Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH SURVEILANS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT PERTUSIS

Di

OLEH :

Nama : Ayu kayatri ( P07133119006)

Putri rahayu ( P07133119027)

MK : Surveilan Epidemiologi

Dosen Pembimbing : Budi Arianto PS, SKM, M.Kes

PROGRAM STUDI DIII KESEHATAN LINGKUNGAN

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES ACEH

TA 2020/2021
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pertusis atau batuk rejan atau batuk 100 hari merupakan salah satu penyebab

penyakit menular saluran pernapasan yang sudah di ketahui adanya sejak 1500-an.

Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella pertussis.

Di seluruh dunia insiden pertusis banyak di di dapatkan pada bayi dan anak kurang

dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin

terinfeksi oleh B.pertussi . Insiden terutama di dapatkan pada bayi atau anak yang

belum di imunisasi.

Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic. Karena menyerang bukan

hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa negara bagian dari negara

maju, Namun setelah di lakukannya vaksinasi untuk pertusis , angka kematian dapat

di tekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pertusis di

harapakan tidak di temukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak menimbulkan

komplikasi yang lebih lanjut.

Penyakit ini di tandai oleh suatu sidrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan

paroksimalndi sertai nada yang meninggi, karena penderita berupaya keras untuk menarik

nafas sehingga akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas (whoop). Pertusis masih
merupakan penyakit penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak, terutama di negara

berkembang . WHO memperkirakan lebih kurang dari 600.000 kematian disebabkan oleh

pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak di imunisasi. Dengan kemajuan

perkembangan teknologi antibiotikdab program imunisasi mekamortalitas dan morbiditas

penyakit ini mulai menurun.

2. EPIDEMIOLOGI

Proses terjadi penyakit ini disebabkan adanya interaksi antara agent atau faktor

penyebab penyakit, manusia sebagai penjamu atau host dan faktor lingkungan yang

mendukung , ketiga faktor tersebut dikenal sebagai TRIAD EPIDEMIOLOGI

Proses interaksi ini disebabkan adanya agent atau penyakit kontak dengan manusia

sebagai penjamu yang rentan dan di dukung oleh keadaan lingkungan

A. Agent

Agent merupakan faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati

yang terdapat dalam jumlah yang berlebihan atau kekurangan (organisme yang

menginfeksi)

Agent penyakit pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemopilus pertusis.

Bordetella pertusis adalah suatu kuman yang berukuran 0,5-1 um dengan

diameter 0,2-0,3 um, ovoid kokobasil, tidak bergerak, gram negative, tidak

berspora, berkapsul dapat dimatikan pada pemanasan 50 derajat celcius dan bisa

di dapatkan dengan melakukan swab pada daerah penderita pertusis yang

kemudian di tanam pada media agar Bordet-Gengou.


Pertusis adalah salah satu penyakit yang dapat di cegah dengan vaksin yang di kaitkan

dengan peningkatan kematian di AS. Jumlah kematian meningkat dari 4 tahun 1996

menjadi 17 pada tahun 2010, hampir semuanya adalah bayi di bawah satu tahun. Di

kanada, jumlah infeksi pertusis bervariasi antara 2.000 dan 10.000 kasus yang di

laporkan setiap tahun selama sepuluh tahun terakhir, dan ini adalah penyakit yang

paling umum yang dapat di cegah dengan vaksin di Toronto.

3. ETIOLOGI

Penyebab pertusis adalah bordetella pertusis atau adenovirus tipe 1,2,3,5 dapat di

temukan dalam traktus respiratorius, tratusgastrointestinalis dan traktus urinarius.

Bordetella pertusis ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khusus nya pada bayi dan anak-

anak kecil yang di tandai dengan batuk paroksimal berulang dan stridor inspiration

memanjang batuk rejan. Bordetella pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil

kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak.

Bisa di dapatkan dengan swab pada daerah yang nafosaring penderita pertusis dan kemudian

di tanam pada agar media bordet-Gengou 1. Ada enam spesies bordetella yaitu :

1. B. Parapertussis.

2. B. Bronchiseptica

3. B. Avium.

4. B. Hinzii

5. B. Holmessi.

6. B.Trematum.

Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi

pada gen virulen, dan ada kontoversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin
klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya bordetella pertusis yang mengeluarkan

toksin pertusis (TP), B. Pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak

sarinya yang di maksud untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas, Pasca

penambahan aerosol , agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen, dan protein

permukaaan nonfimbria yang di sebut pertaktin(PRN) penting untuk pelekatan terhadap sel-

sel epitel bersilia saluran pernapasan.

Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan

organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermokrotik, dan adenilat siklase di terima secara

dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala pernapasan dan

mempermudah penyerapan TP.

TP terbukti mempunyai banyak aktivfitas biologiss misal , sensitivitashismine,sekresi insulin,

disfungsi leukosit, beberapa darinya merupakan manisfestais sistemik penyakit. TP

menyebabkan limfositosis segera padaa binatang percobaan dengan pengembalian limposit

agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran sentral tetapi bukan peran

tunggal dalam pathogenis.

Diagnosis

Menentukan diagnosis batuk rejan pada tahap awal sulit dilakukan. Sebab tanda dan

gejala nya dapat serupa dengan penyakit saluran pernapasan lainnya seeperti cold, influenza,

dan bronkitis.

Umunya, tahap awal dari diagnosis batuk rejan adalah melalui wawancara medis dan

pemeriksaan medis dan pemeriksaan fisik secara langsung oleh dokter. Pemeriksaan darah

dan rontgen paru-paru dapat dilakukan untuk melihat adanya tanda infeksi atau

inflamasi( perandangan).
Setelahnya, di butuhkan diagnosis darai batuk rejan dapat dilakukan dengan

pemeriksaan bagian tenggorokan maupun pemeriksaan polymerase chain reaction ( PCR)

lewat DNA tubuh.

4. Masa Inkubasi pertusis

Masa inkubasi banteri ini adalah 6-20 hari, akan tetapi dapat memanjang hingga 21

hari dengan rata-rata 7 hari.

5. Penularan Pertusis

 Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yang terkena penyakit ini

dan kemudian terhirup oleh orang yang sehat yang tidak mempunyai

kekebalan tubuh, antibiotik dapat diberikan untuk mengurangi terjadinya

infeksi bakterial yang mengikuti dan mengurangi kemungkinan memberatnya

penyakit ini ( sampai pada stadium catarrhal) sesudah stadium catarhall

antibiotik tetap diberikan untuk mengurangi penyebaran penyakit ini,

antibiotik juga di berikan pada orang yang kontak dengan penderita,

diharapkan dengan pemberian seperti ini akan mengurangi terjadinya

penularan pada orang sehat tersebut.

 Seseorang dengan batuk rejan menular dari sekitar enam hari setelah mereka

terinfeksi ketika mereka hanya memiliki gejala seperti dingin sampai tiga

minggu setelah batuk dimulai.

 Orang yang terinfeksi paling banyak menular hingga sekitar 2 minggu setelah

batuk dimulai.
6. Gejala dan Tanda

Umumnya, gejala batuk gejala pertusis atau batuk rejan dapat muncul antara 7 hingga

21 hari setelah bakteri bordetella pertussis masuk ke dalam saluran pernapasan. Gejala batuk

rejan atau pertusis dapat terbagi menjadi 3 tahapan yaitu :

1. Tahap pertama

Pada tahap awal ini, gejala yang muncul masih termasuk ringan, seperti bersin-

bersin, hidung berair dan tersumbat, mata berair, radang tenggorokan, batuk ringan,

hingga demam. Tahap ini bisa berlangsung hingga 2 minggu, dan tahap inilah,

penggidap batuk rejan beresiko menularkan ke orang-orang di sekelilingnya.

2. Tahap kedua

Tahap ditandai dengan meredanya semua gejala-gejala flu, tetapi batuk justru

bertambah parah dan tak terkontrol. Di tahap ini, terjadi batuk keras terus-menerus

yang diawali tarikan napas panjang lewat mulut. Setelah serangan batuk, bayi dan

anak-anak yang, mengalami batuk rejan bisa mengalami muntah serta tubuh

mengalami kelelahan. Tahap ini berlangsung sekitar dua minggu hingga empat

minggu atau lebih.

3. Tahap ketiga

Pada tahap inilah tubuh mulai membaik, tetapi gejala batuk rejan ada bahkan bisa

batuk lebih keras. Tahap pemulihan ini bisa bertahan hingga dua bulan atau lebih

tergantung dari pengobatan.

Berikut ini beberapa kondisi yang harus segera menerima penangganan dokter :

 Bayi berusia 0-6 bulan yang terlihat sangat tidak sehat.

 Pengidap mulai mengalami kesulitan untuk bernapas.


 Pengidap mulai mengalami komplikasi serius, seperti kejang atau pneumonia.

 Pengidap mengerluarkan bunyi saat menarik napas.

 Pengidap muntah akibat batuk rejan yang parah.

 Tubuh menjadi memerah atau membiru.

7. Pengobatan Pertusis atau Batuk Rejan

Pengobatan batuk rejan bertujuan untuk mengatsi infeksi bakteri, meredakan gejala,

membantu mencegah penularan penyakit. Perlu di ingat untuk tidak sembarangan

mengomsumsi obat batuk yang di jual di pasaran belum tentu bisa meredakan gejala batuk

tersebut dengan baik.

Pada bayi dan anak-anak yang mengalami batuk rejan, mereka biasanya akan di

tempatkan di ruang isolasi untuk menghindari penyebaran infeksi. Pengobatan utama yang di

berikan adalah antibiotik untuk melawan bakteri penyebeb infeksi. Pemberian obat akan

dilakukan oleh dokter untuk mengatasi peradangan pada saluran napas. Obat tersebut dapat di

berikan melalui infus atau langsung.

Pengobatan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

A. Pemberian Antibiotik

B. Penggunaan antibiotik memiliki sejumlah fungsi, di antaranya untuk membasmi

bankteri, mengurangi potensi kambuhnya batuk rejan atau penyebaran infeksi ke

bagian tubuh lain, mencegah penularan penyakit ini ke orang lain.

Antibiotik lebih efektif bila diberikan pada mingu-minggu awal infeksi. Akan

tetapi, antibiotik tidak akan langsung meredakan gejala batuk pada pertusis.
C. Perawatan mandiri di rumah

 Memperbanyak istirahat dan sering minum air putih.

 Menutup mulut dan hidung atau gunakan masker saat batuk atau bersin.

 Menjaga kebersihan dan jauhi debu atau asap rokok.

D. Perawatan di rumah sakit

 Penyedotan lendir atau dahak dari saluran pernapasan.

 Pemberian oksigen melalui alat bantu napas, seperti masker atau selang

(nasal kanul), terutama bila pasien sulit bernapas.

 Penempatan pasien di ruang isolasi untuk mencegah penyebaran

penyakit.

 Pemberian nutrisi dan cairan melalui infus, terutama jika pasien beresiko

dehidrasi atau sulit menelan makanan.

8. Pencegahan dan Perantasan

A. Cara terbaik untuk mencegah batuk rejan atau pertusis adalah dengan cara

melakukan vaksinasi atau imunisasi pertusis. Vaksin ini biasa di berikan dokter atau bidan

bersamaan dengan vaksin difteri, tetanus, dan polio (vaksinasi DTP). Dan Hib

Vaksinasi pertusis tambahan ( booster) perlu di berikan karena fungsi

perlindungannya cenderung melemah. Vaksinasi tambahan ini bisa di berikan ketika :

 Hal ini karena kekebalan vaksin pertusis akan melemah mulai saat seseorang

berusia 11 tahun. Maka usia tersebut menjadi waktu yang tepat untuk

mendapatkan booster vaksinasi pertusis.


 Beberapa jenis vaksin tetatus dan difteri yang di berikan secara berskala setiap

10 tahun sekali juga memiliki fungsi untuk melindungi dari batuk rejan.

Vaksin jenis ini juga mengurangi risiko untuk menularkan batu rejan.

B. Mencuci tangan dengan bersih

C. Menjauhi orang yang sedang batuk.

D. Menjaga kebersihan yang baik untuk mencegah penyebaran penyakit pernafasan,

seperti menutup mulut dan hidung saat bersin dan melakukan gaya hidup bersihdan sehat

untuk meningkatkan sistem imun.


Daftar pustaka

Web MD, National Health Service UK, Web MD (whooping cough), Centers for Disease
Control and Prevention, World Health Organization (WHO)

Esposito, et al. (2019). Pertussis Prevention: Reasons for Resurgence, and Differences in the
Current Acellular Pertussis Vaccines. Frontiers in Immunology, 10, 1344.

Koenig, et al. (2019). Pertussis: The Identify, Isolate, Inform Tool Applied to a Re-emerging
Respiratory Illness. The Western Journal of Emergency Medicine, 20(2), 191–197.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (2017). Jadwal Imunisasi.

Centers for Disease Control and Prevention (2017). Pertussis (Whooping Cough).

National Health Service (2019). Whooping Cough.

Kidshealth, Nemours (2016). Whooping Cough (Pertussis).

Mayo Clinic (2019). Disease & Conditions. Whooping Cough.

Moore, K. Healthline (2018). Whooping Cough (Pertussis).

Medscape (2019). Drugs & Diseases. Pertussis.

WebMD (2018). Whooping Cough: Causes, Symptoms, and Treatment.

Anda mungkin juga menyukai