunikasi lintas budaya, diantaranya:
1.Aspek kepentingan domestik
Warga Negara Republik Indonesia (NKRI) dapat dikatan sebagai
Negara yang unik sekaligus fenomenal. Bukan saja karena secara
geografis dikatakan sebagai rangkaian zamrud di khatulistiwa, tetapi
juga karena secara sosiologis terdiri atas beragam suku, etnik, bahasa,
dan agama. Indonesia “bak kembang setaman”, dimana perbedaan
menjadi sesuatu yang indah.
Kebhinekaan ini membawa dampak terhadap berbagai hal
mulai dari penataan sistem politik, ekonomi, perdagangan, sosial
budaya, hingga memperkuat “tali” integrasi nasional. Untuk
mewujudkan keberagaman tersebut menjadi potensi yang konstruktif,
dibutuhkan kemampuan komunikasi lintas budaya yang memadai, baik
untuk menjalin hubungan informal antarindividu yang berbeda suku
dan budaya maupun hubungan formal antara pemerintah dan
rakyatnya.
Hubungan informal dalam aspek ekonomi, misalnya, dapat
dilihat pada proses perdagangan yang melibatkan beberapa suku:
Padang, Batak, Sunda, Jawa, Bali, Madura, dan sebagainya. Pada
konteks ini, akan lahir proses komunikasi interpersonal dan lintas
budaya yang menuntut satu sama lain untuk saling memahami.
Keberagaman dalam aspek ekonomi perdagangan ini jelas sangat
terlihat dalam kehidupan sehari-hari, baik di kota besar hingga tingkat
kecamatan.
Sejatinya, kebhinekaan yang menjadi ciri khas bangsa
Indonesia dapat dilihat pada aspek-aspek berikut:
1. Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia begitu majemuk
yang terdiri atas sejumlah suku bangsa dengan latar belakang
kebudayaan, bahasa daerah, dialek, nilai-nilai, falsafah pemikiran,
kepercayaan, dan sejarah yang berbeda.
2. Adanya pergeseran sistem nilai dalam masyarakat sebagai akibat
pembangunan di seluruh sector kehidupan.
3. Derasnya arus informasi dan komunikasi yang dibawa media massa
modern dan para wisatawan ikut mem-perlancar kontak-kontak
lintas budaya.
4. Pertambahan penduduk yang menuntut peningkatan sarana dan
prasarana umum, baik dalam kualitas maupun kuantitas.

Dalam realitas seperti itu kesalahpahaman acapkali terjadi dan


apabila dibiarkan tidak mustahil akan mengoyak sendi-sendi
berbangsa dan bernegara. Pada konteks inilah komunikasi lintas
budaya menjadi penting. Menurut Rumondor (2001), beberapa
syarat yang diperlukan individu untuk melakukan komunikasi
lintas budaya, Yaitu:
1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia.
2. Menghormati budaya lain sebagaimana adanya, dan bukan
sebagaimana yang kehendaki.
3. Menghormati hak anggota budaya lain untuk bertindak
berbeda dari cara kita bertindak.
4. Menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain.

Hubungan formal dalam ranah birokrasi pun


menampakkan fenomena yang sama. Birokrasi pemerintah
perlu memahami keragaman budaya untuk melayani
masyarakatnya. Pemahaman komunikasi lintas budaya akan
mampu mencipta-kan pelayanan unggul (excellent service)
karena sesungguhnya pelayanan apapun berpijak pada
proses komunikasi. Begitu pula pada aspek sosial politik,
kunci penting terletak pada kemampuan berkomunikasi.
Perlakuan untuk setiap wilayah sangat mungkin memiliki
spesifikasi tertentu, misalnya untuk provinsi Aceh, Maluku,
dan Papua yang rawan gejolak. Berbagai strategi dan
kebijakan pembangunan demi tercapainya stabilitas sosial,
budaya, politik, dan ekonomi perlu didukung oleh strategi
komunikasi lintas budaya yang tepat.
Dalam konteks lebih luas, bangsa Indonesia juga
memiliki kebutuhan akan pengetahuan dan pemanfaatan
komunikasi lintas budaya untuk memahami keragaman
budaya bangsa-bangsa lain. Ketika pemerintah perlu
menjelaskan kebijakan politik luar negri kepada masyarakat
internasional dengan aneka budaya yang berbeda,
pengetahuan tentang komunikasi lintas budaya pun
dibutuhkan. Lebih daripada itu, tidak sedikit warga
Indonesia melancong keluar negri, dan banyak pula
wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia. Di sini
telah terjadi suatu peristiwa dialogis dalam pertemuan dan
pertukaran budaya. Meningkatnya interaksi lintas budaya
seperti akhir-akhir ini, dapat dimanfaatan untuk menjalin
hubungan antarbangsa yang harmonis dan berkelanjutan.
2.Aspek Kepentingan Internasional
Pada era globalisasi sekarang ini, teknologi komunikasi dan
transportasi telah menyatukan bangsa-bangsa ke dalam “orde bangsa-
bangsa global”. Era globalisasi tidak saja dipahami sebagai “berkah”
dari kemajuan cara berpikir manusia, tetapi di dalamnya pun
menyimpan sejumlah problematic yang mengharuskan keterlibatan
antarbangsa dalam proses penyele-saiannya. Pada kenyataannya, dalam
hubungan internasional hingga saat ini masih terasa berbagai
ketimpangan, baik dibidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan,
teknologi, maupun ideology, antara bangsa yang sudah maju dan
bangsa-bangsa yang sedang berkembang.
Sejak dekade 1970-an, ketimpangan dalam hubungan
internasional telah terjadi, bukan saja dipicu oleh ketimpangan
ekonomi dan politik, melainkan juga sudah merambah ke masalah arus
informasi dan komunikasi antara Negara-negara maju dan Negara
berkembang. Rumondor (2001) secara ekplisit menyebut beberapa
ketimpangan informasi dan komunikasi, seperti tampak pada aspek:
1. Adanya dominasi Negara maju terhadap media Negara
berkembang sejauh menyangkut aspirasi Negara berkembang
2. Tidak adanya hubungan saling menguntungkan di bidang informasi
dan komunikasi
3. Perbedaan sistem nilai
4. Perkembangan kemampuan ekonomi
5. Perbedaan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

Dengan memperhatikan berbagai masalah tersebut, keterlibatan


antarbangsa untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul
tidak lagi dapat dihindarkan. Komunikasi menjadi penting, dalam
arti sebagai “jembatan” untuk menghubungkan ide, gagasan, dan
pemikiran antarnegara. Oleh karena itu, komunikasi lintas budaya
pun menjadi keharusan untuk dipelajari dan dimanfaatkan.
Pada konteks kepentingan internasional ini, komunikasi lintas
budaya memiliki fungsi yang berkaitan dengan penjelasan tentang
kendala-kendala yang selama ini mengganjal bagi tercapainya
kesepahaman melalui proses komunikasi yang hingga kini belum
teratasi secara memuaskan. Selain itu, komunikasi lintas budaya
juga perlu difungsikan untuk meningkatkan pengetahuan tentang
budaya bangsa sendiri dan sekaligus pengetahuan tentang budaya
bangsa lain sehingga sebagian besar dari perilaku-perilaku
komunikasi yang disadari dapat dijelaskan.
3.Aspek Kebergantungan Ekonomi
Saat ini, kebanyakan Negara berkembang yang masih miskin
secara ekonomi bergantung pada Negara maju yang kaya. Negara-
negara berkembang membutuhkan banyak investasi modal untuk
memadai pembangun di negerinya, dan bergantung kepada Negara-
negara yang memiliki modal. Misalnya, Indonesia bergantung pada
Jepang, Amerika Serikat, dan Negara-negara donor lainnya.
Kebergantungan ekonomi mengharuskan Negara-negara berkembang
mengetahui pola pergaulan dengan Negara-negara pemilik modal yang
sudah barang tentu memiliki budaya yang berbeda. Di sinilah
komunikasi lintas budaya berperan sebagai sarana untuk membangun
perekonomian yang lebih adil dan menjalin pergaulan yang harmonis
dalam hubungan antarbangsa.
4.Aspek Politik Internasional
Keadaan suatu kawasan tidak selamanya terkendali secara politik. Pada
faktanya, banyak Negara dan kawasan mengalami gejolak politik yang
menyebabkan dunia menjadi penuh ketidakpastian. Misalnya, kawasan
Timur tengah yang senantiasa dipenuhi dengan konflik Palestina-
Israel. Kawasan ini berkembang semakin rawan sejak invasi militer
Amerika serikat terhadap Afganistan secara sepihak dan arogan tanpa
persetujuan dari PBB. Fitnah terhadap Irak yang di sertai dengan agresi
militer oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Irak diserang dengan
tuduhan memiliki senjata nuklir. Padahal, Irak sama sekali tidak
memiliknya. Peristiwa Arab spring, yakni gerakan revolusioner yang
melanda dunia Arab, yang dimulai dari Tunisia, dan terus menjalar ke
Mesir, Bahrain, Suriah, Yaman, Aljazair, Yordania, Kuwait, Maroko,
dan Oman. Bersamaan dengan itu, pecah pemberontakan sipil dan
gerakan protes di Lebanon, Mauritania, Saudi Arabia, Sudan, dan
Sahara Barat, serta perang saudara di Libya, dan terakhir
pemberontakan bersenjata di Suriah yang digerakkan oleh gerombolan
ISIS (Islamic States of Iraq dan Syria). Gejolak politik ini telah
mengakibatkan jatuhnya sejumlah pemerintah Negara, dan semua ini
terjadi bukan tanpai desain dari Negara-negara Barat, utamanya
Amerika Serikat.
Sementara itu, Negara-negara berkembang di dunia ketiga yang
banyak dihuni Negara-negara muslim, acapkali menjadi “proyek”
komunikasi politik Negara-negara maju yang cenderung eksploitatif
dan dekstruktif. Misalnya, terminology teorisme sudah menjadi “cap”
komunikasi politik yang kurang menguntungkan bagi Negara-negara
yang berpenduduk muslim. Negara-negara maju di dunia barat secara
sengaja menggulirkan teori penjulukan (labelling theory) untuk
menyudutkan umat islam diberbagai kancah kekerasan di berbagai
kawasan.
Kawasan Asia juga selalu dihantui ancaman perang saudara
Korea Utara-Korea dan Taiwan-China, serta ancaman perang India-
Pakistan. Semua ini menunjukan bahwa politik Internasional masih
belom dijalankan, sebagaimana cita-cita universal untuk menciptakan
perdamaian dunia dan penindasan atas satu bangsa oleh bangsa lain.
Dengan kata lain, stabilitas politik internasional harus senantiasa dijaga
dengan cara membangun dialog untuk menciptakan kondisi saling
pengertian secara terus menerus.
Suatu bangsa harus memahami persoalan bangsa lain, dan jika
terdapat persoalan harus secepatnya diselesaikan untuk menciptakan
hubungan persahabatan yang harmonis. Saling memahami dan
melakukan dialog lintas budaya memungkinkan terpeliharanya
hubungan internasional yang penuh persahabatan dan harmonis. Ini
bisa dicapai melalui upaya saling memahami budaya antarnegara. Pada
ranah inilah komunikasi lintas budaya menjadi penting dan diperlukan.
Pengetahuan dan pemanfaatan komunikasi lintas budaya yang
mendalam diperlukan untuk memungkinkan terciptanya suasana saling
pengertian, baik secara rasional, regional, maupun internasional.
Kemajuan luar biasa di bidang teknologi telekomunikasi dan
transportasi yang telah berhasil membuat dunia kian terbuka, sejatinya
harus mendorong setiap bangsa untuk saling memahami budaya
masing-masing melalui komunikasi lintas budaya. Dalam konteks ini,
efektivitas komunikasi lintas budaya perlu diarahkan untuk
menyelesaikan ketimpangan internasional, baik dibidang sosial,
politik, atau ekonomi.

D.Diplomasi Sebagai Budaya Internasional


Sejak tergulingnya Shah Reza Pahlevi, boneka AS, AS memutuskan hubungan
diplomatic dan menjatuhkan embargo ekonomi terhadap Iran. Bahkan, selama perang
Irak-Iran 1980-1988, Angkatan laut AS yang ditempatkan di Teluk Persia kerap
melakukan aksi kekerasan bersenjata dengan melancarkan serangan militer untuk
mengganggu keamanan dan merusak ladang-ladang pengolahan minyak Iran. Untuk
membenarkan serangan ini, AS menuduh Iran melakukan penambangan minyak di
perairan teluk dan merusak kapal perang AS. Belakangan ini, Iran dituduh AS sebagai
Negara penghasil senjata pemusnah massal. Padahal, Iran merupakan anggota
kesepakatan Perlucutan Senjata Nuklir (Nuclear Proliferation Treaty). Bahkan, Badan
Negri Atom Internasional (Internasional Atomic Energy Agency) pun berulang-ulang
melaporkan Iran tidak memiliki senjata nuklir dan selalu menaati aturan perlucutan
senjata nuklir. Tuduhan AS terbsebut jelas berlebihan.
Dengan berakhirnya Perang Dingin, Iran diposisikan menggantikan peran Uni
Soviet sebagai “ancaman” AS. Padahal, menimbang anggaran militer dan berbagai
faktor sumber daya Iran, sebenarnya tidak cukup alasan bagi AS untuk menyebut Iran
sebagai ancaman. Perspesi dan asumsi tersebut terbentuk disebabkan pengaruh lobi
zionis di Gedung putih yang memiliki sentiment anti-Iran serta kepentingan terhadap
Iran.
Sepeninggal Ayatullah Ruhullah Khomeini, sebagian pemimpin Iran yang
berhaluan moderat, seperti Khatami, ingin memulihkan hubungan dengan AS.
Pemulihan hubungan hendak dilakukan tanpa benturan, melainkan melalui dialog
lintas budaya. Di depan sidang umum PBB, Presiden Iran, Mohammad Khatami
(1999), menyerukan perlunya “dialog antarperadaban” untuk menggantikan
konfrontasi Timur-Barat. Dialog lintas budaya itu perlu diarahkan untuk membuang
stereotip dan membuka pintu bagi kemungkinan kontak antara warga Iran dan
Amerika.
Sementara itu, sebagai politisi AS juga mengkritik kebijakan luar negri AS
terhadap Iran dalam bentuk embergo ekonomi dan serangan militer. Dalam diplomasi,
pendekatan “tongkat dan meriam” dinilai tidak, efektif bahkan kontra produktif.
Selain politisi, berbagai kelompok masyarakat madani di AS pun mendesak agar AS
mengubah diplomasi era colonial yang masih tersisa. Mereka meminta kebijakan AS
di kawasan Teluk yang lebih berpihak kepada Israel diubah secara lebih berimbang
demi kepentingan yang lebih besar.
Sebagai langkah pertama menuju ke arah perbaikan hubungan itu, AS
mendiring pertukaran budaya antara kedua Negara. Washington pun menginginkan
dialog pada tingkat pemerintah dengan Iran. Juru bicara Kemenlu AS, James Rubin,
menyerukan agar kedua Negara melenyapkan rasa saling curiga dengan cara
memperkuat hubungan dibidang budaya. Ia mengusulkan diadakannya dialog antara
para akademisi, penulis, seniman, wartawan, dan wisatawan. Jubih Gedung Putih,
Mike McCurry, juga mengatakan bahwa pemerintah AS sangat menghargai keinginan
Khatami untuk berdialog dengan rakyat AS karena hal itu dapat mempertemukan dua
peradaban besar. Namun, langkah terbaik untuk menangani isu-isu yang muncul
dalam hubungan antara kedua pemerintahan adalah dengan melakukan dialog secara
langsung.
Walau sudah muncul kehendak untuk memulihkan hubungan, hingga hari ini
hubungan bilateral AS-Iran belum terwujud karena asal-usul dialog lintas budaya itu
baru sebatas realitas retorika, tidak ditindaklanjuti dengan upaya nyata. Terlepas dari
perkembangan ini, dialog lintas budaya sebagai bentuk diplomasi damai (soft
diplomacy) merupakan pendekatan yang lebih utama dibandingkan diplomasi
kekerasan (hard diplomacy) yang terlalu mahal, baik ditinjau dari tingginya resiko
yang harus ditanggung maupun parahnya dampak yang ditimbulkan (Shoelhi,
2009:17). Soft diplomacy, temasuk dialog lintas budaya, merupakan pendekatan lebih
efektif untuk menyelesaikan masalah bilateral, sedangkan hard diplomacy yang kerap
dipandang sebagai soft diplomacy dalam bentuk lain merupakan pendekatan yang
kerap melanggar nilai-nilai kebudayaan universal (Nye, 1998: 84).
1.Diplomasi Kebudayaan
Kartini Sabekti, mantan Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat,
dalam bukunya, Dinamika Diplomasi Indonesia dalam Praktik (2006),
menyatakan bahwa kebudayaan dapat di manfaatkan sebagai sarana
untuk mempererat hubungan internasional. Itulah sebabnya sejak
dahulu suatu kebudayaan diperkenalkan para diplomat kepada
masyrakat internasional untuk memengaruhi atau memperbaiki sikap
dan pandangan mereka terhadap negaranya. Indonesia pun
memanfaatkan kebudayaan sebagai sarana diplomasi.
Dalam hubungan antarbangsa, kebudayaan merupakan sarana
penunjang yang ampuh bagi diplomasi dan dapat menumbuhkan saling
pengertian, bahkan dapat menjembatani kebudayaan ini, berbagai
festival internasional mengenai kebudayaan diselenggarakan di
mancanegara, antara lain festival music, festival tari, pergelaran tari,
pergelaran seni rupa, pertunjukan film, pameran buku, bazar makanan
tradisional, dan lain-lain. Festiva;-festival semacam itu selalu menarik
minat sebagian besar khalayak di Negara tempat festival tersebut
diselenggarakan. Melalui festival, terjadilah interaksi yang aktif
antarmanusia dan antarbangsa, dan ini dapat dimanfaatkan sebagai
sarana untuk menunjang kegiatan diplomasi.
Diplomat paling gencar melakukan diplomasi melalui sarana
kebudayaan adalah Menteri Luar Negeri, Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmaja. Mochtar boleh disebut sebagai diplomat yang pertama
kali mencanangkan diplomasi kebudayaan dalam melancarkan strategi
komunikasi. Khususnya diplomasi kebudayaan. Diplomasi kebudayaan
dikembangkannya secara lebih terarah dan terorganisasi dalam
program kampanye kebudayaan secara besar-besaran. Program ini
diadakan untuk lebih mencitrakan citra positif Indonesia di dunia
internasional, di samping untuk menarik lebih banyak wisatawan asing
berkunjung ke Indonesia dan investor asing untuk menanamkan modal
ke Indonesia.
Salah satu program diplomasi kebudayaan dilaksanakan di
Amerika selatan selama dua tahun, dengan tajuk Pameran Kebudayaan
Indonesia di Amerika Serikat pada 1990-1991. Diplomasi kebudayaan
dilaksanakan dengan mengadakan pameran dan pergelaran seni budaya
di tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang, antara lain pameran
inti di Museum Houston dan Museum Dallas, serta pameran terkait di
St. Thomas University, University of Houston, dan beberapa
univeristas lainnya. Pameran ini merupakan pameran keliling di
berbagai kota besar AS.
Dalam pameran tersebut ditampilkan permainan seni music
angklung, kolintang, gamelan; benda-benda tradisional bersejarah;
barang-barang antik yang dibuat dari emas, perak; perhiasan permata
keratin yang dipinjam dari Istana Sultan Aceh, Ternate, dan Jogjakarta;
mode-mode pakaian tradisional; berbagai tarian daerah dan pameran
seni rupa, festival makanan; serta pertunjukan film dan pergelaran
teater. Pada waktu yang sama, secara serentak diadakan ceramah-
ceramah mengenai ekonomi, perdagangan, dan pariwisata. Karena
berhasil dan sukses, diplomasi kebudayaan ini kemudian dilanjutkan di
Australia, Belanda, Kanada, dan Negara-negara maju lainnya.
Penyelenggaraan World Olympic Games yang berlangsung di
Amerika Serikat, diikut Negara-negara dari seluruh dunia. Jambore
Pramuka Internasional di London, Inggris, dihadiri pramuka dari
banyak Negara. Konser Setia Kawan di Kuala Lumpur yang
menyajikan lagu dan tarian local Malaysia serta beberapa Negara Asia
Tenggara, dan Asian Science Camp di Bali yang diikuti 500
mahasiswa dari sejumlah benua Asia untuk mendiskusi berbagai
temuan dengan bimbingan lima tokoh pemenang hadiah Nobel.
Semuanya termasuk dalam kegiatam diplomasi kebudayaan.
2.Diplomasi Bola ala Turki –Armenia
Komunikasi lintas budaya dapat dilaksanakan dalam beragam
cara atau gaya, antara lain melalui kegiatan pertandingan olahraga
internasional. Ketika berlangsung pertandingan kualifikasi Piala Dunia
Zona Eropa Grup 5 (2009), dipertunjukan sebuah diplomasi yang unik
yang disebut “Diplomasi Bola” saat tim keseblasan Turki-Armenia
bertanding. Sebelumnya, Turki dan Armenia adalah dua Negara yang
saling bermusuhan. Kedua tim yang bertanding di Stadion Ataturk di
Bursa, dipastikan tidak akan lolos ke Piala Dunia 2010 di Afrika
Selatan. Namun, Pertandingan itu tetap bermakna mendalam bagi
hubungan kedua Negara di pentas internasional. Bukan persoalan
pertandingannya, melainkan kesepakatan diplomatic yang diteken
kedua Negara saat pertandingan berlangsung, untuk mengakhiri
permusuhan keduanya selama seabad. Dengan demikian, diplomasi
bola ini mampu menyelesaikan masalah dan mencairkan suasana
permusuhan di lapangan rumput.
Kesepakatan yang dicapai Turki-Armenia itu membuka jalan
keduanya untuk memperbaiki hubungan bilateral. Salah satu yang
ditunggu ialah pembukaan perbatasan kedua Negara yang dijadwalkan
dalam dua bulan setelah Diploma bola itu. Dalam rangkaian acara
pertandingan itu, Presiden Armenia, Serge Sarkisian, datang ke stadion
yang menjadi kandang klub Turki, Bursaspor, setelah melakukan
makan malam bersama dengan Presiden Turki, Abdullah Gul. Setahun
sebelumnya, Gul juga melakukan hal yang sama saat menonton
pertandingan kedua tim di Armenia.
Pada kesempatan itu, Menteri Luar Negeri Swiss, Micheline
Calmy-Rey, juga terlihat berada pada stadion tersebut bersama Menlu
Turki dan Menlu Armenia. Ketiganya adalah yang pada ahad (11/10)
menandatangani kesepakatan diplomatic Turki-Armenia di Swiss.
Sebelumnya, PM Turki, Recep Tayyip Erdogan, memperingatkan
perintah agar melawan provokasi yang datang dari orang-orang yang
hendak mengganggu proses perdamaian kedua Negara. Kesepakatan
tersebut sebenarnya memperoleh dukungan kuat dari parlemen kedua
Negara. Kendati di sisi lain, kritikan dan tekanan dari oposisi
nasionalis tetap diterima. Peristiwa tersebut mengukuhkan bahwa
sepak bola telah digunakan sebagai ajang diplomasi

3.Konferensi Lintas budaya


Banyak fenomena dan fakta komunikasi lintas budaya yang menarik dan perlu
diperhatikan untuk dipelajari. pada akhir dasawarsa 1990-an, pakar komunikasi
politik internasional dari Harvard University, Samuel P. Huntington (1993),
melontarkan pernyataan bahwa dengan ambruknya Uni Soviet maka selesailah Perang
dingin antara ideologi komunis versus ideologi kapitalis. Kendati demikian, Amerika
serikat masih menghadapi ancaman permusuhan baru ideologi, antara lain yang paling
potensial dari Islam dan Kong Hu Cu. Karena akar permusuhan bersumber dari
sentiment keagamaan, Huntington menyebut premisnya sebagai clash for civilization
(bentrokan peradaban). Secara diplomatis, ia pun menyatakan bahwa arena
permusuhan ini lebih merupakan benturan budaya, bukan perang fisik demi perluasan
pengaruh dan perlombaan senjata.
Bak drama, menyusul premis itu, AS dengan dukungan lobi zionis
melancarkan scenario memukul islam dengan cara mendahului (preemptive strike)
sebelum dunia Islam menjadi kekuatan besar dunia, di samping Eropa dan China,
hingga ia mendeklarasikan War against Terrorism. Perang melawan terorisme ini
dahului dengan presiden penyerangan menara kembar World Trade Center di New
York, Amerika Serikat, September 2011, oleh konspirasi teroris zionis. Kekuatan
islam dituduh berada di balik tidakan kekerasan itu. Dunia Islam pun digoncang oleh
gerakan agenda perang melawan terorisme yang dipimpin oleh Presiden AS, George
W. Bush. Bush menuduh bahwa gerakan fundamentalisme Islam harus bertanggung
jawab aksi teroris tersebut.
Scenario ini tentu saja sangat mengejutkan Dunia Islam karena yang dimaksud
dalam pengertian perang melawan terorisme itu ternyata adalah perang melawan
islam. Usamah bin Ladin dijadikan sebagai ikon terorisme dari Dunia Islam. Selain
sebagai teroris, ia juga dituduh sebagai penyokong Taliban yang gigih berjuang untuk
menggulingkan penguasa Afganistan yang notabene boneka Amerika. Tak ayal lagi,
para jihadis asuhan Usamah yang terkenal telah berhasil mengusir kekuatan Uni
Soviet dari Bumi para mullah itu pun dikejar-kejar, termasuk alumni Afganistan asal
Indonesia, Amrozi dkk., yang telah meledakkan Bom Bali. Setelah itu, sejumlah
Negara Dunia Islam, termasuk Indonesia, dikejutkan dengan maraknya serangan bom
dalam desain War Against Terrorism.
Sejak peristiwa Bom Bali, Amerika Serikat menuduh Indonesia sebagai sarang
teroris. Duta besar AS di Jakarta waktu itu, Ralph L. Boyce, bahkan menyarankan
agar pemerintah Indonesia menutup pesantren yang dijadikan sebagai tempat
berlindung para teroris dan mengindentifikasi sidik jari para santri sebagai upaya
pendeteksian dini terhadap gerakan terorisme. Seperti kasus pemboman gedung WTC
di New York yang merupakan rekayasa penuh kebohongan public, tuduhan AS
terhadap Indonesia ini juga diwarnai kebohongan yang sama.
Pernyataan Bush dan Boyce itu seolah merupakan pernyataan orang tak
bersalah, dan mengesankan pihak lain yang bersalah, khususnya Dunia Islam.
Padahal, Dunia Islam sama sekali tidak tahu-menahu mengenai itu. Dunia Islam
dijadikan target sebagai pihak yang bersalah dan tertuduh. Sementara itu, semua
gerakan terorisme dirancang dan digerakkan dari Gedung Putih.
Para ahli kebudayaan Amerika Serikat berpendapat bahwa apa yang
dipamerkan AS di muka dunia itu merupakan cerminan “budaya jingo”. Seperti
diceritakan dalam film-film koboi, seorang perampok menuduh orang lain sebagai
perambok dan sang perampok sekaligus memberi hukuman kepada orang yang
dituduhnya. Dengan presiden penyerangan gedung WTC, George Bush menuduh
Usamah yang pro-Toliban sebagai Pelakunya. Dengan tuduhan itu dan dengan alasan
mengejar Usamah, AS kemudian menyerang dan menduduki Afganistan sebagai
hukumannya. Untuk melenyapkan jejak kontribusi Usamah dkk. Dalam mengusir Uni
Soviet dari Afganistan, bukan hanya Usamah saja yang dijadikan target, juga jihadis
lainnya.
Negara-negara di Dunia Islam yang khawatir dengan praktik “budaya jingo”
ala AS ini, tidak bersedia dijadikan target selanjutnya. Pemerintah Indonesia
menegaskan menentang gerakan terorisme. Perlawanan ini ditunjukan dengan
berbagai upaya, termasuk dengan membentuk satuan Detasemen Khusus Antiterror.
Hal yang tidak kalah paling penting, pemerintah dan masyarakat juga menggelar
berbagai dialog lintas budaya dengan melibatkan banyak Negara, baik dari kawasan
ASEAN maupun kawan lain, dan juga berbagi kelompok masyarakat di dalam dan
luar negri. Tidak sendikit dialog lintas budaya dilakukan dalam konferensi dan
symposium internasional untuk meredam situasi yang menegangkan itu.
Di Jogjakarta, pada minggu pertama Oktober 2006, misalnya, pemerintah
mengadakan perhelatan bertajuk Intercultural and Interfaith Symposium dengan
mengundang seluruh Negara anggota APEC (Asia Pasific Economic Cooperation),
tak kecuali Amerika Serikat dan Rusia. Perhelatan ini bertujuan untuk
mempromosikan kerja sama dan membangun jembatan bagi perbedaan budaya dan
perbedaan keyakinan yang berkembang di kawasan APEC. Di dalam forum ini, Para
petinggi APEC bertukar pandangan mengenai perkembangan situasi dan berdiskusi
mengenai isu-isu budaya untuk menunjukkan kepedulian terhadap gerakan terorisme
internasional.
Joelianto, utusan Indonesia untuk urusan APEC, menyatakan bahwa kekuatan
untuk mengubah keadaan perlu ditarik dengan mengidentifikasi landasan bersama
dalam budaya dan agama untuk menciptakan komunitas yang lebih kuat yang diikat
oleh kesamaan dan kesepakatan. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Indonesia,
Hasan Wirajuda, dalam pidato pembukaan menyatakan bahwa konferensi ini sangat
instrumental untuk mengembangkan saling pengertian dan kepentingan bersama di
balik perbedaan budaya dan agama yang hidup di kawasan APEC. Dalam
pandangannya, kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi saling berpengaruh; dan
di dunia yang penuh dengan interkonektivitas, stabilitas sosial budaya, dan politik
memengaruhi kemajuan ekonomi. Hasan sependapat dengan para analis bahwa meski
kondisi kerawanan relatif rendah, kemungkinan pecah konflik budaya dan agama di
Asia Pasifik di tahun 5-10 tahun mendatang tetap terbuka, bila APEC menyepelekan
(underestimate) terhadap gerakan ekstremis yang mengancam kawasan. Karena
alasan itu, pertemuan lintas budaya di selenggarakan untuk mencari kesamaan
pandangan guna mengantisipasi kemungkinan buruk itu.
Sebagai bagian dari upaya mencegah potensi krisi kebudayaan, pada
November 2013 pemerintah Indonesia menggelar World Culture Forum (WCF) di
Bali. Dalam kesempatan tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan
bahwa budaya dapat menjembatani perbedaan dan untuk menyakinkan bahwa
kebudayaan yang dimiliki setiap bangsa tidak boleh terkikis oleh pengaruh
kebudayaan luar maupun untuk mencegah terjadinya benturan kebudayaan. Forum ini
pun di tujukan sebagai media untuk secara eksplisit mengekspos konvergensi
kebudayaan. Dengan memahami pengetahuan tentang anek ragam kebudayaan akan
menghasilkan kebijaksanaan kebudayaan. Corak konvergensi kebudayaan yang
diwarnai nilai kebijaksanaan inilah yang diharapkan Indonesia untuk membentuk
masa depan. Melalui forum yang mengangkat tema The Power of Culture In
Sustainble Development, Indonesia menegaskan, No Culture, No Future.
Kepada segenap perserta forum Budaya Dunia dari sejumlah Negara
disuguhkan tayangan sebuah video yang menceritakan kebudayaan dan profile
Indonesia. Melalui video tersebut dilukiskan bagaimana kebudayaan menjadi faktor
harmoni kehidupan sosial di Indonesia. Presiden SBY menyatakan bahwa Bali dapat
dilihat sebagai contoh kecil tempat budaya Barat dan Timur bertemu dan hidup
bersisian secara harmonis. Prinsip hidup orang Bali, Tri Hita Karana, dapat menjadi
contoh kebudayaan sebagai pedoman hidup manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan.

TUGAS KE – 4

1. Jelaskan fenomena komunikasi lintas budaya


2. Sebutkan tujuan yang bersifat kognitif dan efektif menurut Litvin (dalam
mulyana ,ed.,2001:xi)
3. Jelaskan hubungan korelasi komunikasi lintas budaya dengan hubungan dan
politik internasional
4. Berikan contoh hubungan internasional dan politik internasional dalam
komunikasi lintas budaya
5. Sebutkan faktor pemicu komunikasi lintas budaya
6. Jelaskan keempat aspek pemicu komunikasi lintas budaya
7. Menurut Rumondor (2001) secara eksplisit menyebut beberapa ketimpangan
informasi dan komunikasi, sebutkan beberapa aspek tersebut
8. Jelaskan yang dimaksud diplomasi sebagai budaya internasional
9. Jelaskan diplomasi kebudayaan dan diplomasi bola ala Turki-Armenia
10. Jelaskan yang dimaksud konferensi lintas budaya

Anda mungkin juga menyukai