Kelompok 3 Makalah Soshum
Kelompok 3 Makalah Soshum
MAKALAH
Disusun oleh:
Puji Calara 18 4301 096
Christina Purba 18 4301 115
Sonia Damayanti S. 18 4301 162
Christiani Sibarani 18 4301 166
Dini Hardiyanti 18 4301 184
Aal Fachru Rozi Ardhana 18 4301 191
Esther Carollin 18 4301 203
Abel Brian Hutagaol 19 4301 093
Rosi Rosita 19 4301 114
Mega Juwita 19 4301 126
Almira Sava 19 4301 121
Yulia Nizza P 19 4301 806
Kelas B
Dosen:
Dr. Hj. Emma Dysmala, S.H., M.H.
Agung Sujati Winata, S.H., M.H.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat
dan ridho-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Sosiologi Hukum dengan
judul “PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN DAN WEWENANG
PEJABAT KAMPUS DALAM KASUS PELECEHAN DAN
KEKERASAN SEKSUAL” tepat pada waktunya. Terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu hingga dapat disusunnya makalah ini.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Sosiologi Hukum. Dalam makalah ini membahas tentang Kekuasaan dan
Wewenang dihubungkan dengan kondisi di Indonesia pada saat ini.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Hj. Emma Dysmala,
S.H., M.H. dan Bapak Agung Sujati Winata, S.H., M.H. selaku dosen dan
asisten dosen mata kuliah Hukum Investasi. Akhirnya kami ucapkan terima
kasih atas perhatiannya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan dari para pembaca guna peningkatan
kualitas makalah ini dan makalah-makalah lainnya pada waktu mendatang.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
pejabat kampus karena otoritas yang mereka miliki. Seorang dosen yang berhak
dan memiliki otoritas menentukan kelulusan mahasiswa, menentukan besar
nilai ujian mahasiswa, dan lain sebagainya. Ketika tidak mampu menjaga
integritasnya, bukan tidak mungkin mereka akan memanfaatkan posisinya
untuk melakukan tindakan jahat. Ketiga, berkaitan dengan iming-iming dan
posisi pelaku yang menjanjikan pemberian keuntungan tertentu kepada korban.
Dzeich & Weiner (1990), dalam bukunya The Lecherous Professor: Sexual
Harassment on Campus menyatakan salah satu tipe tindak pelecehan seksual
yang marak terjadi di kampus ialah yang mereka sebut dengan istilah quid pro
quo, yaitu seseorang yang karena kekuasaan yang dimilikinya memiliki peluang
untuk menundukkan korban. Dengan bujuk rayu, menampilkan sosok orang tua
yang penyayang dan lain sebagainya, seorang dosen bisa dengan mudah menipu
mahasiswanya untuk menutupi intensi seksualnya.
Berbeda dengan pandangan umum, bahwa kampus ialah lingkungan yang
steril dari tindak kejahatan, fakta yang ada memperlihatkan bahwa Perguruan
Tinggi ternyata merupakan salah satu zona yang sama berbahayanya dengan
zona-zona sosial yang lain. Di kampus, di satu sisi mahasiswa berkesempatan
untuk belajar menuntut ilmu. Namun, di sisi yang lain mahasiswa sesungguhnya
rawan menjadi korban perilaku keliru yang dilakukan sebagian oknum
dosennya.
Berbicara mengenai abuse of power dalam lingkungan perguruan tinggi
maka hal tersebut berkaitan dengan kekuasaan dan wewenang yang tenaga
pendidik dan/dosen miliki. Kekuasaan merupakan kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang
kekuasaan tersebut. Sedangkan sebagaimana halnya dengan kekuasaan,
wewenang juga dapat dijumpai di mana-mana, walaupun tidak selamanya
kekuasaan dan wewenang berada di satu tangan. Wewenang dimaksudkan
sebagai suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata tertib sosial untuk
menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai
masalah-masalah penting, dan untuk menyelesaikan pertentangan-
pertentangan. Dengan kata lain, seseorang yang mempunyai
wewenang bertindak sebagai orang yang memimpin atau membimbing orang
2
banyak. Apabila orang membicarakan tentang wewenang , maka yang
dimaksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang.
Tekanannya adalah pada hak, dan bukan pada kekuasaan.
Masih minimnya laporan mengenai kasus kekerasan seksual di kampus
memperlihatkan bahwa kasus ini merupakan fenomena gunung es (iceberg
phenomenon), di mana kasus yang terlihat dipermukaan tidak menjamin jumlah
kasus yang sebenarnya ada, karena dipastikan masih banyak kasus yang tidak
terlaporkan atau teradvokasi kepada pihak kampus. Permasalahan ini layaknya
bom waktu yang bisa sewaktu-waktu meledak. Oleh karena itu, diperlukan
adanya langkah pencegahan dan penanganan dini oleh kampus, tanpa harus
menunggu banyak kasus yang terlaporkan di permukaan terlebih dahulu. Perlu
adanya peran kampus yang tanggap dan cermat dalam menangani kasus
kekerasan seksual ini, sebagai institusi yang menaungi dan bertanggung jawab
atas civitas akademikanya. Dari pembahasan di atas maka kelompok kami
tertarik membahas mengenai “PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN DAN
WEWENANG PEJABAT KAMPUS DALAM KASUS PELECEHAN
KEKERASAN SEKSUAL”.
B. Identifikasi Masalah
Dari beberapa uraian yang dikemukakan pada latar belakang, maka dapat
diidentifikasi masalah masalah-masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan kekuasaan dan wewenang?
2. Bagaimana bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang di
lingkungan kampus dan megapa hal tersebut bias terjadi serta bagaimana
pencegahannya?
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. TEORI KEKUASAAN
4
negara adalah keselamatan di dunia saat ini atau ketika manusia masih
hidup.
2. Teori Kekuasaan Negara Menurut Montesquieu
Pendapat John Locke agak berbeda dengan pandangan Montesquieu tekait
macam-macam kekuasaan negara. Montesquieu tidak memasukkan
kekuasaan federatif melainkan dijadikan satu dari kekuasaan eksekutif.
Adapun kekuasaan negara menurut Mostesquieu terdiri dari: Legislatif,
yaitu kekuasaan untuk membuat atau membentuk undang-undang.
Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang. Yudikatif,
yaitu kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang, termasuk
mengadili setiap pelanggaran terhadap undang-undang. Dalam penjabaran
kekuasaan negara dari Mostesquieu, kekuasaan yudukatif berdiri sendiri,
tidak mendapat intervensi dari kekuasaan lainnya saat menjalankan tugas
sebagai pengadil atas pelanggaran undang-undang. Konsep pembagian
kekuasaan negara oleh Mostequieu ini dikenal dengan Trias Politica yang
diterapkan oleh banyak pemerintahan di dunia, termasuk di Indonesia.
5
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) Eksaminatif oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Asal mula kekuasaan karena Adanya keunggulan Kekuatan dari pada orang
yang satu terhadap lainnya. Kekuasaan Merupakan Kewenangan yang bisa
didapatkan oleh seseorang atau kelompok untuk menjalankan kewenangan
tersebut sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan. Menurut Harold D.
Iaswell Teori Teokrasi ini merupakan Kemampuan pelaku untuk memengaruhi
tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku
terakhir menjadi sesuai dengan keingan dari pelaku yang mempunyai
kekuasaan. Teori ini mengatakan bahwa Manusia itu menbentuk negara dengan
mengadakan perjanjian dengan masyarakat Menurut Teori ini kekuatan yang
berkuasa adalah yang paling kuat(jasmani/fisik), kemudian apabila keluarga
tersebut berkembang menjadi sebuah Masyarakat dan negara ,Maka kekuasaan
tetap berkuasa didalam Masyarakat dan Negara.
6
Menurut Machiavelli, seorang raja harus kuat dan tahu cara mengatasi
segala kekacauan yang dihadapi negara, ia dapat menggunakan segala alat
untuk menguntungkannya.
b) Teori Kekuasaan Ekonomi.
Tokoh dari teori ini adalah Karl Marx. Marx menganggap bahwa negara itu
merupakan alat kekuasaan bagi segolongan manusia di dalam masyarakat
untuk menindas golongan lainnya guna mencapai tujuannya. Sebagai dasar
dari ajaran Marx adalah pertentangan kelas dalam masyarakat dalam dua
kelas, yaitu kaum yang ekonominya kuat dan kaum yang ekonomi lemah.
Pertentangan antara dua kelas itu ditujukan untuk merebut kekuasaan negara
sebab negara adalah alat kekuasaan. Yang penting dalam teori kekuasaan
ekonomi dari Karl Marx adalah sandarannya yang disebut historische
materialisme yaitu bahwa sejarah kehidupan manusia itu dipengaruhi oleh
kebendaan.
B. TEORI KEWENANGAN
1
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, Volume No.5 & 6, Tahun XII, September-
Desember, 1997, hal.1
7
Di Belanda konsep bevoegdheid dipergunakan baik dalam lapangan hukum
publik, oleh karena itu bevoegdheid tidak memiliki watak hukum2. Sedangkan
di Indonesia, konsep wewenang selalu dimaknai sebagai konsep hukum publik,
sebab wewenang selalu dikaitkan dengan penggunaan kekuasaan. Sesuai
dengan pendapat di atas, Prajudi Atmosudirdjo menyatakan : “wewenang
merupakan kekuasaan untuk melakukan semua tindakan di dalam lapangan
hukum publik, sedangkan kekuasaan untuk melakukan tindakan dalam
lapangan hukum privat disebut hak”.3 Wewenang sekurang-kurangnya terdiri
atas tiga komponen, yaitu : pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum.
Komponen pengaruh dimaksudkan, bahwa penggunaan wewenang bertujuan
untuk mengendalikan prilaku subyek hukum; komponen dasar hukum
dimaksudkan, bahwa wewenang itu harus didasarkan pada hukum yang jelas;
dan komponen konformitas hukum menghendaki bahwa wewenang harus
memiliki standart yang jelas (untuk wewenang umum), dan standart khusus
(untuk jenis wewenang tertentu). Secara yuridis, wewenang merupakan
kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk
melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.4 Setiap penggunaan
wewenang harus memiliki dasar legalitas di dalam hukum positif untuk
mencegah terjadinya perbuatan sewenang-wenang.
Penggunaan wewenang pemerintahan selalu dalam batas-batas yang
ditetapkan sekurang-kurangnya oleh hukum positif. Dalam kaitannya dengan
konsep negara hukum, penggunaan Kewenangan tersebut dibatasi atau selalu
tunduk pada hukum yang tertulis maupun tidak tertulis,5yang selanjutnya untuk
hukum tidak tertulis di dalam hukum pemerintahan di Indonesia disebut
dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” hal ini sesuai dengan
penjelasan Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman, yang berbunyi : “Negara hukum adalah Negara yang dalam
segala aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk dalam
2
Disarikan dari bahan kuliah Philipus M. Hadjon, Dalam Mata Kuliah Sistem Perlindungan Hukum
Bagi Rakyat, Pada Program Megister Hukum Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, 1997
3
Prajudi Admosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, cet.9. Jakarta, 1998. hal.76
4
Indroharto, Usaha Memahami Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
2002, hal.68
5
Ibid., hal.69
8
penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan
demokratis yang sejahtera, berkeadilan dan bertanggung jawab”. Seperti di
kemukakan di atas, bahwa dalam hukum publik wewenang berkaitan dengan
kekuasaan6. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena
kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif, legislatif dan yudisial adalah
kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu negara
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan merupakan suat
kemampuan individu atau kelompok untuk melaksanakan kemauannya
meskipun menghadapi pihak lain yang menentangnya.7
Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang
berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-Undang atau legislatif dari
kekuasaan eksekutif atau administrative. Kewenangan merupakan kekuasaan
dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suat bidang
pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan
wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari wewenang.
Wewenang (Authority) adalah hak untuk memberi perintah dan kekuasaan
untuk meminta dipatuhi. Wewenang dapat juga didefinisikan sebagai
kekuasaan membuat Keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung
jawab kepada orang lain, fungsi yang boleh tidak dilaksanakan. Kewenangan
harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga
kewenangan merupakan kewenangan yang sah. Pejabat (organ) dalam
mengeluarkan Keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut.
Wewenang bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dibagi menjadi8:
a. Kewenangan yang bersifat atributif (orisinil), yaitu pemberian wewenang
pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan
(atributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan
6
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, Tanpa
Tahun, hal.01
7
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana Pranadamedia Groub,
Jakarta, cet-ke 6, 2014, hal.73
8
HD Van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken Van Administratief Recht,
Vugas’Gravenhage, hal.129, Dikutip dari Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi,
Rajawali Prees, Jakarta, 2010, hal. 102
9
een bestuurorgaan). Kewenangan atributif bersifat permanen atau tetap ada,
selama undang-undang mengaturnya. Dengan kata lain wewenang yang
melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum tata negara, atributif ini
di tunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam
menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk
oleh pembuat undang-undang. Atributif ini menunjuk pada kewenangan asli
atas dasar konstitusi/undangundang dasar atau peraturan perundang-
undangan.
b. Kewenangan yang bersifat non atributif (non orisinil) yaitu kewenangan
yang diperoleh karena pelimpahan wewenang dari aparat yang lain.
Kewenangan non atributif bersifat insidental dan berakhir jika pejabat yang
berwenang telah menariknya kembali. Penyerahan sebagian dari wewenang
pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan
tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang
ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur
komunikasi yang bertanggung jawab, dan sepanjang tidak ditentukan secara
khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam politik
hukum, pelimpahan wewenang dibedakan menjadi dua macam yaitu
mandat dan delegasi. Dalam pelimpahan wewenang secara mandat terjadi
ketika organ pemerintah mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
organ lain atas namanya (mandaat : eenbestuurorgaan laat zijn bevoegheid
namens hem uitoefenen door een ander), mandate yang beralih hanya
sebagian wewenang, pertanggungjawaban tetap pada mandans. Hal ini
dijelaskan Ridwan HR : “....sementara pada mandat, penerima mandat,
mandataris bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans)
tanggung jawab akhir Keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada
mandans”.9
9
Ibid, hal. 105-106
10
ander) yang beralih adalah seluruh wewenang dari delegans, maka yang
bertanggung jawab sepenuhnya adalah delegataris10. Syarat-syarat delegasi
menurut Hadjon adalah :
a. Delegasi harus definitif dan pemberian delegasi (delegans) tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan,
artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam
peraturan perundang-undangan;
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
Atribusi, delegasi dan mandat adalah bentuk kewenangan organ (institusi)
pemerintah yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan
mempertahankannya. Tanpa Kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu
Keputusan yuridis yang benar11
C. PELECEHAN SEKSUAL
1. Pengertian Pelecehan Seksual
Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam
bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak
dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan,
tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas
yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung
unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara
sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku,kejadian
tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban.
Menurut Collier (1998), pengertian pelecehan seksual disini merupakan
segala bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh yang
mendapat perlakuan tersebut, dan pelecehan seksual yang dapat terjadi atau
10
Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, hal. 9-10
11
8F.A.M Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,
hal.209
11
dialami oleh semua perempuan. Sedangkan menurut Rubenstein (dalam
Collier,1998) pelecehan seksual sebagai sifat perilaku seksual yang tidak
diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung
penerima.
Pelecehan seksual adalah perilaku atau perhatian yang bersifat seksual
yang tidak diinginkan atau tidak dikehendaki dan berakibat mengganggu
diri penerima pelecehan. Pelecehan seksual mencakup, tetapi tidak terbatas
pada bayaran seksual bila ia menghendaki sesuatu, pemaksaan melakukan
kegiatan seksual, pernyataan merendahkan tentang orientasi seksual atau
seksualitas, permintaan melakukan tindakan seksual yang disukai pelaku,
ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual, semua dapat digolongkan
menjadi pelecehan seksual. Dari beberapa definisi pelecehan seksual diatas
dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual adalah perilaku atau tindakan
yang mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain dalam bentuk perilaku yang berkonotasi
seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh
korbannya.
12
d. Pelecehan visual, yaitu : Memperlihatkan materi pornografi berupa foto,
poster, gambar kartun, screensaver atau lainnya, atau pelecehan melalui
e-mail, SMS dan media lainnya.
e. Pelecehan psikologis/emosional, yaitu : Permintaan-permintaan dan
ajakan-ajakan yang terus menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan
yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.
Pelecehan seksual yang dihadapi laki-laki maupun perempuan dalam
berbagai bentuknya, mulai dari komentar yang berkonotasi seksual dan
kontak fisik secara tersembunyi (memegang, sentuhan ke bagian tubuh
tertentu) hingga ajakan yang dilakukan secara terang-terangan dan
serangan seksual (Santrock, 2007).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk
pelecehan seksual adalah pelecehan fisik, pelecehan lisan, pelecehan non-
verbal/isyarat, pelecehan visual, dan pelecehan psikologis/emosional.
13
b. Aspek Situasional
Pelecehan seksual dapat dilakukan dimana saja dan dengan kondisi
tertentu. Perempuan korban pelecehan seksual dapat berasal dari setiap
ras, umur, karakteristik, status perkawinan, kelas sosial, pendidikan,
pekerjaan, tempat kerja, dan pendapatan. Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa aspek-aspek pelecehan seksual adalah aspek perilaku
dan aspek situasional.
14
BAB III
PEMBAHASAN
15
kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang
dimiliki oleh pejabat atau institusi. Menurut Bagir Manan wewenang dalam
bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus
hak dan kewajiban. Wewenang merupakan suatu hak yang dimiliki oleh
seorang pejabat atau institusi yang bertindak menjalankan wewenangnnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
16
kepentingan pribadi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk
orang lain. Aturan tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual
di kampus merupakan bukti komitmen lembaga untuk menciptakan lingkungan
kampus yang ramah gender dan bebas dari kekerasan seksual. Peraturan
tersebut menjadi payung hukum jika terjadi kasus kekerasan seksual di
kampus. Para stakeholder dan civitas academika juga memahami tugas dan
peran masing-masing dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan seksual di
perguruan tinggi. Dalam pelaksanaan kekuasan dan wewenang untuk mengatur
tata tertib dan perilaku kegiatan kampus sering kali terjadi penyalahgunaan
kekuasaan dan wewenang dari para petingi kampus yang sering kali
menggunakan kekuasan dan kewenangan sebagai salah satu sarana untuk
melanggar aturan yang sudah di tetapkan oleh pihak kampus. Sekarang ini
sedang marak-maraknya prilaku dari para petinggi kampus (oknum) yang
melakukan tindak kekerasan seksusal.
Tindak kekerasan ini terjadi karena ketimpangan relasi kuasa, relasi
gender dan rape culture. Ketimpangan relasi kuasa terkait dengan pihak
yang memiliki kewenangan dipandang memiliki peluang untuk
menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan kekerasan seksual terhadap
orang yang dipandang lemah atau dibawah pengawasannya. Dalam konteks
perguruan tinggi, dosen mempunyai kekuasaan terhadap mahasiswa
diantaranya dalam bentuk pembimbingan, penugasan, dan evaluasi.
Akibatnya, oknum dosen dapat memanfaatkan kewenangan tersebut
untukmelakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswa pada saat
melaksanakan tugasnya Sedangkan ketimpangan relasi gender terjadi
karena konstruksi gender yang patriarkhis dalam masyarakat yang
menempatkan laki-laki sebagai pihak yang superior, dominan, dan
agresif, sedangkan perempuan sebagai orang yang inferior, submisif, dan pasif.
Akibatnya, perempuan dirugikan dan rentan mengalami kekerasan
seksual. Selain itu, kekerasan seksesual juga terjadi karena rape culture
tubuh perempuan dijadikan sebagai objek dan layak dilecehkan, misoginis,
serta tidak memberikan hak dan perlindungan kepada perempua dan hal
tersebut diterima, dijustifikasi oleh media dan budaya popular. Misalnya,
17
blaming victim, membuat joke yang seksis, dan toleran terhadap pelecehan
seksual. Dalam lingkungan yang seksis dan tidak ramah gender,
memungkinkan terjadinya kekerasan seksual berlipat ganda.
Oleh karena itu, potensi terjadinya kekerasan seksual sangat besar,
dapat terjadi dimana dan kapan saja, baik di ruang privat atau publik
termasuk di perguruan tinggi. Berdasarkan penelusuran data melalui media
online, kekerasan seksual terjadi diberbagai kampus di Indonesia, baik
perguruan tinggi umum maupun perguruan tinggi agama.Pelaku kekerasan
seksual di perguruan tinggi dapat dilakukan oleh civitas academika,
baik dosen, tenaga kependidikan, karyawan, dan mahasiswa. Dilihat dari
karaktersitik pelaku, kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapapun,
termasuk orang yang terlihat “agamis, sopan, dan cerdas”, dosen senior,
pejabat di kampus, dan dosen public figure yang aktif dalam organisasi
sosial keagamaan maupun mahasiswa senior dan seangkatan. Umumnya,
pelaku dikenal dengan baik oleh korban,sehingga korban tidak mencurigai
pelaku. Pelaku cenderung melakukan kekerasan seksual berulang kali
terhadap orang yang berbeda bahkan ada yang sampai melakukannya terhadap
30 orang, sehingga media massa menyebut pelaku kekerasan seksual dengan
“dosen predator”, atau “dosen mesum”. Oleh karena itu, kekerasan seksual
di kampus ibarat gunung es yang baru terungkap jika ada mahasiswi yang
berani melaporkan atau menceritakan kasus yang dialaminya. Satu orang
yang berani bersuara, maka keberanian akan muncul dari korban lain.
18
anggaran untuk penanganan korban. Secara spesifik, rape culturedi kampus
dapat diatasi dengan cara: menghindari bahasa yang menjadikan
perempuan sebagai objek, tegas terhadap orang yang membuat joke seksis
atau percobaan pemerkosaan, mendukung orang-orang yang menjadi korban
kekerasan, berfikir kritis terhadap pesan media yang membahas tentang
perempuan, laki-laki, relasi dankekerasan, menghargai orang lain,
melakukan komuniksi dengan baik terhadap partner, menghindari stereotip,
dan terlibat dalam kelompok untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.
Dengan demikian, pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan oleh
lembaga dan individu yang bernaung di bawah lembaga pendidikan.
Pemahaman yang baik terhadap kekerasan seksual merupakan langkah awal
untuk membangun kesadaran kritis civitas akademika untuk
mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan dan mencegah terjadinya
kekerasan seksual serta melakukan penanganan terhadap kasus dengan
baik.
B. Penanganan
19
stakeholder yang terlibat dalam penanganan tersebut. Kampus berkewajiban
untuk menerapkan aturan tersebut dengan baik dan tegasterhadap pelaku
serta mengikat semua civitas akademika.
Penanganan korban berdasarkan pada prinsip-prinsip a) penanganan sesuai
dengan bentuk dan jenis kekerasan,b) partisipasi korban (menghargai pilihan
dan keputusan korban),c) menjaga kerahasiaan korban, d) tidak
menghakimi,e) berlandaskan teologis, f) non diskriminasi, g) berkeadilan
gender,h) berkelanjutan, I) )empati.
Dengan demikian, penanganan kasus harus berdasarkan pada
perlindungan, keadilan, dan pemenuhan hak-hak korban, termasuk
memberikan hukuman setimpal kepada pelaku agar jerah dan tidak
mengulangi lagi perbuatannya, serta tidak ada lagi korban dalam kasus
yang sama. Lebih dari itu, penanganan yang tepat akan mewujudkan
kampus yang ramah gender dan terbebas dari kekerasan seksual. Namun
demikian, kenyataan dilapangan terkadang berbeda. Pada beberapa kasus
kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, ada dua bentuk respon
stakeholder kampus dalam menghadapi kasus tersebut. Pertama, menjaga
nama baik kampus dengan melindungi pelaku, tidak memproses laporan
korban atau kasus sengaja ditutupiagar tidak diketahui oleh pihak luar.
Pihak kampus tidak merespon dengan baik karena tidak ada atau kurang
komitmen lembaga terhadap kasus kekerasan seksual. Dalam beberapa
kasus, korban justru dipersalahkan karena membiarkan pelaku beraksi dan
korban disuruh bungkam. Bahkan pelaku mengelak dengan berbagai alasan,
seperti adanya salah paham, memutarbalik fakta dan membuat korban terpojok
dengan mengatakan “bukan mengajak minum kopi tapi hanya mengambil
buku”, “lebih suka chatting daripada mengirim WA”, “bukan memegang
korban tetapi hanya membenarkan seatbelt”, dll. Selain itu, pelaku justru
mendapat dukungan dari teman seprofesi dengan melarang menyebarkan
berita tersebut karena dianggap aib “... ketimbang mikirin itu, masih banyak
tugas yang harus kalian kerjakan. Kalau tugasnya sudah habis, ngaji aja.
Allah melarang kita menyebar aib yang Allah sudah tutupi”.
20
Kedua, kampus merespon dengan memberikan keadilan terhadap korban
dengan cara memberikan sanksi kepada pelaku dan memulihkan nama
baik korban.Respon baik ini dapat dilakukan dengan beragam cara, mulai
dari memberikan semangat kepada korban karena telah berani melaporkan
kasus tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku. Pelaku dipanggil,
ditegur, dipindahkan tugas, dibatalkan pencalonan sebagai pejabat,
hingga skorsing mengajar selama waktu tertentu. Dalam kasus pelakunya
mahasiswa, kampus memberikan sanksi berupa pencabutan gelar
mahasiswa berpretasi kepada yang bersangkutan. Dalam UU No. 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, bab VI pasal 77, hukuman bagi guru dan
dosen yang melanggar aturan dikenai sanksi berupa teguran, peringatan
tertulis, penundaan pemberian hak dosen, penurunan pangkat, pemberhentian
dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat.
21
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Menurut H.D. Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum
organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang
pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hukum publik. Kewenangan
adalah hak menggunakan wewenang yang dimiliki seorang pejabat atau
institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan juga
menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut
kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang
dimiliki oleh pejabat atau institusi. Menurut Bagir Manan wewenang dalam
bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus
hak dan kewajiban. Wewenang merupakan suatu hak yang dimiliki oleh
seorang pejabat atau institusi yang bertindak menjalankan wewenangnnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
22
melanggar aturan yang sudah di tetapkan oleh pihak kampus. Sekarang ini
sedang marak-maraknya prilaku dari para petinggi kampus (oknum) yang
melakukan tindak kekerasan seksusal. Tindak kekerasan ini terjadi karena
ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan rape culture. Ketimpangan
relasi kuasa terkait dengan pihak yang memiliki kewenangan dipandang
memiliki peluang untuk menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan
kekerasan seksual terhadap orang yang dipandang lemah atau dibawah
pengawasannya. Maka bentuk pencegahan kekerasasan seksual dalam ruang
lingkup perguruan tinggi dapat berupa menyebarkan informasi tentang anti
kekerasan seksual melalui berbagai media, Meningkatkan pemahaman
melalui kuliah, seminar, diskusi, dan pelatihan, Mengembangkan kajian
keilmuan tentang kekerasan seksual dan mengintegrasikan nilai-nilai HAM
dan gender dalam kurikulum, dan menyediakan tata ruang dan fasilitas
yang aman, nyaman, dan ramahbagi laki-laki dan perempuan, dan
menyediakan anggaran untuk penanganan korban.
B. Saran
23
memperjuangkan hak-hak korban, menghilangkan stigma bahwa “korban
adalah salah” dalam kamus kekerasan seksual dan menumpaskan keheningan
yang selama ini tidak disuarakan oleh korban kekerasan seksual.
24
DAFTAR PUSTAKA
25