Anda di halaman 1dari 9

TUGAS KELOMPOK HUKUM KEPAILITAN DAN

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

Oleh:
Hadiati Rahmi
20/465753/PHK/11103

Hasiholan Martua
20/465754/PHK/11104

Helmina Yasmi Vega Batubara


20/465755/PHK/11105

Heri Setiawan
20/465757/PHK/11107

I Made Arya Sanjaya


20/465758/PHK/11108

Farhan Mujahidi
20/465751/PHK/11101

Fitrie Arianti Boer


20/465752/PHK/11102

SEMINAR HUKUM BISNIS


MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA
KAMPUS JAKARTA
19 NOVEMBER 2021
1. PT X telah meminjam uang dari Bank P, dengan jaminan Fidusia atas mesin milik PT
X, dan jaminan lain berupa Corporate Guarantee dari PT M. Seiring berjalannya
waktu, kemudian PT M telah dimohonkan Pailit oleh salah seorang Kreditornya ke
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan
Permohonan Pailit tersebut, dan telah diangkat Tim Kurator untuk pengurusan dan
pemberesan Harta pailit PT M.

Pertanyaan: Dapatkah Bank P mengajukan klaim kepada Kurator PT M tanpa terlebih


dahulu mengeksekusi Jaminan PT X? Jelaskan jawaban Saudara disertai dasar
hukum nya di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Jawaban:
Pada dasarnya penjaminan yang diberikan oleh PT M dalam kasus di atas merupakan
bagian dari perjanjian penanggungan yang diatur dalam Bab XVII Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Substansi dari perjanjian penanggungan tersebut adalah
bahwa ada pihak ketiga yang menyetujui untuk kepentingan si berutang mengikatkan
diri untuk memenuhi perikatan si berutang, apabila pada waktunya si berutang sendiri
tidak berhasil memenuhi kewajibannya.
Pemberi Corporate Guarantee tidak diwajibkan untuk membayar hutang debitur
kecuali debitur tersebut lalai untuk membayar hutangnya. Selanjutnya menurut Pasal
1831 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jaminan kebendaan debitur haruslah
disita terlebih dahulu dan dijual untuk melunasi hutang-hutangnya. Selanjutnya di
Pasal 1832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:
“Penanggung tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dulu disita dan
dijual untuk melunasi utangnya:
1. bila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang
debitur lebih dahulu disita dan dijual;
2. bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur terutama secara
tanggung menanggung, dalam hal itu, akibat-akibat perikatannya diatur menurut
asas-asas yang ditetapkan untuk utang-utang tanggung-menanggung;
3. jika debitur dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya
sendiri secara pribadi;
4. jika debitur berada keadaan pailit;
5. dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh Hakim.”
Dalam kasus di atas, apabila dalam Perjanjian Penanggungan (Corporate Guarantee)
antara Bank P dengan PT M diatur mengenai pelepasan hak istimewa dari PT M untuk
menuntut barang-barang debitur lebih dahulu untuk disita dan dijual sebagaimana
Pasal 1832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata angka 1 tersebut di atas, maka
Bank P dapat mengajukan klaim kepada kurator PT M tanpa mengeksekusi jaminan
PT X terlebih dahulu.

2. Diketahui bahwa PT SIA telah dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
pada tanggal 15 Agustus 2020. PT SIA memiliki Utang kepada Bank X sebesar Rp.

1
500 miliar yang dijamin dengan Hak Tanggungan terhadap Pabrik milik PT SIA dan
jaminan lain yaitu Rumah milik Direktur Utama PT. SIA yang juga di ikat dengan Hak
Tanggungan serta jaminan deposito milik PT. SIA sebesar Rp. 50 miliar di Bank X.
Jelaskan cara Bank X untuk melakukan Eksekusi terhadap Jaminan-jaminan PT SIA
dikaitkan dengan prosedur eksekusi agunan dalam kepailitan. Apakah setelah
terjadinya kepailitan terhadap PT. SIA, maka Bank X dapat langsung melakukan
eksekusi? Jelaskan Jawaban Saudara dengan disertai dasar hukumnya.
Jawaban:
Terkait dengan eksekusi jaminan Debitur pailit diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang berbunyi sebagai berikut:
“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56,
Pasal 57 dan Pasal 58, setiap Kreditur pemegang Gadai, Jaminan Fidusia, Hak
Tanggungan, Hipotek dan atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi Kepailitan.”
Selanjutnya dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur bahwa:
“Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak
ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor pailit atau
Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari sejak
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.”
Sehubungan dengan pelaksanaannya, dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang diatur bahwa:
“Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58, Kreditor
pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan
haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya
keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1).”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka Bank X dapat melakukan


eksekusi langsung terhadap jaminan yang diikat terhadapnya selama masih dalam
masa insolvensi yaitu 90 (sembilan puluh) hari setelah debitur diputus pailit (vide
Pasal 56 ayat (1) jo. Pasal 178 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), dan eksekusi atas
jaminan yang diikat tersebut seolah-olah menjadikan kepailitan tidak berlaku bagi
kreditur separatis (vide Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Oleh karena itu,
selama masa 90 (sembilan puluh) hari tersebut kreditur separatis yaitu Bank X dapat
melakukan eksekusi terhadap Pabrik yang diikat dengan Hak Tanggungan, Jaminan
Deposito dan Rumah. Dalam kasus tersebut, Rumah tidak termasuk boedel pailit,
karena merupakan harta milik Direktur PT SIA, bukan harta Perseroan sebagai debitur
pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh
selama kepailitan (vide Pasal 21 Undang-Undang tentang Kepailitan).

3. PT SPY sebuah perusahaan yang berdomisili di Lampung, memiliki utang yang telah
jatuh tempo kepada kepada Bank M dan Bank B, serta hutang-hutang dagang lainnya

2
kepada para supplier, tunggakan gaji karyawan dan juga hutang pajak. Akibat
pandemic covid19 yang sudah lebih dari 17 bulan, serta penerapan PSBB dan
dilanjutkan dengan PPKM oleh pemerintah, maka aktivitas perusahaan PT SPY
mengalami penurunan, kinerja perusahaan menurun drastis dan lebih dari 50%
karyawan telah di PHK. Melihat kondisi tersebut, maka Management PT SPY
berencana mengajukan Permohonan Pailit Sukarela ke Pengadilan Niaga.

Pertanyaan: Ke Pengadilan Niaga mana Permohonan Pailit Sukarela diajukan? Apa


syarat tambahan yang di perlukan terhadap Permohonan Pailit Sukarela selain dari
ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 8 ayat 8 UU Kepailitan? Jelaskan jawaban
Saudara.

Jawaban:
Permohonan Pailit dapat diajukan ke Pengadilan Niaga tempat domisili debitur
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan
bahwa: “Putusan atas permohonan pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan Niaga
yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.” Dengan
demikian, Management PT SPY dapat mengajukan Permohonan Pailit Sukarela
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berdasarkan Pasal 5 Keppres No. 97 Tahun 1999 daerah hukum Pengadilan Niaga
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung dan Kalimantan Barat.
Syarat tambahan yang diperlukan terhadap Permohonan Pailit Sukarela selain dari
ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 8 ayat 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah
terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk
dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.
Adapun yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana”
adalah adanya fakta dua atau lebih Kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu
dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh
pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhnya putusan pernyataan
pailit.

4. Tuan Ignatius Xerses seorang pengusaha sukses di Jawa Tengah, memiliki banyak
aset pribadi dan juga sebagai pengusaha memiliki banyak pinjaman (hutang) atas
nama pribadi, baik hutang kepada bank maupun hutang-hutang kepada para mitra

3
bisnis. Mengingat profile pribadi Tuan Ignatius Xerses sebagai pengusaha sukses
dan juga orang terpandang di daerahnya, maka banyak transaksi bisnis dilakukan atas
nama pribadinya walaupun dia punya beberapa perusahaan. Pandemic covid19
ternyata melanda dunia pada awal tahun 2020 dan ternyata tuan Ignatius Xerses pada
Mei tahun 2021 terkena virus corona varian delta, sehingga meninggal dunia setelah
dirawat 20 hari di sebuah rumah sakit di Semarang.

Pertanyaan: Langkah apa yang sebaiknya (efisien, cepat dan mudah) diambil oleh
para kreditur dari Almarhum Tuan Ignatius Xerses untuk mendapatkan pembayaran
atas tagihan mereka? Apakah menggugat ahli waris? atau apakah dimungkinkan
memohonkan status pailit bagi harta warisan almarhum? Jelaskan dan disertai dasar
hukumnya.

Jawaban:
Langkah yang dapat dilakukan oleh para kreditur dari almarhum Tuan Ignatius Xerses
adalah dengan cara mengajukan permohonan agar harta kekayaan Tuan Ignatius
Xerses dinyatakan dalam keadaan pailit. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 207
UU Kepailitan yang menyatakan bahwa:
“Harta kekayaan orang yang meninggal harus dinyatakan dalam keadaan pailit,
apabila dua atau beberapa kreditur mengajukan permohonan untuk itu dan secara
singkat dapat membuktikan bahwa :
1. Utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas ;atau
2. Pada saat meninggalnya orang tersebut, harta peninggalannya tidak cukup
untuk membayar utangnya.
Kemudian Pasal 208 Ayat 1 UU Kepailitan menyatakan bahwa permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 harus diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal terakhir Debitur yang meninggal tersebut.
Selanjutnya ahli waris harus dipanggil untuk didengar mengenai permohonan tersebut
dengan juru sita. Hal itu sesuai dengan Pasal 208 Ayat 2 Undang-Undang Kepailitan.
Menurut Pasal 208 Ayat 3, surat panggilan sebagaimana dimaksud pada Ayat 2
harus disampaikan di tempat tinggal terakhir Debitur yang meninggal, tanpa
keharusan menyebutkan nama masing-masing ahli waris, kecuali nama mereka itu
dikenal.
Berdasarkan ketentuan Pasal 209 Undang-Undang Kepailitan, pernyataan pailit
mengakibatkan harta kekayaan orang yang meninggal dunia demi hukum dipisahkan
dari harta kekayaan pribadi para ahli warisnya.

5. Sebuah perusahaan, PT. ABC yang dinyatakan oleh putusan Pengadilan Niaga,
setelah para kreditur mendaftarkan tagihan mereka kepada Kurator, ditemukan fakta
bahwa PT. ABC mempunyai utang sebagai berikut:

4
- Hutang kepada Tuan Soelaiman Hasan Rp. 15 miliar berikut bunga 10% per
tahun.
- Hutang kepada Bank of China sebesar USD25 juta berikut bunga 7% per tahun.
- Hutang kepada DBS Bank sebesar 10 juta dollar Singapura berikut bunga sebesar
6% per tahun yang dijamin dengan Hak Tanggungan atas pabrik milik PT. ABC.

Pertanyaan:
a. Apakah dengan terjadinya kepailitan terhadap Debitur maka perhitungan bunga
masih tetap boleh dilakukan? Jelaskan dasar hukum Jawaban Saudara.
b. Kapan utang-utang dalam mata uang asing tersebut harus dikonversikan oleh
Kurator ke dalam mata uang rupiah? Jelaskan dasar hukumnya.
c. Bagaimana dengan utang debitur pailit yang dinyatakan dalam mata uang asing
dan yang yang dijamin dengan hak agunan atas kebendaan? Kapan
dikonversikan ke dalam mata uang rupiah? Kapan hitungan bunga nya berhenti?

Jawaban:
a. Tetap bisa ditagihkan, karena setiap kreditur mendaftarkan setiap tagihan yang
dapat dibuktikan baik berupa invoice (tagihan) atau suatu akta Perjanjian Kredit/
utang piutang yang di dalamnya mengatur tentang bunga pokok pinjaman, maka
bunga yang telah diperjanjikan dapat ditagihkan sebagaimana tertuang dalam
Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa: “utang
adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau Undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor”, yang kemudian
akan diputuskan oleh pengurus atau kurator dalam suatu daftar tagihan tetap.
Apabila kreditur adalah kreditur separatis (lembaga pembiayaan) yang memiliki
Hak Tanggungan yakni Bank DBS maka dapat langsung melakukan eksekusi
terhadap obyek tanggungan senilai hutang dan bunga hutang debitur
sebagaimana diatur dalam Pasal 55 (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang
menyatakan bahwa: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang
gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas
kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi
kepailitan” jo. Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan
bahwa: “Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
yang melaksanakan haknya, wajib memberikan pertanggungjawaban kepada
Kurator tentang hasil penjualan benda yang menjadi agunan dan menyerahkan
sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah utang, bunga, dan biaya kepada
Kurator.”

5
b. Merujuk pada Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mendefinisikan Utang
adalah:
“Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam Mata Uang Indonesia maupun Mata Uang Asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul d kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan
bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapatkan
pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.

Ketentuan wajib mencocokan nilai mata uang sesuai dengan rupiah diatur tegas
dalam Pasal 139 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berbunyi:

“Piutang yang nilainya tidak ditetapkan, tidak pasti, tidak dinyatakan dalam mata
uang Republik Indonesia atau sama sekali tidak ditetapkan dalam uang, wajib
dicocokkan sesuai dengan nilai taksirannya dalam mata uang Republik
Indonesia.”

Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka setiap piutang wajib untuk di cocokan
sesuai (konversi) dengan nilai taksiran mata uang Republik Indonesia yaitu
Rupiah (IDR). Tindakan pengkonversian ini merupakan salah satu hak eksekusi
yang dimiliki oleh Kurator.

Mengacu pada Pasal 113 ayat (1) huruf C Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pencocokan
piutang dilakukan paling lambat 14 hari setelah putusan pernyataan pailit
diucapkan dimana Hakim wajib menetapkan hari, tanggal, waktu, dan tempat
rapat Kreditor untuk mengadakan pencocokan piutang.

Merujuk pada Pasal 116 Ayat (1) huruf (a), pencocokan perhitungan piutang yang
diserahkan oleh Kreditor dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan
keterangan Debitor Pailit.

Terhadap waktu konversi mata uang asing Piutang ke IDR oleh Kurator dilakukan
pada tanggal putusan pailit diucapkan, hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal
139 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi:

“Penetapan nilai piutang ke dalam mata uang Republik Indonesia dilakukan


pada tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.”

Pada penjelasan Pasal 105 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjelaskan bahwa:

6
“…sejak putusan pailit diucapkan semua wewenang debitor untuk menguasai dan
mengurus harta pailit termasuk memperoleh keterangan mengenai pembukuan
rekening bank, dan simpan debitor dari Bank yang bersangkutan beralih ke
Kurator”

Kewenangan Kurator untuk melakukan pengurusan dan pemberesan atas harta


pailit tertuang pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi:
“Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas
harta pailit sejak tanggal putusan pailit ducapkan meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali,”

Penetapan, nilai piutang ke dalam IDR bagi piutang milik Kreditor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dilakukan pada tanggal eksekusi benda agunan
dengan menggunakan kursi Tengah Bank Indonesia tertuang dalam Pasal 139
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi:

(1) … setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,


hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi
haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan;
(2) Dalam hal penagihan suatu piutang … maka mereka hanya dapat berbuat
demikian setelah dicocokkan penagihannya dan hanya untuk mengambil
pelunasan dari jumlah yang diakui dari penagihan tersebut.
Mengenai Kurs Tengah Bank Indonesia sebagaimana tersebut dalam Pasal 139
Ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, lebih lanjut di jelaskan dalam
penjelasan Pasal 139 ayat (3) yang menerangkan bahwa:
“Kurs Tengah Bank Indonesia dihitung dari Kursi Transaksi Bank Indonesia (BI)
yang diumumkan secara harian, dengan perhitungan: Kurs Jual BI + Kurs Beli
BI”

Sehingga, secara aturan yang berlaku di Indonesia, pencocokan nilai mata uang
asing menjadi IDR adalah mutlak dilakukan berdasarkan kurs tengah BI. 1

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, pada kasus perusahaan PT. ABC
yang dinyatakan palit oleh Putusan Pengadilan Niaga setelah para kreditur
mendaftarkan tagihan mereka kepada kurator, dengan rincian fakta hutang PT
ABC sebagai berikut:
 Hutang Pada Tuan Soelaiman Hasan IDR 15 Milyar berikut bunga 10% per
tahun;

1
Elyta Ras Ginting, S.H., LL.M, Hukum Kepailitan Rapat-Rapat Kreditor, Jakarta: Sinar Grafika, 2018, h. 83

7
 Hutang kepada Bank of China sebesar 25 Juta Dolar Amerika (USD 25 Juta)
berikut bunga 7% per tahun;
 Hutang kepada DBS Bank sebesar 10 Juta Dolar Singapura berikut bunga
sebesar 6% per tahun yang dijamin dengan Hak Tanggungan atas pabrik milik
PT. ABC;
Adalah mutlak terhadap hutang-hutang PT. ABC yang bermata uang asing yakni
Hutang kepada Bank of China Sebesar 25 Juta Dolar Amerika serta Hutang
kepada DBS Bank sebesar 10 Juta Dolar Singapura tersebut wajib dikonversi
terlebih dahulu ke dalam IDR oleh Kurator dan pengkonversian tersebut dilakukan
setelah adanya tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

c. Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Mata Uang dinyatakan bahwa pembayaran utang dalam bentuk uang, wajib
menggunakan mata uang rupiah jika uang yang dijaminkan tersebut dinyatakan
dalam bentuk uang asing dengan menambahkan rumusan kata-kata yang pada
intinya pembayaran harus dilakukan dalam mata uang rupiah sesuai kurs tengah
Bank Indonesia pada saat pelaksanaan putusan.
Utang tersebut dapat dikonversikan ke dalam mata uang rupiah sejak jatuh
temponya perjanjian utang piutang antara kreditur dan debitur berdasarkan akta
perjanjian kredit.
Hitungan bunga utang berhenti pada saat diucapkannya putusan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagaimana diatur dalam Pasal 273 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa: “Piutang yang berbunga
harus dimasukkan dalam daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 disertai
perhitungan bunga sampai dengan hari diucapkannya putusan penundaan
kewajiban pembayaran utang.”

Anda mungkin juga menyukai