ABSTRAK
ABSTRACT
Omnibus law has become a debate among the public since the government has announced to use
it in the formation of laws, the pros and cons are present because the Omnibus law method tends
to be used by countries with a common law system. However, the presence of the Job Creation Act
is an answer that this method is also contextual and relevant for use in the Civil law system. This
study focuses on answering (a) the Omnibus law in the formation of Legislation - Invitations; (b) The
nature of regional regulations; (c) Use of the Omnibus law Method in the Establishment of Regional
Regulations. The purpose of this study is to find out, understand, and analyze Omnibus law in the
formation of Legislation - Invitations, the nature of Regional Regulations, and formulate the Use of the
Omnibus law Method in Formation of Regional Regulations. The research method used is normative
juridical research, with a statutory approach and a conceptual approach. The results of the study
show that the use of the Omnibus law method can be implemented on the substance of the content
of Regional Regulations whose provisions for their formation are based on the implementation of the
Law which is also formed through the Omnibus law method.
Keywords: omnibus law; formation; regional regulation.
257
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 257-270
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
258
Gagasan Penggunaan Metode Omnibus Law
Supriyadi, Andi Intan Purnamasari
259
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 257-270
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
260
Gagasan Penggunaan Metode Omnibus Law
Supriyadi, Andi Intan Purnamasari
261
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 257-270
p -I S S N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e -I S S N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
Metode OL yang diterapkan dalam sistem cepat sudah saatnya tidak mengarahkan
hukum nasional telah disesuaikan melalui pembentukan hukum pada kodifikasi, karena
beberapa pendekatan pertama dengan metode ini menyebabkan hukum selalu
teori aliran dualisme hukum kedua, teori berjalan di belakang.21
transplantasi hukum, yang pada pokoknya
OL merupakan metode yang lahir bukan
menyelaraskan dengan hierarki ketentuan
dari prinsip kodifikasi melainkan prinsip
peraturan perundang-undangan.18
modifikasi, karena metode ini selain dapat
. Memberi makna terhadap sistem mengharmonisasikan peraturan perundang
hukum nasional penting dilakukan agar – undangan juga dapat menghindari hyper
menjadi pemetaan dalam melihat kedudukan regulations. Jauh daripada itu, OL diarahkan
OL sebagai sebuah metode yang dibawa oleh untuk menuju pada pembentukan kualitas
sistem hukum common law menuju civil law. regulasi (quality of regulation) bukan pada
Dengan beranjak pada narasi sebelumnya kuantitas regulasi (regulatory quantity). I.C.
serta dikuatkan oleh pandangan Maria Farida van der Vlies berpendapat bahwa undang
menunjukan bahwa OL merupakan metode – undang yang lahir dari metode modifikasi
yang legal diberlakukan dan digunakan dalam adalah undang – undang yang mengubah
pembentukan hukum. Secara praktik, OL pendapat hukum dan hubungan sosial.
telah digunakan dalam pembentukan hukum
Telaah Hakekat Peraturan Daerah
nasional, misalnya pembentukan Undang
– Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Lahirnya peraturan daerah yang bersifat
Pemilihan Umum, yang menggabungkan tiga mengatur secara umum tidak bisa dilepaskan
undang – undang kedalam satu undang – dengan desain otonomi daerah. Konsep
undang. otonomi daerah selalu dikaitkan dengan
kebebasan dan kemandirian daerah untuk
Penggabungan tiga undang-undang ke
mengurus urusan rumah tangganya sendiri. 22
dalam satu undang pemilu memberikan pesan
Suatu daerah dipandang otonom ketika
bahwa keberadaan konsep OL telah diadopsi
memiliki kewenangan (authority) dalam
dalam pembentukan undang-undang di
penyelenggaraan pemerintahan terutama
Indonesia. Sejalan dengan konsep negara
untuk menentukan kepentingan daerah.
atas hukum modern (verzorgingsstat),19
Dalam konsep pemisahan kekuasaan
tujuan utama ialah bukan kodifikasi melainkan
(separation of power) yang dipopulerkan oleh
modifikasi terhadap pembentukan peraturan
Montesquieu, menurutnya kekuasaan harus
perundang – undangan. T. Koopmans
dipisah ke dalam fungsinya masing – masing
menyatakan bahwa, pembentuk undang
yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam
– undang dewasa ini tidak lagi berusaha
pengembangannya, pemikiran Montesquieu
ke arah kodifikasi melainkan modifikasi.20
dapat diartikan dalam pemisahan kekuasaan
Senada dengan pandangan T. Koopmans,
secara horizontal dan vertikal. Otonomi
Hamid Attamimi menyebutkan bahwa untuk
daerah merupakan wujud dari pemisahan
menghadapi perubahan dan perkembangan
kekuasaan secara vertikal dalam rangka
kebutuhan masyarakat yang semakin
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pembentukan peraturan daerah tidak
18 Ahmad Ulil, Sakti Lazuardi, and Ditta Chandra
Putri, “Arsitektur Penerapan Omnibus law Melalui bisa dilepaskan dari ilmu perundang –
Transplantasi Hukum Nasional Pembentukan undangan (Gesetzgebungslehre). Namun,
Undang-Undang,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum dalam penerapan Gesetzgebungslehre tidak
(2020); 3-4
19 Nasarudin Umar, “Konsep Hukum Modern: Suatu
Perspektif Keindonesiaan, Integrasi Sistem 21 Hamid Attamimi, “Materi Muatan Peraturan
Hukum Agama Dan Sistem Hukum Nasional,” Perundang-Undangan,” Jurnal Hukum &
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Pembangunan (2017).
(2014). 22 Fatkhul Muin, “Otonomi Daerah Dalam
20 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang - Undangan Persepektif Pembagian Urusan Pemerintah-
Jenis, Fungsi Dan Materi Muatan (Yogyakarta, Pemerintah Daerah Dan Keuangan Daerah,” FIAT
2007), 3 JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum (2015).
262
Gagasan Penggunaan Metode Omnibus Law
Supriyadi, Andi Intan Purnamasari
dapat dilepaskan dengan ketentuan filsafati dirumuskan berdasarkan cita yang hidup di
dan sosial. Pendekatan filsafati diarahkan dalam masyarakat (Volksgeemenschapsidee)
untuk mendalami nilai-nilai ideal yang yang telah ada sebelum Negara itu diadakan.24
bersumber dari falsafah negara. Sedangkan Cita negara dirumuskan berdasarkan cita
pendekatan sosial diorientasikan untuk yang hidup dalam masyarakat tadi sebagai
mengalih nilai empirikal dalam masyarakat. hasil suatu refleksi filosofis. Sementara itu,
Pembentukan Perda yang beresensi pada berbeda dengan masyarakat yang terbentuk
nilai mengatur, seyogyanya pula wajib secara alamiah, negara terbentuk melalui
mengelaborasi nilai – nilai filsafati dan sosial. suatu tindakan sadar yang direncanakan
oleh manusia berdasarkan pertimbangan
Lebih lanjut, dalam pembentukan Perda
pertimbangan tertentu. Dilihat dari sudut
terdapat hal yang penting harus diperhatikan
pandang filsafat hukum, rumusan dasar
yakni mengenai ciri relasional dari hukum.
filsafat negara yang terkandung di dalam
Ciri relasional dari hukum berada pada
Pembukaan UUD 1945 itu, meskipun
relasi antar manusia (conditio sine quanon)
berada di luar sistem hukum, akan tetapi
dan alasan keberadaan dari hukum raison
memainkan peranan normatif sebagai
d’etre. Dalam rangka pembentukan Perda
leitsern atau sebagai bintang pemandu
diperlukan suatu landasan atau acuan yang
dalam perumusan norma-norma hukum
juga dikenal sebagai paradigma. Paradigma
yang berada di bawahnya. Sebagai rumusan
adalah suatu parameter atau rujukan yang
cita hukum, norma-norma mendasar dalam
digunakan sebagai dasar berfikir. Paradigma
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
dalam pembentukan peraturan perundang
berbangsa, bernegara Indonesia, Pancasila
– undangan terdiri dari paradigm filosofis,
membimbing arah pembentukan hukum
paradigma yuridis dan paradigm politik.23
dalam masyarakat.
Darisisiparadigmafilosofis,pembentukan
Keseimbangan antara nilai filosofis dan
peraturang perundang – undangan termasuk
peraturan daerah didasarkan pada paradigma sosial menjadi penting dalam pembentukan
peraturan daerah, olehnya dibutuhkan
filosofis. Paradigma ini berkaitan erat dengan
pandangan hidup bangsa Indonesia yang pembentuk peraturan daerah yang membuka
akses keterlibatan partisipatif masyarakat di
berisi nilai – nilai moral atau etika. Nilai yang
dalam perumusan norma – norma peraturan
baik merupakan pandangan dan cita – cita
yang dijunjung tinggi didalamnya berisi nilai daerah. Esensi dasar dari hukum ialah
kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan nilai melindungi hak asasi manusia, karena
lainnya yang dipandang baik. Apapun jenis hukum dibentuk untuk manusia. Olehnya
filsafat hidup bangsa harus menjadi rujukan di kehadiran hukum juga harus memanusiakan
dalam pembetukan hukum yang berlaku pada manusia bukan sebaliknya membatasi dan
bangsa tersebut. Dalam konsteks Indonesia, menghilangkan nilai dasar manusia.25 Olehnya
kesemua nilai kebaikan terakumulasi dalam dibutuhkan dialektika untuk memudahkan
Pancasila sebagai pandangan hidup, cita-cita hadirnya konsep hukum yang melindungi
dan jalan kehidupan (way of life). Pancasila bersama. Sudikno Mertokusumo menyatakan
tidak boleh dilupakan bahwa hukum
sebagai dasar filsafat negara atau ideologi
negara yang terkandung didalam Pembukaan merupakan perlindungan terhadap manusia
Undang – Undang Dasar Negara Republik yang kepentingannya itu selalu berkembang,
Indonesia Tahun 1945. Rumusan Pancasila dinamis, baik jenis maupun jumlahnya.
itu dapat pula disebut sebagai rumusan Dengan demikian hukum harus dinamis
dasar cita Negara (Staatsidee) dan sekaligus
dasar dari cita hukum (Rechtsidee) Negara 24 Astim Riyanto, “Pancasila Dasar Negara
Republik Indonesia. Sebagai cita negara, ia Indonesia,” Jurnal Hukum & Pembangunan
(2007).
25 Mukhamad Luthfan Setiaji and Aminullah Ibrahim,
23 Erlina Diamastuti, “Paradigma Ilmu Pengetahuan “Kajian Hak Asasi Manusia Dalam Negara The
Sebuah Telaah Kritis,” Jurnal Akuntansi Rule Of Law : Antara Hukum Progresif Dan
Universitas Jember 10, no. 1 (2015): 61. Hukum Positif,” Lex Scientia Law Review (2018).
263
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 257-270
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
pula agar dapat mengikuti dan melindungi 8. A failure of congruence between the
perkembangan hukum masyarakat tersebut.26 rules as announced and their actual
Pembentukan Perda diorientasikan untuk administration.28
mengatur aktifitas masyarakat di daerah,
bukan semata – mata sebagai alat legalitas Suatu aturan hukum yang baik apabila
tindakan pemerintahan. Keberlakukan memenuhi delapan kriteria, yaitu berlaku
secara umum, diumumkan, tidak berlaku
suatu hukum tidak dapat dilepaskan dari
surut, disusun dalam rumusan yang dapat
dimensi – dimensi dari yang berada pada
dimengerti, tidak saling bertentangan,
ruang lingkup keberlakukannya. Meuwissen
berbicara mengenai keberlakuan hukum dapat dilakukan secara wajar, tidak mudah
ditinjau dari tiga bentuk yang ketiganya saling berubah, ada kesesuaian antara aturan dan
kait mengkait satu dengan lainnya. Pertama, pelaksanaannya.
keberlakukan sosial atau keberlakuan faktual. Lebih lanjut, AA Oka Mahendra
Keberlakukan ini berkaitan dengan efektivitas sebagaimana dikutip oleh Eka N.A.M
dari kaidah hukum. kedua, keberlakukan Sihombing menyebutkan bahwa peraturan
yuridis yakni keberlakukan kaidah hukum perundang – undangan yang baik harus
kedalam aturan – aturan hukum prosedur atau memenuhi kriteria sebagai berikut:29
formal yang dibentuk oleh organ berwenang. 1. Secara idil mentransformasi nilai
Ketiga, keberlakuan normatif dan moral pancasila;
yakni keberlakukan yang mentitik beratkan 2. Bersumber dari UUD Tahun 1945;
pada legitimasi dari hukum dengan tidak 3. Pembentukannya dilakukan berdasarkan
melepaskan dimensi moral didalamnya.27 asas – asas pembentukan peraturan
Pembentukan aturan hukum yang perundang – undangan;
baik menurut Lon Luvois Fuller setidaknya 4. Materi muatannya memuat asas – asas;
memenuhi 8 (delapan) asas yang dinamakan 5. Responsif terhadap aspirasi masyarakat;
principles of legality, yaitu: 6. Harmonis dengan peraturan perundang
1. A failler to achieve rules at all, so that – undangan diatasnya;
every issue must be decided on an ad 7. Dapat dipahami;
hoc basis. 8. Lengkap;
2. A failure to publicize, or at least to make 9. Dipublikasikan;
available to the affected party, the rules 10. Menggunakan bahasa hukum yang baik
he is expected to observe. dan benar.
3. The abuse of retroactive legislation,
Hans Kelsen menyebutkan, bahwa
which not only can not itself guide action,
hukum positif (peraturan) dikonstruksikan
but under cuts the integrity of rules berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan
prospective in effect, since it puts them yang rendah bersumber dari dan tidak boleh
under the threat of retrospective change. bertentangan dengan peraturan yang lebih
4. A failure to make rules understandable. tinggi. Sejalan dengan pandangan diatas,
5. The enactment of contradictory rules. Attamimi menngkonsepsikan struktur hierarki
6. Rules that require conduct beyond the tata hukum Indonesia dengan menggunakan
powers of the affected party. teori Nawiasky, meliputi:
7. Introducing such frequent changes in the 1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila
rules that the subject cannot orient his (Pembukaan UUD 1945).
action by them.
264
Gagasan Penggunaan Metode Omnibus Law
Supriyadi, Andi Intan Purnamasari
265
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 257-270
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
266
Gagasan Penggunaan Metode Omnibus Law
Supriyadi, Andi Intan Purnamasari
267
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 257-270
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
268
Gagasan Penggunaan Metode Omnibus Law
Supriyadi, Andi Intan Purnamasari
269
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 257-270
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
HALAMAN KOSONG
270