Anda di halaman 1dari 3

Nama : Salsabila Shafa Kirana

NIM : 201810110311303

Kelas : Hukum Pidana Internasional

Pelanggaran HAM Berat di dalam UU no.26 tahun 2000 sebagaimana yang tercantum di

dalam pasal 7 hanya meliputi dua macam kejahatan yaitu genosida dan kejahatan terhadap

kemanusiaan. Pengertian “kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam pasal 9 UU no.26/2000 juga

tidak ada parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur unsur utama bentuk kejahatan ini.

Ketidakjelasan defenisi tersebut mengakibatkan (pembuktian) pemidanaan terhadap kejahatan-


kejahatan yang dimaksud akan menjadi sulit. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against
humanity) yang rumusannya terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000. Implikasinya, secara
teoretis, para pelanggar HAM yang bisa diadili menjadi semakin “sedikit” karena kejahatan yang
dapat diadili oleh Pengadilan ini hanya meliputi dua jenis kejahatan itu saja, delik kejahatan
Internasional (delicta juris gentium) diluar dua jenis kejahatan tersebut seperti misalnya kejahatan
agresi dan kejahatan perang serta pelanggaran terhadap Konvensi Geneva tidak ter-cover di dalam
Undang-Undang ini. Oleh karena itu Pengadilan HAM ini dikhawatirkan oleh banyak pihak tidak
akan dapat memberikan effective remedy bagi korban pelanggaran HAM. Padahal penjelasan
Undang-Undang ini secara eksplisit menyatakan bahwa UU ini mengacu pada Statuta Roma.
Selain itu,ternyata ada ketidaksesuaian yang sangat signifikan antara bentuk-bentuk pelanggaran
berat hak asasi manusia sebagaimana yang dicantumkan dalam UU no.26/2000 dengan definisi
tindak kejahatan serupa menurut hukum internasional.

Di dalam Statuta Roma, ada unsur yang sifatnya meluas atau sistematik yang dapat ditelusuri
melalui unsur tindak pidana (element of crime) yang dilakukan pada korban sipil, dimana itu yang
bisa diartikan secara luas yaitu dapat tidaknya hanay mengacu pada massivitas korban atau luasan
wilayah kejadian, melainkan juga bisa diacu pada intensivitas bentuk bentuk kejahatan yang
dilakukan.Prinsip itu terdapat pada rumusan pasal 7 ayat 2 mengenai penjelasan definitive atas
“extermination” (pemusnahan): “ includes the intentional infliction of conditions of life, inter alia
the deprivation of access to food and medicine, calculated to bring about thedestruction of part of
a population.” Dalam rumusan pasal 9 UU no.26/2000 yang berterma “calculated” tidak
disertakan. Dengan tidak adanya “pertimbangan” ini maka bisa dibilang secara otomatis
membatasi pembuktian unsur meluas semata-mata pada jumlah korban dan luasan geografis.

Ratifikasi Statuta Roma berfungsi untuk memperkuat peraturan perundang-undangan di Indonesia,


khususnya Pengadilan HAM. Ratifikasi Statuta Roma juga memberi manfaat , yaitu :

1. Untuk menghapuskan praktek impuinity (praktek yang mengabaikan tindakan hukum bagi
pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia dan berakhir dengan kegagalan
pengadilan untuk menemukan dan menghukum the most responsible person)
2. Mengatasi kelemahan system hukum di Indonesia.
3. Dapat memberi perlindungan bagi saksi dan korban.

Perbandingan antara Statuta Roma dengan UU No.26 Tahun 2000

Statuta Roma UU No.26 Tahun 2000


Mekanisme Internasional Mekanisme Nasional
Pengadilan Internasional Permanen Pengadilan Permanen, tetapi
dimungkinkan untuk dibentuk.
Tidak bisa rektoratif Rektoratif dengan pengecualian
Ne bis in dem (dengan pengecualian) Tidak Ne bis in dem ( tidak mengenal
doublr jeoparody)
Kantor penuntut ICC terbagi menjadi devisi Jaksa Agung bertindak sebagai penyidik
investigasi,devisi prosecutor,devisi
jurisdiction,complimentary and cooperatin
Kesimpulan Statuta Roma terhadap Pengadilan HAM di Indonesia
Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Statuta Roma meskipun sudah ada rencana
untuk meratifikasi Statuta Roma tersebut, padahal masih banyak sebagian kejahatan
internasional dalam statute roma sudah diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 26 tahun
2000 tentang pengadilan HAM. Ratifikasi merupkan proses mengikatkan diri dari suatu
negara pada perjanjian internasional.
Bagaimana pengadilan HAM di Indonesia ?
Penegakan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mencapai
kemajuan ketika pada tanggal 6 November 2000 disahkannya Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000. Undang-undang ini merupakan
undang-undang yang secara tegas menyatakan sebagai undang-undang yang mendasari
adanya pengadilan HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk mengadili para pelaku
pelanggaran HAM berat. Undang-undang ini juga mengatur tentang adanya pengadilan
HAM ad hoc yang akan berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi
di masa lalu. Pengadilan HAM ini merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk
mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan ini
dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik
menggunakan istilah pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili
perkara-perkara tertentu. UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM telah dijalankan
dengan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat
yang terjadi di Timor-timur. Dalam prakteknya, pengadilan HAM ad hoc ini mengalami
banyak kendala terutama berkaitan dengan lemahnya atau kurang memadainya instumen
hukum. UU No. 26 Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap
tentang tindak pidana yang diatur dan tidak adanya mekanisme hukum acara secara khusus.
Dari kondisi ini, pemahaman atau penerapan tentang UU No. 26 Tahun 2000 lebih banyak
didasarkan atas penafsiran hakim ketika melakukan pemeriksaan di pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai