Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


MASALAH DIAGNOSA MEDIK : CKD ON HD

Stase Keperawatan KGD

Disusun Oleh:
Surya rakhmat hidayat
2011102412004

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
CKD ON HD

A. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan glomerulus
filtration rate (GFR) (Nahas & Levin, 2010). CKD atau gagal ginjal kronis (GGK)
didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat,
progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam
mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi
uremia atau azotemia (Smeltzer, 2012).
Gagal Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease) adalah keadaan terjadinya penurunan
fungsi ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan (menaun) disebabkan oleh berbagai
penyakit ginjal. Penyakit ini bersifat progresif dan umumnya tidak dapat pulih kembali
(irreversible). Gejala penyakit ini umumnya adalah tidak ada nafsu makan, mual, muntah,
pusing, sesak nafas, rasa lelah, edema pada kaki dan tangan, serta uremia (Almatsier,
2016).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika
tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai
laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m².

B. Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju Filtration
Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2 dengan rumus Kockroft
– Gault sebagai berikut :

Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)


1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

C. Etiologi
Diabetes dan hipertensi baru-baru ini telah menjadi etiologi tersering terhadap proporsi
GGK di US yakni sebesar 34% dan 21% . Sedangkan glomerulonefritis menjadi yang
ketiga dengan 17%. Infeksi nefritis tubulointerstitial (pielonefritis kronik atau nefropati
refluks) dan penyakit ginjal polikistik masing-masing 3,4%. Penyebab yang tidak sering
terjadi yakni uropati obstruktif, lupus eritomatosus dan lainnya sebesar 21 %. (Penyebab
gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000 menunjukkan
glomerulonefritis menjadi etiologi dengan prosentase
tertinggi dengan 46,39%, disusul dengan diabetes melitus dengan 18,65%, obstruksi dan
infeksi dengan 12,85%, hipertensi dengan 8,46%, dan sebab lain dengan 13,65% (Sudoyo,
2006 dalam Yani 2018).

D. Patofisiologi
E. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner & Suddart (2012) setiap sistem tubuh pada gagal ginjal kronis
dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala.
Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, usia pasien
dan kondisi yang mendasari. Tanda dan gejala pasien gagal ginjal kronis adalah sebagai
berikut :
1. Manifestasi kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki, tangan, sakrum), edema periorbital, Friction
rub perikardial, pembesaran vena leher.
2. Manifestasi dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan
rapuh, rambut tipis dan kasar.
Manifestasi Pulmoner
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan Kussmaul
3. Manifestasi Gastrointestinal
Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia, mual, muntah,
konstipasi dan diare, pendarahan saluran gastrointestinal
4. Manifestasi Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan tungkai, panas pada
telapak kaki, perubahan perilaku
5. Manifestasi Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop
6. Manifestasi Reproduktif Amenore dan atrofi testikule.

F. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006)
antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan diit
berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah uremik
dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang
rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat
peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
a. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya massa
kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
b. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
c. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
d. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
2. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
3. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal ginjal pada usia
lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
4. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem pelviokalises, dan
ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises dan ureter
proksimal, kandung kemih dan prostat.
5. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler, parenkhim) serta sisa
fungsi ginjal
6. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
7. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
8. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
9. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
10. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
11. Biopsi Ginjal
dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau perlu untuk
mengetahui etiologinya.
12. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
a) Laju endap darah
b) Urin
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada (anuria).
- Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
- Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio
urine / ureum sering 1:1.
c) Ureum dan Kreatinin Ureum:
Kreatinin: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga
tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
d) Hiponatremia
e) Hiperkalemia
f) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
g) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
h) Gula darah tinggi
i) Hipertrigliserida
j) Asidosis metabolic

H. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal
yang tersisa dan homeostasis tubuh selama mungkin serta mencegah atau mengobati
komplikasi (Rubenstain dkk, 2011). Terapi konservatif tidak dapat mengobati GGK namun
dapat memperlambat progres dari penyakit ini karena yang dibutuhkan adalah terapi
penggantian ginjal baik dengan dialisis atau transplantasi ginjal.
1. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal Desease (CKD)
dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif :
a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi.
b. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
c. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
d. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

Prinsip terapi konservatif :


a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal.
1) Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
2) Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan
hipotensi.
3) Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
4) Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
5) Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
6) Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat.
7) Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi medis
yang kuat.
b. Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat
1) Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.
2) Kendalikan terapi ISK.
3) Diet protein yang proporsional.
4) Kendalikan hiperfosfatemia.
5) Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
6) Terapi hIperfosfatemia.
7) Terapi keadaan asidosis metabolik.
8) Kendalikan keadaan hiperglikemia.
c. Terapi alleviative gejala asotemia
1) Pembatasan konsumsi protein hewani.
2) Terapi keluhan gatal-gatal.
3) Terapi keluhan gastrointestinal.
4) Terapi keluhan neuromuskuler.
5) Terapi keluhan tulang dan sendi.
6) Terapi anemia.
7) Terapi setiap infeksi.

2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum K+ (hiperkalemia
):
1) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.
2) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan 7,35 atau
serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
b. Anemia
1) Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon eritropoetin
(ESF: Eritroportic Stimulating Faktor). Anemia ini diterapi dengan pemberian
Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian 30-530 U per
kg BB.
2) Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan adalah membuang
toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis.
3) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran cerna dan
kehilangan besi pada dialiser (terapi pengganti hemodialisis). Klien yang
mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi alternatif
,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati. Indikasi tranfusi PRC
pada klien gagal ginjal :
a) HCT < atau sama dengan 20 %
b) Hb < atau sama dengan 7 mg5
c) Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia dan high
output heart failure.
Komplikasi tranfusi darah :
a) Hemosiderosis
b) Supresi sumsum tulang
c) Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
d) Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
e) Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk rencana
transplantasi ginjal.
c. Kelainan Kulit
1) Pruritus (uremic itching)
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal, insiden meningkat
pada klien yang mengalami HD.
Keluhan :
a) Bersifat subyektif
b) Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic papula dan lichen
symply
Beberapa pilihan terapi :
a) Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme
b) Terapi lokal : topikal emmolient ( tripel lanolin )
c) Fototerapi dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6 mg, terapi ini bisa
diulang apabila diperlukan Pemberian obat Diphenhidramine 25-50 P.O
Hidroxyzine 10 mg P.O
2) Easy Bruishing
Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan denga
retensi toksin asotemia dan gangguan fungsi trombosit. Terapi yang diperlukan
adalah tindakan dialisis.
d. Kelainan Neuromuskular Terapi pilihannya :
1) HD reguler.
2) Obat-obatan : Diasepam, sedatif.
3) Operasi sub total paratiroidektomi.
e. Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen hipertensi, tipe
vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program terapinya meliputi :
1) Restriksi garam dapur.
2) Diuresis dan Ultrafiltrasi.
3) Obat-obat antihipertensi.

3. Terapi pengganti
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2015).
a) Transplantasi ginjal.
Transplantasi ginjal adalah operasi untuk mentransfer ginjal yang sehat dari pendonor
kepada penerima (recipient). Penerima biasanya adalah pasien yang mengalami gagal
ginjal kronis. Ginjal adalah organ yang berfungsi untuk membuang kotoran dari darah.
Jika ginjal tidak berfungsi dengan benar, kotoran akan menumpuk pada darah dan
dapat mengakibatkan komplikasi pada tubuh. Ada beberapa penyebab gagal ginjal
kronis. Penyebab dapat meliputi:
1) diabetes tipe 1 atau tipe 2
2) tekanan darah tinggi
3) glomerulonephritis, peradangan pada unit penyaring pada ginjal (glomeruli)
4) interstitial nephritis, peradangan pada tubulus ginjal dan struktur di sekitarnya
5) penyakit ginjal polikistik
6) permasalahan pada saluran kencing, seperti pembesaran prostat, batu ginjal dan
kanker
7) vesicoureteral reflux, kondisi yang menyebabkan urin naik ke ginjal
8) infeksi ginjal atau pyelonephritis
Pada umumnya, transplantasi ginjal dapat memperpanjang usia seseorang dan
menjadikan hidup lebih sehat. Dengan kemajuan saat ini dalam obat anti-penolakan,
pengkategorisasian jenis jaringan dan kecocokan yang baik, tidak lagi merupakan hal
yang mendasar untuk keberhasilan transplantasi. Pasien yang pernah menjalani
transplantasi sebelumnya, kehamilan, atau beberapa kali transfusi darah dapat
mengembangkan antibodi dalam darah mereka yang membuatnya sulit bagi mereka
untuk menerima transplantasi karena tubuh mereka cenderung menolak sebagian
besar ginjal yang tersedia.
Berkat perbaikan dalam pemeriksaan spesifik donor dan proses pra-transplantasi,
maka pendeteksian yang lebih akurat dan identifikasi antibodi donor yang berpotensi
merugikan kini dapat dilakukan.
Bergantung pada kondisi Pasien, spesialis Anda akan merekomendasikan, apakah
pasien menjalani
b) Transplantasi Golongan Darah yang Tidak Kompatibel (ABO-Incompatible)
c) Transplantasi antibodi HLA yang Tidak Kompatibel (Sensitised Patient)
Semua opsi transplantasi ini mencakup serangkaian prosedur pra-transplantasi
khusus, seperti plasmaferesis – suatu proses yang mengangkat antibodi dari darah
yang mungkin dapat menyebabkan tubuh menolak ginjal yang ditransplantasikan.
Jika pasien pernah didiagnosis memiliki gagal ginjal stadium akhir, dan telah
memiliki kondisi yang akan menyebabkan pasien menolak ginjal yang
ditransplantasikan, atau tidak dapat menemukan donor hidup dengan golongan darah
yang sesuai, dokter bedah dapat menyarankan transplantasi ginjal komplikasi.
Meskipun tidak ada batas usia untuk menjalani transplantasi, namun pasien harus
sehat secara medis untuk menjalani operasi.
d) Peritoneal Dialisis
Peritoneal Dialysis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang fungsinya
sama dengan hemodialisis, tetapi dengan metode yang berbeda. Peritoneal dialisis
adalah metode dialisis dengan bantuan membran peritoneum (selaput rongga perut),
jadi darah tidak perlu 46 dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan disaring oleh
mesin dialisis.
Jenis Peritoneal Dialisis :
1) APD (Automated Peritoneal Dialysis). Merupakan bentuk terapi dialysis
peritoneal yang baru dan dapat dilakukan di rumah, pada malam hari sewaktu tidur
dengan menggunakan mesin khusus yang sudah diprogram terlebih dahulu.
2) CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis). Bedanya tidak menggunakan
mesin khusus seperti APD. Dialisis peritoneal diawali dengan memasukkan cairan
dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter,
lalu dibiarkan selama 4-6 jam.
Indikasi: bayi dan anak-anak, pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik pada
hemodialisis, pasien dengan akses vaskular sulit. Kontra Indikasi: hilangnya fungsi
membran peritoneum, operasi berulang pada abdomen, kolostomi, ukuran tubuh
yang besar (kemungkinan dengan PD yang adekuat tidak tercapai), identifikasi
problem yang potensial timbul sebelum CAPD dimulai, apakah pasien perlu
seorang asisten (keterbatasan fisik / mental), hernia, penglihatan kurang, dan
malnutrisi yang berat
Keuntungan Peritoneal Dialisis:
- Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
- Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
- Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
- Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit
- Sebagaimana HD Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
- Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
- Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
- Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun
- Pertama Komplikasi anemia, kejang otot, mual, muntah, sakit kepala, rasakan
panas, berkeringat, kelemahan atau pusing, infeksi pada organ rongga perut,
pericarditis, masalah-masalah neurologis, dan keseimbangan kalsium dan
fosfor.
- Hemodialisis.
Hemodialisis adalah cara mengganti fungsi ginjal yang sudah banyak
digunakan di Indonesia dan akan dibahas lebih lanjut seperti di bawah ini.

I. Definisi Hemodialisa
Hemodialisa berasal dari kata “HEMO” artinya darah dan “DIALISIS” artinya
pemisahan zat zat terlarut. Proses pembersihan darah dari zat zat sampah, melalui proses
penyaringan di luar tubuh meluli ginjal buatan yang disebut Dializer.
Dengan kalimat lain, Hemodialisa adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme
zat toksis lainnya melalui membran semipermiabel sebagai pemisah antara darah dan cairan
dialisat yang sengaja dibuat dalam dialiser, karena ginjal sudah tidak mampu melaksanakan
fungsi tersebut. Membran semipermiabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari
selulosa atau bahan sintetik. Ukuran poripori membran memungkinkan difusi zat dengan berat
molekul rendah seperti urea, keratin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil
dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel
darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membrane (Wijaya, dkk., 2016).
Pada hemodialisa, darah dipompa keluar dari tubuh, masuk kedalam mesin dialiser.
Didalam mesin dialiser darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi dan
ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisis), lalu dialirkan kembali dalam
tubuh. Proses hemodialisa dilakukan 1-3 kali seminggu dirumah sakit dan setiap kalinya
membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam (Mahdiana, 2015).
Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara
mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan yang lebih
encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran semipermeabel
dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekakan eksternal pada membran).

Gambar 1. Contoh mesin Hemodialisa

Gambar 2. Proses Hemodialisa

Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau
bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul
rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan
bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel
darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua
kompartemen disebut gradien konsentrasi.
Didalam dialyzer terdapat ratusan ribu sampai jutaan membrane permeable, dan
sehelai membran sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerolus serta tubulus renal
dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya.
Sistem ginjal buatan:
1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara darah dan
bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah dan tekanan negatif
(penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).
3. Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam
darah dan mengeluarkan air yang berlebih. Pada hemodilisa, aliran darah yang penuh
dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiter tempat darah
tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.

Gambar 3. Proses dialisa di dalam Dialyzer

J. Indikasi dan Kontra indikasi Hemodialisa


1. Indikasi hemodialisa adalah sebagai berikut:
a. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerulus < 5ml). Pasien-
pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi:
Hiperkalemia (K+ darah > 6 mEq/l), asidosis, kegagalan terapi konservatif, kadar
ureum/kreatinin tinggi dalam darah (Ureum > 200 mg%, Kreatinin serum > 6
mEq/l), kelebihan cairan, mual dan muntah hebat.
b. Intoksikasi obat dan zat kimia
c. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat
d. Sindrom hepatorenal dengan kriteria : 1) K + pH darah < 7,10 → asidosis 2)
Oliguria/anuria > 5 hari 3) GFR < 5 ml/I pada GGK 4) Ureum darah > 200 mg/dl
e. Snack Bite
f. Malaria Falcifarum Fulminant
g. Leptospirosis
h. Pada kasus Ginekologi : ( APH, PPH, Septic Abortion)
i. Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa
1) Peningkatan BUN > 20-30 mg%/hari
2) Serum kreatinin > 2 mg%/hari
3) Hiperkalemia
4) Overload cairan yang parah
5) Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
j. Pada kasus CRF
1) BUN > 200 mg%
2) Creatinin > 8 mg%
3) Hiperkalemia
4) Asidosis metabolik yang parah
5) Uremic encepalopati
6) Overload cairan
7) Hb: < 8 gr% - 9 gr% siap-siap tranfusi

2. Kontra indikasi Hemodialisa


Kontra indikasi pasien yang hemodialisa adalah sebagai berikut:
a) Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg).
b) Hipotensi (TD < 100 mmHg).
c) Adanya perdarahan hebat.
d) Demam tinggi.
K. Prinsip Hemodialisa
Prinsip Hemodialisa pada dasarnya sama seperti pada ginjal, ada tiga prinsip yang
mendasari kerja hemodialisia, yaitu: difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Proses yang terjadi
pada membran dialyzer ini adalah terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan
dialisat. Berikut ini adalah penjelasan proses-proses yang terjadi selama pertukaran zat-zat
pada membran dialyzer: Proses dalam Hemodialisa akan diterangkan di bawah ini.
1. Proses Difusi
Difusi merupakan proses berpindahnya suatu zat terlarut yang disebabkan karena
adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut dalam darah dan dialisat. Perpindahan
molekul terjadi dari zat yang berkonsentrasi tinggi ke yang berkonsentrasi lebih rendah.
Pada hemodialisa pergerakan molekul / zat ini melalui suatu membran semi permeabel
yang membatasi kompartemen darah dan kompartemen dialisat.
Proses difusi dipengaruhi oleh:
a) Perbedaan konsentrasi
b) Berat molekul (makin kecil BM suatu zat, makin cepat zat itu keluar)
c) QB (Blood Pump)
d) Luas permukaan membran
e) Temperatur cairan
f) Tahanan / resistensi membran
g) Besar dan banyaknya pori pada membran
h) Ketebalan / permeabilitas dari membrane
Faktor-faktor di atas menentukan klirens dialyzer. Klirens suatu dialyzer adalah
kemampuan dialyzer untuk mengeluarkan zat-zat yang harus dibuang dari darah.
Jumlah atau banyaknya darah yang dapat dibersihkan dari suatu zat secara komplit
oleh suatu dialyzer yang dinyatakan dalam ml/mnt.

2. Proses Ultrafiltrasi
Berpindahnya zat pelarut (air) melalui membran semi permeabel akibat perbedaan
tekanan hidrostatik pada kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Tekanan
hidrostatik/ultrafiltrasi adalah yang memaksa air keluar dari kompartemen darah ke
kompartemen dialisat. Besar tekanan ini ditentukan oleh tekanan positif dalam
kompartemen darah (positive pressure) dan tekanan negative dalam kompartemen dialisat
(negative pressure) yang disebut TMP (trans membran pressure) dalam mmHg. Driving
force yang digunakan pada ultrafiltrasi ini adalah perbedaan tekanan hidrostatik antara
darah dan dialyzer.
Perpindahan & kecepatan berpindahnya dipengaruhi oleh:
a) TMP
b) Luas permukaan membran
c) Koefisien Ultra Filtrasi (KUf)
d) Qd & Qb
e) Perbedaan tekanan osmotik
Proses ultrafiltrasi adalah proses pergeseran zat terlarut dan pelarut secara simultan
dari kompartemen darah kedalam kompartemen dialisat melalui membran
semipermiabel. Proses ultrafiltrasi ini terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan osmotik.
a) Ultrafiltrasi hidrostatik
1) Transmembran pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan kompartemen
dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut didalamnya berpindah dari darah ke
dialisat melalui membran semipermiabel adalah akibat perbedaan tekanan
hidrostatik antara kompertemen darah dan kompartemen dialisat. Kecepatan
ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan tekanan yang melewati membran.
2) Koefisien ultrafiltrasi (KUf)
3) Besarnya permeabilitas membran dialyzer terhadap air bervariasi tergantung
besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah cairan (ml/jam) yang
berpindah melewati membran per mmHg perbedaan tekanan (pressure gradient)
atau perbedaan TMP yang melewati membran.
b) Ultrafiltrasi osmotic
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran semipermiabel, bila
larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel dibanding “A” maka
konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding konsentrasi larutan “A”. Dengan
demikian air akanberpindah dari “A” ke “B” melalui membran dan sekaligus akan
membawa zat-zat terlarut didalamnya yang berukuran kecil dan permiabel terhadap
membran, akhirnya konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.

3. Proses Osmosis
Berpindahnya air karena tenaga kimiawi yang terjadi karena adanya perbedaan
tekanan osmotik (osmolalitas) darah dan dialisat. Proses osmosis ini lebih banyak
ditemukan pada peritoneal dialysis.
Ada 3 tipe dialyzer yang siap pakai, steril dan bersifat disposibel yaitu bentuk hollow-
fiber (capillary) dialyzer, parallel flat dialyzer dan coil dialyzer. Setiap dialyzer
mempunyai karakteristik tersendiri untuk menjamin efektifitas proses eliminasi dan
menjaga keselamatan penderita. Yang banyak beredar dipasaran adalah bentuk
hollowfiberdengan membran selulosa.

L. Peralatan.
1. Dialyzer
Pada proses hemodialisa, peralatan yang memiliki peran paling penting adalah ginjal
buatan atau membran dialyzer. Membran ini berperan menggantikan fungsi ginjal yang
tidak bisa bekerja lagi dari seorang pasien. Membran dialyzer ini harus dirancang
sedemikian rupa sehingga menyerupai basal membrane glomerulus. Membran dialyzer
dapat dibuat dari beberapa bahan seperti selulosa, selulosa tersubtitusi, selulo sintetik dan
polimer buatan. Bahan-bahan ini ada yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik. Membran
yang bersifat hidrofobik terbukti dapat mengabsorbsi protein lebih porotis dan
mempunyai koefisien ultrafiltrasi paling tinggi. Implikasi klinis yang terjadi adalah
eliminasi toksin lebih efektif dan beresiko kehilangan protein (hipoproteinemia).
Gambar 4. Dialyzer

Membran semi permeabel adalah suatu selaput atau lapisan yang sangat tipis dan
mempunyai lubang (pori) sub mikroskopis. Dimana partikel dengan BM kecil &
sedang (small dan middle moleculler) dapat melewati pori membran, sedangkan
partikel dengan BM besar (large moleculler) tidak dapat melalui pori
membran tersebut. Dialyzer merupakan suatu tabung yang terdiri dari 2 ruangan (2
kompartemen) yang dipisahkan oleh selaput semi permeabel.
Berikut ini adalah beberapa sifat dari membran dialyzer yang harus diperhatikan,
karena akan menentukan proses-proses yang terjadi berjalan dengan semestinya :
a. Luas permukaan dialyzer
b. Ukuran besar pori atau permeabilitas ketipisanya
c. Koefisien ultrafiltrasi
d. Volume dialyzer
e. Kebocoran darah tidak boleh terjadi
f. Dapat di re-use tanpa merubah kemampuan klirens dan ultrafiltrasinya
g. Harga
Pada mulanya HD dilakukan dengan menggunakan membran yang mempunyai
klirens dan ultrafiltrasi yang rendah yang memerlukan waktu sampai 6 jam untuk
mendialisis pasien. Kemajuan biomaterial dialyzer memungkinkan dialysis lebih
pendek lagi (4 jam) dalam 3 kali seminggu.
Adapun pemilihan membran dialyzer dapat berdasarkan pertimbangan teoritis
(biokompatibilitas dan fluks), berdasarkan pertimbangan klinis (gejala intradialisis,
morbiditas dan mortalitas). Secara praktis pemilihan membran dialyzer berdasarkan
Bahan membrane sintesis dan tidak sintesis, KoA dialyzer, Koeffisient Ultrafiltrasi,
Dialyzer standard, Dialyzer high efficiency atau high flux, Model Sterilisasi, Desain
plat paralel atau hollow-fiber (capillary).

Pemilihan dialyzer berdasarkan pertimbangan teoritis.


1. Biokompatibilitas
Secara teori, membran yang mengaktifkan komplemen dan mengakibatkan pelepasan
fragmen komplemen tidak disukai, karena pengaktifan komplemen dapat meningkatkan
produksi superoksida neutrophil. Secara kronis terpajan terhadap membran pelepasan
fragmen komplemen bisa mengganggu kemampuan fagositosis granulosit dan
kemampuan leukosit untuk menciptakan superoksida. Pada sisi lain, pada pemakaian
ulang, apabila blach (obat pengelantang) tidak dipakai, membran sellulosa yang belum
disubstitusikan menjadi terlapis dengan protein darah selama pemakaian pertama, pada
pemakaian berikutnya komplemen sangat direduksi.

2. Fluks
Dahulu membran sintesis cenderung lebih terbuka, yakni memiliki permeabilitas
yang lebih tinggi terhadap solut berat molekul besar dan memiliki klearansi molekul yang
tinggi, dalam rentang BM 1000. Pada saat sekarang membran sintesis dengan karakteristik
fluks rendah, atau membran fluks tinggi yang terbuat dari sellulosa yang belum
disubstitusi ataupun dari sellulosa asetat.
Penghilangan yang meningkat dari “molekul tengah“ yang berhubungan dengan
pemakaian membran fluks tinggi kadang dapat menguntungkan secara klinis. Beta-2
mikroglobulin adalah molekul lain justru lebih banyak dihilangkan secara efektif oleh
banyak membran sintesis dari pada membran selulosa. Akumulasi beta-2 mikroglobulin
pada penderita hemodialisis dapat mengakibatkan amyloidosis yang bermanifestasi
sebagai sindroma tunnel carpal, arthropathy, dan kista tulang.
3. Backfiltrasi (filtrasi-balik)
Kemungkinan terdapat kelemahan pada pemakaian membran fluks tinggi, karena
sangat tembus terhadap air dan membutuhkan pemakaian mesin dialisis yang mahal
dengan sirkuitas kontrol ultrafiltrasi volumetris. Sebagian mesin dialisis ini sulit
dibebaskan dari infeksi secara tepat karena kompleksitas jalur cairannya. Jika tidak
dibersihkan dengan baik setelah pemakaian, mesin tersebut dapat berhubungan dengan
reaksi pirogen selama dialisis. Di banyak pusat dialisis, air yang dipakai untuk membuat
larutan dialisis mengandung tingkat bakteri yang tinggi dan pirogen. Dengan membran
fluks tinggi akan ada fluks balik yang meningkatkan material pirogen dari larutan dialisis
ke darah (karena perbedaan tekanan yang lebih rendah antara darah dan kompartemen
dialisat dan pembukaan membran).

Pemilihan dialyzer berdasarkan pertimbangan klinis


1. Gejala-gejala intradialisis
Penelitian terkontrol yang baik saat ini, tidak melaporkan perbedaan dalam hal gejala
intradialisis diantara beberapa membran dalam mengaktifkan komplemen. Kelemahan tei
dari filtrasi balik adalah sulitnya untuk mendapatkan secara klinis terjadinya reaksi
pirogen karena pemakaian membran dialisis fluks tinggi. Reaksi dialyzer karena
membran, sterilant, larutan dialisis terkontaminasi, ataupun bahan kimia lain dalam sirkuit
dialisis dapat menjadi masalah klinis penting.

2. Morbiditas dan mortalitas


Sejumlah penelitian tidak-acak telah menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas lebih
rendah pada penderita yang didialisis dengan membran sintesis daripada membran
sellulosa yang belum disubstitusi. Alasannya belum jelas tetapi dapat disebabkan kejadian
infeksi yang lebih rendah pada penderita yang didialisis dengan membran sintesis.

Pemilihan dialyzer secara praktis


1. Bahan membran sintesis dan tidak sintesis
Material dari membran terbuat dari:
a) Sellulose seperti cuprammonium cellulose (cuprophan), cuprammonium rayon,
saponified cellulose ester.
b) Sellulose yang disubstitusi seperti cellulose acetat, dacetat, triacetate. Cellulosynthetic
seperti cellosyn atau hemophan.
c) Synthetic seperti polyacrylonitrile (PAN) seperti polysulfone, polycarbonate,
polyamide, dan polymethylmethacrylate (PMMA).

2. KoA dialyzer.
KoA merupakan koeffisien luas permukaan transfer adalah kemampuan penjernihan
dalam ml/menit dari ureum pada kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat
tertentu. Luas permukaan membran berkisar 0,8 s/d 2,2 m2 . KoA terdiri dari
dialyzereffisiensi rendah terutama untuk penderita berat badan kecil dengan KoA <500,
dialyzer effisiensi sedang dengan KoA 500-700, dan dialyzer effisiensi tinggi dengan
KoA >700. KoA equivalen dengan luas permukaan membran, makin luas permukaan
membran semakin tinggi klearensi ureum. Nilai KoA dari dialyzer yang sering dipakai
ada yang telah didaftarkan. Nilai KoA dari dialiser yang belum didaftarkan bisa diperoleh
dari lembar rincian dialyzer.

3. Koeffisient Ultrafiltrasi (KUf)


KUf disebut juga dengan permiabilitas air merupakan spesifikasi dialyzer. Kuf terdiri
dari KUf rendah 2,0 , KUf sedang 4,0 dan KUf tinggi dan high flux >10,0. Contoh; KUf
2,0 adalah memerlukan TMP 500 untuk ultrafiltrasi 1000 ml, sedang KUf 8,0 hanya
memerlukan TMP 125 ml untuk ultrafiltrasi 1000 ml. Pemilihan dialyzer berdasarkan
pada permeabilitas air. Apabila tersedia kontroler ultrafiltrasi, pemakaian dialyzerdengan
permeabilitas air yang tinggi (Kuf>6,0) akan menjadi pilihan. Apabila tidak tersedia
kontroler ultrafiltrasi, maka dialyzer dengan KUf yang lebih rendah menjadi pilihan.
Pemakaian dialyzer dengan KUf relatif rendah membutuhkan pemakaian tekanan
transmembran yang lebih tinggi untuk mempengaruhi penghilangan jumlah cairan.
Keadaan ini meminimalkan pengaruh variasi dalam tekanan transmembran terhadap
penghilangan cairan. Sebagai suatu aturan baku, apabila kontroller ultrafiltrasi tidak
tersedia, KUf dialiser in vivo (ml/jam/mmHg) akan sekitar 4 kali angka penghilangan
cairan yang diharapkan dalam liter/jam. Contoh; jika ingin menghilangkan cairan 0,75
liter/jam, KUf dialyzer in vivo akan 4 x 0,75 = 3,0. Tekanan tansmembran yang
dibutuhkan kemudian menjadi 750/3 = 250 mmHg.

4. Dialyzer standard
Terdiri dari klearensi ureum <200 ml/menit, kecepatan darah yang dipakai ≤250 ml/menit,
low-flux dengan Kuf <15 ml/mmHg/jam. Contohnya adalah Cuphrophane, Cellulosa
asetat dan hemophane.

5. Dialyzer high efficiency atau high flux.


Dialyzer high efificiency adalah dialyzer yang mempunyai luas permukaan membran yang
besar. Dialyzer high flux adalah dialyzer yang mempunyai pori- pori besar yang dapat
melewatkan molekul yang lebih besar, dan mempunyai permiabilitas terhadap air yang
tinggi. Dialyzer high-efficiency/high-flux terdiri dari terdiri dari klearens ureum >200
ml/menit, kecepatan darah yang dipakai >250 ml/menit, high-flux dengan Kuf >15
ml/mmHg/jam, dan membrannya adalah Polysulfone, Celuloasa triasetat, dan AN-69.

6. Desain plat paralel terhadap hollow-fiber (capillary).


Dengan tersedianya dewasa ini dialiser plat paralel dan hollow-fiber, hanya sedikit alasan
untuk memilih satu konfigurasi atas yang lain.

7. Dialisat atau Cairan dialysis


Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari
serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan bahan kimia
disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk
melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena
bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada
membran permeable yang besar, air untuk dialisat harus aman secara bakteriologis.
Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersial. Bath standar umumnya
digunakan pada unit kronis, namun dapat dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan
pasien tertentu.
Dialisat adalah cairan yang dignakan pada saat proses HD berlangsung, terdiri dari
campuran air dan elektrolit yang mempunyai konsentrasi yang sama dengan serum
normal dan mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan darah
Sistem Pemberian Dialisat yaitu pemberian tunggal untuk satu pasien: system
pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada kedua
system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur serta pemantau
menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.

M. Prosedur Hemodialisa
Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keamanan
peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system sirkulasi dicapai
melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur arteriovenosa (AV) atau kateter
hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk
mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena
subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai
dengan kebijakan institusi.

Gambar 5. Akses Ekstrnal hemodialisis.

Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa
darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran
“arterial”, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke dalamnya sebagai darah
yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum: jarum “arterial”
diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada vistula atau tandur untuk
memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal salin yang di klep selalu
disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada kejadian hipotensi, darah yang
mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal salin yang diklem dibuka dan
memungkinkan dengan cepat menginfus untuk memperbaiki tekanan darah. Tranfusi
darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit pada keadaan ini dan
dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan
baik sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan.
Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir ke dalam
kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat sisa. Darah
yang meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam yang mengklem dan
menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap
obat-obat yang akan diberikan pada dialysis diberikan melalui port obat-obatan. Penting
untuk diingat, bagaimanapun bahwa kebanyakan obat-obatan ditunda pemberiannya
sampai dialysis selesai kecuali memang diperintahkan.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang
postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan mengklem
darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membilas sirkuit untuk
mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang kedalam perangkat akut,
meskipun program dialisis kronik sering membeli peralatan untuk membersihkan dan
menggunakan ulang dialiser.

Gambar 6. Jalur Hemodialisis

Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan dialysis
karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib untuk
digunakan oleh perawat yang melakukan hemodialisis.
N. Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa
1. Perawatan sebelum hemodialisa
a. Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa
b. Kran air dibuka
c. Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk kelubang atau
saluran pembuangan
d. Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak
e. Hidupkan mesin
f. Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit
g. Matikan mesin hemodialisis
h. Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat
i. Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis
j. Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)

2. Menyiapkan sirkulasi darah


a. Bukalah alat-alat dialysis dari set nya
b. Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi “inset” (tanda merah) diatas dan posisi
“outset” (tanda biru) di bawah.
c. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inset”dari dializer.
d. Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung “out set” dari dializer dan tempatkan
buble tap di holder dengan posisi tengah..
e. Set infus ke botol NaCl 0,9% - 500 cc
f. Hubungkan set infus ke slang arteri
g. Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang lalu diklem.
h. Memutarkan letak dializer dengan posisi “inset” di bawah dan “out set” di atas,
tujuannya agar dializer bebas dari udara.
i. Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin
j. Buka klem dari infus set ABL, VBL
k. Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian naikkan
secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
l. Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan
m. Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan udara dari dalam
dializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas udara (tekanan lebih dari 200
mmHg).
n. Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang terdapat
pada botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas ukur.
o. Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru
p. Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan
konektor.
q. Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-20 menit untuk
dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit.
r. Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet” di atas dan “outlet” di
bawah.
s. Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi di lihat selama 5-10 menit, siap untuk
dihubungkan dengan pasien) soaking.

3. Persiapan pasien
1. Menimbang berat badan
2. Mengatur posisi pasien
3. Observasi keadaan umum
4. Observasi tanda-tanda vital
5. Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya
mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti di bawah ini:
a) Dengan interval A-V shunt / fistula simino
b) Dengan external A-V shunt / schungula
c) Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)

O. Intrepretasi Hasil
Hasil dari tindakan dialysis harus diintrepretasikan dengan mengkaji jumlah cairan
yang dibuang dan koreksi gangguan elektrolit dan asam basa. Darah yang diambil segera
setelah dialysis dapat menunjukkan kadar elektrolit, nitrogen urea, dan kreatinin rendah palsu.
Proses penyeimbangan berlangsung terus menerus setelah dialysis, sejalan perpindahan zat
dari dalam sel ke plasma.

P. Komplikasi Hemodialisa
1. Ketidakseimbangan cairan
a. Hipervolemia
b. Ultrafiltrasi
c. Rangkaian Ultrafiltrasi (Diafiltrasi)
d. Hipovolemia
e. Hipotensi
f. Hipertensi
g. Sindrom disequilibrium dialysis
2. Ketidakseimbangan Elektrolit
a. Natrium serum
b. Kalium
c. Bikarbonat
d. Kalsium
e. Fosfor
f. Magnesium
3. Infeksi
4. Perdarahan dan Heparinisasi
5. Troubleshooting
a. Masalah-masalah peralatan
b. Aliran dialisat
c. Konsentrat Dialisat
d. Suhu
e. Aliran Darah
f. Kebocoran Darah
g. Emboli Udara
6. Akses ke sirkulasi
a. Fistula Arteriovenosa
b. Ototandur
c. Tandur Sintetik
d. Kateter Vena Sentral Berlumen Ganda

Gambar 7. Beberapa akses hemodialisis.

Gambar 8. Akses Hemodialisis Double Lumen

Gambar 9. Akses AV Shunt ( Cimino)


Gambar 10. Akses Femoral

Q. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama proses perawatan yang akan membantu dalam
penentuan status kesehatan dan pola pertahanan pasien, mengidentifikasi kekuatan dan
kebutuhan pasien serta merumuskan diagnose keperawatan (Smeltezer and Bare, 2011 :
Kinta, 2012).
a. Identitas pasien
Meliputi nama lengkat, tempat tinggal, umur, tempat lahir, asal suku bangsa, nama
orang tua, pekerjaan orang tua.
b. Keluhan utama
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur,
takikardi/takipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma.
c. Riwayat kesehatan pasien dan pengobatan sebelumnya
Berapa lama pasien sakit, bagaimana penanganannya, mendapat terapi apa,
bagaimana cara minum obatnya apakan teratur atau tidak, apasaja yang dilakukan
pasien untuk menaggulangi penyakitnya.
d. Aktifitas/istirahat :
Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise, gangguan tidur (insomnia/gelisah atau
samnolen), kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
e. Sirkulasi
Adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpatasi, nyeri dada (angina), hipertensi,
nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak tangan, nadi lemah,
hipotensi ortostatik menunjukkan hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap
akhir, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning, kecenderungan perdarahan.
f. Integritas ego
Faktor stress, perasaan tak berdaya, taka da harapan, taka da kekuatan, menolak,
ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
g. Eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (pada gagal ginjal tahap lanjut), abdomen
kembung, diare, atau konstipasi, perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah,
coklat, oliguria.
h. Makanan/cairan
Peningkatan berat badan cepat (oedema), penurunan berat badan (malnutrisi),
anoreksia, nyeriulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut
(pernapasan ammonia), penggunaan diuretic, distensi abdomen/asietes, pembesaran
hati (tahap akhir), perubahan turgor kulit/kelembaban, ulserasi gusi, perdarahan
gusi/lidah.
i. Neurosensory
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, syndrome “kaki gelisah”, rasa
terbakar pada telapak kaki, kesemutan dan kelemahan, khususnya ekstremitas bawah,
gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, stupor,
kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
j. Nyeri/kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki dan perilaku berhatihati/ distraksi,
gelisah.
k. Pernapasan
Napas pendek, dyspnea, batuk dengan/tanpa sputum kental dan banyak, takipnea,
dyspnea, peningkatan frekuensi/kedalaman dan batuk dengan sputum encer (edema
paru).
l. Keamanan
Kulit gatal, ada/berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis, dehidrasi),
normotermia dapat secara actual terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami
suhu tubuh lebih rendah dari normal, petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang,
keterbatasan gerak sendi.
m. Seksualitas
Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
n. Interaksi social
Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran biasanya dalam keluarga.
o. Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat Diabetes Melitus (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik,
nefritis herediter, kalkulus urenaria, maliganansi, riwayat terpejan pada toksin,
contoh obat, racun lingkungan, penggunaan antibiotic nefrotoksik saat ini/berulang.

R. Diagnosa Keperawatan
1. Hipervolemia
2. Defisit nutrisi
3. Nausea
4. Gangguan integritas kulit/jaringan
5. Gangguan pertukaran gas
6. Intoleransi aktivitas
7. Resiko penurunan curah jantung
8. Perfusi perifer tidak efektif
9. Nyeri akut
S. Rencana Asuhan Keperawatan
No Masalah Keperawatan (SDKI) SLKI SIKI
1 Hipervolemia Keseimbangan Cairan Manajemen Hipervolemia
Definisi : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 Tindakan-tindakan :
Peningkatan volume cairan jam maka diharapkan ekspektasi keseimbangan cairan 1. Observasi
intravaskular, intravaskular, interstisial, meningkat dengan Kriteria hasil: 1.1 Periksa tanda dan gejala hipervolemia (mis.
dan/atau intraselular 1. Asupan cairan meningkat Ortopnea, dispnea, edema, JVP/CVP meningkat,
2. Haluaran urin meningkat refleks hepatojugular positif, suara npas
Penyebab : tambahan)
3. Kelembaban membran mukosa meningkat
1. Gangguan mekanisme regulasi 1.2 Identifikasi penyebab hipervolemia - Monitor
2. Kelebihan asupan cairan
4. Asupan makanan meningkat
status hemodinamik (mis. frekuensi jantung,
3. Kelebihan asupan natrium 5. Edema menurun
tekanan darah, MAP, CVP, PAP, PCWP, CO,
4. Gangguan aliran balik vena 6. Dehidrasi menurun CI), jika tersedia
5. Efek agen farmakologis (mis. 7. Asites menurun 1.3 Monitor intake dan output cairan
kortikostreoid, chlorpropamide, 8. Konfusi menurun 1.4 Monitor tanda hemokonsentrasi (mis. kadar
tolbutamide, vincristine, 9. Tekanan darah membaik natrium, BUN, hematokrit, berat jenis urine)
tryptilinescarbamazepine) 1.5 Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik
10. Denyut nadi radial membaik
plasma (mis. kadar protein dan albumin
11. Tekanan arteri ratarata membaik
meningkat)
12. Membran mukosa membaik
1.6 Monitor keceptan infus secara ketat
13. Mata cekung membaik 1.7 Monitor efek samping diuretik (mis. Hipotensi
14. Turgor kulit membaik ortostatik, hipovolemia, hipokalemia,
15. Berat badan membaik hiponatremia) Terapeutik
1.8 Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang
sama
1.9 Batasi asupan cairan dan garam
1.10 Tinggikan kepala tempat tidur 30-40°
2. Edukasi
2.1 Anjurkan melapor jika haluaran urin < 0,5
mL/kg/jam dalam 6 jam
2.2 Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam
sehari
2.3 Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan
haluaran caira
2.4 Ajarkan cara membatasi cairan
3. Kolaborasi
3.1 Kolaborasi pemberian diuretic
Defisit Perawatan Diri Perawatan Diri Edukasi perawatan diri
Definisi: tidak mampu atau Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8
menyelesaikan aktivitas jam maka diharapkan ekspektasi perawatan diri Tindakan-tindakan :
perawatan diri. meningkat dengan Kriteria hasil: 1. Observasi
Penyebab : 1.1 Identifikasi pengetahuan tentang perawatan diri
1. Gangguan musculoskeletal 1. Kemampuan mandi dengan skala (5) 1.2 Identifikasi kemampuan membaca, status
2. Gangguan neuromuskuler 2. Kemampuan mengenakan pakaian dengan skala kognitif, psikologis, tingkat kecemasan dan
(5) budaya.
3. Kelemahan
3. Kemampuan makan dengan skala (5) 1.3 Identifikasi masalah dan hambatan perawatan diri
4. Gangguan psikologis
4. Kemampuan ke toilet (BAK/BAB) dengan skala yang dialami
5. Penurunan motivasi/minat (5) 2. Terapeutik
5. Verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri 2.1 Rencanakan strategi edukasi, termasuk tujuan
dengan skala (5) yang realistis
6. Minat melakukan perawatan diri dengan skala (5) 2.2 Jadwalkan waktu pembelajaran dan intensitas
sesuai penyakit
Keterangan 2.3 Berikan penguatan positif terhadap kemampuan
1. Menurun yang didapat
2. Cukup menurun 3. Edukasi
3.1 Ajarkan perawatan diri, praktik perawatan diri,
3. Sedang
dan aktivitas kehidupan sehari-hari
4. Cukup meningkat
3.2 Anjurkan mendemonstrasikan praktik perawatan
5. Meningkat diri sesuai kemampuan
3.3 Anjurkan mengulang kembali informasi
edukasi tentang perawatan diri.
3. Gangguan integritas kulit Integritas Kulit dan Jaringan Perawatan Integritas Kulit
Definisi : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 Tindakan-tindakan :
Kerusakan kulit (demis dan/atau jam maka diharapkan ekspektasi integritas kulit 1. Observasi
epidermis) atau jaringan (mebran meningkat dengan Kriteria hasil: 1.1 Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
nukosa, kornea, fasia, otot, tendon, 1. Elastisitas meningkat (mis. perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi,
tulang, kartilago, kapsul sendi dan/atau
logamen). 2. Hidrasi meningkat penurunan kelembaban, suhu lingkungan ekstrem,
3. Perfusi jaringan meningkat penurunan mobilitas)
4. Kerusakan jaringan menurun 2. Terapeutik
2.1 Ubah posisis tiap 2 jam jika tirah baring
5. Kerusakan lapisan kulit menurun
2.2 Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang,
6. Nyeri menurun
jika perlu
7. Perdarahan menurun 2.3 Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama
8. Kemerahan menurun selama periode diare
9. Hematoma menurun 2.4 Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak
10. Pigmentasi abnormal menurun pada kulit kering
11. Jaringan parut menurun 2.5 Gunakan produk berbahan ringan/alami dan
hipoalergik pada kulit sensitive
12. Nekrosis menurun
2.6 Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit
13. Abrasi kornea menurun
kering Edukasi
14. Suhu kulit membaik 2.7 Anjurkan menggunakan pelembab (mis. lotion,
15. Sensasi membaik serum)
16. Tekstur membaik 2.8 Anjurkan minum air yang cukup
17. Pertumbuhan rambut membaik 2.9 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
2.10 Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
2.11 Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
2.12 Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal
30 saat berada di luar rumah
Defisit Nutrisi Status nutrisi Manajemen Nutrisi
Definisi : asupan nutrisi tidakcukup Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 Tindakan-tindakan :
untuk memenuhi kebutuhan jam diharapkan pemenuhan kebutuhan status nutrisi 1. Observasi
metabolisme. pasien tercukupi dengan kriteria hasil: 1.1 Identifikasi status nutrisi
1. intake nutrisi tercukupi 1.2 Identifikasi makanan yang disukai
Penyebab : 2. Asupan makanan dan cairan tercukupi 1.3 Monitor asupan makanan
1. Ketidakmampuan menelan makanan 1.4 Monitor berat badan
2. Ketidakmampuan mencerna 2. Terapeutik
makanan 2.1 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
3. Ketidakmampuan mengabsorsorbsi 2.2 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang
nutrien sesuai
4. Peningkatan kebutuhan metabolisme 2.3 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
5. Faktor ekonomi (mis. Financial tidak konstipasi
mencukupi) 3. Edukasi
6. Faktor psikologis (mis. Stres, 3.1 Anjurkan posisi duduk, jika mampu
keengganan untuk makan) 3.2 Ajarkan diet yang diprogramkan
4. Kolaborasi
4.1 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori
5. Intoleransi Aktivitas Toleransi Aktivitas Manajemen Energi
Definisi : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 Tindakan-tindakan :
Ketidakcukupan energy untuk jam diharapkan ekspektasi toleransi aktivitas meningkat 1. Observasi
melakukan aktivitas sehari-hari. dengan kriteria hasil: 1.1 Monitor kelelahan fisik
1. Keluhan lelah menurun 1.2 Monitor pola dan jam tidur
2. Saturasi oksigen dalam rentang normal (95%- 100%) 2. Terapeutik
3. Frekuensi nadi dalam rentang normal (60-100 2.1 Lakukan latihan rentang gerak pasif/aktif
kali/menit) 2.2 Libatkan keluarga dalam melakukan aktifitas, jika
4. Dispnea saat beraktifitas dan setelah beraktifitas perlu
menurun (16-20 kali/menit) 3. Edukasi
3.1 Anjurkan melakukan aktifitas secara bertahap
3.2 Anjurkan keluarga untuk memberikan penguatan
positif
4. Kolaborasi
4.1 Kolaborasi dengan ahli gizi
6. Gangguan pertukaran gas Pertukaran gas Pemantauan respirasi
Definisi : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 Tindakan-tindakan:
Kelebihan atau kekurangan oksigenasi jam diharapkan pertukaran gas tidak terganggu dengak 1. Observasi
dan/atau eliminasi karbondioksida pada kriteria hasil: 1.1 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
membrane alveolus-kapiler. 1. Tanda-tanda vital dalam rentang normal napas
2. Tidak terdapat otot bantu napas 1.2 Monitor pola napas
1.3 Monitor saturasi oksigen
3. Memlihara kebersihan paru dan bebas dari tanda-
1.4 Auskultasi bunyi napas
tanda distress pernapasan
2. Terapeutik
2.1 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
2.2 Bersihkan sekret pada mulut dan hidung, jika perlu
2.3 Berikan oksigen tambahan, jika perlu
2.4 Dokumentasikan hasil pemantauan
3. Edukasi
3.1 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
3.2 Informasikan hasil pemantauan
4. Kolaborasi
4.1 Kolaborasi penentuan dosis oksigen
7 Resiko Penurunan Curah jantung Penurunan curah jantung Perawatan Jantung
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x8 jam Tindakan-tindakan :
Definisi : diharapkan ekspektasi penurunan curah jantung 1. Observasi:
Berisiko mengalami pemompaan jantung meningkat dengan kriteria hasil: 1.1 Identifikasi tanda dan gejala primer penurunan
yang tidak adekuat untuk memenuhi 1. Kekuatan nadi perifer meningkat curah jantung (mis. Dispnea, kelelahan)
kebutuhan metabolism tubuh. 2. Tekanan darah membaik 100-130/60-90 mmHg 1.2 Monitor tekanan darah
3. Lelah menurun 1.3 Monitor saturasi oksigen
2. Terapeutik:
4. Dispnea menurun dengan frekuensi 16-24 x/menit
2.1 Posisikan semi-fowler atau fowler
2.2 Berikan terapi oksigen
3. Edukasi
3.1 Ajarkan teknik relaksasi napas dalam
3.2 Anjurkan beraktifitas fisik sesuai toleransi
4. Kolaborasi
4.1 kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
8. Perfusi Perifer Tidak Efektif Perfusi perifer Perawatan sirkulasi
Definisi : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3x8 jam Tindakan :
Penurunan sirkulasi darah pada level maka perfusi perifer meningkat dengan kriteria hasil:
kapiler yang dapat mengganggu 1. denyut nadi perifer meningkat 1. Observasi
meabolisme tubuh. 2. Warna kulit pucat menurun 1.1 periksa sirkulasi perifer (mis. Nai perifer, edema,
pengisisan kapiler, warna, suhu
3. Kelemahan otot menurun
1.2 monitor perubahan kulit
4. Pengisian kapiler membaik 1.3 monitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak
5. Akral membaik 1.4 Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
6. Turgor kulit membaik 2. Terapeutik
2.1 Hindari pemasangan infus atau pengambilan
darah di area keterbatasan perfusi
2.2 Hindari pengukuran tekanan darah pada
ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
2.3 Lakukan pencegahan infeksi
2.4 Lakukan perawatan kaki dan Kuku
3. Edukasi
3.1 Anjurkan berhenti merokok
3.2 Anjurkan berolahraga rutin
3.3 Anjurkan mengecek air mandi untun
menghindari kulit terbakar
3.4 Anjurkan meminum obat pengontrol tekanan
darah secara Teratur
4. Kolaborasi
4.1 Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu
9. Nyeri akut Tingkat nyeri Manajemen Nyeri
Definisi : pengalaman sensorik atau Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 Tindakan-tindaka :
emosional yang berkaitan dengan jam maka diharapkan ekspektasi tingkat nyeri menurun 1. Observasi
kerusakan jaringan actual atau dengan kriteria hasil: 1.1 Identifikasi factor pencetus dan pereda nyeri
fungsional, dengan onset mendadak atau 1. Keluhan nyeri menurun 1.2 Monitor kualitas nyeri
lambat dan berintensitas ringan himgga 2. Meringis menurun 1.3 Monitor lokasi dan penyebaran Nyeri
berat yang berlangsung kurang dari 3 3. Frekuensi nadi membaik 1.4 Monitor intensitas nyeri dengan menggunakan
bulan 4. Pola nafas membaik skala
5. Tekanan darah membaik 1.5 Monitor durasi dan frekuensi nyeri
Penyebab : 2. Teraupetik
1. Agen pencedera fisiologis (mis. 2.1 Ajarkan Teknik nonfarmakologis untuk
inflamasi, iskemia, neoplasma) mengurangi rasa nyeri
2. Agen pencedera kimiawi (mis. 2.2 Fasilitasi istirahat dan tidur
terbakar, bahan kimia iritan) 3. Edukasi
3. Agen pencedera fisik (mis. abses, 3.1 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
amputasi, terbakar, terpotong, 3.2 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
mengangkat berat, prosedur 4. Kolaborasi
operasi, trauma, latihan fisik 4.1 Kolaborasi pemberian obat analgetik
berlebihan)
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2011). Dialisis Pada Diabetes Melitus.


http://internis.files.wordpress.com/2011/01/dialisis- pada-diabetes-melitus.pdf

Anita dkk. Penggunaan Hemodialisis pada Bidang Kesehatan yang Memakai Prinsip Ilmu
Fisika. http://dc128.4shared.com/doc/juzmT0gk/preview.html

Bakta, I Made & I Ketut Suastika. (2015). Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta
: EGC. 2015

Black, Joyce M. & Jane Hokanson Hawks. (2015). Medical Surgical Nursing Clinical
Management for Positive Outcome Seventh Edition. China : Elsevier inc. 2015

Nahas, Meguid El & Adeera Levin. (2017). Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA : Oxford University Press. 2017

Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. (2016). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. 2016

Smeltzer, S. (2017). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Volume
2 Edisi 8. Jakarta : EGC. 2017

Sudoyo. (2016). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2016

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (1st ed.).
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Retrieved
from http://www.inna-ppni.or.id

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I). Jakarta.
Retrieved from http://www.inna-ppni.or.id

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia. Retrieved from http://www.inna-ppni.or.id

Anda mungkin juga menyukai