Anda di halaman 1dari 18

BLOK PENGOBATAN RASIONAL

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

RESUME BELAJAR MANDIRI


SKENARIO 1 (STEP 6)
B20 KE A15

OLEH :
NAMA : DELLA LESTARI
STAMBUK : 15120200190
KELOMPOK :1
DOSEN : apt. SISKA NURYANTI, S.Si., M.Kes

BLOK PENGOBATAN RASIONAL


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan klasifikasi dari HIV dan
TB?
Jawab :
a) Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2005,
Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberculosis, Binfar Dinkes RI,
Jakarta.
b) Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009,
Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB)
c) Menurut U.S Department Of Health and Human Services, 2011, Guide
For HIV/AIDS Clinical care. HRSA

Kesimpulan:

A. TUBERKULOSIS (TB)
Ada empat penggolongan dari penyakit tuberkulosis yaitu:
1. Berdasarkan tempat/organ yang diserang oleh kuman
a. Tuberkulosis paru yaitu tuberkulosis yang menyerang jaringan
parenkim paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).
b. Tuberkulosis ekstra-paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru-paru misalnya pleura, selaput otak, selaput
jantung (pericardium), kelenjar limfa, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, dan alat kelamin.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak pada tuberkulosis paru
a. Tuberkulosis paru BTA positif yaitu dari 3 spesimen dahak setidaknya
ada 2 hasil BTA positif atau 1 spesimen dahak dengan BTA positif
dan foto toraks/rontgen dada positif
b. Tuberkulosis paru BTA negatif yaitu 3 spesimen dahak hasil BTA
negatif dan foto toraks/rontgen dada positif.
3. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit
a. Tuberkulosis paru BTA negatif tetapi foto toraks/rontgen dada positif.
b. Tuberkulosis ekstra-paru :
- Tuberkulosis ekstra-paru ringan, misalnya tuberkulosis kelenjar
limfa, tuberkulosis tulang dan sendi.
- Tuberkulosis ekstra-paru berat, misalnya meningitis, tuberkulosis
tulang belakang, tuberkulosis alat kelamin.
4. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1) Kasus baru yaitu kasus dimana pasien belum pernah diobati
2) Kasus yang sebelumnya diobati
 Kambuh (relaps) yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh, namun kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.
 Setelah putus berobat (default) yaitu pasien yang sudah
berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat, dimana pasien tersebut
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
 Gagal (failure) yaitu pasien tuberkulosis yang masih tetap
positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu
bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih; atau pasien
dengan hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
3) Kasus Pindahan (Transfer In) yaitu pasien yang sedang menjalani
pengobatan di suatu tempat atau rumah sakit yang kemudian pindah
berobat ke rumah sakit yang lain, dimana penderita pindahan tersebut
harus membawa surat rujukan/pindah. Kronis yaitu pasien
tuberkulosis dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2.
4) Kasus Lain adalah semua yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
seperti :
i. Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
ii. Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya
iii. Kembali diobati dengan BTA negative
B. HIV (Human Immunodeficiency Virus)
Klasifikasi Infeksi HIV dikategorikan berdasarkan jumlah CD4 terendah
dan kategori klinik.

Berdasarkan skenario kasus pada pasien tersebut dapat


diklasifikasikan masuk kedalam kategori HIV C2 dimana berdasarkan
jumlah CD4 pasien 400sel/mm3 dan terinfeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis masuk pada kategori klinik C.
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan dari patofisiologi dan
etiologi dari penyakit HIV dan TB?
Jawab :
a) Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2005,
Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberculosis, Binfar Dinkes RI,
Jakarta.
b) Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009,
Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB), Kemenkes RI, Jakarta
c) Menurut Tjay, T & Rahardja, K 2015, Obat-Obat Penting Khasiat
penggunaan dan efek-efek sampingnya.
d) Menurut U.S Department Of Health and Human Services, 2011, Guide For
HIV/AIDS Clinical care, HRSA.
e) Menurut Dipiro J, Robert L.T, Gary C.Y, Gary R.M, Barbara G.W, and
Michael P, 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7th ed,
Mc. Graw Hill, United States of Amarica. hh 1841-1842
f) Menurut Mulyadi, dan Yenni F, ‘Hubungan tuberculosis dengan HIV/AIDS’,
Jurnal PSIK- Unsyiah, vol. 2, no. 2.

Kesimpulan:
A. TUBERKULOSIS (TB)
 Etiologi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberkulosis (Bakteri basil gram-positif tahan-asam) yang
menyerang pada organ tubuh terutama pada paru-paru selain itu dapat
juga menyerang organ lain seperti tulang (selain tulang belakang), dan
selaput otak.
 Patofisiologi
Penderita TB ketika batuk, bersin, tertawa akan mengeluarkan
droplet nuclei (percikan liur kecil-kecil) yang didalamnya terdapat basil
Mycobacterium tuberculosis yang akan melayang-layang di udara.
Mycobacterium tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru, maka
dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular.
Biasanya melalui berbagai reaksi imunologis bakteri TB paru ini akan
dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-
sel paru. Mekanisme pembentukan dinding membuat jaringan menjadi
jaringan parut dan bakteri TB paru akan menjadi dormant, dengan
pertahanan fisik awal yang mencegah infeksi pada kebanyakan orang
terkena TBC. Bakteri dalam tetesan yang memotong sistem mukosiliar
dan mencapai alveoli dengan cepat dikelilingi dan ditelan oleh makrofag
alveolar. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, maka
semakin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak
negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak
menular atau potensi penularannya kepada orang lain semakin sedikit
B. HIV (Human Immunodeficiency Virus)
 Etiologi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) yaitu penyakit yang
disebabkan oleh retrovirus (virus RNA), dimana virus tersebut langsung
menyerang sistem imun atau sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga
dapat menyebabkan infeksi opurtunistik.
 Patofisiologi
Infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) terjadi melalui
tiga hal utama yaitu seksual terutama seks anal dan vagina reseptif,
parenteral dan perinatal. Virus HIV menginfeksi limfosit CD4 atau T helper
(Th) jumlahnya akan menurun begitu pula dengan fungsi limfosit CD4
akan semakin menurun sebelum jumlah CD4 mencapai 200/μL, bahkan
sebagian besar setelah CD4 mencapai 100/μL. Thelper mempunyai
peranan dalam mengatur system imunitas tubuh. Bila teraktiviasi oleh
antigen, T helper akan merangsang respon imun seluler maupun respon
imun humoral, sehingga seluruh system imun akan berpengaruh T helper
memiliki fungsi sebagai kemotaksian dari peringatan kerja makrofag
monosit dan sel Natullar Killer, kerusakannya menyebabkan HIV.
PATOFISIOLOGI HIV- Koinfeksi TB
Penyakit HIV merupakan faktor resiko yang paling tinggi untuk terserang
penyakit tuberkulosis karena penyakit HIV menyerang sistem imun, dimana
sistem imun memiliki respon sel T-limfosit yang berguna untuk mengendalikan
infeksi Mycobacterium tuberculosis dengan mengaktifkan makrofag (CD4+). Sel
T-limfosit ini terdiri atas dua yaitu sel T-helper 1 (TH1) dan sel T-helper 2 (TH2),
dimana Mycobacterium tuberculosis menyerang sel T-helper 1 yang
mengaktifkan CD4+. CD4+ normalnya berfungsi sebagai tanggapan terhadap
infeksi mikobakteri, tetapi karena menderita penyakit HIV yang sistem imunnya
sudah buruk maka virus penyebab HIV akan berkembang biak sehingga CD4+
yang melawan tuberkulosis sudah habis akibat virus HIV akan berikatan
dengan CD4+ untuk menghasilkan virus-virus baru, yang kemudian
menyebabkan penderita HIV sudah tidak mampu memasang pertahanan yang
cukup terhadap tuberkulosis (TB).
3. Mahasiswa mampu menjelaskan gejala dan manisfestasi klinik dari HIV dan
TB?
Jawab :
a) Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2005,
Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberculosis, Binfar Dinkes RI,
Jakarta.
b) Menurut Tjay, T & Rahardja, K 2015, Obat-Obat Penting Khasiat
penggunaan dan efek-efek sampingnya.
c) Menurut Mulyadi, dan Yenni F, ‘Hubungan tuberculosis dengan HIV/AIDS’,
Jurnal PSIK- Unsyiah, vol. 2, no. 2.
d) Menurut Ajmala, IE & Wulandari, L 2015, Terapi ARV pada Penderita
Koinfeksi TB-HIV, Jurnal Respirasi, Vol. 1 No. 1.

Kesimpulan:

Manifestasi klinik penyakit HIV disertai tuberkulosis yaitu:


1. Demam berulang lebih dari sebulan
2. Penurunan berat badan
3. Batuk berdahak lebih dari 3 minggu disertai darah
4. Diare lebih dari seminggu
5. Meningitis
6. Sesak nafas dan nyeri dada
7. Nafsu makan berkurang
8. Kelelahan kronis (Malaise)
9. Hematoechezia
10. Keringat dingin pada malam hari
11. Obstruksi saluran cerna
12. Kehilangan memori
13. Depresi
14. Gangguan saraf
15. Pneumonia
16. Bercak-bercak pada kulit, dalam mulut, hidung atau kelopak mata
17. Pembengkakan kelenjar getah bening
18. Bintik-bintik putih pada lidah
Berdasarkan skenario pada kasus tersebut pasien memiliki tanda
dan gejala penyakit HIV disertai tuberkulosis seperti yang ada pada diatas
yaitu : Lemah, batuk berdahak lebih dari 3 minggu, keringat dingin dimalam
hari, berat badan turun, dan nafsu makan berkurang.
4. Mahasiswa mampu mengetahui tujuan dilakukannya pemeriksaan CD 4,
sputum dan radiografi dada.
Jawab :
a) Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Pedoman
Interpretasi Data Klinik, Kemenkes RI, Jakarta.
b) Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009,
Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB), Kemenkes RI, Jakarta
c) Menurut Mulyadi, dan Yenni F, ‘Hubungan tuberculosis dengan HIV/AIDS’,
Jurnal PSIK- Unsyiah, vol. 2, no. 2.
d) Menurut Ajmala, IE & Wulandari, L 2015, Terapi ARV pada Penderita
Koinfeksi TB-HIV

Kesimpulan:

A. Pemeriksaan CD4+
Bertujuan untuk memonitor hasil dan jumlah limfosit total dan
persentase sel CD4 untuk mengukur perjalanan penyakit dan terapi HIV.
B. Pemeriksaan Sputum (BTA)
Pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk menentukan adanya
Mycobacterium tuberculosis yang terdapat dalam sputum(dahak).
C. Pemeriksaan Radiografi Dada
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memantau gambaran
khas TB berupa lesi.

5. Mahasiswa mampu mengetahui dan melakukan interpretasi hasil


pemeriksaan laboratorium sesuai skenario?
Jawab :
a) Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Pedoman
Interpretasi Data Klinik, Kemenkes RI, Jakarta.
b) Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009,
Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB), Kemenkes RI, Jakarta
c) Menurut Mulyadi, dan Yenni F, ‘Hubungan tuberculosis dengan HIV/AIDS’,
Jurnal PSIK- Unsyiah, vol. 2, no. 2.
d) Menurut Ajmala, IE & Wulandari, L 2015, Terapi ARV pada Penderita
Koinfeksi TB-HIV

Kesimpulan:

A. Pemeriksaan CD4+
Bertujuan untuk memonitor hasil dan jumlah limfosit total dan
persentase sel CD4 untuk mengukur perjalanan penyakit dan terapi HIV.
Nilai rujukan CD4+ yaitu berkisar 500-1300 sel/mm 3. Limfosit CD4
menurun pada AIDS dan jumlah sel CD4 bermanfaat sebagai parameter
imunologi pasien. Jika limfosit T CD4 menurun risiko infeksi oportunitis
meningkat. Pasien dengan jumlah CD4 kurang dari 200 berisiko tinggi
terkena infeksi.
B. Pemeriksaan Sputum (BTA)
Pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk menentukan adanya
Mycobacterium tuberculosis yang terdapat dalam sputum(dahak).
Ada 3 metode yang dapat dilakukan dalam pemeriksaan sputum
atau dahak yaitu:
a. Metode SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) artinya sputum diambil 2 hari
sebanyak 3 kali, hari pertama (sputum sewaktu) diambil pada saat
pasien pertama kali datang ke layanan kesehatan, hari kedua (sputum
pagi) diambil pada pagi hari saat setelah bangun tidur dan hari kedua
(sputum sewaktu) diambil pada saat pasien kembali ke layanan
kesehatan untuk membawa sputum paginya.
b. Kultur sputum
c. BTA (Basil Tahan Asam) berguna untuk menentukan adanya
Mycobacterium tuberculosis yang terdapat dalam sputum
C. Pemeriksaan Radiografi Dada
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memantau gambaran
foto toraks TB berupa lesi. Tidak ada gambaran khas TB pada paru,
secara radiologis TB dapat memberi gambaran bermacam-macam dapat
berupa :
a) Bayangan lesi dilapangan atas paru atau segmen apical lobus
bawah
b) Bayangan berawan atau berbercak.
c) Adanya kavitas tunggal dan ganda
d) Bayangan bercak milier
e) Bayangan efusi pleura umumnya unilateral
f) Destroyed lobe sampai destroyed lung
g) Kalsifikasi
h) schwarte
Berdasarkan skenario interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium
pada pasien yaitu:
No Pemeriksaan Rujukan Hasil
1 CD4+ 500-1300 sel/mm3 400 sel/mm3
2 BTA Sewaktu hari -1 Negatif 1+
3 BTA Pagi Negatif 2+
4 BTA Sewaktu hari -2 Negatif -

Dilihat dari nilai CD4+ yang diperoleh pasien berdasarkan hasil


pemeriksaan laboratorium yaitu pasien mengalami penurunan dari nilai
rujukan yaitu 400 sel/mm3, sehingga dapat dikatakan bahwa pasien
menderita penyakit HIV.
Untuk pemeriksaan BTA menggunakan sputum dilakukan 2 hari
berturut- turut, dimana hasil pemeriksaan laboratorium BTA sewaktu hari
pertama yaitu 1+ artinya ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang dada,
BTA pagi pada hari kedua yaitu +2 artinya ditemukan 1-10 BTA setiap 1
lapang dada (minimal 50 LP), sedangkan BTA sewaktu pada hari kedua
hasilnya negatif. Perlu diingat bahwa 3 sampel spesimen yang diambil,
jika 2 diantaranya memberikan hasil positif maka pasien tersebut
menderita TB paru BTA positif. Sehingga dapat disimpulkan dari hasil
pemeriksaan laboratorium diatas, pasien menderita penyakit HIV yang
disertai dengan tuberkulosis
6. Mahasiswa mampu melakukan penatalaksanaan dari penyakit HIV & TB ?
Jawab :
a) Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2019,
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV, Menkes
RI.
b) Menurut Mulyadi, dan Yenni F, ‘Hubungan tuberculosis dengan
HIV/AIDS’, Jurnal PSIK- Unsyiah, vol. 2, no. 2.
c) Menurut Ajmala, IE & Wulandari, L 2015, Terapi ARV pada Penderita
Koinfeksi TB-HIV
d) Menurut Cahyawati, F 2018. Tatalaksana TB pda Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA)

Kesimpulan :
A. TUBERKULOSIS (TB)
Pengobatan TB ada 2 tahap yaitu : tahap awal dan tahap lanjutan
 Tahap Awal : Pengobatan diberikan setiap hari. Pengobatan pada
tahap ini secara efektif menurunkan jumlah bakteri yang ada dalam
tubuh dan meminimalisir resistensi obat. Pengobatan tahap awal pada
semua pasien baru harus diberikan selama 2 bulan. Pengobatan
selama secara teratur selama 2 minggu sudah sangat menurunkan
penularan. Tahap awal/ intensif adalah 2HRZE : Lama pengobatan 2
bulan diminum setiap hari
 Tahap Lanjutan Pengobatan tahap lanjutan untuk membunuh sisa
bakteri yang masih ada didalam tubuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan. Tahap lanjutan adalah 4H3R3 : Lama pengobatan 4
bulan masing-masing diberikan 3 kali seminggu. Kenapa dipilih obat
kategori 1 karena pasien TB baru dan kategori 1 obat yang dapat
diberikan untuk TB Paru BTA positif dan Rontgen Positif Anjuran
Pemilihan Obat ARV Lini Pertama Paduan yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk lini pertama adalah: ( Kemenkes, 2011) 2 NRTI + 1
NNRTIMulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di
bawah ini:
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah :
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR)
2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/: (HRZE)/5(HR)3E3
3) Kategori anak : 2 (HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR
B. HIV (Human Immunodeficiency Virus)
Golongan obat antiretroviral Terdapat empat golongan utama obat
antiretroviral, yaitu:
1. Penghambat masuknya virus ke dalam sel (Fusion inhibitor)
Contoh obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid (T-20) dan
maraviroc (MVC).
2. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
a. Analog nukleosida (NRTI)
Contohnya:
• analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT) dan stavudin (d4T)
• analog cytosin: lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
• analog adenin: didanosine (ddI)
• analog guanin: abacavir (ABC)
b. Analog nukleotida (NtRTI)
Contohnya: analog adenosin monofosfat: tenofovir.
c. Non nukleosida (NNRTI)
Contohnya nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFV).
3. Protease inhibitor (PI)
PI adalah ARV yang paling potensial. Contohnya: saquinavir
(SQV), indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV).
4. Integrase inhibitor
Contohnya raltegra (RGV) dan elvitegravir (EGV)
Pemilihan Obat ARV Lini Pertama Paduan yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk lini pertama adalah: 2 NRTI + 1 NNRTI. Mulailah terapi
antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

Berdasarkan skenario penatalaksanaan pasien HIV Ko-infeksi TB


dengan CD4 > 350 sel/mm 3 dimulai dengan terapi TB nya sampai selesai.
Ditunda pemberian ARV sambil memantau CD4. Kemudian evaluasi minggu
ke 2-8 pengobatan TB dan setelah pengobatan TB selesai untuk pemberian
terapi ARV setelah 2-8 minggu penggunaan terapi TB, baru dilakukan terapi
ARV dan dilanjutkan kembali pengobatan TBC. Dan disini nanti akan
dimonitoring untuk terjadinya interaksi obat antara ARV dan OAT.
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat dari
HIV dan TB?
Jawab :
a) Menurut Tjay, T & Rahardja, K 2015, Obat-Obat Penting Khasiat
penggunaan dan efek-efek sampingnya.
b) Menurut Ajmala, IE & Wulandari, L 2015, Terapi ARV pada Penderita
Koinfeksi TB-HIV
Kesimpulan:

A. ANTITUBERKULOSIS (OAT)
Obat antituberkulosis (OAT) Lini pertama terdiri dari Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, Streptomisin (HRZES).
a. Isoniazid bekerja menghambat sintesis asam mikolat yang merupakan
komponen utama dinding sel Mycobacterium.
b. Rifampisin merupakan bakterisid yang bekerja menghambat sintesis
asam nukleat yaitu sinstesis RNA transkripsi dengan mengikat subunit β-
RNA polymerase.
c. Pirazinamid merupakan analog struktur nikotinamid yang membunuh
basis turbekel semidorman dalam keadaan asam. Dalam keadaan asam,
basil trbekel menghasilkan pirazinamidase, suatu enzim yang mengubah
pirazinamid menjadi asam pirazinoat, yang berfungsi sebagai antibakteri.
d. Etambutol menganggu metabolisme karbohidrat
e. Streptomisin bekerja dengan membunuh bakteri dengan cara
mengganggu sintesis protein, translasi, dengan berikatan pada rRNA.
B. ANTIRETROVIRAL (ARV)
Antiretroviral adalah obat yang menghambat replikasi HIV. Tujuan terapi
dengan ARV adalah menekan replikasi HIV secara maksimum, meningkatkan
limfosit CD4 dan memperbaiki kualitas hidup penderita yang pada gilirannya
akan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Golongan obat antiretroviral Terdapat empat golongan utama obat
antiretroviral, yaitu:
1. Penghambat masuknya virus ke dalam sel (Fusion inhibitor)
Obat ini mengganggu pengikatan fusi masuknya HIV-1 ke sel inang
dengan menghalangi salah satu dari beberapa target. Bekerja dengan cara
berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi
virus ke target sel dihambat. Contoh obat penghambat fusi ini adalah
enfuvirtid (T-20) dan maraviroc (MVC).
2. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
a. Analog nukleosida (NRTI)
NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3
gugus fosfat dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida
menghambat RT sehingga perubahan RNA menjadi DNA terhambat.
Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA. Contohnya:
1. analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT) dan stavudin (d4T)
2. analog cytosin: lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
3. analog adenin: didanosine (ddI)
4. analog guanin: abacavir (ABC)
b. Analog nukleotida (NtRTI)
Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama
dengan NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.
Contohnya: analog adenosin monofosfat: tenofovir.
c. Non nukleosida (NNRTI)
Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi
berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi
dengan nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.
Contohnya nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFV).
3. Protease inhibitor (PI)
Protease inhibitor berikatan secara reversibel dengan enzim
protease yang mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk
proses akhir pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak
masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang paling
potensial. Contohnya: saquinavir (SQV), indinavir (IDV) dan nelfinavir
(NFV).
4. Integrase inhibitor
Mekanisme kerjanya menghambat enzim integrase, yang
bertanggung jawab untuk integrase DNA virus ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Contohnya raltegra (RGV) dan elvitegravir (EGV)
8. Mahasiswa mampu menjelaskan monitoring dan edukasi terhadap pasien?
Jawab :
a) Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2019,
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV, Menkes RI.
b) Menurut Mulyadi, dan Yenni F, ‘Hubungan tuberculosis dengan HIV/AIDS’,
Jurnal PSIK- Unsyiah, vol. 2, no. 2.
c) Menurut Ajmala, IE & Wulandari, L 2015, Terapi ARV pada Penderita
Koinfeksi TB-HIV
d) Menurut Cahyawati, F 2018. Tatalaksana TB pda Orang dengan HIV/AIDS
(ODHA)

Kesimpulan:

Monitoring pasien bertujuan untuk mengevaluasi hasil pengobatan yang


diberikan sesuai dengan penyakit yang diderita serta untuk mengidentifikasi
apakah ada reaksi obat yang merugikan atau tidak.
Monitoring pada pasien HIV disertai tuberkulosis yaitu:
1. Monitoring dengan melakukan sputum smear microscopy (2 spesimen) pada
saat pengobatan tahap awal selesai (2 bulan), jika sputum BTA positif pada
penyelesaian tahap awal (bulan kedua), maka sputum smear harus diperiksa
lagi pada bulan ketiga dan jika hasilnya masih positif maka dilakukan kultur
dan pengujian kerentanan untuk memastikan kemungkinan terjadinya
resistensi obat.
2. Monitoring pengukuran bulanan berat badan pasien untuk memberi tahukan
kepada pasien bahwa berat badan tergantung pada penyesuaian dosis.
3. Monitoring catatan kemungkinan tanda dan gejala efek samping yang
dialami setelah pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

Ajmala, IE & Wulandari, L 2015, Terapi ARV pada Penderita Koinfeksi TB-HIV,
Jurnal Respirasi, Vol. 1. No.1.
Cahyawati, F 2018. Tatalaksana TB pda Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Jurnal
CDK. Vol.45 No. 9
Dipiro J, Robert L.T, Gary C.Y, Gary R.M, Barbara G.W, and Michael P, 2008,
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7th ed, Mc. Graw Hill, United
States of Amarica.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2005, Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Tuberculosis, Binfar Dinkes RI, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Pedoman Interpretasi Data Klinik,
Binfar Dinkes RI, Jakarta.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Pedoman Nasional Pengendalian


Tuberkulosis, Binfar Dinkes RI, Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009, Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis (TB)
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2019, Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV, Menkes RI.
Mulyadi, dan Yenni F, ‘Hubungan tuberculosis dengan HIV/AIDS’, Jurnal PSIK-
Unsyiah, vol. 2, no. 2.
Tjay T.H, dan Kirana R, 2015, Obat-Obat Penting Edisi Enam, PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta.
U.S Department Of Health and Human Services, 2011 Guide For HIV/AIDS Clinical
care. HRSA.

Anda mungkin juga menyukai