II
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya
sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan judul
“Islam, Iman, dan Ikhsan (Tiga Pilar Pembentuk Insan Kamil).
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil
manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat
permasalahan lain yang relevan.
II
DAFTAR ISI
III
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 TUJUAN
Mahasiswa dapat memahami pengertian dari Islam, Iman dan Ihsan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Disamping adanya hubungan antara Iman, Islam dan Ihsan , diantara ketiganya, juga
terdapat perbedaan diantaranya sekaligus merupakan identitas masing-masing. Iman lebih
menekankan pada segi keyakinan dalam hati. Islam merupakan sikap untuk berbuat dan
beramal.Sedangkan Ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk tindakan nyata. Dengan
ihsan, seseorang bisa diukur tipis atau tebal iman dan islamnya.
Iman dan islam bila disebutkan secara bersamaan, maka yang dimaksud dengan Islam
adalah amal perbuatan yang nampak, yaitu rukun Islam yang lima, dan pengertian iman
adalah amal perbuatan yang tidak nampak, yaitu rukun iman yang enam. Dan bila hanya
salah satunya (yang disebutkan) maka maksudnya adalah makna dan hukum keduanya.
Ruang lingkup ihsan lebih umum daripada iman, dan iman lebih umum daripada Islam.
Ihsan lebih umum dari sisi maknanya; karena ia mengandung makna iman. Seorang
hamba tidak akan bisa menuju martabat ihsan kecuali apabila ia telah merealisasikan
iman dan ihsan lebih spesifik dari sisi pelakunya; karena ahli ihsan adalah segolongan
ahli iman.
Ibnu Taimiyah mengatakan ,didalam sikap ihsan sudah terkumpul didalamnya iman dan
Islam. Oleh karena itu, orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-
orang mukmin yang lain, dan orang yang mukmin itu juga lebih istimewa dibandingkan
muslim yang lain. Mengenai hal itu, bagaimana pendapat kita mengenai pernyataan dari
Ibnu Taimiyah.
3
BAB III
PEMBAHASAN
Ibnu Taimiyah mengatakan ,didalam sikap ihsan sudah terkumpul didalamnya iman dan
Islam. Oleh karena itu, orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-
orang mukmin yang lain, dan orang yang mukmin itu juga lebih istimewa dibandingkan
muslim yang lain. Pernyataan Ibnu Tamiyah tersebut benar, karena orang mukmin yang
bersikap islam lebih tinggi ilmu agamanya dibandingkan muslim lainnya yang tidak
bersikap ihsan.
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah
kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah
seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin
menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang
ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa
harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai
kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa
mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu:
menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari
tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya
maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya
seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah
Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
4
BAB IV
PENUTUP
Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian
agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para
ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat
ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman
dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada
kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin
mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh
justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah
bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari
kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat
muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat
sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan
syari’at. Wallohu a’lam.