Esai Bayaran Sebuah Utas
Esai Bayaran Sebuah Utas
Uraian:
Secara resmi dalam Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Joko
Widodo selaku Presiden ketujuh Republik Indonesia menyatakan seruan kepada
masyarakat untuk hidup berdamai dengan covid-19. Di tengah suguhan ancaman
dan tantangan yang ada, ‘strategi damai’ seharusnya diletakkan dalam kerangka
pikir yang membawa kita pada kepenuhan akan pemahaman dan kesadaran. Perlu
kehati-hatian dalam memaknai apa dan bagaimana ‘strategi damai’ itu, jangan
sampai kita termakan dan jatuh pada kebingungan dan atau kepasrahan. “Si vis
pacem para bellum” yang memiliki arti “jika kau mendambakan perdamaian, maka
bersiap-siaplah menghadapi perang”. Sebuah ungkapan dalam adagium Latin yang
konon dikutip dari penulis militer Romawi bernama Publius Flavius Vegetius
Renatus: Igitur qui desiderat pacem, praeparet bellum. Adagium yang terkesan
menjadi sebuah paradoks yang lucu. Seolah-olah ada lakon yang dengan luwes
memainkan perannya. Dalam skema strategi yang ditawarkan sudah seharusnya
dan selayaknya didukung dengan komando yang strategis pula. Dalam situasi
pandemi, kosa kata ‘damai’ seakan sarat akan makna. Sintaksis yang mampu
menjadikan masyarakat hilang kepercayaan.
Ketika mengibaratkan diri saya jatuh seperti benih dan tumbuh di Sanata
Dharma dengan formasi refleksi sebagai kekhasannya. Pukulan telak yang
memenjarakan temu. Tapi siapa sangka bahwa penjara temu ini melahirkan
kelapangan pikir dan juga kelapangan hati. Saya mengajak diri saya untuk belajar
rendah hati terlebih di masa pandemi kali ini. Sejenak terpintas dalam benak saya,
masa yang cukup berat ini akan tetap menjadi masa dan akan tetap saya kenang.
Tanpa harus mengkambing hitamkan sisi terang ataupun sisi gelap dari dampak
yang lahir. Apakah akan menjadi sebuah pembenaran bahwa pandemi ini lahir
sebagai tanda dimulainya habitus baru?
Parameter kontrol sebagai prasyarat penyesuaikan diri diharapkan dapat
meredam dilematik publik. Peralihan proses kegiatan belajar mengajar dalam
keadaan darurat ini diharapkan menjadi sebuah solusi. Apakah peralihan ini benar-
benar menjadisebuah solusi? Atau jangan-jangan hanya sebuah tawaran guna
mengulur waktu untuk menutupi kebobrokan dan ketimpangan pendidikan di
negeri ini? Lepas dari bayang-bayang gelap dunia pendidikan, apresiasi kepada
para pendidik dan tenaga kependidikan diharapkan mampu menjadi angina segar
ditengah situasi yang pelik ini.
Setiap emosi yang lahir membawa energi yang menjadikan kita ada, hadir dan
berdaya. Mencoba untuk menyelisik lebih dalam lagi, menaruh perhatian pada
sektor pendidikan tinggi yang juga terkena imbas dari pandemi covid-19. Masa
pandemi yang seakan menjadi jalur akselerasi tercapainya pendidikan yang
berintegrasi dengan revolusi 4.0. Pendidikan yang sejatinya menjadi elevator sosial
perlahan kehilangan jati dirinya. Sangat disayangkan bahwa pendidikan sebagai
alat yang memerdekakan dan memanusiakan justru terjerembab dalam lingkaran
yang tak berujung. Komitmen sebagai jaminan yang memberi harap dijadikan
kesempatan untuk mencuci tangan bagi beberapa lembaga. Ingin mencoba berbeda
dari yang lain, berbekal semangat dan nilai luhur yang diemban, adaptasi dan
adopsi visi filantropis diharap bisa menempatkan perguruan tinggi untuk tetap
menjaga substansi citra pendidikan yang memerdekakan dan memanusiakan.
Arga Sumantri. 2020. Filantropi Jadi Modal Sosial Masyarakat Hadapi Pandemi di
https://m.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/ybJG30jk-filantropi-jadi-
modal-sosialmasyarakat-hadapi (diakses 23 Mei)
Shihab, Najwa. “Kenapa Tidak Sia-Sia #dirumahaja | Catatan Najwa.” YouTube.
YouTube, 19 Mei 2020. Web. 23 Mei 2020.
https://www.youtube.com/watch?v=ZRG5JqGxgzM