Anda di halaman 1dari 54

CR SKENARIO 3

BLOK 5.1
“Sistem Hematologi”

Nama : Fahrizky Nugraha Hendrawan

NPM : 119170050

Kelompok : 3B

Semester :5

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2021
SKENARIO
Seorang laki-aki berusia 48 tahun datang ke dokter umum dengan keluhan badan
terasa lemas dan kepala pusing
STEP 1
Keluhan utama: badan terasa lemah dan kepala pusing
STEP 2
Diagram Venn

Badan lemas Kepala pusing


- Anemia defisiensi
- DM tipe 2 besi - Hipoglikemia
- Hipotiroid - Anemia aplastik - Vertigo
- Anemia hemolitik
- Anemia
megaloblastik
STEP 3
1. Diabetes melitus tipe 2
Definisi dan epidemiologi
Diabetes melitus tipe 2 merupakan kumpulan gejala yang ditandai oleh
hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin atau resistensi insulin dan sekresi
insulin atau kedua-duanya.

Berdasarkan riset kesehatan Dasar tahun 2013 terjadi peningkatan dari 1,1 pada
2007 menjadi 2,1 2013. Proporsi penduduk lebih dari sama dengan 15 tahun
dengan diabetes melitus adalah 6,9%. Who memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta tahun 2000 menjadi sekitar
21,3 juta 2030

Penegakkan diagnosis
- Hasil anamnesis

Keluhan/ gejala khas

1) Polifagia
2) Poliuri
3) Polidipsi dan
4) Penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya

Keluhan yang tidak khas

1) Lemah
2) kesemutan
3) Gatal
4) Mata kabur
5) Disfungsi ereksi pada pria
6) Pruritus vulvae pada wanita
7) Luka yang sulit sembuh

Faktor risiko

1) Berat badan lebih dan obesitas atau au atau BMT lebih dari atau sama
dengan 25 kg/ m2
2) Riwayat DM di keluarga
3) Riwayat hipertensi (tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg)
4) Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4000 gram atau pernah
didiagnosis DM gestasional pada perempuan.
5) Riwayat gula darah darah puasa terganggu/ toleransi glukosa terganggu
6) Aktivitas jasmani yang kurang

- Pemeriksaan fisik
1) Penilaian berat badan
2) Mata: penurunan visus, lensa mata buram
3) Ekstremitas: uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen

- Pemeriksaan penunjang
1) Gula darah puasa
2) Gula darah 2 jam post prandial
3) Urinalisis

- Penegakan diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
darah secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Penggunaan darah
vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler. Kecurigaan adanya DMT2 perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik berupa; poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah vena dengan
sistem enzimatik dengan hasil :
1. Gejala klasik + GDP ≥ 126 mg/dl
2. Gejala klasik + GDS ≥ 200 mg/dl
3. Gejala klasik + GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
4. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl
5. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dl
6. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
7. HbA1c ≥ 6.5%

Meskipun TTGO dengan beban glukosa 75 g lebih sensitif dan spesifik


dibandingkan pemeriksaan glukosa darah puasa, TTGO memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit dilakukan berulang-ulang. Apabila hasil pemeriksaan
TTGO tidak memenuhi kriteria DMT2, dapat digolongkan ke dalam kelompok
TGT (toleransi glukosa terganggu/ impaired glucose tolerance) atau GDPT
(Glukosa Darah Puasa Terganggu/ impaired fasting glucose). Diagnosis TGT
ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa darah 2 jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dL. Diagnosis GDPT ditegakkan bila
setelah pemeriksaan glukosa darah puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL.

Tata laksana dan edukasi


Dalam mengobati pasien DMT2 tujuan yang harus dicapai adalah
meningkatkan kualitas hidup pasien. Tujuan penatalaksanaan meliputi tujuan
penatalaksanaan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan penatalaksanaan
jangka pendek adalah menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Tujuan
penatalaksanaan jangka panjang adalah untuk mencegah dan menghambat
progresivitas komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler, serta neuropati
diabetikum. Tujuan akhir pengelolaan DMT2 adalah menurunkan morbiditas
dan mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu penatalaksanaan
diabetes secara lebih dini dan lebih cepat sehingga kadar glukosa darah puasa,
glukosa darah setelah makan, variabilitas glukosa darah, HbA1c, tekanan
darah, berat badan dan profil lipid dapat dikendalikan. Hal ini dapat tercapai
melalui pengelolaan pasien
secaraholistikdenganmengajarkanperawatanmandiridanperubahanpola
hidup,disamping terapifarmakologis.
1. Terapi non farmakologis

Dari awal, pada pengelolaan pasien DMT2 harus direncanakan terapi non
farmakologis dan pertimbangan terapi farmakologis. Hal yang paling penting
pada terapi non farmakologis adalah monitor sendiri kadar glukosa darah dan
pendidikan berkelanjutan tentang penatalaksanaan diabetes pada pasien.
Latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama 30 menit/ kali),
merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari
seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, dan berkebun harus tetap
dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda
santai, joging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas
latihan jasmani bisa ditingkatkan. Sementara bagi mereka yang sudah
mengalami komplikasi DM, intensitas latihan jasmani dapat dikurangi. Terapi
nutrisi medis dilaksanakan dalam beberapa tahap. Pengenalan sumber dan
jenis karbohidrat, pencegahan dan penatalaksanaan hipoglikemia harus
dilakukan terhadap pasien. Terapi nutrisi medis ini bersifat bersifat individu.
Secara umum, terapi nutrisi medis meliputi upaya-upaya untuk mendorong
pola hidup sehat, membantu kontrol gula darah, dan membantu pengaturan
berat badan. Diet Diabetes Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah
kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Cara yang paling umum
digunakan adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal (BBI), ditambah atau dikurangi dengan
beberapa faktor koreksi. Faktor koreksi ini meliputi jenis kelamin, umur,
aktivitas, dan berat badan.

Komposisi Makanan

Persentase asupan karbohidrat yang dianjurkan untuk pasien DMT2 adalah


sebesar 45-65% dari kebutuhan kalori total. Persentase asupan lemak yang
dianjurkan adalah sekitar 20-25% dari kebutuhan kalori total.
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Pengelolaan DMT2 dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani


selama beberapa waktu. Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan
atau suntikan insulin. Pemilihan obat untuk pasien DMT2 memerlukan
pertimbangan yang banyak agar sesuai dengan kebutuhan pasien.
Pertimbangan itu meliputi, lamanya menderita diabetes, adanya komorbid dan
jenis komorbidnya, riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat hipoglikemia
sebelumnya, dan kadar HbA1c. Dengan pertimbangan tertentu, OHO dapat
segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Pada
keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat,
berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat
segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus dijelaskan kepada pasien.

Golongan Sulfonilurea

Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DMT2 sejak tahun 1950-an.


Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes
dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa darah tinggi. Obat yang tersedia
meliputi sulfonilurea generasi pertama (asetoheksimid, klorpropramid,
tolbutamid, tolazamid), generasi kedua (glipizid, glikazid, glibenklamid,
glikuidon, gliklopiramid), dan generasi ketiga (glimepiride). Namun
sulfonilurea generasi pertama sudah sangat jarang digunakan karena efek
hipoglikemi yang terlalu hebat. Obat golongan sulfonilurea mempunyai efek
hipoglikemi yang tidak sama. Hal ini tergantung pada kekuatan ikatan antara
obat dengan reseptornya di membran sel, contohnya glibenklamid. Efek
hipoglikemi dan ikatan antara glibenklamid dengan reseptornya lebih kuat
daripada golongan glimepiride oleh karena ikatan glimepirid dengan
reseptornya tidak sekuat ikatan glibenklamid. Sebaiknya digunakan
sulfonilurea generasi II dan generasi III yang mempunyai waktu paruh pendek
dan metabolisme lebih cepat. Meski masa paruhnya pendek, yaitu 3-5 jam,
efek hipoglikeminya berlangsung 12-24 jam. Sehingga cukup diberikan satu
kali sehari. Karena hampir semua sulfonilurea dimetabolisme di hepar dan
diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien DMT2
dengan gangguan fungsi hepar atau gangguan fungsi ginjal yang berat.

Glikuidon mempunyai efek hipoglikemi sedang dan jarang menimbulkan


serangan hipoglikemi. Glikuidon diekskresi melalui empedu dan usus, maka
dapat diberikan pada pasien DMT2 dengan ganguan fungsi hati dan gangguan
fungsi ginjal yang tidak terlalu berat. Pasien pasien DMT2 usia lanjut, pada
pemberian sulfonilurea harus diwaspadai akan timbulnya hipoglikemia.
Kecenderungan hipoglikemia pada lansia disebabkan oleh karena metabolisme
sulfonilurea lebih lambat. Hipoglikemia pada lansia tidak mudah dikenali
karena timbulnya perlahan tanpa tanda akut dan dapat menimbulkan gangguan
pada otak sampai koma.

Meglitinid

Meglitinid memiliki mekanisme kerja yang sama dengan sulfonilurea. Karena


lama kerjanya pendek maka glinid digunakan sebagai obat setelah makan
(prandial). Karena strukturnya tanpa sulfur maka dapat digunakan pada pasien
yang alergi sulfur Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun
mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks
reseptor sulfonilurea. Sedangkan nateglinide merupakan golongan terbaru,
mempunyai masa paruh yang lebih singkat diabandingkan repaglinid dan tidak
menurunkan glukosa darah puasa. Keduanya merupakan obat yang khusus
menurunkan glukosa darah setelah makan degan efek hipoglikemi yang
minimal. Glinid dapat digunakan pada pasien usia lanjut dengan pengawasan.
Glinid dimetabolisme dan dieksresikan melalui kandung empedu, sehingga
relatif aman digunakan pada lansia yang menderita gangguan fungsi ginjal
ringan sampai sedang.

Penghambat Alfa Glukosidase

Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran pencernaan.
Acarbose mengalami metabolisme pada saluran pencernaan oleh flora
mikrobiologis, hidrolisis intestinal, dan aktifitas enzim pencernaan. Inhibisi
kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa
setelah makan pada pasien DMT2. Penggunaan acarbose pada lansia relatif
aman karena tidak akan merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat
menyebabkan hipoglikemi. Efek sampingnya berupa gejala gastroinstestinal,
seperti meteorismus, flatulence dan diare. Acarbose dikontraindikasikan pada
penyakit irritable bowel syndrome, obstruksi saluran cerna, sirosis hati, dan
gangguan fungsi ginjal yang lanjut dengan laju filtrasi glomerulus ≤ 30
mL/min/1.73 m.

Biguanid

Dikenal 3 jenis golongan biguanid, yaitu fenformin, buformin dan metformin.


Fenformin telah ditarik dari peredaran karena sering menyebabkan asidosis
laktat. Metformin merupakan obat antihiperglikemik yang banyak digunakan
saat ini. Metformin tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan
umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi
glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan otot dan
adiposa. Pada pasien diabetes yang gemuk, metformin dapat menurunkan BB.
Metformin akan diabsorbsi di usus kemudian masuk ke dalam sirkulasi, di
dalam sirkulasi metformin tidak terikat protein plasma, ekskresinya melalui
urin dalam keadaan utuh. Masa paruhnya adalah sekitar 2 jam. Penggunaan
metformin aman pada lansia karena tidak mempunyai efek hipoglikemi.
Namun metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal dengan LFG ≤ 30 mL/min/1.73 m.

Golongan Tiazolidinedion

Tiazolidinedion menurunkan produksi glukosa di hepar dan menurunkan kadar


asam lemak bebas di plasma. Tiazolidinedion dapat menurunkan kadar HbA1c
(1-1.5 %), meningkatkan HDL, efeknya pada trigliserida dan LDL bervariasi.
Pada pemberian oral, absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan.
Algoritma terapi DM tipe 2: 2
2. Hipotiroid
Definisi
Hipotiroid merupakan umpulan manifestasi klinis akibat berkurang atau
berhentinya produksi hormon tiroid.

Etiologi
a. Disfungsi kelenjar pituitary (Hipotiroidisme Sentral)
b. Tiroiditis Hashimoto
c. Transien, iatrogenic/obat-obatan, penyakit didapat dan
kongenital/bawaan, defisiensi iodium, fase hipotiroid dari tiroiditis

Faktor Risiko
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan penyakit gangguan tiroid adalah:
a. Umur: Usia di atas 60 tahun maka semakin berisiko terjadinya
hipotiroid atau hipertiroid.
b. Jenis Kelamin: Perempuan lebih berisiko terjadi gangguan tiroid.
c. Genetik: Di antara banyak faktor penyebab autoimunitas terhadap
kelenjar tiroid, genetik dianggap merupakan faktor pencetus utama.
d. Merokok: Merokok dapat menyebabkan kekurangan oksigen di otak
dan nikotin dalam rokok dapat memacu peningkatan reaksi inflamasi.
e. Stres: Stres juga berkolerasi dengan antibodi terhadap antibodi TSH-
reseptor.
f. Riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan autoimun:
Riwayat penyakit keluarga yang ada hubungan dengan kelainan
autoimun merupakan faktor risiko hipotiroidisme tiroiditis autoimun.
g. Zat kontras yang mengandung iodium: Hipertiroidisme terjadi setelah
mengalami pencitraan menggunakan zat kontras yang mengandung
lodium.
h. Obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit tiroid:
Amiodaron, Lithium Karbonat, Aminogiutethimide, Interferon Alfa,
Thalidomide, Betaroxine, Stavudine.
i. Lingkungan: Kadar iodium dalam air kurang.
Patomekanisme

1) Hipotiroidisme

Gambar 1. Patomekanisme hipotiroidisme.

2) Tiroiditis Hashimoto
Gambar 2. Patomekanisme tiroiditis Hashimoto.
Penegakan Diagnosis
Anamnesis

1) Identitas Pasien: nama, umur, pekerjaan, agama, marietal, suku, alamat,


no.telepon
2) Keluhan utama (umumnya: benjolan di leher)
3) Riwayat Penyakit Sekarang: lokasi (kanan/kiri/keduanya), kualitas,
kuantitas, waktu (onset, durasi, frekuensi, dan kronologi), faktor yang
memperberat dan memperingan, keluhan penyerta
4) Riwayat Penyakit Dahulu: riwayat sakit serupa, mempunyai kelainan
bawaan, riwayat pengobatan, riwayat operasi/bedah
5) Riwayat Penyakit Keluarga: riwayat sakit serupa
6) Riwayat Penyakit Sosial dan Ekonomi: konsumsi makanan (terutama
iodium/garam), konsumsi rokok/alkohol, aktivitas olahraga, tempat
tinggal
7) Tinjauan Sistem Tubuh

Tabel 1. Manifestasi klinis hipotiroid.


Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
2) Kesadaran
3) TTV
4) Head to Toe

Pemeriksaan Penunjang

1) Lab: TSH, T3 dan T4, FT3 dan FT4


Gambar 3. Penegakan diagnosis hipotiroidisme.

2) Skin graft: melihat uptake iodium meningkat/menurun


3) USG Leher: melihat lokasi massa, ukuran

Tata Laksana (Hipotiroidisme Primer)


Kebanyakan pasien dengan hipotiroidisme akan membutuhkan terapi
hormon tiroid seumur hidup. Kelenjar tiroid normal membuat dua hormon
tiroid: T4 dan triiodothyronine (T3). Meskipun T4 diproduksi dalam
jumlah yang lebih banyak, T3 adalah bentuk yang aktif secara biologis.
Sekitar 80 persen T3 berasal dari konversi perifer T4 oleh enzim
deiodinase. Namun, karena sediaan T3 memiliki waktu paruh biologis
yang pendek, hipotiroidisme ditangani hampir secara eksklusif dengan
sediaan tiroksin sintetik sehari-hari. Setelah diserap, tiroksin sintetis,
seperti tiroksin endogen, mengalami deiodinasi menjadi T3 yang lebih
aktif secara biologis.

Dosis awal levothyroxine pada orang dewasa muda dan sehat untuk
penggantian lengkap adalah 1,6 mcg per kg per hari (Tabel 3). Hormon
tiroid umumnya diminum di pagi hari, 30 menit sebelum makan. Suplemen
kalsium dan zat besi tidak boleh dikonsumsi dalam waktu empat jam
setelah mengonsumsi levothyroxine, karena suplemen ini dapat
menurunkan penyerapan hormon tiroid. Kepatuhan yang buruk terhadap
terapi levotiroksin adalah penyebab tersering dari peningkatan kadar TSH
yang terus-menerus pada pasien dengan dosis hormon tiroid yang
memadai. Dosis levotiroksin untuk bayi dan anak-anak juga berdasarkan
berat badan dan bervariasi menurut usia. Dosis harus disesuaikan
berdasarkan respon klinis dan parameter laboratorium.

Pasien yang mengalami kesulitan dengan pemberian dosis levothyroxine


pagi hari mungkin menemukan pemberian dosis sebelum tidur sebagai
alternatif yang efektif. Dalam sebuah penelitian yang dirancang dengan
baik yang dilakukan di Belanda, dosis levothyroxine sebelum tidur
menghasilkan TSH yang lebih rendah dan kadar T4 bebas yang lebih
tinggi, tetapi tidak ada perbedaan dalam kualitas hidup. Sebagai alternatif,
pasien dengan kesulitan yang nyata dalam mematuhi rejimen levotiroksin
satu kali setiap hari dapat dengan aman mengonsumsi levotiroksin selama
seminggu sekali.

Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan untuk hipotiroidisme

Penatalaksanaan hipotiroidisme untuk dewasa.


Komplikasi
Jika tidak diobati, hipotiroidisme dapat menyebabkan komplikasi yang
lebih serius dan bahkan dapat mengancam jiwa. Komplikasi
hipotiroidisme yang parah berupa:
- Denyut jantung sangat lambat, sehingga pasien dapat mengalami koma
- Gagal jantung
- Depresi berat yang mengancam jiwa
- Koma
- Penyakit Alzheimer (risiko lebih tinggi pada perempuan)

3.
3. Anemia defisiensi besi
Definisi

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat


berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi
kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai dengan anemia
hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukkan
cadangan besi kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat penyakit
kronik penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang karena pelepasan besi
dari sistem retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi masih
normal. Pada anemia sideroblastik penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang karena gangguan mitokondria yang menyebabkan inkorporasi
besi ke dalam heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini
digolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolisme besi.

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai,


terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga, karena sangat
berkaitan erat dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih
dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang
sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup serius.

Klasifikasi derajat defisiensi besi

Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi
besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan:

- Deplesi besi (iron depleted state): cadangan besi menurun tetapi


penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu
- Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis): cadangan
besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi
belum timbul anemia secara laboratorik.
- Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia
defisiensi besi.

Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan
besi, gangguan penyerapan, serta kehilangan besi akibat perdarahan
menahun:

Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:

- Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau


OAINS, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid dan
infeksi cacing tambang.
- Saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia.
- Saluran kemih: hematuria
- Saluran napas: hemoptoe.
- Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan,
atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan
banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).
- Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam
masa pertumbuhan dan kehamilan.
- Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis
kronik.

Patogenesis

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan


besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron
depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh
penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta
pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi
berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali,
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan
gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi,
keadaan ini disebut sebagai : iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini
kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor
transferin dalam serum. Apabila jumlah besi Menurun terus maka
eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai
menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai
iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada
epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada
kuku, epitel mulut dan faring Serta berbagai gejala lainnya.

Gejala Anemia Defisiensi Besi

Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan


besar, yaitu, gejala unum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala
penyakit dasar.

1) Gejala Umum Anemia

Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia


(anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila
kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan
lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar
hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma
anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain
yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat. Hal ini
disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang dapat berjalan
dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah
turun di bawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang
pucat, terutama pada konyungtiva dan jaringan di bawah kuku.

2) Gejala Khas Defisiensi Besi

Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak


dijumpai pada anemia jenis lain adalah:
- Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh,
bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti
sendok (Gambar 3).
- Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
- Stomatitis angularis (cheilosis): adanya peradangan pada sudut
mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
- Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
- Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
- Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak jazim, seperti:
tanah liat, es, lem, dan lain-lain.
- Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom
- Paterson Kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri dari anemia
hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.

Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis,


pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan
dengan gejala klinis yang sering tidak khas.5

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:

- Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia


- Kosentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N : 32-35%)
- Kadar Fe serum <50 ug/dl (N : 80 – 180 ug/dl)
- Saturasi transferin <15 % (N ; 20 – 50%).2

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:

- Anemia hipokrom mikrositik


- Saturasi transferin <16%
- Nilai FEP >100 ug/dl
- Kadar feritin serum <12 ug/dl
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 atau 3 kriteria (ST, feritin
serum, dan FEP harus dipenuhi) .2

Lanzkowsky menyimpulakn ADB dapat diketahui melalui:

- Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi


dengan MCV,MCH, dan MCHC yang menurun.
- Red cell distribution width (RDW) > 17%
- FEP meningkat
- Feritin serum menurun
- Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 10%
- Respon terhadap pemberian preparat besi
Retikulositosis mencapai pundak pada hari ke 5 – 10 setelah pemberian
besi
Kadar hemolobin meninkat rata-rata 0,25 – 0,4 g/dl/ hari atau PCV
meningkat 1% / hari.
- Sumsum tulang: tertundanya maturasi sitoplasma dan pada perwarnaan
sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang.

Pemeriksaan Laboratorium

Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat


dijumpai adalah:

1) Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit Menurun

Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar


hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. Mean corpuscular volume
(MCV) dan mean corpuscular hemoglobin (MCH) menurun. MCV < 70
fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalassemia major.
Mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) menurun pada
defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis
merupakan tanda awal defisiensi besi. Peningkatan anisositosis ditandai
oleh peningkatan RDW (red cell distribution width). Dulu dianggap
pemeriksaan RDW dapat dipakal untuk membedakan ADB dengan
anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis
anemia ini hasilnya sering tumpang tindih.

2) Konsentrasi Besi Serum Menurun pada Anemia defisiensi besi, dan


TIBC (total iron binding capacity) Meningkat.

TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi,


sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC
dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum
menurun < 50 tg/ dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >
350 pg/ dl, dan saturasi transferin < 15%. Ada juga yang memakai
saturasi transferin < 16%, atau < 18%. Harus diingat bahwa besi serum
menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar, dengan kadar puncak
pada jam 8 sampai 10 pagi.

Feritin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi yang sangat Baik,


Kecuali pada Keadaan Inflamasi dan Keganasan Tertentu. Titik pemilah
(cut off point) untuk feritin serum pada ADB dipakai angka < 12 po/l,
tetapi ada juga yang memakai < 15 yg/I. Untuk daerah tropik di mana
angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di
negeri Barat tampaknya perlu dikoreksi. Suatu penelitian pada pasien
anemia di rumah sakit di Bali, penetapan batas feritin serum < 12 g/l
dan < 20 pig/l memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing
68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivitas tertinggi (84%) justru
dicapai pada penetapan batas nilai feritin serum < 40 mg/l, tanpa
mengurangi spesifitas terlalu banyak (92%). Hercberg untuk daerah
tropik menganjurkan memakai batas nilai feritin serum < 20 mg/l
sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat infeksi atau inflamasi
yang jelas seperti arthritis rematoid, maka feritin serum sampai dengan
50-60 yg/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin
serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis IDA yang
paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun di
lapangan karena cukup reliabe| dan praktis, meskipun tidak terlalu
sensitif. Nilai feritin Serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan
adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100 mg/dl dapat
memastikan tidak adanya defisiensi besi.

Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi


(tahap satu dan tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia
defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:

- Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV


<80 fl dan MCHC <31% dengan salah satu dari a, b, c, atau d.
- Dua dari tiga parameter di bawah ini:
- Besi serum <50 mg/dl
- TIBC >350 mg/dl
- Saturasi transferin: <15%, atau
- Feritin serum <20 mg/|, atau
- Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Pert’s stain)
menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
- Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hart (atau preparat besi
lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin
lebih dari 2 g/dl.

Diagnosis banding

Tabel diagnosis banding anemia defisiensi besi.1

Terapi
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi.
Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah:

- Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan, Misalnya


pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan
menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia
akan kambuh kembali
- Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam
tubuh (iron replacemen therapy):

Terapi Besi Oral.

Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif,
murah dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas
ferosus yang merupakan preparat pilihan pertama karena paling murah
tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas
ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3 x
200 mg memberikan absorps: besi 50 mg per hari yang dapat
meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal.

Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi


mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena
risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu.

Indikasi pemberian Besi parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap


pemberian besi oral; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah; (3)
gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika
diberikan besi; (4) penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada
gastrektomi; (5) keadaan di mana kehilangan darah yang banyak sehingga
tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada
hereditary hemorrhagic teleangiectasia; (6) kebutuhan besi yang besar
dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trimester tiga atau sebelum
operasi; (7) defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin
pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik.
Preparat yang tersedia talah iron dextran complex (mengandung 50 mg
besi/ml), iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah tron
ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat
diberikan secara intramuskular dalam atau intravena pelan. Pemberian
secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam
pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis,
meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala,
flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop.

Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan


mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi.
Sekitar 80 – 85% penyebab ADB dapat diketahui dengan penanganannya
dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat dilakukan
secara oral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah, dan
sama efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian secara
parenteral dilakukan pada penderita yang tidak dapat memakan obat
peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat dipenuhi secara peroral karena
ada gangguan pencernaan.2
1) Pemberian preparat besi

Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan


garam feri. Preparat terseda berupa ferous glukonat, fumarat, dan
suksinat. Yang sering dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya
yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat, dan ferrous
suksinat diabsropsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi
berupa tetes (drop).

Untuk mendapat respon pengobatan dosis yang dipakai 4 – 6 mg


besi elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan
kandungan besi elemental yang ada dalam garam ferous. Garam
ferous sulfat mengandung besi elemental sebanyak 20%. Dosis
obat yang terlalu besar akan meninmbulkan efek samping pada
saluran pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang
lebih cepat. Absropsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung
kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan
efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut
pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera
setelah makan meskipun akan mengurangi absropsi obat sekitar 40
– 50%. Obat diberikan dalam 2 – 3 dosis sehari. Tindakan tersebut
lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan
kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama
2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi.

2) Pemberian preparat besi parenteral

Pemberian besi parenteral intramuskular menimbulkan rasa sakit


dan harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional
dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak
lebih baik dibandingkan peroral. Preparat yang sering dipakai
adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ ml.

Dosis dihitung berdasarkan :

Dosis besi 9mg = BB (9kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x


2,5.2

3) Transfusi darah

Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan


pada keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi
yang dpaat mempengaruhi respon terapi. Koreksi anemia berat
dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan
membahayakan karena dapat menyebabkan hipervolemia dan
dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam
jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat
aman sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk
penderita anemia berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi PRC
dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB persatu kali pemberian.3

4. Anemia aplastik
Definisi
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang
ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh
pansitopenia dan aplasia sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun
1888 oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak
lama setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan,
dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut
menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular (tidak aktif). Pada tahun
1904, Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik.
Puluhan tahun berikutnya definisi anemia aplastik masih belum berubah
dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakan pendapat bahwa tanda khas
penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959,
Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus
pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia susmsum tulang, tanpa ada
suatu penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan
jaringan hemopoietik sumsum tulang.

Epidemiologi
Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar
antara 2 sampai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi
geografis. Penelitian The International Aplastic Anemia and
Agranulolytosis Study di awal tahun 1980-an menemukan frekuensi di
Eropa dan Israel sebanyak 2 kasus per 1 juta penduduk. Penelitian di
Perancis menemukan angka insidensi sebesar 1,5 kasus per 1 juta
penduduk per tahun. Di Cina, insidens dilaporkan 0,74 kasus per 100.000
penduduk per tahun dan di Bangkok 3,7 kasus per 1 juta penduduk per
tahun. Ternyata penyakit ini lebih banyak ditemukan di belahan Timur
dunia daripada di belahan Barat.

Patogenesis
Dahulu, anemia aplastik dihubungkan erat dengan paparan terhadap
bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia aplastik dianggap disebabkan
paparan terhadap bahan-bahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-
obatan atau senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan,
hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak
diketahui faktor penyebabnya, maka pasien digolongkan anemia aplastik
idiopatik. Sebagian besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik.

Namun, sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis anemia aplastik


yang masuk akal, yang disimpulkan dari berbagai observasi klinis hasil
terapi dan eksperimen laboratorium yang sistematik. Di akhir tahun 1960-
an, Mathe et al memunculkan teori baru berdasarkan kelainan autoimun
setelah melakukan transplantasi sumsum tulang kepada pasien anemia
aplastik. Keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan
anemia aplastik memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel asal (stem
cell).

Manifestasi klinis dan diagnosis


Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau
perlahan-lahan (berminggu-minggu atau berbulan-bulan). Hitung jenis
darah menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatig, dispnea
dan jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan mudah
memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam.

Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan


hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum
tulang. Pemeriksaan flow cytometry darah tepi dapat menyingkirkan
hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan karyotyping sumsum tulang
dapat membantu menyingkirkan sindrom mielodisplastik. Pasien berusia
kurang dari 40 tahun perlu diskrining untuk anemia Fanconi dengan
memakai obat klastogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat
keluarga sitopenia meningkatkan kecurigaan adanya kelainan diwariskan
walaupun tidak ada kelainan fisik yang tampak. Anemia aplastik mungkin
asimtomatik dan ditemukan
Kriteria diagnosis anemia aplastik berdasarkan International
Agranulocytosisand Aplastic Anemia Study Group (IAASG) adalah satu
dari tiga sebagai berikut :
- Hb <10 g/dl atau Hct < 30
- Trombosit < 50x109/L
- Leukosit < 3,5x109 /L
- Retikulosit <30x109 /L
- Gambaran sumsum tulang :
 Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua
sel hematopoeitik atau selularitas normal oleh hiperplasiaeritroid
fokal dengan deplesi seri granulosit dan megakariosit.
 Tidak adanya fobrosis yang bermaknaatau infiltrasi neoplastik
- Pansitopenia karena obat sitostakita atau radiasi terapeutik harus
dieksklusi.1
Pemeriksaan laboratorium
1) Darah Tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan.
Jenis anemia adalah normokrom normositer. Kadang-kadang,
ditemukan pula makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya
eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan
anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah.
Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus. Persentase
retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus,
persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai
ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte count)
maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga.
Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia
aplastik.
2) Laju Endap Darah
Laju endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan bahwa 62
dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm
dalam jam pertama.
3) Faal Hemostasis
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekyan buruk disebabkan
oleh trombositopena Faai hemostasis lainnya normal
4) Sumsum Tulang
Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin
teraspirasi, maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Otharuskan
melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia
aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai kriteria diagnosis.
5) Virus
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus
Hepatitis, HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus.
6) Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Tes ini diperiukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab.
7) Kromosom
Pada aneria aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom.
Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization
(FISH) dan imunofenotipik dengan flow cytometry diperiukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hipo-selular.
8) Defisiensi Imun
Adanya difisiensi imun diketahui melalui penentuan titer
immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T.
9) Lain-lain
Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin
ditermukan pada anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoetin
ditemukan meningkat pada anemia aplastik.
Tatalaksana
Penatalaksanaan Secara garis besar terapi untuk anemia aplastik terdiri
atas :

- 1 Terapi kausal Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen


penyebab. Tetapi sering hal ini sulit dilakukan karena etiologinya
yang tidak jelas atau penyebabnya yang tidak dapat dikoreksi.

- 2 Terapi suportif Terapi ini adalah untuk mengatasi akibat


pansitopenia.1

Terapi ini adalah untuk mengatasi akibat pansitopenia.

- Untuk mengatasi infeksi antara lain :

1) Higiene mulut

2) Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat


dan adekuat. Sebelum ada hasil tes sensitivitas, antibiotik yang
biasa diberikan adalah ampisilin, gentamisin, atau sefalosporin
generasi ketiga.
3) Tranfusi granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat kuman
gram negatif, dengan neutropenia berat yang tidak memberikan
respon pada antibiotika adekuat.1

- Untuk mengatasi anemia Tranfusi PRC (packet red cell) jika Hb < 7
g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang sangat
simtomatik. Koreksi 16 sampai Hb 9-10 g/dl, tidak perlu sampai Hb
normal, karena akan menekan eritropoiesis internal.1

- Untuk mengatasi perdarahan Tranfusi konsentrat trombosit jika


terdapat perdarahan mayor atau trombosit < 20.000/mm3 .
Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektivitas
trombosit karena timbulnya antibodi antitrombosit. Kortikosteroid
dapat mengurangi perdarahan kulit.1

- Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang Beberapa tindakan


di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan sumsum
tulang : a. Anabolik Steroid: oksimetolon atau atanozol. Efek terapi
diharapkan muncul dalam 6-12 minggu. b. Kortikosteroid dosis
rendah sampai menengah : prednison 40- 100 mg/hr, jika dalam 4
minggu tidak ada perbaikan maka pemakaiannya harus dihentikan
karena efek sampingnya cukup serius.1

- GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah


netrofil.

- Terapi definitif Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan


kesembuhan jangka panjang. Terapi tersebut terdiri atas dua macam
pilihan :

Terapi Imunosupresif

1) Pemberian anti lymphocyte globuline : anti lymphocyte globulin (ALG)


atau anti thymocyte globuline (ATG). Pemberian ALG merupakan
pilihan utama untuk pasien yang berusia di atas 40 tahun.

2) Pemberian methylprednisolon dosis tinggi.


5. Anemia hemolitik

Definisi
Anemia hemolitik adalah destruksi prematur sel darah merah, yang dapat
bersifat kronik atau mengancam nyawa. Pasien dengan anemia hemolitik
dapat datang dengan gejala anemia, ikterus, hematuria, dyspnea,
takikardia, dan terkadang hipotensi. Gejala yang muncul akan
merefleksikan penyebab yang mendasari hemolisis. Normalnya, sel darah
merah memiliki usia sekitar 120 hari. Mekanisme yang dapat
menyebabkan destruksi prematur sel darah merah adalah deformabilitas
sel yang buruk, sehingga menyebabkan sel terperangkap di pembuluh
darah kecil dan limpa, serta merangsang fagositosis sel. Mekanisme lain
yang dapat menyebabkan anemia hemolitik antara lain destruksi yang
dimediasi antibodi, fragmentasi akibat mikrotrombi atau trauma mekanis,
oksidasi, atau destruksi seluler langsung.

Etiologi
tiologi anemia hemolitik dapat dibagi menjadi penyebab korpuskular dan
ekstrakorpuskular. Penyebab korpuskular dari anemia hemolitik antara lain
kelainan pada membran sel darah merah, hemoglobinopati, dan
abnormalitas enzim. Penyebab ekstrakorpuskular antara lain penyebab
imunologikal, mekanikal, infeksi, dan toksin. Penyebab Korpuskular
Kelainan pada membran sel darah merah dapat dibagi menjadi penyebab
herediter dan didapat. Contoh penyebab herediter yang bisa menyebabkan
anemia hemolitik adalah hereditary spherocytosis, elliptocytosis, dan
hereditary stomatocytosis. Contoh penyebab didapat adalah paroxysmal
nocturnal hemoglobinuria dan acanthocytosis. Penyebab hemoglobinopati
dapat dibagi menjadi defek hemoglobin kualitatif dan kuantitatif. Contoh
defek hemoglobin kualitatif adalah sickle cell anemia dan unstable
hemoglobin. Contoh defek kuantitatif adalah thalassemia. Contoh
abnormalitas enzim yang bisa menyebabkan anemia hemolitik adalah
penyakit defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase, defisiensi piruvat
kinase, dan defisiensi pyrimidine-5-nukleotidase. Penyebab
Ekstrakorpuskular Penyebab anemia hemolitik yang bersifat
ekstrakorpuskular dan berkaitan dengan sistem imun antara lain anemia
hemolitik autoimun dan drug-induced hemolytic anemia. Mekanisme
ekstrakorpuskular mekanikal yang bisa menyebabkan anemia hemolitik
adalah hemolytic uremic syndrome, disfungsi katup jantung prostetik, dan
HELLP syndrome. Penyebab infeksi misalnya malaria dan babesiosis.
Penyebab toksik dapat dibagi menjadi eksogen dan endogen. Penyebab
eksogen misalnya keracunan timbal, keracunan arsen, dan gigitan ular.
Penyebab endogen misalnya penyakit Wilson.

Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa anemia hemolitik tidak memiliki
kecenderungan jenis kelamin dan ras. Hanya saja, pada Autoimmune
Hemolytic Anemia angka kejadianya dilaporkan sedikit lebih tinggi pada
wanita dibandingkan pria. Selain itu, defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G6PD) lebih banyak ditemukan pada laki-laki karena
diturunkan secara X resesif. Pada defisiensi G6PD, perempuan menjadi
karier.

Patofosiologi
Secara patofisiologi, anemia hemolitik dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu ekstravaskular dan intravaskular. Hemolisis
ekstravaskular lebih sering terjadi dibandingkan intravaskular. Mekanisme
primer dari hemolisis ekstravaskular adalah sekuestrasi dan fagositosis
akibat deformabilitas sel darah merah yang buruk. Mekanisme
intravaskular meliputi destruksi sel secara langsung, fragmentasi, dan
oksidasi. Destruksi sel secara langsung dapat disebabkan oleh toksin dan
trauma. Hemolisis fragmentasi terjadi jika faktor ekstrinsik menyebabkan
luka dan ruptur pada sel darah merah. Hemolisis oksidatif timbul jika
terjadi kegagalan pada mekanisme protektif sel. Autoimmune hemolytic
anemia dan hereditary spherocytosis adalah contoh hemolisis
ekstravaskular. Disebut ekstravaskular karena sel darah merah yang
memiliki perubahan struktur permukaan membran sel dihancurkan di luar
pembuluh darah, yaitu di limpa dan hati dengan bantuan makrofag.
Sementara hemolisis intravaskular adalah keadaan hemolisis yang terjadi
di dalam pembuluh darah yang mengakibatkan keluarnya isi sel ke dalam
plasma. akibat defek pada sel darah merah. Defek dapat berupa defek
enzim, dinding sel, hemoglobin, ataupun akibat trauma dan infeksi yang
menyebabkan terjadinya degradasi membran sel dan destruksi spontan.

Penegakan diagnosis
Diagnosis anemia hemolitik sebaiknya dipandu keluhan pasien dan
riwayat penyakit keluarga. Pemeriksaan penunjang dapat membantu
mencari penyebab hemolisis, misalnya apusan darah tepi dan direct
antiglobulin test (DAT). Dari data dasar ini, pemeriksaan penunjang dapat
diarahkan lebih spesifik untuk mengonfirmasi diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding.

Anamnesis Gejala anemia hemolitik bervariasi tergantung dari derajat


kompensasi anemia, perawatan yang telah dilakukan sebelumnya, dan
penyebab yang mendasari anemia hemolitik. Pasien yang mengalami
anemia ringan atau telah menderita anemia dalam jangka waktu lama bisa
saja asimptomatik karena telah mengalami kompensasi. Jika muncul
keluhan, maka dapat berupa pucat, ikterik, pembesaran abdomen akibat
splenomegali, rasa cepat lelah, takikardia, dyspnea, angina, dan fatigue.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis sistematis mengenai adanya


rasa lelah, mudah mengantuk, sesak napas, cepatnya perlangsungan gejala,
riwayat pemakaian obat, dan riwayat sakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik
didapatkan pucat, ikterik, splenomegali, dan hemoglobinuri. Pemeriksaan
fisik juga dilakukan untuk mencari kemungkinan penyakit primer yang
mendasari AIHA. Pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya kadar
hemoglobin yang rendah (biasanya sekitar 7-10 g/

Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit


1) Direct Antiglobulin Test (direct Coomb’s test): sel eritrosit pasien
dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan
antiserum atau antibodi monokional terhadap berbagai
imunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama igg dan c3d. Bila
pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua igg dan Cd3
maka akan terjadi aglutinasi.
2) Indirect Antiglobulin Test (indirect Coomb’s test): untuk
mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien
direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar
pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi
dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.

Terapi
a. Kortikosteroid : 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian
besar akan menunjukkan respons klinis baik (Hmt meningkat,
retikulosit meningkat, tes coombs direk positif lemah, tes coomb
indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-
30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respons terhadap stetoid,
dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20
mg/hari. Terapi steroid dosis < 30mg/ hari dapat diberikan secara
selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan
dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis per hari melebihi 15
mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera
dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
b. Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa
dilakukan penurunan dosis selama 3 bulan, maka perlu
dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan
tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa
terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan
jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih
besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi
komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat
permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan
setelah splenektomi.
c. Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan
memperlihatkan respons yang cukup menggembirakan sebagai
salvage therapy'’. Dosis Rituximab 100 mg per minggu selama 4
minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh.Beberapa
literatur menganjurkan rituximab 375/m2 hari 1, 8,15,21.
d. Imunosupresi ; Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/ m2),
siklofosfamid 50-150 mg/hari (60 mg/m2).
e. Terapi lain:
Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakas bersama-
~sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau
dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi 200-400 mg.hari.
Kombinasi Danazol dan prednison memberikan hasi¥ yang bagus
sebagai terapi inisial dan memberikan respons pada 80% kasus.
Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau
Evan's Syndrome

6. Anemia megaloblastik
Definisi
Anemia megaloblastik (makrositosis) merupakan kelainan sel darah merah
dimana dijumpai anemia dengan volume sel darah merah (SDM) lebih
besar dari normal dan ditandai oleh banyak sel imatur besar dan SDM
disfungsional (megaloblas) di sumsum tulang akibat adanya hambatan
sintesis Deoxyribose nucleic acid (DNA) dan/atau sintesis Ribonucleic
Acid (RNA) dalam produksi sel darah merah. Ketika sintesis DNA
dan/atau sintesis RNA terganggu, siklus sel terhambat berlanjut dari tahap
pertumbuhan (G2) ke tahap mitosis (M). Hal ini menyebabkan proliferast
dan diferensiasi terbatas pada sel-sel progenitor sehingga diferensiasi sel
terhambat yang akan menyebabkan morfologi sel menjadi makrositosis.
Anemia makrositik dapat dibagi menjadi anemia makrositik
megaloblastikdan non-megaloblastik. Pada anemia megaloblastik sefing
tampil dengan hipersegmentasi sel netrofil (6-10 lobus).

Klasifikasi anemia makrositer:


Megaloblastik
a. Hipovitaminosis
- Defisiensi vitamin B9 (asam folat) yang akan menyebabkan
gangguan biosintesis basa purin dan pirimidin serta gangguan
proses metilasi DNA, RNA, dan Protein.
- -Defisiensi vitamin B12 (B12) yang akan menyebabkan gangguan
proses metilasi DNA, RNA, dan Protein.
b. Non Hipovitaminosis
- Akibat gangguan sintesis DNA, RNA, atau
- Protein karena gangguan proses metilasi yang memengaruht
proliferasi dan diferensiasi pada prekursor (pendahulu) SDM.

Patogenesis
Penghambatan sintesis DNA dan/atau RNA pada SDM yang paling sering
disebabkan oleh hipovitaminosis, khususnya defisiensi sianokobalamin
(B12) dan/atau asam folat. Mekanismenya adalah akibat gangguan proses
siklus B12 yang bergantung asam folat. Defisiensi asam folat akan diikuti
oleh terhambatnya sintesis basa nukleotida (khususnya timin),
menyebabkan terhambatnya sintesis DNA, Kekurangan vitamin B12 saja
dapat tidak menyebabkan sindrom makrositer tersebut jika kadar asam
folat cukup. Suplementasi asam folat tanpa adanya B12 mencegah anemia
jenis ini (meskipun keadaan patologis spesifik lain dari defisiensi B12
terus berlanjut).

Asam folat dengan enzim katalisis dihydrofolate reductase (DHFR)


diperlukan untuk biosintesis basa nukleotida purin dan pirimidin untuk
digabungkan ke dalam DNA dan RNA, melalui pembentukan
tetrahidrofolat {FH4) yang dimulai ketika asam folat (F) direduksi menjadi
dihidrofolate (FH2), yang kemudian direduksi menjadi FH4. Vitamin B12
berfungsi sebagai koenzim dalam reaksi re-metilasi homosistein untuk
membentuk metionin yang diperlukan untuk reaksi metilasi substrat
termasuk DNA, RNA, fosfolipid, dan protein. Untuk reaksi metilasi
tersebut diperlukan methylene tetrahydrofolate reductase (MTHFR)
sebagai enzim katalisis pembentukan 5-methylene tetrahydrofolate
(MTHF) dari 5,10-MTHF. Hambatan proses metilasi merupakan awal dari
kumpulan gejala klinis yang dipengaruhi oleh adanya gangguan
metabolisme asam folat dan B12. Hambatan proses metilasi akan
tmenyebabkan ketidakstabilan kromosom sehingga mudah terjadi mutasi,
gangguan sintesis DNA (replikasi DNA), dan gangguan translasi (produksi
asam amino/protein).

Penegakan diagnosis
Diagnosis anemia makrositer ditegakkan dari adanya anemia dengan MCV
> 100 fL. Untuk mendefinisikan anemia, WHO menggunakan kadar
hemoglobin sebagai patokan.

Pemeriksaan kadar asam folat intrasel sel darah merah (SDM) dan serum.
Hasil tes laboratorium dapat bervariasi tergantung pada usia, jenis
kelamin, riwayat kesehatan, metode yang digunakan untuk pengujian, dan
berbagai faktor lainnya. Jika hasilnya berbeda dari hasil yang disarankan
di bawah ini, belum tentu terdapat kelainan. Saat ini rentang normal yang
diusulkan untuk kadar folat serum sekitar 2,7-17.0 ng/mL untuk kedua
jenis kelamin dan semua umur. Nilai lebih rendah didapatkan pada wanita
dibandingkan pada pria. Tingkat serum 1,4-2,6 ng/mL biasanya disebut tak
tentu (indeterminate) karena adanya tumpang tindih antara defisinsi dan
rentang normal. Nilai folat serum <1,4 ng/mL biasanya menunjukkan
asupan folat tidak memadai. Peningkatan kadar folat > 17,0 disebabkan
oleh suplemen. Kadar folat serum hanya mencerminkan asupan makanan
terakhir, sedangkan kadar folat SDM lebih mengambarkan simpanan
dalam jaringan tubuh. Pemeriksaan kadar folat SDM dilakukan dengan
cara radioassay kompetitif mengikat protein. Berikut ini dianggap kadar
yang normal untuk tes ini:

- Anak-anak, 2 sampai 16 tahun : > 160 ng/mL (> 362 nmol/L)


- Remaja, lebih tua dari 16 tahun : 140-628 ng / mi (317-1422 nmol / L)
- Dewasa: 150-450 ng/mL (340-1020 nmol/L) Kadar folat SDM <140
ng/mL menunjukkan defisiensi folat.

Diagnosis anemia makrositer ditegakkan dari adanya anemia dengan MCV


> 100 fL. Untuk mendefinisikan anemia, WHO menggunakan kadar
hemoglobin sebagai patokan.

Tatalaksana
Algoritma evaluasi anemia makrositik.1
Perawatan Medis
Evaluasi biasanya dapat dilakukan pada pasien rawat jalan. Pengobatan
tergantung pada etiolog: makrositosis, keberadaan dan tingkat keparahan
anemia, dan gejala yang ditimbulkan. Setelah kayian laboratorium yang
sesuai diperoleh, pasien anemia dapat ditransfusi dengan packed red cells
apabila dalam keadaan kedaruratan (dekompensasi, rencana operasi
segera). Jika suatu obat diperkirakan menjadi penyebab anemia
makrositik, terutama jika hemolisis yang terjadi, hentikan pemberian obat
tersebut. Pasien kekurangan vitamin B12 atau folat harus mendapat terapi
pengganti, asam folat 1 mg/ hari dapat diresepkan pada pasien dengan
defisiensi folat. Injeksi intra-muskular vitamin B12 (100-1000 mcg
perbulan), berlangsung terus menerus, dapat diberikan.
Pasien yang diduga menyalahgunakan alkohol dinasihatkan untuk
menghindarkannya. Mengobati keganasan, penyakit granulomatosa, dan
PPOK menurut standar terapi untuk masing-masing penyakit. Rawat inap
mungkin diperlukan untuk mengobati beberapa penyebab anemia
makrositosis, terutama leukemia akut.
7. Vertigo

Definisi

Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau lingkungan
sekitarnya. Persepsi gerakan bisa berupa:
a. Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada gangguan
vestibular.
b. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang, mengambang
yang timbul pada gangguan sistem proprioseptif atau sistem visual

Berdasarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo vestibular, yaitu:


a. Vertigo vestibular perifer. Terjadi pada lesi di labirin dan nervus
vestibularis
b. Vertigo vestibular sentral. Timbul pada lesi di nukleus vestibularis
batang otak, thalamus sampai ke korteks serebri.

Vertigo merupakan suatu gejala dengan berbagai penyebabnya, antara lain:


akibat kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan,
terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain.1

Klasifikasi
a. Vertigo vestibular
Vertigo perifer disebabkan oleh Benign Paroxismal Positional Vertigo
(BPPV), Meniere’s Disease, neuritis vestibularis, oklusi arteri labirin,
labirhinitis, obat ototoksik, autoimun, tumor nervus VIII,
microvaskular compression, fistel perilimfe. Vertigo sentral
disebabkan oleh migren, CVD, tumor, epilepsi, demielinisasi,
degenerasi.1
b. Vertigo non vestibular
Disebabkan oleh polineuropati, mielopati, artrosis servikalis, trauma
leher, presinkop, hipotensi ortostatik, hiperventilasi, tension headache,
penyakit sistemik. BPPV adalah gangguan klinis yang sering terjadi
dengan karakteristik serangan vertigo di perifer, berulang dan singkat,
sering berkaitan dengan perubahan posisi kepala dari tidur, melihat ke
atas, kemudian memutar kepala.
BPPV adalah penyebab vertigo dengan prevalensi 2,4% dalam
kehidupan seseorang. Studi yang dilakukan oleh Bharton 2011,
prevalensi akan meningkat setiap tahunnya berkaitan dengan
meningkatnya usia sebesar 7 kali atau seseorang yang berusia di atas
60 tahun dibandingkan dengan 18-39 tahun. BPPV lebih sering terjadi
pada wanita daripada laki-laki.1
1. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis
- Vertigo vestibular
Menimbulkan sensasi berputar, timbulnya episodik, diprovokasi oleh
gerakan kepala, bisa disertai rasa mual atau muntah. Vertigo
vestibular perifer timbulnya lebih mendadak setelah perubahan posisi
kepala dengan rasa berputar yang berat, disertai mual atau muntah dan
keringat dingin. Bisa disertai gangguan pendengaran berupa tinitus,
atau ketulian, dan tidak disertai gejala neurologik fokal seperti
hemiparesis, diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis. Vertigo
vestibular sentral timbulnya lebih lambat, tidak terpengaruh oleh
gerakan kepala. Rasa berputarnya ringan, jarang disertai rasa mual dan
muntah, tidak disertai gangguan pendengaran. Keluhan dapat disertai
dengan gejala neurologik fokal seperti hemiparesis.1
- Vertigo non vestibular
Sensasi bukan berputar, melainkan rasa melayang, goyang,
berlangsung konstan atau kontinu, tidak disertai rasa mual dan
muntah, serangan biasanya dicetuskan oleh gerakan objek sekitarnya
seperti di tempat keramaianmisalnya lalu lintas macet. Pada
anamnesis perlu digali penjelasan mengenai: Deskripsi jelas keluhan
pasien. Pusing yang dikeluhkan dapat berupa sakit kepala, rasa
goyang, pusing berputar, rasa tidak stabil atau melayang.1
- Bentuk serangan vertigo:
Pusing berputar
Rasa goyang atau melayang.1
- Sifat serangan vertigo:
Periodik
Kontinu
Ringan atau berat.1
- Faktor pencetus atau situasi pencetus dapat berupa:
Perubahan gerakan kepala atau posisi
Situasi: keramaian dan emosional
Suara.1
- Gejala otonom yang menyertai keluhan vertigo:
Mual, muntah, keringat dingin
Gejala otonom berat atau ringan.1
- Ada atau tidaknya gejala gangguan pendegaran seperti : tinitus atau
tuli
- Obat-obatan yang menimbulkan gejala vertigo seperti: streptomisin,
gentamisin, kemoterapi
- Tindakan tertentu: temporal bone surgery, transtympanal treatment
- Penyakit yang diderita pasien: DM, hipertensi, kelainan jantung
- Defisit neurologis: hemihipestesi, baal wajah satu sisi, perioral
numbness, disfagia, hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia
serebelaris.1
b. Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan umum
- Pemeriksaan sistem kardiovaskuler yang meliputi pemeriksaan
tekanan darah pada saat baring, duduk dan berdiri dengan perbedaan
lebih dari 30 mmHg.1
- Pemeriksaan neurologis
• Tes nistagmus: Nistagmus disebutkan berdasarkan komponen cepat,
sedangkan komponen lambat menunjukkan lokasi lesi: unilateral,
perifer, bidireksional, sentral.
• Tes Romberg: Jika pada keadaan berdiri dengan kedua kaki rapat
dan mata terbuka pasien jatuh, kemungkinan kelainan pada serebelum.
Jika saat mata terbuka
pasien tidak jatuh, tapi saat mata tertutup pasien cenderung jatuh ke
satu sisi,kemungkinan kelainan pada sistem vestibuler atau
proprioseptif (Tes Romberg positif).
• Tes Romberg dipertajam (sharpen Romberg/tandem Romberg): Jika
pada keadaan berdiri tandem dengan mata terbuka pasien jatuh,
kemungkinan kelainan pada serebelum. Jika pada mata tertutup pasien
cenderung jatuh ke satu sisi, kemungkinan kelainan pada system
vestibuler atau proprioseptif.
• Tes jalan tandem: pada kelainan serebelar, pasien tidak dapat
melakukan jalan tandem danjatuh ke satu sisi. Pada kelaianan
vestibuler, pasien akan mengalami
deviasi.
• Tes Fukuda(Fukuda stepping test), dianggap abnormal jika saat
berjalan ditempat selama 1 menit dengan mata tertutup terjadi deviasi
ke satu sisi lebih dari 30 derajat atau maju mundur lebih dari satu
meter.
• Tes past pointing, pada kelainan vestibuler ketika mata tertutup
maka jari pasien akan deviasi ke arah lesi. Pada kelainan serebelar
akan terjadi hipermetri atau hipometri.1
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan etiologi.1

Tabel perbedaan
Diagnosis banding

Penatalaksanaan
a. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan
metode BrandDaroff.1
b. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur dengan kedua tungkai
tergantung, dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat
ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik. Setelah itu duduk
kembali. Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat ke sisi lain.
Pertahankan selama 30 detik, lalu duduk kembali. Lakukan latihan ini
3 kali pada pagi, siang dan malam hari masingmasing diulang 5 kali
serta dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan latihan pagi
dan sore hari.1
c. Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita sering kali
merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali
menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan
bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapar dihentikan setelah
beberapa minggu. Beberapa golongan yang sering digunakan:
Antihistamin (Dimenhidrinat atau Difenhidramin)
- Dimenhidrinat lama kerja obat ini ialah 4-6 jam. Obat dapat diber per
oral atau parenteral (suntikan intramuskular dan intravena), dengan
dosis 25 mg-50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.
- Difenhidramin HCl. Lama aktivitas obat ini ialah 4-6 jam, diberikan
dengan dosis 25 mg (1 kapsul)-50 mg, 4 kali sehari per oral.
- Senyawa Betahistin (suatu analog histamin): Betahistin Mesylate
dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per oral. Betahistin HCl dengan
dosis 8-24 mg, 3 kali sehari. maksimum 6 tablet dibagi dalam
beberapa dosis.
Kalsium Antagonis
- Cinnarizine, mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular dan dapat
mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis
biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg sehari.1
8. Hipoglikemia

Definisi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah < 60
mg/dl atau kakdar glukosa darah < 80 mg /dl dengan gejala klinis.
Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari penyandang diabetes
melitus dan geriatri.

Etiologi
1) Kelebihan dosis obat, terutama insulin atau ibat hipoglikemia oral
yaitu sulfonilurea
2) Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menrun; gagal ginjal
kronik dan pasca persalinan
3) Asupan makanan tidak adekuat; jumlah kaliri atau waktu makan
tidak tepat
4) Kegiatan jasmani yang berlebihan

Penegakan diagnosis
Anamnesis
Keluhan dapat bervariasi, namun diantaranya adalah:
1) Rasa gemetar
2) Perasaan lapar
3) Pusing
4) Keringat dingin
5) Jantung berdebar
6) Gelisah
7) Penurunan kesadaran bahkan sampai koma dengan atau tanpa
kejang.

Pada pasien atau keluarga perlu ditanyakan riwayat penggunaan insuli,


atau obat hiperglikemia oral, dosis terakhir, waltu pemakaian terakhir,
pergantian dosis, waktu makan terakhir, jumlah asupan makan dan
aktivitas fisik yang dilakukan.
Pemeriksaan fisik
1) Pucat
2) Diaphoresis
3) Tekanan darah menurun
4) Frekuensi jantung meningkat
5) Penurunan kesadaran
6) Defisit neurologi fokal (refleks patologis positif pada satu sisi
tubuh) sesaat.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan gula darah sewaktu

Giagnosis hipoglikemia ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya dan hasil


pemeriksaan kadar gula darah. Trias Whipple untuk hipoglikemia secara
umum:
1) Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2) Kadar glukosa plasma rendah
3) Gejala mereda setelah glukosa plasma meningkat.

Tatalaksana
Stadium permulaan (sadar):
1) Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen atau
gula murni
2) (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/ gula diabetes) dan
makanan yang mengandung karbohidrat.
3) Hentikan obat hipoglikemik sementara. Pantau glukosa darah sewaktu
tiap 1-2 jam. 3. Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila sebelumnya
tidak sadar).
4) Cari penyebab hipoglikemia dengan anamnesis baik auto maupun allo
anamnesis.
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga
hipoglikemia):
1) Diberikan larutan dekstrose 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL)
2) bolus intra vena.
3) Diberikan cairan dekstrose 10 % per infus 6 jam perkolf.
4) Periksa GDS setiap satu jam setelah pemberian dekstrosa 40%
a. Bila GDS< 50 mg/dL bolus dekstrosa 40 % 50 mL IV.
b. Bila GDS<100 mg/dL bolus dekstrosa 40 % 25 mL IV.
b. Bila GDS 100 – 200 mg /dL tanpa bolus dekstrosa 40 %.
c. Bila GDS> 200 mg/dL pertimbangan menurunkan kecepatan drip
dekstrosa 10 %.

5) Bila GDS> 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut–turut, pemantauan


GDS setiap 2 jam, dengan protokol sesuai diatas, bila GDs >200
mg/dL – pertimbangkan mengganti infus dengan dekstrosa 5 % atau
NaCI 0,9 %.
6) Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, protokol
hipoglikemi dihentikan.

Rencana Tindak Lanjut


1) Mencari penyebab hipoglikemi kemudian tatalaksana sesuai
penyebabnya.
2) Mencegah timbulnya komplikasi menahun, ancaman timbulnya
hipoglikemia merupakan faktor limitasi utama dalam kendali glikemi
pada pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2 yang mendapat terapi ini.

Konseling dan Edukasi


Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia (terutama penderita
diabetes), hendaknya selalu membawa tablet glukosa karena efeknya cepat
timbul dan memberikan sejumlah gula yang konsisten.

Kriteria Rujukan
1. Pasien hipoglikemia dengan penurunan kesadaran harus dirujuk ke
layanan sekunder (spesialis penyakit dalam) setelah diberikan
dekstrose 40% bolus dan infus dekstrose 10% dengan tetesan 6 jam per
kolf.
2. Bila hipoglikemi tidak teratasi setelah 2 jam tahap pertama protokol
penanganan
DAFTAR PUSTAKA

1) Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW. BUKU AJAR PENYAKIT DALAM. Edisi


VI. Interna Publishing. Jakarta. 2017
2) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Edisi 1.
Jakarta:2017
3) Katzung, Bertram . Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 12. Jakarta: EGC;
2017
4) Bates B, Bickley LS, Hoekelman RA. A Guide to Physical Examination
and
5) History Taking. 8th ed. Philadelphia: Lippincott; 2018.

Anda mungkin juga menyukai