BLOK 5.1
“Sistem Hematologi”
NPM : 119170050
Kelompok : 3B
Semester :5
FAKULTAS KEDOKTERAN
CIREBON
2021
SKENARIO
Seorang laki-aki berusia 48 tahun datang ke dokter umum dengan keluhan badan
terasa lemas dan kepala pusing
STEP 1
Keluhan utama: badan terasa lemah dan kepala pusing
STEP 2
Diagram Venn
Berdasarkan riset kesehatan Dasar tahun 2013 terjadi peningkatan dari 1,1 pada
2007 menjadi 2,1 2013. Proporsi penduduk lebih dari sama dengan 15 tahun
dengan diabetes melitus adalah 6,9%. Who memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta tahun 2000 menjadi sekitar
21,3 juta 2030
Penegakkan diagnosis
- Hasil anamnesis
1) Polifagia
2) Poliuri
3) Polidipsi dan
4) Penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya
1) Lemah
2) kesemutan
3) Gatal
4) Mata kabur
5) Disfungsi ereksi pada pria
6) Pruritus vulvae pada wanita
7) Luka yang sulit sembuh
Faktor risiko
1) Berat badan lebih dan obesitas atau au atau BMT lebih dari atau sama
dengan 25 kg/ m2
2) Riwayat DM di keluarga
3) Riwayat hipertensi (tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg)
4) Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4000 gram atau pernah
didiagnosis DM gestasional pada perempuan.
5) Riwayat gula darah darah puasa terganggu/ toleransi glukosa terganggu
6) Aktivitas jasmani yang kurang
- Pemeriksaan fisik
1) Penilaian berat badan
2) Mata: penurunan visus, lensa mata buram
3) Ekstremitas: uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen
- Pemeriksaan penunjang
1) Gula darah puasa
2) Gula darah 2 jam post prandial
3) Urinalisis
- Penegakan diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
darah secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Penggunaan darah
vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler. Kecurigaan adanya DMT2 perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik berupa; poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah vena dengan
sistem enzimatik dengan hasil :
1. Gejala klasik + GDP ≥ 126 mg/dl
2. Gejala klasik + GDS ≥ 200 mg/dl
3. Gejala klasik + GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
4. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl
5. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dl
6. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
7. HbA1c ≥ 6.5%
Dari awal, pada pengelolaan pasien DMT2 harus direncanakan terapi non
farmakologis dan pertimbangan terapi farmakologis. Hal yang paling penting
pada terapi non farmakologis adalah monitor sendiri kadar glukosa darah dan
pendidikan berkelanjutan tentang penatalaksanaan diabetes pada pasien.
Latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama 30 menit/ kali),
merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari
seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, dan berkebun harus tetap
dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda
santai, joging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas
latihan jasmani bisa ditingkatkan. Sementara bagi mereka yang sudah
mengalami komplikasi DM, intensitas latihan jasmani dapat dikurangi. Terapi
nutrisi medis dilaksanakan dalam beberapa tahap. Pengenalan sumber dan
jenis karbohidrat, pencegahan dan penatalaksanaan hipoglikemia harus
dilakukan terhadap pasien. Terapi nutrisi medis ini bersifat bersifat individu.
Secara umum, terapi nutrisi medis meliputi upaya-upaya untuk mendorong
pola hidup sehat, membantu kontrol gula darah, dan membantu pengaturan
berat badan. Diet Diabetes Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah
kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Cara yang paling umum
digunakan adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal (BBI), ditambah atau dikurangi dengan
beberapa faktor koreksi. Faktor koreksi ini meliputi jenis kelamin, umur,
aktivitas, dan berat badan.
Komposisi Makanan
Golongan Sulfonilurea
Meglitinid
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran pencernaan.
Acarbose mengalami metabolisme pada saluran pencernaan oleh flora
mikrobiologis, hidrolisis intestinal, dan aktifitas enzim pencernaan. Inhibisi
kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa
setelah makan pada pasien DMT2. Penggunaan acarbose pada lansia relatif
aman karena tidak akan merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat
menyebabkan hipoglikemi. Efek sampingnya berupa gejala gastroinstestinal,
seperti meteorismus, flatulence dan diare. Acarbose dikontraindikasikan pada
penyakit irritable bowel syndrome, obstruksi saluran cerna, sirosis hati, dan
gangguan fungsi ginjal yang lanjut dengan laju filtrasi glomerulus ≤ 30
mL/min/1.73 m.
Biguanid
Golongan Tiazolidinedion
Etiologi
a. Disfungsi kelenjar pituitary (Hipotiroidisme Sentral)
b. Tiroiditis Hashimoto
c. Transien, iatrogenic/obat-obatan, penyakit didapat dan
kongenital/bawaan, defisiensi iodium, fase hipotiroid dari tiroiditis
Faktor Risiko
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan penyakit gangguan tiroid adalah:
a. Umur: Usia di atas 60 tahun maka semakin berisiko terjadinya
hipotiroid atau hipertiroid.
b. Jenis Kelamin: Perempuan lebih berisiko terjadi gangguan tiroid.
c. Genetik: Di antara banyak faktor penyebab autoimunitas terhadap
kelenjar tiroid, genetik dianggap merupakan faktor pencetus utama.
d. Merokok: Merokok dapat menyebabkan kekurangan oksigen di otak
dan nikotin dalam rokok dapat memacu peningkatan reaksi inflamasi.
e. Stres: Stres juga berkolerasi dengan antibodi terhadap antibodi TSH-
reseptor.
f. Riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan autoimun:
Riwayat penyakit keluarga yang ada hubungan dengan kelainan
autoimun merupakan faktor risiko hipotiroidisme tiroiditis autoimun.
g. Zat kontras yang mengandung iodium: Hipertiroidisme terjadi setelah
mengalami pencitraan menggunakan zat kontras yang mengandung
lodium.
h. Obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit tiroid:
Amiodaron, Lithium Karbonat, Aminogiutethimide, Interferon Alfa,
Thalidomide, Betaroxine, Stavudine.
i. Lingkungan: Kadar iodium dalam air kurang.
Patomekanisme
1) Hipotiroidisme
2) Tiroiditis Hashimoto
Gambar 2. Patomekanisme tiroiditis Hashimoto.
Penegakan Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Penunjang
Dosis awal levothyroxine pada orang dewasa muda dan sehat untuk
penggantian lengkap adalah 1,6 mcg per kg per hari (Tabel 3). Hormon
tiroid umumnya diminum di pagi hari, 30 menit sebelum makan. Suplemen
kalsium dan zat besi tidak boleh dikonsumsi dalam waktu empat jam
setelah mengonsumsi levothyroxine, karena suplemen ini dapat
menurunkan penyerapan hormon tiroid. Kepatuhan yang buruk terhadap
terapi levotiroksin adalah penyebab tersering dari peningkatan kadar TSH
yang terus-menerus pada pasien dengan dosis hormon tiroid yang
memadai. Dosis levotiroksin untuk bayi dan anak-anak juga berdasarkan
berat badan dan bervariasi menurut usia. Dosis harus disesuaikan
berdasarkan respon klinis dan parameter laboratorium.
3.
3. Anemia defisiensi besi
Definisi
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi
besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan:
Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan
besi, gangguan penyerapan, serta kehilangan besi akibat perdarahan
menahun:
Patogenesis
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis banding
Terapi
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi.
Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah:
Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif,
murah dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas
ferosus yang merupakan preparat pilihan pertama karena paling murah
tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas
ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3 x
200 mg memberikan absorps: besi 50 mg per hari yang dapat
meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal.
3) Transfusi darah
4. Anemia aplastik
Definisi
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang
ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh
pansitopenia dan aplasia sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun
1888 oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak
lama setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan,
dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut
menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular (tidak aktif). Pada tahun
1904, Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik.
Puluhan tahun berikutnya definisi anemia aplastik masih belum berubah
dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakan pendapat bahwa tanda khas
penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959,
Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus
pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia susmsum tulang, tanpa ada
suatu penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan
jaringan hemopoietik sumsum tulang.
Epidemiologi
Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar
antara 2 sampai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi
geografis. Penelitian The International Aplastic Anemia and
Agranulolytosis Study di awal tahun 1980-an menemukan frekuensi di
Eropa dan Israel sebanyak 2 kasus per 1 juta penduduk. Penelitian di
Perancis menemukan angka insidensi sebesar 1,5 kasus per 1 juta
penduduk per tahun. Di Cina, insidens dilaporkan 0,74 kasus per 100.000
penduduk per tahun dan di Bangkok 3,7 kasus per 1 juta penduduk per
tahun. Ternyata penyakit ini lebih banyak ditemukan di belahan Timur
dunia daripada di belahan Barat.
Patogenesis
Dahulu, anemia aplastik dihubungkan erat dengan paparan terhadap
bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia aplastik dianggap disebabkan
paparan terhadap bahan-bahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-
obatan atau senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan,
hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak
diketahui faktor penyebabnya, maka pasien digolongkan anemia aplastik
idiopatik. Sebagian besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik.
1) Higiene mulut
- Untuk mengatasi anemia Tranfusi PRC (packet red cell) jika Hb < 7
g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang sangat
simtomatik. Koreksi 16 sampai Hb 9-10 g/dl, tidak perlu sampai Hb
normal, karena akan menekan eritropoiesis internal.1
Terapi Imunosupresif
Definisi
Anemia hemolitik adalah destruksi prematur sel darah merah, yang dapat
bersifat kronik atau mengancam nyawa. Pasien dengan anemia hemolitik
dapat datang dengan gejala anemia, ikterus, hematuria, dyspnea,
takikardia, dan terkadang hipotensi. Gejala yang muncul akan
merefleksikan penyebab yang mendasari hemolisis. Normalnya, sel darah
merah memiliki usia sekitar 120 hari. Mekanisme yang dapat
menyebabkan destruksi prematur sel darah merah adalah deformabilitas
sel yang buruk, sehingga menyebabkan sel terperangkap di pembuluh
darah kecil dan limpa, serta merangsang fagositosis sel. Mekanisme lain
yang dapat menyebabkan anemia hemolitik antara lain destruksi yang
dimediasi antibodi, fragmentasi akibat mikrotrombi atau trauma mekanis,
oksidasi, atau destruksi seluler langsung.
Etiologi
tiologi anemia hemolitik dapat dibagi menjadi penyebab korpuskular dan
ekstrakorpuskular. Penyebab korpuskular dari anemia hemolitik antara lain
kelainan pada membran sel darah merah, hemoglobinopati, dan
abnormalitas enzim. Penyebab ekstrakorpuskular antara lain penyebab
imunologikal, mekanikal, infeksi, dan toksin. Penyebab Korpuskular
Kelainan pada membran sel darah merah dapat dibagi menjadi penyebab
herediter dan didapat. Contoh penyebab herediter yang bisa menyebabkan
anemia hemolitik adalah hereditary spherocytosis, elliptocytosis, dan
hereditary stomatocytosis. Contoh penyebab didapat adalah paroxysmal
nocturnal hemoglobinuria dan acanthocytosis. Penyebab hemoglobinopati
dapat dibagi menjadi defek hemoglobin kualitatif dan kuantitatif. Contoh
defek hemoglobin kualitatif adalah sickle cell anemia dan unstable
hemoglobin. Contoh defek kuantitatif adalah thalassemia. Contoh
abnormalitas enzim yang bisa menyebabkan anemia hemolitik adalah
penyakit defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase, defisiensi piruvat
kinase, dan defisiensi pyrimidine-5-nukleotidase. Penyebab
Ekstrakorpuskular Penyebab anemia hemolitik yang bersifat
ekstrakorpuskular dan berkaitan dengan sistem imun antara lain anemia
hemolitik autoimun dan drug-induced hemolytic anemia. Mekanisme
ekstrakorpuskular mekanikal yang bisa menyebabkan anemia hemolitik
adalah hemolytic uremic syndrome, disfungsi katup jantung prostetik, dan
HELLP syndrome. Penyebab infeksi misalnya malaria dan babesiosis.
Penyebab toksik dapat dibagi menjadi eksogen dan endogen. Penyebab
eksogen misalnya keracunan timbal, keracunan arsen, dan gigitan ular.
Penyebab endogen misalnya penyakit Wilson.
Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa anemia hemolitik tidak memiliki
kecenderungan jenis kelamin dan ras. Hanya saja, pada Autoimmune
Hemolytic Anemia angka kejadianya dilaporkan sedikit lebih tinggi pada
wanita dibandingkan pria. Selain itu, defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G6PD) lebih banyak ditemukan pada laki-laki karena
diturunkan secara X resesif. Pada defisiensi G6PD, perempuan menjadi
karier.
Patofosiologi
Secara patofisiologi, anemia hemolitik dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu ekstravaskular dan intravaskular. Hemolisis
ekstravaskular lebih sering terjadi dibandingkan intravaskular. Mekanisme
primer dari hemolisis ekstravaskular adalah sekuestrasi dan fagositosis
akibat deformabilitas sel darah merah yang buruk. Mekanisme
intravaskular meliputi destruksi sel secara langsung, fragmentasi, dan
oksidasi. Destruksi sel secara langsung dapat disebabkan oleh toksin dan
trauma. Hemolisis fragmentasi terjadi jika faktor ekstrinsik menyebabkan
luka dan ruptur pada sel darah merah. Hemolisis oksidatif timbul jika
terjadi kegagalan pada mekanisme protektif sel. Autoimmune hemolytic
anemia dan hereditary spherocytosis adalah contoh hemolisis
ekstravaskular. Disebut ekstravaskular karena sel darah merah yang
memiliki perubahan struktur permukaan membran sel dihancurkan di luar
pembuluh darah, yaitu di limpa dan hati dengan bantuan makrofag.
Sementara hemolisis intravaskular adalah keadaan hemolisis yang terjadi
di dalam pembuluh darah yang mengakibatkan keluarnya isi sel ke dalam
plasma. akibat defek pada sel darah merah. Defek dapat berupa defek
enzim, dinding sel, hemoglobin, ataupun akibat trauma dan infeksi yang
menyebabkan terjadinya degradasi membran sel dan destruksi spontan.
Penegakan diagnosis
Diagnosis anemia hemolitik sebaiknya dipandu keluhan pasien dan
riwayat penyakit keluarga. Pemeriksaan penunjang dapat membantu
mencari penyebab hemolisis, misalnya apusan darah tepi dan direct
antiglobulin test (DAT). Dari data dasar ini, pemeriksaan penunjang dapat
diarahkan lebih spesifik untuk mengonfirmasi diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding.
Terapi
a. Kortikosteroid : 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian
besar akan menunjukkan respons klinis baik (Hmt meningkat,
retikulosit meningkat, tes coombs direk positif lemah, tes coomb
indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-
30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respons terhadap stetoid,
dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20
mg/hari. Terapi steroid dosis < 30mg/ hari dapat diberikan secara
selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan
dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis per hari melebihi 15
mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera
dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
b. Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa
dilakukan penurunan dosis selama 3 bulan, maka perlu
dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan
tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa
terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan
jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih
besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi
komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat
permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan
setelah splenektomi.
c. Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan
memperlihatkan respons yang cukup menggembirakan sebagai
salvage therapy'’. Dosis Rituximab 100 mg per minggu selama 4
minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh.Beberapa
literatur menganjurkan rituximab 375/m2 hari 1, 8,15,21.
d. Imunosupresi ; Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/ m2),
siklofosfamid 50-150 mg/hari (60 mg/m2).
e. Terapi lain:
Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakas bersama-
~sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau
dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi 200-400 mg.hari.
Kombinasi Danazol dan prednison memberikan hasi¥ yang bagus
sebagai terapi inisial dan memberikan respons pada 80% kasus.
Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau
Evan's Syndrome
6. Anemia megaloblastik
Definisi
Anemia megaloblastik (makrositosis) merupakan kelainan sel darah merah
dimana dijumpai anemia dengan volume sel darah merah (SDM) lebih
besar dari normal dan ditandai oleh banyak sel imatur besar dan SDM
disfungsional (megaloblas) di sumsum tulang akibat adanya hambatan
sintesis Deoxyribose nucleic acid (DNA) dan/atau sintesis Ribonucleic
Acid (RNA) dalam produksi sel darah merah. Ketika sintesis DNA
dan/atau sintesis RNA terganggu, siklus sel terhambat berlanjut dari tahap
pertumbuhan (G2) ke tahap mitosis (M). Hal ini menyebabkan proliferast
dan diferensiasi terbatas pada sel-sel progenitor sehingga diferensiasi sel
terhambat yang akan menyebabkan morfologi sel menjadi makrositosis.
Anemia makrositik dapat dibagi menjadi anemia makrositik
megaloblastikdan non-megaloblastik. Pada anemia megaloblastik sefing
tampil dengan hipersegmentasi sel netrofil (6-10 lobus).
Patogenesis
Penghambatan sintesis DNA dan/atau RNA pada SDM yang paling sering
disebabkan oleh hipovitaminosis, khususnya defisiensi sianokobalamin
(B12) dan/atau asam folat. Mekanismenya adalah akibat gangguan proses
siklus B12 yang bergantung asam folat. Defisiensi asam folat akan diikuti
oleh terhambatnya sintesis basa nukleotida (khususnya timin),
menyebabkan terhambatnya sintesis DNA, Kekurangan vitamin B12 saja
dapat tidak menyebabkan sindrom makrositer tersebut jika kadar asam
folat cukup. Suplementasi asam folat tanpa adanya B12 mencegah anemia
jenis ini (meskipun keadaan patologis spesifik lain dari defisiensi B12
terus berlanjut).
Penegakan diagnosis
Diagnosis anemia makrositer ditegakkan dari adanya anemia dengan MCV
> 100 fL. Untuk mendefinisikan anemia, WHO menggunakan kadar
hemoglobin sebagai patokan.
Pemeriksaan kadar asam folat intrasel sel darah merah (SDM) dan serum.
Hasil tes laboratorium dapat bervariasi tergantung pada usia, jenis
kelamin, riwayat kesehatan, metode yang digunakan untuk pengujian, dan
berbagai faktor lainnya. Jika hasilnya berbeda dari hasil yang disarankan
di bawah ini, belum tentu terdapat kelainan. Saat ini rentang normal yang
diusulkan untuk kadar folat serum sekitar 2,7-17.0 ng/mL untuk kedua
jenis kelamin dan semua umur. Nilai lebih rendah didapatkan pada wanita
dibandingkan pada pria. Tingkat serum 1,4-2,6 ng/mL biasanya disebut tak
tentu (indeterminate) karena adanya tumpang tindih antara defisinsi dan
rentang normal. Nilai folat serum <1,4 ng/mL biasanya menunjukkan
asupan folat tidak memadai. Peningkatan kadar folat > 17,0 disebabkan
oleh suplemen. Kadar folat serum hanya mencerminkan asupan makanan
terakhir, sedangkan kadar folat SDM lebih mengambarkan simpanan
dalam jaringan tubuh. Pemeriksaan kadar folat SDM dilakukan dengan
cara radioassay kompetitif mengikat protein. Berikut ini dianggap kadar
yang normal untuk tes ini:
Tatalaksana
Algoritma evaluasi anemia makrositik.1
Perawatan Medis
Evaluasi biasanya dapat dilakukan pada pasien rawat jalan. Pengobatan
tergantung pada etiolog: makrositosis, keberadaan dan tingkat keparahan
anemia, dan gejala yang ditimbulkan. Setelah kayian laboratorium yang
sesuai diperoleh, pasien anemia dapat ditransfusi dengan packed red cells
apabila dalam keadaan kedaruratan (dekompensasi, rencana operasi
segera). Jika suatu obat diperkirakan menjadi penyebab anemia
makrositik, terutama jika hemolisis yang terjadi, hentikan pemberian obat
tersebut. Pasien kekurangan vitamin B12 atau folat harus mendapat terapi
pengganti, asam folat 1 mg/ hari dapat diresepkan pada pasien dengan
defisiensi folat. Injeksi intra-muskular vitamin B12 (100-1000 mcg
perbulan), berlangsung terus menerus, dapat diberikan.
Pasien yang diduga menyalahgunakan alkohol dinasihatkan untuk
menghindarkannya. Mengobati keganasan, penyakit granulomatosa, dan
PPOK menurut standar terapi untuk masing-masing penyakit. Rawat inap
mungkin diperlukan untuk mengobati beberapa penyebab anemia
makrositosis, terutama leukemia akut.
7. Vertigo
Definisi
Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau lingkungan
sekitarnya. Persepsi gerakan bisa berupa:
a. Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada gangguan
vestibular.
b. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang, mengambang
yang timbul pada gangguan sistem proprioseptif atau sistem visual
Klasifikasi
a. Vertigo vestibular
Vertigo perifer disebabkan oleh Benign Paroxismal Positional Vertigo
(BPPV), Meniere’s Disease, neuritis vestibularis, oklusi arteri labirin,
labirhinitis, obat ototoksik, autoimun, tumor nervus VIII,
microvaskular compression, fistel perilimfe. Vertigo sentral
disebabkan oleh migren, CVD, tumor, epilepsi, demielinisasi,
degenerasi.1
b. Vertigo non vestibular
Disebabkan oleh polineuropati, mielopati, artrosis servikalis, trauma
leher, presinkop, hipotensi ortostatik, hiperventilasi, tension headache,
penyakit sistemik. BPPV adalah gangguan klinis yang sering terjadi
dengan karakteristik serangan vertigo di perifer, berulang dan singkat,
sering berkaitan dengan perubahan posisi kepala dari tidur, melihat ke
atas, kemudian memutar kepala.
BPPV adalah penyebab vertigo dengan prevalensi 2,4% dalam
kehidupan seseorang. Studi yang dilakukan oleh Bharton 2011,
prevalensi akan meningkat setiap tahunnya berkaitan dengan
meningkatnya usia sebesar 7 kali atau seseorang yang berusia di atas
60 tahun dibandingkan dengan 18-39 tahun. BPPV lebih sering terjadi
pada wanita daripada laki-laki.1
1. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis
- Vertigo vestibular
Menimbulkan sensasi berputar, timbulnya episodik, diprovokasi oleh
gerakan kepala, bisa disertai rasa mual atau muntah. Vertigo
vestibular perifer timbulnya lebih mendadak setelah perubahan posisi
kepala dengan rasa berputar yang berat, disertai mual atau muntah dan
keringat dingin. Bisa disertai gangguan pendengaran berupa tinitus,
atau ketulian, dan tidak disertai gejala neurologik fokal seperti
hemiparesis, diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis. Vertigo
vestibular sentral timbulnya lebih lambat, tidak terpengaruh oleh
gerakan kepala. Rasa berputarnya ringan, jarang disertai rasa mual dan
muntah, tidak disertai gangguan pendengaran. Keluhan dapat disertai
dengan gejala neurologik fokal seperti hemiparesis.1
- Vertigo non vestibular
Sensasi bukan berputar, melainkan rasa melayang, goyang,
berlangsung konstan atau kontinu, tidak disertai rasa mual dan
muntah, serangan biasanya dicetuskan oleh gerakan objek sekitarnya
seperti di tempat keramaianmisalnya lalu lintas macet. Pada
anamnesis perlu digali penjelasan mengenai: Deskripsi jelas keluhan
pasien. Pusing yang dikeluhkan dapat berupa sakit kepala, rasa
goyang, pusing berputar, rasa tidak stabil atau melayang.1
- Bentuk serangan vertigo:
Pusing berputar
Rasa goyang atau melayang.1
- Sifat serangan vertigo:
Periodik
Kontinu
Ringan atau berat.1
- Faktor pencetus atau situasi pencetus dapat berupa:
Perubahan gerakan kepala atau posisi
Situasi: keramaian dan emosional
Suara.1
- Gejala otonom yang menyertai keluhan vertigo:
Mual, muntah, keringat dingin
Gejala otonom berat atau ringan.1
- Ada atau tidaknya gejala gangguan pendegaran seperti : tinitus atau
tuli
- Obat-obatan yang menimbulkan gejala vertigo seperti: streptomisin,
gentamisin, kemoterapi
- Tindakan tertentu: temporal bone surgery, transtympanal treatment
- Penyakit yang diderita pasien: DM, hipertensi, kelainan jantung
- Defisit neurologis: hemihipestesi, baal wajah satu sisi, perioral
numbness, disfagia, hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia
serebelaris.1
b. Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan umum
- Pemeriksaan sistem kardiovaskuler yang meliputi pemeriksaan
tekanan darah pada saat baring, duduk dan berdiri dengan perbedaan
lebih dari 30 mmHg.1
- Pemeriksaan neurologis
• Tes nistagmus: Nistagmus disebutkan berdasarkan komponen cepat,
sedangkan komponen lambat menunjukkan lokasi lesi: unilateral,
perifer, bidireksional, sentral.
• Tes Romberg: Jika pada keadaan berdiri dengan kedua kaki rapat
dan mata terbuka pasien jatuh, kemungkinan kelainan pada serebelum.
Jika saat mata terbuka
pasien tidak jatuh, tapi saat mata tertutup pasien cenderung jatuh ke
satu sisi,kemungkinan kelainan pada sistem vestibuler atau
proprioseptif (Tes Romberg positif).
• Tes Romberg dipertajam (sharpen Romberg/tandem Romberg): Jika
pada keadaan berdiri tandem dengan mata terbuka pasien jatuh,
kemungkinan kelainan pada serebelum. Jika pada mata tertutup pasien
cenderung jatuh ke satu sisi, kemungkinan kelainan pada system
vestibuler atau proprioseptif.
• Tes jalan tandem: pada kelainan serebelar, pasien tidak dapat
melakukan jalan tandem danjatuh ke satu sisi. Pada kelaianan
vestibuler, pasien akan mengalami
deviasi.
• Tes Fukuda(Fukuda stepping test), dianggap abnormal jika saat
berjalan ditempat selama 1 menit dengan mata tertutup terjadi deviasi
ke satu sisi lebih dari 30 derajat atau maju mundur lebih dari satu
meter.
• Tes past pointing, pada kelainan vestibuler ketika mata tertutup
maka jari pasien akan deviasi ke arah lesi. Pada kelainan serebelar
akan terjadi hipermetri atau hipometri.1
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan etiologi.1
Tabel perbedaan
Diagnosis banding
Penatalaksanaan
a. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan
metode BrandDaroff.1
b. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur dengan kedua tungkai
tergantung, dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat
ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik. Setelah itu duduk
kembali. Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat ke sisi lain.
Pertahankan selama 30 detik, lalu duduk kembali. Lakukan latihan ini
3 kali pada pagi, siang dan malam hari masingmasing diulang 5 kali
serta dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan latihan pagi
dan sore hari.1
c. Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita sering kali
merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali
menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan
bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapar dihentikan setelah
beberapa minggu. Beberapa golongan yang sering digunakan:
Antihistamin (Dimenhidrinat atau Difenhidramin)
- Dimenhidrinat lama kerja obat ini ialah 4-6 jam. Obat dapat diber per
oral atau parenteral (suntikan intramuskular dan intravena), dengan
dosis 25 mg-50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.
- Difenhidramin HCl. Lama aktivitas obat ini ialah 4-6 jam, diberikan
dengan dosis 25 mg (1 kapsul)-50 mg, 4 kali sehari per oral.
- Senyawa Betahistin (suatu analog histamin): Betahistin Mesylate
dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per oral. Betahistin HCl dengan
dosis 8-24 mg, 3 kali sehari. maksimum 6 tablet dibagi dalam
beberapa dosis.
Kalsium Antagonis
- Cinnarizine, mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular dan dapat
mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis
biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg sehari.1
8. Hipoglikemia
Definisi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah < 60
mg/dl atau kakdar glukosa darah < 80 mg /dl dengan gejala klinis.
Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari penyandang diabetes
melitus dan geriatri.
Etiologi
1) Kelebihan dosis obat, terutama insulin atau ibat hipoglikemia oral
yaitu sulfonilurea
2) Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menrun; gagal ginjal
kronik dan pasca persalinan
3) Asupan makanan tidak adekuat; jumlah kaliri atau waktu makan
tidak tepat
4) Kegiatan jasmani yang berlebihan
Penegakan diagnosis
Anamnesis
Keluhan dapat bervariasi, namun diantaranya adalah:
1) Rasa gemetar
2) Perasaan lapar
3) Pusing
4) Keringat dingin
5) Jantung berdebar
6) Gelisah
7) Penurunan kesadaran bahkan sampai koma dengan atau tanpa
kejang.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan gula darah sewaktu
Tatalaksana
Stadium permulaan (sadar):
1) Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen atau
gula murni
2) (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/ gula diabetes) dan
makanan yang mengandung karbohidrat.
3) Hentikan obat hipoglikemik sementara. Pantau glukosa darah sewaktu
tiap 1-2 jam. 3. Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila sebelumnya
tidak sadar).
4) Cari penyebab hipoglikemia dengan anamnesis baik auto maupun allo
anamnesis.
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga
hipoglikemia):
1) Diberikan larutan dekstrose 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL)
2) bolus intra vena.
3) Diberikan cairan dekstrose 10 % per infus 6 jam perkolf.
4) Periksa GDS setiap satu jam setelah pemberian dekstrosa 40%
a. Bila GDS< 50 mg/dL bolus dekstrosa 40 % 50 mL IV.
b. Bila GDS<100 mg/dL bolus dekstrosa 40 % 25 mL IV.
b. Bila GDS 100 – 200 mg /dL tanpa bolus dekstrosa 40 %.
c. Bila GDS> 200 mg/dL pertimbangan menurunkan kecepatan drip
dekstrosa 10 %.
Kriteria Rujukan
1. Pasien hipoglikemia dengan penurunan kesadaran harus dirujuk ke
layanan sekunder (spesialis penyakit dalam) setelah diberikan
dekstrose 40% bolus dan infus dekstrose 10% dengan tetesan 6 jam per
kolf.
2. Bila hipoglikemi tidak teratasi setelah 2 jam tahap pertama protokol
penanganan
DAFTAR PUSTAKA