Anda di halaman 1dari 14

Kecerdasan Emosional Membentuk

Karakter Peserta Didik


Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
adalah bagian dari tujuan dilaksanakannya pendidikan.

Senin, 10 Desember 2012 23:39

Jadi pendidikan budaya dan karakter adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi peserta didik agar mampu melakukan proses internalisasi, menghayati
nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, dan mengembangkan
kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang
bermartabat.

Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, adalah


bagian dari tujuan dilaksanakannya pendidikan. Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah pasti
tidak semudah yang dibayangkan. Sebab secara formal, proses pendidikan itu sendiri harus
dilalui dengan penjenjangan yang boleh dikata amat melelahkan namun berdampak positif
terhadap pembentukan karakter seseorang, bahkan jatidiri bangsa di sebuah negara.
Di Indonesia, misalnya. Pelaksanaan pendidikan sangat diharapkan mampu mewujudkan
manusia beriman yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan
mandiri, serta mengedepankan rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Hal-hal tersebut sangat relevan dengan yang diamanahkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistim Pendidikan Nasional. Bertolak dari sini, maka pendidikan harus mampu mempersiapkan
warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif,
terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan
persatuan bangsa, bukannya perpecahan. Sehingganya, sangat perlu mengasah inteligensi secara
terus-menerus.
Namun secara spesifik, mencapai tujuan pendidikan seutuhnya ternyata pengembangan
intelengensi saja tidak mampu menghasilkan manusia yang utuh. Berbagai hasil kajian dan
pengalaman menunjukkan, bahwa pembelajaran komponen emosional lebih penting daripada
intelektual.
Jika kualitas pendidikan diharapkan tercapai secara optimal, perlu diupayakan bagaimana
membina peserta didik untuk memiliki kecerdasan emosi yang stabil sebagai penyeimbang dari
inteligensi yang ada. Sebab, melalui kecerdasan emosional peserta didik dapat memahami diri
dan lingkungannya secara tepat, memiliki rasa percaya diri, tidak mudah putus asa, dan dapat
membentuk karakter peserta didik secara positif.

Kecerdasan Emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh dua orang
psikolog, yakni Peter Salovey dan John Mayer.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosinal (EQ) adalah “Himpunan bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan
kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk
membimbing pikiran dan tindakan”. (Shapiro, 1998: 8).
Menurut psikolog lainnya, yaitu Bar-On (Goleman:2000: 180), mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Sedangkan Goleman (2002:512), memandang kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with
intellegence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion
and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati,
dan keterampilan sosial.
Dari definisi tersebut tersirat adanya faktor kecerdasan emosional yang terdiri dari lima
kemampuan utama, yaitu: 1). Mengenali emosi diri; 2). Mengelola emosi; 3). Memotivasi diri
sendiri; 4). Mengenali emosi orang lain; dan 5). Membina hubungan.
Kecerdasan Emosional (EQ) lebih terfokus pada membangun hubungan harmonis dan selaras
antarmanusia secara horizontal, sehingga kecerdasan intelegensi (IQ) pasti bermanfaat.
Kecerdasan emosional dapat ditunjukkan melalui kemampuan seseorang untuk menyadari apa
yang dia dan orang lain rasakan.
Sehingga itu, peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik,
cenderung dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang
tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan
dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain, dan untuk kerja akademis di sekolah
lebih baik.
Keterampilan dasar kecerdasan emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi
membutuhkan proses dalam mempelajarinya, dan lingkungan yang membentuk kecerdasan
emosional tersebut besar pengaruhnya. Dan ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan kecerdasan emosional dalam pembelajaran, yakni: 1). Menyediakan lingkungan
yang kondusif;  2). Menciptakan iklim pembelajaran yang demokratis; 3). Mengembangkan
sikap empati, dan merasakan apa yang sedang dirasakan peserta didik; 4). Membantu peserta
didik menemukan solusi dalam setiap masalah yang dihadapinya; 5). Melibatkan peserta didik
secara optimal dalam pembelajaran, baik secara fisik, sosial, maupun emosional; 6). Merespon
setiap perilaku peserta didik secara positif, dan menghindari respon negatif;  7). Menjadi teladan
dalam menegakkan aturan dan disiplin dalam pembelajaran; dan 8). Memberi kebebasan berfikir
kreatif serta partisipasi secara aktif.
Semua hal tersebut memungkinkan peserta didik mengembangkan seluruh potensi
kecerdasannya secara optimal. Dari proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan peserta
didik yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan intelegensinya.
Ada peserta didik yang mempunyai kemampuan intelegensi tinggi, tetapi memperoleh prestasi
belajar yang relatif rendah. Dan ada pula peserta didik  yang meski kemampuan intelegensinya
relatif rendah, namun dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf
intelegensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan.
Menurut Goleman (2000:44) kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi
kesuksesan sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, di antaranya
adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ), yakni kemampuan memotivasi diri
sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati,
serta kemampuan bekerja sama.
E.Mulyasa (2006:162) menyatakan, kecerdasan emosional dapat menjadikan peserta didik
memiliki sikap: 1). Jujur, disiplin, dan tulus pada diri sendiri, membangun kekuatan dan 
kesadaran diri, mendengarkan suara hati, hormat dan tanggung jawab; 2). Memantapkan diri,
maju terus, ulet, dan membangun inspirasi secara berkesinambungan; 3).  Membangun watak
dan kewibawaan,meningkatkan potensi, dan mengintegrasi tujuan belajar ke dalam tujuan
hidupnya; 4). Memanfaatkan peluang dan menciptakan masa depan yang lebih cerah.
Sehingga dari sini, kecerdasan emosional (EQ) bukan merupakan lawan kecerdasan intelegensi
(IQ), namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Sebab, pada kenyataannya perlu diakui,
bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di
sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
               
Budaya dan Karakter
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta
didik. Dan budaya adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan
(belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak,
atau kepribadian seseorang yang  terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues)
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, dan
bersikap                        
Jadi pendidikan budaya dan karakter adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi peserta didik agar mampu melakukan proses internalisasi, menghayati
nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, dan mengembangkan
kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang
bermartabat.

Cepi Triatna (2008:37) menyatakan, pendidikan karakter adalah pendidikan emosi atau
pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak
akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Dengan pendidikan karakter, emosi peserta didik akan menjadi cerdas. Kecerdasan emosi adalah
bekal terpenting dalam mempersiapkan peserta didik menyongsong masa depan yang penuh
dengan tantangan.

Dapat digarisbawahi, bahwa tujuan pendidikan, budaya dan karakter bangsa adalah: 1).
mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara
yang memiliki nilai-nilai budaya serta karakter bangsa; 2). mengembangkan kebiasaan dan
perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya
bangsa yang religius; 3). menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik
sebagai generasi penerus bangsa; 4). mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi
manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan 5). mengembangkan lingkungan
kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter  bangsa adalah: 1).
Religius; 2). Jujur; 3).Toleransi 4). Disiplin;  5). Kerja keras  6). Kreatif; 7). Mandiri;  8).
Demokratis; 9). Rasa ingin tahu; 10). Semangat kebangsaan;  11). Cinta tanah air; 12).
Menghargai prestasi;  13). Bersahabat/Komuniktif; 14). Cinta damai; 15). Gemar membaca;  
16). Peduli lingkungan; 17). Peduli sosial; dan 18). Tanggung-jawab.

Peserta didik yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosional, akan mengalami kesulitan
belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosinya, sehingga jauh dari nilai-nilai yang
diharapkan dalam pendidikan . Sebaliknya peserta didik yang memiliki kecerdasan emosional
akan membentuk peserta didik yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai pada pendidikan
berkarakter.
Sehingga dari keseluruhan uraian tersebut di atas, maka sebagai konklusi dapat digambarkan,
bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di
sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Bahkan kecerdasan emosional dapat ditunjukkan
melalui kemampuan seseorang untuk menyadari apa yang dia dan orang lain rasakan.
Kemudian, peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat
menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih
terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih
cakap dalam memahami orang lain, dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik.

Dan sekali lagi perlu diingat, bahwa kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ), yakni
kemampuan memotivasi diri sendiri, mangatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur
suasana hati (mood), berempati, serta kemampuan bekerja sama.
Pendidikan karakter adalah pendidikan emosi atau pendidikan budi pekerti plus yaitu pendidikan
yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dalam
pendidikan karakter , peserta didik di harapkan memiliki nilai-nilai positif yaitu  1). Religius; 2).
Jujur; 3).Toleransi 4). Disiplin;  5). Kerja keras  6). Kreatif; 7). Mandiri;  8). Demokratis; 9).
Rasa ingin tahu; 10). Semangat kebangsaan;  11). Cinta tanah air; 12). Menghargai prestasi;  13).
Bersahabat/Komuniktif; 14). Cinta damai; 15). Gemar membaca;   16). Peduli lingkungan; 17).
Peduli sosial; dan 18). Tanggung-jawab.
Olehnya itu, agar nilai-nilai tersebut dapat dicapai, maka cara mengembangkan kecerdasan
emosional peserta didik adalah pilihan yang tepat untuk ditempuh. Sebab, dengan
mengembangkan kecerdasan emosional, maka tentunya akan membentuk peserta didik yang
berkarakter sebagaimana yang diharapkan.***
M e l a ti h K e c e r d a s a n E m o s i A n a k  
 
 –
 Sampai sejauh ini belum ada literatur yang secara spesifik yang membicarakan tentang
bagaimana cara guru melatih kecerdasan emosi anak didiknya. Kebanyakan litelatur yang
beredar lebih menyoroti tentang bagaimana cara orang tua membina EQ anak-anaknya. Seperti
bukunya Maurice 
J. Elias dkk dengan bukunya “Cara efektif Mengasuh  Anak dengan EQ” dan bukunya Joan
 Gottman dan Jean
De Claire dalam bukunya “Kiat
-Kiat
Membesarkan Anak yang Memiliki EQ” (1992).
 Sebagai Joan Gottman dan Jean De Claire, mengidentifikasikan empat tipologi orang tua dalam
menyikapi ungkapan emosi-emosi anak mereka beserta dampaknya yaitu: a. Orang tua yang
mengabaikan Mereka tidak menghiraukan dan menganggap sepi atau meremehkan emosi-
emosi negatif anak.  Akibatnya anak menganggap bahwa perasaan-perasaan itu keliru, tidak
tepat atau tidak sah. Mereka mungkin merasakan ada yang salah dari perasaannya dan
mungkin juga menghadapi kesulitan untuk mengatur emosi mereka sendiri b. Orang tua yang
tidak menyetujui Mereka bersikap kritis terhadap ungkapan perasaan-perasaan negatif anak
mereka. Akibatnya bagi anak adalah sama denga tipologi pertama. c. Orang tua yang Laizees
Mereka menerima emosi anak-anak mereka dan berempati tetapi tidak memberikan bimbingan
atau menentukan batas-batas tingkah laku anak mereka. Akibatnya, anak tidak belajar
mengatur
 
emosi mereka, menghadapi kesulitan untuk berkonsentrasi, dan sulit menjalin persahabatan
atau bergaul dengan orang lain. d. Orang tua yang berperan sebagai pelatih emosi Mereka
menghargai emosi-emsi negatif anak sebagai sebuah kesempatan untuk semakin akrab,
berempati dengan emosi yang dialami anak, namun mereka membimbing dan menentukan
batas-batas tingkah laku anak-anak mereka. Akibatnya, anak belajar mempercayai perasaan
perasaanya, mengatur emosi mereka sendiri, dan menyelesaikan masalahnya. Mereka juga
mempunyai harga diri yang tinggi dan bergaul dengan orang lain secara baik
 
D i b a g i a n l a i n , p a d a b u k u y a n g s a m a G o tt m a n d a n
De Claire juga menjelaskan lima prinsip dasar bagi
o r a n g t u a d a l a m m e l a ti h k e c e r d a s a n e m o s i o n a l
anak, yaitu:
a. Menyadari emosi anak Langkah pertama melatih anak merasakan emosi yang ada dalam diri
orang tua itu sendiri ketika anak mengalami masalah emosional. Menyadari emosi diri sendiri
sebelum merasakan emosi anak bukan berarti merubah secara frontal karakter pribadi orang
tua atau mengungkapkan secara membabi buta apa yang mereka rasakan kepada anak,
melainkan mengenali kapan orang tua merasakan suatu emosi, mengidentifikasikan perasaan-
perasaannya, dan peka terhadap hadirnya emosi pada orang lain. b. Mengakui emosi anak dan
memanfaatkannya sebagai peluang untuk membangun kedekatan dan mengajar kecerdasan
emosional pada anak.  Adalah penting bagi orang tua memanfaatkan saat-saat kritis yang
terjadi pada anak seperti nilai lapor yang buruk, pergaulan yang terganggu, atau pengalaman-
pengalaman negatif lainnya, untuk berempati dan membangun kedekatan serta mengajari cara-
cara mengatasi perasaan tersebut kepada anak. Kemampuan selain banyak menolong anak
menangani perasaan-perasaannya juga merupakan wujud konkrit dari tanggung jawab orang
tua terhadap anak. c. Mendengarkan dan empati dan meneguhkan perasaan anak Langkah
ketiga ini merupakan langkah terpenting dalam melatih kecerdasan emosi anak. Mendengarkan
dengan emosi berbeda dengan sekedar mengumpulkan data-data lewat telinga.

 
 
Mendengarkan dengan empati berarti mengunakan mata untuk mengamati petunjuk fisik anak,
menggunakan imajinasi untuk melihat situasi dari titik pandang anak, menggunakan kata-kata
untuk merumuskan kembali, menenangkan dan tidak mengancam, memberi pertolongan
kepada anak untuk menamai (naming or labiling), dan akhirnya menggunakan hati untuk
merasakan apa yang dirasakan anak. d. Menolong anak memberi nama emosi dengan kata-kata
Langkah ini mudah dan sekaligus sangat penting. Dalam melatihemosi anak, orang tua perlu
menolong anak memberi nama emosi-emosi mereka sewaktu emosi-emosi tersebut timbul,
misalnya; tegang, cemas, sakit hati, marah dan sebagainya. Dengan cara ini pula, anak-anak
ditolong untuk mengubah suatu perasaan yang tidak jelas, menakutkan dan tidak nyaman
menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan, mempunyai batas-batas, serta merupakan hal yang
wajar dalam kehidupan sehari-hari. e. Menentukan batas-batas sambil membantu anak
memecahkan masalahnya.
L a n g k a h - l a n g k a h i n i m e l i p u ti l i m a t a h a p , y a i t u :  
 1) Menetukan batas-batas  Anak-anak perlu memahami bahwa perasaan mereka bukanlah
masalah, tapi yang menjadi masalah adalah perilaku-perilaku mereka yang keliru. Semua
parasaan dan hasrat itu dapat diterima tidak semua tingkah laku mereka dapat diterima. Oleh
karenanya, tugas orang tua adalah menentukan batas-batas terhadap tindakan-tindakan anak
bukan terhadap hasrat-hasratnya. 2) Menentukan sasaran Untuk mengidentifikasi suatu
sasaran disekitar penyelesaian masalah yang dihadapi anak, orang tua perlu bertanya kepada
anak mengenai apa yang diinginkannya berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Seringkali
timbulnya perilaku-perilaku negatif pada anak disebabkan masalah yang sepele, namun mereka
tidak dapat menjelaskannya. Oleh karenanya, dengan menuntun anak-anak menemukan
sasaran disekitar masalah akan membantu mereka mengatasi masalah tersebut. 3) Memikirkan
pemecahan masalah yang mungkin Setelah menetapkan sasaran yang tepat, orang tua dapat
bekerja sama dengan angka memikirkan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Hal ini
merupakan keuntungan tersendiri bagi anak karena memungkinkanya menemukan pemecahan
alternatif. Tetapi penting sekali bagi orang tua menahan diri agar tidak mengambil alih masalah
anak dan tetap mendorong anak mengemukakan gagasan-gagasan mereka.  Anak-anak yang
masih kecil orang tua dapat menyampaikan pemecahan masalah melalui permainan-permainan
yang akrab dengan anak. Sedangkan anak yang lebih besar, orang tua dapat menggunakan
proses sumbang saran. Mereka membiarkan anaknya menyampaikan ide-idenya tanpa dibatasi.
4) Mengevaluasi pemecahan masalah yang diusulkan berdasarkan nilai-nilai keluarga Setelah
orang tua terlibat bersama anak mengemukakan gagasan-gagasannya. Mereka juga harus
mendorong anak merenungkan setiap pemecahan secara terpisah dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan berikut ini; apakah pemecahan itu berhasil?, apakah pemecahan itu
aman?, apa akibat dari pemecahan itu?, dan berbagai pertnayaan lainya. Hal ini membantu
anak menjajaki pemecahan masalah yang akan dipilihnya. 5) Membantu anak memilih
pemecahan masalah

 
 
Ketika pemecahan masalah telah dipilih bersama, orang tua juga perlu mendorong anak-
anaknya mencoba pemecahan masalah tersebut. Demikian kelima prinsip dalam melatih
kecerdasan emosional anak yang dikemukakan oleh oleh Gottman dan Claire. Dimana prinsip-
prinsip tersebut juga dapat diterapkan guru dalam melatih EQ murid-muridnya di sekolah.
Tetapi ada perbedaan-perbedaan yang fundamental antara kondisi yang dihadapi guru di
sekolah. Orang tua hanya menghadapi anak-anaknya sendiri yang semenjak lahir telah mereka
ketahui bagaimana pertumbuhan fisik dan perkembangan emosinya. Orang tua relatif
mengetahui bagaimana pola-pola penyimpangan emosi yang terjadi pada anak-anak mereka.
Sebaliknya para guru menghadapi anak-anak yang berbeda dalam berbagai hal dan mereka
tidak memiliki pengalaman yang spesifik tentang perkembangan emosi masing-masing
muridnya. Selanjutnaya, materi yang diajarkan orang tua kepada anak-anaknya lebih
berorientasi kepada nilai-nilai moralitas dan sosial, sedangkan para guru selain menanamkan
moralitas kepada murid-muridnya, mereka juga berkewajiban mengajarkan pengetahuan
kognitif dan ketrampilan psikomotorik. Dengan kata lain, kondisi yang dihadapi guru di kelas
adalah lebih kompleks dibandingkan dengan kondisi orang tua di rumah. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa guru tidak mungkin menyediakan waktu khusus untuk melatih EQ murid-
muridnya. Mereka dapat mengembangkan EQ murid-muridnya dalam aktivitas pembelajaran
sehari-hari. Walaupun begitu tidak dapat dipungkiri bahwa emosi adalah faktor yang sangat
menentukan keberhasilan belajar siswa.
  M e l a ti h K e c e r d a s a n E m o s i A n a k  
 

Menurut Ratna Megawangi (salah satu penggagas pendidikan karakter), anak yang kualitas karakternya
rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar
mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat
pentingnya penanaman karakter di usia dini, maka penanaman karakter yang baik di usia prasekolah
merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Bagaimana Cara Melatih Emosi Anak dan Apa Manfaatnya?

Apakah melatih emosi anak itu penting? Jika memang ya, apa manfaatnya? Lalu,
bagaimana cara melatih emosi anak dengan tepat.

Pertanyaan tersebut akan kami jawab satu per satu, sehingga Anda bisa mengambil sisi
positifnya dan menerapkan dalam proses pengasuhan Anda.

Sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa kesuksesan seseorang lebih


dipengaruhi oleh kecerdasan emosinya. Kecerdasan IQ atau yang sering dianggap
sebagai kecerdasan akademik berkontribusi sebesar 20%. Sedangkan, sisanya
sebanyak 80% dipegang oleh kecerdasan emosi.

Inilah alasan kenapa banyak teman-teman kita yang dikenal pintar dan selalu masuk
rangking 10 besar sewaktu sekolah, ternyata memiliki karir yang biasa saja setelah
dewasa.
Orang yang berIQ tinggi tapi kurang pandai mengelola emosi, seperti mudah marah
dan terlalu sensitif, akan sulit dalam mencari solusi untuk masalah yang dihadapinya.

Ia cenderung mudah sedih dan kecewa, sehingga solusi yang sebenarnya sudah ada di
depan mata, malah lewat begitu saja karena ia terlalu larut dalam kesedihan alias
kurang pandai dalam menata emosinya.

Pengelolaan emosi yang kurang, bisa menjadikan seseorang begitu semangat dalam
menyetujui sesuatu. Tapi, dalam waktu singkat semangat itu bisa down  sehingga
menggagalkan kerjasama yang sudah dibuat.

Seseorang dengan IQ yang biasa saja, tetapi jago dalam menyeimbangkan emosinya
akan lebih mudah mencapai kesuksesan dalam belajar dan bekerja.

Karena keseimbangan emosi berguna untuk memperkuat diri dan mengubah situasi


kehidupan yang tidak menyenangkan menjadi sesuatu yang wajar untuk dihadapi.

Jadi, kecerdasan emosi bukan lagi menjadi kecerdasan yang bisa diabaikan. Justru,
ialah kecerdasan utama yang harus Anda ajarkan kepada anak-anak.

Selanjutnya, kami ingin Anda berkaca terlebih dahulu. Di bawah ini terdapat empat
jenis tipe orangtua dalam menyikapi emosi anak. Jika Anda tergolong dalam tipe yang
selama ini masih mengabaikan emosi anak, maka Anda perlu untuk belajar lebih
banyak.

Atau jika Anda tergolong dalam tipe yang selama ini sudah memerhatikan emosi anak,
maka Anda perlu mempertahankan hal itu.

1. Mengabaikan

Tipe pertama ini meremehkan emosi-emosi negatif anak. Dampaknya anak akan
bingung terhadap perasaannya sendiri. Ini salah atau benar sih aku nggak ngerti.  Kurang
lebih seperti itu yang anak rasakan.

Selain itu, mereka juga akan kesulitan dalam menata emosinya karena tidak
mendapatkan arahan tepat dari orangtua.

2. Menolak
Tipe kedua ini begitu kritis terhadap emosi negatif anak. Dampaknya anak akan
kesulitan dalam mengungkapkan emosinya. Bahkan, seringkali anak merasa tidak
dipahami oleh orangtuanya.

3. Laizees

Tipe ketiga ini lebih baik daripada tipe pertama dan kedua karena orangtua laizees
menerima emosi anak. Sayangnya, mereka tidak mengarahkan dan tidak juga memberi
batas-batas untuk tiap tingkah laku anak. Dampaknya anak masih bingung dalam
mengelola emosinya.

4. Pembimbing Emosi

Ketika orangtua melihat emosi negatif dari anaknya, ia menganggap itu sebagai
kesempatan untuk mengenal anaknya secara lebih dekat. Orangtua jenis ini tidak
hanya berempati terhadap emosi anaknya seperti tipe laizees. Melainkan, tergerak
untuk membimbing anak-anak dalam mengelola emosi.

Sehingga, anak-anak menjadi paham terhadap rasa kecewa, marah, kesal, sedih,
bahagia, semangat dan mampu menggerakan rasa-rasa itu untuk mengatasi
masalahnya.

Orangtua bijak Indonesia, berada di tipe berapakah Anda saat ini? Semoga saja di tipe
Pembimbing Emosi ya. Apabila belum, tidak masalah karena kami akan mengajari Anda
bagaimana mengenalkan dan cara melatih emosi anak sejak dini.

Prinsip Melatih Emosi Anak

1. Menyadari Emosi Anak

Sebelum membaca tips atau cara melatih emosi anak, terlebih dahulu cobalah untuk
mengenali emosi Anda sendiri. Setiap kali melakukan sesuatu yang menyenangkan,
menonton drama tv favorit, mendengarkan ucapan orang lain yang menyebalkan,
diperintah rekan kerja yang tak Anda sukai, perhatikan emosi-emosi negatif dan positif
tersebut.

Coba juga untuk mengelola emosi tersebut dengan tepat. Misalnya, ketika Anda


sedang dalam mood  yang baik, manfaatkan untuk mengerjakan sesuatu saat itu juga.
Karena mood  yang baik mendorong Anda bekerja lebih cepat dengan kualitas yang
baik. Contoh lain, ketika Anda sedang kesal dengan seseorang, cobalah untuk
menenangkan diri agar kekesalan itu tidak mengganggu aktivitas Anda.

Dengan cara seperti ini, Anda akan menjadi lebih peka terhadap emosi anak. Anda
akan lebih mudah mengidentifikasi emosi mereka dan membantunya mengelola emosi
tersebut.

2. Mengakui Emosi Anak

Hampir sama dengan prinsip pertama, Anda harus terus belajar untuk menjadi
orangtua yang peka terhadap perasaan-perasaan yang ditunjukkan oleh anak.
Kemudian, menerima emosi anak baik yang negatif atau positif.

Kadang orangtua merasa jengkel jika anak-anak memperlihatkan emosi negatif.


Bahkan, kejengkelan itu berubah menjadi marah yang berlebihan. Hal ini di masa
depan akan membuat anak takut untuk memperlihatkan emosinya.

Seharusnya, Anda menerima emosi anak dan memanfaatkannya sebagai sarana untuk
membangun kedekatan.

3. Mendengarkan Emosi Anak

Jangan hanya mendengarkan dengan telinga apa yang dikatakan anak. Lakukan kontak
mata untuk melihat ke dalam hatinya dan perhatikan bahasa tubuhnya untuk
menemukan petunjuk dari fisiknya.

Karena bahasa tubuh itu berkata lebih keras dan lebih jujur ketimbang kata-kata yang
keluar dari mulut anak.

Baca juga, Memahami Bahasa Tubuh Anak.

4. Mtu Anak Mengenembanal Emosi

Ada banyak sekali nama emosi yang perlu dikenal oleh anak-anak. Misalnya, tegang,
cemas, khawatir, sakit hati, sedih, marah, takut, kesal, kecewa, gembira, bahagia,
senang, semangat dan lain-lain.
Untuk membuatnya mengerti terhadap nama-nama emosi, Anda tidak bisa
menjelaskan melalui kata-kata, seperti, sedih adalah, marah adalah, gembira adalah
dan sebagainya.

Hal ini justru akan membuat anak bingung, apalagi jika Anda tidak melakukannya
secara bertahap.

Cara paling mudah untuk mengajari anak-anak adalah langsung bertanya saat anak
mengalami emosi tersebut. Misalnya, ketika anak menangis karena ditinggal ayah
bekerja, Anda bisa katakan padanya, sedih ya dik ditinggal ayah?

Contoh lain, ketika anak marah karena mainannya dipakai kakak, katakan
padanya, adik marah ya karena kakak pinjam mainan nggak ijin dulu? 

Satu contoh lagi, ketika anak cemberut dan kesal, Anda bisa bertanya, kenapa cemburut
kak? Kesal ya karena ayah melarang kamu main?  Dan sebagainya.

5. Membantu Anak Mengelola Emosi

Baru di tahap inilah Anda bisa membantu anak untuk mengelola emosi negatif agar
tidak mengganggu aktivitasnya secara berlebihan. Atau memanfaatkan emosi positif
untuk bisa lebih produktif dalam belajar.

Cara Melatih Emosi Anak

1. Menggambar Perasaan

Cara lain untuk mengenalkan anak pada jenis-jenis emosi adalah mengajaknya untuk
menggambar perasaan. Sediakanlah kertas gambar dan pensil warna atau crayon. 

Ambil crayon  warna merah untuk menggambarkan perasaan semangat. Warna hitam


untuk menggambarkan kesedihan. Warna biru untuk menggambarkan perasaan
tenang dan nyaman. Warna kuning untuk melukiskan kebahagiaan atau kegembiraan
dan lain-lain.

2. Mengajarkan Kontrol Diri

Cara melatih emosi anak yang kedua adalah tentang kontrol diri.
Apakah Anda menganggap anak-anak sulit untuk diajak bernegosiasi? Pernyataan itu
tepat jika Anda membiasakan diri menolong dan memenuhi permintaannya seketika.

Tapi, jika sejak dini Anda mengajarkan kontrol diri, maka bernegosiasi dengan anak
adalah hal yang amat mudah. Misalnya, anak menangis karena ingin mendapatkan
sesuatu saat itu juga.

Jangan wujudkan permintaannya sebelum ia berhenti menangis dan mengatakannya


dengan tenang nan pelan kepada Anda.

Anak harus belajar bersabar karena tidak semua keinginannya bisa terpenuhi seketika.

Contoh lain ketika Anda ingin mengajak anak ke mall. Sebelum berangkat, tegaskan
padanya bahwa tujuannya adalah hanya untuk berbelanja kebutuhan rumah. Tidak
lebih.

Apabila di mall  ia menangis dan minta dibelikan mainan, ingatkan kembali tujuan


kalian. Jika masih menangis dan berteriak-teriak, jangan panik atau malu. Segera bawa
ia pulang ke rumah meskipun Anda belum selesai berbelanja.

3. Mengajarkan Motivasi Diri

Semua orangtua pasti ingin melihat anaknya tangguh dalam menghadapi setiap
cobaan. Tidak mudah merengek manja apalagi lari terbirit-birit minta bantuan
orangtua.

Untuk itu, sejak usia 1 tahun Anda bisa mengajarkan anak bagaimana memotivasi diri
sendiri. Saat anak masih belajar berjalan dan terjatuh, katakan padanya, ayo nak
bangun lagi. Kamu bisa!

Hindari untuk segera menolong. Karena pola ini membuat anak merasa Anda akan
selalu ada untuk menolongnya. Selain itu, untuk menghindarkan anak dari
menggantungkan hidupnya kepada Anda, ajarkan pula tentang tanggung jawab.

Pola asuh yang selalu melayani kebutuhan anak tidak akan membuatnya paham
tentang konsep tanggung jawab terhadap diri sendiri. Ia akan mudah menyerah atas
masalah yang dialami.
Sekecil apapun masalah yang ia hadapi, hindari untuk menolong mereka dengan
cuma-cuma

4. Menunjukkan Contoh Nyata

Cara melatih emosi anak yang terbaik adalah dengan menunjukkan contoh nyata
melalui perilaku Anda dan orang-orang di sekitar.

Ketika Anda sedang kesal terhadap seseorang, Anda tidak perlu menutupi hal ini di
depan anak-anak. Katakan saja sejujurnya, nak ibu lagi kesal. Tapi, ibu berusaha untuk
tenang dan nggak marah di depan kamu.

Tunjukkan juga kekesalan Anda melalui mimik wajah dan bahasa tubuh.

Untuk mengajarkan rasa belas kasih kepada anak, Anda bisa mencoba memelihara
hewan lucu di rumah, seperti hamster atau kucing. Biasanya anak-anak suka dan ingin
mengelus-elus hewan semacam ini.

Namun, banyak diantara mereka yang belum bisa mengungkapkan rasa suka dengan
layak. Alih-alih mengelus, ia kemudian menjadi gemas dan memukul hewan
piaraannya.

Ketika itu terjadi, katakan pada anak, kalau dipukul seperti itu nanti hamsternya sakit
terus nangis. Coba sini kamu mama elus kepalanya. Gimana? Enak kan? Ayo, coba
hasmternya dielus juga.

Pola kalimat itu mengajarkan anak bagaimana cara mengungkapkan rasa sayang dan
empati dengan benar.

Jika Anda merasa risih dengan hewan piaraan, tidak masalah. Jangan terlalu memaksa.
Anda tetap bisa mengajarkan rasa belas kasih dan empati melalui tindakan nyata dari
orang-orang di sekitar atau melalui media gambar, buku dan film.

Anda mungkin juga menyukai