Anda di halaman 1dari 23

REFERAT EPILEPSI

( Epilepsi Parsial, Epilepsi Umum, Status Epileptikus)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mengikuti Ujian Akhir Kepaniteraan Klinik Madya

Bagian Ilmu Neurologi Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Disusun oleh:

Jovan Matheis Phillips Sawias, S.Ked

Pembimbing:

dr. Nelly Y.Tan Rumpaisum, Sp.S

SMF NEUROLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA-PAPUA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani “epilepsia” yang artinya adalah gangguan
neurologis umum kronis yang ditandai dengan kejang berulang tanpa alasan, kejang
sementara dan/atau gejala dari aktivitas neuronal yang abnormal, berlebihan atau sinkron
di otak. Epilepsi oleh Hipocrates diidentifikasi sebagai sebuah masalah yang ada
kaitannya dengan otak. Epilepsi terkait dengan kinerja sistem saraf pusat di otak kita.
Saraf di otak berfungsi sebagai koordinator dari semua pergerakan seperti, penglihatan,
peraba, bergerak, dan berpikir. Pada penderita epilepsi, sistem saraf pusat di otak
mengalami gangguan, sehingga koordinasi dari sistem saraf di otak tidak dapat
mengirimkan sinyal ke sistem panca indera.
Terganggunya pengiriman sinyal ke sistem panca indera penderita epilepsi dapat
disebabkan oleh beberapa hal seperti pernah mengalami trauma kepala berupa benturan
atau cedera dibagian kepala, atau menderita tumor otak. Penyakit epilepsi dapat muncul
karena penderita mengalami kerusakan otak pada saat dilahirkan. Namun selain penyebab
yang telah disebutkan di atas, penyebab epilepsi masih belum dapat dipastikan. Epilepsi
yang berkembang di tengah masyarakat adalah semacam penyakit yang ditandai dengan
kejang-kejang tiba-tiba serta mengeluarkan air liur berwarna putih.
Pada umumnya epilepsi dapat muncul karena penderita mengalami kelelahan atau
mengalami benturan dibagian kepala, yang disusul dengan tidak sadarkan diri, terjatuh,
tubuh tegang, lalu disusul dengan gerakangerakan kejang tanpa terkendali di seluruh
tubuh. Kejang biasanya berlangsung paling lama lima menit. Sesudahnya penderita bisa
mengalami sakit kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya penderita
tidak dapat mengingat apa yang terjadi setelah kejang. Tulisan ini akan mengkaji
mengenai epilepsi dalam berbagai ragam budaya.
World Health Organization (WHO) (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat
8,2 orang dengan gangguan epilepsi aktif per 1000 orang penduduk, dengan angka
insidensi 50 per 100.000 penduduk. Sekitar 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap
epilepsi dimana diperkirakan angka prevalensi dan insiden di negara berkembang lebih
tinggi dibandingkan prevalensi dan insiden di negara maju. Dari banyak studi
menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsi cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya
berkisar antara 0,5-4 %. Sedangkan angka insidensi epilepsi di negara berkembang
mencapai 50-70 kasus per 100.000 penduduk. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi
epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup
tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian menlngkat lagi pada
kelompok usia lanjutJ Dl Amerika Serikat, satu dl antara 100 populasi (1%) penduduk
terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan
pada lima tahun terakhir. Dl Inggris, satu orang diantara 131 orang mengidap epilepsi.
Jadi setidaknya terdapat 456.000 pengidap epilepsi di Inggris. Di Indonesia belum ada
penelitian epidemologi tentang berapa tepatnya prevalensi epilepsi. Namun diperkirakan
berkisar antara 0,5-1,2 %, yaitu sekitar 1,1-1,3 juta orang. Jumlah penduduk Indonesia
yang menderita epilepsi tersebut adaiah 2 % dari seluruh pasien epilepsi di dunia. Jadi,
dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, populasi penderita epilepsi mencapai 2.100.000
orang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)
berulang sebagai akibat dari gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh
lepas muatan listrik abnormal yang berlebihan di neuron-neuron paroksimal. Epilepsi terjadi
karena berbagai etiologi. Sebagian besar kasus epilepsi disebut epilepsi idiopati yang tidak
diketahui asal usuinya; sedangkan kasus epilepsi yang lain disebut epilepsi sekunder atau
epilepsi simptomatik. Epiepsi sekunder disebabkan oleh adalah kerusakan otak akibat
kekurangan oksigen, cedera, infeksi (misalnya meningitis), tumor otak. Epilepsi dapat
disertai kejang (konvuisi) atau tanpa kejang (misalnya pada epilepsi absence/lena). Sindrom
epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi secara
bersamasama, yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset) jenis bangkitan,
faktor pencetus, dan kronisitas. Bangkitan epilepsi {epileptic seizure) adalah manifestasi
klinik dari bangkitan serupa (stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara
dengan atau tanpa perubahan kesasaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok
sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).

Status Epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau
adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitanbangkitan tadi tidak terdapat
pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvuisi hams dimulai bila
bangkitan konvuisi sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. Status epileptikus dikatakan
pasti {established) bila pemberian benzodiazepin awal tidak efektif dalam menghentikan
bangkitan. Ada dua bentuk status epileptikus yaitu:

• Konvulsif (kejang umum tonik-klonik)


• Non-konvulsif (kejang bukan umum tonik-klonik)
2.2. Epidemiologi

Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsy menyerang 70 juta


dari penduduk dunia. Epilepsy dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa
batasan ras dan sosial ekonomi. Angka kejadian epilepsy masih tinggi terutama di Negara
berkembang yang mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut
tergolong tinggi dibandingkan dengan Negara yang maju dimana angka kejadian epilepsi
berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per tahun. Angka prevalensi penderita
epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000 penderita epilepsi. Bila jumlah penduduk
Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru 250.000
per tahun. Dari berbagai studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%.
Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan
anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian
meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.
Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah infeksi Sistem
Saraf Pusat, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik.
Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa
insidensi epilepsi pada anak laki - laki lebih tinggi dari pada anak perempuan.
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun). Pada 65
% pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak insidensi epilepsi terdapat
pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada masa kanak-kanak, dan relatif
stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun epilepsi per
100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1-5 tahun, 50 pada 5-9
tahun, dan 39 pada 10 - 14 tahun.

2.3. Klasifikasi

Diagnosis dan identifikasi tentang tipe epilepsi sangat penting untuk pemberian terapi
yang tepat. Ada banyak pengelompokan epilepsi, namun Liga Intemasional untuk Melawan
Epilepsi (International League Against Epilepsy, ILAE) telah menetapkan standar untuk
mengklasifikasi bangkitan epilepsi serta Epilepsi dan Sindrom epilepsi.

Gambar : Klasifikasi ILAE untuk bangkitan Epilepsi

International League Against Epilepsy (ILAE) menetapkan klasifikasi epilepsi


berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
1. Kejang parsial
 Kejang parsial sederhana (kesadaran baik)
- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis
 Kejang parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Kejang parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Dengan automatisme
 Kejang umum sekunder
- Kejang sederhana menjadi kejang umum
- Kejang kompleks menjadi kejang umum
- Kejang sederhana menjadi parsial kompleks menjadi kejang umum

2. Kejang umum
- Absens / lena / petit mal
- Mioklonik
- Tonik
- Klonik
- Atonik
- Tonik-klonik
3. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE :
1. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik
-Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
- Childhood epilepsy with occipital paroxysm
b. Simptomatik
-Lobus temporalis
-Lobus frontalis
-Lobus parietalis
-Lobus oksipitalis
2. Epilepsi Umum
a. Idiopatik
-Benign neonatal familial convulsions, Benign neonatal convulsions
-Benign myoclonic epilepsy in infancy
-Childhood absence epilepsy
-Juvenile absence epilepsy
-Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
-Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
-Other generalized idiopathic epilepsies
b. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik:
-West’s syndrome (infantile spasms)
-Lennox gastaut syndrome
-Epilepsy with myoclonic astatic seizures
-Epilepsy with myoclonic absences
c. Simtomatik
-Etiologi non spesifik
-Early myoclonic encephalopathy
-Specific disease states presenting with seizures

2.4. Etiologi
Hampir setengah dari seluruh kasus epilepsi bersifat idiopatik. Beberapa penyebab
epilepsi yang dapat ditemukan adalah pengaruh genetik, trauma kepala, kelainan medis
(sebagai contoh akibat akibat stroke maupun serangan jantung), demensia, meningitis,
ensefalitis, jejas prenatal, atau gangguan perkembangan (sindroma Down, autisme).

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

1. Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita epilepsi

anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia >3tahun.

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat-alat diagnostik yang

canggih kelompok ini semakin sedikit.

2. Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat Misalnya:

post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan gangguan metabolik,

malformasi otak kongenital, asfiksia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran

darah otak, toksik serta kelainan neurodegenerative.

3. Epilepsi kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,

termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.
2.5. Patofisiologi
Penghantaran rangsang di saraf otak berlangsung melalui dua cara yaitu perubahan
konsentrasi ion (Na, K, Ca) dan pelepasan neurotransmiter (GABA, dsb). Perubahan
konsentrasi ion menyebabkan penghantaran impuls sepanjang sel saraf yang akhirnya akan
menyebabkan pelepasan neurotransmiter di ujung saraf. Neurotransmiter dapat menghambat
(GABA) atau merangsang (asetilkolin) sel saraf berikutnya. Ketidakseimbangan dari ion-ion
dalam sel (berlebihan atau berkurang) dapat mengganggu transmisi antar sel-sel saraf tadi.
Beberapa area di otak (korteks motoiik, lobus temporal termasuk hipokampus yang berperan
dalam memori) peka terhadap perubahan biokimia, cenderung berperan pada aktivitas
terjadinya serangan tadi. Misalnya pada kejang parsial pada daerah tertentu di salah satu
hemisfer otak, pada kejang parsiai simple terkait aktivltas abnormal di area motorik,
sensorik, pusat otonom di otak. Suatu serangan dapat dilacak pada membran sel otak atau sel
disekitarnya yang tidak stabil. Rangsangan yang berlebih dapat menyebar secara lokal pada
serangan fokal, maupun lebih luas pada serangan umum. Terjadinya konduktansi kalium
yang tidak normal, gangguan pada kanal kalsium sensitif voltase, atau defisiensi pada
membran ATPase yang berkaitan dengan transport ion dapat menghasilkan ketidakstabilan
membran neuronal dan serangan kejang. Aktivitas neuronal normal tergantung pada fungsi
normal pemicu rangsang (yaitu, glutamat, aspartat, asetilkholine norepineprin, histamin,
faktor pelepas kortikotropin, purin, peptida, sitokin, dan hormon steroid) dan penghambat
neurotransmiter (yaitu, dopamin, asam-aminobutirat [GABA]); pasokan glukosa, oksigen,
natrium, kalium, klorida, kalsium, dan asam amino yang cukup; pH normal; dan fungsi
normal reseptor. Kejang yang lama, terpapar glutamat secara terusmenerus, sejumlah besar
kejang tonik-klonik umum (GTC) (lebih besar dari 100), dan episode ganda status
epileptikus dapat dikaitkan dengan kerusakan neuronal.
2.6. Gejala
Gejala dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu:
1). Kejang parsial

A. Kejang parsial sederhana


Pasien akan mengalami gejala berupa:
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubuh
tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu halusinasi. Pada
kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
B. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang
paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme. Serangan yang
mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien
mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu
serangan. Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam
2). Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya menurun.
a) Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia. Serangan
tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak
terdeteksi.
b) Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan badan.
Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c) Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang
terjadi dapat tunggal atau berulang.
d) Kejang Klonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot Gejala yang terjadi hampir sama dengan
kejang mioklonik, tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2
menit.
e) Kejang Tonik
Penderita sering mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

3. Kejang tonik klonik (epilepsi grand mal)


Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau
kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya
mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura
merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut,
baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan
kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa
alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi
kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang
tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih
ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.
2.7. Diagnosis
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang tidak
dipicu. Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG
atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu,
diagnosis kejang tetap yang paling utama. Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri
karena membuat diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan
keterampilan yang khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan
elektroensefalografi, dan pencitraan otak.
1) Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa
hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat
berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:

- Pola atau bentuk serangan


- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, stres psikologis, alkohol.
- Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2) Pemeriksaan fisik dan neurologi
Melihat adanya tanda-tanda infeksi seperti demam, infeksi telinga, tanda meningeal,
atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-
anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral. Pemeriksaan neurologis lengkap dan rinci adalah
penting, khususnya untuk mencari tanda-tanda fokal atau lateral. Perneriksaan secara
hati-hati dari status mental (termasuk memori, fungsi bahasa, dan berpikir abstrak) dapat
menunjukkan lesi di lobus anterior frontal, parietal atau lobus temporal. Uji lapang
pandang dapat membantu menyaring lesi di jalur optik dan lobus oksipital. Uji
penyaringan dari fiungsi motorik seperti pronetor drift, dcep tendon reflexes, gart dan
koordinasi dapat menunjukkan lesi di korteks motorik (frontal), dan uji sensori kortikal
(contoh: double simultancous stimulaton) dapat mendereksi lesi di korteks parietal
Perhatikan adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan gangguan kongenital,
gangguan neurologi fokal atau difus, kecanduan alcohol.
3) Pemeriksaan penunjang

a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis
epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan sindrom epilepsi. EEG juga
dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi prognosis pasien. Adanya
kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan
perekaman pada waktu sadar dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur. Rekaman
EEG dikatakan abnormal bila:

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding


seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada orang normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal.
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan penentuan
perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak (neuroimaging) bertujuan
untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Pada pencitraan struktural,
MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan CT scan, karena MRI dapat
mendeteksi dan menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti
Single Photon Emission Computerised Tomography (SPECT), Positron Emission
Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk menentukan
lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan struktural meragukan.
MRI fungsional juga dapat membantu menentukan lokasi area fungsional spesifik
sebelum pembedahan {Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy,2010).

2.8. Diagnosis Banding

 Migrain : Migrain pada aura gejala aura yang khas mencakup perubahan penglihatan
dan sensorik abnormal lainnya seperti kilatan atau cahaya tajam atau merasa mengecap
atau membaui sesuatu, serta defisit motorik dan bicara (afasia). Aura juga dapat bersifat
somatosensorik seperti rasa baal di satu tangan atau satu sisi wajah.
 Hiperventilasi
 Syncope : adalah penurunan kesadaran mendadak karena kurangnya aliran darah ke
otak. Pada usia muda hal ini paling sering terjadi akibat vasovagal, dengan penurunan
tekanan darah akibat bradikardia. Respon tubuh terhadap penurunan aliran darah
otak adalah dengan peningkatan simpatis, sehingga menimbulkan gejala presyncopal
seperti berkeringat, palpitasi, pucat, dyspnea, dan perasaan cemas. Penurunan
kesadaran pada syncope berlangsung cepat dan kesadaran juga kembali dengan cepat.
Pada syncope juga dapat terjadi inkontinensia urin seperti pada kejang. Menggigit lidah
juga mungkin terjadi pada syncope tetapi biasanya ujung lidah yang tergigit bukan
pada sisi samping, dimana pada kejang injuri lidah lebih berat. Pada syncope gerakan
yang biasa terjadi adalah hentakan myoklonik yang jelas. Mata pasien biasanya tertutup
bukan mendelik, serta tidak ada sekuele neurologis fokal. Diagnosis syncope harus
disertai pemeriksaan EKG.
 Sleep Disorder: Gangguan Tidur

2.9. Penatalaksanaan
Penderita epilepsi cenderung untuk mengalami serangan kejang secara spontan, tanpa

faktor provokasi yang kuat atau yang nyata. Timbulnya bangkitan kejang yang tidak dapat

diprediksi pada penderita epilepsi selain menyebabkan kerusakan pada otak, dapat pula

menimbulkan cedera atau kecelakaan. Kenyataan inilah yang membuat pentingnya

pemberian antikonvulsan pada pasien epilepsi. Antikonvulsi digunakan terutama untuk

mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Golongan obat ini lebih

tepat dinamakan anti epilepsi sebab jarang digunakan untuk gejala konvulsi penyakit lain.

Terdapat dua mekanisme anti epilepsi yang penting yaitu:

1. Mencegah timbulnya letup nya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epil ron

epileptik  dalam fokus epileptic.

2. Mencegah letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus

epilepsi. Bagian terbesar anti epilepsi yang dikenal termasuk dalam golongan

terakhir ini.

Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE,

interaksi antarobat epilepsi.

Obat anti epilepsi (OAE) pilihan sesuai dengan jenis bangkitan


a.

No Kejang umum Parsial Absence Atipikal absence,

tonik klonik myclonic dan

atoniv
Lini pertama Valproic cacid Carbamazepine Valproic acid Valproic acid

Lamotrigine Phenytoin Ethosuximide

Lamotrigine

Valproic acid
Lini Kedua Phenytoin Topiramate Lamotrigine Lamotrigine

Carbamazepine Levetiracetam Clonazepam Topiramate

Topiramate Tiagabine Clonazepam

Zonisamade Zonisamade Felbamat

Felbamate Gabapentine

Primidone Primidone

Phenobarbital Phenobarbital

No Jenis OAE lini pertama OAE lini kedua OAE lain

Bangkitan yang dapat

dipertimban

gkan

1 Bangkitan Sodium valproate Ethosuximade Levetiraceta

Lena Lamotrigine m

2 Bangkitan Sodium valproate Topiramate, Lamotrigine

Myoklonik Levetiracetam,
Zonisamade Clobazam

Clonazepam

Phenobarbit

al

3 Bangkitan Sodium Valproate Lamotrigine Topiramate

tonik klonik Carbamazepin Oxcarbazepine Levetiraceta

Phenytoin m

Phenobarbital Zonisamide

Primidon

4 Bangkitan Sodium Valproate Lamotrigine Felbamate

Atonik Topiramate

5 Bangkitan Carbamazepine Sodium Tiagabine

fokal/tanpa Phenytoin Valporate Vigabatrin

umum Phenobarbital Levetiracetam Felbamate

sekunder Oxcarbazepine Zonisamade Primidone

Topiramate Pregabalin

Lamotrigine

6 Tidak Sodium valporate Lamotrigine Topiramate

Terklasifikasi Levetiraceta

kan m

Zonisamade

Dosis Terapi

Nama Obat Dosis Pemberian Sediaan


Asam Valproat 20-45 2-3 dosis Syrup 250mg/5ml

mg/KgBB/hari terbagi

Carbamazepin 10-20 2-3 dosis Tab 200 mg, sir

mg/Kg/BB/hari terbagi 100mg/5ml

Clobazam 5 mg/ hari 1 dosis terbagi Tab 10 mg

Clonazepam 0,01-0,03 2-3 dosis Tab 2 mg

mg/KgBB/hari terbagi

Diazepam IV 0,2- 0,5 2mg/menit Injeksi 5 mg/ml

mg/KgBB

Fenitoin 4-6 2-3 dosis Kapsul 50 mg, 100 mg

mg/Kg/BB/hari terbagi Inj 50 mg/ml, 100 mg/2 ml

Fenobarbital 2-4 sekali sehari, Tablet 30 mg:, Inj 50

mg/KgBB/hari terbagi dalam 2 mg/ml

dosis

Gabapentin 10-15 mg/hari 3 dosis terbagi Kapsul 100 mg, kapsul

300 mg

Lamotrigin 50-100 mg/hari 1-2 dosis Tab 50 mg, tab 100 mg:

terbagi Lamictal

Levetiracetam 20-40 2 kali sehari Tab 250 mg, tab 500 mg

mg/Kg/BB/hari

Oxcarbazepin 8-10 2-3 dosis Tab 300 mg

mg/KgBB/hari terbagi

Pregabalin 50-75 mg/hari 2-3 dosis Kapsul 50 mg, 75 mg, 150

terbagi mg

Topiramat 3-9 2 kali sehari Kapsul 25 mg, 100 mg,


mg/KgBB/hari 200 mg

Zonisamid 1 mg/KgBB/hari 1 kali sehari Tab 100 mg

2). Terapi Non Farmakologis:

- Fisioterapi

- Psikoterapi

- Behavior Cognitive Therapy

3). Tindakan Intervensi/Operatif :

- Hipokampektomi, sesuai indikasi

- Amigdalohipokampektomi, sesuai indikasi

- Temporal lobektomi, sesuai indikasi

- Lesionektomni, sesuai indikasi

Edukasi

- Edukasi mengenai minum obat secara teratur

- Edukasi mengenai penghindaran faktor pencetus

- Edukasi kontrol ulang secara teratur

- Edukasi epilepsi pada kehamilan

OAE dapat dihentikan pada keadaan:

 Setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan.

 Gambaran EEG normal.

 Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan

dalam jangkA WAKTU 3-6 bulan.


 Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan

utama.

 Keputusan untuk menghentikan OAE dilakukan pada tingkat pelayanan sekunder/tersier.

II. Status Epileptikus

a. Definisi

Definisi Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan

darurat medis dan neurologis utama. International League Against Epilepsy

mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus

menerus selama 30 menit atau lebih. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika

seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama

lima menit atau lebih, harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

b. Klasifikasi

- Status epileptikus konvulsif: bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit atau

bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran di antara bangkitan.

- Status epileptikus non-konvulsif: sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan

elektrografik memanjang (EEG Status) dan memberikan

- gejala klinis non-motorik termasuk perubahan perilaku


Obat Dosis
A. Lini Pertama
Lorazepam<60th 4 mg iv.

60-80 th 2 mg iv.

> 80 th 1 mg iv.

Clonazepam< 60 th 1 mg iv.

60 - 80 th 0,75 mg iv.

> 80 th

0,50 mg iv.

Midazolam<60th 5 mg iv.

60-80 th 2 mg iv.

> 80th 1 mg iv.

Diazepam< 60 th

10 mg iv.

60 - 80 th >80 th

5 mg iv.

2.5 mg iv
B. Lini Kedua
Fenitoin

15-18mg/kg

Bolus Kec.50mg/menit
Rumatan <70kg 150mg i.v.

70-90kg 175mg i.v.

>90kg 200mg i.v.


Asam Valporat 30-45mg/kg i.v.

Dalam 30 menit

Bolus>60th 20-30 mg/kg i.v.


BAB III
KESIMPULAN

1. Kejang satu kali tidak dapat langsung dikatakan sebagai epilepsi (sekitar 10%
penduduk dunia pernah mengalami satu kali kejang selama hidupnya). Epilepsi
didefinisikan sebagai dua atau lebih kejang yang tidak terprovokasi. .
2. Epilepsi didefinisikan sebagai suatau keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tampa provokasi. Sedangkan yang
dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh
aktifitas listrik yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak
3. International League Against Epilepsy mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas
kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih.
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of

Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 1996.

2. World Health Organization. Epilepsy. Updated February 2017. [Cited 2017

September5]Availablefrom:http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs999/en/

3. Panduan praktik klinis. Edisi ke-1. Jakarta: penerbit Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia,

2017; p. 199-203.

4. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.

5. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta:

EGC

6. PERDOSSI., 2016.Panduan Praktik Klinis Neurologi . Himpunan Dokter Spesialis Saraf

Indonesia.

7. Pelayanan Kefarmasian untuk orang dengan gangguan epilepsy : Bakti Husada 2009

8. Andy Arifputera, Fitri Octaviana Sumantri: Kapita Selekta Ed ke- 4 Jilid II 2014, hal 961-962

Anda mungkin juga menyukai