Anda di halaman 1dari 31

PENANGANAN

PERMASALAHAN DALAM PENGELOLAAN


MIGAS HIJAU
SHALE OIL
SHALE GAS
CBM
A. Lesto P. Kusumo
Ketua KMI Yogyakarta

GERAKAN PENGGUNAAN MIGAS HIJAU UNTUK MEWUJUDKAN INDONESIA YANG


LEBIH HIJAU
RANGKAIAN ACARA IATMI SATUKAN ENERGI 2013
UPN “VETERAN” YOGYAKARTA
12 OKTOBER 21013
CURRICULUM VITAE

NAMA : A. LESTO PRABHANCANA KUSUMO


SARJANA : TEKNIK PERMINYAKAN UPN “VETERAN” YOGYAKARTA

PEKERJAAN:
KONSULTAN CORROSION AND COATING MANAGEMENT
KONSULTAN STRUCTURE ASSESSMENT
KONSULTAN SURFACE FACILITIES RELIABILITY
KONSULTANT WASTE SOLID AND WASTE WATER BILOGICAL REMEDIATION

NARASUMBER KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM -DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR


BIDANG:
1. GEOSPATIAL DAN PEMETAAN BENCANA
2. SISTEM INFORMASI DAN TELEMETRI
3. INVESTIGASI DAN OBSERVASI KEBENCANAAN DAN MITIGASI BENCANA
4. KONSERVASI SUMBER DAYA LINGKUNGAN DAN AIR
5. COMMUNITY DEVELOPMENT

ORGANISASI PROFESI
1. KETUA KMI YOGYAKARTA
2. KETUA BIDANG CORROSION MANAGEMENT – INDOCOR
3. DEWAN PAKAR BIDANG COATING MANAGEMENT – ASCOATINDO

ORGANISASI SOSIAL
KOORDINATOR COMMUNITY DEVELOPMENT – KELUARGA SABO INDONESIA
KOORDINATOR MERAPI RESCUE COMMUNITY (MRC) MITIGATION, RESCUE AND CONSERVATION
Shale gas dan shale oil adalah energi non-konvensional. Disebut seperti itu,
karena proses eksplorasi dan ekploitasinya yang lebih sulit daripada minyak
dan gas bumi yang selama ini dikenal. Shale gas dan shale oil bisa
didapatkan di kedalaman 1.500 sampai 3.000 meter di bawah permukaan
tanah. Kandungan minyak dan gas itu terdapat di antara formasi batuan
serpih. Biaya eksplorasi untuk menemukan shale gas dan shale oil lebih
tinggi daripada pencarian minyak dan gas bumi dengan cara konvensional.
Meski prosesnya lebih rumit, shale gas dan shale oil digadang-gadang bisa
mendongkrak cadangan minyak dan gas dunia yang jumlahnya semakin
menipis.
SHALE GAS INDONESIA
Shale gas adalah gas alam yang terdapat di dalam batuan shale, yaitu sejenis batu lunak
(serpih) yang kaya akan minyak ataupun gas. Keberadaan shale gas tidak sedalam gas bumi
atau hanya berjarak antara 300-400 meter di bawah permukaan laut, sementara untuk gas
konvensional keberadaannya mencapai lebih dari 2.000 meter.
Terdapat dua macam teknik pengeboran untuk shale gas, yakni melalui pengeboran
horisontal atau hydraulic fracturing. Teknik ini juga yang membedakan shale gas dengan gas
alam konvensional. Karena letak sumber cadangan gasnya yang berbeda, maka lain pula
teknik pengeboran yang digunakan.
Konon, shale gas ini lebih ramah lingkungan, karena mampu mengurangi efek rumah kaca
akibat emisi karbon yang dihasilkannya lebih sedikit dibandingkan gas alam konvensional.
Hanya saja,biaya ekstraksi shale gas ini cukup mahal.
Potensi shale gas di Indonesia, berdasarkan estimasi Indonesian Petroluem Association (IPA)
sementara ini diperkirakan mencapai 450 trillion cubic feet (TCF) yang ada di Sumatera,
Kalimantan, Jawa dan Papua.
Pengembangan shale gas diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No.15/ 2012 tentang Tata
Cara Penetapan Dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak Dan Gas Bumi Non Konvensional.
Teknisnya, pemerintah akan menawarkan wilayah kerja shale gas melalui tender reguler.
Daftar sementara blok yang akan ditawarkan tersebut adalah Blok North Tarakan, Blok
Berau, Blok Kutai I dan Blok Kutai II. Keempat WK tersebut berlokasi di Pulau Kalimantan.
Sementara dua WK lainnya berlokasi di Pulau Sumatera Selatan yaitu Blok Rama dan Blok
Shinta.
PERMASALAHAN
Sebab energi baru ini juga akan
menimbulkan masalah baru di kemudian
hari. Tak dipungkiri, dalam pengeboran
shale gas diperlukan banyak air. Sebaliknya
pengeboran shale gas menghasilkan limbah
air (dan kimia) yang membutuhkan
penanganan lebih lanjut. Eksplorasi shale
gas yang dinamakan ‘fracking’
membutuhkan air tawar dalam jumlah
besar. Air tawar yang dicampur dengan
bahan kimia dan propan akan dipompa ke
dalam sumur minyak. Proses ini
dimaksudkan agar minyak dan gas yang
menempel pada batuan bisa terlepas dan
dapat diangkut ke permukaan. Akibat dari
proses ini kawasan yang mengandung shale
gas akan tercemar bahan kimia. Selain itu,
krisis air bersih di lahan eksplorasi yang
berujung pada kekeringan dan hancurnya
lahan pertanian sulit sekali untuk dihindari.
SHALE OIL
Bahan dasar minyak dari fosil hewan purba diproduksi bebatuan di perut bumi. Ada dua
jenis bebatuan yang menjadi tempat produksi bahan minyak ini, pertama batuan induk
yang merupakan tempat produksi minyak utama. Di bebatuan induk ini bahan minyak
mengalami proses alamiah dengan temperatur dan tekanan tertentu sehingga mampu
mengubah bahan minyak menjadi minyak.
Produksi minyak larinya ke non konvensional seperti shale oil, dimana eksplorasi langsung
ke targetnya yaitu ke batuan induk, kedalamannya lebih besar, karena tak perlu nunggu
minyak migrasi ke atas (voar). Shale oil dikejar di tempat minyak itu terbentuk.
Indonesia masih sulit mengembangkan teknologi eksplorasi minyak secara
nonkonvensional untuk mendapat shale oil atau minyak yang didapat dari sumber minyak
utama (batuan induk). Eksplorasi minyak non konvensional berbeda dengan eksporasi
minyak konvensional. Pengeboran minyak konvensional cukup dilakukan di permukaan
tanah, sedangkan pengeeboran minyak non konvensional harus sangat dalam. Makin
dalam pengeboran akan makin banyak biaya yang dikeluarkan. Belum lagi tingkat
teknologi produksi juga makin rumit.
PERMASALAHAN
Pemboran sangat dalam tentunya
menimbulakan masalah baru terutama dalam
pengelolaan limbah pemboran atau Waste
Drilling dalam bentung Waste Soild dan Waste
water. Saat mennggunakan lumpur Water based
mud maka dihasilkan lumpur yang kkemudian
dipisahkan menjadi lumpur, batuan dan air. Air
dan lumpur ini masih dapat digunakan kembali
untuk pemboran, sementara batuan akan
dipisahkan sebagai waste solid selanjunya
dilakukan perlakuan penanganan. Waste solid
akan bermasalahan saat pengeboran
menggunakan Oil based Mud (OBM) atau
Synthetic Oil based Mud (SOBM). Dimana tOBM
aatau SOBM yang tidak dapat dipisahkan dari
batuan perlu dilakukan treatmen khusus. Bila
pemboran sangat dala dilakukan maka jumlah
limbah yang terjadi menjadi sangat banyak.
Pemboran konvensional saat ini sudah
meninggalakan banyak masalah apalagi bila
dilakukan pemboran non konvensional
khususnya pemboran dalam.
CBM (Coal Bed Methane)
Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena
permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa
benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali
terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala mikron, sehingga batubara
ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara menjadi
sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan
gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin
besar.
Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga
secara umum gas ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam
klasifikasi energi, CBM termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama
dengan tight sand gas, devonian shale gas, dan gas hydrate. High quality
gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap sebagai conventional gas.
Produksi CBM
Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika
berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam
lapisan batubara. Adapun bagian pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut
dengan matriks (coal matrix), tempat dimana kebanyakan CBM menempel pada pori-pori
yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi
CBM selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock.
Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:
Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir CBM (coal) pada
kedalaman, tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume CBM bisa mencapai 3 –
6 kali lebih banyak dari conventional gas. Dengan kata lain, CBM menarik secara kuantitas.
Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal matrix, sehingga dari segi
eksplorasi faktor keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa terdapat pada antiklin maupun
sinklin. Secara mudahnya dapat dikatakan bahwa ada batubara ada CBM.
Untuk memperoleh CBM, sumur produksi dibuat
melalui pengeboran dari permukaan tanah sampai ke
lapisan batubara target. Karena di dalam tanah sendiri
lapisan batubara mengalami tekanan yang tinggi, maka
efek penurunan tekanan akan timbul bila air tanah di
sekitar lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas.
Hal ini akan menyebabkan gas metana terlepas dari
lapisan batubara yang memerangkapnya, dan
selanjutnya akan mengalir ke permukaan tanah
melalui sumur produksi tadi. Selain gas, air dalam
jumlah yang banyak juga akan keluar pada proses
produksi ini.

PERMASALAHAN
CBM diproduksi pada kedalaman yang relatif dangkal dan dalam jumlah besar juga diikuti
oleh produksi air. Tekanan antara batuan dengan air yang berada diantara lapisan batubara
akan membentuk rekahan alami yang juga sebagai tempat terserapnya(adsorbsi) gas
methane tersebut di dalam lapisan batubara.
Produksi CBM pada tiap sumur selalu dimulai dengan cara memproduksikan air
dalam jumlah yang sangat banyak. Tentunya hal ini harus diperhatikan dan harus menjadi
concern dan kepedulian oleh para operator CBM mengingat produksi air dari hasil
dewatering pada CBM memiliki dampak yang serius pada lingkungan apabila tidak
ditangani.
PROSES LIMBAH AIR
Pengelolaan air terproduksi pada pengembangan
CBM sampai saat ini harus menjadi fokus lingkungan
hidup yakni air terproduksi yang dibuang langsung
ke permukaan (lingkungan) tidak boleh melewati
ambang batas yang telah ditentukan oleh
Pemerintah. Terdapat 3 (tiga) tahapan utama dalam
memproduksi CBM, antara lain;
1. Tahap pengurasan air, dimana sejumlah air
dengan muatan yang besar akan diproduksi
bersamaan dengan keluarnya gas CBM
2. Tahap stabil, sebagai tahapan produksi stabil
yang terjadi setelah pengurangan tekanan reservoir
pada tahap pertama dilakukan dimana dalam tahap
ini sejumlah gas yang diproduksi akan meningkat
dan jumlah air yang diproduksikan akan menurun
3. Tahap penurunan, yaitu terjadi penurunan
jumlah gas yang diproduksi dan produksi air juga
rendah
Beberapa metode yang digunakan untuk mengelola
air CBM antara lain; surface discharge, infiltration
impoundments, re-injection dan reverse osmosis.
TERKADANG KOLAM/POND
DIBIARKAN KERING

BUTUH BANYAK KOLAM/POND


PERMASALAHAN

SHALE GAS – LIMBAH PEMBORAN DAN LIMBAH AIR


SHALE OIL – LIMBAH PEMBORAN (PADAT DAN CAIR)
CBM – LIMBAH AIR PRODUKSI

ISSUES
Total Petroleum Hydrocarbon (TPH)
Toxicity Characterization Leaching Procedures (TCLP)
Total Dissolved Solids (TDS)
Total Solid Suspended (TSS)
Chemical Oxygen Demand (COD)
Biochemical Oxygen Demand (BOD)
BTEX
PCB (Clorine)
Toxicity Characterization Leaching Procedures (TCLP)
Metode uji ekstraksi untuk menentukan mobilitas analit baik organik dan anorganik hadir
dalam bentuk cair, limbah padat, dan multifase yang memiliki sifat mudah terbakar
(Ignitable), korosif (Corossive), reaktif (Reactive) dan beracun (toxic).
Kandungan logam berat yang diuji meliputi arsen (As), barium (Ba), boron (B), kadmium
(Cd), chromium (Cr), tembaga (Cu), merkuri (Hg), perak (Ag), selenium (Se), dan seng (Zn).
Serta beberapa kandungan lain.
Uji toksikologi ini merupakan pengujian terhadap hasil olahan untuk menetapkan nilai
LD50 (Lethal Dose Fifty) dengan melakukan perhitungan terhadap dosis (garam pencemar
per kilogramberat badan) yang dapat menyebabkan kematian 50% populasi mahluk hidup.

TCLP for CUTTING WATER BASE MUD TCLP for CUTTING OIL BASE MUD
Result Max Tol Result Max Tol
Arsen As mg/l ND 5 TPH As % Vol 5% 1%
Barium Ba mg/l 6,6 100 Arsen As mg/l ND 5
Boron B mg/l 9 500 Barium Ba mg/l ND 100
Cadmium Cd mg/l 0,06 1 Boron B mg/l 3,5 500
Chromium Cr mg/l 0,09 5 Cadmium Cd mg/l 0,03 1
Copper Cu mg/l 0,05 10 ChromiumCr mg/l 0,01 5
Lead Pb mg/l 0,8 5 Copper Cu mg/l <0.002 10
Mercury Hg mg/l ND 0,2 Lead Pb mg/l 1,2 5
Selenium Se mg/l ND 1 Mercury Hg mg/l ND 0,2
Silver Ag mg/l ND 5 Selenium Se mg/l ND 1
Zinc Zn mg/l 0,9 50 Silver Ag mg/l ND 5
Zinc Zn mg/l 0,3 50
PEMANFAATAN TEKNOLOGI UNTUK AIR DAN LIMBAH
surface discharge
infiltration impoundments
re-injection
reverse osmosis

MAHAL
TEKNOLOGI MAHAL DAN SULIT
TIDAK MENYELESAIKAN MASALAH
KERJASAMA
SAMRO TECHNOLOGY INDONESIA DENGAN SCOMI
MENGGUNAKAN TEKNOLOGI HIJAU

BIOREX
Online Biological Remediation
Mobile Biological Treatment
Intermediate Biological Treatment
Sludge Biological Treatment
Oil Spill Biological Treatment
Offline Bioremediation
Phytoremediation
Biological Waste Water Treatment Solution
Biological Water Treatment Solution
BIOREX
BIOLOGICAL REMEDIATION SYSTEM
BIOREMEDIATION PROCESS
Enzymed : Microbes → Enzymes→Catalyst
Perform Anion and Cation Exchange
Degradation
Decomposition
Decomposting

Pack/Bag Intermediate
Insitu Ex situ
Storage Yard Storage Yard
BIOREX
BIOLOGICAL REMEDIATION SYSTEM
BIOREX
BIOLOGICAL REMEDIATION SYSTEM
BIOREX
BIOLOGICAL REMEDIATION SYSTEM

Packcking Intermediate
Insitu Ex situ
Storage Yard Storage Yard

Packing Waste Solid into bag with Biological process is working in bag
inserted biological agent (Biorex) (fermented process)
BIOREX
BIOLOGICAL REMEDIATION SYSTEM

Packcking Intermediate
Insitu Ex situ
Storage Yard Storage Yard

Unpacking Waste Solid into Intermediate Enhanced biological process and Phyto
yard to enhaced biological process Biorex to reduce heavy metal
contaminant and hydrocarbon
BIOREX
BIOLOGICAL REMEDIATION SYSTEM
BIOREX
BIOLOGICAL REMEDIATION SYSTEM
BIOREX
BIOLOGICAL REMEDIATION SYSTEM

KESIMPULAN
1. MIGAS HIJAU TIDAK BERARTI PROSES JUGA BERSIFTA HIJAU BILA TIDAK
DIANTISIPASI
2. MIGAS HIJAU MEMBUTUHKAN TEKNOLOGI TINGGI
3. MIGAS HIJAU MEMBUTUHKAN BIAYA MAHAL
4. BANYAK MASALAH LINGKUNGAN YANG DIAKIBATKAN MIGAS HIJAU
5. PENGELOLAAN MIGAS HIJAU DARI HULU HINGGA HILIR PERLU MEMPERHATIKAN
KEHIJAUANNYA
6. PERMASALAHAN SAAT EKSPLORASI, EKSPLOITASI HINGGA PRODUKSI PERLU
DIPERHATIKAN DENGAN SEKSAMA
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai