Anda di halaman 1dari 1

EPILOG

Yuni klarista berlari sekuat tenaga menuju kantor detektif Idhang, dengan piyama kusut dan
kaki tak beralas, tak dihiraukannya para penjaga yang mengejarnya. “Sedikit lagiii, sedikit lagi
sampaii” isaknya dengan napas yang terengah engah. “Bruakkk”, seorang penjaga berhasil
menghentikan larinya, menjatuhkannya kelantai, dan mengunci pergerakannya. Yuni menangis,
ruangandetektif Idhang masih sangat jauh. Ia memberontak mencoba melepaskan diri, namun
seorang wanita tentu tak mampu berbuat apa-apa dalam cengkraman para penjaga jangkung
bertubuh kekar. Orang-orang mulai berkerumun memperhatikan kekacauan yang terjadi. Yuni tetap
menangis, berteriak meminta agar dipertemukan dengan detektif, namun para penjaga yang kesal
tak mempedulikannya. Dalam derai airmatanya, dilihatnya seorang yang ia kenal keluar dari ruangan
yang ada tepat 100 meter didepannya. Benar, ia kenal betul orang itu, Detektif Idhang!. Tak ingin
membuang waktu, dan mungkin ini kesempatan terakhir bagi Yuni, ia berteriak sekeras mungkin
kearah detektif Idhang, “DETEKTIFFF!! TOLONG KAMII!! LAKI-LAKI YANG MEMBUNUH MILA, ADALAH
ORANG YANG SAMA YANG MEMBUNUH PROF. SANJAYAAA!!!”. Yuni terus mencoba memberontak,
ingin sekali ia berlari kearah detektif dan menjelaskan pemikirannya, namun tubuhnya mulai lemah,
matanya terasa sangat berat, jangankan berteriak, lidahnya saja sudah tak mampu bergerak.
“Biusnya berhasil” kata salah satu penjaga. Yuni lalu dibawa dan diamankan di rumah sakit.

Detektif Idhang tertegak kaku diposisinya, tak lain dirasanya perih, bagai katana tak bergagang
melesat lalu begitu saja melewati tulang rusuknya. Rasa marah, kesal, kecewa, dan sakit hati bagai
meremukkan organ-organnya. “Tak mungkin, bukankah laki-laki yang..” “Tapi, kenapa??” “Apakah
penyidikan selama ini, tak berguna?”.

Anda mungkin juga menyukai