Anda di halaman 1dari 2

Nama: La Ode Muhammad Bangkit Sanjaya

NIM: H1A121051
Kelas: A
Tugas MID KO-Kurikuler KPS
Apa itu sistem peradilan? Untuk mengetahuinya lebih lanjut, kita perlu membedah
kata demi katanya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sistem adalah perangkat
unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Sistem juga
diartikan sebagai susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya. KBBI
juga mendefinisikan pengertian sistem sebagai sebuah metode.
Jadi sistem peradilan Indonesia ialah perangkat peradilan Indonesia yang secara
teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Bisa juga dikatakan sistem
peradilan Indonesia ialah susunan peradilan Indonesia yang teratur dari pandangan, teori,
asas dan sebagainya. Sedang arti peradilan adalah suatu proses yang dijalankan di pengadilan
yang berhubungan dengan tugas memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Sedangkan
pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa
memeriksa, mengadili dan memutus perkara.
Sistem Peradilan Indonesia menganut sistem peradilan Belanda, yang menganut
sistem peradilan Eropa Kontinental walaupun sudah ada yang dimodifikasi. Begitu juga
hukum Indonesia masih mengadopsi hukum Belanda yang mendasarkan pada Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP-Pidana) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP
Perdata).
Untuk mewujudkan negara hukum, maka Indonesia memiliki lembaga-lembaga
peradilan. Lembaga-lembaga peradilan berfungsi memberi keadilan bagi setiap pencari
keadilan. Namun nyatanya dalam praktik peradilan di Indonesia masih sering ditemukan
putusan-putusan persidangan yang tidak adil.
Beberapa contohnya adalah pemotongan hukuman Djoko Tjandra oleh majelis hakim
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dari vonis 4,5 tahun penjara namun kemudian diubah menjadi
3,5 tahun penjara dalam kasus penyuapan aparat penegak hukum dan melakukan
permufakatan jahat. Padahal menurut peneliti PUKAT UGM pemotongan tersebut sangat
melukai rasa keadilan rakyat Indonesia. Menurutnya pemotongan hukuman tersebut tidak
didasarkan oleh alasan hukum yang tepat.
Sebelumnya majelis hakim memberikan pertimbangan bahwa Djoko Tjandra telah
menjalani pidana dan mengembalikan uang lebih dari Rp. 540 milyar dalam kasus Cessie
Bank Bali. Namun, menurut peneliti PUKAT UGM pertimbangan tersebut seharusnya
menjadi pertimbangan yang memberatkan karena kasus Bank Bali dan kasus penyuapan
aparat penegak hukum ini merupakan dua kasus yang berbeda, selain itu Djoko Tjandra
kembali melakukan tindak pidana korupsi berupa penyuapan setelah melakukan tindak
pidana korupsi dalam kasus Cessie Bank Bali.
Kasus lain yaitu Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terbukti menerima suap,
melakukan tindak pidana pencucian uang, dan melakukan permufakatan jahat dalam perkara
pengurusan fatwa bebas untuk Djoko Tjandra. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi menjatuhkan vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta kepada
Pinangki. Namun, Jaksa Pinangki melakukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta,
alhasil majelis hakim PT DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding Pinangki. Majelis
hakim memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara dengan
peritmbangan-pertimbangan yang dinilai tidak masuk akal diantaranya, karena Pinangki
merupakan ibu dari anak balita berusia 4 tahun. Selain itu, majelis hakim mempertimbangkan
Pinangki sebagai perempuan yang harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan
adil.
Padahal banyak kasus tindak pidana yang melibatkan seorang ibu yang mempunyai
anak usia balita, namun hal tersebut tidak menjadi pertimbangan majelis hakim dalam
memutus perkara yang melibatkan ibu tersebut. Jauh berbeda dengan perlakuan yang
diberikan kepada Jaksa Pinangki.
Sebenarnya, masih banyak kasus tindak pidana lain yang putusannya melukai rasa
keadilan rakyat Indonesia, seperti kasus korupsi bansos di masa pandemi yang mana
terdakwanya Juliari Batubara divonis ringan 12 tahun penjara dengan pertimbangan terdakwa
telah menerima hinaan dan cercaan. Masih banyak lagi putusan-putusan pengadilan di
Indonesia yang tidak sesuai sebagaimana mestinya.
Seluruh putusan-putusan janggal ini merupakan bentuk tidaktegasan aparat penegak
hukum kita dan berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada sistem
peradilan yang ada di Indonesia. Menurut saya, pada dasarnya sistem peradilan di Indonesia
sudah baik, namun satu hal yang menjadi poin penting dalam penegakan hukum di Indonesia
adalah aparat penegak hukumnya. Apabila penegak hukum di Indonesia menegakkan hukum
atau memberi putusan terhadap suatu kasus tidak secara objektif melainkan subjektif maka
bisa dipastikan keadilan di negeri ini akan semakin tergerus dan sulit didapatkan oleh rakyat
Indonesia.
Solusi yang ditawarkan adalah mulai dari tenaga pendidik di tingkat perguruan tinggi
untuk bagaimana bisa membimbimbing mahasiswanya, khususnya mahasiswa hukum yang
nantinya akan terjun ke dunia peradilan. Para tenaga pendidik harus bisa mendidik dan
membantu mahasiswanya untuk menumbuhkan sifat-sifat jujur dan adil yang akan sangat
dibutuhkan apabila mereka sudah terjun di dunia peradilan.
Juga Komisi Yudisial harus berperan penting dalam menindak para hakim yang
diketahui melanggar kode etik kehakiman sebagaimana yang tercantum dalam misi Komisi
Yudisial yaitu menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim secara adil, objektif,
transparan, partisipatif dan akuntabel. Juga misinya meningkatkan kepercayaan publik
terhadap hakim. Karena menurut saya salah satu muara dari bersihnya sistem peradilan di
Indonesia adalah hakim itu sendiri. Jika hakimnya sudah bersih, jujur dan adil maka harapan
untuk terwujudnya sistem peradilan yang baik dan bersih di Indonesia itu masih ada.

Anda mungkin juga menyukai