Assalamualaikum Wr. WB
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kemudahan pada saya dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “
Asuhan keperawatan pada pasien emfisema “ ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas ibu Ns. Ayamah S.Kep, M.Kep pada mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang “ asuhan keperawatan pada pasien emfisema “ bagi para
pembaca dan juga penulis.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………….i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………1
1.1 Latar belakang …………………………………………………1
1.2 Tujuan …………………………………………………………2
1.3 Manfaat ………………………………………………………..3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………….……3
2.1 Definisi emfisema……………………………………………………3
2 .2 Etiologi ……………………………………………………….6
2.3 Tanda dan Gejala ……………………………………………...8
2.4 Patofisiologi……………………………………………………8
2.5 Pemeriksaan Penujang…………………………………………10
2.6 Penatalaksanaan Medis ………………………………………..12
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN………………………………....14
3.1 Pengkajian ……………………………………………………..14
3.2 Pemeriksaan Fisik ……………………………………………...14
3 .3 Diagnosa Keperawatan ………………………………………..15
BAB IV PENUTUP
4 .1 Kesimpulan ………………………………………………..…..16
4 .2 Saran ………………………………………………………..…16
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...17
BAB I
ii
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
2.1Definisi Emfisema
Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema
didefinisikan sebaga idistensi abnormal ruang udara di luar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Sedangkan
menurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan bentuk paling
berat dari Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) yang di
karakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai dan
akhirnya merusak dinding alveolar sehingga menyebabkan
banyak bula ( ruang Udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi
( jebakan udara).
2.2 etiologi
1. Merokok
Rokok Menurut buku Reportofthe WHO Expert Committeon
Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya
emfisema paru. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan
penurunan VEP (volume ekspirasi paksa) per 1 detik. Secara
patologis rokok dapat menyebabkan gangguan pergerakkansilia
pada saluran pernapasan, menghambat fungsi makrofag alveolar,
dan menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mucus
bronkus (Gupta dan Kant, 2019).
Terganggunya fungsi makrofag alveolar akan mempermudah
terjadinya perdangan pada bronkus dan bronkiolus, serta infeksi
pada paru-paru. Peradangan bronkus dan bronkiolus akan
mengakibatkan obstruksi jalan napas, dinding bronkiolus
melemah dan alveoli pecah. Disamping itu, merokok akan
merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim
protease (proteolitik), dan menginaktifasiantiprotease (Alfa-1 anti
tripsin), sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas
keduanya (Gupta dan Kant, 2019).
2. Infeksi Saluran Napas
3. Polusi
Polusi industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya
emfisema. Insidensi dan angka kematian emfisema lebih tinggi
padadaerah yang padat industrialisasi. Polusi udara seperti asap
rokok juga menyebabkan gangguan pada silia dan menghambat
fungsi makrofag alveolar (Gupta dan Kant, 2019).
4. Genetik
Keturunan atau Faktor Genetik Biasanya emfisema diderita
olehorang yang mengalami defisiensi enzim a-1-antitripsin.
Enzim ini bekerja menetralkan enzim proteolitik yang dikeluarkan
saat terjadi peradangan dan kerusakan jaringan, termasuk jaringan
paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah.
Defisiensi a-1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan
secara autosom resesif. Emfisema paru akan lebih cepat timbul
bila penderita tersebut merokok (Hill etal, 2018).
2.4 Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan atau kerusakan yang terjadi pada
dinding alveolar. Dapat menyebabkan overdistensi permanen ruang udara,
perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama
ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi
dinding(septum)di antara alveoli, kolaps jalan napas sebagian,dan
kehilangan elastitasrekoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps,udara akan
tertahan di antara ruang alveolar (blebs) di antara parenkim paru(bullae).
Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilantoripada deadspace atau
area yang tidak mengalami pertukaran8gas atau darah ( Megari , 2017 ) .
Kerja napas meningkat di karenakan kekurangan fungsi jaringan paru
untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga
menyebabkan destruksi kapiler paru. Akibat lebih lanjutnya adalah
penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat
emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul
pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronkitis
kronis dan merokok ( Megari, 2017 ) .
Penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang
berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-
anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkanenzim
proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan
paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan
jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru
antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi
kerusakan ( Megari , 2017 ).
Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru.
Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastaseyang
penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi
inimenyebabkanelastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system
antielastase menurun yaitu system alfa- 1 proteaseinhibator terutama
enzimalfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada
lagikeseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi
kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema (Megari,
2017).
b. Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal
penyakit. Dengan perkembangan penyakit, Pemeriksaan gas darah
arteri dapat menunjukkan adanya hipoksia ringan dengan
hiperkapnea
c. Pemeriksaan radiologis
2. Terapi aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi serbuk yang sangat halus)
dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk
membantu dalam bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol
harus cukup kecil untuk memungkinkan medikasi dideposisikan
dalamdalam di dalam percabangan trakeobronkial. Aerosol yang
dinebuliser menhilangkan bronko spasme, menurunkan edema mukosa, dan
mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini memudahkan proses pembersihan
bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki
12
fungsi ventilasi.
3. Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema sangat rentan terhadap infeksi paru dan harus
diobati pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. Pneumonia,
H.Influenzae, dan Branhamella catarrhalis adalah organisme yang paling
umum pada infeksi tersebut. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin,
Ampisilin, amoksisilin, atau trimetroprim-sulfametoxazol (bactrim)
biasanya diresepkan. Regimenanti mikroba digunakan pada tanda pertama
infeksi pernafasan, seperti dibuktikan dengan sputum purulen,Batuk
meningkat, dan demam.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid menjadi kontroversial dalam pengobatan emfisema.
Kortikosteroid digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan
bronkiolus dan membuang sekresi. Prednison biasa diresepkan. Dosis
disesuaikan untuk menjaga pasien pada dosis yang terendah mungkin. Efek
samping termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu makan.
Jangka panjang, mungkin mengalami ulkus peptikum, Osteoporosis,
supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan katarak.
5. Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien
dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi
oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 – 85 mmHg.
Pada emfisema berat oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per hari, dngan
24 jam per hari lebih baik .
BAB13III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Anamnesis
Dispnoe adalah keluhan utama emfisema danmempunyai
serangan (onset) yang membahayakan. Klien biasanya
mempunyai riwayat merokok, batuk kronis yang lama , mengi,
sesak nafas pendek dan cepat ( takipnea ). Gejalan gejala
diperburuk oleh infeksi pernafasan. Perawat perlu mengkaji obat-
obat yang bisa diminum klien, memeriksa kembali setiap jenis
obat apakah masih relevan untuk digunakan kembali
3.2 Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi
pernafasan serta penggunaan otot bantu nafas.
Bentuk dada barrelchest (akibat udara yang
terperangkap), penipisan masa ototdan pernafasan
dengan bibir dirapatkan.
Pernafasan abnormal tidak efektif dan penggunaan
otot otot bantu bantu nafas , dispnea terjadi saat
aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupansehari-
hari seperti makan dan mandi.
Pengkajian batuk produktif dengan sputum
purulen disertai demam mengindikasi adanya
tanda pertama infeksi pernafasan
Pasien tampak mempunyai barrelchest akibat
udara yang terperangkap, penipisan masa otot dan
pernapasan dengan bibir di rapatkan
2. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil
premitusbiasanya menurun
14
3. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai
hipersonor sedangkan diafragma menurun
4. Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronkhi dan
wheezing sesuai tingkat beratnya obstruktif pada
bronkhiolus dan yang tidak ditemukan nya
perpanjangan ekspirasi. Pada pengkajian lain di
dapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia)
dan kadar karbon diaoksida yang tinggi
(hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit.
3.3 Diagnosa Keperawatan
15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne. C, Bare, 16Brenda. G. 2001. Buku Ajar
Keperawatan Medikal- Bedah Brunner&Suddarth Edisi 8 Vol. 1.
Jakarta: EGC
Carpenito, LyndaJuall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan
Edisi 8. Jakarta:EGC
American Lung Association. (2015).Trends in COPD (Chronic
Bronchitis and Emphysema): morbidity and
mortality.Epidemiology and statistics unit research and health
education division.
Amoros. (2018).Qualityoflife in patient with chronic obstructive
pulmonary disease : the predictivevalidity of the BODE Index.
Slae Pub.Chronic Respiratory Disease 5 : (7-11)
Andayani, N (2014).Hubungan derajat sesak napas penyakit paru
obstruktif kronik dengan simptom ansietas.Jurnal Kedokteran
Syiah KualaVolume 14 Nomor 2
Jurnal Manuju: Malahayati NursingJournal, P- ISSN: 2655-2728
E-ISSN: 2655-4712 Vol 2, No 2 Maret 2020] Hal 247-258
Global Initiativ efor Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD).
(2018).Global strategy forthe diagnosis, management, and
prevention of chronic obstructive pulmonary disease (update
2013).June 20, 2013. Am J Respir Crit Care Med. Vol 187, Iss 4,
pp 347-365 : American ThoracicSociety.
http://journal.unisa-bandung.ac.id/index.php/jka/issue/archive
Doengoes, Marylinn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman untuk perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta: EGC
Gupta, B., &Kant, S. (2019).Health related quality of life
(HRQoL) in COPD.The Internet Journal of Pulmonary
Medicine.11 (1). The Internet Journal
17
o f Pulmonary Medicine