Anda di halaman 1dari 7

Nama: Mega Dwi Rahayu Pangastuti

Bayaran dari Sebuah Utas

Uraian:

Mengangkat fenomena yang menjadi keprihatinan bagi setiap insan di seluruh


dunia. Terhitung sejak akhir bulan Desember tahun 2019, dunia tengah
dihebohkan dengan berita transmisi virus corona. Diduga virus yang menjadi buah
bibir akhir-akhir ini berasal dari Huanan Seafood Market, Wuhan, Hubei, China.
Sementara itu, dilansir dari Kompas.com (02/03/2020), diumumkan bahwa
Indonesia telah mengonfirmasi kasus pertama virus corona yang menginfeksi dua
orang warganya. Berjeda sembilan hari setelahnya, pada 11 Maret 2020, World
Health Organization (WHO) menetapkan wabah virus corona sebagai pandemi
global. Hal ini diperkuat dengan data WHO dua minggu terakhir yang
menampilkan peningkatan tiga belas kali lipat jumlah kasus covid-19 di luar China
dan peningkatan tiga kali lipat jumlah negara yang terdampak. Ditegaskan pula
dalam tribunnews.com, Tedros Adhanom Ghebreyesus sebagai Direktur Jenderal
WHO menyatakan istilah pandemi global digunakan sekarang karena
kekhawatiran mendalam atas covid-19. Merebaknya pandemi yang kian hari kian
menjadi momok. Kekhawatiran akan segala hal yang mengancam, layaknya kita
yang sekarang sedang berperang melawan hal yang tak kasat mata. Rasa takut
akan kehilangan, tak hanya pekerjaan bahkan kehidupan. Tak sedikit dari kita yang
kehilangan arah mata angin, bahkan busur dan anak panah pun tak lagi ada
digenggaman. Bukan menjadi sebuah ajang perlombaan, tetapi persaingan terjadi
dimana-mana. Menjadi kian miris rasanya ketika manusia kehilangan rasa
kemanusiaan. Ada yang rela berjuang sebagai garda terdepan, berjibaku
menumbuhkan kembali rasa kemanusiaan. Namun, tak sedikit pula dari kita yang
justru melelang murah harga kemanusiaan.

Secara resmi dalam Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Joko
Widodo selaku Presiden ketujuh Republik Indonesia menyatakan seruan kepada
masyarakat untuk hidup berdamai dengan covid-19. Di tengah suguhan ancaman
dan tantangan yang ada, ‘strategi damai’ seharusnya diletakkan dalam kerangka
pikir yang membawa kita pada kepenuhan akan pemahaman dan kesadaran. Perlu
kehati-hatian dalam memaknai apa dan bagaimana ‘strategi damai’ itu, jangan
sampai kita termakan dan jatuh pada kebingungan dan atau kepasrahan. “Si vis
pacem para bellum” yang memiliki arti “jika kau mendambakan perdamaian, maka
bersiap-siaplah menghadapi perang”. Sebuah ungkapan dalam adagium Latin yang
konon dikutip dari penulis militer Romawi bernama Publius Flavius Vegetius
Renatus: Igitur qui desiderat pacem, praeparet bellum. Adagium yang terkesan
menjadi sebuah paradoks yang lucu. Seolah-olah ada lakon yang dengan luwes
memainkan perannya. Dalam skema strategi yang ditawarkan sudah seharusnya
dan selayaknya didukung dengan komando yang strategis pula. Dalam situasi
pandemi, kosa kata ‘damai’ seakan sarat akan makna. Sintaksis yang mampu
menjadikan masyarakat hilang kepercayaan.

Menutup mata dan membungkam mulut nyatanya semakin memperkeruh


keadaan. Tak terbilang siapa saja yang hampir jatuh, sudah jatuh dan akan jatuh.
Nampaknya, lakon dengan embel-embel virus ini dengan luwes memainkan
perannya dalam skenario hidup. Kejutan demi kejutan dirasakan oleh hampir
seluruh aspek dan sektor penunjang kehidupan. Tak terasa sudah setengah tahun
yang lalu kita dikejutkan oleh lakon yang tidak kita duga-duga. Kasus covid-19
terus mengalami lonjakan peningkatan secara global. Dilansir dari Gugus Tugas
Percepatan Penanganan COVID-19 (15/06/2020), sebanyak 215 negara harus
menyelamatkan warganya dari ancaman dan dampak pandemi covid-19. Covid-19
sebagai penguasa tunggal menarik perhatian dunia. Melihat setiap aspek dan sektor
penunjang kehidupan terbelalak akan kejutan yang terpaksa harus ia terima. Tak
kuat hati, rasanya sungguh mengerikan. Mencoba mencerna dan menguraikannya
satu per satu, dengan cara seperti apa kita memaknai setiap ratap di masa pandemi
ini.

Dalam sejarahnya, kemampuan beradaptasi menjadi suatu langkah penuh


kerendahan hati bagi setiap makhluk hidup khususnya manusia untuk tetap
menunjukkan eksistensinya. Hal ini pun tidak berubah di masa-masa sulit seperti
pandemi kali ini. Lalu bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan sikap yang kita
ambil? Besar harapan yang disuguhkan bagi kita untuk mengenali siapa diri kita
sesaat sebelum dan sesudah masa pandemi. Apakah identitas yang sudah kita
kantongi cukup memberikan akses eksistensi di masa kritis nan krisis ini? Sebagai
pribadi yang diberi kesempatan untuk mencicipi dunia kemahaan, nantinya ada
banyak pintu dan lorong yang membawa kita pada celah perspektif dalam menilai
suatu peristiwa. Tak sekadar pandai dalam hal menilai, dengan embel-embel
mahasiswa, kita diajak untuk menaruh jejak makna laksana pembawa asa.

Menjadi selingan yang menyakitkan. Sektor pendidikan pun kian terpukul di


masa pandemi covid-19. Dengan berat hati, saya pun tak kuasa membayangkan
dan meraba bagaimana wajah pendidikan di pelosok negeri ini. Menjadi PR yang
tak kunjung rampung. Secara bersamaan ditengah hiruk pikuk dan bisunya dunia,
tak sedikit mulut bersua membawa jeritan asa. Dengan gagah, berani dan berapi-
api tuntutan demi tuntutan dilayangkan. Bagaimana otak diputar, mulut diasah dan
badan diusung. Banyak kepala berkumpul, bersatu, menumbuh sekaligus
membunuh gagasan. Sikap kritis yang membawa kita pada kritik sebagai
ujungnya. John Stuart Mill yang berkiblat pada Individualisme berpendapat bahwa
kebebasan individu adalah nilai tertinggi yang dimiliki manusia dan tidak dapat
ditawar. Hidup dan menjadi bagian dari negara demokrasi akan menjadikan kita
terus menerus menggembar-gemborkan kebebasan ruang berpendapat. Tidak salah
memang. Namun, akan menjadi keliru bilamana manusia menihilkan pijakan
rasionalitas. Tidak mudah untuk dibantah terlebih di masa-masa sulit seperti
sekarang ini. Dampak yang luar biasa pada setiap aspek dan sektor penunjang
kehidupan. Seluruh lapisan masyarakat menyadari hal itu. Bagaimana kita
memberi ruang dengan proporsi yang tepat ditengah kemajemukkan suasana saat
ini?

Ketika mengibaratkan diri saya jatuh seperti benih dan tumbuh di Sanata
Dharma dengan formasi refleksi sebagai kekhasannya. Pukulan telak yang
memenjarakan temu. Tapi siapa sangka bahwa penjara temu ini melahirkan
kelapangan pikir dan juga kelapangan hati. Saya mengajak diri saya untuk belajar
rendah hati terlebih di masa pandemi kali ini. Sejenak terpintas dalam benak saya,
masa yang cukup berat ini akan tetap menjadi masa dan akan tetap saya kenang.
Tanpa harus mengkambing hitamkan sisi terang ataupun sisi gelap dari dampak
yang lahir. Apakah akan menjadi sebuah pembenaran bahwa pandemi ini lahir
sebagai tanda dimulainya habitus baru?
Parameter kontrol sebagai prasyarat penyesuaikan diri diharapkan dapat
meredam dilematik publik. Peralihan proses kegiatan belajar mengajar dalam
keadaan darurat ini diharapkan menjadi sebuah solusi. Apakah peralihan ini benar-
benar menjadisebuah solusi? Atau jangan-jangan hanya sebuah tawaran guna
mengulur waktu untuk menutupi kebobrokan dan ketimpangan pendidikan di
negeri ini? Lepas dari bayang-bayang gelap dunia pendidikan, apresiasi kepada
para pendidik dan tenaga kependidikan diharapkan mampu menjadi angina segar
ditengah situasi yang pelik ini.

Setiap emosi yang lahir membawa energi yang menjadikan kita ada, hadir dan
berdaya. Mencoba untuk menyelisik lebih dalam lagi, menaruh perhatian pada
sektor pendidikan tinggi yang juga terkena imbas dari pandemi covid-19. Masa
pandemi yang seakan menjadi jalur akselerasi tercapainya pendidikan yang
berintegrasi dengan revolusi 4.0. Pendidikan yang sejatinya menjadi elevator sosial
perlahan kehilangan jati dirinya. Sangat disayangkan bahwa pendidikan sebagai
alat yang memerdekakan dan memanusiakan justru terjerembab dalam lingkaran
yang tak berujung. Komitmen sebagai jaminan yang memberi harap dijadikan
kesempatan untuk mencuci tangan bagi beberapa lembaga. Ingin mencoba berbeda
dari yang lain, berbekal semangat dan nilai luhur yang diemban, adaptasi dan
adopsi visi filantropis diharap bisa menempatkan perguruan tinggi untuk tetap
menjaga substansi citra pendidikan yang memerdekakan dan memanusiakan.

Mutu perguruan tinggi menjadi taruhan yang mungkin dinomor sekiankan


dalam masa darurat pandemi saat ini. Menjadi liar ketika beranggapan bahwa
dampak yang lahir bisa sajakita ciptakan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
aksi demi aksi sedang naik daun. Layaknya dalam seri laga, mahasiswa membawa
perannya dalam merawat dan menyelamatkan usia perjuangan. Belum lagi peran
universitas sebagai sebuah lembaga yang dinilai bergerak dibawah radar.
Diskursus pemikiran yang menuntut temu ini melahirkan sebuah dialog pengingat
bahwa reformasi pendidikan merupakan tanggung jawab pelaku, pemberi dan
penerima pendidikan itu sendiri. Seperti yang dinarasikan oleh Najwa Shihab
dalam kanal YouTube-nya, kita sudahsejauh ini, kalah bukan pilihan. Tidak
menempati kursi nomor satu sebagai sebuah prioritas di masa krisis ini bukan
berarti pendidikan patut untuk dikesampingkan. Pendidikan tetap penting dan
menjadi yang terpenting. Transformasi sistem pendidikan akan berdampak pada
kualitas pendidikan. Bukan untuk disesali atau diperdebatkan, biarlah momen ini
menjadi momen bagi kita untuk berefleksi. Dampak dan mutu seperti apa yang
akan kita kenang selepas masa pandemi ini? Semoga ini hanya menjadi sebuah
selingan yang menyakitkan saja, bukan sebuah mimpi buruk yang menghantui
sepanjang tidur pendidikan di negeri ini.

Realita yang disuguhkan sirat akan disonansi bagi berbagai kalangan.


Paradigma yang mengajak kita matang dalam berarah pikir. Kedinamisan
menghanyutkan kita dalam pola pikir juga sikap yang divergen dan konvergen
sekaligus. Mengapa demikian? Tabrakan antar bias yang lahir acap kali ditangkap
setengah-setangah. Satu dua pihak yang mencicipi dunia perguruan tinggi
cenderung gagap dan latah dalam menyikapi keadaan yang sedang tidak biasa-
biasa saja. Komunikasi krisis ditempuh dalam jalur tanggap menanggapi polemik
yang justru memantik arah seperti apa yang akan membarui wajah pendidikan di
level perguruan tinggi. Konversi yang sejatinya berpijak pada Tri Dharma
Perguruan Tinggi perlu menata ulang standar yang ditetapkan. Stabilitas yang
benar-benar merangkul semua elemen dan kelas sosial tentunya memerlukan
adaptasi dan antisipiasi sebagai prosesnya. Pertanyaannya, akan seberapa lama lagi
kita bertahan dalam fase adaptasi? Pahitnya, daya tarik yang ditawarkan pun tidak
menampakkan optimisme sebagai harapan berdayanya alat yang kita sebut
pendidikan. Pendidikan di perguruan tinggi harus beresiliensi. Pendidikan yang
menggembirakan di tengah pandemi dirasa mampu membahasakan setiap harap.
Menjaga eksistensi pendidikan di tengah pandemi ini menjadi PR yang
membutuhkan kontribusi secara kolektif dari berbagai pihak, baik yang
berkecimpung dalam dunia pendidikan ataupun diluar itu. Sekarang hanya masalah
pilihan. Bagaimana kita mengiyakan ajakan untuk berjuang. Pemahaman dan
kesadaran seperti apa yang akan kita ciptakan? Ditengah batasanbatasan yang ada
dan pelonggaran-pelonggoran yang diluangkan, sinergisitas antar pihak diharapan
dapat menjadi ramuan penawar di tengah krisis pandemi yang mempertanyakan
mutu perguruan tinggi di negeri ini. Jembatan sinergi yang menjaga eksistensi
pendidikan dan menjadi bayaran dari utas pandemi yang samar lelahnya berada di
bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA

Liputan6.com. (2019, 18 Maret). 4 Ciri-ciri Globalisasi yang Tanpa Disadari


Mengubah Kehidupan. Diakses pada 19 Maret 2019, dari
https://www.liputan6.com/citizen6/read/3919594/4-ciri-ciri-globalisasi-yang-
tanpa-disadari-mengubah-kehidupan

Kompas.com. (2020, 02 Maret). Indonesia Umumkan Kasus Pertama Virus


Corona, Begini Pemberitaan Media Internasional. Diakses pada 05 Maret 2020,
dari https://www.kompas.com/global/read/2020/03/02/125038370/indonesia-
umumkan-kasuspertama-virus-corona-begini-pemberitaan-media

Tribunnews.com. (2020, 12 Maret). WHO Tetapkan Wabah Virus Corona Sebagai


Pandemi, Apa Artinya? Diakses pada 13 Maret 2020, dari
https://www.msn.com/id-id/berita/dunia/whotetapkan-wabah-virus-corona-
sebagai-pandemi-apa-artinya/ar-BB114eTJ

Mediaindonesia.com. (2020, 19 Mei). Paradigma Berdamai dengan Covid-19.


Diakses pada 25 Mei 2020, dari https://mediaindonesia.com/read/detail/314164-
paradigma-berdamai-dengancovid-19

Tribunnews.com. (2018, 28 November). “Si Vis Pacem Para Bellum”. Diakses


pada 25 Mei 2020, dari https://www.tribunnews.com/tribunners/2018/11/28/si-vis-
pacem-para-bellum

Covid19.go.id. (2020, 15 Juni). Presiden: Langkah Penanganan Covid-19 Harus


Cepat, Tepat, dan Akuntabel. Dilansir pada 23 Juni 2020, dari
https://covid19.go.id/p/berita/presiden-langkahpenanganan-covid-19-harus-cepat-
tepat-dan-akuntabel

Hadi, P. Hardono. 1996. Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme


Whitehead. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Arga Sumantri. 2020. Filantropi Jadi Modal Sosial Masyarakat Hadapi Pandemi di
https://m.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/ybJG30jk-filantropi-jadi-
modal-sosialmasyarakat-hadapi (diakses 23 Mei)
Shihab, Najwa. “Kenapa Tidak Sia-Sia #dirumahaja | Catatan Najwa.” YouTube.
YouTube, 19 Mei 2020. Web. 23 Mei 2020.
https://www.youtube.com/watch?v=ZRG5JqGxgzM

Anda mungkin juga menyukai