Anda di halaman 1dari 57

PROPOSAL PENELITIAN

JUDUL:

“TINJAUAN KRIMINOLIS TENTANG PENYALAHGUNAAN SENJATA


TAJAM DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG”

PENELITI:

ILHAM SYAHRUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2021
ix
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan kemajuan zaman, prilaku manusia didalam masyarakat pun

ikut berkembang. Prilaku masyarakat apabila ditinjau dari segi hukum tentunya

ada prilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada juga yang

tidak sesuai dengan norma yang berlaku.

Berdasarkan fakta sosial yang belakangan ini terjadi didalam kehidupan

bermasyarakat, bukan hanya orang dewasa yang melanggar norma-norma yang

berlaku, tetapi juga anak-anak yang terjabak melanggar norma hukum, dimana

anak dihadapkan dengan permasalahan melakukan tindak pidana.

Salah satu masalah yang memprihatinkan adalah masalah penyalahgunaan

senjata tajam yang sering terjadi dalam masyarakat. Senjata tajam adalah alat

yang ditajamkan dan digunakan langsung untuk melukai tubuh lawan. Pada

umumnya senjata tajam juga dapat membantu kehidupan sehari-hari, namun

Penyalahgunaan senjata tajam ini dapat menimbulkan berbagai tindak pidana

yaitu pengancaman, penganiayaan, pencurian dengan pemberatan, bahkan dengan

pembunuhan dan masih banyak lagi jenis tindak pidana yang akan ditimbulkan

dengan adanya penggunaan senjata tajam ini sehingga dapat meresahkan

masyarakat. Hal ini akan menimbulkan akibat yang parah bagi korbannya, dimana

kejahatan dengan penggunaan senjata tajam ini tidak jarang menimbulkan luka-

luka berat bahkan kematian bagi seseorang.

1
2

Berbicara mengenai senjata, kita akan berfikir tentang benda atau yang

digunakan untuk mempertahankan diri atau menyerang pihak lain. Benda alat

yang dapat difungsikan sebagai senjata tapi tidak digunakan sebagai alat untuk

pertahankan diri atau menyerang orang lain. Maka benda itu bermakna sebagai

fungsi utamanya. Misalnya, pisau, gunting, kapak, parang/golok fungsi utamanya

sebagai alat pemotong atau alat yang bisa digunakan dalam pertanian. Namun jika

benda-benda tersebut digunakan untuk menyerang orang lain maka benda tersebut

berubah fungsi, benga tersebut akan disebut sebagai senjata. Sama halnya dengan

pistol milik polisi, senapan, dan samurai. Benda-benda tersebut adalah benda atau

alat yang digunakan untuk mempertahankan diri dan untuk keperluan menyerang.

Jadi semua benda-benda atau alat-alat yang digunakan untuk menyerang pihak

lain

Di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan persebaran senjata tajam

dikalangan masyarakat adalah sebuah hal yang biasa. Kebiasaan membawa

senjata tajam bukan merupakan hal yang tabu melainnkan sebuah kebiasaan.

Tidak tertatanya pengawasan kepemilikan senjata baik legal maupun illegal yang

dimiliki masyarakat umum, aparat kepolisian dan TNI, merupakan salah satu

timbulnya kejahatan-kejahatan dengan penyalahgunaan senjata tajam di

Indonesia.

Sehingga pada masa sekarang perbuatan perbuatan tindak pidana semakin

banyak terjadi, yang pelakunya bukan hanya orang dewasa namun banyak anak

yang saat ini sudah bahkan sering melakukan kejahatan tanpa memikirkan akibat

yang akan ditimbulkan dari perbuatannya tersebut.


Istilah Hukum identic dengan istilah law dalam bahasa Inggris,droit dalam

bahasa Prancis, recht dalam bahasa Jerman, recht dalam bahasa Belanda, atau

dirito dalam bahasa Italia. Hukum dalam artian luas dapat disamakan dengan

aturan, kaidah, norma, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang harus ditaati dalam

kehidupan bermasyarakat dan dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi.

Berdasarkan Undang-undang Drt. Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951

tentang Senjata Api dan Bahan peledak (LN. Tahun 1951 Nomor 78) dijelaskan

mengenai pengertian senjata tajam dalam Pasal 2, yaitu:

(1) Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat,

menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,

menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam

miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau

mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau

senjata penusuk (slag, steek of stoot wapen), dihukum dengan hukuman penjara

setinggi-tingginya sepuluh tahun.

(2) Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk

dalam Pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyatanyata dimaksudkan

untuk dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaaan-pekerjaan rumah

tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau yang nyata-

nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang

ajaib (merkwaardigheid)
Menurut penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Drt. Republik Indonesia Nomor

12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (LN. Tahun 1951 Nomor

78) tersebut diatas penggunaan senjata tajam yang dibenarkan adalah senjata

tajam yang digunakan untuk pertanian atau untuk pekerjaan rumah tangga atau

mata pencarian yang tidak bertentangan dengan undangundang yang boleh

digunakan untuk kepentingan sehari-hari. Begitupun dengan barang pusaka atau

barang kuno atau barang ajaib diharuskan dalam mempergunakannya telah

mendapat izin dari kepolisian atau telah didaftarkan ke Kemendikbud sebagai

barang pusaka yang bersertifikat.

Banyaknya kasus kejahatan dewasa ini sangat merisaukan masyarakat, kasus-

kasus seperti pengroyokan dan penusukan atau penikaman yang terlebih bila

pelaku kejahatan menggunakan ancaman kekerasan menggunakan senjata tajam

untuk melukai korbannya. Untuk itu para penegak hukum harus lebih

memperhatikan tentang peredaran senjata tajam agar tidak meresahkan

masyarakat.

Contoh kasus yaitu Seperti yang diberitakan tanggal 16 Agustus 2019,

anggota polres sidrap melakukan teguran kepada pengelolah Tempat Hiburan

malam (THM) pada pukul 03.30 Wita karena melanggar jam oprasional yang di

tentukan yakni pukul 00.00 Wita, namun salah seorang anggota polres Sidrap

menjadi korban pengeroyokan dan penikaman.

Aparat kepolisian merupakan pihak yang langsung berhadapan dengan

pelanggar hukum (penjahat) bila terjadi suatu tindak kejahatan. Kepolisian adalah

profesi yang sangat unik, sehingga untuk merumuskannya secara tuntas adalah
pekerjaan yang tidak mudah. Kepolisian merupakan perpaduan antara kekuatan

dan pelayanan, padahal keduanya merupakan kategori yang berdiri sendiri dan

sering bersebrangan. Kepolisian juga merupakan perpaduan antara kekerasan dan

kelembutan. Polisi adalah penegak hukum yang tugasnya menerapkan hukum

pidana. Tugas polisi meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

pelindung, pengayom dan pelayan terhadap masyarakat.

Sehubungan dengan penjelasan diatas, Allah SWT, berfirman dalam Q.S Al-

Mu’min, ayat (40)

َٰ
‫ى وه ْ ؤ ل ِئك‬O> َٰٰ ‫ِل من أُ ْنث‬ ‫َل ي جز َّال مْثها و‬ ً‫من ع ِمل ة‬
‫من ِمل‬
‫حا ذ ك ٍر أ ْو و ِم ن ف أُو‬ ‫ل‬ ‫ى‬ ِ‫س‬
‫م‬ ‫صا‬ ‫ع‬ ‫يئ‬

‫حساب‬ ‫ْدخلُو ن‬
ْ ‫ي زقُو يه‬
‫ْر ن ا ي‬ ‫ا ْل‬
‫ِر‬ ‫جناة‬

“Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi

melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan Barangsiapa mengerjakan amal

yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman,

Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab”.

Berdasarkan urain diatas, maka penulis tertarik mengkaji dan menganalisis lebih

dalam penerapan hukum tentang tindak pidana kepemilikan senjata tajam oleh

anak dengan mengankat judul “Tinjauan Kriminologi Tentantang

Penyalahgunaan Senjata Tajam Di Kabupaten Sidenreng Rappang (Study di

POLRES SIDRAP)”
2. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan permasalahan yang berkaitan dengan masalah

penyalahgunaan senjata tajam, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Faktor apakah yang menyebabkan penyalahgunaan senjata tajam di kabupaten

Sidenreng Rappang?

2. Apakah upaya yang dilakukan oleh Polres Sidrap untuk mengatasi

penyalahgunaan senjata tajam di kabupaten Sidenreng Rappang?

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai, adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor yang menyebabkan

penyalahgunaan senjata tajam di Kabupaten Sidenreng Rappang.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya penanggulangan terhadap

penyalahgunaan senjata tajam di kabupaten Sidenreng Rappang

4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Manfaat Teori

Dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya,

khususnya bagi yang meneliti masalah tindak pidana penyalahgunaan

senjata tajam pada masa yang akan datang.


b. Manfaat Praktis

Diharapkan menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah kabupaten

Sidenreng Rappang dalam kaitannya dengan upaya untuk menekan untuk

terjadinya tindak pidana penyalahgunaan senjata tajam.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kriminologi

1.1 Pengertian Kriminologi

Kriminologi mempunyai topik dengan sejarah yang rumit dan serangkaian

argument polemik tentang pokok bahasa dasarnya Nur Fadhilah Mappaselleng

(2017:1) kata kriminologi berasal dari bahasa latin crimen yang berarti kejahatan

atau penjahat dalam bahasa yunani logos yang berarti ilmu pengetahuan. Secara

umum, definisi yang paling sederhana adalah kriminologi sebagai studi ilmiah

tentang kejahatan dan kriminologi pelanggaran.Namun mengenai kejahatan serta

faktor-faktor penyebabnya, kriminologi cenderung mempertanyakan sesuatu yang

bersifat common sense. Sebagaimana digambarkan oleh Becker (Nur Fadhila

Mappaselleng, 2017:1) common sense, dalam salah satu maknanya, bisa menipu

seseorang. Hal ini disebabkan karena adanya kebijaksanaan suku tradisional,

dengan kata lain apa yang semua orang tahu dan anak-anak belajar saat mereka

tumbuh dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam memberikan pengertian dari suatu ilmu pengetahuan tentunya bukan

hal yang mudah. Kriminologi adalah ilmu yang diterapkan kriminolog di mana

berusaha untuk membangun pengetahuan tentang kejahatan dan pengendaliannya

melalui penelitian empiris. Nur Fadhilah Mappaselleng (2017:1).

8
9

Perspektif legalistik kemudian didefinisikan oleh Herman Mannheim

(1965:3) kriminologi sebagai studi tentang kejahatan. Kejahatan secara hukum

diartikan sebagai perilaku manusia yang dapat dihukum oleh hukum pidana.

Kriminolog Belanda Hoefnagels (Nur Fadhila Mappaselleng, 2017:2)

berpendapat kriminologi adalah ilmu yang terkait dengan norma hukum yang

mempelajari kejahatan dan proses formal dan informal, kriminalisasi dan

dekriminalisasi, situasi pelanggaran hukum pelaku, penyebab dan hubungan antar

penyebab, reaksi dan respon formal dan informal, pejahat, masyarakat dan orang

lain selain pelaku.

Menurut Walklate (2007:14) ciri-ciri dari kriminologi adalah sebagai berikut :

1) Sebagai sebuah disiplin ilmu yang memusatkan perhatian kepada

kejahatan;

2) Memilii karesteristik multidisiplin daripada didominasi oleh salah satu

disiplin;

3) Para kriminolog sering kali tidak setuju satu sama lain;

4) Meskipun ada perselisihan semacam itu, dapat dikatakan bahwa ada

beberapa konsensus seputar beberapa ciri dari apa yang merupakan

masalah kejahatan, walaupun kesepakatannya lebih sedikit tentang

bagaimana memecahkan masalah itu;

5) Meskipun demikian, kriminologi secara historis berkepentingan untuk

menawarkan beberapa bentuk investasi dalam proses pembuatan

kebijakan;
6) Keistimewaan kriminologi ini terkadang sesuai dengan pemikiran

umum (akal sehat) tentang kejahatan dan terkadang menantang

pemikiran semacam itu. Ketegangan semacam itu merupakan

tantangan abadi bagi disiplin; dan

7) Perdebatan ini terjadi di masyarakat modrn akhir yang semakin

disibukkan dengan kejahatan, risiko dan ketidakamanan.

Abdussalam,H.R (2007:5) Selanjutnya Paul Moedigdo mengemukakan

bahwa:

“Pelaku kejahatan mempunyai andil terjadinya suatu kejahatan, karena

terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang di tentang oleh

masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk melakukan

perbuatan yang di tentang oleh masyarakat”

1.2. Kejahatan Dalam Kriminologi

Muhammad Mustofa (2005:47) Kejahatan dalam kehidupan bermasyarakat

ada berbagai macam jenisnya tergantung pada sasaran kejahatannya. Sebagaimana

dikemukakan oleh Mustofa bahwa jenis kejahatan menurut sasaran kejahatannya,

yaitu kejahatan terhadap badan (pembunuhan, perkosaan, penganiayaan),

kejahatan terhadap harta benda (perampokan, pencurian, penipuan), kejahatan

terhadap ketertiban umum (pemabukan, perjudian), kejahatan terhadap keamanan

negara. Sebagian kecil dari bertambahnya kejahatan dalam masyarakat disebabkan

karena beberapa faktor luar, sebagian besar disebabkan karena ketidakmampuan


dan tidak adanya keinginan dari orang-orang dalam masyarakat untuk

menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Kehadiran kriminologi sebagai suatu ilmu menimbulkan pertanyaan penting

yang belum terjawab “apa itu kejahatan?”. Pada awalnya hal ini tampak seperti

pertanyaan sederhana, namun kenyataan lebih kompleks dari pada apa yang dapat

dipikirkan. Salah satu poin utama yang harus dipertimbangkan yaitu bahwa

kejahatan itu tidak statis atau tetap, melainkan berubah-ubah. Apa yang dahulu

tidak di anggap sebagai kejahatan, bisa jadi saat ini sudah dipandang sebagai

kejahatan, Nur Fadhilah Mappaselleng (2017:9). Begitu pula sabaliknya,

perbuatan illegal dapat menjadi legal. Kejahatan juga berbeda dari aspek

geografis. Asumsi mengenai kejahatan di satu negara mungking berbeda dengan

negara lain.

Kata-kata seperti kejahatan, pembunuhan, bunuh diri atau kekerasan sering

digunakan oleh orang-orang seolah-olah maknanya sangat jelas dan dapat di

terapkan dengan muda pada beberapa fakta atau aktivitas sederhana. Bagi banyak

orang yang bukan kriminolog, gagasan tentang kejahatan mengking sangat jelas

sehingga mereka tidak berafikir dua kali tentang itu. Lagi pula, korban, berita di

televisi dan film Hollywood memperjelas kejahatan apa. Jadi mengapa repot-repot

mendefinisikannya atau memikirkannya? Oleh karena itu tidak ada definisi

universal atau disepakati mengenai. Artinya, hal yang berbeda untuk orang yang

berbeda. Defenisi yang dikonsepsikan oleh kriminolog sangat bervariasi. Tidak

ada jawaban yang sederhana untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang
merupakan kejahatan. Sebaliknya atau berbagai perpektif yang berbeda mengenai

kajahatan yang dapat menjadi fokus kriminologi (Watts dkk, 2008:14).

Michael & Adler (1993:2). Definisi kejahatan yang paling tepat adalah

mendefinisikan sebagai prilaku yang dilarang oleh hukum pidana. Pernyataan

tersebut merupakan titik awal yang baik untuk mempertimbangkan bagaimana

mendefinisikan kejahatan karena sifatnya yang legalistik

Kartini Kartono (2005:125) Kejahatan bukan merupakan peristiwa hereditas

(bawaan sejak lahir, warisan), juga bukan merupakan warisan biologis. Tindak

kejahatan bisa dilakukan siapapun, baik wanita maupun pria, dengan tingkat

pendidikan yang berbeda. Tindak kejahatan bisa dilakukan secara sadar yaitu

difikirkan, direncanakan dan diarahkan pada maksud tertentu secara sadar benar.

Kejahatan merupakan suatu konsepsi yang bersifat abstrak, dimana kejahatan

tidak dapat diraba dan dilihat kecuali akibatnya saja.

Perspektif legalistik kemudian telah menjadi definisi yang diterima.

Setidaknya Blackstone pada tahun 1760-an berkata bahwa sebuah kejahatan

adalah baik itu tindakan aktif maupun pasif yang melanggar hukum, apakah itu

perintah maupun larangan (Morrison dkk,1995:6).

Disatu sisi perspektif dari Blackstone mengurangi masalah kriminologi

menjadi bagian dari tindakan atau tindakan yang dilarang oleh hukum pidana,

yang terdiri dari tindakan yang berhasil diproses oleh disistem peradilan pidana

dan diputus bersalah oleh pengadilan. Akan tetapi, disisi lain definisi tersebut

dipandang sangat dekat dan kaku. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sejak abat
ke-18, definisi mengenai kejahatan telah merujuk kepada tindakan yang dilarang,

dituntut dan dihukum oleh hukum pidana, sehingga kriminologi bertindak seolah-

olah perdebatan mengenai kejahatan diselesaikan dengan berpihak kepada definisi

legal (Henry & Lanier,2010:25 ).

Meskipun banyak kriminologi yang mendukung pandangan ini, Sellin

lebih melihat kejahatan sebagai fenomena sosial yang melibatkan masyarakat ke

dalam integrasi konfleks. Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang yang

menggunakan pendekatan ilmia tidak dapat dipaksa untuk mengikuti aturan

hukum. Sallin mengatakan bahwa kriminolog seharusnya memiliki kebebasan

untuk mendefinisikan istilahnya sendiri (Treadweel, 2006:9). Sellin percaya

bahwa komponen intinya dalam kejahatan adalah konflik antar budaya. Kejahatan

lebih kompleks dari pada sekedar melanggar hukum pidana. Munculnya kajahatan

atau dasar kepentingan yang bersaing antar kelompok dimasyarakat. Dienstein

melengkapi penjelasan dari Sellin bahwa kejahatan kemudian didefinisikan oleh

masyarakat, terjadi dalam masyarakat dan dilakukan oleh anggota masyarakat

(Cord & Laub, 1995:84).

Berdasarkan pembahasan diatas, jells bahwa hanya ada sedikit

kesepakatan antara kriminolog tentang apa yang dimaksud dengan kejahatan. Satu

konsepsi kejahatan yang sangat berguna diberikan oleh kriminolog Kanada

Hagan. Dalam pengertiannya tentang kejahatan, Hagan memperkenalkan apa yang

disebut ‘variabel berkelanjutan’, bahwa aturan melanggar berkisar dari

penyimpangan kecil mulai dari standar prilaku yang dapat diterima, misalnya

seperti mengemis dijalan maupun mabuk ditempat umum hingga tindakan yang
sangat ofensif yang melibatkan bahwa yang cukup serius, seperti terorisme atau

pembunuhan massal. Definisinya mencakup tiga ukuran yang sangat penting,

masing-masing mulai dari yang rendah dan lemah hingga tinggi dan kuat.

Hagan mengintegrasikan tiga dimensi dalam teori Pyramid Of Crime. Pada

dimensi consensus adalah tingkat kesepakatan didalam masyarakat tentang

kelalaian suatu tindakan. Pada dimensi respon masyarakat adalah tingkat

keparahan hukuman yang timbul sebagai tanggapan atas tindakan tersebut.

Akhirnya pada dimensi keseriusan adalah evaluasi sosial atas dampak yang

ditimbulkan oleh tindakan terhadap orang lain. Seperti terorisme atau

pembunuhan yang pada puncaknya sampai kejahatan tanpa korban (Nur Fadhilah

Mappaselleng, 2017:12).

Meskipun teori dari Hagan cukup refresetatif namun masih terdapat

beberapa kelemahan bahwa Pyramid Of Crime mengabaikan kesadaran bahwa

seorang seorang telah menjadi korban. Untuk mengatasi hal tersebut, Henry dan

Lanier (2010:.43) mendesain ulang struktur visual dari penggambaran kejahatan

tersebut dengan memberikan konsep yang di namakan Crime Prism.

Dalam skema tersebut terdapat piramida terbalik di bawah piramida

pertama. Piramida teratas mewakili kejahatan yang sangat terlihat yang biasanya

merupakan kejahatan orang-orang yang tidak berdaya yang dilakukan didepan

umum. Contohnya seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, dan sebagainya.

Pada bagian bawah yaitu piramida terbalik menunjukan jenis kejahatan yang

relative tidak terlihat. Yang termasuk didalamnya berbagai kejahatan oleh pihak

yang kuat seperti pelanggaran oleh pejabat pemerintah, perusahaan ,dan


organisasi. Selain itu dapat pula termaksuk kejahatan yang dilakukan melalui

pekerjaan seperti penipuan dan penggelapan, bahkan kejahatan seperti kekerasan

dalam rumah tangga termasuk didalamnya (Nur Fadhilah Mappaselleng, 2017:12-

13).

Braitwaite menyatakan bahwa ada 13 fakta tentang kejahatan yang perlu

dijelaskan kriminologi, pengetahuan ‘akal sehat’ yang kadang-kadang dapat gagal

untuk diapresiasi (Walklate, 2007:8).

a. Kejahatan dilakuakan secara tidak propesional oleh laki-laki;

b. Kejahatan dilakuakan secara tidak propesional pada usia 15-25 tahun;

c. Kejahatan dilakuakan secara tidak propesional oleh orang yang belum

menikah;

d. Kejahatan dilakuakan secara tidak propesional oleh orang-orang yang

tinggal dikota besar;

e. Kejahatan dilakuakan secara tidak propesional oleh orang-orang yang telah

mengalami mobilitas hunian tinggi dan tinggal di daerah yang ditandai

dengan mobilitas hunian yang tinggi;

f. Pemuda yang sangat terikat dengan sekolah mereka cenderung tidak

melakukan kejahatan;

g. Pemuda yang memiliki anspirasi pendidikan dan pekerjaan tinggi cenderung

tidak terlibat dalam kejahatan;

h. Pemuda yang kurang berprestasi lebih cendrung melakuakan kajahatan;


i. Pemuda yang sangat terikat dengan orang tua mereka tidak cendrung

melakukan kejahatan;

j. Pemuda yang memiliki pertemanan dengan penjahat cendrung melakuakan

kejahatan sendiri;

k. Orang yang tidak mematuhi hukum cendrung melaggar undang-undang;

l. Untuk pria dan wanita yang berbeda didasar struktur kelas, baik status sosial

ekonomi pribadi, status sosial ekonomi wilayah tempat tinggal, menganggur

atau memiliki minoritas ras yang tertindas akan meningkatkan tingkat

pelanggaran terhadap semua jenis kejahatan. Terlepas dari peluang yang

secara sistematis yang kurang tersedia bagi asyarakat miskin; dan

m. Tingkat kejahatan telah meningkat sejak perang dunia kedua disebagian

besar Negara, dikembangkan dan berkembang. Satu-satunya kasus sebuah

negara yang telah terbukti jelas memiliki tingkat kejahatan menurut dalam

priode ini adalah jepang.

Sutherland & Cressey (1978:13) mengatakan bahwa idealnya suatu prilaku

tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan kecuali kalau sekurang-kurangnya

memenuhi tujuh kriteria antara lain:

a. Sebelum prilaku dapat dikatakan kejahatan, harus ada konsekuensi eksternal

tertentu yang memiliki sifat berbahaya. Prilaku pencurian dan perampasan

dikategorikan sebagai kejahatan apabila berdampak kepada kepentingan

sosial. Jika seseorang memutuskan untuk melakukan kejahatan tetapi

berubah pikiran sebelum dia bertindak, maka tidak ada kejahatan;


b. Prilaku yang membahayakan tersebut harus dilarang oleh undang-undang.

Artinya adalah apa yang tertera dalam undang-undang harus terlebih dahulu

ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Perbuatan antisosial, tidak

bermoral, ataupun yang dapat dicela tidak termasuk kejahatan apabila tidak

diatur dalam undang-undang. Asas hukum pidana bersifat non retroaktif,

artinya undang-undang tidak berlaku surut;

c. Harus ada perbuatan. Perbuatan yang dimaksud disini bisa perbuatan aktif

(commission) maupun perbuatan pasif (omission);

d. Unsur ‘dengan sengaja’ atau mensrea harus terpenuhi;

e. harus ada hubungan antara perbuatan dan mens rea;

f. harus ada kausalitas antar sebab dan akibat ; dan

g. harus ada hukuman yang ditentukan.

Yermil Anwar Adang (2010:179) Sutherland juga mengungkapkan tentang

kejahatan, menurutnya kejahatan memiliki arti suatu perilaku yang dilarang oleh

Negara karena merugikan terhadapnya, Negara bereaksi dengan hukuman sebagai

upaya untuk mencegah dan memberantasnya.

1.3. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsurnya.

Tindak Pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang

dikenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang–Undang

Hukum Pidana) dengan perbuatanpidana atau peristiwa pidana. Kata Strafbar feit

inilah yang melahirkan berbagai istilah yang berbeda–beda dari kalangan ahli
hukum sesuaidengan sudut pandang yang berbeda pula. Ada yang menerjemahkan

dengan perbuatan pidana, tindak pidana dan sebagainya. Pengertian secara

etimologi ini menunjukan bahwa tindak pidana adalah perbuatan kriminal,yakni

perbuatan yang diancam dengan hukuman. Dalam pengertian ilmuhukum, tindak

pidana dikenal dengan istilah crime dan criminal.

Suatu Strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidaklain daripada suatu tindakan

yang menurut sesuatu rumusan undan-gundang telah dinyatakan sebagai tindakan

yang dapat dihukum.Vos merumuskan bahwa Strafbaar feit adalah suatu kelakuan

manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang–undangan. Tindak

pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana

merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah

laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang siapa melanggarnya

maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban

tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam

undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah (P.A.F. Lamintang

1996:7).

P.A.F. Lamintang (1996:9)Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau

tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku

adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum


Andi Hamzah (2001:22) Kelakuan manusia yang melanggar hukum

dirumuskan didalam undang-undang,melawan hukum, yang patut dipidana.

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi

pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung

jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya,tapi sebelum itu

mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan

pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang

menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana

jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini

lebih dikenal dalambahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia

lege.

Asas legalitas ini mengandung tiga pengertian yaitu:

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau

halitu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-

undang.

2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh

digunakananalogi.

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.


Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini. Bambang Poernomo

(1992:30), berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih

lengkap apabila tersusun sebagai berikut:

“Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan

hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa

yang melanggar larangan tersebut”.

Perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana”

dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal

kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.

Wiryono Prodjodikoro (2003:79) Adapun istilah – istilah tindak pidana yang

ada dalam hukum pidana Indonesia memiliki arti yang cukup abstrak dalam

menunjukan suatu perbuatan seseorang, seperti menurut Wiryono Prodjodikoro

yang menyatakan bahwa :

“Istilah tindak pidana ini timbul dan berkembang dari pihak Kementrian

Kehakiman yang sering dipakai dalam perundang-undangan meskipun

lebih pendek dari pada perbuatan, akan tetapi tindak pidana menunjukkan

kata yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menunjukkan hal yang

konkrit.”

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang

masuk dalam kejahatan, dan Buku III KUHP memuat pelanggaran.Dari rumusan

tindak pidana dalam KUHP, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:
1. Unsur tingkah laku;

2. Unsur melawan hukum;

3. Unsur kesalahan;

4. Unsur akibat konstitutif;

5. Unsur keadaan menyertai;

6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

7. Unsur tambahan untuk memperberat pidana;

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana

9. Unsur objek hukum tindak pidana;

10. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;

11. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana;

Dari 11 (sebelas) unsur itu, di antaranya dua unsur, yakni kesalahan dan

melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa

unsur objektif. Unsur yang bersifat objektif adalah semua unsuryang berada diluar

keadaan batin manusia, yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat

perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat pada perbuatan dan objek

tindak pidana. Sementara itu, unsur yang bersifat subjektif adalah semua unsur

yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya. jenis tindak

pidana dibedakan berdasarkan dasar-dasar tertentu, yaitu:

1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven)

dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen)dimuat dalam

buku III;
2. Menurut cara merumuskan, dibedakan antara tindak pidana formil

(formeeldelicten)dan tindak pidana (materieel delicten);

3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana

sengaja(doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja

(culpose delicten);

4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak

pidanaaktif atau positif dapat juga disebut tindak pidana komisi

(delictaommissionis);

5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan

antaratindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam

waktu lamaatau berlangsung lama atau berlangsung terus;

6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum

dantindak pidana khusus;

7. Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak

pidanacommunia (delicta communia), yang dapat dilakukan oleh

siapa saja), dantindak pidana propria (dapat dialkukan hanya oleh

orang memiliki kualitaspribadi tertentu)

8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan,maka

dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten)

9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan,

makadapatdibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (envoudige

delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan

tindak pidana aduan(klacht delicten)


10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana

tidakterbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang

dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap

harta benda, tindakpidana pemalsuan dan lain sebagainya;

11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,

dibedakantindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak

pidana berantai(samengestelde delicten).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa jenis tindak pidana terdiri

dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran,tindak pidana formil

dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dantindak pidana tidak sengaja

serta tindak pidana aktif dan pasif.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan, kata pidana berarti hukuman

kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan lain sebagainya. Pidana

juga berarti hukuman. Oleh karena itu, kata mempidana berarti menuntut

berdasarkan hukum pidana, menghukum seseorang karena melakukan tindak

pidana. Dipidana berarti dituntut berdasarkan hukumpidana, dihukum berdasarkan

hukum pidana, sehingga terpidana berartiorang yang dkenai hukuman.

Beberapa istilah yang dapat digunakan untuk tindak pidana, antara lain delict

(delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbutan pidana,perbuatan yang boleh

dihukum, pelanggaran pidana, criminal act dansebagainya. Tindak pidana berarti

suatu perbuatan yang pelakunya dapatdikenakan hukuman pidana.


P.A.F Lamintang (1997:34) Arti delik diberi batasan yaitu : “perbuatan yang

dapat dikenakan hukum karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang;

tindak pidana”. Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai

pengertian strafbaar feit, antara lain sebagai berikut:

1. Simons, memberi batasan pengertian strafbaar feit adalah suatu tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang

dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undangundang

telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

2. Pompe, strafbaar feit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan

terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja

telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap

pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.

3. Hasewinkel Suringa, strafbaar feit yang bersifat umum yakni suatu

perilaku manumur yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu

pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan

oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana- sarana yang bersifat

memaksa yang terdapat didalam undang-undang.

Tri Andrisman (2009:70) Beberapa pendapat pakar hukum Indonesia

mengenai Strafbaar feit, antara lain sebagai berikut:

1. Bambang Poernomo, menyatakan bahwa strafbaar feit adalah hukum

sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang

membedakan dengan lapangan hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana
sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada

lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan

ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana.

2. Roeslan Saleh, mengartikan istilah strafbaar feit sebagai suatu

perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketentuan yang dikehendaki oleh

hukum, dimana syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan

bahwa ada aturan yang melarang.

3. Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan

pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu suatu

aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

Peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian

perbuatanmanusia, yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan

perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan

penghukuman.

Peristiwa pidana itu mempunyai syarat-syarat, yaitu:

a. Harus ada suatu perbuatan manusia.

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam

ketentuan hukum.

c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu

orangnya harus dapat dipertanggungjawabakan.

d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.


e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannyadalam

undang-undang.

Istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum, larangan yang juga disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu

bagi siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan pidana

adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana,

larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian

yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan

kepada orang yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno, 1985:37).

Lebih lanjut Moeljatno menjelaskan antara larangan dan ancaman pidana ada

hubungan erat, karena itu antara kejadian dan orang yangmenimbulkan kejadian

itu harus ada hubungan yang erat pula, yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang

lain. Suatu kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkannya bukanlah

orang. Seseorang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang

ditimbulkan olehnya.Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka

dipakaikanlah perkataan perbuatan, yaitu pengertian abstrak yang menunjukan

kepada dua keadaan kongkrit yaitu adanya kejadian yang tertentu dan adanya

orang yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno, 1985:37).

Dari pengertian ini, maka menurut, (Moeljatno, 1985:38) setidaknya

terdapat 5 (lima) pembatasan unsur perbuatan pidana, yaitu :

1. kelakuan dan akibat.

2. Ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,


3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana,

4. Unsur melawan hukum yang objektif,

5. Unsur melawan hukum yang objektif,.

Pembatasan unsur-unsur perbuatan pidana ini merupakan langkah

limitativeguna memperoleh kejelasan tentang pengertian perbuatan pidana. Hal

inipenting mengingat perbuatan pidana akan berkaitan secara langsungdengan

pertanggungjawaban pidana (criminal liability).

Jika orang telah melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat dijatuhi

pidana sebab masih harus dilihat apakah orang tersebut dapat disalahkan atas

perbuatan yang telah dilakukannya sehingga orang tersebut dapat dipertanggung

jawabkan dalam hukum pidana. Oleh karena itu, orang yang telah melakukan

perbuatan pidana tanpa adanya kesalahan, maka orang tersebut tidak dapat

dipidana, sesuai dengan asas hukum yang tidak tertulis, geen straf zonder schuld,

yaitu tidak ada pidana tanpa adanya kesalahan

2. Senjata Tajam

2.1 Pengertian Senjata Tajam

Senjata adalah suatu alat yang digunakan untuk melukai, membunuh, atau

menghancurkan suatu benda. Senjata dapat digunakan untuk menyerang ataupun

untuk mempertahankan diri, dan juga untuk mengancam dan melindungi. Apapun

yang dapat digunakan merusak (bahkan psikologi dan tubuh manusia) dapat

dikatakan senjata. Senjata bisa sederhana seperti pentungan, dan peluru. Senjata

tajam alat yang tajam digunakan langsung untuk melukai lawan.


Sehubungan tidak diaturnya pengertian senjata tajam secara jelas oleh

undang-undang, maka pakar telah mencoba memberikan penjelasan mengenai

pengertian senjata tajam tersebut.

H.D Mangemba memberikan penjelasan dengan menyatakan bahwa :


“ senjata tajam merupakan alat yang permukaannya dan tidak dipergunakan

sebagai alat dapur atau alat pekerjaan lainnya. Sejak dahulu kala tidak ada

larangan membawa senjata tajam (badik, kris, tombak) bagi orang-orang

Sulawesi-Selatan khususnya kaum pria. Tujuannya adalah sebagai perhiasan

atau menjaga dirinya maupun keluarganya dan tidak digunakan untuk

menganiaaya ataupun membunuh”

Selanjutnya H. D Mangemba menjelaskan bahwa :

“kebiasaan membawa senjata tajam untuk saat sekarang ini sudah

disalahgunakan, sehingga sering terjadi pembunuhan dan penganiayaan

ataupun pengancaman dengan menggunakan senjata tajam. Untuk saat ini

membawa badik atau keris tidak boleh lagi dijadikan kebiasaan”

M Nasir Said menjelaskan bahwa:

“senjata tajam yaitu alat yang bentuknya tajam tapi bukan digunakan untuk

perang atau digunakan utuk membunuh seperti badik dan keris”

Lebih lanjut lagi M Nasir Said menjelaskan bahwa :

“ada tiga fungsi atau makna senjata tajam, bila ditinjau dari budaya

Sulawesi-Selatan, yaitu sebagai berikut:

a. Berfungsi proketektif yaitu berarti bahwa senjata tajam tersebut dapat

digunakan sebagai perlindungan atau penyelamatan baik bagi diri

sendiri pribadi, maupun terhadap keluarga.


b. Berfungsi produktif yaitu bahwa senjata tajam tersebut digunakan

sebagai usaha untuk mendatangkan hasil baik bagi diri sendiri pribadi,

maupun terhadap keluarga.

c. Berfungsi sebagai deskruktif, yang berarti dapat digunakan sebagai

alat pembelaan untuk kehormatan dan harga diri, baik bagi diri sendiri

pribadi, maupun terhadap keluarga.

Selain dari pengertian senjata tajam yang ditemukan oleh beberapa pakar

diatas, pengertian senjata tajam ditemukan di dalam kamus bahasa Indonesia (W.

J. S Poerwadarminta) memberikan penjelasan bahwa :

“senjata tajam adalah senjata yang bermata tajam seperti golok, pedang dan

sebagainya”

Undang-undang Darurat No. 12 tahun 1951 yang selain memgatur tentang

senjata api dan bahan peledak juga mengatur tentang senjata tajam namun

Undang-Unndang tersebut tidak sebutkan secara terperinci jenis-jenis senjata

tajam apa yang dinlarang Tetapi bisa diambil pengertian bahwa yang dimaksud

senjata adalah alat yang digunakan untuk mempertahankan diri, menyerang, juga

untuk mengancam serta melukai seseorang. Senjata tajam adalah alat yang

ditajamkan untukdigunakan langsung untuk melukai tubuh lawan.

2.2 Jenis-Jenis Senjata Tajam

2.2.1 Badik Makassar

Badik makassar memiliki Kale (bilah) yang pipih, Battang (perut) buncit

dan tajam serta Cappa (ujung) yang runcing. badik yang berbentuk seperti ini

disebut badik sari. badik sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa

kale (tubuh badik) dan banoang (sarung Badik). lain makassar lain pula bugis,
di daerah ini badik di sebut dengan kawali, seperti kawali raja (bone) dan

kawali rangkong (luwu).

2.2.2 Badik Bugis Luwu

Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan

bentuk agak melebar pada bagian ujung, Sedangkan kawali luwu memiliki bessi pipih

dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi

(bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga

dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan

ataupun kesialan. Kawali lamalomo sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif

kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan

bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali lataring tellu yang mempunyai motif berupa tiga

noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya

berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa.

Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di

sektor pertanian.

2.2.3 Celurit

Celurit adalah alat pertanian yang berfungsi sebagai alat potong yang

berbentuk melengkung menyerupai bulan sabit. Meskipun memiliki bentuk

yang sama dengan arit/sabit, clurit lebih mengacu pada senjata tajam

sedangkan arit atau sabit cenderung bersifat sebagai alat pertanian. Clurit

merupakan senjata khas dari suku madura provinsi jawa timur digunakan

sebagai senjata carok. Legenda senjata ini adalah 22 senjata yang biasa

digunakan oleh tokoh yang bernama sakera yang kontra dengan dengan

penjajah belanda. Kini senjata clurit sering digunakan masyarakat madura


untuk carok. Sebelum digunakan clurit di isi dulu dengan asma/khodam dengan

cara melafalkan doa-doa sebelum melakukan carok.

Carok dan celurit tak bisa dipisahkan, carok merupakan symbol kesatria

dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan). Hal ini muncul di kalangan

orang-orang madura sejak zaman penjajahan belanda abad 18. Celurit

digunakan sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah

belanda. sedangkan bagi belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para

jagoan dan penjahat. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan

tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok.

Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. istilahnya, daripada putih mata

lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada

menanggung malu. Penyelesaian dengan cara carok pasti salah satu ada yang

mati. Oleh karena itu walaupun salah satu khasanah budaya rakyat indonesia,

pemerintah tetap menetapkan sebagai pelanggaran hukum.

2.2.4 Parang

Parang adalah senjata tajam yang terbuat dari besi biasa. Bentuknya relatif

sederhana tanpa pernak pernik. Kegunaannya adalah sebagai alat potong atau

alat tebas (terutama selak belukar) kala penggunanya keluar masuk hutan.

Parang juga digunakan untuk pertanian.

2.2.5 Keris

Jenis senjata tajam ini mempunyai fungsi sebagai alat, digunakan sebagai

barang pusaka atau barang kuno/barang gaib. Senjata ini jarang digunakan
untuk melakukan suatu kejahatan, dan hanya digunkan oleh orang-orang

tertentu saja dan pada waktu tertentu, misalnya:

a. Upacara perkawinan

b. Upacara pelantikan raja

c. Pada waktu pengambilan sumpah

2.2.6 Tombak

Tombak dalam bahasa Makassar disebut juga “POKE” adalah senjata

tajam yang bentuknya panjang yang ujungnya runcing dan tajam. Jenis senjata

tajam ini berfungsi sebagai alat untuk melakukan suatu pekerjaan, biasanya

digunakan untuk berburu. Tombak dahulu kala sering digunakan dalam

upacara-upacara adat, namun sekarang tak jarang digunakan melakukan suatu

perbuatan delik.

2.2.7 Busur

Busur adalah jenis senjata tajam yang dibuat dari batang besi atau besi

bekas yang dibuat sebagai senjata. Dan menggunkan ketapel sebagai

pendorong. Di Makassar busur cukup populer dikalangan masayarakat, Karena

mudah dibuat dan harganya pembuatanya juga terbilang cukup murah, maka

dari itu mulai dari kalangan anak-anak sampai orang dewasa mudah untuk

mendapatkanya, dan belakangan ini cukup banyak digunakan sebagai alat

kejahatan maupun sebagai alat perang


3. Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Tajam

Kepemilikan senjata tajam tidak hanya beredar di kalangan masyarakat yang

menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadinya yaitu melakukan kejahatan.

Senjata tajam juga terkadang dimiliki oleh organisasi- organisasi maupun komunitas

yang memanfaatkannya hanya untuk sekedar memiliki tanpa digunakan untuk

melakukan kejahatan. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang –Undang Darurat Nomor 12

tahun 1951 dijelaskan larangan kepemilikan senjata tajam. Dalam pasal tersebut

disebutkan bahwa : “Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia,

membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba

menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau

mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,

mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia suatu senjata pemukul, senjata

penikam, atau senjata penusuk (slag, steek, of stootwapen), dihukum dengan

hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun”.

Adanya peraturan yang mengatur mengenai kepemilikan senjata tajam yang

terdapat dalam Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 membatasi kepemilikan

senjata tajam bagi masyarakat sipil yang tidak memerlukan senjata tajam untuk

kebutuhan sehari-hari. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) undang undang tersebut

diatur pengecualian terhadap pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau

senjata penusuk, yang dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (1). Menurut Pasal 2 ayat (1),

dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk dalam pasal

ini, tidak termasuk : barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk

dipergunakan guna pertanian; barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk

pekerjaan-pekerjaan rumah tangga; barangbarang yang nyata-nyata untuk


kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan barangbarang yang nyata-nyata

mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib

(merkwaardigheid). Pada masa kini sesuai dengan pengamatan penulis, sudah terjadi

pergerseran nilai-nilai dari alat-alat tersebut, pisau, golok, kampak, celurit dari yang

tadinya tools /perkakas pada saat-saat tertentu justru dapat menjadi alat untuk

melukai orang lain.

Kata “nyata-nyata” ini menunjukkan bahwa disimpannya senjata senjata

sedemikian itu menurut pandangan masyarakat umum memang hanya mempunyai

tujuan sebagai barang pusaka, barang kuno, atau barang ajaib. Sebilah pisau dapur,

yang tujuan pembuatannya adalah untuk digunakan dalam proses masak memasak,

tidak termasuk ke dalam senjata pemukul atau penusuk. Juga sebilah keris yang

dibuat pada masa lampau dan sekarang disimpan sebagai barang pusaka atau barang

kuno atau barang ajaib, yaitu dianggap mempunyai kekuatan gaib, tidak termasuk ke

dalam pengertian senjata dalam arti pasal 2 ayat (1) UU No. 12/Drt/1951 (Jeklin

Marsya Langi,2016:128-129).

Pengertian senjata tajam yang dikecualikan tersebut sangat relative, bahkan

senjata tajam yang diperbolehkan digunakan secara bebas juga dapat disalahgunakan

jika senjata tersebut berada di tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1951 menjadi satu-satunya payung hukum yang

mengatur mengenai senjata tajam tentuya menjadi satu-satunya acuan bagi

masyarakat untuk tidak melakukan hal yang tercantum dalam Undnag-Undang

tersebut.
Permasalahan kepemilikan senjata tajam yang terjadi di masyarakat bukanlah

permasalahan yang ringan. Terlebih jika kepemilikan senjata tajam dapat

mengakibatkan kejahatan bagi orang lain. Untuk menghindari adanya kepemilikan

senjata tajam yang digunakan untuk kejahatan, dan untuk melindungi masyarakat

maka dibuatlah Undang-Undang No. 12 Tahun 1951 yang mengatur mengenai

senjata tajam. Dengan adanya Undang-Undang tersebut diharapkan semua pihak

mengerti mengenai kegunaan senjata tajam yang sesungguhnya sehingga tidak terjadi

penyalahgunaan senjata tajam. Dalam Undang-Undang tersebut telah disebutkan

bahwa, siapapun pihak yang memasukkan ke Indonesia, menguasai, membawa, dan

mempunyai senjata tajam yang tidak digunakan untuk keperluan pertanian dan

rumah tangga maupun senjata yang dijadikan sebagai barang pusaka maka akan

dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya 10 tahun. Kepemilikan senjata

tajam tidak dibatasi oleh siapa yang memiliki senjata tajam tersebut, jika senjata

tersebut digunakan untuk suatu hal yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain

maka akan diberikan hukuman. Tidak terkecuali jika senjata tajam tersebut hanya

digunakan sebagai hobi untuk mengoleksi senjata tajam. Aturan mengenai

penegakan hukum terhadap kepemilikan senjata tajam harusnya diberlakukan untuk

semua masyarakat. Penggunaan senjata tajam untuk melakukan kejahatan yang

biasanya dapat berupa perampokan, penganiayaan, pembunuhan dan lainnya.

Timbulnya kejahatan itu tentunya dapat meresahkan masyarakat sekitar.

Pihak kepolisian yang merupakan aparat penegak hukum diharapkan mampu

menanggulangi kepemilikan senjata tajam yang beredar dalam masyarakat. Terlebih

jika senjata tersebut dimanfaatkan untuk perbuatan yang melanggar hukum. Sebagian
besar delik yang terdapat dalah hukum pidana merupakan delik aduan, sehingga

aparat penegak hukum akan melakukan upaya hukum jika terdapat aduan dari

masyarakat mengenai kejahatan yang terjadi. Salah satu upaya hukum yang

dilakukan oleh kepolisian dalam melakukan penegakan hukum senjata tajam yaitu

melalui proses penyidikan salah satunya dengan melakukan razia, ketika diketahui

membawa senjata tajam akan dilakukan penyelidikan lebih lanjut maksud seseorang

tersebut membawa senjata tajam. Ketika diketahui terdapat niat untuk berbuat

kejahatan maka akan dilakukan upaya hukum lebih lanjut dengan melakukan proses

penyidikan, dan selama penyidikan tersangka yang membawa senjata tajam akan

dilakukan penahanan (M.Syafruddin, 2020:733)

Kepemilikan senjata tajam pada dasarnya tidak termasuk pada kejahatan jika

senjata yang dimiliki merupakan senjata yang digunakan untuk kepentingan rumah

tangga dan alat pertanian. Dalam pasal 3 Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun

1951menyebutkan bahwa “perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum menurut

Undang-Undang ini dipandang sebagai kejahatan”. Dari pasal tersebut berarti

kepemilikan senjata tajam yang tidak digunakan untuk keperluan rumah tangga dan

alat pertanian merupakan suatu kejahatan.

Undang-undang Darurat tersebut jelas menyebutkan bahwa sanksi yang

diberikan kepada seseorang yang membawa atau menguasai senjata tajam maka akan

diberikan sanksi dengan hukuman penjara paling lama sepuluh tahun. Sanksi dalam

Undang-Undang darurat tersebut hanya disebutkan bahwa ancaman yang diberikan

bagi pelaku yang membawa senjata tajam adalah maksimal 10 tahun penjara, namun

tidak dijelaskan lebih rinci ketentuan mengenai sanksi tersebut diperuntukkan untuk
pelaku yang membawa senjata tajam seperti apa, dan juga tidak dijelaskan bahwa

hukuman tersebut diperuntukkan untuk semua masa hukuman yang akan diterima

pelaku jika membawa senjata tajam.

4. Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan

Kejahatan merupakan suatu perbuatan yang buruk, berasal dari kata jahat yang

memiliki arti sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek, sedangkan secara yuridis

kejahatan diartikan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum atau yang dilarang

oleh undang-undang. Kejahatan merupakan suatu perbuatan suatu tindakan yang

secara umum memiliki arti perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum yang

berlaku.Berdasarkan arti kejahatan berasal dari kata jahat yang mendapat awalan

“ke” dan mendapat akhiran “an” yang memiliki arti sangat jelek, buruk, sangat tidak

baik (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2011:196). Berarti secara bahasa, kejahatan adalah

perbuatan yang jahat, perbuatan yang melanggar hukum, perilaku yang bertentangan

dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis. Ada

beberapa pengertian kejahatan, secara yuridis kejahatan adalah segala tingkah laku

manusia yang bertentangan dengan hukum, dapat dipidana yang diatur dalam hukum

pidana.Sedangkan, secara kriminologi kejahatan berarti tindakan atau perbuatan

tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat.

M. Ali Zaidan (2016:11-12) Sue Titus Reid menyatakan bahwa kejahatan

adalah suatu perbuatan yang disengaja (intentional act) maupun kelalaian

(oomission) yang melanggar hukum pidana tertulis maupunputusan hakim yang

dilakukan oleh seorang yang bukan pembelaan atau pembenaran dan diancam
dengan sanksi oleh Negara sebagai kejahatan maupun pelanggaran, menurutnya

ciri-ciri kejahatan adalah sebagai berikut:

a. Kejahatan adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja,

dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum hanya karena

pikirannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam

bertindak. Kegagalan untuk bertindak dapat juga merupakan

kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak

dalam keadaan tertentu, disamping itu juga harus ada niat jahat.

b. Merupakan pelanggaran hukum pidana.

c. Dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang

diakui secara hukum.

d. Diberi sanksi oleh Negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran.

Kejahatan cenderung meningkat setiap tahunnya, kejahatan dilakukan oleh

orang yang lebih muda, pengangguran dan negro-negro di Inggris, maksudnya

adalah kejahatan cenderung dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ciri-ciri :

miskin, menganggur, dan juga frustasi dikeluarga maupun lingkungan

masyarakat, menurut penelitian di Inggris yang dilakukan oleh peneliti Steven

Box. Sejalan dengan pemikiran itu dalam buku kriminologi suatu pengantar, tahun

1981 menjelaskan bahwa salah satu masalah struktural yang perlu diperhatikan

didalam analisis kriminologi Indonesia adalah masalah kemiskinan. Dalam teori

kriminologi, keadaan ini sebenarnya dianggap sangat penting karena kemiskinan

merupakan bentuk kekerasan struktural dengan amat banyak korban. Kejahatan di


Indonesia salah satunya juga didorong oleh krisis ekonomi, termasuk oleh

ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan ekonomi (Anang Priyanto,2012:19).

Kejahatan timbul disebabkan oleh banyak hal, yakni:

4.1. Teori Biologis.

Teori ini mengatakan faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah

seseorang dibawa sejak lahir. Melalui gen dan keturunan, dapat memunculkan

penyimpangan tingkah laku. Pewarisan tipe-tipe kecenderungan abnormal dapat

membuahkan tingkah laku menyimpang dan menimbulkan tingkah laku

sosiopatik. Misalnya, cacat bawaan yang berkaitan dengan sifat-sifat kriminal

serta penyakit mental.Faktor biologis juga menggambarkan bahwa kejahatan

dapat dilihat dari fisik pelaku kejahatan itu, misalnya, dapat dilihat dari ciri-ciri

biologis tertentu seperti muka yang tidak simetris, bibir tebal, hidung pesek, dan

lain-lain. Namun hal ini tidak bisa dijadikan sebagai faktor penyebab terjadinya

kejahatan, hanya saja sebagai teori yang digunakan untuk mengidentikkan

seorang pelaku kejahatan. Selain itu, pelaku kejahatan memiliki bakat jahat yang

dimiliki sejak lahir yang diperoleh dari warisan nenek moyang. Karena penjahat

dilahirkan dengan memiliki warisan tindakan yang jahat (Anang Priyanto,

2012:86).

4.2. Teori psikognenis.

Teori ini mengatakan bahwa perilaku kriminalitas timbul karena faktor

intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi,

rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang


kontroversial dan kecenderungan psikopatologis, artinya perilaku jahat

merupakan reaksi terhadap masalah psikis, misalnya pada keluarga yang hancur

akibat perceraian atau salah asuhan karena orangtua terlalu sibuk berkarier.

Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan adalah psikologis dari

seorang pelaku kejahatan, maksudnya adalah pelaku memberikan respons

terhadap berbagai macam tekanan kepribadian yang mendorong mereka untuk

melakukan kejahatan. Faktor ini didominasi karena pribadi seseorang yang

tertekan dengan keadaan hidupnya yang tak kunjung membaik, atau frustasi.

Orang yang frustasi cenderung lebih mudah untuk mengonsumsi alkohol demi

membantu mengurangi beban hidup yang ada dibandingkan dengan orang dalam

keadaan normal. Psikologis seseorang yang terganggu dalam interaksi sosial

akan tetap memiliki kelakuan jahat tanpa melihat situasi dan kondisi (Indah Sri

Utami,2012:48).

Pelaku kejahatan cenderung memiliki psikologis yang sedang dalam

keadaan tertekan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tak kunjung dapat

ia lakukan karena tak memiliki penghasilan tetap. Kemiskinan atau faktor

ekonomi ini adalah menjadi faktor yang memengaruhi terjadinya kejahatan,

karena demi memenuhi kebutuhan hidupnya maka orang akan cenderung

melakukan apapun itu meski melakukan kejahatan sekalipun. Orang-orang yang

berada di kelas menengah ke bawah akan merasa hidupnya berbeda sekali

dengan orang-orang yang memiliki pendapatan diatasnya, hal ini mendorong

seseorang tersebut untuk melakukan kejahatan karena merasa iri. Sejalan dengan

pemikiran itu bahwa salah satu masalah struktural yang perlu diperhatikan
didalam analisis kejahatan di Indonesia adalah masalah kemiskinan. Dalam

kriminologi, keadaan ini sebenarnya dianggap sangat penting karena kemiskinan

merupakan bentuk kekerasan struktural dengan amat banyak korban.Kejahatan

di Indonesia salah satunya juga didorong oleh krisis ekonomi, termasuk oleh

ketimpangan pendapatan dan ketidak adilan ekonomi (Anang Priyanto,

2012:77).

Faktor ekonomi ini membuat orang akan memiliki keinginan untuk

mendapatkan uang dalam waktu yang singkat dan dengan cara yang sederhana,

maka timbul lah keinginan seseorang untuk melakukan kejahatan salah satunya

kejahatan pencurian kendaraan bermotor. Berkaitan dengan faktor ekonomi yang

berdampak pada beberapa faktor lain misal faktor pendidikan. Orang yang

tergolong miskin akan identik dengan pendidikan yang rendah, karena dalam

hidupnya tak mampu untuk membayar biaya pendidikan yang kian lama makin

mahal. Karena berpendidikan rendah maka seseorang akan cenderung untuk

menjadi pengangguran atau hanya memiliki pekerjaan apa adanya, sehingga hal

ini bisa memengaruhi seseorang untuk memiliki penyakit moral atau kepribadian

jahat demi mencapai suatu keinginannya (Indah Sri Utami,2012:72-73).

Teori sosialis mengemukakan bahwa kejahatan timbul karena adanya

tekanan ekonomi yang tidak seimbang dalam masyarakat.Teori ini

menggambarkan bahwa untuk melawan kejahatan itu haruslah diadakan

peningkatan di bidang ekonomi. Dengan kata lain kemakmuran, keseimbangan

dan keadilan sosial akan mengurangi terjadinya kejahatan.


4.3. Teori sosiogenis.

Teori ini menjelaskan bahwa penyebab tingkah laku jahat murni sosiologis

atau sosial psikologis adalah pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan

kelompok, peranan sosial, status sosial, atau internalisasi simbolis yang keliru.

Perilaku jahat dibentuk oleh lingkungan yang buruk dan jahat, kondisi sekolah

yang kurang menarik dan pergaulan yang tidak terarahkan oleh nilai-nilai

kesusilaan dan agama. Teori ini mengungkapkan bahwa penyebab kejahatan

karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitarnya, baik lingkungan keluarga,

ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan serta penemuan teknologi. Teori

ini mengarahkan kita bahwa orang memiliki kecenderungan bisa melakukan

kejahatan karena proses meniru keadaan sekelilingnya atau yang lebih dikenal

dengan proses imitation.

4.4. Teori subkultur (Pola Budaya) delinkuensi.

Menurut teori ini, perilaku jahat adalah sifat-sifat struktur sosial dengan

pola budaya yang khas dari lingkungan dan masyarakat yang dialami oleh

penjahat. Hal itu terjadi karena populasi yang padat, status sosial-ekonomis

penghuninya rendah, kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk, atau juga

karena banyak disorganisasi familiar dan sosial bertingkat tinggi (Ende hasbi

Nasaruddin, 2016:121-122)

Faktor ini bisa menjadi faktor penyebab terjadinya kejahatan, maksud dari

faktor ini adalah penyebab kejahatan dilihat berdasarkan letak suatu daerah

tertentu tempat terjadinya suatu kejahatan. Dalam hal ini faktor ini adalah
terletak di luar dari diri pelaku kejahatan. Biasanya daerah perkotaan akan lebih

rawan ketimbang di pedesaan untuk terjadinya suatu kejahatan, misalnya

kejahatan terhadap harta benda, pencurian ataupun perampokan, hal ini terjadi

karena biasanya orang-orang yang tinggal di perkotaan akan memikirkan strata

sosial ketimbang keamanan dirinya, dengan memiliki pola hidup yang konsumtif

dan cenderung foya-foya.

Karena itu sumber utama kemunculan perilaku jahat anak adalah

subkultural-subkultural perilaku jahat dalam konteks yang lebih luas dari

kehidupan masyarakat. Ringkasnya, ditengah masyarakat modern sekarang, saat

tidak semua kelompok sosial mendapatkan kesempatan yang sama untuk

menapak jalan masuk menuju kekuasaan, kekayaan dan

berbagai previlage, anak-anak dari kelas ekonomi terbelakang dan lemah mudah

menyerap etik yang kontradiktif dan kriminal, lalu menolak konvensi umum

yang berlaku, mereka menggunakan respon kriminal. Maka tingkah laku jahat

anak-anak itu merupakan reaksi terhadap kondisi sosial.

Moch. Lukman Fatahullah Rais (1997:66) ada beberapa faktor penyebab

lingkungan sekolah tidak sehat, antara lain :

1). Fasilitas sekolah, berupa gedung bangunan sekolah yang tidak memenuhi

persyaratan.

2) Sarana pendidikan, seperti buku, alat-alat peraga masih terbatas jumlahnya.

3) Guru yang kurang dedikasi dan kurang memahami metode saja.

4) Kewibawaan guru menurun, akibatnya perbedaan stratifikasi sosial.


5. Upaya Penanggulangan Terjadinya Kejahatan.

Barda Nawawi Arif (2001:77) Upaya atau kebijakan untuk melakukan

pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal.

Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu

kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan / upaya-upaya untuk kesejahteraan

sosial dan kebijakan / upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.

A.S Alam dan Amir Ilyas (2010:79), Penanggulangan kejahatan Empirik

terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu sebagai berikut :

5.1. Pre-Emtif.

Upaya Pre-Emtif di sini adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh

pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang

dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah

menanamkan nilai-nilai atau norma-norma yang baik sehingga norma-norma

tersebut terinternalisasikan dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan

untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan tetapi tidak ada niatnya untuk

melakukan hal tersebut, maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha

pre-emtif, faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan. Cara

pencegahan ini berasal dari teori NKK, yaitu ; Niat+Kesempatan= terjadi

kejahatan.

Contoh : Ditengah malam pada saat lampu merah lalu lintas menyala maka

pengemudi itu akan berhenti dan mematuhi aturan lalu lintas tersebut meskipun

pada waktu itu tidak ada polisi yang berjaga. Hal ini selalu terjadi di banyak
negara seperti Singapura, Sidney, dan kota besar lainnya di dunia. Jadi dalam

upaya pre-emtif faktor NIAT tidak terjadi.

5.2. Preventif.

Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya Pre-

Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan.

Dalam upaya preventif ini yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan

untuk dilakukannya kejahatan.

Contoh : Ada orang ingin mencuri motor tetapi kesempatan itu dihilangkan

karena motor-motor yang ada, ditempatkan di tempat penitipan motor. Dengan

demikian kesempatan menjadi hilang dan tidak terjadi kejahatan. Jadi dalam

upaya preventif KESEMPATAN ditutup.

5.3. Represif.

Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana atau kejahatan

yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcemmenet) dengan

menjatuhkan hukuman.

A.S Alam dan Amir Ilyas (2010:81) mengemukakan beberapa Teori

tentang tujuan penghukuman (tujuan pemidanaan) sebagai Berikut :

1) Teori Pembalasan (vergelding theorie), teori ini menyatakan bahwa

hukuman adalah suatu pembalasan, siapa yang membunuh harus dibunuh.

Menurut teori pembalasan ini, seseorang yang berbuat jahat harus dipidana

dengan jalan yang menyiksa fisiknya, agar ia menjadi jera.


Pelaksanaannya tentu sangat kejam pada mulanya, pihak yang dirugikan

(pihak korban) diperbolehkan membalas setiap perlakuan jahat yang

diterimanya, namun hak ini diambil alih oleh raja atau pemerintah.

2) Teori Penjeraan (afschriking/detterence), teori ini sering juga disebut teori

menakut-nakuti (deterrence theorie). Hukuman harus dapat membuat

orang takut supaya jangan berbuat jahat.

3) Teori Penutupan (onschadelike/incarceration), pengasingan (penutupan)

adalah suatu doktrin yang menyatakan tindakan- tindakan karantina

memang sangat penting dan diperlakukan dalam pelaksanaan pidana untuk

mencegah penanggulangan kejahatan oleh penjahat-penjahat yang

berbahaya.

4) Memperbaiki (verbeterings theorie), teori ini berpendapat bahwa tujuan

dijatuhkannya pidana kepada pelanggar hukum adalah untuk memperbaiki

si terhukum itu sendiri.


47

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum dengan tipe penelitian hukum

empiris yaitu suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum

dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan

masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan

hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat dikatakan

sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum

yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum

atau badan pemerintah.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Sidenreng Rappang yakni di Polres

Sidenreng Rappang (SIDRAP)

Alasan penulis memilih lokasi tesebut bahwa kepolisian adalah lembaga

pertama yang menangani masalah kejaatan, kepolisian Sebagai lembaga

pembinaan dan pendidikan bagi yang melakukan tindak pidana kriminal, terutama

penyalahgunaan senjata tajam. Seperti halnya keinginan dan harapan penulis yang

bertujuan untuk lebih banyak membarikan bekal bagi pelaku tindak pidana

penyalahgunaan senjata tajam dalam menyongsong kehidupan masa depan setelah

mendapatkan hukuman.

47
48

3. Jenis Dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sebagai berikut:

1. Data primer, yaitu data yang didapat secara langsung dari pihak kepolisian.

Dengan demikian data primer merupakan data yang diperoleh dari studi

lapangan yang tentunya berkaitan dengan masalahyang akan diteliti dan

dibahas. Penulis akan mengkaji dan menelitisumber data yang diperoleh dari

penelitian dilapangan serta data inidiambil langsung dari sumbernya melalui

wawancara yang dilakukan terhadap narasumber yang berkompeten.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan

dengan melakukan studi dokemun, arsip dan literaurliteratur dengan

mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis konsep-konsep, pandangan-

pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok

penulisan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian Lapangan (Data Primer)

Wawancara adalah proses tanya jawab antara peneliti dengan informan

dalam rangka menggali informasi, bukti, dan keterangan yang diperlukan

guna memperkuat dan memperoleh kebenaran secara valid.

2. Telaah dokumen (Data Sekunder)

Dimaksudkan untuk mencari data-data mengenai hal-hal atau variabel berupa

dokumen-dokumen yang terkait dengan objek yang diteliti. Dokumen bisa

berbentuk tulisan, gambar, foto-foto, laporan-laporan dan karya-karya


monumental dari seseorang, ceritera, peraturan, dan kebijakan. Telaah

dokumen akan melengkapi hasil penelitian dari observasi dan wawancara.

5. Analisis Data

Analisis data akan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif yaitu data

diolah dengan serangkaian kata-kata untuk menguraikan kenyataan yang ada

berdasarkan hasil penelitian secara sistematis, sehingga memperoleh arti dan

kesimpulan untuk menjawab permasalahan berdasarkan penelitian. Kemudian

ditarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berpikir dalam mengambil suatu

kesimpulan terhadap permasalahan yang membahas secara umum yang

didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.

Teknik analisis data yang digunakan melalui pendekatan kualitatif, menjawab

dan memecahkan serta pendalaman secara menyeluruh dan utuh dari objek yang

diteliti guna menghasilkan kesimulan yang bersifat deskriktif sesuai dengan

kondisi waktu.
50
50

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN

1. Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Penyalahgunaan Senjata Tajam di


Kabupaten Sidenreng Rappang

2. Upaya Yang Dikalukan oleh Polres Sidrap Untuk Mengatasi


Penyalahgunaan Senjata Tajam di Kabupaten Sidenreng Rappang
62

61

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an. dan terjemahan, Terbitan Dapertemen Agama RI

2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bumi


Aksara. Jakarta

Alam, A.S. dan Amir Ilyas. 2010. Pengantar Kriminologi. Refleksi: Makassar.

Anang Priyanto. 2012. Kriminologi. Penerbit Ombak: Yogyakarta.

Andi Hamzah,. 2001.Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Galian
Indonesia : Jakarta

Bambang Poernomo. 1992. Asas-Asas Hukum Pidana.Ghalia Indonesia: Jakarta

Barda Nawawi Arif. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana: Jakarta.

Ende Hasbi Nassarudin. 2016. Kriminologi. CV. Pustaka Setia, Bandung.

Abdussalam, H.R. 2007. Kriminologi, Restu Agung: Jakarta.

Indah Sri Utami. 2012. Aliran dan Teori Dalam Kriminologi. Thafa Media:
Bantul Yogyakarta.

Kartini Kartono. 2005. Patologi Sosial. Raja Grafindo Persada: Jakarta

Ali Zaidan, M.. 2016. Kebijakan Kriminal. Sinar Grafika: Jakarta.

Moch Lukman Fatahullah Rais. 1997. Tindak Pidana Perkelahian Pelajar.


Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.

Moeljatno. 1985. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara: Jakarta

Muhammad Mustofa. 2005. Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap


Kriminalitas, Prilaku Menyimpang, dan Pelanggaran Hukum. Fisip UI
Press: Jakarta

Nur Fadhilah Mappaselleng. 2017. Kriminoligi Esensi dan Perspektif Arus


Utama. Trusmedia Grafika:Makassar.

Lamintang, P.A.F. 1996.Dasar-Dasar Hukum PIdana Indonesia. Citra Aditya


Bakti:Bandung
Suharso dan Ana Retnoningsih, 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cv.
Widya Karya: Semarang.

Tri Andrisman,. 2009. Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum


Pidana Indonesia.Unila: Bandar Lampung

Undang-undang Darurat RI No.12 Tahun 1951

Wiryono Prodjodikoro.2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia.


PT.Refika Aditama: Bandung

Yermil Anwar Adang. 2010. Kriminologi. PT. Refika Aditama: Bandung.

Jurnal:

M.Syafruddin. 2020. KEPEMILIKAN SENJATA TAJAM BERDASARKAN


UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12 TAHUN 1951.
Dinamika. Volume 26: Malang.
Jeklin Marsya Langi.2016. TINDAK PIDANA OLEH ANAK MEMBAWA
SENJATA TAJAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM
UNDANG-UNDANG NO.12/DRT/1951. Lex Crimen. Volume 5

Intrnet:

https://id.wikipedia.org/wiki/Senjata. Diakses pada tanggal 25 Februari 2020. Jam


19.45 WITA
KEPOLIStAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH SULAWESI SELATAN
RESOR SIDRAP
Jalan Bau Massepe 01 Pangkajene 91611 Pangkajene, r§ April 2020
Nomor B /g7Y / IV / RES1.24. / 2020 /
Reskrim Klasifikasi BIASA
Lampiran
Perihal Hasil Penelitian Kepada

Yth. DEKAN FAK. HUKUM UMI


MAKASSAR

di.

Makassar

1. Rujukan Surat Dekan Fak. Hukum UMI Makassar Nomor 0300/H.06/FH-


UMI/III/2020, tanggal 16 Maret 2020, perihal permohonan izin penelitian
2. Sehubungan dengan rujukan tersebut diatas bersama ini disampaikan kepada Bapak/lbu
bahwa Mahasiswa dengan identitas
Nama . MUH. ANUGRAH. S
Nomor Pokok 04020140111
Program Studi : llmu Hukum
Jenjang Program : S1 (Strata
Satu)
Alamat : JI. Urip Sumoharjo Km.05 Makassar

3. Telah melakukan penelitian bagian Satuan Reskrim Polres Sidrap dengan judul
penelitian "TINJAUAN KRIMINOLOGIS TENTANG PENYALAHGUNAAN
SENJATA TAJAM DIWILAYAH HUKUM POLRES SIDRAP"

4. Demikian surat penelitian ini dibuat untuk dipergunakan sebagiamana mestinya.

a.n. KEPALA KEPOLISIAN RESOR SIDRAP


KAS T RESKRIM
u.b
KA. B OPS

MUNA SAAD, SH
INSPEKTUR POLISI ATU NRP 67030529

Anda mungkin juga menyukai