Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

Keputusan untuk melakukan transportasi pasien kritis baik didalam rumah sakit atau
antar rumah sakit harus dibuat berdasarkan pada penilaian dari kemungkinan manfaat dari
transport tersebut lebih besar dari pada resiko transport. Pasien-pasien dengan kondisi kritis
yang akan ditransportasi ke lokasi lain untuk mendapatkan perawatan lainnya, baik itu
perawatan teknis, kognitif, atau prosedural, yang tidak tersedia pada lokasi sebelumnya.
Kebutuhan untuk perawatan tambahan tersebut membuat pasien harus ditransportasi ke
departement diagnostik, ruang operasi, atau unit perawatan khusus didalam rumah sakit, atau
ke rumah sakit yang berbeda. Jika prosedur pemeriksaan diagnostik atau intervensi
kemungkinan tidak akan merubah penatalaksanaan atau luaran dari pasien tersebut, maka
keputusan untuk melakukan transportasi pasien harus ditinjau kembali. Jika memungkinkan
dan aman, uji diagnostik atau prosedur-prosedur sederhana pada pasien-pasien tidak stabil
atau pasien yang kemungkinan tidak stabil biasanya dapat dilakukan pada bedside di ICU.
Pertimbangan finansial tidak menjadi suatu faktor yang harus dipikirkan ketika
mempertimbangkan transportasi pasien kritis. (inter-intrahospital transport)

Critically ill patients are at increase risk of morbidity and mortality durin transport (3–
17). Risk can be minimize and outcomes improved with carefu planning, the use of
appropriately qualified personnel, and selection and availability of appropriate equipment (16 –
37). During transport, there is no hiatus in the monitoring or maintenance of a patient’s vital
functions. Furthermore, the accompanying personnel and equipment are selected by training to
provide for any ongoing or anticipated acute care needs of the patient.

Ideally, all critical care transports, both inter- and intrahospital, are performed by
specially trained individuals. Since there will almost certainly be situations when a specialized
team is not available for interhospital transport, each referring and tertiary institution must
develop contingency plans using locally available resources for those instances when the
referring facility cannot perform the transport. A comprehensive and effective interhospital
transfer plan can be developed using a systematic approach comprised of four critical elements:
a) A multidisciplinary team of physicians, nurses, respiratory therapists, hospital administration,
and the local emergency medical service is formed to plan and coordinate the process; b) the
team conducts a needs assessment of the facility that focuses on patient demographics,
transfer volume, transfer patterns, and available resources (personnel, equipment, emergency
medical service, communication); c) with this data, a written standardized transfer plan is
developed and implemented; and d) the transfer plan is evaluated and refined regularly using a
standard quality improvement process.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI

2.1.1. Transfer Primer

Perpindahan pasien dari tempat kejadian cedera atau kesakitan menuju ke


rumah sakit. Tranportasi ini merupakan tanggung jawab dari pelayanan ambulance
emergensi, dan diluar dari topik pembahasan.

2.1.2. Transfer Sekunder

Perpindahan pasien dari satu instansi rumah sakit ke instansi lainnya. Transfer
ini dapat berupa transfer intra-rumah sakit atau antar rumah sakit. (critical care
manual and procedure)

2.2. TUJUAN

Tujuan dari critical care transfer adalah untuk memfasilitasi keamanan transfer pasien,
menghindari berbagai perburukan klinis, dan juga meminimalisir resiko cedera terhadap pasien,
dan petugas. Pasien paling kurang harus mendapatkan pelayanan normal standar saat
transportasi seperti pelayanan atau perawatan yang akan mereka dapatkan di unit tempat
mereka akan di transfer. (critical care manual and procedure)

2.3. INDIKASI

Pasien-pasien dengan kondisi penyakit kritis dapat ditransportasi antar departemen


dalam rumah sakit yang sama karena beberapa alasan. Indikasi yang paling sering antara lain:

a. Peningkatan tingkat perawatan (misalnya, perpindahan dari ruang rawatan ke


departemen emergensi atau unit ciritical care)
b. Dari unit crititcal care ke ruang operasi (misalnya, untuk tindakan atau intervensi
pembedahan)
c. Dari unit ciritical care ke unit radiologi/angiografi (misalnya untuk investigasi atau
terapi)
d. Penurunan tingkat perawatan (misalnya, dari fasilitas perawatan level 3 ke level 2)
(critical care manual and procedure)

The in-hospital transfer of the deteriorating patient requiring escalation to a higher level of
care can be particularly challenging. Focus on pre-transfer resuscitation and stabilization prior
to transfer is mandatory.

Transfer of a patient out of the ICU environment for diagnostic or therapeutic intervention
can often be for prolonged periods and to discreet locations some distance away from the ICU.
The decision to transfer should be based on the balance between probable benefit of the
proposed intervention and potential risk. Observational studies do suggest, however, that the
yield from diagnostic intervention in this group is high. Wadyhas et al. [5] noted angiography
and abdominal computed tomography (CT) resulted in therapeutic consequences in more than
50% of patients. However, alternative strategies, including the use of bedside investigations
such as ultrasound, should be considered.

There is evidence that discharge of patients from intensive care during the night shift hours
is associated with increased morbidity and mortality [6,7]. Therefore, unplanned, out-of-hours
transfers/ discharges should be avoided wherever possible. (oxford textbook)

2.4. MANFAAT DAN RESIKO

2.5. STABILISASI PRE TRANSFER

2.5.1. AIRWAY

2.5.2. BREATHING

2.5.3. CIRCULATION

2.5.4. DISABILITY

2.5.5. EXPOSURE

2.6. MONITORING

2.7. PERALATAN

2.8. OBAT-OBATAN

2.9. KESALAHAN YANG SERING TERJADI

BAB III

KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai