Anda di halaman 1dari 10

KONSTRUKSI PERTIMBANGAN HUKUM TERHADAP PEMENUHAN UNSUR

SUBJEK HUKUM PIDANA


Oleh :
Fatchur Rochman, S.H.
(NIP. 199403312017121005)

PENDAHULUAN
Ketentuan Pasal 197 (1) dan Pasal 199 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, untuk selanjutnya disebut KUHAP mencantumkan adanya
pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian
yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa
sebagai syarat mutlak yang harus termuat dalam suatu putusan, baik putusan pemidanaan maupun
putusan bukan pemidanaan. Yahya Harahap berpendapat bahwa pertimbangan tersebut harus
disusun secara argumentatif sehingga jelas terbaca jalan pikiran yang logis dan reasoning yang
mantap. Dengan demikian, Hakim harus terlebih dahulu memahami secara tepat segala unsur-
unsur konstitutif yang terkandung dalam pasal tindak pidana yang didakwakan serta terampil
mengartikan dan menafsirkan pasal tindak pidana yang bersangkutan. Oleh karena itu, sebelum
memulai pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, Hakim perlu memahami secara mantap semua
unsur tindak pidana yang didakwakan.1
Andi Hamzah berpendapat bawa suatu rumusan delik terdiri atas tiga komponen, yaitu
subjek (normadressaat), rumusan delik yang terdiri atas bagian inti delik (delicts bestandelen) dan
sanksi yang terdiri atas pidana dan tindakan (maatregel).2 Berkaitan dengan komponen dalam
rumusan delik tersebut, salah satu hal yang menarik untuk dibahas adalah pemenuhan unsur subjek
(normadressaat). Praktik dalam peradilan di Indonesia menunjukkan adanya dua pendapat terkait
pemenuhan unsur subjek (normadressaat), yaitu pendapat kesatu yang menyatakan bahwa
pemenuhan unsur subjek (normadressaat) hanya cukup dengan menyatakan bahwa identitas
terdakwa yang diperiksa sama dengan apa yang tertera dalam surat dakwaan dan pendapat kedua
yang menyatakan bahwa pemenuhan unsur subjek (normadressaat) tidak hanya cukup dengan

1
Yahya Harahap, 2016, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 346-361.
2
Andi Hamzah, 2016, Surat Dakwaan dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT. Alumni Bandung,
Bandung, hlm. 36.

1
menyatakan bahwa identitas terdakwa yang diperiksa sama dengan apa yang tertera dalam surat
dakwaan, tetapi juga harus membuktikan pula apakah pertanggungjawaban pidana dapat
dibebankan kepada terdakwa atau tidak. Oleh karena itu, mentee tertarik untuk paper dengan judul
“Konstruksi Pertimbangan Hukum Terhadap Pemenuhan Unsur Subjek Hukum Pidana”.
PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan yang diangkat oleh mentee adalah
1. Bagaimana pertimbangan hukum terhadap pemenuhan unsur subjek hukum pidana?
2. Apakah putusan yang dijatuhkan apabila elemen pertanggungjawaban pidana tidak ada?
PEMBAHASAN
1. PERTIMBANGAN HUKUM TERHADAP PEMENUHAN UNSUR SUBJEK HUKUM
PIDANA
Secara umum, normadressaat direpresentasikan dengan dua istilah ”barangsiapa” atau
”setiap orang”. Mengingat, ancaman pidana mulanya hanya ditujukan terhadap orang
perseorangan, maka sebutan umum yang digunakan untuk menunjukkan normadressaat tindak
pidana adalah ”barang siapa”. Istilah ”setiap orang” pertama kali digunakan dalam Undang-
Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian. Namun demikian, pembentuk undang-undang
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 kembali menggunakan istilah ”barangsiapa”.
Bahkan pada tahun yang sama dengan tahun dimana pertama kali digunakan idiom ”setiap orang”,
pembentuk undang-undang mengundangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 Tentang
Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dengan menggunakan istilah ”barang siapa” untuk
menunjukkan sasaran umum tindak pidana yang diaturnya.3
Perkembangan hukum pidana dewasa ini menunjukkan bahwa ancaman pidana ditujukan
tidak hanya kepada orang perseorangan (natuurlijke persoon), tetapi juga kepada korporasi
(korporatie). Sebelumnya tidaklah demikian, karena pada mulanya ancaman pidana hanya
ditujukan terhadap orang perseorangan. Bahkan, KUHP memberikan penegasan bahwa yang dapat
menjadi dader suatu tindak pidana itu hanyalah manusia sehingga unsur “barang siapa” dalam
KUHP tidak dapat diartikan lain selain dari manusia. Hal ini dapat diperoleh dari memori
penjelasan mengenai pembentukan Pasal 59 KUHP yang mengatakan bahwa suatu tindak pidana

3
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2008, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum
Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan), Jakarta, BPHN, hlm. 18-19

2
itu hanya dapat dilakukan oleh seorang manusia. Anggapan seolah-olah suatu badan hukum itu
dapat bertindak seperti seorang manusia tidaklah berlaku di dalam bidang hukum pidana.4
Berkaitan dengan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia, korporasi sebagai
subjek hukum pidana dikenal sejak tahun 1951 yang dicantumkan dalam Undang-Undang
penimbunan barang-barang, akan tetapi mulai dikenal lebih luas dalam Undang-Undang Tindak
Pidana Ekonomi yaitu Pasal 15 ayat 1 UU Nomor 7 Drt Tahun 1955, juga dalam Pasal 17 ayat 1
UU Nomor 11 PNPS Rahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi, dan Pasal 49 Undang-Undang
No. 9 tahun 1976, kemudian dalam Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, Undang-Undang
Lingkungan Hidup, Undang-Undang tentang Psikotropika, Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.5 Dengan demikian, korporasi
sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya ditemukan dalam perundang-undangan khusus
diluar KUHP, karena KUHP sendiri hanya mengakui manusia sebagai subjek hukum pidana.
Dengan subjek hukum pidana tersebut, menarik untuk dikaji apakah pertanggungjawaban pidana
terdakwa perlu untuk dipertimbangkan manakala Hakim akan memperimbangkan berkaitan
dengan unsur subjek (normadressaat).
A. Konstruksi Pertimbangan Hukum Terhadap Pemenuhan Unsur “Orang Perseorangan”
sebagai Subjek Hukum Pidana
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, pembentuk undang-undang telah membuat
sejumlah ketentuan yang bersifat khusus, baik di dalam KUHP maupun di dalam peraturan
perundang-undangan lainnya, yang merumuskan sejumlah keadaan dimana ketentuan pidana yang
ada tersebut dianggap sebagai tidak dapat diberlakukan sehingga Penuntut Umum tidak dapat
melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dituduh melanggar ketentuan pidana tersebut, atau
apabila Penuntut Umum melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dimaksud, maka Hakim
tidak dapat menjatuhkan hukuman terhadap orang tersebut. Hal ini dikarenakan terdapat sejumlah
keadaan yang membuat tindakan pelaku menjadi tidak bersifat melawan hukum ataupun yang telah
membuat pelakunya tidak dapat dipersalahkan atas tindakan-tindakannya, karena pada diri pelaku
tersebut tidak terdapat suatu unsur kesalahan (schuld).

4
PAF. Lamintang, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 600.
5
Muladi dan Dwija Priyatno, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, hlm. 45.

3
“Geen straf zonder schuld”, demikianlah bunyi asas culpabilitas yang sebelumnya hanya
merupakan suatu doktrin yang kemudian diangkat dalam sebuah norma dalam Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa
Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang
sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Dengan demikian,
seseorang dapat dijatuhi pidana tidak hanya adanya keyakinan bahwa terbuktinya perbuatan yang
didakwakan atas dirinya, tetapi juga adanya keyakinan bahwa orang tersebut dianggap dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sebelum kita membahas mengenai apakah pertanggungjawaban pidana terdakwa perlu
untuk dibuktikan manakala kita membuktikan unsur subjek (normadressaat) atau tidak, alangkah
baiknya kita memahami apa yang dimaksud dengan unsur dalam suatu rumusan delik. Penggunaan
kata “unsur” dalam setiap delik sesungguhnya merupakan kumpulan dari apa yang disebut sebagai
“bestanddeel” dan “element”. Van Bemmelen mengartikan “bestanddelen van het delict” sebagai
bagian-bagian yang terdapat di dalam rumusan delik, sedangkan “elementen van het delict”
diartikan sebagai ketentuan-ketentuan yang tidak terdapat di dalam rumusan delik, melainkan di
dalam Buku Kesatu KUHP atau dapat dijumpai sebagai asas-asas hukum yang bersifat umum yang
dipandang sebagai asas-asas yang juga harus diperhatikan oleh hakim yang terdiri dari berbagai
elemen, yakni:
a. Hal dapat dipertanggungjawabkannya suatu tindakan atau suatu akibat terhadap pelakunya
(toerekenbaarheid van het feit);
b. Hal dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas tindakan yang telah ia lakukan atau
atas akibat yang telah ia timbulkan (toerekeningsvatbaarheid van de dader);
c. Hal dapat dipersalahkannya suatu tindakan atau suatu akibat kepada seseorang, oleh karena
tindakan atau akibat tersebut telah ia lakukan atau telah ia timbulkan berdasarkan unsur
“kesengajaan” ataupun unsur “ketidaksengajaan” (verwijtbaarheid van het feit);
d. Sifatnya yang melanggar hukum (wederrechtelijkheid).6
Apabila merujuk pada pendapat van Bemmelen di atas, maka pertanggungjawaban pidana terdiri
atas dua elemen, yaitu toerekenbaarheid van het feit dan toerekeningsvatbaarheid van de dader.

6
PAF. Lamintang, op.cit., hlm.. 196-197.

4
Bestanddelen sering disebut dengan unsur-unsur dalam arti sempit. Hal ini berbeda dengan
istilah unsur-unsur tindak pidana dalam arti luas yang merupakan unsur yang harus ada untuk
menentukan bahwa suatu tindakan merupakan tindak pidana. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya perbedaan pendapat di antara para hakim terkait dengan apakah pertanggungjawaban
pidana juga harus dipertimbangkan dalam pemenuhan unsur subjek (normadressaat) atau tidak.
Terkait dengan definisi dan unsur-unsur yang dikemukakan tentang tindak pidana, para
sarjana dapat dikelompokkan menjadi dua aliran, yaitu aliran monistis dan dualistis. Aliran
monistis diikuti oleh Simons, van Hamel, Mezger, van Bemmelen dan Wirjono Projodikoro,
sedangkan aliran dualistis dianut oleh Pompe, Moeljatno, Roeslan Saleh. Pokok perbedaan antara
aliran monistis dengan dualistis adalah pada terpisahnya unsur kesalahan (pertanggungjawaban
pidana) yang melekat pada diri pelaku dengan unsur-unsur yang lain. Bagi aliran monistis, unsur
tindak pidana adalah adanya tingkah laku, adanya sifat melawan hukum dan adanya kesalahan
yang menjadi satu kesatuan dan unsur mutlak yang harus ada dan melekkat dalam tindak pidana,
sedangkan untuk pandangan dualistis, yang dipandang sebagai unsur mutlak dalam tindak pidana
adalah tingkah laku manusia dan sifat melawan hukum, sementara unsur kesalahan melekat pada
orangnya.7
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berbicara mengenai dapat atau
tidaknya pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada seseorang adalah berbicara mengenai
faktor kesalahan yang terdapat pada diri seseorang. Seseorang tidak dapat dikenakan pidana
apabila ia tidak melakukan kesalahan. KUHP mengenal 2 (dua) substansi/hal pokok sebagai alasan
penghapusan pidana, yakni alasan pembenar dan alasan pemaaf. M.v.T dari KUHP dalam
penjelasannya mengenai alasan penghapusan pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-
alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat
dipidananya seseorang” yang terdiri atas dua alasan yaitu alasan yang terdapat di dalam diri pelaku
sendiri yaitu keadaan jiwa yang tidak normal dan umur yang masih muda dan alasan yang terdapat
di luar diri pelaku yang terdiri atas cacat jiwa (ontoerekeningsvatbaarheid), keadaan terpaksa
(overmacht), pembelaan diri (noodweer), perintah jabatan (ambetelijk bevel) dan melaksanakan
ketentuan perundangan (wettelijk voorschrift).8 Alasan penghapus pidana ini tidak dapat
dilepaskan dari elemen-elemen toerekenbaarheid van het feit dan toerekeningsvatbaarheid van de

7
Andi Zaenal Abidin, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung, Alumni, hlm. 253-258
8
PAF. Lamintang, op.cit., hlm. 395-396.

5
dader, karena pada dasarnya pembicaraan mengenai alasan penghapusan ini bersumber dari kedua
elemen tersebut.9
Van Bemmelen berpendapat bahwa walaupun elemen-elemen toerekenbaarheid van het
feit dan toerekeningsvatbaarheid van de dader oleh pembentuk undang-undang tidak pernah
dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik yang mana pun di dalam undang-undang, akan
tetapi elemen-elemen tersebut haruslah dianggap sebagai juga disyaratkan di dalam setiap rumusan
delik. Namun, oleh karena elemen-elemen tersebut tidak pernah dicantumkan sebagai bagian dari
delik, maka dengan sendirinya penuntut umum juga tidak perlu mencantumkan dalam surat
dakwaan dan tidak perlu dibuktikan di dalam peradilan. Berbeda dengan elementen van het delict,
bestanddelen van het delict sebagai bagian-bagian yang terdapat di dalam rumusan delik harus
dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga dengan sendirinya bestanddelen van het delict
harus dibuktikan di dalam peradilan.10 Pendapat van Bemmelen tersebut dikuatkan oleh Andi
Hamzah yang menyatakan bahwa dalam penyusunan surat dakwaan yang perlu dicantumkan
adalah bagian inti (bestanddelen) dari tindak pidana dan perbuatan nyata terdakwa (actus reus),
tanpa harus menyebutkan bahwa terdakwa dapat dipertanggungjawabkan.11
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hukum terhadap
pemenuhan unsur “orang perseorangan” sebagai subjek hukum pidana (normadressaat) cukup
dengan menyatakan bahwa identitas terdakwa yang diperiksa sama dengan apa yang tertera dalam
surat dakwaan dan tidak perlu membuktikan apakah terdakwa mampu bertanggung jawab atau
tidak. Unsur subjek hukum pidana (normadressaat) sebenarnya bukan unsur delik, karena barang
siapa itu hanya sebutan yang menunjuk setiap orang, tidak mengandung unsur berbuat atau tidak
berbuat yang harus dibuktikan. Dengan kata lain unsur ini hanya sebagai pengantar untuk
mengantar ke pembuktian pokok/inti delik (delicts bestandelen). Selain itu, banyak pasal di dalam
KUHP maupun di luar KUHP yang tidak memuat unsur barang siapa. Pasal-pasal KUHP yang
tidak menggunakan unsur subjek hukum pidana (normadressaat) dapat ditemukan di Pasal 102
s/d 110 KUHP tentang Makar dan Permufakatan Jahat untuk Makar, Pasal 134 KUHP tentang
Penghinaan Presiden dan Wapres, Pasal 315 tentang Penghinaan, Pasal 284 tentang perzinahan,
Pasal 383 Perbuatan curang oleh pedagang, Kejahatan Jabatan yang diatur di dalam 413 KUHP.

9
Ibid., hlm. 394
10
Ibid., hlm. 196-200.
11
Andi Hamzah, 2010, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 19.

6
B. Konstruksi Pertimbangan Hukum Terhadap Pemenuhan Unsur “Korporasi” sebagai
Subjek Hukum Pidana
Dengan dianutnya asas Universalitas deliquere non potest, KUHP hanya mengenal manusia
(natuurlijk persoon) sebagai subyek hukum. Seiring perkembangan zaman, korporasi dijadikan
sebagai salah satu subjek hukum pidana. Namun, timbul pertanyaan mengenai cara agar sebuah
korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, karena sangat mustahil meletakkan
dasar pertanggungjawaban pidana korporasi sama dengan dasar pertanggungjawaban pidana
manusia, yaitu berdasarkan pada asas kesalahan (geen straft zonder schuld). Korporasi sebagai
lembaga yang tidak memiliki sikap bathin sebagaimana halnya manusia, tidak mungkin melakukan
kesalahan. Oleh karena itulah perlu dicari upaya untuk mempertanggungjawabkan korporasi
tersebut.
Terdapat beberapa bentuk pertanggungjawaban korporasi yang berkembang dalam hukum
pidana. Korporasi dipertanggungjawabkan sebagai subyek hukum dalam lapangan hukum pidana
berdasarkan berbagai teori diantaranya : Vicarious Liability, Identification theory, Strict Liability
ataupun Realistic theory.12 Dari beberapa teori tersebut dapat dilihat adanya dua pendekatan yang
berbeda dalam menentukan pertanggungjawaban korporasi, yaitu pemikiran Vicarious Liability
dan Identification theory yang melihat bahwa korporasi tersebut tidak lain adalah sekumpulan
individu (corporation are nothing more than collectivities individuals), sehingga masih melihat
pada kesalahan individu dalam korporasi yang menyebabkan korporasi dipertanggungjawabkan,
sedangkan pemikiran Strict Liability ataupun Realistic theory melihat pertanggungjawaban
korporasi dilihat diri korporasi itu sendiri (corporation as corporation).
Terlepas dari pendekatan yang digunakan untuk menentukan pertanggungjawaban korporasi,
isu hukum yang hendak dipecahkan adalah apakah pertanggungjawaban pidana terdakwa perlu
untuk dipertimbangkan manakala Hakim akan memperimbangkan berkaitan dengan unsur subjek
(normadressaat) atau tidak. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa penggunaan kata “unsur”
dalam setiap delik sesungguhnya merupakan kumpulan dari apa yang disebut sebagai
“bestanddeel” dan “element”. Apa yang oleh van Bemmelen sebut sebagai “bestanddelen van het
delict” dan “elementen van het delict” dapat diterapkan pula untuk mengukur konstruksi
pertimbangan hukum terhadap pemenuhan unsur “korporasi” sebagai subjek hukum pidana,
karena pada dasarnya rumusan tindak pidana yang diancamkan kepada korporasi sama dengan

12
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal.233-236.

7
rumusan tindak pidana yang diancamkan terhadap orang perorangan. Bahkan, apabila Hakim
menganut pemikiran Strict Liability ataupun Realistic theory yang melihat pertanggungjawaban
korporasi dilihat diri korporasi itu sendiri (corporation as corporation), maka elemen
toerekeningsvatbaarheid van de dader bisa saja tidak ada dalam diri korporasi, karena korporasi
dianggap sebagai suatu entitas tersendiri yang berbeda dengan manusia. Dengan demikian,
pertimbangan hukum terhadap pemenuhan unsur “korporasi” sebagai subjek hukum pidana
(normadressaat) cukup dengan menyatakan bahwa identitas terdakwa yang diperiksa sama dengan
apa yang tertera dalam surat dakwaan.
2. PUTUSAN YANG DIJATUHKAN APABILA ELEMEN PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA TIDAK ADA
Putusan hakim merupakan pokok dari suatu proses persidangan, karena dengan putusan
hakim tersebut dapat menentukan nasib terdakwa dan berat ringannya suatu hukuman yang
dijatuhkan kepada terdakwa. Dalam putusan hakim tersebut berisi mengenai penilaian hakim
terhadap tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum. Terdapat 3 (tiga) Bentuk putusan
yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan mengenai suatu perkara yaitu putusan bebas, putusan lepas
dari segala tuntutan hukum dan putusan pemidanaan.
Putusan bebas adalah terdakwa yang dijatuhi putusan bebas atau bebas dari tuntutan hukum
(vrij spraak) atau acquitall. Dasar dari putusan bebas ada di ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
Secara yuridis, seorang terdakwa diputus bebas apabila majelis hakim yang bersangkutan menilai
tidak memenuhi atas pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Pembuktian yang
diperoleh dipersidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan
terdakwa yang tidak cukup terbukti, itu tidak diyakini oleh hakim atau tidak memenuhi asas batas
pembuktian, karena Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat
bukti saja, dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar membuktikan kesalahan terdakwa maka
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.13
Putusan pelepasan diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP dan kriteria dari putusan lepas
dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 191 ayat (2) ini yakni apa
yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan tetapi sekalipun
terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.14

13
Yahya Harahap, op.cit.,hlm. 347.
14
Ibid., hlm. 352.

8
Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP. Pemidanaan berarti terdakwa
dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, penjatuhan putusan
pemidanaan kepada terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat
dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Dengan sistem pembuktian dan asas
batas minimum pembuktian ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa sudah
cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah memberi keyakinan kepada
hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.15
Yahya Harahap memperluas penggunaan Pasal 191 KUHAP dengan menghubungkannya
dengan syarat-syarat putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum sebagaimana
yang diatur dalam KUHP. Yahya Harahap berpendapat bahwa putusan pembebasan dapat
diberikan apabila pada diri seorang terdakwa terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dalam
pasal-pasal KUHP sebagai hal-hal yang menghapuskan pemidanaan, diantaranya cacat jiwa (Pasal
44 KUHP), pengaruh daya paksa atau overmacht (Pasal 48 KUHP), pembelaan darurat (Pasal 49
KUHP) atau menjalankan perintah jabatan (Pasal 50 KUHP).
Berbeda dengan Yahya Harahap, Andi Hamzah berpendapat bahwa Pasal 191 ayat (1)
KUHAP yang menyatakan bahwa “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas” merupakan rumusan yang kurang tepat dengan
dipakainya kata “kesalahan”. Hal ini dikarenakan jika kesalahan tidak terbukti, maka putusan
mestinya lepas dari segala tuntutan hukum.16 Pendapat Andi Hamzah ini berkesesuaian dengan
pendapat van Bemmelen yang menyatakan bahwa bilamana terdapat keragu-raguan mengenai
salah satu elemen, maka hakim harus melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum atau onslag
van alle rechtsvervolging.17
Terkait dengan dua pendapat tersebut, penulis sependapat dengan pendapat Yahya
Harahap. Rumusan Pasal 191 ayat (1) KUHAP tidak hanya menyangkut mengenai perbuatan
terdakwa semata, tetapi juga menyangkut kesalahan. Hal ini ditandai dengan adanya redaksi

15
Ibid., hlm. 354.
16
Andi Hamzah, 2016, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 287
17
PAF. Lamintang, op.cit., hlm. 199-200.

9
“kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti”. Dengan
demikian, putusan yang dijatuhkan apabila elemen pertanggungjawaban pidana tidak ada adalah
putusan bebas.
PENUTUPAN
a. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan yang diperoleh oleh Penulis adalah:
1. Pertimbangan hukum terhadap pemenuhan unsur “orang perseorangan” atau “korporasi”
sebagai subjek hukum pidana (normadressaat) cukup dengan menyatakan bahwa identitas
terdakwa yang diperiksa sama dengan apa yang tertera dalam surat dakwaan dan tidak perlu
membuktikan apakah terdakwa mampu bertanggung jawab atau tidak.
2. Putusan yang dijatuhkan apabila elemen pertanggungjawaban pidana tidak ada adalah putusan
bebas.
b. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang diberikan oleh Penulis adalah:
1. Bagi DPR dan Presiden, mengubah redaksi Pasal 191 KUHAP sehingga tidak ada kerancuan
antara putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
2. Bagi Mahkamah Agung, dibuatkan buku terkait dengan teori dan penjabaran unsur pasal
sehingga terdapat keseragaman antarhakim di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zaenal. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Bandung: Alumni.
Arief, Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Badan Pembinaan Hukum Nasional. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang
Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Jakarta: BPHN.
Hamzah, Andi. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
-----. 2016. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
-----. 2016. Surat Dakwaan dalam Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Alumni Bandung.
Harahap, Yahya. 2016. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembal. Jakarta: Sinar Grafika.
Lamintang. PAF. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Muladi dan Dwija Priyatno. 2007. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.

10

Anda mungkin juga menyukai