Mengenai Komunikasi sebagai fakta dan fenomena sosial, Tubbs (1996:239) menjelaskan, dalam dua dekade terakhir ini telah terjadi peningkatan drastis interaksi sosial di berbagai belahan dunia. Fenomena ini terjadi sebagai akibat kemajuan pesat di bidang inovasi teknologi, terutama inovasi teknologi telekomunikasi dan transportasi. Seiring dengan berkembangnya jaringan penerbangan dan jaringan komunikasi elektronik, orang-orang mampu melakukan komunikasi secara langsung di tempat-tempat berjauhan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Orang-orang yang berbeda identitas sosial dapat berkomunikasi dalam konteks perdagangan dan pariwisata, di negerinya sendiri atau diluar negeri, dengan memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan transportasi. Orang-orang yang berbeda Negara, warna kulit, bahasa, dan kebangsaan dapat bertemu di Bali atau di Frankfurt, atau di tempat lain, misalnya, ketika melakukan wisata dan kegiatan usaha. Tanpa disadari telah terjadi kontak (komunikasi) yang didalamnya melibatkan orang-orang yang berlainan dalam cara berbahasa, cara berpikir, cara berperilaku, dan adat-istiadatnya. Bahkan perbedaan antara orang-orang yang berkomunikasi tersebut tidak saja menyangkut nilai-nilai budaya saja, tetapi juga aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan. Dalam dunia yang sedemikian maju, perbedaan budaya tidak menjadi halangan bagi satu sama lain untuk menjalin hubungan melalui komunikasi lintas budaya yang mengantarkan mereka untuk saling memahami, bertoleransi, dan beradaptasi. Kunci utama dari kemajuan pergaulan lintas budaya adalah tidak adanya aturan konvensi yang membatasinya, tetapi membiarkan semua berjalan menurut norma dan nilai budaya masing-masing. Justru perbedaan budaya adalah ladang untuk mempelajari dengan arif dan bijak budaya orang lain. Perbedaan budaya pada dasarnya adalah desain Tuhan dengan maksud agar manusia saling mengenal satu sama lain. Ini memberikan pemahaman bahwa manusia perlu menjalin pergaulan meskipun orang lain yang berbeda suku dan bangsa agar semua manusia saling mengenal. Perbedaan budaya dalam pergaulan menuntut setiap individu untuk saling menyadari dan memahami. Dengan cara demikian, Manusia bisa saling melengkapi, berbagi, dan menjaga untuk menciptakan kesejahteraan serta hidup berdampingan dalam suasana rukun dan damai. Salah satu prinsip yang berlaku dalam hal ini bahwa pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain. Secara teoretis, kemampuan untuk membangun komunikasi lintas budaya menjadi penting. Selaras dengan hal itu, melengkapi diri dengan ke-mampuan komunikasi lintas budaya menjadi penting pula, dan hal ini seyogia-nya tidak dilakukan sekadar untuk tujuan pragmatis pergaulan, tetapi untuk tujuan yang bersifat kognitif dan afektif. Menurut Livin (dalam Mulyana, ed., 2001: xi), berbagai tujuan tersebut meliputi: 1. Menjadikan diri lebih peka secara budaya 2. Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri dan budaya lain. 3. Membantu memahami kontak lintas budaya sebagai suatu cara untuk memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri mengenai asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan, dan keterbatasan-keterbatasan-nya. 4. Mempelajari keterampilan komunikasi membuat seseorang mampu mene-rima gaya dan isi komunikasi. 5. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain dalam rangka menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan. 6. Membantu memahami model-model, konsep-konsep, dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi lintas budaya. 7. Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami. Pada faktanya, sejak dunia semakin terbuka, dunia semakin ramai dengan interaksi lintas budaya yang melibatkan anggota budaya yang berbeda- beda, dan menampilkan fenomena hubungan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini telah terdorong peningkatan hubungan sosial dan komunikasi lintas budaya. Dari sini muncul saling ketergantungan yang melahirkan sebuah komunitas bersama yang meniscayakan adanya berbagai kemungkinan untuk tidak saling sependapat, dalam arti berbeda budaya, ideology, gaya hidup, dan orientasi hidup. B.Korelasi Komunikasi Lintas budaya dengan Hubungan dan Politik Internasional Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa komunikasi lintas budaya adalah kajian yang bersifat multidisipliner. Oleh sebab itu, Kajian ini selalu bersentuhan dengan cabang-cabang ilmu sosial lain, termasuk bersinggungan secara dekat dengan ilmu hubungan inter-nasional dan politik internasional. HUBUNGAN INTERNASIONAL Komunikasi lintas budaya bersinggungan dan cabang ilmu hubungan internasional karena kajiannya tidak saja melibatkan aspek-aspek dalam ranah batas Negara, tetapi juga melibatkan seluruh kegiatan manusia secara mondial. Oleh sebab itu, kajian komunikasi lintas budaya mempunyai wilayah yang sama dengan hubungan internasional. Hanya saja, hubungan internasional memfokuskan perhatian pada seluruh hubungan antarnegara, antarlembaga, dan antarkelompok masyarakat yang berbeda bangsa, baik di-lakukan secara langsung maupun lewat perantara telekomunikasi. Dalam hal ini, termasuk studi tentang keadaan interaksi antara dua pihak, serta keadaan relavan yang mengelilingi interaksi mereka, dan sumber daya yang dimanfaatkan dalam interaksi tersebut. Selain itu, hubungan internasional lebih menekankan pada aspek-aspek yang bersifat politik, hukum, dan ekonomi. Sementara itu, komunikasi lintas budaya mempunyai wilayah kajian tentang hubungan antarmanusia, baik secara local hingga tingkat global, di luar batas yuridiksi nasionalnya. Komunikasi lintas budaya memfokuskan perhatian pada masalah komunikasi dan faktor-faktor yang memengaruhinya serta efek yang ditimbulkan. Peristiwa terorisme, seperti tragedi pemboman di Bali pada 13 oktober 2002, merupakan kajian lintas budaya sekaligus kajian hubungan internasional. Peristiwa tersebut menjadi kajian komunikasi lintas budaya karena pemboman itu dilakukan dengan melibatkan komunikasi antarkelompok budaya dalam masyrakat global, yakni kelompok barat yang dipimpin oleh Amerika serikat dengan kelompok lain yang merupakan musuh-musuhnya. Dua kelompok sama-sama melakukan perjuangan. Cara pandang yang berbeda dalam memaknai “perjuangan” mengakibatkan konflik terbuka, seperti lahirnya kekerasan dan peperangan. Di sinilah, dengan meminjam pendekatan- pendekatan yang lazim digunakan dalam ilmu hubungan internasional dan politik internasional, kajian komunikasi lintas budaya sangat diperlukan untuk menguak makna di balik pemboman tersebut serta efek yang ditimbulkan. POLITIK INTERNASIONAL Komunikasi lintas budaya jelas bersinggungan dengan politik internasional karena dalam hubungan politik, diplomasi, negoisasi, lobi, dan mediasi mengandalkan peran komunikasi secara intensif. Hanya saja, dalam politik internasional, aspek komunikasi tidak menjadi focus perhatian karena pada dasarnya politik internasional lebih memfokuskan perhatian pada perjuangan untuk meraih kepentingan dan kekuasaan (the struggle for power). Morgenthau dengan tegas menyatakan, “The ultimate aims of international politics is power” (tujuan akhir politik internasional adalah kekuasaan). Namun demikian, pada tingkat hubungan internasional, pengetahuan mengenai politik internasional diperlukan untuk menentukan strategi komunikasi, termasuk dalam komunikasi lintas budaya. Misalnya, ketika terjadi peristiwa terorisme, komunikasi lintas budaya memerlukan perspektif politik internasional sebagai bahan untuk menyusun strategi agar komunikasi mampu meredam efek negatif kekerasan global, dan pada waktu yang sama menimbulkan efek pemulihan sosial politik yang konstruktif. Dalam hal ini, sumbangan politik internasional sangat dibutuhkan untuk menjelaskan tentang latar belakang politik yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Ditinjau dari perspekstif komunikasi, terjadinya tindak kekerasan seperti pemboman, misalnya, merupakan akibat dari tersumbatnya saluran komunikasi. Dalam kasus bom Bali, komunikasi antara peserta komunikasi berskala global itu menemui hambatan dan penyumbatan saluran. Komunikasi verbal terhambat oleh faktor politik, ekonomi, dan budaya sehingga komunikasi nonverbal, seperti pemboman di Bali, menjadi pilihan. Dalam desain politik, tidak boleh ada sesuatu yang tidak diperhitungkan atau tidak dikendalikan. Itu berarti hambatan dan penyumbatan saluran komunikasi itu sudah direncanakan (by design). Oleh karena itu, berbagai pihak sangat menyesalkan tragedy yang telah menewaskan lebih dari 180 jiwa dan mencederai lebih dari 280 orang itu. C.Faktor Pemicu Komunikasi Lintas Budaya Suatu fenomena atau realitas tidak hadir dengan sendirinya, melainkan selalu melibatkan faktor pemicunya. Beberapa faktor pemicu yang melatarbelakangi komunikasi lintas budaya, diantaranya: 1.Aspek kepentingan domestik Warga Negara Republik Indonesia (NKRI) dapat dikatan sebagai Negara yang unik sekaligus fenomenal. Bukan saja karena secara geografis dikatakan sebagai rangkaian zamrud di khatulistiwa, tetapi juga karena secara sosiologis terdiri atas beragam suku, etnik, bahasa, dan agama. Indonesia “bak kembang setaman”, dimana perbedaan menjadi sesuatu yang indah. Kebhinekaan ini membawa dampak terhadap berbagai hal mulai dari penataan sistem politik, ekonomi, perdagangan, sosial budaya, hingga memperkuat “tali” integrasi nasional. Untuk mewujudkan keberagaman tersebut menjadi potensi yang konstruktif, dibutuhkan kemampuan komunikasi lintas budaya yang memadai, baik untuk menjalin hubungan informal antarindividu yang berbeda suku dan budaya maupun hubungan formal antara pemerintah dan rakyatnya. Hubungan informal dalam aspek ekonomi, misalnya, dapat dilihat pada proses perdagangan yang melibatkan beberapa suku: Padang, Batak, Sunda, Jawa, Bali, Madura, dan sebagainya. Pada konteks ini, akan lahir proses komunikasi interpersonal dan lintas budaya yang menuntut satu sama lain untuk saling memahami. Keberagaman dalam aspek ekonomi perdagangan ini jelas sangat terlihat dalam kehidupan sehari-hari, baik di kota besar hingga tingkat kecamatan. Sejatinya, kebhinekaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia dapat dilihat pada aspek-aspek berikut: 1. Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia begitu majemuk yang terdiri atas sejumlah suku bangsa dengan latar belakang kebudayaan, bahasa daerah, dialek, nilai-nilai, falsafah pemikiran, kepercayaan, dan sejarah yang berbeda. 2. Adanya pergeseran sistem nilai dalam masyarakat sebagai akibat pembangunan di seluruh sector kehidupan. 3. Derasnya arus informasi dan komunikasi yang dibawa media massa modern dan para wisatawan ikut mem-perlancar kontak-kontak lintas budaya. 4. Pertambahan penduduk yang menuntut peningkatan sarana dan prasarana umum, baik dalam kualitas maupun kuantitas.
Dalam realitas seperti itu kesalahpahaman acapkali terjadi dan
apabila dibiarkan tidak mustahil akan mengoyak sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Pada konteks inilah komunikasi lintas budaya menjadi penting. Menurut Rumondor (2001), beberapa syarat yang diperlukan individu untuk melakukan komunikasi lintas budaya, Yaitu: 1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia. 2. Menghormati budaya lain sebagaimana adanya, dan bukan sebagaimana yang kehendaki. 3. Menghormati hak anggota budaya lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. 4. Menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain.
Hubungan formal dalam ranah birokrasi pun
menampakkan fenomena yang sama. Birokrasi pemerintah perlu memahami keragaman budaya untuk melayani masyarakatnya. Pemahaman komunikasi lintas budaya akan mampu mencipta-kan pelayanan unggul (excellent service) karena sesungguhnya pelayanan apapun berpijak pada proses komunikasi. Begitu pula pada aspek sosial politik, kunci penting terletak pada kemampuan berkomunikasi. Perlakuan untuk setiap wilayah sangat mungkin memiliki spesifikasi tertentu, misalnya untuk provinsi Aceh, Maluku, dan Papua yang rawan gejolak. Berbagai strategi dan kebijakan pembangunan demi tercapainya stabilitas sosial, budaya, politik, dan ekonomi perlu didukung oleh strategi komunikasi lintas budaya yang tepat. Dalam konteks lebih luas, bangsa Indonesia juga memiliki kebutuhan akan pengetahuan dan pemanfaatan komunikasi lintas budaya untuk memahami keragaman budaya bangsa-bangsa lain. Ketika pemerintah perlu menjelaskan kebijakan politik luar negri kepada masyarakat internasional dengan aneka budaya yang berbeda, pengetahuan tentang komunikasi lintas budaya pun dibutuhkan. Lebih daripada itu, tidak sedikit warga Indonesia melancong keluar negri, dan banyak pula wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia. Di sini telah terjadi suatu peristiwa dialogis dalam pertemuan dan pertukaran budaya. Meningkatnya interaksi lintas budaya seperti akhir-akhir ini, dapat dimanfaatan untuk menjalin hubungan antarbangsa yang harmonis dan berkelanjutan. 2.Aspek Kepentingan Internasional Pada era globalisasi sekarang ini, teknologi komunikasi dan transportasi telah menyatukan bangsa-bangsa ke dalam “orde bangsa- bangsa global”. Era globalisasi tidak saja dipahami sebagai “berkah” dari kemajuan cara berpikir manusia, tetapi di dalamnya pun menyimpan sejumlah problematic yang mengharuskan keterlibatan antarbangsa dalam proses penyele-saiannya. Pada kenyataannya, dalam hubungan internasional hingga saat ini masih terasa berbagai ketimpangan, baik dibidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, maupun ideology, antara bangsa yang sudah maju dan bangsa-bangsa yang sedang berkembang. Sejak dekade 1970-an, ketimpangan dalam hubungan internasional telah terjadi, bukan saja dipicu oleh ketimpangan ekonomi dan politik, melainkan juga sudah merambah ke masalah arus informasi dan komunikasi antara Negara-negara maju dan Negara berkembang. Rumondor (2001) secara ekplisit menyebut beberapa ketimpangan informasi dan komunikasi, seperti tampak pada aspek: 1. Adanya dominasi Negara maju terhadap media Negara berkembang sejauh menyangkut aspirasi Negara berkembang 2. Tidak adanya hubungan saling menguntungkan di bidang informasi dan komunikasi 3. Perbedaan sistem nilai 4. Perkembangan kemampuan ekonomi 5. Perbedaan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
Dengan memperhatikan berbagai masalah tersebut, keterlibatan
antarbangsa untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul tidak lagi dapat dihindarkan. Komunikasi menjadi penting, dalam arti sebagai “jembatan” untuk menghubungkan ide, gagasan, dan pemikiran antarnegara. Oleh karena itu, komunikasi lintas budaya pun menjadi keharusan untuk dipelajari dan dimanfaatkan. Pada konteks kepentingan internasional ini, komunikasi lintas budaya memiliki fungsi yang berkaitan dengan penjelasan tentang kendala-kendala yang selama ini mengganjal bagi tercapainya kesepahaman melalui proses komunikasi yang hingga kini belum teratasi secara memuaskan. Selain itu, komunikasi lintas budaya juga perlu difungsikan untuk meningkatkan pengetahuan tentang budaya bangsa sendiri dan sekaligus pengetahuan tentang budaya bangsa lain sehingga sebagian besar dari perilaku-perilaku komunikasi yang disadari dapat dijelaskan. 3.Aspek Kebergantungan Ekonomi Saat ini, kebanyakan Negara berkembang yang masih miskin secara ekonomi bergantung pada Negara maju yang kaya. Negara- negara berkembang membutuhkan banyak investasi modal untuk memadai pembangun di negerinya, dan bergantung kepada Negara- negara yang memiliki modal. Misalnya, Indonesia bergantung pada Jepang, Amerika Serikat, dan Negara-negara donor lainnya. Kebergantungan ekonomi mengharuskan Negara-negara berkembang mengetahui pola pergaulan dengan Negara-negara pemilik modal yang sudah barang tentu memiliki budaya yang berbeda. Di sinilah komunikasi lintas budaya berperan sebagai sarana untuk membangun perekonomian yang lebih adil dan menjalin pergaulan yang harmonis dalam hubungan antarbangsa. 4.Aspek Politik Internasional Keadaan suatu kawasan tidak selamanya terkendali secara politik. Pada faktanya, banyak Negara dan kawasan mengalami gejolak politik yang menyebabkan dunia menjadi penuh ketidakpastian. Misalnya, kawasan Timur tengah yang senantiasa dipenuhi dengan konflik Palestina- Israel. Kawasan ini berkembang semakin rawan sejak invasi militer Amerika serikat terhadap Afganistan secara sepihak dan arogan tanpa persetujuan dari PBB. Fitnah terhadap Irak yang di sertai dengan agresi militer oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Irak diserang dengan tuduhan memiliki senjata nuklir. Padahal, Irak sama sekali tidak memiliknya. Peristiwa Arab spring, yakni gerakan revolusioner yang melanda dunia Arab, yang dimulai dari Tunisia, dan terus menjalar ke Mesir, Bahrain, Suriah, Yaman, Aljazair, Yordania, Kuwait, Maroko, dan Oman. Bersamaan dengan itu, pecah pemberontakan sipil dan gerakan protes di Lebanon, Mauritania, Saudi Arabia, Sudan, dan Sahara Barat, serta perang saudara di Libya, dan terakhir pemberontakan bersenjata di Suriah yang digerakkan oleh gerombolan ISIS (Islamic States of Iraq dan Syria). Gejolak politik ini telah mengakibatkan jatuhnya sejumlah pemerintah Negara, dan semua ini terjadi bukan tanpai desain dari Negara-negara Barat, utamanya Amerika Serikat. Sementara itu, Negara-negara berkembang di dunia ketiga yang banyak dihuni Negara-negara muslim, acapkali menjadi “proyek” komunikasi politik Negara-negara maju yang cenderung eksploitatif dan dekstruktif. Misalnya, terminology teorisme sudah menjadi “cap” komunikasi politik yang kurang menguntungkan bagi Negara-negara yang berpenduduk muslim. Negara-negara maju di dunia barat secara sengaja menggulirkan teori penjulukan (labelling theory) untuk menyudutkan umat islam diberbagai kancah kekerasan di berbagai kawasan. Kawasan Asia juga selalu dihantui ancaman perang saudara Korea Utara-Korea dan Taiwan-China, serta ancaman perang India- Pakistan. Semua ini menunjukan bahwa politik Internasional masih belom dijalankan, sebagaimana cita-cita universal untuk menciptakan perdamaian dunia dan penindasan atas satu bangsa oleh bangsa lain. Dengan kata lain, stabilitas politik internasional harus senantiasa dijaga dengan cara membangun dialog untuk menciptakan kondisi saling pengertian secara terus menerus. Suatu bangsa harus memahami persoalan bangsa lain, dan jika terdapat persoalan harus secepatnya diselesaikan untuk menciptakan hubungan persahabatan yang harmonis. Saling memahami dan melakukan dialog lintas budaya memungkinkan terpeliharanya hubungan internasional yang penuh persahabatan dan harmonis. Ini bisa dicapai melalui upaya saling memahami budaya antarnegara. Pada ranah inilah komunikasi lintas budaya menjadi penting dan diperlukan. Pengetahuan dan pemanfaatan komunikasi lintas budaya yang mendalam diperlukan untuk memungkinkan terciptanya suasana saling pengertian, baik secara rasional, regional, maupun internasional. Kemajuan luar biasa di bidang teknologi telekomunikasi dan transportasi yang telah berhasil membuat dunia kian terbuka, sejatinya harus mendorong setiap bangsa untuk saling memahami budaya masing-masing melalui komunikasi lintas budaya. Dalam konteks ini, efektivitas komunikasi lintas budaya perlu diarahkan untuk menyelesaikan ketimpangan internasional, baik dibidang sosial, politik, atau ekonomi.
D.Diplomasi Sebagai Budaya Internasional
Sejak tergulingnya Shah Reza Pahlevi, boneka AS, AS memutuskan hubungan diplomatic dan menjatuhkan embargo ekonomi terhadap Iran. Bahkan, selama perang Irak-Iran 1980-1988, Angkatan laut AS yang ditempatkan di Teluk Persia kerap melakukan aksi kekerasan bersenjata dengan melancarkan serangan militer untuk mengganggu keamanan dan merusak ladang-ladang pengolahan minyak Iran. Untuk membenarkan serangan ini, AS menuduh Iran melakukan penambangan minyak di perairan teluk dan merusak kapal perang AS. Belakangan ini, Iran dituduh AS sebagai Negara penghasil senjata pemusnah massal. Padahal, Iran merupakan anggota kesepakatan Perlucutan Senjata Nuklir (Nuclear Proliferation Treaty). Bahkan, Badan Negri Atom Internasional (Internasional Atomic Energy Agency) pun berulang-ulang melaporkan Iran tidak memiliki senjata nuklir dan selalu menaati aturan perlucutan senjata nuklir. Tuduhan AS terbsebut jelas berlebihan. Dengan berakhirnya Perang Dingin, Iran diposisikan menggantikan peran Uni Soviet sebagai “ancaman” AS. Padahal, menimbang anggaran militer dan berbagai faktor sumber daya Iran, sebenarnya tidak cukup alasan bagi AS untuk menyebut Iran sebagai ancaman. Perspesi dan asumsi tersebut terbentuk disebabkan pengaruh lobi zionis di Gedung putih yang memiliki sentiment anti-Iran serta kepentingan terhadap Iran. Sepeninggal Ayatullah Ruhullah Khomeini, sebagian pemimpin Iran yang berhaluan moderat, seperti Khatami, ingin memulihkan hubungan dengan AS. Pemulihan hubungan hendak dilakukan tanpa benturan, melainkan melalui dialog lintas budaya. Di depan sidang umum PBB, Presiden Iran, Mohammad Khatami (1999), menyerukan perlunya “dialog antarperadaban” untuk menggantikan konfrontasi Timur-Barat. Dialog lintas budaya itu perlu diarahkan untuk membuang stereotip dan membuka pintu bagi kemungkinan kontak antara warga Iran dan Amerika. Sementara itu, sebagai politisi AS juga mengkritik kebijakan luar negri AS terhadap Iran dalam bentuk embergo ekonomi dan serangan militer. Dalam diplomasi, pendekatan “tongkat dan meriam” dinilai tidak, efektif bahkan kontra produktif. Selain politisi, berbagai kelompok masyarakat madani di AS pun mendesak agar AS mengubah diplomasi era colonial yang masih tersisa. Mereka meminta kebijakan AS di kawasan Teluk yang lebih berpihak kepada Israel diubah secara lebih berimbang demi kepentingan yang lebih besar. Sebagai langkah pertama menuju ke arah perbaikan hubungan itu, AS mendiring pertukaran budaya antara kedua Negara. Washington pun menginginkan dialog pada tingkat pemerintah dengan Iran. Juru bicara Kemenlu AS, James Rubin, menyerukan agar kedua Negara melenyapkan rasa saling curiga dengan cara memperkuat hubungan dibidang budaya. Ia mengusulkan diadakannya dialog antara para akademisi, penulis, seniman, wartawan, dan wisatawan. Jubih Gedung Putih, Mike McCurry, juga mengatakan bahwa pemerintah AS sangat menghargai keinginan Khatami untuk berdialog dengan rakyat AS karena hal itu dapat mempertemukan dua peradaban besar. Namun, langkah terbaik untuk menangani isu-isu yang muncul dalam hubungan antara kedua pemerintahan adalah dengan melakukan dialog secara langsung. Walau sudah muncul kehendak untuk memulihkan hubungan, hingga hari ini hubungan bilateral AS-Iran belum terwujud karena asal-usul dialog lintas budaya itu baru sebatas realitas retorika, tidak ditindaklanjuti dengan upaya nyata. Terlepas dari perkembangan ini, dialog lintas budaya sebagai bentuk diplomasi damai (soft diplomacy) merupakan pendekatan yang lebih utama dibandingkan diplomasi kekerasan (hard diplomacy) yang terlalu mahal, baik ditinjau dari tingginya resiko yang harus ditanggung maupun parahnya dampak yang ditimbulkan (Shoelhi, 2009:17). Soft diplomacy, temasuk dialog lintas budaya, merupakan pendekatan lebih efektif untuk menyelesaikan masalah bilateral, sedangkan hard diplomacy yang kerap dipandang sebagai soft diplomacy dalam bentuk lain merupakan pendekatan yang kerap melanggar nilai-nilai kebudayaan universal (Nye, 1998: 84). 1.Diplomasi Kebudayaan Kartini Sabekti, mantan Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat, dalam bukunya, Dinamika Diplomasi Indonesia dalam Praktik (2006), menyatakan bahwa kebudayaan dapat di manfaatkan sebagai sarana untuk mempererat hubungan internasional. Itulah sebabnya sejak dahulu suatu kebudayaan diperkenalkan para diplomat kepada masyrakat internasional untuk memengaruhi atau memperbaiki sikap dan pandangan mereka terhadap negaranya. Indonesia pun memanfaatkan kebudayaan sebagai sarana diplomasi. Dalam hubungan antarbangsa, kebudayaan merupakan sarana penunjang yang ampuh bagi diplomasi dan dapat menumbuhkan saling pengertian, bahkan dapat menjembatani kebudayaan ini, berbagai festival internasional mengenai kebudayaan diselenggarakan di mancanegara, antara lain festival music, festival tari, pergelaran tari, pergelaran seni rupa, pertunjukan film, pameran buku, bazar makanan tradisional, dan lain-lain. Festiva;-festival semacam itu selalu menarik minat sebagian besar khalayak di Negara tempat festival tersebut diselenggarakan. Melalui festival, terjadilah interaksi yang aktif antarmanusia dan antarbangsa, dan ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menunjang kegiatan diplomasi. Diplomat paling gencar melakukan diplomasi melalui sarana kebudayaan adalah Menteri Luar Negeri, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja. Mochtar boleh disebut sebagai diplomat yang pertama kali mencanangkan diplomasi kebudayaan dalam melancarkan strategi komunikasi. Khususnya diplomasi kebudayaan. Diplomasi kebudayaan dikembangkannya secara lebih terarah dan terorganisasi dalam program kampanye kebudayaan secara besar-besaran. Program ini diadakan untuk lebih mencitrakan citra positif Indonesia di dunia internasional, di samping untuk menarik lebih banyak wisatawan asing berkunjung ke Indonesia dan investor asing untuk menanamkan modal ke Indonesia. Salah satu program diplomasi kebudayaan dilaksanakan di Amerika selatan selama dua tahun, dengan tajuk Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat pada 1990-1991. Diplomasi kebudayaan dilaksanakan dengan mengadakan pameran dan pergelaran seni budaya di tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang, antara lain pameran inti di Museum Houston dan Museum Dallas, serta pameran terkait di St. Thomas University, University of Houston, dan beberapa univeristas lainnya. Pameran ini merupakan pameran keliling di berbagai kota besar AS. Dalam pameran tersebut ditampilkan permainan seni music angklung, kolintang, gamelan; benda-benda tradisional bersejarah; barang-barang antik yang dibuat dari emas, perak; perhiasan permata keratin yang dipinjam dari Istana Sultan Aceh, Ternate, dan Jogjakarta; mode-mode pakaian tradisional; berbagai tarian daerah dan pameran seni rupa, festival makanan; serta pertunjukan film dan pergelaran teater. Pada waktu yang sama, secara serentak diadakan ceramah- ceramah mengenai ekonomi, perdagangan, dan pariwisata. Karena berhasil dan sukses, diplomasi kebudayaan ini kemudian dilanjutkan di Australia, Belanda, Kanada, dan Negara-negara maju lainnya. Penyelenggaraan World Olympic Games yang berlangsung di Amerika Serikat, diikut Negara-negara dari seluruh dunia. Jambore Pramuka Internasional di London, Inggris, dihadiri pramuka dari banyak Negara. Konser Setia Kawan di Kuala Lumpur yang menyajikan lagu dan tarian local Malaysia serta beberapa Negara Asia Tenggara, dan Asian Science Camp di Bali yang diikuti 500 mahasiswa dari sejumlah benua Asia untuk mendiskusi berbagai temuan dengan bimbingan lima tokoh pemenang hadiah Nobel. Semuanya termasuk dalam kegiatam diplomasi kebudayaan. 2.Diplomasi Bola ala Turki –Armenia Komunikasi lintas budaya dapat dilaksanakan dalam beragam cara atau gaya, antara lain melalui kegiatan pertandingan olahraga internasional. Ketika berlangsung pertandingan kualifikasi Piala Dunia Zona Eropa Grup 5 (2009), dipertunjukan sebuah diplomasi yang unik yang disebut “Diplomasi Bola” saat tim keseblasan Turki-Armenia bertanding. Sebelumnya, Turki dan Armenia adalah dua Negara yang saling bermusuhan. Kedua tim yang bertanding di Stadion Ataturk di Bursa, dipastikan tidak akan lolos ke Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Namun, Pertandingan itu tetap bermakna mendalam bagi hubungan kedua Negara di pentas internasional. Bukan persoalan pertandingannya, melainkan kesepakatan diplomatic yang diteken kedua Negara saat pertandingan berlangsung, untuk mengakhiri permusuhan keduanya selama seabad. Dengan demikian, diplomasi bola ini mampu menyelesaikan masalah dan mencairkan suasana permusuhan di lapangan rumput. Kesepakatan yang dicapai Turki-Armenia itu membuka jalan keduanya untuk memperbaiki hubungan bilateral. Salah satu yang ditunggu ialah pembukaan perbatasan kedua Negara yang dijadwalkan dalam dua bulan setelah Diploma bola itu. Dalam rangkaian acara pertandingan itu, Presiden Armenia, Serge Sarkisian, datang ke stadion yang menjadi kandang klub Turki, Bursaspor, setelah melakukan makan malam bersama dengan Presiden Turki, Abdullah Gul. Setahun sebelumnya, Gul juga melakukan hal yang sama saat menonton pertandingan kedua tim di Armenia. Pada kesempatan itu, Menteri Luar Negeri Swiss, Micheline Calmy-Rey, juga terlihat berada pada stadion tersebut bersama Menlu Turki dan Menlu Armenia. Ketiganya adalah yang pada ahad (11/10) menandatangani kesepakatan diplomatic Turki-Armenia di Swiss. Sebelumnya, PM Turki, Recep Tayyip Erdogan, memperingatkan perintah agar melawan provokasi yang datang dari orang-orang yang hendak mengganggu proses perdamaian kedua Negara. Kesepakatan tersebut sebenarnya memperoleh dukungan kuat dari parlemen kedua Negara. Kendati di sisi lain, kritikan dan tekanan dari oposisi nasionalis tetap diterima. Peristiwa tersebut mengukuhkan bahwa sepak bola telah digunakan sebagai ajang diplomasi
3.Konferensi Lintas budaya
Banyak fenomena dan fakta komunikasi lintas budaya yang menarik dan perlu diperhatikan untuk dipelajari. pada akhir dasawarsa 1990-an, pakar komunikasi politik internasional dari Harvard University, Samuel P. Huntington (1993), melontarkan pernyataan bahwa dengan ambruknya Uni Soviet maka selesailah Perang dingin antara ideologi komunis versus ideologi kapitalis. Kendati demikian, Amerika serikat masih menghadapi ancaman permusuhan baru ideologi, antara lain yang paling potensial dari Islam dan Kong Hu Cu. Karena akar permusuhan bersumber dari sentiment keagamaan, Huntington menyebut premisnya sebagai clash for civilization (bentrokan peradaban). Secara diplomatis, ia pun menyatakan bahwa arena permusuhan ini lebih merupakan benturan budaya, bukan perang fisik demi perluasan pengaruh dan perlombaan senjata. Bak drama, menyusul premis itu, AS dengan dukungan lobi zionis melancarkan scenario memukul islam dengan cara mendahului (preemptive strike) sebelum dunia Islam menjadi kekuatan besar dunia, di samping Eropa dan China, hingga ia mendeklarasikan War against Terrorism. Perang melawan terorisme ini dahului dengan presiden penyerangan menara kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat, September 2011, oleh konspirasi teroris zionis. Kekuatan islam dituduh berada di balik tidakan kekerasan itu. Dunia Islam pun digoncang oleh gerakan agenda perang melawan terorisme yang dipimpin oleh Presiden AS, George W. Bush. Bush menuduh bahwa gerakan fundamentalisme Islam harus bertanggung jawab aksi teroris tersebut. Scenario ini tentu saja sangat mengejutkan Dunia Islam karena yang dimaksud dalam pengertian perang melawan terorisme itu ternyata adalah perang melawan islam. Usamah bin Ladin dijadikan sebagai ikon terorisme dari Dunia Islam. Selain sebagai teroris, ia juga dituduh sebagai penyokong Taliban yang gigih berjuang untuk menggulingkan penguasa Afganistan yang notabene boneka Amerika. Tak ayal lagi, para jihadis asuhan Usamah yang terkenal telah berhasil mengusir kekuatan Uni Soviet dari Bumi para mullah itu pun dikejar-kejar, termasuk alumni Afganistan asal Indonesia, Amrozi dkk., yang telah meledakkan Bom Bali. Setelah itu, sejumlah Negara Dunia Islam, termasuk Indonesia, dikejutkan dengan maraknya serangan bom dalam desain War Against Terrorism. Sejak peristiwa Bom Bali, Amerika Serikat menuduh Indonesia sebagai sarang teroris. Duta besar AS di Jakarta waktu itu, Ralph L. Boyce, bahkan menyarankan agar pemerintah Indonesia menutup pesantren yang dijadikan sebagai tempat berlindung para teroris dan mengindentifikasi sidik jari para santri sebagai upaya pendeteksian dini terhadap gerakan terorisme. Seperti kasus pemboman gedung WTC di New York yang merupakan rekayasa penuh kebohongan public, tuduhan AS terhadap Indonesia ini juga diwarnai kebohongan yang sama. Pernyataan Bush dan Boyce itu seolah merupakan pernyataan orang tak bersalah, dan mengesankan pihak lain yang bersalah, khususnya Dunia Islam. Padahal, Dunia Islam sama sekali tidak tahu-menahu mengenai itu. Dunia Islam dijadikan target sebagai pihak yang bersalah dan tertuduh. Sementara itu, semua gerakan terorisme dirancang dan digerakkan dari Gedung Putih. Para ahli kebudayaan Amerika Serikat berpendapat bahwa apa yang dipamerkan AS di muka dunia itu merupakan cerminan “budaya jingo”. Seperti diceritakan dalam film-film koboi, seorang perampok menuduh orang lain sebagai perambok dan sang perampok sekaligus memberi hukuman kepada orang yang dituduhnya. Dengan presiden penyerangan gedung WTC, George Bush menuduh Usamah yang pro-Toliban sebagai Pelakunya. Dengan tuduhan itu dan dengan alasan mengejar Usamah, AS kemudian menyerang dan menduduki Afganistan sebagai hukumannya. Untuk melenyapkan jejak kontribusi Usamah dkk. Dalam mengusir Uni Soviet dari Afganistan, bukan hanya Usamah saja yang dijadikan target, juga jihadis lainnya. Negara-negara di Dunia Islam yang khawatir dengan praktik “budaya jingo” ala AS ini, tidak bersedia dijadikan target selanjutnya. Pemerintah Indonesia menegaskan menentang gerakan terorisme. Perlawanan ini ditunjukan dengan berbagai upaya, termasuk dengan membentuk satuan Detasemen Khusus Antiterror. Hal yang tidak kalah paling penting, pemerintah dan masyarakat juga menggelar berbagai dialog lintas budaya dengan melibatkan banyak Negara, baik dari kawasan ASEAN maupun kawan lain, dan juga berbagi kelompok masyarakat di dalam dan luar negri. Tidak sendikit dialog lintas budaya dilakukan dalam konferensi dan symposium internasional untuk meredam situasi yang menegangkan itu. Di Jogjakarta, pada minggu pertama Oktober 2006, misalnya, pemerintah mengadakan perhelatan bertajuk Intercultural and Interfaith Symposium dengan mengundang seluruh Negara anggota APEC (Asia Pasific Economic Cooperation), tak kecuali Amerika Serikat dan Rusia. Perhelatan ini bertujuan untuk mempromosikan kerja sama dan membangun jembatan bagi perbedaan budaya dan perbedaan keyakinan yang berkembang di kawasan APEC. Di dalam forum ini, Para petinggi APEC bertukar pandangan mengenai perkembangan situasi dan berdiskusi mengenai isu-isu budaya untuk menunjukkan kepedulian terhadap gerakan terorisme internasional. Joelianto, utusan Indonesia untuk urusan APEC, menyatakan bahwa kekuatan untuk mengubah keadaan perlu ditarik dengan mengidentifikasi landasan bersama dalam budaya dan agama untuk menciptakan komunitas yang lebih kuat yang diikat oleh kesamaan dan kesepakatan. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Indonesia, Hasan Wirajuda, dalam pidato pembukaan menyatakan bahwa konferensi ini sangat instrumental untuk mengembangkan saling pengertian dan kepentingan bersama di balik perbedaan budaya dan agama yang hidup di kawasan APEC. Dalam pandangannya, kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi saling berpengaruh; dan di dunia yang penuh dengan interkonektivitas, stabilitas sosial budaya, dan politik memengaruhi kemajuan ekonomi. Hasan sependapat dengan para analis bahwa meski kondisi kerawanan relatif rendah, kemungkinan pecah konflik budaya dan agama di Asia Pasifik di tahun 5-10 tahun mendatang tetap terbuka, bila APEC menyepelekan (underestimate) terhadap gerakan ekstremis yang mengancam kawasan. Karena alasan itu, pertemuan lintas budaya di selenggarakan untuk mencari kesamaan pandangan guna mengantisipasi kemungkinan buruk itu. Sebagai bagian dari upaya mencegah potensi krisi kebudayaan, pada November 2013 pemerintah Indonesia menggelar World Culture Forum (WCF) di Bali. Dalam kesempatan tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa budaya dapat menjembatani perbedaan dan untuk menyakinkan bahwa kebudayaan yang dimiliki setiap bangsa tidak boleh terkikis oleh pengaruh kebudayaan luar maupun untuk mencegah terjadinya benturan kebudayaan. Forum ini pun di tujukan sebagai media untuk secara eksplisit mengekspos konvergensi kebudayaan. Dengan memahami pengetahuan tentang anek ragam kebudayaan akan menghasilkan kebijaksanaan kebudayaan. Corak konvergensi kebudayaan yang diwarnai nilai kebijaksanaan inilah yang diharapkan Indonesia untuk membentuk masa depan. Melalui forum yang mengangkat tema The Power of Culture In Sustainble Development, Indonesia menegaskan, No Culture, No Future. Kepada segenap perserta forum Budaya Dunia dari sejumlah Negara disuguhkan tayangan sebuah video yang menceritakan kebudayaan dan profile Indonesia. Melalui video tersebut dilukiskan bagaimana kebudayaan menjadi faktor harmoni kehidupan sosial di Indonesia. Presiden SBY menyatakan bahwa Bali dapat dilihat sebagai contoh kecil tempat budaya Barat dan Timur bertemu dan hidup bersisian secara harmonis. Prinsip hidup orang Bali, Tri Hita Karana, dapat menjadi contoh kebudayaan sebagai pedoman hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan.
TUGAS KE – 4
1. Jelaskan fenomena komunikasi lintas budaya
2. Sebutkan tujuan yang bersifat kognitif dan efektif menurut Litvin (dalam mulyana ,ed.,2001:xi) 3. Jelaskan hubungan korelasi komunikasi lintas budaya dengan hubungan dan politik internasional 4. Berikan contoh hubungan internasional dan politik internasional dalam komunikasi lintas budaya 5. Sebutkan faktor pemicu komunikasi lintas budaya 6. Jelaskan keempat aspek pemicu komunikasi lintas budaya 7. Menurut Rumondor (2001) secara eksplisit menyebut beberapa ketimpangan informasi dan komunikasi, sebutkan beberapa aspek tersebut 8. Jelaskan yang dimaksud diplomasi sebagai budaya internasional 9. Jelaskan diplomasi kebudayaan dan diplomasi bola ala Turki-Armenia 10. Jelaskan yang dimaksud konferensi lintas budaya