Anda di halaman 1dari 156

TRACK:

HUMAN RESOURCES MANAGEMENT

1
ANALISA PENGARUH PERSONALITY TRAITS DAN
ENVIRONMENTAL FACTORS TERHADAP ENTREPRENEURIAL
INTENTIONS

Oleh:
Enny Noegraheni H ; Idi Setyo Utomo1); Amanda Nathalia S1)
1)

E-mail: enny_noegraheni@yahoo.com
1)
Dosen School Of Business and Management Universitas Bina Nusantara

ABSTRACT

The purpose is to understand the influence of personality traits and environmental factors on
entrepreneurial intentions on students of Bina Nusantara University on their seventh semester
in school of business management. The method of analysis used are the simple and multiple
linear regression analysis. This study used 226 students as samples. This study concluded
that, if the samples are tested individually, the factor that has most influence on
entrepreneurial intentions on students of Bina Nusantara University on their seventh semester
in school of business management is environmental factors which amounted to 20.7% and
followed by personality traits that counted to 9.5%. On the other hand, if tested altogether, the
influence of personality traits and environmental factors on entrepreneurial intentions on
students of Bina Nusantara University on their seventh semester in school of business
management is 21.7%.

Keywords: Personality Traits, Environmental Factors, Entrepreneurial Intentions

PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi dalam suatu negara merupakan suatu hal yang sangat erat
kaitannya dengan upaya untuk memakmurkan masyarakat. Karena pentingnya suatu
pembangunan ekonomi maka sebuah negara yang berkeinginan untuk maju harus berusaha
untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang positif bagi negaranya sendiri, sehingga akan
memberikan manfaat dan keuntungan yang bisa dinikmati oleh masyarakat.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang masih mengalami masalah
dalam pembangunan perekonomian negara. Badan Pusat Statistik Indonesia
(http://www.bps.go.id/ diakses pada tanggal 5 November 2013) mencatat bahwa hingga
Februari 2013, jumlah pengangguran di Indonesia telah mencapai 7,17 juta orang. Jumlah
penduduk miskin hingga bulan Maret 2013 adalah 28,07 juta orang. Hal ini merupakan
masalah serius yang harus segera ditanggulangi bukan hanya dengan campur tangan
pemerintah saja, tetapi harus ada kerjasama dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Entrepreneurship merupakan salah satu pilihan yang rasional mengingat sifatnya yang
mandiri, sehingga tidak tergantung pada ketersediaan lapangan kerja yang ada. Nistorescu dan
Ogarca (2011:251) menyebutkan bahwa entrepreneurship secara universal diakui sebagai pilar

2
perekonomian, faktor kunci untuk pengembangan usaha, menciptakan lapangan pekerjaan, dan
mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu Lambing dan Kuehl (2007:2) juga menyebutkan
bahwa entrepreneurship merupakan sumber kekuatan ekonomi suatu negara. Dari definisi
diatas maka entrepreneurship merupakan suatu solusi untuk mengatasi masalah perekonomian
negara.
Sumber daya manusia yang berkualitas sangat dibutuhkan untuk menangkap setiap
peluang yang ada dalam dunia bisnis. Apabila Indonesia mampu melahirkan para entrepreneur
yang tangguh maka sebagian besar permasalahan ekonomi akan dapat diatasi. Entrepreneur
sendiri merupakan seseorang yang berusaha membuat kombinasi baru terhadap produk,
proses, pasar, struktur organisasi dan pemasok (Lambing dan Kuehl, 2007:16). Dengan adanya
entrepreneur yang tangguh dalam pasar akan membantu pembangunan perekonomian suatu
negara dan juga menciptakan kemandirian ekonomi nasional.
Oleh karena pertimbangan diatas, maka mahasiswa sebagai satu golongan masyarakat
yang terpelajar diharapkan menjadi pemimpin - pemimpin bangsa masa depan, sudah
sepantasnya menjadi pelopor dalam mengembangkan semangat entrepreneurship. Dengan
bekal pendidikan yang tinggi, yang diperoleh di bangku kuliah, lulusan universitas diharapkan
mampu mengembangkan diri menjadi seorang entrepreneur, dan bukan sebaliknya lulusan
unversitas hanya bisa menunggu lowongan kerja apabila menjadi pengangguran yang pada
akhirnya akan menjadi beban pembangunan.
Melihat dari pentingnya peran mahasiswa sebagai pelopor dalam mengembangkan
semangat entrepreneurship, maka sangatlah menarik untuk meneliti faktor - faktor yang
mempengaruhi niat mahasiswa dalam melaksanakan aktifitas entrepreneurship. Menurut
pendapat Sesen (2012:626) niat dari seseorang untuk memulai suatu usaha bisnis disebut
sebagai entrepreneurial intentions. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi
entrepreneurial intentions seseorang. Faktor tersebut terbagi menjadi faktor internal dan
eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu yaitu personality traits sedangkan
faktor eksternal berasal dari luar individu yaitu environmental factors.
Universitas Bina Nusantara merupakan salah satu universitas yang membantu
pendidikan dan kemajuan perkembangan generasi muda, serta berhasil dalam menciptakan
pendidikan berkualitas yang selaras dengan kebutuhan industri saat ini dan menciptakan
mahasiswa lulusan yang berkualitas dan siap menghadapi tantangan global.
Melihat hal tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang pengaruh
personality traits dan environmental factors terhadap entrepreneurial intentions pada
mahasiswa semester tujuh School of Business Management Universitas Bina Nusantara.
Mahasiswa semester tujuh School of Business Management sangat ideal untuk dijadikan
responden dalam penelitian ini karena diasumsikan pada umumnya mahasiswa tersebut
memiliki tingkat pengetahuan yang cenderung lebih tinggi terhadap entrepreneurship dan
sudah hampir selesai menempuh masa kuliahnya dan sebentar lagi akan mulai memasuki
dunia pekerjaan sehingga lebih relevan untuk digunakan sebagai responden dalam penelitian
ini.

PEMBAHASAN

Menurut Hisrich et al., dalam Wijatno (2009:3) entrepreneurship merupakan sebuah


proses menciptakan sesuatu yang baru dan bernilai, dengan memanfaatkan usaha dan waktu

3
yang diperlukan, dengan memperhatikan risiko sosial, fisik, dan keuangan, dan menerima
imbalan dalam bentuk uang dan kepuasan personal serta independensi. Dari definisi ini dapat
dilihat adanya empat aspek dasar dari entrepreneurship yaitu : (1) Entrepreneurship
melibatkan proses penciptaan; (2) Entrepreneurship memerlukan waktu dan usaha; (3)
Entrepreneurship memiliki risiko tertentu; (4) Entrepreneurship melibatkan imbalan sebagai
entrepreneur yaitu independensi, diikuti oleh kepuasan pribadi.
Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Entrepreneurship, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi keinginan seseorang untuk memilih jalur entrepreneurship sebagai jalan
hidupnya (Hendro, 2011:61 - 63). Faktor - faktor tersebut diantaranya adalah : (1) Faktor
Individual adalah pengaruh pengalaman hidup dari kecil hingga dewasa, baik oleh lingkungan
ataupun keluarga; (2) Suasana Kerja, lingkungan pekerjaan yang tidak nyaman akan
mempercepat seseorang untuk memilih jalan kariernya sebagai seorang entrepreneur;
(3) Tingkat Pendidikan, seseorang yang tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan
cenderung mempunyai hasrat yang kuat untuk memilih karier sebagai seorang entrepreneur;
(4) Kepribadian, seseorang yang mempunyai kepribadian yang dominan dan suka berbicara
cenderung mempunyai hasrat yang tinggi untuk menjadi seorang entrepreneur; (5) Prestasi
Pendidikan, seseorang yang mempunyai prestasi akademis yang tidak tinggi cenderung
mempunyai keinginan yang lebih kuat untuk menjadi seorang entrepreneur. Hal itu
didorong oleh suatu keadaan yang memaksa orang tersebut untuk berpikir bahwa menjadi
entrepreneur adalah satu pilihan terakhir untuk sukses, mengingat persaingan yang sangat
ketat dalam dunia pekerjaan dan banyak lulusan berpotensi yang belum mendapatkan
pekerjaan; (6) Dorongan Keluarga, keluarga sangat berperan penting dalam menumbuhkan
serta mempercepat seseorang untuk mengambil keputusan berkarier sebagai entrepreneur,
karena orangtua berfungsi sebagai konsultan pribadi, penasehat dan pembimbingnya; (7)
Lingkungan dan Pergaulan, pergaulan akan membentuk kepribadian seseorang. Seseorang
yang bergaul dengan orang yang malas, akan cenderung menjadi seseorang yang malas.
Seseorang yang bergaul dengan entrepreneur akan cenderung berkeinginan untuk menjadi
seorang entrepreneur; (8) Ingin Lebih Dihargai atau Self – Esteem, posisi tertentu yang
dicapai seseorang akan mempengaruhi arah kariernya. Sesuai dengan teori Maslow, setelah
kebutuhan sandang, pangan dan papan terpenuhi, kebutuhan yang ingin diraih seseorang
berikutnya adalah self - esteem yaitu ingin lebih dihargai lagi. Dan itu terkadang tidak bisa
didapati di dunia pekerjaan atau lingkungan, baik keluarga, teman ataupun yang lainnya. Self
- Esteem akan memacu seseorang untuk mengambil karier menjadi entrepreneur; (9)
Keterpaksaan dan Keadaan, kondisi yang diciptakan atau terjadi seperti PHK, pensiun dan
menganggur akan dapat membuat seseorang memilih jalan hidupnya menjai entrepreneur
karena memang sudah tidak ada pilihan lagi untuknya.
Menurut Saraswati dan Widaningsih (2008:146) intention adalah kecenderungan hati
yang tinggi terhadap sesuatu. Terbentuknya suatu intention diawali oleh perasaan senang
dan sikap positif. Terdapat tiga karakteristik dari intention, yaitu : (1) Intention
menimbulkan sikap positif dari suatu obyek; (2) Intention adalah sesuatu yang
menyenangkan dan timbul dari suatu obyek; (3) Intention mengandung unsur penghargaan,
mengakibatkan suatu keinginan, dan kegairahan untuk mendapat sesuatu yang diinginkan.
Menurut Fishbein, Ajzen, dan Bandura dalam Wijaya (2007:119) intention
merupakan sebuah komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan untuk
melakukan tingkah laku tertentu dan merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan
aktifitas tertentu atau menghasilkan suatu keadaan tertentu di masa depan. Hal ini

4
mengindikasikan seberapa keras seseorang berusaha dan seberapa banyak usaha yang
dilakukan agar perilaku yang diinginkan dapat dilakukan. Santoso dalam Wijaya (2007:19)
juga menambahkan bahwa intention adalah hal-hal yang diasumsikan dapat menjelaskan
faktor - faktor motivasi serta berdampak kuat pada tingkah laku.
Menurut Ramdhani dalam Srimulyani (2013:98) entrepreneurial intentions adalah
faktor motivasional yang mempengaruhi individu - individu untuk mengejar hasil - hasil
wirausaha. Carsrud dan Brannback (2009:55) juga memberikan definisi dari entrepreneurial
intentions yaitu keinginan untuk memulai suatu bisnis, untuk menciptakan suatu usaha baru.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa entrepreneurial intentions merupakan niat
yang ada pada diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan entrepreneurship.
Menurut Robbins dan Judge (2008:130) personality traits adalah karakteristik yang
sering muncul dan mendeskripsikan perilaku seorang individu. Karakteristik yang umumnya
melekat dalam diri seorang individu adalah malu, patuh, agresif, malas, setia dan takut yang
diwujudkan dalam menghadapi berbagai situasi. Semakin konsisten dan sering munculnya
karakteristik tersebut dalam berbagai situasi, maka akan semakin mendeskripsikan
karakteristik seorang individu. Menurut Martono dan Joewana (2006:61) personality traits
adalah jati diri atau sifat dasar seseorang, yaitu pikiran, perasaan serta nilai - nilai hidup
yang diwujudkan dalam perilaku sehari - hari.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa personality traits merupakan
karakteristik yang sering muncul dan mendiskripsikan perilaku seorang individu yang
diwujudkan dalam perilakunya sehari-hari. Dimensi dari Personality Traits menurut Sesen
(2012:627) adalah : (1) Need for Achievement, merupakan sebuah keinginan untuk
melakukan sesuatu yang lebih baik, untuk memecahkan persoalan, atau untuk menguasasi
suatu tugas yang rumit; (2) Locus of Control, merupakan suatu atribut yang
mengindikasikan rasa kontrol indvidu terhadap hasil, penghargaan, kesuksesan dan
kegagalan atas hidupnya. Locus of control menentukan tingkatan sampai dimana seseorang
meyakini bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi pada mereka. Menurut
Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006:97) locus of control terdiri dari dua aspek,
yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Aspek eksternal dari locus of control adalah
kepercayaan bahwa segala hal yang terjadi bergantung pada keberuntungan, nasib dan
dikendalikan oleh kekuatan dari luar yang berasal dari luar individu seseorang. Ketika
mereka berkinerja dengan baik, mereka yakin bahwa hal tersebut disebabkan oleh
keberuntungan atau karena tugas tersebut merupakan tugas yang mudah. Sedangkan, aspek
internal dari locus of control adalah kepercayaan seseorang bahwa segala hal yang terjadi
adalah hasil dari usaha yang dilakukan orang tersebut. Ketika orang tersebut berkinerja
dengan baik, mereka yakin bahwa hal tersebut disebabkan oleh usaha yang mereka lakukan.
perilaku dan karakteristik dari orang tersebut; (3) Self – Efficacy, merupakan keyakinan
pribadi mengenai kemampuan diri untuk menyelesaikan suatu tugas dengan berhasil. Faktor
yang berperan penting dalam pengembangan self - efficacy seseorang adalah pengalaman
masa lalu. Jika pada masa lalu seseorang berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas,
seseorang akan lebih memiliki rasa percaya diri dan keyakinan yang meningkat dalam
kemampuannya untuk melaksanakan tugas dengan baik.
Environmental Factors adalah sekelompok sumberdaya yang akan mempengaruhi
proses dalam memulai suatu usaha yang terdiri dari dukungan keuangan, pendidikan dan
pelatihan, sektor bisnis potensial, keterbukaan dan daya saing di pasar domestik (Gomezelj dan
Kusce, 2013:911). Menurut Sesen (2012:628) dimensi dari environmental factors adalah: (1)

5
Access to Capital, modal meliputi mesin, peralatan, perlengkapan dan fasilitas fisik yang
digunakan oleh sumber daya manusia untuk menghasilkan produk. Dalam membangun
suatu usaha diperlukan modal yang cukup untuk membiaya operasional usaha. Menurut
Sesen (2012:628) access to capital merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan
suatu usaha baru. Modal tersebut dapat diperoleh melalui tabungan pribadi, keluarga, teman,
bank ataupun para investor; (2) Business Information, menurut Madura (2007:322) seorang
entrepreneur harus mempertimbangkan seluruh kondisi pasar sebelum memutuskan untuk
menciptakan suatu usaha baru seperti pesaing, permintaan, tenaga kerja, peraturan dan
perundang - undangan. Berbagai sumber dapat digunakan untuk mendapatkan informasi
mengenai bisnis. Menurut Griffin dan Ebert, (2007:10) business information memainkan
peranan penting dalam membangun suatu usaha. Suatu bisnis bergantung pada prediksi pasar,
orang - orang dengan keahlian tertentu, serta berbagai bentuk data ekonomi untuk mendukung
dalam menjalankan proses bisnis.; (3) Social Networks, merupakan sebuah proses interaksi
sosial yang memungkinkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang yang sudah dikenal
maupun tidak dikenal. Social networks sangat berpengaruh bagi entrepreneur untuk
mencapai kesuksesan (Gomezelj dan Kusce, 2013:911), social networks dapat dimanfaatkan
bagi seorang entrepreneur untuk memperoleh sumber daya yang dapat digunakan dalam
menjalankan atau membangun bisnis; (4) University Environment, seorang pelajar yang
menilai bahwa lingkungan universitas tidak mendukung dalam entrepreneurship akan
mengakibatkan entrepreneurial intentions yang rendah pada para pelajar. Kualitas pendidikan
dan pelatihan mengenai entrepreneurship sangat penting, hal ini mengacu pada berbagai program
pendidikan formal. Lingkungan universitas mempengaruhi gaya hidup para calon entrepreneur
yang potensial seperti melalui lingkungan pergaulan dalam universitas, nilai yang dianut oleh
universitas dan program pendidikan dari universitas.
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Horison waktu yang
digunakan menggunakan cross sectional. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini menggunakan data primer yaitu dengan menyebarkan kuesioner untuk
diisi oleh responden dan juga dengan menggunakan data sukender yang berasal dari berbagai
macam pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini dan juga data yang diperoleh dari
Layanan Informasi Mahasiswa (LIM) Universitas Bina Nusantara. Kuesioner yang berisi
tentang pertanyaan - pertanyaan seputar personality traits, environmental factors dan
entrepreneurial intentions disebarkan kepada mahasiswa Universitas Bina Nusantara semester
tujuh School of Business Management pada tahun ajaran 2013/2014 yang hasilnya akan
diolah dengan menggunakan analisis regresi linear sederhana dan regresi linear berganda
dengan menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences)
versi 16.0. Profil perusahaan Universitas Bina Nusantara, pada awalnya merupakan sebuah
lembaga pendidikan dengan nama Modern Computer Course yang berdiri pada tanggal 21
Oktober 1974, yang kemudian terus berkembang karena memiliki pondasi visi yang kuat, luas
dan lengkap. Berkat ketekunan dan kerja keras, berdiri Universitas Bina Nusantara yang
secara resmi terdaftar pada tanggal 8 Agustus 1996. Profil Responden dengan jumlah
responden sebanyak 226 mahasiswa. Berdasarkan jenis kelamin, pria sebanyak 136 orang (60
%) dan wanita sebanyak 90 orang (40%). Berdasarkan usia, sebanyak 23 orang (10%) usia 20
tahun, usia 21 tahun sebanyak 136 orang (61%), usia 22 tahun sebanyak 54 orang (24%), usia
23 tahun sebanyak 10 orang (4%), usia 25 tahun sebanyak 1 orang (0%), usia 26 tahun
sebanyak 2 orang (1%). Berdasarkan peminatan, mahasiswa dengan peminatan

6
entrepreneurship sebanyak 81 orang (36%), peminatan bisnis dan organisasi sebanyak 51
orang (23%), peminatan e-business sebanyak 39 orang (17%), peminatan international
marketing sebanyak 55 orang (24%). Berdasarkan pengalaman berwirausaha, mahasiswa yang
mempunyai pengalaman berwirausaha sebanyak 132 orang (58%), tidak mempunyai
pengalaman berwirausaha sebanyak 94 orang (42%).
Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 95%, Uji
Validitas Variabel Personality Traits (X1) dan Uji Validitas Variabel Environmental Factors
(X2) serta Uji Validitas Variabel Entrepreneurial Intentions (Y). Uji Reliabilitas dengan teknik
pengujian reliabilitas menggunakan koefisien alpha cronbach dengan taraf nyata 5%.
Uji Hipotesis :
Hipotesis 1
Ha1 : Terdapat pengaruh signifikan antara variabel personality traits terhadap variabel
entrepreneurial intentions.
Ho1 : Tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel personality traits terhadap variabel
entrepreneurial intentions.
Hipotesis 2
Ha2 : Terdapat pengaruh signifikan antara variabel environmental factors terhadap variabel
entrepreneurial intentions.
Ho2 : Tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel environmental factors terhadap
variabel entrepreneurial intentions.
Hipotesis 3
Ha3 : Terdapat pengaruh signifikan antara variabel personality traits dan variabel
environmental factors secara bersama - sama terhadap variabel entrepreneurial
intentions.
Ho3 : Tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel personality traits dan variabel
environmental factors secara bersama - sama terhadap variabel entrepreneurial
intentions.

Dasar Pengambilan Keputusan, jika Sig > 0.05, maka Ho diterima dan jika Sig < 0.05, maka
Ho ditolak.

Tabel 1 Hasil Analisis Regresi


Nilai Uji
Variabel Regresi Persamaan Regresi
Sig Signifikansi
X1 terhadap Y 0.000 0.095= 9.5% Y = 1.905 + 0.472 X1 Signifikan
X2 terhadap Y 0.000 0.207= 20.7% Y = 2.055 + 0.374X2 Signifikan
X1 dan X2 Y = 1.645 + 0.174 X1 +
0.000 0.217 = 21.7% Signifikan
terhadap Y 0.329 X2

Kesimpulan
Variabel personality traits (X1) memiliki pengaruh secara signifikan terhadap variabel
entrepreneurial intentions (Y) pada mahasiswa semester tujuh school of business management

7
Universitas Bina Nusantara sebesar 9.5% dan 90.5% dipengaruhi oleh variabel lain diluar
penelitian ini.
Persamaan regresi :
Y = 1.905 + 0.472 X1
Dimana :
Y = entrepreneurial intentions
X1 = personality traits
Variabel environmental factors (X2) memiliki pengaruh secara signifikan terhadap
variabel entrepreneurial intentions (Y) pada mahasiswa semester tujuh school of business
management Universitas Bina Nusantara sebesar 20.7% dan 79.3% dipengaruhi oleh variabel
lain diluar penelitian ini.
Persamaan regresi :
Y = 2.055 + 0.374X2
Dimana :
Y = entrepreneurial intentions
X2 = environmental factors
Variabel personality traits (X1) dan variabel environmental factors (X2) memiliki
pengaruh secara bersama - sama dan signifikan terhadap variabel entrepreneurial intentions
(Y) pada mahasiswa semester tujuh school of business management Universitas Bina
Nusantara sebesar 21.7% dan 78.3% dipengaruhi oleh variabel lain diluar penelitian ini.
Persamaan regresi :
Y = 1.645 + 0.174 X1 + 0.329 X2

Dimana :
Y = entrepreneurial intentions
X2 = environmental factors
X1 = personality traits

Dalam variabel personality traits rata - rata skor yang paling rendah diantara ketiga
dimensi adalah internal locus of control dengan butir pertanyaan ke 2 yang mempunyai skor
terendah, mengenai kesadaran bahwa kegagalan dalam pekerjaan merupakan akibat dari
kesalahan yang diperbuat. Hal ini menunjukan Universitas Bina Nusantara belum berhasil
meningkatkan kesadaran mahasiswa mengenai rasa kontrol individu terhadap hasil,
penghargaan, kesuksesan dan kegagalan atas hidupnya. Bila Universitas Bina Nusantara
berhasil meningkatkan rasa kepercayaan para mahasiswa bahwa segala hal yang terjadi adalah
hasil dari usaha yang dilakukan orang tersebut, maka hal ini dapat mempersiapkan para
mahasiswa untuk memiliki kinerja yang lebih baik dalam melakukan suatu pekerjaan dan
semakin tinggi internal locus of control yang dimiliki oleh mahasiswa akan
meningkatkan pula keberhasilan Universitas Bina Nusantara untuk menghasilkan
entrepreneur yang sukses. Pihak Universitas Bina Nusantara harus dapat meningkatkan
kesadaran para mahasiswa mengenai pentingnya internal locus of control, misalnya dengan
mengadakan program wajib yang harus diikuti mahasiswa untuk melatih jiwa kepemimpinan,
kepercayaan diri, dan pembentukan personality yang baik. Hal ini akan meningkatkan
personality mahasiswa dan akan menghasilkan para mahasiswa yang memiliki personality
yang baik dan dapat dipraktekan dalam kehidupan sehari - hari dan dapat digunakan dalam
menjalankan atau membangun bisnis.

8
Dalam variabel environmental factors, rata - rata skor paling rendah diantara
keempat dimensi adalah dimensi social networks dengan butir pertanyaan ke 5 yang
mempunyai skor terendah , mengenai jika saya memutuskan untuk mendirikan suatu usaha,
maka saya akan menyatakan ide saya kepada pihak keluarga untuk mendapatkan modal usaha
dan informasi bisnis. Universitas Bina Nusantara belum berhasil meningkatkan kesadaran
kepada mahasiswa mengenai pentingnya social networks bagi mahasiswa untuk mencapai
kesuksesan dalam menjadi seorang entrepreneur. Bila Universitas Bina Nusantara berhasil
meningkatkan kesadaran para mahasiswa mengenai pentingnya social networks, maka hal ini
dapat membantu mahasiswa yang akan menjadi seorang entrepreneur dalam memperoleh
sumber daya yang dapat digunakan dalam menjalankan atau membangun bisnis terutama
dalam lingkungan keluarga seperti orang tua. Pihak Universitas Bina Nusantara harus dapat
meningkatkan kesadaran para mahasiswa mengenai pentingnya social networks, misalnya
dengan memberikan seminar mengenai manfaat social networks dalam bisnis. Hal ini akan
memberikan pengetahuan dan membantu mahasiswa dalam memanfaatkan social networks
untuk memperoleh sumber daya yang dapat digunakan dalam menjalankan atau membangun
bisnis.
Dalam variabel entrepreneurial intentions, butir pertanyaan dengan skor paling
rendah adalah butir pertanyaan ke 3, mengenai saya akan membangun bisnis di masa depan.
Dimana Universitas Bina Nusantara belum berhasil meningkatkan kesadaran dan
menimbulkan intention para mahasiswa mengenai pentingnya membangun bisnis di masa
depan. Bila Universitas Bina Nusantara berhasil meningkatkan kesadaran para mahasiswa
mengenai pentingnya membangun bisnis di masa depan, maka para mahasiswa akan memiliki
intention yang lebih tinggi untuk memulai usaha dan akan memiliki kesiapan dan kemajuan
yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intention untuk
memulai usaha. Pihak Universitas Bina Nusantara sebaiknya lebih memberikan dorongan
kepada mahasiswa untuk memulai menjadi entrepreneur dan memberikan motivasi yang
lebih lagi kepada mahasiswa mengenai pentingnya menjadi seorang entrepreneur, misalnya
dengan memberikan lahan dan tempat khusus dalam Universitas yang dapat digunakan
mahasiswa untuk memulai suatu bisnis. Hal ini akan dapat memberikan motivasi,
pengetahuan dan penghasilan tambahan bagi mahasiswa selama berada dalam bangku
perkuliahan sehingga dapat meningkatan intention untuk menjadi seorang entrepreneur.

KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil analisis yang telah didapat dari bab sebelumnya, mengenai
pengaruh personality traits dan environmental factors terhadap entrepreneurial intentions
pada mahasiswa semester tujuh school of business management Universitas Bina Nusantara,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
 Adanya pengaruh yang signifikan antara personality traits terhadap entrepreneurial
intentions pada mahasiswa semester tujuh school of business management Universitas
Bina Nusantara. Upaya untuk meningkatkan personality traits misalnya dengan
mengadakan program wajib yang harus diikuti mahasiswa untuk melatih jiwa
kepemimpinan, kepercayaan diri, dan pembentukan personality yang baik. Hal ini akan

9
meningkatkan personality mahasiswa dan akan menghasilkan para mahasiswa yang
memiliki personality yang baik dan dapat dipraktekan dalam kehidupan sehari - hari
dan dapat digunakan dalam menjalankan atau membangun bisnis.
 Adanya pengaruh yang signifikan antara environmental factors terhadap
entrepreneurial intentions pada mahasiswa semester tujuh school of business
management Universitas Bina Nusantara. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
environmental factors misalnya dengan memberikan seminar mengenai manfaat social
networks dalam bisnis. Hal ini akan memberikan pengetahuan dan membantu
mahasiswa dalam memanfaatkan social networks untuk memperoleh sumber daya
yang dapat digunakan dalam menjalankan atau membangun bisnis.
 Adanya pengaruh yang signifikan antara personality traits dan environmental factors
secara bersama - sama terhadap entrepreneurial intentions pada mahasiswa semester
tujuh school of business management Universitas.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Indonesia, diakses 5 november 2013 dari http://www.bps.go.id


Carsrud, Alan L dan Brannback, Marlin. (2009). Understanding the Entrepreneurial Mind.
New York: Springer Science+Business Media.
Gomezelj, Doris Omerzel dan Kusce, Irena. (2013). The Influence of Personal and
Environmental Factors on Entrepreneurs’ Performance. Emerald Group Publishing
Limited, Vol. 42 No. 6, diakses 26 November 2013 dari www.emeraldinsight.com/0040-
0912.htm.
Griffin, Ricky W dan Ebert, Ronald J. (2007). Bisnis. Jakarta: Erlangga.
Hendro. (2011). Dasar - Dasar Kewirausahaan. Jakarta: Erlangga.
Ivancevich, John M., Konopaske, Robert., dan Matteson, Michael T. (2006). Perilaku dan
Manajemen Organisasi. Jakarta: Erlangga.
Lambing, Peggy A dan Kuehl, Charles R. (2007). Entrepreneurship. (4th edition). New Jersey:
Pearson Education.
Madura, Jeff. (2007). Pengantar Bisnis. (Edisi 4). Jakarta: Salemba Empat.
Martono, Lydia Harlina dan Joewana, Satya. (2006). Modul Latihan Pemulihan Pecandu
Narkoba Berbasis Masyarakat. Jakarta: Balai Pustaka.
Nistorescu, Tudor dan Ogarca, Radu Florin. (2011). Determinants of Entrepreneurial Intent of
Students in Oltenia Region. Review of International Comparative Management, Volume
12, Issue 2, diakses 25 Oktober 2013 dari www.scholar.google.com.
Robbins, Stephen P dan Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba
Empat.

10
Saraswati, Mila dan Widaningsih, Ida. (2008). Be Smart Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung:
Grafindo Media Pratama.
Sesen, Harun. (2012). Personality or Environment? A Comprehensive Study on The
Entrepreneurial Intentions of University Students. Emerald Group Publishing Limited,
Volume 55 No.7, diakses 16 Oktober 2013 dari www.emeraldinsight.com/0040-0912.htm.
Srimulyani, Veronika Agustini. (2013). Analisis Pengaruh Kecerdasan Adversitas, Internal
Locus of Control, Kematangan Karir Tehadap Intensi Berwirausaha pada Mahasiswa
Bekerja. Widya Warta, No. 01, diakses 11 Oktober 2013 dari www.scholar.google.com.
Wijaya, Tony. (2007). Hubungan Adversity Intelligence dengan Intensi Berwirausaha. Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.9, No.2, diakses 11 Oktober 2013 dari
www.scholar.google.com.

11
INTENSI KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA
( STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAHASISWA FE UMP DAN FE
UNSOED )

Oleh :
Hermin Endratno1), Hengky Widhiandono1)
E-mail: herminendratno@gmail.com
Hewid2001@yahoo.com
1)
Dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Purwokerto

ABSTRACT

The purpose of this study was to analyze the influence of innovativeness, self confidence,
readines instrumental, self-efficacy, the entrepreneurial intentions of students and parents to
analyze the relations profession entrepreneurial intentions of students, academic achievement
relationship to the student entrepreneurial intentions, relations experience working on
entrepreneurial intentions also analyze whether there are differences in entrepreneurial
intentions in FE UMP and FE UNSOED. Respondents are students of FE UMP and FE
UNSOED.

The results showed that innovativeness, self confidence and instrumental readiness , self-
efficacy affect other students. Entrepreneurial intentions, there is no professional relationship
of parents to parent relations profession entrepreneurial intentions of students, there is a
connection to the academic achievement of students entrepreneurial intentions, no relations
experience working on entrepreneurial intentions and entrepreneurial intentions there was no
difference in FE UMP and FE UNSOED.

Keywords : innovativeness, self confidence, readines instrumental, self-efficacy


entrepreneurial intentions

PENDAHULUAN

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2013 menunjukkan jumlah
pengangguran masih 7,17 juta orang dari total angkatan kerja yang mencapai 121,2 juta orang
(5,92 persen). Data BPS per Februari 2013 menunjukkan bahwa ada 360 ribu orang lulusan
perguruan tinggi menjadi pengangguran. Sejatinya peluang atau kesempatan kerja di Indonesia
masih terbuka, tetapi sangat kompetitif (http://www.jpnn.com)
Peranan perguruan tinggi dalam memotivasi lulusan sarjananya menjadi seorang
wirausahawan muda sangat penting dalam menumbuhkan jumlah wirausahawan. Dengan
meningkatnya wirausahawan dari kalangan sarjana akan mengurangi pertambahan jumlah
pengangguran bahkan menambah jumlah lapangan pekerjaan.

12
Sikap, perilaku dan pengetahuan mahasiswa tentang kewirausahaan akan membentuk
mereka untuk membuka usaha-usaha baru di masa mendatang (Indarti dan Rostiani, 2008).
Kourilsky dan Walstad 1998 dalam Indarti 2008, mengungkapkan masuknya pendidikan
kewirausahaan dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang dapat menumbuhkan minat
dan jiwa kewirausahaan di kalangan generasi muda.
Penelitian untuk melihat aspek intensi kewirausahaan seseorang telah mendapat
banyak perhatian dari peneliti. Katz dan Gartner (1988) dalam Indarti 2008 mengartikan
intensi kewirausahaan sebagai sebuah proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan pembentukan suatu usaha. Dengan demikian, seseorang yang memiliki
intensi kewirausahaan akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha
yang dijalankan dibandingkan seseorang yang tidak memilikinya (Indarti dan Rostiani,
2008).Indarti dan Rostiani (2008) menyatakan bahwa secara garis besar penelitian seputar
intensi kewirausahaan dilakukan dengan memperhatikan tiga faktor secara berbeda-beda yaitu:
karakteristik demografis (jenis kelamin, usia, latar belakang pendidikan, dan pengalaman
bekerja), karakteristik kepribadian (kebutuhan akan prestasi dan efikasi diri), dan karakteristik
lingkungan (kesiapan instrumen). Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat
faktor-faktor yang mempengaruhi intensi kewirausahaan di kalangan mahasiswa yang selama
ini menjadi perhatian peneliti yaitu : faktor demografis (jenis kelamin, usia, latar belakang
pendidikan dan pengalaman bekerja), faktor kepribadian (kebutuhan akan prestasi dan efikasi
diri), dan faktor lingkungan (kesiapan instrumen).
Hasil temuan Indarti dan Rostiani (2008) juga menyatakan bahwa semakin tinggi
kepercayaan diri seorang mahasiswa atas kemampuan dirinya untuk dapat berusaha, maka
semakin besar pula keinginannya untuk menjadi seorang wirausaha. Temuan lain oleh Sinha
(1996) dalam Indarti dan Rostiani (2008) menyebutkan bahwa faktor demografi seperti jenis
kelamin, usia, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja mempengaruhi intensi
kewirausahaan. Penelitian Indarti dan Rostiani (2008) menemukan bahwa pengalaman bekerja
mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa Norwegia. Mahasiswa dengan pengalaman
bekerja sebelumnya memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka
yang belum pernah bekerja sebelumnya meskipun temuan ini tidak berlaku pada mahasiswa
Jepang dan Indonesia, akan tetapi temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Kolvereid (1996).
Penelitian lain memperlihatkan karaktersitik entrepreneurial mempengaruhi keinginan
seseorang untuk menjadi entrepreneur (Koh 1996 dalam Chairy 2011). Karakteristik
entrepreneurial terdiri dari innovativeness,need for achievement, locus of control, risk taking
prospensity, dan self confcidence. Karakteristik ini dipandang sebagai faktor utama yang
mepengaruhi kemungkinan seseorang menjadi entrepreneur. Semakin tinggi karakteristik ini
maka semakin besar kemungkinan seseorang individu berkeinginan menjadi entrepreneur.
Faktor-faktor lain yang diduga juga turut mempengaruhi seseorang untuk menjadi
entrepreneur adalah karakteristik entrepreneurial,latar belakang keluarga,faktor etnis serta
factor lingkungan ( Indarti dan Rosiani 2008) .
Temuan Endratno (2013) diketahui bahwa innovativeness dan self confidence
berpengaruh terhadap intensi kewirausahaan mahasiswa. Hasil penelitian Agustina (2011)
untuk etnis Jawa diketahui bahwa variabel efikasi diri, kesiapan instrumen, prestasi akademik
mempengaruhi intensi kewirausahaan sedangkan pengalaman bekerja tidak berpengaruh
terhadap intensi kewirausahaan. Untuk etnis non Jawa diketahui bahwa, kesiapan instrumen
dan pengalaman bekerja mempengaruhi intensi kewirausahaan, sedangkan variabel prestasi
akademik dan efikasi diri tidak berpengaruh terhadap intensi kewirausahaan.

13
Berdasarkan uaian di atas, maka peneliti tertarik mengambil judul Intensi
Kewirausahaan Mahasiswa (Studi Perbandingan Antara Mahasiswa FE UMP dan FE
UNSOED). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh innovativeness, self
confidence, instrumental readiness, self efficacy terhadap intensi kewirausahaan mahasiswa
dan menganalisis hubungan profesi orangtua terhadap intensi kewirausahaan
mahasiswa,hubungan prestasi akademik terhadap intensi kewirausahaan mahasiswa,hubungan
pengalaman bekerja terhadap intensi kewirausahaan dan menganalisis apakah ada perbedaan
intensi kewirausahaan di FE UMP dan FE UNSOED.

METODE PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yaitu
dengan meneliti dan meninjau langsung ke lapangan dengan objek penelitian adalah
mahasiswa di FE UMP Purwokerto dan FE UNSOED.Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh mahasiswa FE UMP Purwokerto dan FE UNSOED.Sedangkan sampel dalam
penelitian ini adalah beberapa mahasiswa sesuai dengan metode pengambilan sampel
yang digunakan.Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Accidental Sampling
yaitu siapa saja yang dijumpai dan dapat digunakan sebagai sampel (cocok sebagai
sumber data). (Sugiyono, 2003). Alat analisis yang digunakan adalah Analisis Regresi
Linear Berganda,Analisis Chi Square dan Analisis Diskriminan

Definisi Operasional
a. Intensi Kewirausahaan (Y)
Intensi kewirausahaan yaitu ukuran seberapa besar keinginan mahasiswa untuk
menjadi seorang wirausaha.
Indikatornya adalah kecenderungan yang besar untuk memilih karir sebagai wirausaha.
Indikator variabel intensi kewirausahaan adalah pilihan karir responden yaitu karyawan
atau wirausahawan.
Variabel intensi kewirausahaan ini diukur dengan tiga pertanyaan yang
diadopsi dari penelitian Indarti dan Rostiani (2008) antara lain :
1) Saya akan memilih karir sebagai seorang wirausahawan
2) Saya akan memilih karir sebagai karyawan dalam suatu perusahaan / organisasi
3) Saya lebih suka menjadi seorang wirausahawan daripada menjadi seorang karyawan
di suatu perusahaan / organisasi.
b. Innovativeness (X1) yaitu penciptaan produk baru
Indikator :
 Menciptakan produk baru
 Menemukan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu
 Mencari peluang baru untuk sukses
c. Self confidence (X2) yaitu kemampuan mengaplikasikan solusi kreatif terhadap
masalah. Indikator yang digunakan adalah :

14
 Menghadapi kegagalan
 Memiliki usaha sendiri
 Optimis terhadap kesuksesan usaha
d. Instrumental Readiness (X3)
Indikator :
 Akses modal
 Jaringan sosial
 Akses informasi
e. Self efficacy (X4)
Indikator :
 Ketrampilan kepemimpinan
 Kematangan mental
f. Profesi orangtua yaitu yaitu pekerjaan sehari-hari orangtua mahasiswa
g. Prestasi akademik yaitu IPK
i. Pengalaman Bekerja
Pengalaman bekerja adalah pengalaman bekerja yang berkaitan dengan apakah
mahasiswa pernah bekerja sebelumnya ataukah belum pernah bekerja sama sekali.
Kategori bekerja dalam penelitian ini adalah yang pernah bekerja baik full-time, part-
time (freelance) ataupun magang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kuesioner yang kembali dan layak sejumlah 214 yang terdiri dari UMP 102 buah dan
UNSOED 112 buah. Keduanya telah lolos uji asumsi klasik.

1. Analisis pengaruh innovativeness, self confidence, kesiapan instrumen dan self efficacy
/ efikasi diri terhadap intensi kewirausahaan
Untuk mengetahui pengaruh innovativeness, self confidence, kesiapan
instrumen dan self efficacy/efikasi diri terhadap intensi kewirausahaan digunakan analisis
regresi linier berganda. Untuk mempermudah perhitungan regresi linier berganda dilakukan
dengan program SPSS for windows.Hasil perhitungannya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil penghitungan analisis regresi linier berganda

Model Summary

Adjusted St d. Error of
Model R R Square R Square the Estimate
1 ,5652a ,3195 ,3065 1,2733
a. Predictors: (Constant), Ef ikasi diri, Innov at iv eness,
Kesiapan instrumen, self conf idence

15
Coeffi ci entsa

Unstandardized St andardized
Coef f icients Coef f icients
Model B St d. Error Beta t Sig.
1 (Constant) ,5427 ,7696 ,7052 ,4815
Innov ativ eness ,2512 ,0711 ,2595 3,5343 ,0005
self conf idence ,3043 ,0707 ,3254 4,3043 ,0000
Kesiapan instrumen -,0449 ,0593 -,0552 -,7567 ,4501
Ef ikasi diri ,1385 ,0852 ,1202 1,6258 ,1055
a. Dependent Variable: intensi kewirausahaan

Berdasarkan tabel tersebut dapat dibuat persamaan regresi sebagai berikut:


Y = 0,5427 + 0,2512 X1 + 0,3043X2 - 0,0449 X3 + 0,1385 X4
Konstanta bernilai 0,5427 artinya intensi kewirausahaan akan bernilai 0,5427 apabila
variabel innovativeness, self confidence, kesiapan instrumen dan self efficacy/efikasi diri
konstan.
Nilai koefisien regresi variabel innovativeness sebesar 0,2512. Nilai koefisien regresi
yang positif tersebut berarti semakin baik innovativeness maka semakin tinggi intensi
kewirausahaannya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik inovasi yang dimiliki
memberikan dampak positif terhadap intensi kewirausahaannya.
Nilai koefisien regresi variabel self confidence sebesar 0,3043. Nilai koefisien regresi
yang positif tersebut berarti semakin baik self confidence pada mahasiswa maka semakin
tinggi pula intensi kewirausahaannya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik rasa
percaya diri yang dimiliki mahasiswa, semakin tinggi pula intensi kewirausahaannya.
Nilai koefisien regresi variabel kesiapan instrumen sebesar -0,0449. Nilai koefisien
regresi yang negatif tersebut berarti semakin tinggi kesiapan instrumen maka intensi
kewirausahaan akan semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan instrumen
yang terdiri dari akses kepada modal, informasi dan kualitas jaringan sosial bisa membuat
intensi kewirausahaan pada mahasiswa menjadi turun.
Nilai koefisien regresi variabel self efficacy/efikasi diri sebesar 0,1385. Nilai koefisien
regresi yang positif tersebut berarti semakin baik self efficacy/efikasi diri yang dimiliki
mahasiswa maka intensi kewirausahaan akan semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan efikasi diri yang dimiliki mahasiswa maka intensi kewirausahaan pada mahasiswa
menjadi naik.
Berdasarkan persamaan regresi tersebut diperoleh nilai R2 adjusted sebesar 0,3065. Hal
ini berarti bahwa variasi intensi kewirausahaan dipengaruhi oleh innovativeness, self
confidence, kesiapan instrumen dan efikasi diri sebesar 30,65 persen, sedangkan 69,35
persen dipengaruhi variabel lain yang tidak diteliti.

2. Uji Pengaruh Simultan


Untuk menguji pengaruh secara bersama-sama antara variabel innovativeness, self
confidence, kesiapan instrumen dan self efficacy / efikasi diri terhadap intensi
kewirausahaan digunakan uji F. Berdasarkan hasil pengujian tersebut diperoleh F hitung
24,5323 dengan nilai signifikansi sebesar 0,0000 atau lebih kecil dibandingkan nilai
alphanya (α = 0,05). Berdasarkan hasil uji tersebut maka ditolak atau menerima Ha,
artinya variabel innovativeness, self confidence, kesiapan instrumen dan self

16
efficacy/efikasi diri secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
intensi kewirausahaan.

3. Uji Pengaruh Parsial


Untuk mengetahui pengaruh innovativeness, self confidence, kesiapan instrumen
dan self efficacy/efikasi diri secara parsial terhadap intensi kewirausahaan digunakan
perhitungan uji. Berdasarkan perhitungan uji t diperoleh nilai t tabel untuk variabel
innovativeness (tX1) sebesar 3,5343 dengan nilai signifikansi sebesar 0,0005 atau lebih
dibandingkan nilai alphanya (α = 0,05). sehingga H0 ditolak artinya secara parsial
variabel innovativeness (X1) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap intensi
kewirausahaan (Y). Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa innovativeness
mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa diterima.
Berdasarkan perhitungan uji t diperoleh nilai t tabel untuk variabel self confidence
(tX2) sebesar 4,3043 dengan nilai signifikansi sebesar 0,0000 atau lebih dibandingkan
nilai alphanya (α = 0,05). sehingga H0 ditolak artinya secara parsial variabel self
confidence (X2) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap intensi kewirausahaan
(Y). Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa self confidence mempengaruhi
intensi kewirausahaan mahasiswa diterima.
Berdasarkan perhitungan uji t diperoleh nilai t tabel untuk variabel kesiapan
instrumen (tX3) sebesar -0,7567 dengan nilai signifikansi sebesar 0,4501 atau besar
dibandingkan nilai alphanya (α = 0,05). sehingga H0 diterima artinya secara parsial
variabel kesiapan instrumen (X3) tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
intensi kewirausahaan (Y). Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa kesiapan
instrumen mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa ditolak.
Berdasarkan perhitungan uji t diperoleh nilai t tabel untuk variabel efikasi diri (tX4)
sebesar 1,6258 dengan nilai signifikansi sebesar 0,1055 atau besar dibandingkan nilai
alphanya (α = 0,05) sehingga H0 diterima artinya secara parsial variabel efikasi diri (X3)
tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap intensi kewirausahaan (Y). Dengan
demikian hipotesis yang menyatakan bahwa self efficacy / efikasi diri mempengaruhi
intensi kewirausahaan mahasiswa ditolak.

4. Analisis hubungan antar variabel


Untuk mengetahui hubungan profesi orang tua, prestasi akademik dan pengalaman
bekerja dengan intensi kewirausahaan mahasiswa digunakan analisis chi square.
a. Hubungan profesi orangtua terhadap intensi kewirausahaan mahasiswa.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square diketahui
nilai chi square tes sebsear 2,062 dengan nilai probabilitas (p value) sebesar 0,724 yang
berarti nilai p > 0,05, maka secara statistik dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara profesi orangtua terhadap intensi kewirausahaan mahasiswa Fakultas Ekonomi
Unsoed dan UMP. Hal ini menunjukkan bahwa jenis profesi yang dimiliki orang tua
tidak mampu digunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahui seberapa besar keinginan
mahasiswa untuk menjadi seorang wirausaha.

b. Hubungan prestasi akademik terhadap intensi kewirausahaan mahasiswa


Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square diketahui
nilai chi square tes sebsear 17,765 dengan nilai probabilitas (p value) sebesar 0,001

17
yang berarti nilai p < 0,05, maka secara statistik dinyatakan bahwa terdapat hubungan
antara prestasi akademik terhadap intensi kewirausahaan mahasiswa Fakultas Ekonomi
Unsoed dan UMP.

c. Hubungan pengalaman bekerja terhadap intensi kewirausahaan


Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square diketahui
nilai chi square tes sebsear 1,854 dengan nilai probabilitas (p value) sebesar 0,396 yang
berarti nilai p > 0,05, maka secara statistik dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara pengalaman bekerja terhadap intensi kewirausahaan mahasiswa Fakultas
Ekonomi Unsoed dan UMP. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman kerja yang
dimiliki seorang mahasiswa tidak bisa digunakan untuk memprediksi intensi
kewirausahaan yang dimiilki mahasiswa tersebut. Berdasarkan hasil penelitian,
menunjukkan sebagian besar mahasiswa Fakultas Ekonomi Unsoed dan UMP
menyatakan belum pernah bekerja.
Hasil ini sejalan dengan penelitian Agustina (2011) bahwa untuk etnis Jawa
diketahui bahwa variabel pengalaman bekerja tidak berpengaruh terhadap intensi
kewirausahaan. Untuk etnis non Jawa diketahui bahwa, pengalaman bekerja
mempengaruhi intensi kewirausahaan. Namun penelitian ini tidak sejalan dengan
temuan Endratno (2013) diketahui bahwa ada perbedaan intensi kewirausahaan antara
mahasiswa yang memiliki pengalaman bekerja dan yang tidak memiliki pengalaman
bekerja dengan responden mahasiswa Fakultas Ekonomi UMP. Namun hasil penelitian
ini berbeda dengan temuan Sinha (1996) dalam Indarti dan Rostiani (2008) yang
menyebutkan bahwa pengalaman bekerja mempengaruhi intensi kewirausahaan.
Penelitian Indarti dan Rostiani (2008) menemukan bahwa pengalaman bekerja
mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa Norwegia. Mahasiswa dengan
pengalaman bekerja sebelumnya memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi
dibandingkan mereka yang belum pernah bekerja sebelumnya meskipun temuan ini
tidak berlaku pada mahasiswa Jepang dan Indonesia, akan tetapi temuan ini sejalan
dengan hasil penelitian Kolvereid (1996).

5. Analisis diskriminan perbedaan intensi kewirausahaan di FE UMP dan FE UNSOED

Test of Equality of Group Mean

Test of Equality of Group Mean digunakan untuk mengetahui perbedaan antar kelompok pada
setiap variabel yang diuji. Pedoman pengujiannya dilakukan dengan pedoman dengan Wilk’s
Lamda dan F test. Hasil Test of Equality of Group Mean dapat dilihat pada tabel 2 sebagai
berikut.

Tabel 2. Hasil Test of Equality of Group Mean variabel intensi kewirausahaan dari mahasiswa
Fakultas Ekonomi Unsoed dan intensi kewirausahaan dari mahasiswa Fakultas Ekonomi UMP

Wilks'
Variabel Lambda F df1 df2 Sig.
intensi kewirausahaan 0,9996 0,0791 1 212 0,7787

18
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui terdapat hasil Test of Equality of Group Mean
dengan pedoman Wilk’s Lambda diperoleh nilai Wilk’s Lambda yang mendekati angka 1
(dengan sig > 0,05). Hal ini berarti intensi kewirausahaan dari mahasiswa Fakultas Ekonomi
Unsoed dan intensi kewirausahaan dari mahasiswa Fakultas Ekonomi UMP cenderung sama.
Hasil uji Wilk’s Lambda tersebut juga didukung dengan signifikansi uji F > 0,05,
sehingga disimpulkan tidak terdapat perbedaan intensi kewirausahaan dari mahasiswa
Fakultas Ekonomi Unsoed dan intensi kewirausahaan dari mahasiswa Fakultas Ekonomi
UMP.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa :
1. Innovativeness mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa
2. Self confidence mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa
3. Secara parsial instrumental readiness / kesiapan instrumen tidak mempengaruhi
intensi kewirausahaan mahasiswa
4. Secara parsial, self efficacy/efikasi diri tidak mempengaruhi intensi kewirausahaan
mahasiswa
5. Tidak ada hubungan profesi orangtua hubungan profesi orangtua terhadap intensi
kewirausahaan mahasiswa
6. Ada hubungan prestasi akademik terhadap intensi kewirausahaan mahasiswa.
7. Tidak ada huhubungan pengalaman bekerja terhadap intensi kewirausahaan
8. Tidak ada perbedaan intensi kewirausahaan di FE UMP dan FE UNSOED.

Implikasi
1. Pihak fakultas kedua kampus diharapkan lebih meningkatkan kegiatan kewirausahaan
melalui praktek kewirausaahaan di lapangan.
2. Pihak fakultas dapat membantu meningkatakan innovativeness, self efficacy, indeks
prestasi mahasiswa melalui motivasi, evaluasi kurikulum dan sarana prasarana

DAFTAR PUSTAKA

Agustina dan Sularto, 2011, Intensi Kewirausahaan Mahasiswa (Studi Perbandingan Antara
Fakultas Ekonomi Dan Fakultas Ilmu Computer) dalam Proceeding PESAT Vol.4
Oktober 2011.

Chairy, 2011. Pengaruh Karakteristik Entrepreneurial, Jenis Etnis, Jenis Kelamin an Profesi
Orang Tua terhadap Intensi Berwirausaha Mahasiswa dalam Jurnal Manajemen
Bisnis Vol 1 No 2 Maret 2011 UMY.

19
Endratno, 2013 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intensi Kewirausahaan Mahasiswa FE
UMP (tidak dipublikasikan).

Indarti dan Rostiani, 2008: Intensi Kewirausahaan Mahasiswa : Studi Perbandingan Antara
Indonesia,Jepang dan Norwegia dalam jurnal Eekonomika dan Bisnis Vol 23 No 4
2008.

Sugiyono,2003,Statistik Untuk Penelitian,Alfabeta,Bandung.

Suliyanto 2005, Analisis Data Dalam Aplikasi Pemasaran 2005 Ghalia, Jakarta,

Supranto ,1998 Statistik Induktif, Erlangga,Jakarta.

Umar Husein, 2000, Riset Pemasaran, Gramedia.

http://id.wikipedia.org/wiki/Kewirausahaan diakses tgl 20 September 2012.

http://www.jpnn.com/read/2013/08/28/188116/Jumlah-Pengangguran-Masih-7,17-Juta-Jiwa-
.diakses 30 Agustus 2013.

20
PENGEMBANGAN INOVASI DAN KEWIRAUSAHAAN SEBAGAI
UPAYA MENGHADAPI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015

Oleh:
Lilis Siti Badriah
E-mail: ummililis@yahoo.co.id
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRACT

The development of innovation and entrepreneurship is an important requirement in creating


Indonesia's competitiveness in the era of globalization, especially ASEAN Economic
Community by 2015. To create a competitive advantage need to pay attention to three things:
knowledge, creativity, and innovation. Knowledge will be the basis of a person or group
explore creativity, as the basis to a variety of innovations. Innovation that comes from
knowledge and creativity to be able to produce something new that does have certain
characteristics. This will be a source of competitive advantage. Thus the availability of good
quality of human capital is very important.

Keywords: Innovation, Entrepreneurship, competitiveness, Globalization, human capital

PENDAHULUAN

Globalisasi merupakan proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran


perdagangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Perdagangan
internasional dapat meningkatkan produksi dan konsumsi barang dan jasa (dokrin vent for
surplus) (Jhingan, 2004). Keberadaan perdagangan internasional dapat memperluas pasar
domestik, meningkatkan teknologi, dan meningkatkan produksi barang/jasa yang diminati di
luar negeri. Bagi konsumen, keterbukaan ekonomi melalui masuknya barang-barang dari luar
negeri akan semakin menambah preferensi konsumen, harga bagi konsumen dimungkinkan
untuk bisa menjadi lebih murah (Nicholson, 2000).
Integrasi ekonomi dapat memberikan manfaat manakala kita mampu menyikapi
keterbukaan yang terjadi. Oleh karena itu, salah satu upaya yang perlu dikembangkan oleh
suatu negara tidak hanya sekedar mengandalkan keunggulan komparatif, tetapi bagaimana
mampu menciptakan keunggulan kompetitif yang menekankan kepada pentingnya kreatifitas
dan kualitas Sumber Daya Manusia melalui pengembangan inovasi dan kewirausahaan.

21
Dengan menekankan pada keunggulan kompetitif, maka suatu negara akan memiliki
kemampuan daya saing yang tinggi dalam percaturan global. Keunggulan kompetitif akan
sangat menentukan kemampuan suatu negara untuk survive dalam era globalisasi
perekonomian tersebut.
Untuk mendukung terciptanya keunggulan kompetitif tetap perlu peran pemerintah
melalui berbagai regulasi yang relevan dalam fungsinya sebagai regulator untuk stabilisasi,
alokasi dan distribusi. Peran serta pemerintah bisa menjadi komplemen bagi mekanisme pasar
yang terjadi. Karena kita tidak dapat mengandalkan sepenuhnya pada sistem perekonomian
pasar dapat menyebabkan terjadinya kegagalan pasar karena adanya inefisiensi (Nicholson,
2000).
Melihat kesuksesan integrasi ekonomi Eropa dalam bentuk pasar tunggal yang
dimulai sejak 1950-an telah mempengaruhi wilayah ASEAN untuk juga mengikuti langkah
tersebut melalui wujud Masyarakat Ekonomi ASEAN (Asean Economic Community) yang
diwacanakan sejak tahun 1997 dan rencana implementasinya pada tahun 2015. Diharapkan
MEA ini akan mnejadi fondasi kokoh bagi perekonomian negara-negara anggota ASEAN.
Untuk mendapatkan manfaat dari MEA maka Indonesia harus betul-betul mempersiapkan diri
agar mampu bersaing di pasar global dengan memperhatikan pentingnya memiliki keunggulan
kompetitif, yang menekankan pada pentingnya teknologi dan kualitas SDM sehingga
produktifitas akan meningkat dan akhirnya mampu menciptakan efisiensi ekonomi. Salah satu
kunci dalam mewujudkan keunggulan kompetitif adalah melalui pengembangan inovasi dan
kewirausahaan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka beberapa permasalahan yang dapat
dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pentingnya inovasi dan kewirausahaan dalam menciptakan keunggulan kompetitif?
2. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam pengembangan inovasi dan kewirausahaan di
Indonesia?

LANDASAN TEORI

1. Competitive Advantage
Kesejahteraan suatu bangsa itu harus diciptakan bukan diwariskan. Dalam era
globalisasi, untuk dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka suatu negara harus
memiliki keunggulan kompetitif sehingga akan mampu memiliki daya saing. Kemampuan
kompetitif suatu bangsa tergantung kepada kapasitas industrinya untuk terus menerus
melakukan inovasi. Dasar kompetitif harus terus menerus melakukan penciptaan dan
asimilasi pengetahuan. Keunggulan kompetitif diciptakan dan diperlihara keberlanjutannya
melalui proses pemanfaatan potensi lokal secara intensif. Keberhasilan suatu perusahaan
untuk mewujudkan keunggulan kompetitif diperoleh melalui aktivitas inovasi baik dengan
penggunaan teknologi baru atau dengan cara-cara baru. Kegiatan inovasi tidak hanya
sekedar memunculkan sesuatu yang baru tetapi harus meliputi juga investasi dalam skill
dan pengetahuan sebagaimana halnya investasi dalam aset fisik. Daya saing nasional telah

22
menjadi salah satu pusat perhatian bagi pemerintah dan juga industri. Terdapat 4 atribut
terkait daya saing nasional, yaitu (Porter, 1990):
a) Kondisi faktor produksi, seperti keterampilan tenaga kerja dan kesediaan infrastruktur
yang diperlukan dalam suatu industri tertentu, b). Kondisi permintaan, yaitu sifat alamiah
dari permintaan rumah tangga terhadap produk industri dan jasa, c). Industri terkait dan
pendukung, yaitu keberadaan atau ketiadaan dari industri pemasok di suatu negara atau
industri lain yang berhubungan yang mampu bersaing secara internasional, c). Strategi
perusahaan, struktur, dan persaingan. Kondisi di pemerintahan yang ada berkaitan dengan
bagaimana perusahaan diciptakan, dilaksanakan, dan dikelola serta sifat persaingan
domestik.
Faktor-faktor tersebut menciptakan lingkungan nasional dimana perusahaan
dilahirkan dan belajar untuk bersaing. Keempat faktor ini dikenal dengan “The Diamond of
National Advantage”. Menurut Porter (1990), diamond tersebut merupakan sebuah sistem.
Keempat faktor dalam diamond ini saling mempengaruhi. Dalam rangka menciptakan daya
saing nasional, peran pemerintah masih diperlukan secara proporsional. Peran pemerintah
yang sebenarnya adalah sebagai katalisator dan penantang, yaitu dengan mendorong
perusahaan untuk meningkatkan aspirasi mereka dan meningkatkan kemampuan
bersaingnya meskipun prosesnya sulit.
Dalam penciptaan keunggulan kompetitif, yang tidak kalah penting adalah peran
kepemimpinan dalam perusahaan/organisasi. Pemimpin percaya perlunya perubahan, dia
mendorong organisasi untuk melakukan inovasi secara terus menerus, mereka mengakui
perlunya tekanan dan tantangan.
2. Endogenous growth theory
Teori pertumbuhan endogen (endogenous growth theory) menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi dihasilkan oleh faktor-faktor di dalam proses produksi, misalnya
dengan meningkatkan investasi atau memperkenalkan perubahan teknologi. Dalam teori
pertumbuhan endogen, teknologi bersifat endogen, tidak terjadi diminishing return, dan
diasumsikan bahwa marginal return of capital bersifat konstan karena knowledge
dianggap sebagai sejenis modal yang dianggap tidak mengalami diminishing return.
Dengan asumsi bahwa marginal return of capital adalah konstan, maka teori pertumbuhan
endogen lebih mengesankan tentang pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Mankiw,
2007).
Pengembangan lebih lanjut dari model dasar teori pertumbuhan endogen, bahwa
perekonomian memiliki dua sektor, yaitu sektor produksi (perusahaan manufaktur) dan
sektor Riset and Development. Sektor produksi menghasilkan barang dan jasa yang
digunakan untuk konsumsi dan investasi dalam modal fisik. Sedangkan sektor R&D
menghasilkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan digunakan secara bebas pada kedua
sektor tersebut. Teori pertumbuhan endogen dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan karena adanya variabel penciptaan knowledge pada sektor R&D yang
bersifat endogen. Jadi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan akan meningkat secara
endogen karena penciptaan ilmu pengetahuan di sektor R&D tidak pernah surut. Sejalan
dengan teori pertumbuhan endogen, model pertumbuhan Romer yang secara spesifik
membahas alokasi sumberdaya ke sektor R&D dibangun dari fondasi mikroekonomi.

23
Dalam model ini, R&D dilakukan dengan memaksimalkan profit dari faktor-faktor
ekonomi. R&D mendorong pertumbuhan yang pada gilirannya mempengaruhi insentif
untuk mencurahkan sumber daya terhadap R&D (Romer, 2012).
3. Ekonomi inovasi
Josep Aolis Schumpeter (dalam Jhingan, 2004) menyatakan bahwa “pembanguan
adalah perubahan yang spontan dan terputus-putus dalam suatu aliran sirkuler dah muncul
diatas kehidupan perdagangan dan industri. Unsur utama pembangunan terletak pada
usaha melakukan kombinasi baru yang didalamnya terkandung berbagai kemungkinan
yang ada dimana kombinasi baru ini muncul dalam bentuk inovasi”. Dalam hal ini
Schumpeter menekankan pada pentingnya peranan inovator, yang ditujukan kepada para
pengusaha. Inovator dianggap dapat menemukan teknologi-teknologi baru yang mampu
meningkatkan efisiensi dalam proses produksi.
Sejalan dengan Schumpeter, Oslo Manual (2005) dalam Zuhal (2013) mendefinisikan
inovasi adalah “the implementation of a new or signifacantly improved product (goods or
service), or process, a new marketing method, or a new organizational method in business
practices, workplace organization or external relation”. Sedangkan “ekonomi inovasi
dicirikan oleh pergeseran dan pertumbuhan berbasis keunggulan komparatif yang ditopang
ketersediaan tenaga kerja, sumberdaya alam, dan sumber keuangan murah menuju
pertumbuhan berbasis keunggulan kompetitif yang didukung oleh eksploitasi knowledge,
teknologi, dan inovasi” (Zuhal, 2013). Dengan demikian, inovasi akan mampu terwujud
ketika seseorang memiliki pengetahuan (knowledge). Pengetahuan ini menjadi penting
dalam rangka meningkatkan kemampuan seseorang dalam berinovasi.
Menurut Schumpeter dalam Dhewanto, dkk (2013), “inovasi memerlukan sebuah
proses dan menghasilkan sesuatu dalam waktu yang bersamaan....” sehingga dari
pernyataan tersebut diimplikasikan bahwa inovasi memiliki dua sifat dasar yaitu sebagai
sebuah proses dan sebagai sebuah hasil”.
4. Kewirausahaan
“Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku kemampuan seseorang dalam
menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan,
menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam
rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang
lebih besar” (Longenecker et al., 2001). Menurut Kasmir (2007), “Ciri dan sifat watak
seorang wirausahawan, sebagai berikut : Disiplin, Komitmen Tinggi, Jujur, Kreatif dan
Inovatif, Mandiri, Realistis. Ciri-ciri wirausaha yang berhasil: Memiliki visi dan tujuan
yang jelas; Inisiatif dan selalu proaktif; Berorientasi pada prestasi; Berani mengambil
risiko; Kerja keras. Bertanggungjawab; Komitmen pada berbagai pihak; Mengembangkan
dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak”.
Menurut Priyanto (2009), “entrepreuneurship merupakan hasil interaksi, integrasi
dan refleksi ide, ekspektasi dan aktivitas satu orang dengan yang lainnya. Aspek-aspek
tersebut merupakan dimensi inti dari enterepreuneur competence. Jadi pengembangan
kemampuan kewirausahaan didasarkan pada aspek pembelajaran pertumbuhan individu.

24
Pengembangan kemampuan kewirausahaan merupakan persoalan yang kompleks.
Oleh karena itu perlu adanya kerjasama sinergis antara perguruan tinggi, pengusaha dan
pemerintah untuk menghasilkan model pengembangan kemampuan kewirausahaan yang
efektif dan efisien. Hal ini sejalan dengan Fauzi (2013) yang mengatakan bahwa
“pengembangan inovasi produk suatu invensi melibatkan 3 pelaku utama dalam sistem
inovasi nasional, yaitu : (1) pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan katalisator; (2)
pelaku usaha / industri sebagai pengguna hasil invensi, dan (3) lembaga penelitian dan
perguruan tinggi sebagai penghasil produk invensi”
Menurut Priyanto (2009), “ada empat tujuan dalam pengembangan kemampuan
kewirausahaan yaitu pengembangan motivasional, pengembangan pengetahuan,
pengembangan keahlian (skill) dan pengembangan kemampuan (ability). Oleh karena itu
model pengembangan kemampuan kewirausahaan (materi dan metode) harus diarahkan
untuk mencapai 4 tujuan tersebut. Pendidikan kewirausahaan paling awal akan terjadi pada
lingkungan”.

PEMBAHASAN

Fenomena Empiris
Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah
bentuk integrasi ekonomi ASEAN yang akan diimplementasikan mulai tahun 2015. Dalam era
ini, AEC akan menjadi pasar tunggal dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, dan tenaga
terampil yang bebas, serta arus modal yang lebih bebas diantara negara ASEAN. Hal ini akan
membuka peluang Indonesia untuk memperluas pasarnya di kawasan ASEAN
(ditjenkpi.kemendag.go.id/).
Dengan adanya keterbukaan ekonomi dan menghadapi pasar tunggal, maka untuk
mampu bertahan dalam kondisi demikian, Indonesia harus memiliki keunggulan kompetitif.
Untuk mampu bersaing, maka perlu ada perubahan paradigma pembangunan bahwa
“pendorong pertumbuhan ekonomi bukan lagi ditentukan oleh akumulasi modal dan sumber
daya alam seperti pendapat kaum Klasik, tetapi pendorong pertumbuhan ekonomi adalah ilmu
pengetahuan, teknologi, kewirausahaan dan inovasi” (Zuhal, 2013). Hal ini seperti diprediksi
oleh Joseph Schumpeter (1942) bahwa dunia mulai bergerak meninggalkan ekonomi berbasis
sumber daya alam memasuki era ekonomi inovasi (innovation economy). Pergerakan ini
tampak dari perubahan kontribusi dari tenaga kerja dan modal serta inovasi teknologi terhadap
penciptaan pertubuhan ekonomi seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kontribusi Faktor terhadap Pertumbuhan Ekonomni


1970-an 1990-an Awal 2000
Tenaga kerja, modal 79,2% 63,6% 58,5%
Innovasi teknologi 20,8% 36,1% 41,5%
Sumber : Science & Technology Polici Institute (2007) dalam Zuhal, 2013.

25
Berdasarkan data pada Tabel 1 terlihat bahwa pendapat Schumpeter menunjukkan benar
adanya. Oleh karena itu, pengembangan inovasi teknologi merupakan syarat mutlak untuk
memasuki era AEC agar mampu berdaya saing.
Data empiris Indonesia saat ini menunjukkan bahwa daya saing Indonesia selama tahun
2008-2012 mengalami fluktuasi, berdasarkan data World Economic Forum “The Global
Competitiveness Report 2012-2013”, seperti terlihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Peringkat Daya Saing Negara-negara ASEAN 2008 dan 2012


No Negara 2008 2012 Perubahan
1 Singapura 5 2 3
2 Malaysia 21 25 -4
3 Brunei 39 28 11
4 Thailand 34 38 -4
5 Indonesia 55 50 5
6 Filipina 71 65 6
7 Vietnam 70 75 -5
8 Kambodia 109 85 24
9 Timor Leste 129 136 -7
Sumber : World Economic Forum dalam Bappenas.go.id

Tabel 3. Indeks Daya Saing Indonesia 2008-2012


Indikator 2008 2009 2010 2011 2012
Indeks daya saing 55 54 44 46 50
1. Persyaratan dasar 76 70 60 53 58
2. Penopang efisiensi 49 50 51 56 58
3. Faktor inovasi dan 45 40 37 41 40
kecanggihan
Sumber : World Economic Forum dalam Bappenas.go.id
Apabila diperhatikan data pada Tabel 2 dan Tabel 3, terlihat bahwa 3 negara ASEAN
dengan peringkat daya saing tertinggi secara berurutan adalah Singapura, Malaysia, Brunei.
Walaupun pada tahun 2012, Brunei mengalami penurunan peringkat daya saing sebanyak 4
poin tetapi posisinya masih pada urutan tertinggi kedua. Sedangkan Indonesia berada pada
urutan ke-5 yang mengalami peningkatan 5 poin dari posisi 55 pada tahun 2008 menjadi 50
pada tahun 2012. Apabila dibandingkan peringkat daya saing tahun 2008 dan 2012, terlihat
bahwa lima negara ASEAN mengalami peningkatan dengan peningkatan tertinggi dicapai oleh
Kambodia sebesar 24 poin dan kemudian Brunei sebesar 11 poin, sedangkan empat negara
lainnya mengalami penurunan peringkat daya saing dengan penurunan terbesar dialami oleh
Timor Leste sebesar 7 poin.
Walaupun berdasarkan Tabel 2 Indonesia mengalami kenaikan peringkat sebanyak 5
poin dari tahun 2008 ke tahun 2012, tetapi apabila dilihat secara lebih rinci per tahun seperti
pada Tabel 3, ternyata peringkat daya saing Indonesia mengalami fluktuasi, bahkan dari tahun
2009 sampai tahun 2012 terus mengalami penurunan, Meskipun data WEF 2013 menunjukkan
bahwa peringkat Indonesia pada tahun 2013 kembali naik menjadi peringkat 38 (Tempo.co,
2013). Hal ini merupakan suatu hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan dunia usaha

26
untuk mengevaluasi mengenai penyebab fluktuasinya daya saing tersebut dan perlu upaya
untuk mengatasinya agar terus mampu meningkatkan daya saing Indonesia.
Penilaian indeks daya saing menurut WEF ditentukan berdasarkan tiga hal, yaitu
persyaratan dasar, penopang efisiensi, faktor inovasi dan kecanggihan. Apabila dilihat pada
Tabel 3, untuk unsur persyaratan dasar dan faktor inovasi dan kecanggihan, Indonesia
mengalami peringkat yang cenderung meningkat, sedangkan untuk penopang efisiensi
cenderung menurun. Penurunan penopang efisiensi ini dapat terkait dengan adanya berbagai
hambatan yang masih dihadapi di Indonesia. Berdasarkan laporan periodik WEF 2012
disebutkan bahwa faktor-faktor penghambat untuk berusaha di Indonesia antara lain:
hambatan peraturan perburuhan, keterbatasan infrastruktur, korupsi, etika kerja buruh, dan
birokrasi pemerintah yang tidak efisien.
Data empiris lain menunjukkan, berdasarkan World Bank Report (2008) menunjukkan
data perbandingan pengeluaran untuk keperluan R & D pada tahun 2008, sebagai share
terhadap GDP masing-masing negara adalah sebagai berikut: German (2,68%), Japan (3,45%),
Korea (3,36%), Brazil (1,08%), Australia (2,35%), Israel (4,66%), China (1,47%) dan
Indonesia (0,08%). Hal tersebut menunjukkan bahwa alokasi pengeluaran untuk melakukan
inovasi di Indonesia masih sangat rendah.
Bahkan apabila dilihat dari posisi Indonesia dalam indeks inovasinya, pada tahun 2012,
berdasarkan data INSEAD & WIPO (2012) (www. globalinnovationindex.org/gii/),
menempati urutan ke-100, dengan scor 28,1. Kalau dibandingkan dengan beberapa negara
ASEAN lain, peringkat Indonesia ini berada dibawah Singapura di urutan ke-3 dengan skor
63,5, Malaysia di urutan ke-32 dengan skor 45,9, Thailan di urutan ke-57 dengan skor 36,9,
dan Philipina di urutan ke-95 dengan skor 29,0. Peringkat Indonesia tersebut berada di atas
Kambodia yang berada di urutan ke-129 dengan skor 23,4.

Pentingnya inovasi dan kewirausahaan dalam menciptakan keunggulan kompetitif.


Untuk memiliki kemampuan daya saing, maka kita perlu menghasilkan sesuatu yang
memiliki ciri khas tertentu, baik dari segi jenis, bentuk, maupun kualitas. Untuk mendukung
daya saing perlu menekankan pentingnya competitive advantage yang muncul dari adanya
kreatifitas dan kualitas sumber daya manusia yang baik dan memiliki kompetensi yang tinggi.
Kreatifitas dapat diwujudkan dalam berbagai inovasi yang juga dapat tercipta melalui
kewirausahaan, sebagaimana disampaikan oleh Schumpeter. Karena salah satu syarat untuk
menjadi wirausaha berhasil, maka seseorang harus mampu berinovasi. Kemampuan inovasi
akan dapat diperoleh manakala seseorang memiliki pengentahuan (knowledge).
Semakin majunya perekonomian negara-negara seperti Korea, China, Singapura
disebabkan karena mereka lebih mengedepankan ekonomi inovasi dalam menetapkan strategi
pembangunannya. Disitulah pentingnya inovasi. Jadi dengan demikian, untuk mampu
menciptakan keunggulan kompetitif maka 3 hal yang diperlukan, yaitu knowledge, kreatifitas,
dan inovasi. Knowledge akan menjadi dasar menggali kreatifitas seseorang atau kelompok,
dimana dengan dasar kreatifitas tersebut seseorang atau kelompok mampu melakukan
berbagai macam inovasi. Selanjutnya, inovasi yang bersumber dari knowledge dan kreatifitas
akan mampu menghasilkan sesuatu yang baru yang memang memiliki ciri khas tertentu.
Inilah yang akan menjadi sumber dari keunggulan kompetitif.

27
Inovasi dapat dianggap sebagai proses berbasis pengetahuan. Andreeva dan Kianto
(2011) menyatakan bahwa “proses inovasi merupakan hasil dari proses pengetahuan dalam
organisasi, dimana proses pengetahuan menjadi kunci dalam mencapai keberhasilan
berinovasi jangka panjang”.
Oleh karena itu, sesuatu hal yang tak kalah penting dalam rangka meningkatkan
kemampuan daya saing adalah ketersediaan kualitas sumber daya manusia yang baik (human
capital). Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui
pengembangan pendidikan baik secara formal maupun informal.

Kebijakan yang Dilakukan


Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka
menghadapi era AEC ini, baik yang terkait dengan pengembangan pengetahuan dan inovasi,
maupun kewirausahaan.Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain:
1. Kebijakan dalam bidang pendidikan
Dalam upaya peningkatanmuta sumber daya manusia, pemerintah melakukan berbagai
kebijakan kemudahan akses pendidikan kepada masyarakat, antara lain:
a. Kebijakan bantuan operasional sekolah (BOS)
Berdasarkan peraturan Mendiknas No. 69 tahun 2009, BOS merupakan program
pemerintah yang menyediakan dana operasional non personalia dalam rangka
menuntaskan wajib belajar sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional agar warga negara usia 7-15 tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa adanya pungutan biaya. Tujuan program BOS
secara umum adalah meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan
dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu (www.bos.kemdikbud.go.id).
Disamping program BOS, upaya peningkatan akses pendidikan buat masyarakat
yang putus sekolah pun diberikan dalam bentuk adanya program penyetaraan
pendidikan melalui kejar paket A (untuk penyetaraan SD), kejar paket B (untuk
penyetaraan SMP/MTs) dan kejar paket C (untuk penyetaraan SMA/MA). Bahkan
untuk memberikan peluang siswa miskin yang berprestasi untuk memperoleh
pendidikan yang lebih tinggi sampai perguruan tinggi, pemerintah menerapkan
program beasiswa Bidikmisi. Disamping beasiswa dari pemerintah, terdapat pula
beasiswa yang diberikan oleh LSM maupun perusahaan-perusahaan sebagai bentuk
kepedulian mereka terhadap upaya pentingnya peningkatan kualitas sumber daya
manusia.
Keberadaan berbagai fasilitas dan program di bidang pendidikan sebagaimana
diuraikan di atas, tentu saja memberikan akses yang cukup luas bagi masyarakat
Indonesia untuk memperoleh pendidikan. Keberhasilan ini antara lain dapat terlihat
dari indikator pendidikan seperti terlihat pada Tabel 4.

28
Tabel 4. Indikator Pendidikan di Indonesia 1994-2013
Rata-rata
Indikator 1994 2013 selama 1994-
2013

PARTISIPASI PENDIDIKAN FORMAL

Angka Partisipasi Sekolah (APS) 7-12 th 94.06 98.29 96.41

Angka Partisipasi Sekolah (APS) 13-15 th 72.39 90.48 81.68

Angka Partisipasi Sekolah (APS) 16-18 th 45.31 63.27 52.54

Angka Partisipasi Sekolah (APS) 19-24 th 12.80 19.88 12.82

Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI 107.13 107.61 107.57

Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs 64.36 85.54 78.77

Angka Partisipasi Kasar (APK) SM/MA 43.04 65.78 53.54

Angka Partisipasi Kasar (APK) PT 10.14 22.79 12.71

Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI 92.11 95.47 92.90

Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs 50.03 73.56 62.67

Angka Partisipasi Murni (APM) SM/MA 33.22 53.74 41.55

Angka Partisipasi Murni (APM) PT 7.92 17.92 9.48

Sumber : www.bps.go.id
Berdasarkan data pada Tabel 4, terlihat bahwa kebijakan pemerintah dalam
memberikan akses pendidikan masyarakat termasuk kebijakan BOS sudah mampu
menunjang peningkatan angka partisipasi pendidikan formal, baik dilihat dari angka
partisipasi sekolah (APS) berbagai kategori usia, angka partisipasi kasar (APK), dan
angka partisipasi Murni (APM) pada berbagai jenjang pendidikan. APK, APS, dan
APM untuk tingkat usia SD/MI menunjukkan angka tertinggi kemudian disusul oleh
tingkat SMP/MTs. Hal ini membuktikan bahwa tujuan dari upaya wajib belajar
pendidikan dasar dapat tercapai. Sedangkan untuk APK, APS, APM jenjang Perguruan
tinggi adalah yang paling rendah, walaupun pada tahun 2013 untuk semua APK, APS,
dan APM pada jenjang PT menunjukkan peningkatan.
b. Implementasi kurikulum 2013.
Semangat pencetusan kurikulum 2013 adalah gagasan bahwa pendidikan kunci
pembangunan sebagaimana disampaikan oleh Wakil Presiden Boediono. Boediono
menganggap bahwa pendidikan sebagai kunci pembangunan harus mampu
memberikan kompetensi kepada anak didik berupa kemampuan menjadi warga negara
yang efektif, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan,
kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal, kemampuan berkomunikasi,

29
kemampuan mencoba mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda,
memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki kemampuan berpikir jernih dan kritis, dan
memiliki minat luas mengenai hidup.
Dengan demikian, jika dibandingkan dengan kurikulum KTSP 2006, terdapat
penambahan kompetensi baru dalam pengembangan kurikulum 2013, yaitu : sikap
ilmiah, peran Indoesia dalam memasuki era globalisasi internasional, ketahanan diri,
adaptasi sosial, sehat mental dan sosial, sastra, serta kerukunan (Subandi, 2013)
Kurikulum 2013 dikembangkan dengan menekankan pada competencies based
curriculum approach, bukan lagi pada standard based curriculum approach.
2. Kebijakan di bidang inovasi dan pengembangan kewirausahaan
Dalam upaya pengembangan inovasi, Iskandar (2013) mengemukakan terdapat 6
kerangka kebijakan inovasi, antara lain : “mengembangkan iklim yang kondusif bagi
inovasi dan bisnis, memperkuat kelembagaan dan daya dukung iptek/litbangyasa dan
mengembangkan kemampuan absorpsi oleh industri, khususnya UKM,
menumbuhkembangkan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi, serta
meningkatkan pelayanan berbasis teknologi, mendorong budaya inovasi,
menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi,
penyelarasan dengan perkembangan global”. Dalam rangka pengembangan wirausaha,
inovasi yang dilakukan antara lain dalam bidang hukum dan kelembagaan,
pengembangan SDM, pengelolaan sumber daya, pengembangan infrastruktur,
peningkatan daya saing, penciptaan iklim investasi, perbaikan regulasi, pengembangan
produk, proses, dan perangkat industri (Fauzi, 2013).
Kerangka kebijakan maupun program prioritas baik dalam inovasi apabila
dijalankan dengan tepat, akan sangat mendukung bagi kesiapan Indonesia dalam era
AEC. Pengembangan SDM menjadi syarat mutlak bagi penciptaan human capital yang
menjadi pelaku inovasi. Demikian juga pengembangan industri khususnya UKM, juga
merupakan hal yang relevan dilakukan mengingat Indonesia memiliki potensi yang
cukup besar dalam hal UKM dan telah terbukti selama ini UKM khususnya usaha kecil
lebih mampu bertahan dalam menghadapi krisis dan mampu menyerap jumlah tenaga
kerja yang relatif banyak mencapai 10,3 juta orang (2013).
Program pengembangan UKM telah dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan
UKM antara lain: program One Village One Product (OVOP), Gerakan
Kewirausahaan Nasional, Lembaga Layanan Pemasaran, dan pelatihan terpadu.
Kebijakan di bidang inovasi dan kewirausahaan juga banyak dilakukan melalui
kerja sama pemerintah dengan perguruan tinggi. IPB dianggap sebagai salah satu
perguruan tinggi yang memberikan kontribusi inovasi paling prospektif, menurut data
Kemenristek 2008-2012 dari 21% pada tahun 2008 menjadi 46,1% pada tahun 2012
(Fauzi, 2013). Inovasi yang telah dilakukan antara lain inovasi dalam bidang pangan,
perikanan, peternakan, kehutanan, kesehatan, dan energi.
Inovasi lain juga dilakukan oleh Universitas Jenderal Soedirman dalam bentuk
peningkatan pelayanan konsultasi, pendampingan, dan pelatihan bagi UMKM dan
LSM yang dilakukan oleh Pusat Inkubasi Bisnis, peningkatan jumlah desa binaan
pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh dosen dari berbagai fakultas,
berhasil diluncurkannya benih padi variaetas unggul dengan nana INPAGO UNSOED
1 yang merupakan padi gogo aromatik, produksi tinggi, pulen, dan wangi yang

30
merupakan hasil penemuan Prof. Totok Agung, Ph.D dan Prof. Dr. Suwarto dari
Fakultas Pertanian Unsoed, Pengembangan budidaya kepiting sistem tabung oleh Prof
Edi Yuwono, Ph.D dari Fakultas Biologi, Penemuan BIO P60 sebagai pestisida ramah
lingkungan oleh Prof. Loekas, Ph.D, inovasi teknologi pengembangan lahan pasir
pantai sebagai sentra holtikultura masa depan yaitu budidaya kubis bunga di Pantai
Jetis Cilacap, dan bawang merah di Pantai Ketawang Purworejo, penemuan teknologi
pendeteksi dini katarak dengan kamera digital dengan menggunakan specular
reflection methode, oleh Dr. Eng. Retno Supriyati dari Fakultas Teknik bekerja sama
dengan Nara Institute of Science and Technology (LPPM Unsoed, 2012).
Kebijakan lain yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pengembangan
kewirausahaan adalah melalui kemudahan akses permodalan bagi usaha kecil dan
pelatihan serta pendampingan melaui program Kredit Usaha Rakyat yang ditujukan
bagi usaha kecil yang feasible tetapi tidak bankable dan program PNPM baik
perdesaan maupun perkotaan, disamping melakukan pendampingan dan pelatihan.

KESIMPULAN

Kemampuan daya saing merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki Indonesia dalam
menghadapi Globalisasi, khususnya MEA 2015. Untuk mendukung daya saing perlu
menekankan pentingnya competitive advantage yang muncul dari adanya kreatifitas dan
kualitas sumber daya manusia yang baik dan memiliki kompetensi yang tinggi. Untuk mampu
menciptakan keunggulan kompetitif maka 3 hal yang diperlukan, yaitu knowledge, kreatifitas,
dan inovasi. Knowledge akan menjadi dasar menggali kreatifitas seseorang atau kelompok,
sebagai dasar melakukan berbagai inovasi. Inovasi yang bersumber dari knowledge dan
kreatifitas akan mampu menghasilkan sesuatu yang baru yang memang memiliki ciri khas
tertentu. Inilah yang akan menjadi sumber dari keunggulan kompetitif. Dengan demikian
ketersediaan kualitas human capital yang baik sangat diperlukan.
Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka
menghadapi era AEC ini, baik yang terkait dengan pengembangan pengetahuan dan inovasi,
maupun kewirausahaan. antara lain: kebijakan dalam bidang pendidikan melalui BOS,
implementasi Kurikulum 2013 dikembangkan dengan menekankan pada competencies based
curriculum approach, bukan lagi pada standard based curriculum approach. Kebijakan ini
sudah mampu menunjang peningkatan angka partisipasi pendidikan formal, terutama di
jenjang pendidikan dasar. Disamping itu juga pemerintah telah melakukan kebijakan di bidang
inovasi dan pengembangan kewirausahaan.

31
DAFTAR PUSTAKA

Andreeva, Tatiana and Aino Kianto, 2011. Knowledge Processes, Knowledge Intensity and
Innovation: A Moderated Mediation Analysis, Journal of Knowledge Managements,
Vol. 15, No. 6. pp. 1016-1034.

BPS, 2014. Indikator Pendidikan di Indonesia, 1994-2013. http://www.bps.go.id.

Dhewanto, dkk. 2013. Manajemen Inovasi, Peluang Sukses Menghadapi Perubahan. ANDI,
Yogyakarta.

Fauzi, Anas M, 2013. Inovasi Untuk Pengembangan Usaha Daerah. Diskusi KADIN, 5 Maret
2013.

Iskandar, Marzan A, 2013. Masukan Kebijakan Strategis Nasional Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi 2015-2019. http://www.bppt.go.id.

Jhingan, ML, 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta.

Kasmir. 2007. Ciri-ciri Wirausaha, Kewirausahaan. Alfabeta. Bandung.

Longenecker, Justin G, Carlon W. Moor dan J. William Petty. 2001. Kewirausahaan :


Manajemen Usaha Kecil. Salemba Empat. Jakarta.

LPPM Unsoed, 2012. Profile of Institute for Research and Community Services Jenderal
Soedirman University, Unsoed, Purwokerto.

Mankiw, N. Gregory. 2007. Macroeconomics, 6th edition. Worth Publisher, Inc. New York.

Nicholson, Walter, 2000. Intermediate Microeconomics, And Its Aplication, Eight Edition.
Harcourt College Publisher.

Porter, Michael. E, 1990. The Competitive Advantage of Nations. Harvard Business Review.
March-April 1990.

Priyanto, Sony Heru. 2009. Andragogia-Jurnal PNFI. Volume 1, No 1 - Nopember 2009.

Romer, David. 2012. Advanced Macroeconomics. Fourth Edition. McGraw-Hill. New York.

Subandi, 2013. Pengembangan Kurikulum 2013 (Studi analitis dan substantif kebijakan
kurikulum nasional), Jurnal Terampil, Vol 1, No. 1 (2013), www.
ejournal.iainradenintan.ac.id.

Zuhal, 2013. Gelombang Ekonomi Inovasi Kesiapan Indonesia Berselancar di Era Ekonomi
Baru. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

http:// www. Bappenas.go.id

32
http://ditjenkpi.kemendag.go.id. Menuju ASEAN Economic Comunity 2015.

http://www.bos.kemdikbud.go.id. Program Bantuan Operasional Sekolah Tahun 2012.

http://www.data.worldbank.org. World Bank Report (2008).

http://www. globalinnovationindex.org/gii.

33
PENGARUH KEMAMPUAN ADAPTASI DAN KEUNGGULAN
SUMBER DAYA MANUSIA PADA KINERJA PROSES UNTUK
MENINGKATKAN KINERJA KUALITAS PRODUK PADA USAHA
KECIL DAN MENENGAH DI JAWA TENGAH

Oleh :
Susilo Toto Raharjo
E-mail: susilo_tr@yahoo.com
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro

ABSTRACT

The background of this research was based on the phenomenon in SMEs business. As one of
the Indonesian business entities, SMEs plays a significant role during the 1998 economic
crisis. The same contribution was also played by SMEs in the East Asian and European
countries. Despite its contribution to the economy, many challenges have to be faced by SMEs,
creating the needs for intensive research in SMEs.

Adaptability and human resource excellence are among many factors that need to be given
attention in relation to the change in the SMEs' business environment. The sample of this study
was 200 non-agricultural SMEs in Central Java, analyzed with the structural equation
modeling technique to prove the proposed hypothesis: that adaptability and human resource
excellence will affect the process performance, and process performance will affect to the
product quality.

The result shows that adaptability and human resource excellence have a positive and
significant effect toward process performance. Furthermore, process performance also has a
positive and significant effect toward product quality. The more important aspect that needs to
be given attention, however, is the higher effect of adaptability compared to the human
resource excellence.

Keywords: (1) adaptability (2) human resource excellence (3) process quality (4) product
quality

PENDAHULUAN

Usaha Kecil dan Menengah berperan sangat penting dalam perekonomian. Pada
perekonomian global Usaha Kecil dan Menengah berkontribusi hingga 80 % (Jutla et al,
2002). Peran UKM pada perekonomian tidak hanya pada negara-negara berkembang akan
tetapi juga pada negara-negera yang telah maju (Fumo and Jabbour, 2011; Husband and
Mandal, 1999). UKM memberikan kontribusi yang besar dari ekspor manufaktur dari Asia
Timur (56 persen di Taiwan, lebih dari 40 persen di Cina dan Republik Korea)serta di India
memberikan kontribusi sebesar 31 persen. (Singh et al, 2010). Di Eropa, 99,8 persen dari

34
perusahaan swasta adalah usaha kecil dan menengah (UKM) dengan 90 persen dari UKM ini
merupakan usaha kecil dengan jumlah karyawan kurang dari sepuluh orang (Reijonen and
Komppula, 2007).
Kontribusi UKM pada perekonomian di Indonesia dapat dilihat dari pertumbuhan
jumlah unit usaha, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja maupun sumbangannya pada PDRB.
Berdasarkan data dari Departemen Koperasi (www.depkop.go.id) perkembangan unit usaha
Usaha Kecil (UK) dari tahun 2011 sampai tahun 2012 sebesar 4,52 % sedangkan Usaha
Menengah (UM) sebesar 10,65 %. Penyerapan tenaga kerja Usaha Kecil dari tahun 2011
hingga tahun 2012 sebesar 15,71 % sedangkan Usaha Menengah (UM) sebesar 14,67 %.
Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan harga berlaku Usaha Kecil (UK) mengalami
peningkatan 10,54 % sedangkan Usaha Menengah (UM) sebesar 11,79 % dari tahun 2011
hingga tahun 2012. Investasi atas dasar harga berlaku Usaha Kecil (UK) meningkat 27,44 %
dan Usaha Menengah (UM) meningkat 29,22 % dari tahun 2011 ke tahun 2012.
Namun demikian ekspor non migas untuk Usaha Kecil mengalami penurunan sebesar
17,31 % sedangkan Usaha Menengah (UM) juga mengalami penurunan sebesar 9,71 % dari
tahun 2011 ke tahun 2012.
Terdapatnya kontradiksi kontribusi UKM di Indonesia yang meningkat baik dilihat
dari perkembangan jumlah unit usaha, penyerapan tenaga kerja maupun jumlah Produk
Domestik Bruto dibandingkan dengan penurunan besaran ekspor dari UKM menunjukkan
masih terdapat masalah. Masalah tersebut diduga karena produk UKM masih kurang mampu
bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh negara lain. Hal ini dapat dilihat dari fenomena
merajainya produk-produk impor dari China di Indonesia (Berita Industri,
www.kemenperin.go.id).
Kemampuan bersaing merupakan senjata bagi perusahaan untuk eksis dan tumbuh
pada lingkungan bisnis. Demikian pula untuk UKM khususnya UKM di Indonesia, agar tetap
dapat bertahan dalam bisnis harus memiliki kemampuan bersaing. Menurunnya ekspor UKM
menunjukkan kurangnya kemampuan bersaing dari UKM tersebut.
Kemampuan bersaing perusahaan dapat dibangun dari berbagai sumber keunggulan
bersaing yang dimiliki perusahaan. UKM China memperlihatkan bahwa strategi keunggulan
kunci yang dimiliki meliputi keunggulan pada biaya, diferensiasi dan strategi inovasi (Shigang
Yan, 2010) pada masa transisi ekonomi. Elemen produk sebagai strategi bersaing
menunjukkan 55,5 % karena kualitas produk dan kinerjanya (Julien and Ramangalahy, 2003).
Hal ini sesuai dengan pendapat Rakich (2000) bahwa sebuah organisasi yang meningkatkan
kualitas layanan atau produk akan meningkatkan kinerja dan posisi kompetitif. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa UKM di Indonesia juga harus memiliki keunggulan
kompetitif.
Dari berbagai sumber keunggulan bersaing yang mungkin dikembangkan oleh
perusahaan, untuk UKM di Indonesia perlu meningkatkan kualitas produknya sebagai salah
satu sumber keunggulan bersaingnya. Esensi dari output yang dibeli konsumen dari
perusahaan adalah produk baik barang atau jasa. Oleh karena itu kualitas produk merupakan
pertimbangan utama dari seorang pembeli untuk memutuskan membeli produk tersebut.
Setelah kualitas produk konsumen akan mempertimbangkan atribut keunggulan produk
lainnya seperti harga, penampilan, maupun atribut-atribut keunggulan lainnya.
Mempertahankan dan mengembangkan kualitas produk penting bagi UKM. Hal ini sesuai
dengan pendapat Singh (2006) bahwa UKM tidak membuat perbedaan yang jelas dalam
mengembangkan strategi untuk mengurangi biaya dan meningkatkan kualitas.

35
Dengan demikian dalam penelitian masalah utamanya adalah masih lemahnya
keunggulan bersaing produk UKM Indonesia yang ditunjukkan dari adanya penurunan tingkat
ekspor, walaupun kontribusi pada perekonomian mengalami kenaikan, sehingga masalah
penelitiannya adalah bagaimana mengembangkan keunggulan bersaing UKM dalam hal ini
adalah kinerja kualitas produk dari UKM. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis pengaruh kemampuan adaptasi dan keunggulan sumber daya manusia terhadap
kinerja kualitas sebagai salah satu sumber keunggulan bersaing UKM di Indonesia melalui
kinerja proses.

PEMBAHASAN

Kemampuan Adaptasi
Adaptasi secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah penyesuaian yang dibuat
dalam sebuah perjalanan dari suatu proses. (Vickers dan Sword, 2008). Kemampuan adaptasi
menunjukkan kesiapan dan kemampuan dari individu, kelompok dari individu atau organisasi
untuk mengikuti perubahan yang terjadi. Adaptasi diperlukan bagi perusahaan disebabkan
adanya perubahan-perubahan yang terjadi disekitar perusahaan. Keberhasilan beradaptasi
perusahaan tergantung pada (Múhlbacher et al, 1987):
1. Tingkat penerimaan karyawan terhadap rumusan misi dan tujuan-tujuan stratejik
perusahaan
2. Kesesuaian antara norma social yang dipesyaratkan yang harus diikuti karyawan dan
sikap personal dari karyawan tersebut terkait dengan norma social ini.
Adaptasi yang dilakukan perusahaan akan menuntut individu yang ada dalam perusahaan
tersebut beradaptasi terus-menerus dan ide yang paling bermasalah adalah seseorang dalam
perusahaan tersebut mampu bertahan atau berhasil melalui individu semata-mata akan
mungkin menjadi Nampak alami. (Brown, 2003). Di sisi yang lain keberhasilan adaptasi
perusahaan ditentukan oleh sikap kepemilikan karyawan terhadap perusahaan tersebut.
(Thompson et al, 2013), kapabilitas manajerial eksekutif IT (Heart et al, 2010). Sebaliknya
adaptabilitas organisasi berpengaruh pada komitmen organisasional dari karyawannya (Liu et
al, 2010).

Kinerja Proses
Organisasi adalah sekelompok proses dan perlu dikelola dengan lebih baik untuk
bertahan hidup dan berkembang dalam iklim usahanya (Dowdle et al, 2003). Proses dapat
diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang mengubah masukan menjadi output/keluaran
dalam kerangka aturan dan penggunaan sumber daya yang telah ditetapkan. Kinerja proses
dalam organisasi yang baik akan menentukan (Nenadál, 2008):
 peningkatkan kinerja proses;
 menurunkan biaya proses;
 memahami kapasitas proses untuk memenuhi persyaratan output;
 memenuhi tujuan kinerja internal;
 proses pemendekan siklus waktu produksi, dan
 peningkatan, proses yang konsisten dan prediktabilitas dari output.

36
Lingkungan bisnis selalu mengalami perubahan dan tidak banyak perusahaan yang mampu
beradaptasi. Untuk beradaptasi perusahaan harus melakukan perubahan. Upaya perubahan
organisasi sebagai bentuk adaptasi tidak selalu berhasil, 65 – 70 % upaya organisasi untuk
melakukan perubahan mengalami kegagalan (Glor, 2007). Keadaan setiap organisasi di masa
depan secara langsung berkaitan dengan tindakan yang diambil di masa sekarang. Kebutuhan
untuk beradaptasi terhadap perubahan yang cepat membutuhkan pengkajian ulang hubungan
tradisional antara strategi dan struktur (Labovitz, 1971). Kinerja proses baik jangka panjang
maupun jangka pendek dipengaruhi oleh konstruk pembelajaran yang diantaranta terdiri dari
beberapa variabel seperti: pembelajaran konsep (conceptual learning); pembelajaran
operasonal (operational learning); dan cakupan (scope) (Lambert dan Ouedraogo, 2008).
Keberhasilan dari suatu proses khususnya untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat proyek
diantaranya ditentukan oleh interaksi antara stakeholder internal dan eksternal serta informasi
dan manajemen kualitas (Haponava dan Al-Jibouri, 2010). Peran informasi terhadap kinerja
proses khususnya teknologi informasi diperkuat oleh dari hasil penelitian Jeffers et al (2008);
Ray et al (2005).

Hubungan Kemampuan Adaptasi dan Kinerja Proses


Penelitian berkaitan dengan pengaruh kapabilitas adaptasi terhadap kinerja proses telah
banyak dilakukan oleh para peneliti. Stoica dan Schindehutte (1999) menyimpulkan bahwa
adaptasi yang dilakukan oleh perusahaan kecil dan menengah memiliki relasi dengan kinerja.
Qui dan Tannnock (2010) menegaskan bahwa untuk membangun kualitas diperlukan
kemampuan/sikap untuk beradaptasi terhadap perubahan, sedangkan menurut Hanfield dan
Gosh (1994) untuk membangun kualitas yang diperlukan adalah kemampuan untuk melakukan
perubahan kultur maupun infrastruktur organisasi. Lee (2004) menyimpulkan bahwa untuk
meningkatkan daya saing industry manufaktur skala kecil di China yang diperlukan adalah
fokus pada perubahan-perubahan internalnya, serta menerapkan strategi yang terbuka terhadap
inovasi (Luo dan Chang, 2011).Hal yang sama juga disimpulkan oleh Nwankwo (2000) bahwa
kegagalan perusahaan skala kecil dan menengah di Inggris disebabkan oleh kegagalan
manajemen dalam mendorong kemampuan adaptasi anggota organisasinya. Peranan tim
adaptasi berpengaruh pada outcome dari proses yang dikembangkan dalam tim tersebut
(Woolley, 2009).
Dengan demikian dari telaah referensi tersebut diajukan hipotesis 1 bahwa
Kemampuan Adaptasi berpengaruh positif terhadap Kinerja Proses.

Keunggulan Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia bagi perusahaan merupakan asset stratejik yang berkontribusi
terhadap keunggulan bersaing. Sumber daya manusia (human capital) dalam organisasi tidak
dilihat dari fisiknya akan tetapi dilihat dari kapabilitasnya, karena inti dari sumber daya
manusia adalah kecerdasan yang dimilikinya. Modal manusia bagi perusahan merupakan
sumber daya dalam mendukung inovasi dan pembaharuan-pembaharuan yang bersifat stratejik
(Bontis, 1998). Modal manusia merupakan kombinasi dari empat faktor: warisan genetik,
tingkat pendidikan, pengalaman, dan sikap tentang kehidupan dan bisnis (Hudson, 1993 dalam
Bontis dan Fitzenz, 2002).
Pengembangan strategis dan penciptaan nilai sebagai nilai-nilai tersembunyi dari
perusahaan dapat dikelola dengan memanfaatkan indikator dan rasio intelektual (Wang, 2007).
Pengembangan sumber daya manusia merupakan langkah stratejik yang harus dilakukan oleh

37
perusahaan karena modal manusia merupakan (1) Sebagai kemakmuran organisasi dalam
dekade setelah 2010 dan setelahnya (2) Pengembangan sumber daya manusia merupakan
mitra strategis dalam organisasi yang paling sukses dalam perekonomian global yang sangat
kompetitif (3) Pengembangan sumber daya manusia untuk mendorong organisasi menjadi
lebih besar. (Holton dan Yamkovenko, 2008).
Pada perusahaan skala kecil dan menengah peran intangible assets dapat dilihat dari
persepsi manajernya. Studi pada perusahaan skala kecil dan menengah di New Zealand ini
menyimpulkan bahwa intangible assets pada perusahaan kecil dan menengah berpengaruh
antara lain kepada loyalitas pelanggan, reputasi perusahaan dan reputasi produk selain pada
pengetahuan karayawan itu sendiri (Steenkamp dan Kashyap, 2010).

Hubungan Keunggulan Sumber Daya Manusia dan Kinerja Proses


Pengembangan sumber daya manusia telah banyak memberikan pengaruh pada kinerja
perusahaan seperti, produktivitas dan kualitas (MacDuffie, 1995; Markos dan Sridevi, 2010),
berpengaruh pada profitabilitas, produktivitas dan kualitas (Stavrou and Brewster, 2005).
Pengembangan strategis perusahaan skala kecil dan menengah di India untuk meningkatkan
kemampuan bersaingnya, diantaranya melalui pengembangan kompetensi dan pengembangan
sumber daya manusianya, begitu pula untuk pengembangan kemampuan bersaing perusahaan
skala kecil dan menengah di China (Singh et al., 2010). Modal manusia (human capital) juga
berpengaruh terhadap inovasi produk dan proses (Rodrigues et al., 2010).
Modal intelektual (Intelectual capital) yang terdiri dari modal fisik, modal manusia dan modal
struktural ternyata merupakan kunci kinerja perusahaan yang berupa profitabilitas,
produktivitas dan nilai pasarnya. Hal ini merupakan studi yang dilakukan Firer dan Williams
(2003) di Afrika Selatan. Hasil yang sama juga ditunjukkan dalam studi Ivanković (2010)
yang menyatakan bahwa modal manusia merupakan faktor kunci sukses pada industri
perhotelan di Slovenia. Hal yang sama terjadi pada studi Tadic (2010) di Kroasia yang
menyimpulkan bahwa modal manusia yang berupa pengetahuan dan ketrampilan merupakan
penentu bagi industri untuk selalu kompetitif. Pengaruh modal manusia pada kinerja
organisasi dapat pula dikaji dari studi Ma’ani dan Jaradat (2010) yang menyimpulkan bahwa
modal manusia yang terdiri dari pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya dalam
organisasi merupakan pilar bagi organisasi untuk bertahan dan berevolusi.
Pengembangan hubungan kausalitas ini didasarkan pada penelitian Hernández dan Noruzi
(2010), bahwa modal sosial (manusia, organisasi dan pelanggan) adalah nilai aset tidak
berwujud yang dapat digunakan untuk meningkatkan keuntungan bisnis
Semakin berpendidikan dan berpengalaman seorang pendiri perusahaan (modal manusia)
maka semakin tinggi pula kinerja perusahaan tersebut khususnya perusahaan skala menengah
dan kecil (Segal et al., 2010) maupun produktivitasnya pada industri makanan (Afrooz et al.,
2010).
Ditemukan bahwa pengembangan dan peningkatan modal manusia dalam organisasi
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kompetensi organisasi yang pada gilirannya
menjadi dorongan yang besar untuk meningkatkan inovasi lebih lanjut (Bontis dan Fitzenz,
2002) juga sangat diperlukan oleh perusahaan dalam rangka melakukan merger dan akuisisi
(Rizvi, 2010).
Dengan demikian maka dari telaah referensi tersebut diajukan hipotesis 2 bahwa
Keunggulan Sumber Daya Manusia berpengaruh positif terhadap Kinerja Proses.

38
Kualitas Produk
Hingga tahun 1990-an, kualitas adalah satu-satunya strategi bersaing yang sangat
penting, dan tetap menjadi yang paling sering sebagai bentuk keunggulan bersaing; namun
setelah 1990-an, basis keunggulan kompetitif telah diperluas untuk mencakup keunggulan
pasar dan produk juga (Corbett et al, 1998). Peningkatan kualitas akan berpengaruh tidak
hanya hanya faktor-faktor internal seperti biaya kegagalan internal akan tetapi juga
berpengaruh terhadap kinerja keuangan (Adam, Flores dan Macias 2001). Kualitas produk
juga memiliki peran keunggulan kompetitif yang kritis pula ketika suatu perusahaan
memperkenalkan produk baru Castillo et al, 2013). Kualitas produk yang dihasilkan dari
proses pengelolaan kualitas dengan menggunakan pendekatan structural equation modeling
praktek TQM ternyata merupakan faktor mediasi bagi kinerja keuangan pada perusahaan
(Rong-Ruey Duh et al, 2012; Yuan Li et al, 2011). Penelitian Ghaderi dan Ahmadabad (2007)
menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan dan memperbaiki kondisi industri terhadap
kualitas produk kita harus memperbaiki kondisi tiga indeks, yaitu cacat produksi, pengerjaan
ulang di departemen pengendalian kualitas dan biaya manusia dalam kualitas departemen
kontrol.

Hubungan Kinerja Proses dan Kualitas Produk


Kinerja kualitas produk ditentukan diantaranya adalah oleh praktek manajemen
kualitas (Lakhal et al, 2006) yang merupakan proses untuk menghasilkan outcome dalam
suatu sistem produksi. Lee et al (2003) menyimpulkan bahwa hasil dari kualitas dipengaruhi
oleh manajemen sumber daya manusia dan manajemen proses. FJ Molina-Castillo et al (2013)
menyimpulkan dari penelitiannya bahwa kualitas produk yang merupakan determinan dari
kinerja produk baru merupakan variabel yang dibangun dari variabel-variabel formatif seperti
kinerja, fitur, kesesuaian, layanan yang merupakan kualitas obyektif dan estetika dan
ergonomic yang merupakan kualitas subyektif. Kedua konsep kualitas tersebut (obyektif dan
subyektif) dibangun melalui upaya proses manajemen. Adam Jr et al (2001) menyimpulkan
untuk meningkatkan kualitas diperlukan keterlibatan karyawan yang perlu dikelola melalui
proses manajemen yang dilakukan melalui pendekatan metode-metode manajemen seperti
TQM. Mandall et al (2000) menyimpulkan bahwa QMP (Quality Management Process)
merupakan kunci untuk mempertahankan kualitas pada industry manufaktur di India. Dengan
demikian dari telaah referensi tersebut dapat diajukan hipotesis 3 bahwa Kinerja Proses
berpengaruh positif terhadap Kinerja Kualitas Produk.

Berdasarkan pada hipotesis yang telah dinyatakan sebelumnya maka diajukan model
empiris penelitian sebagai berikut :

39
Gambar 1: Model Empiris Penelitian

Kemampuan
Adaptasi (X1)
H1

Kinerja H3 Kualitas
Proses (X4) Produk (X5)

H2

Keunggulan
SDM (X3)

Sumber : Dikembangkan untuk penelitian ini, 2014.

Metode Penelitian
Populasi penelitian ini adalah UKM di Jawa Tengah di luar sektor pertanian. Kriteria
UKM dalam penelitian disini menggunakan kriteria jumlah tenaga kerja 5 – 9 untuk usaha
kecil dan 20 – 99 orang.Kerangka sampling dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1
Kerangka Sampling Penelitian

Industri Pengolahan
Wilayah Jumlah
Karesidenan (Skala Menengah dan %
Sampel Sampel
Kecil)
Karesidenan
Purwokerto
Banyumas 24.644 21 43
Karesidenan Kedu Magelang 12.393 11 22
Karesidenan
Klaten
Surakarta 22.151 19 39
Karesidenan Pati Jepara 17.421 15 30
Karesidenan
Semarang
Semarang 20.669 18 36
Karesidenan
Pekalongan
Pekalongan 17.534 15 30
Jumlah 114.811 100 200
Sumber : Data sekunder (BPS) di olah, 2014.

Teknik sampling dengan pendekatan convenience sampling. Instrumen penelitian dengan


kuesioner yang diturunkan dari dimensi-dimensi penelitian berikut:
Kemampuan Adaptasi
a. kemampuan menangani situasi darurat atau kritis

40
b. kapabilitas berkaitan dengan situasi kerja yang tidak pasti
c. kemampuan mempelajari tugas, teknologi, atau prosedur baru
Keunggulan SDM
a. Kompetensi/pengetahuan
b. Ketrampilan
c. Pengalaman
d. Kesetiakawanan/soliditas
Kinerja Proses
a. Kepatuhan pada proses
b. Efisiensi Proses
c. Effektifitas Proses
Kinerja Kualitas Produk
a. Ketepatan fungsi
b. Effisiensi Produk
c. Kepatuhan/kesesuaian pada Standar
d. Keawetan/Keandalan

KESIMPULAN

Dari model yang diajukan sebelumnya maka hasil analisis dengan mengggunakan
perangkat lunak Amos 20 dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2: Full Model Penelitian

Sumber: data primer diolah, 2014.


Uji model tersebut sesuai dengan kaidah statistik telah memenuhi syarat seperti syarat
normalitas univariate dan multivariate serta model fit yang lainnya. Uji estimasi untuk
menguji signifikansi hipotesis penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:

41
Tabel 2
Hasil Uji Hipotesis
Keterangan Estimate S.E. C.R. P
0.659
Kinerja Proses <--- Kemampuan Adaptasi 6 0.2237 2.9481 0.0032
0.528
Kinerja Proses <--- Keunggulan SDM 8 0.2778 1.9035 0.057
Kinerja Kualitas 0.749 5.66
Produk <--- Kinerja Proses 9 0.1323 7 ***
Sumber: data primer dilah, 2014

Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh signifikan
positif dari Kemampuan Adaptasi dan Keunggulan Sumber Daya Manusia terhadap Kinerja
Proses dan terdapat pengaruh signifikan positif Kinerja Proses terhadap Kinerja Kualitas
Produk. Kemampuan Adaptasi memiliki peran lebih kuat relative dari Keunggulan Sumber
Daya Manusia. Hal ini berimplikasi bahwa pengelolan UKM lebih menekankan pada peran
manajemen untuk mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan bisnis kemudian baru
diperlukan mempertahankan dan mengembangan keunggulan sumber daya manusianya.
Dalam Kemampuan Adaptasi, faktor kemampuan mempelajari tugas, teknologi, atau
prosedur baru merupakan faktor refleksi yang tertinggi dari kemampuan adaptasi hal ini
menunjukkan bahwa faktor mempelajari tugas, teknologi atau prosedur baru merupakan faktor
terpenting dalam pengelolaan UKM untuk menjaga proses manajemen sehingga tercipta
produk yang berkualitas.
Dalam Keunggulan Sumber Daya Manusia unsur pengalaman merupakan refleksi
keunggulan sumber daya manusia yang terpenting. Dengan demikian faktor pengalaman
merupakan faktor yang harus dipertimbangkan. Oleh karena itu pengelolaan UKM harus dapat
meningkatkan kompetensi yang diperoleh dari pengalaman tanpa harus mengalami sendiri
tetapi mampu mengadopsi dari pengalaman orang lain sehingga tidak membuang waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Berita Industri, http://www.kemenperin.go.id/artikel/3757/Produk-Impor-China-Merajalela-di-


Tanah-Air- diakses tanggal 1 Januari 2014.

A. Azadeh, S. F. Ghaderi and M. Fazli Ahmadabad, 2007, Multi Criteria Quality Assesment of
Products by Integrated DEA-PCA Approach, International Journal of Reliability,
Quality and Safety Engineering, Vol. 14, No. 3 (2007) 201–218

Ahmad Afrooz, Khalid B Abdul Rahim, Zaleha Bt Mohd Noor & Lee Chin, 2010, Human
Capital and Labor Productivity in Food Industries of Iran, International Journal of
Economics and Finance, Vol. 2, No. 4; November 2010.

Ahmad I. AL-Ma'ani and Nasser "M. S" Jaradat , 2010, Impact of Human Capital on the

42
Organization Performance, interdisciplinary journal of contemporary research in
business, August 2010 Vol 2, No 4.
Anita Williams Woolley, 2009, Means vs. Ends: Implications of Process and Outcome Focus
for Team Adaptation and Performance, Organization Science, Vol. 20, No. 3, May–
June 2009, pp. 500–515

Chih-Ming Luo and Hung-Fan Chang, 2011, SME competitive strategy: learning from
Taiwan’s ODM industry, Business Strategy Series J Vol. 12 No. 3 2011.

Choong Y. Lee, 2004, TQM in small manufacturers: an exploratory study in China,


International Journal of Quality & Reliability Management Vol. 21 No. 2, 2004

Dawn Jutla, Peter Bodorik and Jaswir Dhaliwar, (2002), Supporting the e-business readiness
of small and medium-sized enterprises: Approaches and metrics, Internet Research, 12,
2.

Deeksha A. Singh · Ajai S. Gaur · Florian P. Schmid, 2010, Corporate Diversification, TMT
Experience, and Performance Evidence from German SMEs, Manag int Rev 50:35–56

Eleanor D. Glor, 2007, Applying Innovative Processes to Improve Governance and Public
Administration and Reduce Poverty , The Innovation Journal: The Public Sector
Innovation Journal, Volume 12(2).

Eleni Stavrou, Chris Brewster, 2005, The Configurational Approach to Linking Strategic
Human Resource Management Bundles with Business Performance, Management
Review,16-2.

Elwood F. Holton Iii And Bogdan Yamkovenko, 2008, Strategic Intellectual


Capital Development: A Defining Paradigm for HRD?, Human Resource Development
Review Vol. 7, No. 3 September 2008 270-291

Everett E. Adam Jr, Benito E. Flores And Arturo Macias, 2001, Quality Improvement
Practices And The Effect On Manufacturing Performance: Evidence From Mexico
And The USA, Int. J.Prod.Res., Vol. 39, No. 1, 43- 63

Francisco-Jose Molina-Castillo, Roger J. Calantone, Michael A. Stanko, and Jose-Luis


Munuera-Aleman, 2013, Product Quality as a Formative Index: Evaluating an
Alternative Measurement Approach, J Prod Innov Manag 2013;30(2):380–398

Fumo, N. D., & Jabbour, C. J. (2011). Barriers faced by MSEs : Evidence from Mosambique.
Industrial Management and Data Systems , 111 (6), 849 - 868.

Gautam Ray, Waleed A. Muhanna, and Jay B. Barney, 2005, Information Technology And The
Performance Of The Customer Service Process: A Resourcebased Analysis

43
Geoffrey Vickers, L. Deborah Sword, 2008, Is Adaptability Enough? Issue Vol. 10 No. 4 2008
pp. 74-88.
George H Labovitz, 1971, Organizing for Adaptation The case for a behavioral view, Business
Horizons, June.

Gerry Segal, Dan Borgia and Jerry Schoenfeld , 2010, Founder Human Capital And Small
Firm Performance: An Empiricalstudy Of Founder-Managed Natural Food Stores,
Journal of Management and Marketing Research.

Gilles Lambert and Noufou Ouedraogo, 2008, Empirical Investigation Of ISO 9001 Quality
Management Systems’ Impact On Organisational Learning And Process Performances,
Total Quality Management , Vol. 19, No. 10, October 2008, 1071–1085

Gordana Ivankovič And Mateja Jerman, 2010, Human Capital As The Critical Success Factor:
A Comparative Analysis Of The Slovene Hotel Industry, Tourism & Hospitality
Management 2010, Conference Proceedings

Hans Muhlbacher, Wilfried Vyslozil and Angelika Ritter, Successful Implementation of New
Market Strategies—A Corporate Culture Perspect, Journal of Marketing Manajemen,
3 No. 2.

Helen Reijonen, Raija Komppula, (2007), Perception of success and its effect on small firm
performance, Journal of Small Business and Enterprise Development, Vol. 14 Iss: 4,
pp.689 – 701

Helena Santos-Rodrigues; Pedro Figueroa Dorrego; Carlos Fernandez Jardon, 2010, The
Influence Of Human Capital On The Innovativeness Of Firms, The International
Business & Economics Research Journal; Sep 2010; 9, 9;

Husband, Stuart and Mandal, Purnendu (1999). A Conceptual Model For Quality Integrated
Management In Small And Medium Enterprises, International Journal of Quality and
Reliability, Vol.16, No.7, pg. 669-713.

Ivana Tadic, 2010, Human Capital Practices in Different Industries in Croatia, The Business
Review, Cambridge. Vol. 15, Num. 2, Summer 2010

Jaroslav Nenada, 2008, Process Performance Measurement In Manufacturing Organizations,


International Journal of Productivity and Performance Management Vol. 57 No. 6,
2008 pp. 460-467

John Paul Macduffie, 1995, Human Resource Bundles and Manufacturing Performance:
Organizational Logicand Flexible Production Systems in the World Auto Industry,
Industrial and Labor Relations Review, Vol. 48, No. 2 (Jan., 1995), pp. 197-221

José G. Vargas-Hernández and Mohammad Reza Noruzi, 2010, A Literature Review Of The
Characteristics Of Firms, Communities And Multiparty Partnerships And

44
Challenges Of Firm-Community Partnerships With Cases, African Journal of Business
Management Vol. 5(6), pp. 2006-2016,

Jui-Chi Wang, 2007, Executing Strategies On Intellectual Capital: Case Study For
Management And Corporate Governance, Journal of American Academy of Business,
Cambridge Hollywood, Vol.11, Iss. 1

Kavita Singh, 2010, Developing Human Capital By Linking Emotional Intelligence


With Personal Competencies In Indian Business Organizations, Int. Journal of
Business Science and Applied Management, Volume 5, Issue 2, 2010

L. M. Corbett, E. E. Adam JR, N. J. Harrison, T. S. Lee, B.H. Rho and D. Samson, 1998, A
Study Of Quality Management Practices And Performance In Asia And The South
Pacific, International Journal Production, 1998, vol. 36, no. 9, 2597 - 607

Lakhal, Lassaˆad, Federico Pasin dan Mohamed Limam. 2006. Quality Management Practices
And Their Impact On Performance. International Management Practices And Their
Impact On Performance, Journal of Quality & Reliability Management Vol. 23 No. 6,
2006 pp.

Megan Brown, 2003, Survival At Work: Flexibility And Adaptability In American , Cultural
Studies 17(5) 2003, 713–733.

Natasja Steenkamp and Varsha Kashyap, 2010, Importance And Contribution Of Intangible
Assets: SME Managers’ Perceptions, Journal of Intellectual Capital Vol. 11 No. 3,
2010

Nick Bontis and Jac Fitzenz, 2002, Intellectual Capital ROI: A Causal Map Of Human Capital
Antecedents And Consequents, Journal of Intellectual Capital, Vol. 3 No. 3, 2002, pp.
223-247.

Nick Bontis, 1998, Intellectual Capital: An Exploratory Study That Develops Measures And
Models, Management Decision 36/2 [1998] 63–76

P. Mandal, P.E.D. Love, A.S. Sohal and B. Bhadury, 2000, The propagation of quality
management concepts in the Indian manufacturing industry: some empirical
observations, The TQM Magazine, Volume 12 . Number 3. pp. 205±213

Pat Dowdle; Jerry Stevens; Bob McCarthy; Dennis Daly, Process-Based Management: The
Road To Excellence, Cost Management; Jul/Aug 2003; 17, 4

Patrick I. Jeffers, Waleed A. Muhanna and Barrie R. Nault, 2008, Information Technology and
Process Performance: An Empirical Investigation of the Interaction Between IT and
Non-IT Resources, Decision Sciences. Volume 39 Number 4

Rajesh K Singh, Suresh K. Garg and S.G. Desmukh, (2010), The Competitiveness of SMEs in

45
Globalized Economy, Management Research Review, 33, 1.

Rajesh K. Singh and Suresh K. Garg and S.G. Deshmukh, 2010, The competitiveness of SMEs
in a globalized economy Observations from China and India, Management Research
Review Vol. 33 No. 1, 2010 pp. 54-65

Rong-Ruey Duh, Audrey Wen-Hsin Hsu, and Pei-Wen Huang, 2012, Determinants And
Performance Effect Of TQM Practices: An Integrated Model Approach, Total Quality
Management, Vol. 23, No. 6, June 2012, 689–701.

S. M. Lee, B.H. Rho, And S.G. Lee, 2003, Impact Of Malcolm Batdrige National Quality
Award Criteria On Organizational Quality Performance, International Journal
Production, Vol. 41, No. 9. 2003-2020.

Singh, R.K., Garg, S.K. and Deshmukh, S.G. (2006), Competitiveness analysis of a medium
scale organisation in India: A Case, International Journal of Global Business and
Competitiveness, Vol. 2 No. 1, pp. 27-40

Solomon Markos and M. Sandhya Sridevi, 2010, Employee Engagement: The Key to
Improving Performance, International Journal of Business and Management Vol. 5,
No. 12; December 2010

Sonny Nwankwo, 2000, Quality Assurance In Small Business Organisations: Myths And
Realities, International Journal of Quality & Reliability Management, Vol. 17 No. 1,
2000, pp. 82-99.

Steven Firer; S Mitchell Williams, 2003. Intellectual capital and traditional measures of
corporate performance, Journal of Intellectual Capital; 2003; 4, 3.

Stoica, Michael;Minet Schindehutte,1999, Understanding Adaptation In Small Firms: Links To


Culture And Performance, Journal of Developmental Entrepreneurship; Spring 1999;
4,1

Tatsiana Haponava And Saad Al-Jibouri, 2010. Influence Of Process Performance During
The Construction Stage On Achieving End-Project Goals, Construction Management
and Economics (August 2010) 28 , 853–869

Thompson, Peter B.; Shanley, Mark; McWilliams, Abagail. Journal of Business Strategies.
Fall2013, Vol. 30 Issue 2, p145-179. 35p. 1

Tsipi Heart, Hanan Maoz, and Nava Pliskin, 2010. From Governance to Adaptability: The
Mediating Effect of IT Executives’ Managerial Capabilities, Information Systems
Management, 27:42–60.

Yasmeen Rizvi, 2010. Human Capital Development Role of HR during Mergers and
Acquisitions, The South East Asian Journal Of Management © April 2010 • Vol. 4 •

46
No.1

Yonghong Liu; Kai Zhang; Jun Xiong, 2010. Why Employees Commit? A Multilevel Study Of
The Effects Ofautonomy Supportive Climate And Adaptability, Academy of
Management Annual Meeting Proceedings

Yuan Li, Longwei Wang, and Yi Liu, 2011, Organisational learning product quality and
performance:
the moderating effect of social ties in Chinese cross-border outsourcing, International
Journal of Production Research, Vol. 49, No. 1, 1 January 2011, 159–182

Yun Qui and James D.T. Tannock, 2010, Dissemination and adoption of quality management
in China Case studies of Shanghai manufacturing industries, International Journal of
Quality & Reliability Management Vol. 27 No. 9, 2010 pp. 1067-1081

47
ANALISIS PROBLEMATIKA KINERJA BUMD NON-KEUANGAN DI
JAWA BARAT: APLIKASI METODE ANALYTIC NETWORK PROCESS

Oleh :
Wawan Sukmana 1), Irman Firmansyah 1)
E-mail: wawansukmana@unsil.ac.id
irmanfirmansyah@unsil.ac.id
1)
Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi

ABSTRACT

This study aims to unravel the causes of the lack of Non-Financial performance of local
goverment enterprises in West Java, as well as finding the best solutions and strategies to
solve them through the Analytic Network Process approach is qualitative-quantitative
methods. Based on the research results, obtained by the most dominant issue divided by 2
clusters, there are (1) the internal problems: "the competence of directors remains untested"
followed by "incomplete organizational devices", and (2) external problems: "too much
intervention from the legislative or executive "followed by" be a source of fees from certain
parties ". While the solution is divided into 2 clusters, there are (1) the internal solutions: "to
increase the selectivity recruitment directors" followed by "the preparation of a business plan
that good", and (2) external solutions: "to limit the executive/legislative in intervening with
local government regulations" and "periodically audit ". Then the best strategy is "the
integration of the entire report with system/online" followed by "the application of the
principles of good corporate governance". The amount of Kendall's Coefficient (W) to
measure rater agreement is between 60,2% to 76,7% which reflects the uniformity of response
among the respondents.

Keywords: non-financial local goverment enterprises, Analytic Network Process,


Performance

PENDAHULUAN

Saat ini marak diperbincangkan mengenai minimnya kinerja Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) yang ada di Indonesia. Tentunya hal ini membuat kita mempunyai penilaian
yang kurang baik atas kualitas badan usaha milik pemerintah tersebut, padahal idealnya adalah
BUMD menjadi contoh bagi perusahaan-perusahaan swasta.
Diperkirakan sekitar 40% dari 1.113 badan usaha milik daerah (BUMD) se-Indonesia
memiliki kinerja yang buruk. Kinerja BUMD dinilai dipengaruhi oleh kebijakan dan pejabat
didalamnya. Dalam menjalankan kerjanya, BUMD hanya bersandar pada peraturan daerah
(Perda). BUMD juga masih berbentuk Perusahaan Daerah (PD), bukan Perseroan Terbatas
(PT). Akibatnya, kurang lincah dalam mengambil keputusan ekonomi. Hal ini karena masih
mengikuti aturan birokrasi yang ketat. (Koran Sindo, 2013).

48
Di Makasar, kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) seperti Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) dinilai masih di bawah standar. Pola pengelolaan lebih banyak tidak
mencerminkan efektivitas dan efesiensi kerja. Kemudian tingkat potensi korupsi juga masih
terbuka lebar. Hal ini diakibatkan pengawasan kinerja BUMD selama ini belum berjalan
dengan baik. Prinsip transparansi, akuntabilitas, dan manajemen kinerja masih sangat lemah.
Akibatnya, kata dia, tidak ada hasil yang signifikan sehingga kontribusinya pun minim sekali.
Selain itu, BPK juga menilai ada masalah yang terlihat dan cenderung dibiarkan pemerintah.
Yakni regulasi BUMD yang sudah usang. Pasalnya, sampai saat ini BUMD masih mengacu
pada Undang-undang Nomot 5/1962 tentang Perusahaan Daerah. (Fajar Online, 2013).
Selain itu, di Bekasi, Pemkot Bekasi mengevaluasi empat badan usaha milik daerah
(BUMD). Evaluasi dilakukan setelah adanya catatan penting dari Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) terkait kinerja laporan keuangan pada periode 2013. Catatan penting itu tertuang dalam
surat BPK No 28.B/S-HP/XVIII.BDG/05/2014. Keempat BUMD yang akan dievaluasi adalah
PDAM Tirta Patriot, PD Migas, BPR Syariah, dan Mitra Patriot. Wali Kota Bekasi Rahmat
Effendi mengatakan, evaluasi terkait penyertaan modal keempat BUMD. Menurutnya, salah
satu masalah perbaikan laporan itu menyangkut modal yang diberikan kepada dua BUMD
Rp13,3 miliar. Di sisi lain, kedua BUMD itu tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada
Pemkot Bekasi. Selain itu, ada juga catatan yang diberikan BPK terkait penatausahaan dan
pengelolaan aset daerah yang bersifat tetap namun belum memadai. Ada sejumlah aset tetap
seperti tanah dan bangunan yang belum terkelola dengan baik senilai Rp. 137 miliar.
(www.bpk.go.id, 2014)
Di wilayah lain khususnya di Bandung, DPRD Jawa Barat menilai kinerja tiga Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) sepanjang 2013 lalu tidak bisa memenuhi target dan rencana
bisnis yang ditetapkan. Ketua Komisi C DPRD Jawa Barat Diah Nurwitasari mengatakan
buruknya kinerja BUMD tersebut tercermin dari Laporan Kinerja Pertanggungjawaban
(LKPJ) Gubernur Jabar 2013. Menurutnya dalam LKPJ terdapat sejumlah target deviden
BUMD yang tidak tercapai.”Ada 3 BUMD yang targetnya meleset PT Jasa Sarana, PD Jawi
dan Agronesia. Menurut Diah ketidakberhasilan tersebut harus segera dievaluasi mengingat
terus dilakukannya penyertaan modal. PD Jasa Sarana dan PD Jasa dan Pariwisata (PD Jawi)
menurutnya adalah contoh BUMD yang belum mencapai target. (Bisnis-jabar.com, 2014).
Selain itu masih banyak lagi BUMD yang ada di daerah-daerah di Provinsi Jawa Barat yang
mempunyai kinerja kurang baik khususnya BUMD Non-Keuangan.
Menurut Indrawati (2010) ketidakmampuan BUMD untuk memenuhi target
sumbangan PAD adalah salah satu masalah yang dialami hampir seluruh Pemerintah Daerah
di Indonesia. Oleh karena itu, berdasarkan fenomena yang terjadi di atas mengingat minimnya
kinerja BUMD di Indonesia khususnya di Jawa Barat, maka dengan menggunakan metode
ANP penelitian ini dimaksudkan untuk mengurai masalah-masalah yang mengakibatkan
minimnya kinerja disertai dengan solusi yang dapat ditawarkan dan strategi yang dapat
digunakan guna meningkatkan kinerja khususnya BUMD Non-Keuangan di Jawa Barat.

KAJIAN PUSTAKA

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)


BUMD pada dasarnya merupakan perusahaan negara, hanya saja dalam skala daerah.
Paling tidak di antara keduanya tidak terdapat perbedaan dalam fungsi dan tujuan

49
pendiriannya. Keduanya sama-sama mengemban misi pembangunan melalui pelayanan
terhadap masyarakat dan merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Satu-satunya
perbedaan diantara keduanya adalah BUMN dikelola oleh sebuah departemen, sedangkan
BUMD oleh Pemerintah Daerah. Kewenangan pemerintah daerah membentuk dan mengelola
BUMD ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom.
Adapun Ciri-Ciri BUMD yaitu: a) Didirikan berdasarkan peraturan daerah (perda), b)
Dipimpin oleh direksi yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah atas pertimbangan
DPRD, c) Masa jabatan direksi selama empat tahun, dan d) Bertujuan memupuk pendapatan
asli daerah guna membiayai pembangunan daerah. Sedangkan contoh BUMD yaitu: a) Bank
Pembangunan Daerah (BPD), b) Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan c) Perusahaan
Daerah Angkutan Kota (bus kota).
Sedangkan tujuan pendirian BUMD di antaranya yaitu: a) Memberikan sumbangsih
pada perekonomian nasional dan penerimaan kas negara, b) Mengejar dan mencari
keuntungan, c) Pemenuhan hajat hidup orang banyak, d) Perintis kegiatan-kegiatan usaha, dan
e) Memberikan bantuan dan perlindungan pada usaha kecil dan lemah.
Jenis-Jenis BUMD terdiri dari:
- BUMD yang fokus pada pencarian laba (profit)
Contoh: BUMD Perbankan, pertambangan, properti, kontruksi, air minum, dan pasar,
telekomunikasi, energi, parker, manufaktur, dan pertambangan
- BUMD yang fokus pada pelayanan publik
Contoh: BUMD Transportasi umum, Rumah Sakit
- BUMD yang fokus pada investasi baru yang tidak mungkin dikerjakan oleh swasta
Contoh: Jalan untuk kawasan terpencil, deep tunnel untuk air minum kota, atau
proyek-proyek raksasa seperti proyek banjir kanal. (Joedo dkk, 2006).
BUMD memiliki kedudukan sangat penting dan strategis dalam menunjang
pelaksanaan otonomi. Oleh karena itu, BUMD perlu dioptimalkan pengelolaannya agar benar-
benar menjadi kekuatan ekonomi yang handal sehingga dapat berperan aktif, baik dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya maupun sebagai kekuatan perekonomian daerah. Laba dari
BUMD diharapkan memberikan kontribusi yang besar terhadap Pendapatan Asli Dearah
(PAD).

Kinerja BUMD
Menurut Rachmawati (2004) yang dimaksud kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil
yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu selama kurun waktu tertentu
(Sedarmayanti) kinerja BUMD dimaksudkan sebagai kesehatan perusahaan/badan usaha
dalam rangka kemampuannya untuk:
a. Membayar hutang-hutangnya terutama jangka pendek (diukur oleh likuiditas)
b. Menghasilkan keuntungan (diukur oleh rentabilitas)
c. Aktiva/kekayaannya cukup/lebih besar dari utang-utangnya (diukur oleh solvabilitas).
Sedangkan Johnson Pakpahan seorang Auditor BPKP, memaparkan dalam tulisannya
bahwa ukuran kinerja BUMN/BUMD yang dilakukan berdasarkan data keuangan telah
bertahun-tahun menjadi pedoman BPKP untuk menyatakan suatu BUMN/BUMD sehat atau
tidak sehat. Namun sering terjadi, suatu badan usaha yang baru saja dinyatakan sangat sehat,
tiba-tiba dalam kurun waktu yang tidak telalu lama ternyata bangkrut. Apa yang terjadi?.
Pengukuran dengan hanya mengandalkan ukuran financial jika disadari sebenamya sudah

50
cerita ketinggalan jaman. Untuk mencegah terjadinya kesalahan yang berulang-ulang,
seyogyanya BPKP tidak terikat kepada kriteria yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan.
Untuk itu, adalah bijaksana apabila para pakar di instansi ini melihat perspektif yang
lebih luas untuk mendorong suatu ukuran yang lebih rasional dalam rangka pencapaian
strategic objective suatu entitas. Bila perubahan perspektif ini dilaksanakan, diharapkan BPKP
dapat memberi sumbang saran yang lebih berarti dalam meningkatkan profesionalisme
BUMN/BUMD (http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/artikel/namafile/20/UkuranKerjaBUMN.pdf).

Penelitian Terdahulu
Asaari (2001) melakukan penelitian pada BUMD di DKI Jakarta. Hasil penelitian
menemukan bahwa kinerja BUMD di DKI Jakarta secara umum masih lemah. Hal ini
disebabkan oleh: a) Manajemen BUMD yang tidak profesional (tidak ada keterbukaan,
rendahnya akuntabilitas dan tidak berkembangnya merit system), b) Owner (komisaris)
BUMD memiliki hubungan personal dengan pimpinan dari BUMD, c) Lembaga Negara
(Pemda dan DPRD) yang belum profesional, d) Klien dari BUMD tidak memiliki sikap kritis
terhadap kinerja BUMD. Selain itu, Kebijakan-kebijakan Pemda selama ini dapat dijadikan
dasar untuk menelurkan landasan hukum bagi privatisasi dan restrukturisasi BUMD.
Kurniawati (2009) melakukan penelitian mengenai kinerja kesehatan PDAM di Kota
Sorong dari tahun 2004-2008 dengan menggunakan rasio likuiditas, solvabilitas, rentabilitas,
profit margin, rasio operasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan PDAM
dalam keadaan rendabel. Walaupun terjadi dalam Likuiditas dan Rentabilitas, namun
perusahaan masih dapat meningkatkan profit marginnya, dan meningkatkan rasio operasi
secara efektifitas tenaga kerjanya. Untuk rasio profit margin dan rasio operasi menunjukkan
PDAM dalam keadaan inefisiensi, atau bekerja dengan biaya operasional yang sangat besar.
Ganda (1995) melakukan penelitian pada BUMD milik Pemerintah Daerah Tingkat I
Jawa Barat. Dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa masalah pokok penebab rendahnya
kinerja perusahaan didukung oleh berbagai fakta yang merupakan indikator kinerja
perusahaan. Permodalan secara umum relatif kecil dan kurang produktif, terlihat dari
rendahnya rasio profitabilitas. Produktivitas tenaga kerja rendah, terlihat dari rendahnya rasio
penerimaan terhadap jumlah tenaga kerja. Keragaman usaha, pemasaran produk, dan volume
usaha tidak berkembang, bahkan tidak sedikit jenis usaha yang tidak dijalankan lagi. Dengan
demikian, secara umum kinerja Perusahaan Daerah dapat dikatakan rendah.

METODE PENELITIAN

Sumber Data
Sumber data penelitian diperoleh dengan dua cara, yaitu: 1) Data yang diperoleh dari
hasil wawancara (indepth interview) dengan para pakar atau praktisi yang menguasai masalah
yang sedang diteliti, dan 2) Data yang diperoleh hasil pengisian kuesioner dari para pakar atau
praktisi yang menjadi responden tersebut dengan skala numerik. Setelah data diperoleh
selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan software Super Decison.

Populasi dan Sampel


Pemilihan responden pada penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan
pemahaman responden tersebut terhadap permasalahan kinerja BUMD Non-Keuangan di Jawa

51
Barat. Jumlah responden dalam penelitian ini terdiri dari tujuh orang, dengan pertimbangan
bahwa mereka cukup berkompeten dalam mewakili keseluruhan populasi. Dalam analisis
ANP jumlah sampel/responden tidak digunakan sebagai patokan validitas. Syarat responden
yang valid dalam ANP adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli di bidangnya. Oleh
karena itu, responden yang dipilih dalam survey ini adalah para pakar/peneliti, akademisi,
regulasi, praktisi/profesional, yang berkecimpung dalam BUMD Non-Keuangan.
Pertanyaan dalam kuesioner ANP berupa pairwise comparison (pembandingan
pasangan) antar elemen dalam cluster untuk mengetahui mana di antara keduanya yang lebih
besar pengaruhnya (lebih dominan) dan seberapa besar perbedaannya dilihat dari satu sisi.
Skala numerik 1-9 yang digunakan merupakan terjemahan dari penilaian verbal.
Tabel 1:
Perbandingan Skala Verbal dan Skala Numerik

SKALA VERBAL SKALA NUMERIK


Amat sangat lebih besar pengaruhnya 9
8
Sangat lebih besar pengaruhnya 7
6
Lebih besar pengaruhnya 5
4
Sedikit lebih besar pengaruhnya 3
2
Sama besar pengaruhnya 1
Sumber: Ascarya (2005)

Pengisian kuesioner oleh responden harus didampingi peneliti untuk menjaga


konsistensi dari jawaban yang diberikan. Pada umumnya, pertanyaan pada kuesioner ANP
sangat banyak jumlahnya. Sehingga faktor-faktor non teknis dapat menyebabkan tingginya
tingkat inkonsistensi.

Tahapan Analisis Data


Berikut adalah tahapan penelitian yang dilakukan dengan metode ANP:

52
Sumber: Ascarya dan Yumanita (2010)
Gambar 1: Tahapan Penelitian
Teknik Analisis Data
Data yang didapatkan dari penelitian akan dianalisis dengan metode ANP yang
merupakan metode yang dapat digunakan dalam berbagai studi kualitatif yang beragam,
seperti pengambilan keputusan, forecasting, evaluasi, mapping, strategizing, alokasi sumber
daya, dan lain sebagainya. Metode ANP memiliki tiga fungsi utama sebagai berikut:

a. Melakukan Strukturisasi pada Kompleksitas


Dalam penelitiannya, Saaty (2006) menemukan adanya pola-pola yang sama dalam
sejumlah contoh tentang bagaimana manusia memecahkan sebuah kompleksitas dari masa ke
masa, yang mana kompleksitas distruktur secara hierarkis ke dalam cluster-cluster yang
homogen dari faktor-faktor.

b. Pengukuran ke dalam Skala Rasio


Metodologi pengambilan keputusan yang terdahulu pada umumnya menggunakan
pengukuran level rendah (pengukuran ordinal atau interval), sedangkan metodologi ANP
menggunakan pengukuran skala rasio yang diyakini paling akurat dalam mengukur faktor-
faktor yang membentuk hierarki. Level pengukuran dari terendah ke tertinggi adalah nominal,
ordinal, interval, dan rasio. Setiap level pengukuran memiliki semua arti yang dimiliki level
yang lebih rendah dengan tambahan arti yang baru. Pengukuran interval tidak memiliki arti
rasio, namun memiliki arti interval, ordinal, dan nominal. Pengukuran rasio diperlukan untuk
mencerminkan proporsi. Untuk menjaga kesederhanaan metodologi, Saaty (2006)
mengusulkan penggunaan penilaian rasio dari setiap pasang faktor dalam hierarki untuk
mendapatkan (tidak secara langsung memberikan nilai) pengukuran skala rasio. Setiap
metodologi dengan struktur hieraki harus menggunakan prioritas skala rasio untuk elemen di
atas level terendah dari hierarki. Hal ini penting karena prioritas (atau bobot) dari elemen di
level manapun dari hierarki ditentukan dengan mengalikan prioritas dari elemen pada level
dengan prioritas dari elemen induknya. Karena hasil perkalian dari dua pengukuran level

53
interval secara matematis tidak memiliki arti, skala rasio diperlukan untuk perkalian ini. ANP
menggunakan skala rasio pada semua level terendah dari hierarki/jaringan, termasuk level
terendah (alternatif dalam model pilihan). Skala rasio ini menjadi semakin penting jika
prioritas tidak hanya digunakan untuk aplikasi pilihan, namun untuk aplikasi-aplikasi lain,
seperti untuk aplikasi alokasi sumber daya.
c. Sintesis
1. Geometric Mean
Untuk mengetahui hasil penilaian individu dari para responden dan menentukan hasil
pendapat pada satu kelompok dilakukan penilaian dengan menghitung geometric mean (Saaty
dan Vargas, 2006). Pertanyaan berupa perbandingan (Pairwise comparison) dari responden
akan dikombinasikan sehingga membentuk suatu konsensus. Geometric mean merupakan jenis
penghitungan rata-rata yang menunjukan tendensi atau nilai tertentu dimana memiliki formula
sebagai berikut (Ascarya, 2011):
(∏𝑛𝑖 = 1 𝑎𝑖 )1/𝑛 = 𝑛√𝑎1 𝑎2.. 𝑎𝑛 (1)
2. Rater Agreement
Rater agreement adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian (persetujuan) para
responden (R1-Rn) terhadap suatu masalah dalam satu cluster. Adapun alat yang digunakan
untuk mengukur rater agreement adalah Kendall’s Coefficient of Concordance (W;0 < W≤ 1).
W=1 menunjukan kesesuaian yang sempurna (Ascarya, 2011).
Untuk menghitung Kendall’s (W), yang pertama adalah dengan memberikan ranking
pada setiap jawaban kemudian menjumlahkannya.
𝑅𝑖 = ∑𝑚 𝑗 = 1𝑟𝑖,𝑗 (2)
Nilai rata-rata dari total ranking adalah:
1
𝑅 = 2 𝑚(𝑛 + 1) (3)
Jumlah kuadrat deviasi (S), dihitung dengan formula:
𝑆 = ∑𝑛𝑖 = 1(𝑅𝑖 − 𝑅̅ )2 (4)
Sehingga diperoleh Kendall’s W, yaitu:
12𝑆
𝑊 = 𝑚2 (𝑛3 −𝑛) (5)
Jika nilai pengujian W sebesar 1 (W=1), dapat disimpulkan bahwa penilaian atau pendapat
dari para responden memiliki kesesuaian yang sempurna. Sedangkan ketika nilai W sebesar 0
atau semakin mendekati 0, maka menunjukan adanya ketidaksesuaian antar jawaban
responden atau jawaban bervariatif (Ascarya, 2011).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kepada para pakar/praktisi/akademisi/
peneliti mengenai kinerja BUMD Non-Keuangan di Jawa Barat melalui indepth interview dan
kajian pustaka, maka diketahui masalah minimnya kinerja BUMD Non-Keuangan di Jawa
Barat dibagi kepada 2 aspek masalah yaitu masalah intenal dan masalah eksternal.
a. Masalah Internal
Masalah internal penyebab minimnya kinerja BUMD Non-Keuangan di Jawa Barat yaitu:
1) Kualitas SDM yang masih rendah, 2) Kurang lengkapnya perangkat organisasi, 3)

54
Kompetensi Direksi masih belum teruji, dan 4) Belum terlaksananya secara penuh prinsip
GCG.
b. Masalah Eksternal
Berikut adalah masalah eksternal penyebab minimnya kinerja BUMD Non-Keuangan di
Jawa Barat, yaitu: 1) Dukungan Pemda terhadap penyertaan modal masih rendah, 2)
Terlalu banyak intervensi dari pihak legislatif dan eksekutif, 3) Dijadikan sumber
pungutan dari pihak tertentu, 4) Terlalu banyak peraturan teknis dari pemerintah, dan 5)
Terdapat PP yang membatasi Pemda dalam membantu keuangan secara langsung.
Dari permasalahan di atas, maka selanjutnya diperoleh solusi-solusi yang diharapkan
dapat menyelesaikan masalah minimnya kinerja BUMD Non-Keuangan di Jawa Barat.
Adapun solusi dibagi menjadi dua yaitu solusi internal dan solusi eksternal.
a. Solusi Internal
Solusi internal terdiri dari: 1) Pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan bisnis
BUMD, 2) Penyusunan business plan yang baik, 3) Menerapkan dengan baik prinsip
GCG, 4) Peningkatan selektivitas rekruitment direksi, 5) Manajemen pengelolaan tidak
bersifat birokrasi.
b. Solusi Eksternal
Solusi eksternal terdiri dari: 1) Membatasi pihak eksekutif/legislatif dalam mengintervensi
dengan peraturan Pemda, 2) Pemda mencari cara lain membantu keuangan BUMD
dengan tidak melanggar hukum, 3) Audit BPK secara berkala.
Hasil penelitian selanjutnya yaitu strategi yang diharapkan dapat digunakan untuk
mengatasi minimnya kinerja BUMD Non-Keuangan di Jawa Barat yaitu: 1) Penerapan prinsip
GCG, 2) Peningkatan anggaran pendidikan dan pelatihan, 3) Peningkatan efisiensi perusahaan,
4) Pembentukan UU BUMD, dan 5) Pengintegrasian seluruh laporan dengan menggunakan
sistem/online.

Pembahasan
a. Jaringan Analytic Network Process (ANP)
Berdasarkan permasalahan, solusi dan strategi yang ditawarkan di atas, maka
dibentuklah Model jaringan ANP guna menganalisis hasil penelitian menjadi suatu prioritas
tujuan sehingga dibentuk kuesioner sesuai masalah, solusi dan strategi yang telah dijelaskan
sebelumnya. Adapun model penelitiannya dapat dilihat dalam gambar 2:

b. Geometric Mean
Pada tahap ini, maka berdasarkan data yang diperoleh dari hasil konsensus para pakar
dan praktisi yang menjadi responden, selanjutnya data dianalisis (kuantifikasi) menggunakan
software super decision sehingga diketahui urutan prioritas masalah penyebab minimnya
kinerja BUMD Non-Keuangan di Jawa Barat yang digambarkan pada grafik di bawah ini:

55
Masalah Internal
Kurang lengkapnya perangkat
0,2516
organisasi

Kualitas SDM masih rendah 0,213527143

Kompetensi Direksi msh blm teruji 0,271061429


Belum terlaksana secara penuh
0,263812857
prinsip GCG

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3

Gambar 3: Prioritas Masalah Internal

Berdasarkan gambar 3, diketahui dari 4 masalah internal hasil konsensus responden


mengenai penyebab minimnya kinerja BUMD Non-Keuangan di Jawa Barat, maka diperoleh
prioritas masalah internal tertinggi yaitu: “Kompetensi Direksi masih belum teruji”. Hal ini
menandakan bahwa jajaran direksi yang ada pada BUMD Non Keuangan di Jawa Barat masih
belum memiliki kualitas yang mumpuni dalam menyelesaikan semua masalah yang ada di
perusahaan. Hal ini menjadi petanda bahwa penyeleksian pengurus masih belum ketat
terutama dalam menjaring kualitas dan profesionalisme dalam hal kapabilitas organisasi dan
bisnis. Sedangkan masalah kedua yaitu “belum terlaksananya secara penuh prinsip GCG”.
Hal ini menandakan bahwa BUMD Non Keuangan di Jawa Barat belum memperhatikan
kualitas perusahaan yang tercermin melalui masih rendahnya penerapan GCG yang
semestinya harus dilakukan agar kinerja menjadi lebih baik. Bahwa jika GCG tidak diterapkan
dengan baik artinya seluruh karyawan perusahaan kurang disiplin dalam menjalankan
tugasnya masing-masing. Oleh karena itu wajar jika BUMD Non Keuangan di Jawa Barat
belum bisa memaksimalkan kinerjanya. Adapun geometrik mean (W) yang diperoleh yaitu
sebesar 0,705. Nilai tersebut cukup besar sehingga menunjukkan kesepakatan yang tinggi
diantara jawaban para responden mengenai masalah internal.
Selanjutnya mengenai masalah eksternal penyebab minimnya BUMD Non Keuangan
di Jawa Barat dapat dilihat pada gambar 4.

Masalah Eksternal
TERLALU BANYAK PERATURAN TEKNIS… 0,211452857

TERLALU BANYAK INTERVENSI DARI… 0,259457143

TERDAPAT PP YG MEMBATASI PEMDA… 0,151557143

DUKUNGAN PEMDA TERHADAP… 0,185417143

DIJADIKAN SUMBER PUNGUTAN DARI… 0,192114286

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3

56
Gambar 4: Prioritas Masalah Eksternal

Dari grafik yang disajikan pada gambar 4 dapat dilihat bahwa dua prioritas masalah
eksternal tertinggi yaitu: pertama “Terlalu banyak intervensi dari pihak
legislatif/eksekutif”. Pada umumnya BUMD masih belum bisa bekerja dengan profesional
apalagi menerapkan GCG dengan baik karena terlalu banyak intervensi dari luar terutama dari
pihak legislatif dan eksekutif. Jika hal ini masih terjadi maka dapat dipastikan BUMD di Jawa
Barat terus dalam kondisi yang tidak baik. Roda organisasi pun tidak akan berjalan dengan
lancar karena tidak ada kebebasan dalam mengendalikannya. Sekalipun baru jalan maka akan
ada banyak kepentingan pribadi dan politik yang mempengaruhinya. Berbagai bentuk
pungutan pun menjadi salah satu bentuk intervensi yang dirasakan oleh BUMD Non
Keuangan di Jawa Barat. Adapun masalah eksternal kedua tertinggi yaitu “Terlalu banyak
peraturan teknis dari pemerintah”. Aturan-aturan yang ada menjadikan BUMD Non
Keuangan di Jawa Barat tidak luwes dalam beroperasi. Untuk menjalankan suatu program
menjadi terbentur dengan birokrasi yang harus kesana-kemari sehingga menghabiskan waktu
di jalan. Hal ini menjadikan ketidak efisienan perusahaan dalam bertindak. Nilai geometrik
mean (W) yang diperoleh yaitu sebesar 0,767 yang menandakan bahwa kesepakatan jawaban
diantara para responden sangat tinggi mengenai prioritas masalah eksternal.
Langkah selanjutnya yaitu analisis solusi. Hasil analisis software mengenai prioritas
solusi internal dapat dilihat pada gambar 5.

Solusi Internal
PENYUSUNAN BUNINESS PLAN YG… 0,224801429

PENINGKATAN SELEKTIVITAS… 0,221485714

PELATIHAN2 BERHUBUGNAN DG… 0,187631429

MENERAPKAN DG BAIK PRINSIP GCG 0,21381

MANAJEMEN PENGELOLAAN TDK… 0,152271429

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25

Gambar 5: Prioritas Solusi Internal

57
Gambar 2: Jaringan ANP

58
Dari gambar 5 mengenai prioritas solusi internal, maka dari lima solusi internal yang
ada, solusi tertinggi dalam rangka mengatasi masalah minimnya kinerja BUMD Non-
Keuangan di Jawa Barat yaitu: “Penyusunan business plan yang baik”. Dibutuhkan adanya
planing bisnis dengan target yang tinggi ke depan secara teratur dan berkala. Hal ini menjadi
acuan dalam mencapai target kerja tersebut. Oleh karena itu, jika business plan telah disusun
dengan baik maka selanjutnya perusahaan wajib menjalankannya guna mencapai kinerja yang
maksimal. Prioritas kedua yaitu “meningkatkan selektivitas rekruitment direksi”. Hal ini
menjadi solusi internal yang cukup tinggi karena selama ini kompetensi direksi masih belum
teruji sehingga dibutuhkan selektivitas yang baik dalam merekrut jajaran direksi. Seleksi harus
diadakan secara terbuka bagi semua piohak tanpa adanya unsur nepotisme dari kepentingan
pribadi dan golongan. Hal yang harus diutamakan yaitu kualitas dan profesionalisme dalam
bekerja karena direksi menjadi ujung tombak dalam mengendalikan perusahaan. Dengan nilai
rater agreement (W) sebesar 0,765 yang menunjukkan bahwa diantara para responden
mempunyai kesepakatan jawaban yang tinggi.
Selanjutnya mengenai solusi eksternal dalam rangka meningkatkan kinerja BUMD
Non Keuangan di Jawa Barat dapat dilihat pada gambar 6.

Solusi Eksternal
PEMDA MENCARI CARA LAIN DLM
MEMBANTU KEUANGAN BUMD YG TDK 0,342807143
MELANGGAR PERATURAN
MEMBATASI PIHAK
EKSEKUTIF/LEGISLATIF DLM 0,332591429
MENGINTERVENSI DG PERATURAN…

AUDIT BPK SECARA BERKALA 0,3246

0,315 0,32 0,325 0,33 0,335 0,34 0,345

Gambar 6: Prioritas Solusi Eksternal

Berdasarkan grafik yang disajikan pada gambar 6, maka dapat dilihat bahwa dari 3
solusi eksternal, dua solusi tertinggi yaitu “pemda mencari cara lain dalam membantu
keuangan BUMD dengan tidak melanggar peraturan”. Artinya BUMD rata-rata
kekurangan dana dalam menjalankan usahanya, hal ini terkait dengan masalah eksternal
bahwa adanya intervensi menjadikan adanya kepentingan pribadi sehingga keuangan merosot
dan butuh dana segar yang dapat dijadikan modal oleh BUMD. Sedangkan masalah kedua
yaitu “membatasi pihak eksekutif/legislatif dalam mengintervensi dengan peraturan
yang ada”. Hal ini tentu saja harus dilakukan karena berkaitan erat dengan penyebab
menurunnya kinerja. Dengan pembatasan intervensi bahkan menghilangkannya maka
menjadikan BUMD bebas bergerak untuk memperlihatkan jati dirinya. Sehingga target yang
sebelumnya diprogramkan akan senantiasa diusahakan untuk dapat tercapai dengan baik.
Adapun nilai rater agreement (W) yang diperoleh yaitu sebesar 0,602. Nilai ini cukup besar

59
sehingga menunjukkan kesepakatan jawaban yang cukup tinggi diantara para responden
megenai solusi eksternal.
Setelah menganalisis masalah dan solusi di atas, maka langkah selanjutnya yaitu
analisis strategi yang diharapkan menjadi prioritas dalam rangka meningkatkan kinerja BUMD
Non-Keuangan di Jawa Barat. Hasil analisis software dapat dilihat pada gambar 9. Dari
gambar tersebut ditemukan bahwa dari lima strategi yang diperoleh, maka dua strategi terbaik
yang dapat digunakan yaitu: “peningkatan efisiensi perusahaan”. Saat ini banyak terjadi
ketidakefisienan pada perusahaan. Hal ini menjadikan BUMD tidak dapat mengendalikan
biaya yang cukup besar. Sedangkan strategi selanjutnya yaitu “penerapan prinsip GCG”.
Strategi ini dianggap menjadi terbaik karena jika GCG dapat dijalankan dengan baik maka
sudah barang tentu semua perangkat organisasi perusahaan dapat bekerja dengan maksimal.
Oleh karena itu menurut semua para responden bahwa kedua strategi tersebut adalah strategi
yang terbaik dalam rangka meningkatkan kinerja BUMD Non-Keuangan di Jawa Barat.
Adapun nilai rater agreement yaitu sebesar 0,765 yang menunjukkan kesepakatan
yang sangat tinggi atas jawaban masing-masing responden mengenai strategi.

Strategi
0,229095714 0,230664286
0,25 0,205821429
0,174112857 0,160302857
0,2
AXIS TITLE

0,15
0,1
0,05
0
Pembentuka Penerapan Pengintegra Peningkatan Peningkatan
n UU BUMD prinsip GCG sian seluruh anggaran efisiensi
laporan dg pendidikan perusahaan
Sistem/onlin & pelatihan
e
Strategi 0,174112857 0,229095714 0,205821429 0,160302857 0,230664286

Gambar 7: Prioritas Strategi

SIMPULAN DAN KETERBATASAN

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya
mengenai problematika kinerja BUMD Non-Keuangan di Jawa Barat, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Masalah terbesar penyebab minimnya kinerja BUMD Non-Keuangan di Jawa Barat
terdiri dari masalah internal yaitu: “kompetensi direksi masih belum teruji” yang
diikuti dengan “belum terlaksananya secara penuh prinsip GCG”. Sedangkan masalah
eksternal yaitu: “terlalu banyak intervensi dari pihak legislatif/eksekutif” yang diikuti
dengan “terlalu banyak peraturan teknis dari pemerintah”.

60
b. Solusi terbaik yang dapat dilaksanakan untuk mengatasi minimnya kinerja BUMD
Non-Keuangan di Jawa Barat terdiri dari solusi internal yaitu: “penyusunan business
plan yang baik” yang diikuti dengan “meningkatan selektivitas rekruitment direksi”.
Sedangkan solusi eksternal terdiri dari: “Pemda mencari cara lain dalam membantu
keuangan BUMD dengan tidak melanggar hukum” yang diikuti dengan “membatasi
pihak eksekutif/legislatif dalam mengintervensi dengan peraturan Pemda”.
c. Strategi terbaik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja BUMD Non-
Keuangan di Jawa Barat yaitu “peningkatan efisiensi perusahaan” dan “penerapan
prinsip GCG”.

Keterbatasan dan Saran


Penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu hanya dibatasi pada lingkup wilayah
provinsi Jawa Barat. Oleh karena itu hasil penelitian belum bisa diterapkan pada lingkup
nasional padahal masalah minimnya kinerja BUMD Non-Keuangan terjadi pada hampir
seluruh BUMD di Indonesia. Oleh karena itu penelitian perlu dikembangkan lagi dengan
lingkup nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Asaari, Fatommy. 2001. “Peningkatan Kinerja BUMD di Lingkungan Pemda DKI Jakarta:
Suatu Analisis Privatisasi dan Restrukturisasi BUMD Melalui Pengembangan Holding
Company & Municipal Bond”. Tesis Universitas Indonesia FISIP
Ascarya. 2011.”The Persistence of Low Profit and Loss Sharing Financing in Islamic
Banking: The Case of Indonesia”. Review of Indonesian Economic and Business Studies
vol. 1. LIPI economic research center
______. 2005. “Analytic Network Process (ANP) Pendekatan Baru Studi Kualitatif”. Makalah
disampaikan pada Seminar Intern Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi di
Universitas Trisakti, Jakarta
Ascarya dan Yumanita, Diana. 2010. ”Determinan dan Persistensi Margin Perbankan
Konvensional dan Syariah di Indonesia” working paper series No.WP/10/04. Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia.
Ganda, H. Rubaya. 1995. “Analisis kinerja perusahaan daerah dan formulasi alternatif merger:
studi kasus BUMD milik Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat”. Tesis Prodi Ilmu
Administrasi Universitas Indonesia
http://bandung.bisnis.com/read/20140305/5/500409/dprd-evaluasi-kinerja-3-bumd, diakses
pada tanggal 5 Maret 2014
http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/artikel/namafile/20/UkuranKerjaBUMN.pdf, diakses pada 2
September 2014
http://www.bpk.go.id/news/kinerja-buruk-empat-bumd-bakal-dievaluasi, diakses pada tanggal
12 Juni 2014

61
http://www.fajar.co.id/metromakassar/2906223_5662.html, diakses tanggal 27 Agustus 2013
http://www.koran-sindo.com/node/347999, diakses pada tanggal 29 November 20132
Indratwati, Anggita Dewi. 2010. Analisis Efisiensi Teknis BUMD (Badan Usaha Milik
Daerah) Dengan Menggunakan Metode DEA (Data Envelopment Analysis). Skripsi
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Joedo, M., Hari S., dan Nugroho D. Riant. 2006. “Reinventing Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD)”. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Kamaluddin, Rustian. 2000. “Peran dan Pemberdayaan BUMD Dalam Rangka Peningkatan
PerekonomianDaerah”,http://www.bappenas.go.id/files/3913/5022/6047/rustian_200910
15125917_2359_0.pdf, diakses pada 2 September 2014
Kurniawati, Erna. 2009. “Analisis Rasio Keuangan Untuk Menilai Kinerja Perusahaan daerah
Air Minum (Studi Kasus pada PDAM di Kota Sorong)”. Analisis, Vol. 6 No. 2
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000
Rachmawati, Hayuni. 2004. “Kinerja BUMD dalam Menunjang PAD dan Masuknya
Investasi/Investor ke Kabupaten Bandung (Suatu Subtema dari Manajemen
Pembangunan Daerah)”. Jurnal Ilmu Administrasi, No. 1, vol. 2.
Saaty, Thomas L and Vargas, Louis G. 2006. Decision Making with the Analitic Network
Process. Economic, Political, Social and Technological Applications with Benefits,
Opportunities, Costs and Risks. Springer. RWS Publication, Pittsburgh.

62
THE RELATIONSHIP BETWEEN EMPLOYEE PRODUCTIVITY OF
WORK CULTURE
(CASE STUDY: NATASHA SKIN CARE, SUPRATMAN BANDUNG)

Oleh :
Yelli Eka Sumadhinata
E-mail: yelli.sumadhinata@widyatama.ac.id
Faculty Of Business and Management, Widyatama University

ABSTRACT

Competition is happening at this moment is not only on a company engaged in manufacturing


but also occur in a company engaged in the service. The intense competition among the
business community must be addressed quickly and appropriately by organizations, because of
competition can lead to a change in an organization both change management and
organizational structure changes that would have an impact on changes in work culture in the
organization. Work culture is a philosophy with a view of life based on the values that
characterize, driving habits and also cultivated in a group and be reflected in the attitudes of
behavior, ideals, ideas, opinions and actions are manifested as a job. (Source: Supriyadi and
Guno, http: //id.wikimedia.org/wiki/budaya work). Good work culture is expected to provide
positive motivation for employees to increase their productivity. Natasha Skin Care is a
company engaged in the field of skin care services and skin care clinic that combines the latest
technology in skin care and professionals (http://www.natasha-skin.com), so the role of
employees in delivering the product to the consumer is very important therefore the purpose of
this study was to determine how the relationship between the work culture on employee
productivity in natasha skin care (case study in the way Supratman natasha skin care duo).
The method used in this research is descriptive method, based on calculations using the
Spearman rank obtained for rs 0,523 . Because rs is between 0.400 to 0.599, the relationship
between work culture on employee productivity can be quite strong, while the influence of
work culture on employee productivity by 27.35%, while the remaining 72, 65% are
influenced by other factors not examined in this study.

Keywords: work culture and employee productivity

PENDAHULUAN

Budaya kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai
yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok
dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan
yang terwujud sebagai kerja. (Sumber : Supriyadi dan
Guno,http://id.wikimedia.org/wiki/budaya kerja). Budaya kerja yang baik diharapkan dapat

63
memberikan motivasi yang positif bagi karyawan dalam meningkatkan produktivitas kerja
karyawan tersebut. Produktivitas karyawan merupakan kemampuan seseorang untuk
menggunakan kekuatannya dan mewujudkan segenap potensi yang apa adanya menggunakan
kemampuan atau mewujudkan segenap potensi guna mewujudkan kreativitas (sedarmayanti
2009:82). Sumber daya manusia yang terampil dan memiliki keahlian belum menjamin
memiliki produktivitas kerja yang baik apabila mereka bekerja dalam budaya kerja yang
kurang baik atau kurang kondusif dalam mengembangkan potensi atau kemampuan yang
dimiliki, oleh karena itu peranan budaya kerja terhadap produktivitas sangatlah penting.
Menurut Gering Supriyadi dan Triguno (2009:11) yaitu : “Melaksanakan budaya kerja
mempunyai arti yang sangat dalam, karena akan merubah sikap dan perilaku sumber daya
manusia untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan
masa depan”. Sehingga diharapkan budaya kerja yang terbentuk secara positif dapat
mendorong produktivitas kerja karyawan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya.

PEMBAHASAN

Metode Analisis
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu metode penelitian
yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian
dilakukan.

Populasi
Menurut Sugiyono (2010:115) yang dimaksud dengan Populasi adalah : “Wilayah
generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi penelitian adalah seluruh karyawan Natasha skin
care yang berlokasi di jalan supratman bandung , yaitu sejumlah 34 orang.

Operasional Variabel

64
Tabel 1
Operasionalisasi Variabel
Variabel Dimensi Indikator Skala
Budaya Kerja 1. Integritas 1. Bertakwa Ordinal
2. Jujur
Budaya kerja merupakan
3. Menjaga kehormatan
nilai-nilai dominan yang
dan nama baik
disebarluaskan di dalam
4. Taat pada kode etik
organisasi dan diacu
2. Profesionalisme 1. Bertanggung jawab Ordinal
sebagai filosofi kerja
2. Efektif
karyawan Djokosantoso
3. Efisien
Moeljono (2006:17)
4. Berorientasi ke masa
depan
5. Tantangan
3. Kepuasan Nasabah 1. Memberikan pelayanan Ordinal
terbaik kepada nasabah
4. Keteladanan 1. Panutan Ordinal
2. Bertindak adil
3. Tegas
4. Berjiwa besar
5. Penghargaan SDM 1. Kepercayaan Ordinal
2. Keterbukaan
3. Keadilan
4. Saling menghargai
5. Kerjasama
6. Penghargaan
Produktivitas 1. Kualifikasi 1. Kompeten Ordinal
pekerjaan 2. Kreatif
Rasio antara keluaran
3. Inovatif
(Output) dan masukan
4. Memahami pekerjaan
(Input) yang bernilai
5. Mencari perbaikan
A.Dale Timple 2. Bermotivasi Tinggi 1. Tekun Ordinal
(2002:107) 2. Kemauan keras
3. Inisiatif
4. Berorientasi
5. Tepat waktu
3. Orientasi pekerjaan 1. Menetepkan standar Ordinal
2. Kebiasaan kerja
3. Terlibat dalam
pekerjaan
4. Cermat
5. Hubungan manajemen
4. Dewasa 1. Kekuatan/kelemahan Ordinal
2. Disiplin diri
3. Hidup dalam dunia
“nyata”
4. Emosional
5. Ambisi
5. Bergaul dengan 1. Kecerdasan sosial Ordinal
Efektif 2. Pribadi menyenangkan
3. Berkomunikasi
4. Antusiasme

65
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan dengan :
1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevaliddan atau kesahihan
suatu instrument (Suharsimi Arikunto, 1998:160)
2. Uji Realibilitas
Kuesioner diuji dengan menggunakan metode Croanbach Alpha dari masing-masing item
dalam satu variabel
Koefisien Cronbach Alpha :
k ∑ Si 2
£it = 1-
k-1 S t2

Keterangan :
k = jumlah butir kuesioner
£it = Koefisien keterandalan butir kuesioner
∑ Si 2 =
Jumlah variansi skor butir yang valid
St2 = variansi total skor butir
Sedangkan kuesioner disebut reliabel atau andal jika jawaban seseorang terhadap
pertanyaan adalah konsisten dan stabil dari waktu ke waktu (Singgih Santoso, 2001:270).
Jika instrumen memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi jika nilai koefisien yang diperoleh ≥
0.60.

3. Koefisien Korelasi Rank Spearman


Koefisien korelasi rank spearman digunakan untuk mengukur kuat atau lemahnya hubungan
variabel independen dan variabel dependen. Digunakannya korelasi rank spearman, karena
data dalam penelitian ini berbentuk data tipe ordinal. Menurut Simamora (2004:173) ukuran
korelasi yang tepat untuk data tipe ordinal, salah satunya bisa menggunakan korelasi
spearman. Kedua variabel yang diukur dalam penelitian ini yaitu, budaya kerja sebagai
variabel independen, dan produktivitas sebagai variabel dependen.
Rumus koefisien korelasi rank spearman menurut Simamora (2004:235) adalah sebagai
berikut:

66
n
6 di 2
i 1
rs = 1-
n3  n

Apabila dalam penelitian ditemukan dua subjek atau lebih yang mempunyai nilai yang sama,
maka digunakan rumus sebagai berikut:

rs
 x 2   y 2   di 2
=
2  x * y
2 2

dimana:
n3  n n3  n
 x2  12
  Tx  y2  12
  Ty

Keterangan:
rs : Koefisien korelasi
X : Variabel bebas
Y : Variabel terikat
n : Banyaknya sampel
di : Selisih rank X dan rank Y
 x : Jumlah kuadrat variabel X
2

y 2
: Jumlah kuadrat variabel Y
Rank kembar dapat dikatakan berpengaruh terhadap rs apabila proporsi dari rank kembar ini
cukup besar, maka dalam perhitungan (koefisien korelasi) perlu dimasukan faktor koreksinya,
yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
t3  t
T
12

Dimana:
T : Faktor koreksi
t : Menunjukan jumlah rank kembar dan penelitian
Menurut Simamora (2004:331), nilai koefisien korelasi terletak antara -1 dan 1, yaitu -1≤ r ≤
1, dengan ketentuan:
1. Apabila rs = 0 atau mendekati 0, maka hubungan antara kedua variabel sangat lemah atau
tidak terdapat hubungan sama sekali.
2. Apabila rs = 1 atau mendekati 1, maka hubungan antar kedua variabel dikatakan sangat
kuat dan searah, artinya kenaikan atau penurunan nilai X akan terjadi bersamaan dengan
kenaikan dan penurunan nilai Y.
3. Apabila rs = -1 atau mendekati -1, maka hubungan antar kedua variabel dikatakan sangat
kuat dan berlawanan arah, artinya kenaikan nilai X akan terjadi bersama-sama dengan
penurunan nilai X atau sebaliknya.

67
Menurut Riduwan (2003:228) dapat diketahui seberapa kuat atau lemah hubungan variabel
dengan ketentuan sebagai berikut:

Tabel 2
Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r
Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0.00 – 0.199 Sangat lemah


0.20 – 0.399 Lemah
0.40 – 0.599 Cukup
0.60 – 0.799 Kuat
0.80 – 1.000 Sangat kuat
Sumber : Riduwan (2003:228)

4. Uji Hipotesis
Ho: rs ≤ 0 : Tidak terdapat hubungan antara budaya kerja dengan produktivitas kerja
Ha: rs > 0 : Terdapat hubungan antara budaya kerja dengan produktivitas kerja
Kriteria :
Jika t hitung ≤ dari t tabel, maka Ho diterima.
Jika t hitung > dari t tabel, maka Ho ditolak.
5. Koefisien Determinasi
Analisis ini digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari variabel bebas
(independent variabel) terhadap variabel terikat (dependent variabel) dinyatakan dalam
rumus sebagai berikut:
Kd = rs2 x 100%
Keterangan :
Kd :Koefisien Determinasi
rs :Koefisien Korelasi Rank Spearman

Hasil Analisis
1. Uji Validitas
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka hasil pengujian validitas dapat ditunjukkan
pada Tabel 3 dan Tabel 4 sebagai berikut

68
Tabel 3 Hasil Pengujian Validitas Pada Variabel Budaya Kerja

Item r-hitung r-tabel Kesimpulan


X1 0,540 0,2869 VALID
X2 0,795 0,2869 VALID
X3 0,540 0,2869 VALID
X4 0,540 0,2869 VALID
X5 0,795 0,2869 VALID
X6 0,531 0,2869 VALID
X7 0,510 0,2869 VALID
X8 0,419 0,2869 VALID
X9 0,795 0,2869 VALID
X10 0,531 0,2869 VALID
X11 0,795 0,2869 VALID
X12 0,545 0,2869 VALID
X13 0,620 0,2869 VALID
X14 0,474 0,2869 VALID
X15 0,419 0,2869 VALID
X16 0,540 0,2869 VALID
X17 0,540 0,2869 VALID
X18 0,795 0,2869 VALID
X19 0,531 0,2869 VALID
X20 0,510 0,2869 VALID
(Sumber : Data primer yang diolah, 2014)

Dari tabel diatas yaitu pernyataan variabel budaya kerja yang mempunyai nilai lebih besar
dari nilai kritis tabel pada taraf nyata £=0,05 yaitu sebesar 0,2869 dengan rentang 0,419
sampai dengan 0,795,maka pernyataan budaya kerja adalah valid.

69
Tabel 4 Hasil Pengujian Validitas Pada Variabel Produktivitas Kerja
Item r-hitung r-tabel Kesimpulan
Y1 0,586 0,2869 VALID
Y2 0,865 0,2869 VALID
Y3 0,647 0,2869 VALID
Y4 0,761 0,2869 VALID
Y5 0,707 0,2869 VALID
Y6 0,761 0,2869 VALID
Y7 0,685 0,2869 VALID
Y8 0,865 0,2869 VALID
Y9 0,865 0,2869 VALID
Y10 0,865 0,2869 VALID
Y11 0,865 0,2869 VALID
Y12 0,779 0,2869 VALID
Y13 0,761 0,2869 VALID
Y14 0,752 0,2869 VALID
Y15 0,865 0,2869 VALID
Y16 0,752 0,2869 VALID
Y17 0,865 0,2869 VALID
Y18 0,865 0,2869 VALID
Y19 0,779 0,2869 VALID
Y20 0,685 0,2869 VALID
Y21 0,761 0,2869 VALID
Y22 0,761 0,2869 VALID
Y23 0,865 0,2869 VALID
Y24 0,865 0,2869 VALID
(Sumber : Data primer yang diolah, 2014)
Untuk variabel produktivitas yang mempunyai nilai lebih besar dari nilai kritis tabel pada taraf
nyata £=0,05 yaitu sebesar 0,2869 dengan rentang 0,586 sampai dengan 0,865 maka pernyataan
produktifitas adalah valid.

2. Uji Reliabilitas
Hasil Uji Realibitas variabel x
Reliabi lity Statisti cs

Cronbach's
Alpha N of Items
,731 10

Hasil Uji Realibitas variabel y


Reliabi lity Statisti cs

Cronbach's
Alpha N of Items
,830 18

70
Dari hasil diatas menunjukkan bahwa semua variabel mempunyai Cronbach Alpha yang
cukup besar yaitu di atas 0,60 sehingga dapat dikatakan bahwa data hasil angket memiliki
tingkat reliabilitas yang baik, atau dengan kata lain data hasil angket dapat dipercaya.
3. Koefisien Korelasi Rank Spearman
Perhitungan Korelasi Rank Spearman
Variabel X dan Variabel Y

Correlati ons

Produkt iv it as
Buday a Kerja Kary awan
Spearman's rho Buday a Kerja Correlation Coef f icient 1,000 ,523**
Sig. (1-tailed) . ,001
N 34 34
Produkt iv it as Kary awan Correlation Coef f icient ,523** 1,000
Sig. (1-tailed) ,001 .
N 34 34
**. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (1-tailed).

Berdasarkan hasil perhitungan korelasi Rank Spearman, maka diperoleh nilai rs


sebesar 0,523. Karena nilai rs berada diantara 0,400-0,599 maka hubungan antara budaya
kerja dengan produktivitas dapat dikatakan cukup

4. Uji Hipotesis
Jika t hitung ≥ t tabel maka Ho akan ditolak
Jika t hitung < t tabel maka Ho akan diterima
Menghitung t tabel :
T tabel =t(α, df)
= 1,6938
Menghitung t hitung :
T hit = rs √(𝑛 − 2)
1- rs2

= 0,544 √(34 − 2)

1- 0,544 2
= 3,667

Diperoleh nilai t tabel sebesar 1,6938 , dan t hitung sebesar 3,667, maka : t hitung > t tabel =
3,667> 1,6938 = Ho ditolak
Ditolaknya Ho menunjukkan Terdapat hubungan antara budaya kerja dengan
produktivitas kerja

5. Koefisien Determinasi

71
Untuk mengetahui besarnya pengaruh budaya kerja terhadap produktivitas di Natasha Skin
Care dalam bentuk persentase, maka digunakan perhitungan koefisien determinasi dengan
rumus sebagai berikut:
r2
Kd = s x 100%
= (0,523)2 x 100%
= 27,35%
Besarnya pengaruh budaya kerja terhadap produktivitas di natasha skin care sebesar 27,35%
dan sisanya 72,65% dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak diteliti oleh penulis

KESIMPULAN

1. Berdasarkan hasil perhitungan korelasi Rank Spearman, maka diperoleh nilai rs sebesar
0,523. Karena nilai rs berada diantara 0,400-0,599 maka hubungan antara budaya kerja
dengan produktivitas dapat dikatakan cukup
2. Besarnya pengaruh budaya kerja terhadap produktivitas di natasha skin care sebesar
27,35% dan sisanya 72.65% dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak diteliti oleh
penulis
3. Pengujian Hipotesis dengan tingkat kekeliruan 5% dapat dilihat bahwa t hitung = 3,667 lebih
besar dari ttabel = 1,6938 Ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima, maka Terdapat hubungan
antara budaya kerja dengan produktivitas kerja
4. Keterbatasan pada penelitian ini belum semua variabel diteliti .

DAFTAR PUSTAKA

http ://www.natasha_skin.com

Moeljono, Djokosantoso. 2006. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi, Edisi Revisi.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Riduwan Drs., M.BA. 2003. Dasar-Dasar Statistika, Cetakan ketiga. Bandung : Alfabeta

Santoso, Singgih. 2001. Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta :PT. Alex Media
Komputindo.

Sedamaryanti, 2009. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas kerja. Bandung : Mandar Maju

Simamora, Bilson. 2004. Riset Pemasaran. Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.

72
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : CV Alfabeta.

Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta

Supriyadi dan Guno, http://id.wikimedia.org/wiki/budaya kerja

Supriyadi, Gering Triguno. 2009. Budaya Kerja Organisasi Pemerintah. Jakarta : Lembaga
Administrasi Negara

Timpe. A. Dale.2002 seri Manajemen Sumber Daya Manusia7, Produktivitas. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo

73
PENGARUH KEPEMIMPINAN VISIONER DAN MOTIVASI
TERHADAP KINERJA ORGANISASI
(STUDI PADA UKM PAGUYUBAN BATIK GIRILOYO DI
KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA)

Oleh :
Yuni Siswanti , Istiana Rahatmawati1)
1)

E-mail: yuni_sis2@yahoo.co.id
1)
Dosen Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Yogyakarta

ABSTRACT

The purpose of this study was to examined the effect of visionary leadership and motivation to
organizational performance (H1), the effect of the visionary leadership to organizational
performance (H2), and the effect of job motivation to organizational performance (H3). The
research method used is descriptive and explanatory survey. Sampling technique used is
purposive sampling from 48 respondents (from 12 Batik’s Small and Medium Enterprises/ 12
SME’s in Giriloyo Bantul Yogyakarta). Data collection techniques among other things by
distributing a questionnaire (questionnaire), limited interviews, and observation. Data
collection tool in the form of questionnaire. Analysis hypothesis using regression analysis.
Based on research results, it can be concluded that the effect of visionary leadership and
motivation have positive impact and significant with organizational performance. The
meaning of a positive relationship here is that if the visionary leadership and job motivation
increases, the organizational performance will also increase. Visionary leadership have a
positive and significant effect on the organizational performance. Job motivation have a
positive and significant effect on the organizational performance.

Keywords : visionary leadership, job motivation, organizational performance, SME

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Menghadapi era perubahan seperti saat ini, setiap organisasi dituntut memiliki
kemampuan yang ekstra untuk bisa bersaing dengan organisasi lainnya agar tetap eksis dan
disegani oleh stakeholder. Satu hal yang sangat penting untu menjadi perhatian organisasi
adalah masalah kepemimpinan, mengingat kepemimpinan tidak bisa dilepaskan dari
bagaimana seseorang menjadi figur krusial dalam organisasinya menuju kesuksesannya.
Kepemimpinan adalah seni untuk memotivasi individu dan kelompok agar mau melakukan
aktivitas untuk mencapai tujuan umum organisasi (Maria, 2012).

74
Ada beragam gaya kepemimpinan yang bisa dipilih untuk diaplikasikan dalam
organisasi masing-masing. Salah satu gaya yang unik dan layak untuk dipraktikkan di era
perubahan sekarang ini adalah kepemimpinan visioner.
Visioner, berasal dari kata visi, yaitu daya pandang jauh ke depan, mendalam dan luas
yang merupakan daya pikir abstrak yang memiliki kekuatan amat dahsyat yang dapat
menerobos segala batas-batas fisik, waktu dan tempat. Gerak dimensi tersebut tergantung daya
imajinasi manusia, didasari alasan dan melalui argumen yang rasional. Kepemimpinan
Visioner adalah pemimpin yang memiliki dan selalu berorientasi pada masa depan, apa yang
ingin diwujudkan di masa depan dari realita yang sedang dihadapi (Mufaizah, 2008). Seth
Kahan (2002), menjelaskan bahwa kepemimpinan visioner melibatkan kesanggupan,
kemampuan, kepiawaian yang luar biasa untuk menawarkan kesuksesan dan kejayaan di masa
depan. Seorang pemimpin yang visioner mampu mengantisipasi segala kejadian yang
mungkin timbul, mengelola masa depan dan mendorong orang lain utuk berbuat dengan cara-
cara yang tepat. Hal itu berarti, pemimpin yang visioner mampu melihat tantangan dan
peluang sebelum keduanya terjadi sambil kemudian memposisikan organisasi mencapai
tujuan. Corinne McLaughlin (2001) mendefinisikan pemimpin yang visioner (Visionary
leaders) adalah mereka yang mampu membangun ‘fajar baru’ (a new dawn) bekerja dengan
intuisi dan imajinasi, penghayatan, dan boldness. Mereka menghadirkan tantangan sebagai
upaya memberikan yang terbaik untuk organisasi dan menjadikannya sebagai sesuatu yang
menggugah untuk mencapai tujuan organisasi. Mereka bekerja dengan kekuatan penuh dan
tercerahkan dengan tujuan-tujuan yang lebih tinggi.Pandangannya jauh ke depan. Mereka
adalah para social innovator, agen perubah, memandang sesuatu dengan utuh (big picture) dan
selalu berfikir strategis.
Kepemimpinan visioner, adalah pola kepemimpinan yang ditujukan untuk memberi arti
pada kerja dan usaha yang perlu dilakukan bersama-sama oleh para anggota organisasi dengan
cara memberi arahan dan makna pada kerja dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi yang
jelas (Kartanegara, 2003 dan Siswanti, 2008).
Visi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang ingin dicapai secara ideal dari seluruh
aktivitas. Visi juga dapat diartikan sebagai gambaran mental tentang sesuatu yang ingin
dicapai di masa depan.
Kepemimpinan visioner memiliki ciri-ciri yang menggambarkan segala sikap dan perilakunya
yang menunjukkan kepemimpinannya yang berorientasi kepada pencapaian visi, jauh
memandang ke depan dan terbiasa menghadapi segala tantangan dan resiko. Diantara cirri-ciri
utama kepemimpinan visioner adalah (Siswanti, 2008):
1. Berwawasan ke masa depan, bertindak sebagai motivator, berorientasi pada the
best performance untuk pemberdayaan, kesanggupan untuk memberikan arahan konkrit
yangsistematis.
2. Berani bertindak dalam meraih tujuan, penuh percaya diri, tidak peragu dan selalu siap
menghadapi resiko. Pada saat yang bersamaan, pemimpin visioner juga menunjukkan
perhitungan yang cermat, teliti dan akurat. Memandang sumber daya, terutama sumberdaya
manusia sebagai asset yang sangat berharga dan memberikan perhatian dan perlindungan
yang baik terhadap mereka.
3. Mampu menggalang orang lain untuk kerja keras dan kerjasama dalam mencapai tujuan,
menjadi model (teladan) yang secara konsisten menunjukkan nilai-nilai kepemimpinannya,
memberikan umpan balik positif, selalu menghargai kerja keras dan prestasi yang
ditunjukkan oleh siapun yang telah memberi kontribusi.

75
4. Mampu merumuskan visi yang jelas, inspirasional dan menggugah, mengelola ‘mimpi’
menjadi kenyataan, mengajak orang lain untuk berubah, bergerak ke ‘new place’ . Mampu
memberi inspirasi, memotivasi orang lain untuk bekerja lebih kreatif dan bekerja lebih
keras untuk mendapatkan situsi dan kondisi yang lebih baik.
5. Mampu mengubah visi ke dalam aksi, menjelaskan dengan baik maksud visi kepada orang
lain, dan secara pribadi sangat commited terhadap visi tersebut.
6. Berpegang erat kepada nilai-niliai spiritual yang diykininya. Memiliki integritas
kepribadian yang kuat, memancarkan energy, vitalitas dan kemauan yang membara untuk
selalu berdiri pada posisi yang segaris dengan nilai-nilai spiritual. Menjadi orang yang
terdepan dan pertama dalam menerapkan nilai-nilai luhur, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Mahatma Gandhi: “I must first be the change I want to see in my world.
7. Membangun hubungan (relationship) secara efektif, memberi penghargaan dan respek.
Sangat peduli kepada orang lain (bawahan), memandang orang lain sebagai asset berharga
yang harus di perhatikan, memperlakukan mereka dengan baik dan ‘hangat’ layaknya
keluarga. Sangat responsif terhadap segala kebutuhan orang lain dan membantu mereka
berkembang, mandiri dan membimbing menemukan jalan masa depan mereka.
8. Inovatif dan proaktif dalam menemukan ‘dunia baru’. Membantu mengubah dari cara
berfikir yang konvensional (old mental maps) ke paradigma baru yang dinamis. Melakukan
terobosan-terobosan berfikir yang kreatif dan produktif. Lebih bersikap atisipatif dalam
mengayunkan langkah perubahan.
Yunanto (2013) menyatakan kepemimpinan yang baik terikat erat dengan kualitas
internal organisasi (budaya dan iklimnya), yang kemudian dekat dengan kepuasan dan
kesetiaan pegawai, dan ketika kepuasan dan kesetiaan pegawai meningkat, produktivitas juga
meningkat sehingga berimbas pada nilai yang ditawarkan pada pelanggan. Maka, beberapa
aspek produktivitas terletak pada orang-orang yang bekerja didalamnya. Produktivitas
merupakan hal yang diberikan pegawai pada atasan mereka yang memperlakukan mereka
dengan baik dan menciptakan lingkungan kerja yang baik, sehingga isu mengenai bagaimana
pegawai diperlakukan memiliki pengaruh yang jelas. Menurut Maria (2012), efektivitas
kepemimpinan akan berpengaruh terhadap kinerja organisasi.
Kinerja organisasi juga bisa dipengaruhi oleh motivasi kerja. Ketika motivasi kerja
meningkat, akan berdampak terhadap peningkatan kinerja organisasi. Motivasi berasal dari
kata motif, yaitu apa yang menggerakan atau mendorong seseorang melakukan suatu yang
berhubungan dengan jawaban pertanyaan mengapa demikian tingkah laku sesorang. Motivasi
adalah dasar terpenting untuk menetapkan sebuah perencanaan, ketrampilan organisasi dan
pembuatan kebijakan serta penilaian perilaku kognitif. Menurut Maslow (dalam Robbins,
2010) perilaku seseorang ditentukan oleh kebutuhannya yang paling mendesak dan
mengatakan setiap orang mempunyai suatu hirarki kebutuhan, dan secara berturut-turut terdiri
dari : physiological needs, safety needs, social needs, esteem needs, dan self actualization
needs. Pada dasarnya perilaku adalah goal-oriented. Dengan kata lain perilaku pada umumnya
dimotivasi oleh keinginan memperoleh kebutuhan. Sesuai dengan itu menurut Maslow (dalam
Robbins, 2010) sehubungan dengan hierarki kebutuhan seseorang, maka yang mendorong
seseorang berperilaku tertentu dipengaruhi oleh kebutuhan yang paling mendesak.
Teori David Mc Clelland (Robbins, 2010) mengatakan bahwa yang utama menyebabkan
apakah seseorang berprestasi atau tidak adalah ada tidaknya need of achievement pada orang
yang bersangkutan. Ciri-ciri orang yang berprestasi adalah :
a. Berusaha membuat sesuatu dengan lebih baik,

76
b. Adanya ambisi dengan perhitungan rasional
c. Tidak menggantungkan diri pada nasib.
Menurut McClelland (Robbins, 2010) ada tiga kebutuhan manusia yang menjadi fokus
dalam teorinya :
1) Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement)
2) Kebutuhan untuk berafiliasi (need for affilation)
3) Kebutuhan untuk kekuasaan (need for power)
McClelland menjelaskan bahwa setiap individu memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil.
Dorongan ini mengarahkan individu untuk berjuang lebih keras untuk memperoleh pencapaian
pribadi ketimbang memperoleh penghargaan. Hal ini kemudian menyebabkan ia melakukan
sesuatu yang lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Dorongan pertama ini dapat disebut
sebagai nAch yaitu kebutuhan akan pencapaian. Kebutuhan kekuasaan (nPow) merupakan
keinginan untuk memiliki pengaruh, menjadi yang berpengaruh, dan mengendalikan individu
lain. Dalam bahasa sederhana, ini adalah kebutuhan atas kekuasaan dan otonomi. Kebutuhan
ketiga yaitu nAff adalah kebutuhan untuk memperoleh hubungan sosial yang baik dalam
lingkungan kerja. Kebutuhan ini ditandai dengan memiliki motif yang tinggi untuk
persahabatan, lebih menyukai situasi kooperatif (dibandingkan kompetitif), dan menginginkan
hubungan-hubungan yang melibatkan tingkat pengertian mutual yang tinggi. McClelland
mengatakan bahwa kebanyakan orang memiliki dan menunjukkan kombinasi tiga karakteristik
tersebut, dan perbedaan ini juga mempengaruhi bagaimana gaya seseorang berperilaku.
Hasil riset Uzonna (2013) menemukan bahwa program-program motivasi dapat
menghasilkan kinerja yang yang lebih baik bagi organisasi. Hasil studi Olumuyiwa et al., 2012
menyatakan bahwa motivasi memainkan peran yang sangat penting untuk meningkatkan
kinerja. Riset Chaudary dan Sharma (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi motivasi
individu untuk bekerja, dapat meningkatkan kinerja organisasi (produktivitas tinggi). Motivasi
individu merupakan aset penting untuk memelihara dan memperkuat bisnis dan pertumbuhan
pendapatan. Riset Ritz (2009) menyebutkan bahwa kebutuhan untuk mencapai tujuan
(motivasi) dapat berpengaruh terhadap kinerja organisasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kepemimpinan
visioner dan motivasi kerja terhadap kinerja organisasi, baik secara serentak maupun parsial.
Populasi riset diambil dari para pembatik yang tergabung dalam UKM Paguyuban Batik
Giriloyo Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Keterampilan membatik di Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, telah menjadi salah satu
tradisi masyarakat yang sangat mengakar. Sebagian besar penduduk setempat memiliki
keterampila melukis malam di atas selembar kain. Keterampilan khas ini diperoleh secara
turun temurun dari garis keturunan setiap keluarga, mulai dari anak kecil hingga para lansia,
terutama dikerjakan oleh para perempuan. Konon, keberadaan batik Giriloyo telah mulai ada
sejak pembagunan kompleks makam raja-raja Imogiri. Oleh penduduk setempat, anggota
keluarga Kerajaan Mataram Islam saat itu diyakini sebagai pembawa tradisi membatik kepada
penduduk setempat. Seiring waktu, tradisi membatik menjadi salah satu penopang
perekonomian sebagian besar penduduk hingga saat ini.
Pada tahun 1990-an hingga sebelum gempa dahsyat Mei 2006, sebagian penduduk
sempat meninggalkan tradisi membatik, karena lesunya kondisi pasar saat itu. Masa kelam
kerajinan batik di Giriloyo mulai berlalu pasca gempa bumi 2006. Banyak Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) baik lokal maupun internasional masuk ke Giriloyo untuk proses
rehabilitasi. Berbagai pelatihan diberikan kepada para pembatik, seperti mewarnai batik

77
hingga pembjuatan batik motif baru dan kontemporer. Pasca gempa merupakan tonggak
kebangkitan batik. Kelompok-kelompok batik pun muali bermunculan. Dari sini motof-motif
batik kontemporer kian memperkaya ragam batik Giriloyo, karya perajin batik dengan
memadukan trend masa kini dengan motif batik. Meskipun demikian, para perajin tetap
memproduksi batik motif klasik seperti Sidoasih, Sidomukti, Garuda, Nitik Jombrang, hingga
lodek. Pembelinya dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk sejumlah negara di Eropa
seperti Jerman, Perancis. Tingginya angka permintaan batik, sehingga omset tiap kelompok
batik di Giriloyo mencapai rata-rata Rp 20 juta.
Ketua Paguyuban Batik Giriloyo, Nur Ahmadi menyatakan bahwa bagi warga,
membatik merupakan sumber utama perekonomian. Ada 15 kelompok perajin yang tergabung
dari 3 pedukuhan, yakni Giriloyo, Cengkehan, dan Karangkulon. Sebagai ketua paguyuban,
sekaligus pimpinan utama Paguyuban Batik Giriloyo, Nur ahmadi senantiasa mengelola dan
memimpin anggotanya seoptimal mungkin sehingga mereka menghasilkan batik yang
berkualitas. Di sisi lain, sebagai pimpinan, tak henti-hentinya Nur ahmadi memotivasi
anggota-anggotanya untuk terus menerus meningkatkan keterampilan membatiknya dengan
senantiasa melihat keinginan pasar, sehingga hasil membatik tidak monoton namun bervariasi
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pangsa pasar.

Metode Penelitian

Subyek penelitian ini adalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Paguyuban Batik
Giriloyo di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Jenis penelitian menggunakan penelitian survei.
Sedangkan populasinya adalah seluruh UKM yang tergabung dalam paguyuban batik giriloyo
di Kabupaten Bantul. Jenis penelitian adalah penelitian survei. Populasi dalam riset ini adalah
seluruh UKM yang tergabung dalam batik tulis Giriloyo di Kabupaten Bantul, terdiri dari 15
kelompok UKM. Pengambilan sampel dengan teknik purpossive sampling, yaitu sejumlah 12
kelompok UKM batik dalam Paguyuban Batik Giriloyo. Kriteria pemilihan sampel adalah:
mereka yang memiliki keterampilan membatik, dan menduduki posisi sebagai ketua, wakil
ketua, sekretaris, dan bendahara di kelompoknya masing-masing.

78
Tabel 1

Nama-nama Kelompok UKM Paguyuban Batik Giriloyo

No. Kelompok Paguyuban Jumlah Sampel


1. Sri Kuncoro 4
2. Batik Lestari 4
3. Batik Sungging 4
4. Bima Sakti 4
5. Sekar Arum 4
6. Sido Mukti 4
7. Sungging Tumpuk 4
8. Sekar Kedaton 4
9. Suka Maju 4
10. Pinggir Gunung 4
11. Giri Indah 4
12. Sari Sumekar 4
Jumlah 48
Sumber: UKM Paguyuban Batik Giriloyo

Dari sejumlah 48 kuesioner yang dibagikan, kuesioner yang kembali dan diisi lengkap
sejumlah 40. Sumber data berasal dari: data primer (kuesioner, observasi, dan wawancara),
serta data sekunder (jumlah UKM dan nama-nama UKM). Skala pengukuran menggunakan
skala Likert (skala 5). Uji instrumen dengan uji validitas (confirmatory analysis), dan uji
reliabilitas (melihat dari Cronbach Alpha). Hasil uji validitas, semua item mengelompok
sesuai dengan variabel masing-masing. Demikian pula dengan hasil uji reliabiltas, ketiga
variabel memiliki koefisien Cronbach Alpha di atas 0,6.
Pengukuran variabel: kepemimpinan visioner (9 item), motivasi kerja (12 item yang
dikembangkan oleh Mc Clelland), dan kinerja organisasi 29 item yang dikembangkan oleh
Ghalayani dan Noble (1998). Indikator kinerja organisasi meliputi: Perspektif financial
measures (3 item), perspektif marketing (2 item), perspektif productivity (5 item), perspektif
Flexibility (4 item), perspektif customer (3 item), perspektif cost (3 item), perspektif process
time (5 item), perspektif delivery (2 item), dan perspektif quality (2 item).
Teknik analisis data dengan menggunakan analisis regresi berganda, dengan persamaan
sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + e
Y = Kinerja organisasi
X1= Kepemimpinan Visioner
a = konstanta
e = error term

A. Analisis Diskriptif Responden

Berikut data berhubungan dengan diskriptif responden:

79
Tabel 2
Karakteristik Responden
Umur Jumlah Prosentase
20 – 30 tahun 6 15%
31 – 40 tahun 20 50%
41 – 50 tahun 12 30%
51 – 60 tahun 2 5%
Jenis Kelamin Jumlah Prosentase
Laki-laki 4 10%
Perempuan 36 90%
Jabatan Responden Jumlah Prosentase
Ketua 13 32,5%
Wakil Ketua 11 27,5%
Sekretaris 12 30%
Bendahara 4 10%
Jumlah 40 100%
Sumber: Data Primer, 2014

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden (pembatik) berusia
31 – 40 tahun. Di usia ini masuk usia produktif, dan biasanya baru memiliki anak yang
relatif masih kecil, sehingga di samping tugas utama membesarkan anak, pekekrjaan
membatik dapat dilakukan di rumah masing-masing tanpa meninggalkan tanggung jawab
sebagai ibu dan istri di rumah. Dari tabel 2 juga diketahui sebagian besar responden adalah
kaum perempuan. Hal ini disebabkan untuk membatik membutuhkan ketelatenan,
kesabaran, dan ketelitian. Pada umumnya perempuan lebih banyak memiliki hal-hal di atas.

B. Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif dengan Regresi Linear Berganda digunakan untuk
mengetahui besarnya pengaruh variabel independen (kepemimpinan visioner dan
motivasi )terhadap variabel dependen (kinerja organisasi) dengan software SPSS 16 for
windows.
Tabel 3
Hasil Analisis Regresi Linier Motivasi Berprestasi Terhadap Kontrak Psikologis
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) 1,687 4,638 0,364 0,718
Kepemimpinan
Visioner
0,231 1,052 0,261 0,202 0,048
Motivasi
0,376 1,154 0,389 0,326 0,039
F Hitung: 5,845;
Sign.F=0,003
Koefisien Determinasi (R2) =
Sumber : Data Primer yang diolah, 2014

80
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan F hitung sebesar 5,845 dengan koefisien
signifikansi sebesar 0,003 (jauh di bawah 0,05), maka model regresi dapat digunakan untuk
memprediksi Y (Kinerja Organisasi), atau dapat dikatakan bahwa kepemimpinan visioner dan
motivasi kerja berpengaruh serentak dan signifikan terhadap kinerja organiasi (Hipotesis 1
terdukung).
Hasil uji regresi dengan melihat t hitung, dapat diketahui bahwa t hitung untuk kepemimpinan
visioner sebesar 0,202, dan signifikansi (0,048), t hitung untuk motivasi kerja sebesar 0,326
dengan signifikansi (0,039). Hasil ini menunjukkan bahwa secara parsial, baik kepemimpinan
visioner maupun motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi
(Hipotesis 2 terdukung), terutama pada UKM Paguyuban Batik Giriloyo, Kabupaten Bantul.
Berdasarkan hasil uji hipotesis ini dapat diartikan bahwa kepemimpinan visioner yang
diterapkan di UKM Paguyuban Batik Giriloyo mampu meningkatkan kinerja organisasi
(memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan kinerja organisasi). Hasil riset
ini mendukung penelitian Yunanto (2013) dan Maria (2012). Hampir setiap gaya
kepemimpinan yag diaplikasikan oleh pimpinan di setiap organisasi akan berdampak berbeda-
beda terhadap kinerja organisasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
karakteristik pimpinan dan anak buah yang amat berbeda, aplikasi budaya organisasi masing-
masing yang berbeda, kebijakan kompensasi dari pimpinan, motivasi yang berbeda-beda antar
anggota maupun antar anggota dengan pimpinan. Ketika pemimpin visioner menerapkan
gayanya bagi anggota-anggotanya, mencipta, merumuskan, mengkomunikasikan dan
mengimplementasikan pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau sebagai hasil interaksi
sosial di antara anggota organisasi dan stakeholder yang diyakini sebagai cita-cita organisasi
di masa depan yang harus diraih dan diwujudkan melalui komitmen semua personil. Hal ini
terjadi di Paguyuban Batik Giriloyo, dimana pemimpin paguyuban senantiasa mengupayakan
bagaimana paguyuban yang dipimpinnya sekarang ini mampu berjalan secara kontinyu dan
melihat potensi pasar yang masih bisa dikembangkan di masa depan, sehingga batik yang
dihasilkan tidak hanya dikenal di wilayah Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Dalam hal
ini pemimpin paguyuban batik Giriloyo telah merintis 5 peran yang dibutuhkan sebagai
pemimpin visioner, yakni: peran merumuskan visi (the vision roles), peran menjalin hubungan
(the relationship roles), peran mengendalikan (the control roles), peran melakukan dorongan
(the encourage roles), peran sebagai pemberi infromasi (the information roles).
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa motivasi kerja juga berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja organisasi. Riset ini mendukung penelitian Uzonna (2013) bahwa
program-program motivasi dapat menghasilkan kinerja yang yang lebih baik bagi organisasi;
studi Olumuyiwa et al., 2012 bahwa motivasi memainkan peran yang sangat penting untuk
meningkatkan kinerja. Hasil riset ini juga mendukung riset Chaudary dan Sharma (2012) yang
menyatakan bahwa semakin tinggi motivasi individu untuk bekerja, dapat meningkatkan
kinerja organisasi (produktivitas tinggi). Motivasi individu untuk bekerja merupakan aset
penting untuk memelihara dan memperkuat bisnis dan pertumbuhan pendapatan. Riset Ritz
(2009) menyebutkan juga bahwa kebutuhan untuk mencapai tujuan (motivasi) dapat
berpengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi. McClelland mengatakan bahwa
kebanyakan orang memiliki dan menunjukkan kombinasi tiga kebutuhan (berprestasi, afiliasi,
dan kekuasaan. Perbedaan ini juga mempengaruhi bagaimana gaya seseorang berperilaku,
sehingga mengarah pada peningkatan kinerja. Hal ini terjadi juga pada peguyuban batik
Giriloyo, dimana hampir setiap pembatik memiliki keinginan untuk meningkatkan kinerja
(prestasinya), dengan terus menerus belajar dari pengalaman dan mau menerima masukan dari

81
pelanggan, sehingga menghasilkan batik tulis baik batik jenis konvensional maupun batik
kontemporer yang bagus dan memiliki nilai jual tinggi (kinerja paguyuban meningkat).
Keinginan untuk berafiliasi antar anggota dengan pembatik-pembatik lainya di paguyuban,
juga cukup tinggi. Hal ini terlihat ketika banyak pesanan dari konsumen, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri, antar anggota kelompok dalam setiap kelompok bekerjasama
dengan baik dalam membatik dan pengaturan waktu penyelesaian dilakukan secara demokrasi,
agar pesanan dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Afiliasi dan kerja sama yang sangat baik
ini berdampak terhadap kinerja paguyuban semakin meningkat. Ada beberapa dari para
pembatik menginginkan juga bisa menduduki jabatan sebagai pengurus kelompok, misalnya
menjadi ketua, wakil ketua, sekretaris atau bendahara, karena dengan menduduki posisi
tersebut memberi peluang bagi mereka untuk bisa akses kepada pelanggan dengan lebih
mudah dan cepat. Di samping itu mereka juga bisa berhubungan langsung dengan ketua
paguyuban dalam banyak hal. Dengan kondisi ini maka kesempatan menjadi pimpinan
paguyuban terbuka luas, sehingga ke depan bisa disiapkan pimpinan paguyuban yang
terorganisir dengan baik. Keinginan yang kuat untu bisa meduduki plosisi pentingv di
kelompoknya maupun sebagai ketua paguyuban inilah yang menyebabkan responden mau
bekerja keras meyelesaikan pekerjaanya, sehingga berdampak terhadap kinerja organisasi
secara keseluruhan.

KESIMPULAN

1. Kepemimpinan visioner dan motivasi kerja berpengaruh serentak, positif dan signifikan
terhadap kinerja organisasi di Paguyuban Batik Giriloyo, Kabupaten Bantul,Yogyakarta
2. Kepemimpinan visioner dan motivasi berpengaruh parsial, positif dan signifikan terhadap
kinerja organisasi di Paguyuban Batik Giriloyo, Kabupaten Bantul,Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA

Atmojo, Marnis. 2012. The Influence of Transformational Leadership on Job Satisfaction,


Organizational Commitment, and Employee Performance. Business Studies. Vol. 5 (No.
2): 113-128.
Bass, B.M. 1990. From transactional to transformational leadership; Learning to share the
vision. Organizational Dynamics, Vol. 18 (3): 19-31.
Bass, B. M. 1999. Two decades of research and development in transformational leadership.
European Journal of Work and Organizational Psychology, Vol. 8 (10): 9-32.
Bass. B. M, Avolio. B. J., Jung, D. I., & Berson. 2003. Predicting unit performance by
assesing transformational and transactional leadership. Journal of Applied
Psychology. Vol. 88 (2): 207-218.
Chaudary, Nupur., & Sharma, Bharti., 2012. Impact of Employee Motivation on Performance
(Productivity) in Private Organization. International Journal of Business Trends and
Technology. Vol. 2, Issue 4: 29-35.

82
Daft, Richard. L. 1999. Leadership: Theory and Practice. Dryden Press.
Dessler, Gary. 2011. Human Resource Management. Twelfth Edition. Pearson Education,
England.
Ghalayani, A. M., & Noble, J.S. 1998. The changing of Performance Measurement.
University Missouri, Columbia, USA.

Gary. A. Yukl. 1989. Leadership in Organization. Prentice-Hall, New York.


Gibson, James. L., Ivancevich, John. M.., & Donelly Jr, James. H. Konopaske, Robert.
2009. Organizations: Behavior, Structure, Processes. 13th Edition. Boston: McGraw-
Hill.

Greenberg, Jerald., & Baron, Robert. A. 2010. Behavior in Organizations: Understanding


and Managing the Human Side of Work. 10th Edition. Prentice Hall
International, Inc.

Hadari, Nawawi. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Cetakan Pertama.


Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hasan dan Haedar.2003. Kepemimpinan Pengembangan. Manajemen Usahawan


Indonesia. Jakarta.
Maria, Brindusa POPA. 2012. The Relationship between Leadership Effectiveness and
Organizational Performance. Journal of Defense Resources Management. Vol. 3, Isssue
1 (4): 123-126.

Noe, Raymond A., Hollenbeck, John. R., Gerhart, Barry., & Wright, Patrict M. 2010.
Human Resource Management – Gaining A Competitive Advantage. Seventh
Edition. McGraw-Hill International Edition.
Olumuyiwa, Olusanya. S, Adelaja, Awotungase. S., &Oluwatosin, Oyeebo. A., 2012.
Motivation , and Engine for Organizational Performance: A Case Study of Lagos State
University, External System. IOSR Journal of Business and Management. Vol. 6, Issue
2: 30-41. Nov-Dec

Paul Hersey., Kenneth H. Blanchard., & Dewey E. Johnson. 1996. Managemenet of


Organizational Behavior:Utilizing Human Resource (New Jersey:Prentice Hall, Inc.
Ritz, Adrian. 2009. Public Sercice Motivation and Organizational Performance in Swiss
Federal Government. International Review of Administrative Science. Vol. 75, No. 1:
53-78.

Robbins, Stephen. P. 2010. Organizational Behavior.12th Edition, Prentice Hall


International, Inc.

83
Rozairie. 2011. Influence of Work Motivation, Leadership Effectiveness and Time
Management on Employees’ Performance. European Journal of Economics, Finance
and Administrative Sciences . Issue 16.

Schein, Edgar. H. 1997. Organizational Culture and Leadership. 2nd ed. San Francisco :
Jossey-Bass

Siswanti, Yuni. 2008. Meraih Kepemimpinan Manajerial yang ‘smart’. Wimaya Press,
Yogyakarta.

Siswanti, Yuni. 2009. Pengaruh Leader-Member Exchange pada Hubungan Kepercayaan


Manajerial dan Pemberdayaan Pegawai. Usahawan . No. 02 TH XXXVIII.

Siswanti, Yuni. 2009. Pengaruh Nilai-nilai dan Sikap, Iklim Kerja, Dukungan Organisasional,
dan Leader-Member Exchange pada Masyarakat Industri Rumah Tangga terhadap
Kesiapan Individu untuk Berubah. Prosiding Seminar Nasional V dan Call for Paper.
UTY. ISBN: 978-979-1334-25-9. 18 Juli.

Siswanti, Yuni., & Muafi. 2010. The Effect of Proactive Personality, Self Promotion, and
Ingratiation on Career Success for Employee on Public Organization. Global Journal of
Management and Business Research. Vol.10, Issue 2, April: 90-95.

Siswanti, Yuni. 2011. Peran Leader Emotional Expressivity dalam Memoderasi Pengaruh Gaya
Kepemimpinan Visioner terhadap Kesiapan Individu untuk Berubah. Prosiding Seminar
Nasional. ISBN: No. 978-602-9374-15-5. Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Yogyakarta.
16-18 November.

Timpe, Dale. A. 1991. Kepemimpinan . Edisi Terjemahan. PT. Elex Media Komputindo.
Jakarta.
Triantoro, Safaria. 2004. Kepemimpinan. Edisi Pertama. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Uzonna, Ukaejiofo Rex. 2013. Impact of Motivation on Employee’s Performance: A Case
Study of CreditWest Bank Ciprus. Journal of Economics and International Finance.
Vol. 5 (5): 199- 211. August.

Yunanto, Deady. Rizki. 2013. Leadership’s Impact on The Performance of Organization. On


Line.

84
DETERMINAN KINERJA PEGAWAI DENGAN KEPUASAN KERJA
SEBAGAI MEDIATOR: STUDI DI KANTOR PELAYANAN PUBLIK

Oleh :
Wiwiek Rabiatul Adawiyah
E-mail: wiwiekra@gmail.com
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRACT

This study was conducted in one of public sector companies located in Banyumas. The
purpose of this study was to determine the influence of emotional intelligence, education and
training on employees’ performance. Moreover the study was also assessing the potential
mediating effect of job satisfaction on the relationship. This study took a sample of all
employees totaling of 86 people and the data was collected through questionnaire. The results
of data analysis revealed that emotional intelligence, education and training positively
influence performance and job satisfaction acted as a mediator in the relationship. Very high
emotional intelligence is required to foster a strong sense of confidence that employees in
performing their duties and functions well. To improve performance, employees need to be
involved in education and training so as to complete all work in a responsible manner.
Another factor of concern is the increase in job satisfaction as a reward for good
performance, providing job security and provides the opportunity for employees to follow a
promotion for career enhancement.

Keywords: Performance, emotional intelligence, education and training and job satisfaction

PENDAHULUAN

Pelayanan di sektor publik dewasa ini tengah menghadapi sorotan yang cukup kuat.
Hal ini disebabkan oleh rendahnya kinerja pegawai dalam pelayanan misalnya waktu tunggu
yang lama, pelayanan yang kurang ramah. Pemerintah memberikan respon melalui berbagai
kebijakan yang bertujuan untuk meningkat kecepatan pelayanan seperti perijinan satu atap
dalam rangka meningkatkan daya saing masyarakat di era global. Salah satu unsur penentu
kinerja pelayanan publik adalah kualitas kerja karyawan. Produktivitas karyawan memiliki
dampak yang besar terhadap tujuan organisasi oleh karena itu setiap anggota organisasi harus
dikelola dengan baik (Khan dan Jabbar, 2013). Karyawan adalah aset bagi organisasi.
Organisasi telah belajar importance dari orang-orang di organisasi itu tanpa mereka sasaran
organisasi tidak dapat dicapai.

85
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai salah satunya adalah
kecerdasan emosional. Minat untuk mempelajari kecerdasan emotional meningkat dengan
pesat dewasa ini (Kiyani et al, 2013) karena hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan
intelektual hanya mampu menjelaskan 4-10 persen kemampuan karyawan dalam
menyelesaikan pekerjaannya (Sternber, 1996). Sementara itu kecerdasan emosional
mempunyai kekuatan dua kali lebih besar dibandingkan dengan keahlian teknis dan inteligensi
individu terhadap pekerjaan di semua lini organisasi. Menurut Goleman (1996) kecerdasan
intelektual (IQ) hanya memberikan kontribusi sebesar 20 persen terhadap keberhasilan hidup
seseorang dan menyisakan delapan puluh persennya pada faktor lain di luar IQ. Martinez
(1997) memastikan bahwa kecerdasan emosional (EQ) menjadi faktor penentu delapan puluh
persen keberhasilan hidup seseorang.
Untuk dapat mencapai tujuan perusahaan dan meningkatkan produktivitas kerja
karyawan, perlu dilakukan sistem pendidikan dan pelatihan yang terprogram dengan baik
sesuai dengan kebutuhan institusi. Pendidikan dan pelatihan dibutuhkan untuk meningkatkan
keahlian karyawan yang sudah ada sesuai dengan bidang pekerjaannya, pendidikan dan
pelatihan juga harus diberikan terhadap karyawan baru agar mereka dapat menjalankan tugas-
tugasnya dengan baik. Training merupakan proses pembelajaran yang melibatkan akuisisi
pengetahuan, mengasah keterampilan, konsep, aturan, atau perubahan sikap dan perilaku
untuk meningkatkan kinerja karyawan (Ameeq dan Hanif, 2013)
Tingkat kepuasan kerja setiap individu sangatlah beragam. Kepuasan kerja karyawan
dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan
sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting dari suatu
organisasi. Karyawan yang puas diharapkan memiliki kinerja yang tinggi. Brayfield and
Crockett (1955) menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan khusus antara kepuasan kerja
dan kinerja. Namun Herzberg, Mausner, Peterson and Chapwell (1957) menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang sistematis antara kepuasan kerja dan perilaku kerja tertentu demikian
pula hubungan antara ketidakpuasan kerja dengan perilaku karyawan di tempat kerja. Dua
abad kemudian Locke (1976), melakukan review yang mendalam tentang berbagai macam
publikasi di bidang kepuasan kerja dan menyimpulkan bahwa kepuasan kerja tidak
mempunyai hubungan langsung dengan produktifitas kerja.

KAJIAN PUSTAKA
Kinerja Karyawan
Setiap organisasi harus menyelidiki faktor yang dapat memicu tingginya kinerja
organisasi. Keberhasilan suatu organisasi merupakan hasil usaha bersama seluruh anggota,
bukan hanya kontribusi satu atau dua orang anggota saja (Khan dan Jabbar, 2013). Kinerja
merupakan variabel yang bersifat multidimensional yang bertujuan untuk mencapai hasil yang
maksimal dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tujuan strategis organisasi. Kinerja
yang baik merupakan refleksi produktifitas dan effisiensi yang dilakukan oleh karyawan
(Khan dan Jabbar, 2013). Oleh karena itu kesempurnaan kerja para karyawan akan
menentukan kualitas kinerja organisasi.

86
Meskipun kinerja individu mempunyai tingkat relevansi yang tinggi dan tingginya
minat peneliti dalam mengembangkan teori kinerja di masa lalu, upaya untuk menjelaskan
tentang konsep kinerja belum banyak dilakukan (Kiyani et al, 2013). Fenomena sebaliknya
muncul dalam sepuluh hingga lima belas tahun terakhir dimana upaya peneliti untuk
mendefinisikan kinerja cukup tinggi. Tidak semua perilaku ditempat kerja dapat dihubungkan
dengan konsep kinerja, hanya perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi saja yang bisa
digunakan (Kiyani, et al, 2013). Jadi kinerja adalah apa yang diperintahkan organisasi untuk
dikerjakan oleh pekerja dengan baik (Campbell, McCloy, Oppler & Sager, 1993, p. 40). Oleh
karena itu kinerja bukanlah perbuatan inidvidu itu sendiri melainkan proses penilaian dan
evaluasi hanya perbuatan yang dapat diukur mengukur dengan jelas yang dianggap sebagai
kinerja (Meyer, Paunonen, Gellatly, Goffin & Jackson, 1989).

Kecerdasan Emosional
Psikolog Mayer & Salovay (1991:189) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
bagian dari kecerdasan social yang meliputi kemampuan seseorang untuk mengendalikan
perasaan dan emosi dirinya dan orang lain, untuk membedakan di antara keduanya serta
mampu menggunakan informasi tersebut untuk membimbing pemikiran dan tindakan
seseorang.
Emosi merupakan suatu keadaan yang biologis dan psikologis serta serangkaian
kecenderungan untuk bertindak sementara emosional adalah hal-hal yang berhubungan dengan
emosi. Pengaturan emosi merupakan bagian dari pengendalian emosi dalam diri seseorang dan
orang lain. Kecerdasan emosi individu merupakan indicator bagaimana cara seseorang
memandang, memahami dan mengendalikan emosinya.
Mayer et al (2000) dan Afolabi (2004) berpendapat bahwa kecerdasan emosional
adalah bukan sifat tunggal atau kemampuan lebih, gabungan dari penalaran emosi yang
berbeda abilities.Perceiving emosi terdiri mengenali dan menafsirkan makna berbagai negara
emosional, serta hubungan mereka dengan pengalaman sensorik lainnya. Memahami emosi
melibatkan pemahaman bagaimana emosi dasar dicampur untuk membentuk emosi yang
kompleks
Menurut Goleman ( 2001 : 512 ), kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk
mengenal perasaan diri sendiri dan orang lain untuk memotivasi diri sendiri dan mengelola
emosi dengan baik dalam diri kita dan hubungan kita. Kemampuan ini saling melengkapi dan
berbeda dengan kemampuan akademik murni, yaitu kemampuan kogniktif murni yang diukur
dengan Intelectual Quetient ( IQ ). Sedangkan menurut Cooper dan Sawaf ( 1998 ),
kecerdasan emosional adalah kemampuan mengindra, memahami dan dengan efektif
menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh.
Salovely dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau
dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan itu untuk
memandu pikiran dan tindakan.

Pendidikan dan Pelatihan


Pelatihan merupakan proses yang berkesinambungan di mana karyawan benar-benar
mendapat pengetahuan dan mengenal bagaimana dia bisa tampil baik dalam organisasi. Pada

87
dasarnya ada dua jenis pelatihan yaitu on the job dan off the job training (Ameeq dan Hanif,
2013). On the job training sebenarnya dilakukan ketika pekerja mendapat pelatihan saat
melakukan tugas yang diberikan kepadanya. Sedangkan off the job training adalah jenis
pelatihan ketika karyawan dari organisasi diminta untuk mengikuti sesi pelatihan untuk
mempelajari tugas tertentu.
Pendidikan dan pelatihan membantu karyawan dalam mengembangkan potensi diri dan
menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi, dengan demikian karyawan diharapkan dapat
bekerja lebih produktif. Pendidikan dan pelatihan sangat penting bagi keberhasilan
perusahaan dalam mencapai tujuannya, karena dengan memiliki tenaga kerja yang produktif
dan handal kinerja organisasi akan meningkat ( Fadlulah, 2006 ). Produktivitas kerja
merupakan tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan
untuk memenuhi keinginan konsumen. Suatu organisasi atau perusahaan yang ingin tumbuh
dan berkembang selalu berupaya meningkatkan produktivitas kerja sebagai sistem organisasi
tersebut, termasuk sistem manajemen, sistem fungsional dan sistem operasional.

Kepuasan Kerja
Terdapat berbagai pendapat tentang konsep kepuasan kerja. Hasil penelitian Herzberg
menunjukkan bahwa faktor yang mendatangkan kepuasan adalah prestasi, pengakuan,
pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, dan kemajuan ( Armstrong, 1994 : 71 ). Pendapat lain
menyatakan kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan dimana para karyawan memandang pekerjaan mereka ( Handoko, 2001 : 193 ).
Kepuasan kerja merupakan tingkat emosi yang positif dan menyenangkan yang timbul
ketika seseorang mendapat pujian atas pekerjaan yang dilakukannya (Locke, 1976). Secara
implicit dalam definisinya akan kepuasan kerja, Locke (1976) menekankan akan pentingnya
perasaan, dan kognisi, atau berpikir. Secara umum dalam area kepuasan kerja, kepuasan
terkait dengan pekerjaan itu sendiri yang meliputi tantangan pekerjaan, otonomi, variasi, dan
ruang lingkup merupakan predictor terbaik kepuasan kerja serta perilaku kerja lainnya seperti
retensi karyawan
Ada perbedaan penting antara konsepsi awal pada hubungan kepuasan-kinerja, dan
beberapa temuan berikutnya. Pada awalnya, peneliti berusaha untuk menunjukkan bahwa
kepuasan Porter & Lawler, 1968). Dengan demikian, untuk memahami apa yang
menyebabkan orang untuk menjadi puas dengan pekerjaan mereka, sifat dari pekerjaan itu
sendiri adalah salah satu tempat pertama bagi para praktisi untuk diperhatikan. Banyak
penelitian telah menunjukkan bahwa karyawan yang tidak puas lebih mungkin untuk berhenti
dari pekerjaan mereka atau bolos kerja, dibandingkan dengan karyawan yang puas (misalnya,
Hackett & Guion, 1985;). Kepuasan kerja telah dipelajari baik sebagai variabel independen
dan dependen. Sebagai variabel dependen, tingkat kepuasan telah berkorelasi dengan jenis
kelamin, usia, kecerdasan, ras, pendidikan dan berbagai ciri kepribadian. Sebagai variabel
independen, telah berkorelasi dengan produktivitas, absensi, kecelakaan dan omset. Tetapi
pola korelasi dalam studi ini sangat beragam di alam

88
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada salah satu kantor layanan publik yang berlokasi di
Kabupaten Banyumas. Metode pengambil data adalah sensus, dimana seluruh karyawan pada
instansi tersebut dijadikan sampel. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan
kuesioner. Penyebaran kuesioner dilakukan di instansi yang bersangkutan setelah
mendapatkan ijin dari pihak terkait. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut kecerdasan Emosional Pendidikan dan Pelatihan, Kepuasan Kerja dan kinerja
pegawai sebagai variabel terikat. Analisis data dilakukan dengan menggunakan regresi
berganda dan analisis jalur.

HASIL
Untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosional, pendidikan dan pelatihan serta
kepuasan kerja terhadap produktivitas kerja karyawan dilakukan perhitungan analisis regresi
linier berganda dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut.
Tabel 1 Hasil analisis regresi
No Koef. regresi t hitung t tabel Sig.val
Variabel
1 Kecerdasan emosional 0,3654 5,3056 1,9893 0.0000
2 Pendidikan dan pelatihan 0,1893 3,1056 1,9893 0.0026
3 Kepuasan kerja 0,3274 3,4909 1,9893 0.0008

Konstanta (a) = 0,3843


Koefisien determinasi (R2) = 0,6528
F hitung = 51,3953
F Tabel = 2,7159

Berdasarkan hasil perhitungan regresi linier berganda diketahui nilai koefisien


determinasi (R2) sebesar 0,6528 dan hal ini mempunyai arti bahwa variasi perubahan kinerja
karyawan sebesar 65,28 persen yang dipengaruhi oleh variabel kecerdasan emosional,
pendidikan dan pelatihan serta kepuasan kerja. Kinerja karyawan dipengaruhi oleh variabel
lain di luar model regresi sebesar 34,72 persen. Nilai sig value yang kurang dari 0.05
menunjukkan bahwa kecerdasan emosional, pendidikan dan pelatihan serta kepuasan kerja
berpengaruh terhadap kinerja karyawan pada kantor pelayanan publik yang sedang diteliti.
Untuk mengetahui efek mediasi dari variabel kepuasan kerja maka dilakukan analsis
jalur. Hasil analisis dapat dilihat pada gambar 1 berikut.

89
Kecerdasan
Emosional (X1)
P1 = 0,4471
P2 = 0,4164

Kepuasan kerja Produktivitas


(Z) Kerja (Y)
P3 = 0,2767

P4 = 0,2252
P5 = 0,2471
Pendidikan dan
Pelatihan (X2)

Gambar 1 Analsis Jalur


Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui nilai pengaruh antara kecerdasan
emosional terhadap produktivitas kerja karyawan yang semula bernilai 44,71 persen nilainya
mengalami peningkatan menjadi 56,23 setelah adanya variabel kepuasan kerja yang menjadi
variabel mediasi. Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa kepuasan kerja
mampu memberikan pengaruh mediasi antara kecerdasan emosional terhadap produktivitas
kerja karyawan. Adanya pengaruh tersebut menunjukkan bahwa kepuasan kerja yang
dirasakan mampu meningkatkan kecerdasan emosional karyawan sehingga berdampak pada
kepercayaan tentang kemampuan yang dimiliki karyawan sehingga akan berpengaruh pula
terhadap peningkatakan kinerjanya.
Pengaruh variabel pendidikan dan pelatihan terhadap kinerja karyawan secara tidak
langsung melalui kepuasan kerja adalah sebesar 6,23 persen. Berdasarkan perhitungan di atas
dapat diketahui nilai pengaruh antara pendidikan dan pelatihan terhadap kinerja karyawan
yang semula bernilai 24,71 persen nilainya mengalami peningkatan menjadi 30,94 setelah
adanya variabel kepuasan kerja yang menjadi variabel mediasi. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan mediator antara pendidikan dan pelatihan
terhadap kinerja karyawan. Adanya pengaruh tersebut menunjukkan dan kepuasan kerja
mampu memberikan dorongan bagi karyawan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan guna
meningkatkan kemampuannya sehingga permasalahan kerja dapat terselesaikan dan
produktivitas dapat terus ditingkatkan

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI


1. Kecerdasan emosional memberikan pengaruh yang positif terhadap kinerja pegawai
pada kantor pelayanan publik di kabupaten Banyumas. Hal ini berarti semakin baik
kecerdasan emosional maka semakin baik pula kinerja karyawan pada instansi tersebut

90
2. Pendidikan dan pelatihan memberikan pengaruh yang terhadap kinerja pegawai pada
kantor pelayanan publik di kabupaten Banyumas. Hal ini berarti semakin sering
karyawan diikutsertakan dalam pendidikan baik yang bersifat on job maupun off job
maka akan semakin baik pula kinerja karyawan pada instansi tersebut
3. Kepuasan kerja memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pegawai pada
kantor pelayanan publik di kabupaten Banyumas. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat
kepuasan karywan maka semakin baik pula kinerja karyawan pada instansi tersebut.
Oleh karena itu pihak manajemen hendaknya memperhatikan berbagai faktor penentu
kepuasan kerja seperti sistem imbalan dan fringe benefits bagi karyawan.
4 Kepuasan kerja merupakan variabel moderator dalam hubungan antara kecerdasan
emosional dan pendidikan dan pelatihan terhadap kinerja karyawan.

DAFTAR PUSTAKA
Ameeq, A., and Hanif, F., 2013, Impact of Training on Employee’s Development and
Performance in Hotel Industry of Lahore,Pakistan, Journal of Business Studies
Quarterly, Vol 4 No 4, pp 68-82
Armstrong, M.1994. Manajemen Sumber Daya Manusia. Alex Media Komputindo. Jakarta.
Brayfield, A. H., & Crockett, W. H.,1955, Employee attitudes and employee performance.
Psychological Bulletin, Vol. 52(5), 396-424
Campbell, J. P., McCloy, R. A., Oppler, S. H., & Sager, C. E., 1993, A theory of performance.
In E. Schmitt, W. C. Borman, & Associates (Eds.), Personnel selection in organizations
(pp. 35–70). San Francisco: Jossey-Bass
Fadlulah,R.Muhammad.2006.Hubungan Pendidikan dan Latihan Terhadap Produktivitas
Karyawan pada PT.Sekawan Pangan Jaya.Bandung.
Goleman, D.,1996, Emotional Intelligence: Why It Can Matter more than IQ. London:
Bloomsbury Publishing
Hackett, R.D.,& Guion R.M., (1985) A re-evaluation of the absenteeism job satisfaction
relationship, Organizational Behavior and Human Decision Processes. Vol. 35, Issue 3,
pages 340–381
Handoko,T.H.2001.Manajemen Personalia Sumber Daya Manusia. BPFE Press . Yogyakarta.
Herzberg, F., Mausner, B., Peterson, R.O., & Capwell, D.F.,1957, Job Attitudes : Review of
Research and Opinion: Pittsburgh : Pittsburgh Psychological Services
Ilgen D.R., & Hollenback, J H.,1973, The role of job satisfaction in absence behavior.
Organizational Behavior and Human Performance, 10 ,pp. 208–224
Khan, M.M., and Jabbar, M., 2013, Determinants of Employees Performance in Corporate
Sector: Case of an Emerging Market, Business and Management Research, Vol 2 No 3,
pp 25-32

91
Kiyani, K., Saher, N., Saleem, S., Iqbal, M., 2013, Emotional Intelligence (EI) and Employee
Outcomes: The Mediating Effect of Authentic LeadershipStyle, Interndisciplinary
Journal of Contemporary Research in Business, Vol 5 No 1, pp 394-405
Locke, E.A.,1976, The Nature and Causes of Job Satisfaction, in M.D., Dunnette (ed),
Handbook of Industrial and Organizational Psychology, Chicago : Rand Mcnally, 1319-
1328
Locke, E. A.,1970, Job satisfaction and job performance: A theoretical analysis.
Organizational Behavior and Human Performance. Vol. 5, Issue 5, Pages 484–500.
Martinez, M.N., 1997, The smarts that count, HR Magazine, Vol. 42 No. 11, pp. 72-8.
Meyer, J.P., Paunonen, S.V., Gellatly, I.R., Goffin, R.D. & Jackson, D.N.,1989,
Organizational commitment and job performance: it’s the nature of the commitment that
counts. Journal of Applied Psychology, Vol. 4 No. 1, pp. 152-6
Salovey, P. & Mayer, J.D.,1990, Emotional Intelligence, Imagination, Cognition and
Personality, Vol. 9 No. 3, pp. 185-211.
Sternberg, R.J., 1996, Successful Intelligence, New York: Simon and Schuster

92
PENDEKATAN UMUM DALAM MEMPELAJARI PENGUKURAN
KINERJA

Oleh:
1)3)
Mhd. Gowon , Her Sugondo 2) 3)
E-mail: gowon@unja.ac.id
gondoarum65@gmail.com
1)
Dosen Fakultas Ekonomi Akuntansi Universitas Jambi
2)
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unisbank
3)
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Diponegoro

ABSTRACT

The purpose of this article is to present and discuss alternative arguments and directions for
the study of performance measurement. We classify and discuss performance measurement in
three phases: the design and structure of the performance measurement system, the
implementation of performance measurement, and the utilisation of performance measurement
in everyday work. It is argued the need for a general approach to the examination of
performance measurement in organisations, a perspective that addresses the key questions
identified by managers and how they deal with the design, implementation, and usage of
performance measurement in real-time settings. Study of performance measurement in the
various three phases are proposed by means of an organisational framework. This framework
takes into account internal dimensions, situational/contingency factors, external innovations,
dimensions and outcomes. These various dimensions are developed in relation to performance
measurement systems analysis.

Keywords : performance measurement system, pengukuran kinerja, disain, implementasi,


research method,

PENDAHULUAN
Studi mengenai pengukuran kinerja di tiga fase yang diusulkan disini dimaksudkan
untuk suatu kerangka kerja dalam organisasi. Kerangka kerja ini memperhitungkan dimensi
internal, faktor situasional / kontingensi, inovasi eksternal, dimensi dan hasil (Mattias Elg dan
Kollberg, 2009). Berbagai dimensi itu dikembangkan dalam kaitannya dengan analisis sistem
pengukuran kinerja. Asumsi-asumsi pernyataan tersebut adalah bahwa kegiatan organisasi
yang terbaik dievaluasi dan dikontrol melalui alat ukur yang hati-hati yang mengendalikan
kinerja. Manajemen yang efisien dan efektif bergantung pada ide ini. Pendiri dan pengembang
Balance Scorecard (BSC) sebagai contohnya, menyatakan dalam artikel mereka “Harvard
Business Review”yang terkenal bahwa:"Apa yang anda ukur adalah apa yang anda
dapatkan”(Robert S. Kaplan 2010). Eksekutif senior memahami bahwa sistem pengukuran

93
organisasimerekasangat mempengaruhi perilaku manajer dan karyawan.Banyak perhatian
dalam penelitian tentang pengukuran kinerja yang berorientasi pada identifikasi dan
pengembangan berbagai model manajemen yang mencakup pengukuran kinerja(Pietro
Michelia dan Luca Mari, 2014), (Xenophon Koufterosa dkk., 2014), (Steven A. Melnyka dkk.,
2014), (Cristian-Ionut dkk., 2014; Joanna L.Y. Ho dkk., 2014).
Penelitian pengukuran kinerja menunjukkan bahwa pengukuran kinerja
adalahprasyarat mendasar untuk tindak lanjut, koordinasi dan peningkatan organisasi
danukuran kinerja yang dianggap penting dalam pengambilan keputusan (Mattias Elg dan
Kollberg, 2009). Prestasitindakan menyoroti fenomena tertentu dalam organisasi. Ide ini dapat
dilihat sebagai respon terhadap masalah umum perhatian dalam suatuorganisasi. Orang-orang
datang dan pergi, dan perhatian mereka secara spontan diarahkan ke hal yang berbedapada
waktu yang berbeda. Alasan di balik menggunakan ukuran kinerja adalah bahwa
denganmerancang dan menerapkan langkah-langkah tertentu, pemimpin berkewajiban untuk
fokus pada aktivitas tertentu, itulah yang disebut sebagai teori.
Baru-baru ini, pendekatan penelitian yang lebih netral telah berfokus pada kegunaan
pengukuran dalam organisasi (Mattias Elg dan Kollberg, 2009). Pendekatan ini menandakan
pentingnya mempelajari bagaimana organisasi menangani pengukuran kinerja dan
memanfaatkan data yang dikumpulkan.Fokus telah bergeser dari mempelajari pengukuran itu
sendiri kepada bagaimana mereka digunakan secara situasi real face toface. Pendekatan
penelitian ini juga memandang penggunaan pengukuran kinerja dari perspektif mikro,
menyiratkan fokus pada tindakan manusia dalam situasi tertentu. Pengalaman dunia nyata
adalah titik awal untuk analisis dalam studi tersebut .
Selanjutnya, para pendukung pendekatan tersebut mengklaim bahwa hal itu dapat
mahal jika gagal untuk melihat bahwapenggunaan teknologi manajerial seperti ukuran kinerja
selalu menjadi bagian dari sistem yang lebih besaryang dibentuk oleh dan membentuk situasi
lokal praktiknya (Mattias Elg dan Kollberg, 2009). Perspektif ini menunjukkan perubahan dari
pandangan dominan teknisrasionalitas terhadap epistemologi praktek bahwa penekanan
embeddedness adalah kontekstual.
Sastra mengkritik praktek pengukuran kinerja yang berfokus pada diskusitentang
pengaruh negatif dari ukuran kinerja saja, misalnya, kreativitas, peran bahwa sistem
pengukuran kinerja yang ada menekankan perbedaan antara perencana dan pelaku, dan
kemampuan dis-fungsional ukuran kinerja untuk menangkap apa yang sebenarnya terjadi di
dalam organisasi. Banyak inisiatif penelitian teknis di alam, dalam arti bahwa mereka sibuk
dengan studi desain ukuran kinerja. Hanya beberapa studi, bagaimanapun, didasarkan pada
temuan empiris. Masalah meliputi keseluruhan bagi manajer dalam bagaimana merancang
secara efektif, melaksanakan dan mewujudkan ide-ide dalam yang 'dahsyat/wild' adalah
sebagian besar diabaikan. Dikatakan bahwa ada kebutuhan untuk pendekatan umum untuk
memeriksa pengukuran kinerja dalam organisasi.
Sehingga, perspektif yang membahas pertanyaan-pertanyaan kunci yang diidentifikasi
oleh para manajer danbagaimana mereka berurusan dengan desain, implementasi dan
penggunaan pengukuran kinerja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempresentasikan
dan mendiskusikan argumen dan arah alternatif untuk studi tentang pengukuran kinerja.

94
Makalah ini bertujuan untuk mengklasifikasikan studi ke berbagai wilayah, dan
mendiskusikan kelemahan dan kekuatan dari pilihan berbeda yang tersedia.
Saat ini, pengukuran kinerja dan praktek kinerja manajemen adalah hal umum di
semua sektor industri dan perdagangan, termasuk sektor publik (Umit Bititci dkk., 2012).
Untuk sektor perbankan, pengukuran kinerja dalam konteks pengunaan BSC, untuk
mengevaluasi kinerja kantor cabang pada bank komersil di Yordania (Naser Yousef Alzoubi,
2014). Namun, sebagaimana nanti kita akan bergerak lebih lanjut ke abad ke-21, terjadi
peningkatan keyakinan bahwa dunia seperti yang kita tahu itu berubah, baik secara alami
maupun naluri bisnis.Isu-isu seperti pemanasan global, pertimbangan lingkungan dan
keberlanjutan planet kita menjadi keprihatinan utama bagi semua orang , dari warga negara,
dari individu perorangan danperusahaan multinasional,juga untuk pegawai negeri dan politisi.
Dipicu oleh berkembang pesatnya teknologi, meningkatnya globalisasi dan pembongkaran
hambatan perdagangan, kita juga melihat perubahan yang cepat dengan cara di mana
organisasi dikelola (Bettina Hódi Hernádi, 2012).Isu mengenai akuntansi lingkungan yang
juga berhubungan dengan “green accounting” sudah cukup lama pernah diangkat dan dibahas
di dalam tulisan (The World Conservation Union, 2000) yang memperkenalkan dan
mempelajari akuntansi lingkungan.
Disarankan bahwa studi sebelumnya mengungkapkan konseptualisasi multidimensi
kinerja organisasi dengan efektivitas yang terbatas yang secara umum diterima dalam praktek
pengukuran praktek. Mereka menyebut untuk lebih teoritis didasarkan penelitian dan
perdebatan untuk mengembangkan ukuran-ukuran yang tepat untuk konteks penelitian
tertentu.

Definisi pengukuran kinerja


Definis ipengukuran kinerja diterjemahkan sebagai proses pengumpulan,
komputerisasi dan penyajian konstruksi kuantitatif untuk tujuan manajerial dalam
penindaklanjutan, pemantauan, dan peningkatan kinerja organisasi (Mattias Elg dan Kollberg,
2009).Kadang-kadang tujuanyang melekat pada metrik pengukuran untuk menunjukkan
standar. Prestasi pengukuran dipandang sebagai proses pengukuran keseluruhan dari koleksi
dengan penggunaan akhir dalam pekerjaan manajerial. Penelitian mengenai pengukuran
kinerja dapat diklasifikasikan menjadi tiga domain (Mattias Elg dan Kollberg, 2009). Ketiga
domain yang dimaksud itu adalah:
1. Desain danstruktur sistempengukuran kinerja.
2. Pelaksanaanpengukuran kinerja.
3. Pemanfaatanukuran kinerjadalam pekerjaansehari-hari.
Domain yang berbeda dapat dilihat dalam kaitannya dengan langkah-langkah
pengembangan sistem pengukuran kinerja. Pertama, sistem harus dirancang dan dibangun,
selanjutnya diimplementasikan, dan akhirnya digunakan dalam pekerjaan sehari-hari. Para
peneliti dalam domain pertama cenderung untuk mengarahkan penelitian terhadap evaluasi
pengukuran kinerja dan menganalisis apakah merekamerupakan indikator yang valid, taktis
dan operasional ke arah organisasional. Jenis penelitian inidapat mencakup baik langkah-
langkah atau seperti sistem pengukuran tunggal sebagai Balance Scorecard (BSC).
Domain kedua berfokus pada pelaksanaan pengukuran kinerja diorganisasi. Pertanyaan
utama, misalnya, bagaimana seharusnya menangani manajemen perubahan proses dimana

95
pengukuran kinerja sedang dilaksanakan, apa jenis masalah yang terjadi, dan bagaimana
pengukuran kinerja diintegrasikan ke dalam kegiatan sehari-hari. Yang ketiga, domain
mempelajari pemanfaatan pengukuran kinerja yang ditetapkan dalam kegiatan sehari-hari dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting dan bermakna.

Pengukuran kinerja: apa itu dan fungsinya


Kita akan membahas, bagaimana pengukuran kinerja didefinisikan dan apa
fungsinyayang mungkin dimiliki. Gagasan utama di balik pengukuran kinerja adalah
sederhana: organisasi publik merumuskan kinerja dibayangkan dan menunjukkan bagaimana
kinerja ini dapat diukur dengan mendefinisikan indikator kinerja. Setelah organisasi telah
melakukan upaya, mungkin menunjukkan apakah kinerja dibayangkan dicapai dan apa biaya
itu.
Masalahnya di sini adalah, tentu saja, bahwa efek dari intervensi oleh otoritas
seringkali sulit untuk diukur. Hal ini karena kinerja publik ganda dan dicapai dalam co -
produksi. Selain itu, periode antara intervensi dan efek akhirnya yang mungkin panjang. Hal
ini tidak mungkin dalam banyak kasus untuk mengukur efek akhir dari intervensi oleh otoritas
(yang 'outcome'), tidak sedikit ketika tujuan abstrak seperti liveability, keamanan, integrasi
atau kualitas yang terlibat. Apa yang diukur adalah efek langsung dari intervensi oleh otoritas
('output' : lisensi yang dikeluarkan, pemberitahuan hukuman tetap, artikel yang diterbitkan),
sementara, dalam beberapa kasus - suatu tempat antara efek langsung dan efek akhir-efek
menengah mungkin diidentifikasi, yang juga terukur. Berbagai istilah digunakan untuk
berbagai efek yang mungkin terjadi dalam spektrum antara langsung terukur dan tidak terukur
: Output - hasil ; Efek langsung - efek menengah - efek akhir ; Output - hasil Program - hasil
kebijakan.
Hal ini harus menunjukkan bahwa terminologi dalam literatur tidak selalu jelas.
Beberapa penulis memberikan konsep 'output' definisi yang sangat sempit (hanya efek
langsung), yang lain menggunakan yang sangat luas (termasuk hasil). Kita akan membatasi
arti dari pengukuran kinerja terhadap efek tindakan pemerintah yang terukur. Pilihan ini akan
tampak sah, karena cocok dengan banyak bahasa sehari-hari yang digunakan dalam organisasi:
banyak organisasi yang menggunakan pengukuran kinerja menghitung produk yang mereka
hasilkan. Konsep seperti 'output' atau 'pengukuran produk' dapat dianggap sebagai identik
dengan pengukuran kinerja; Saya akan, bagaimanapun, memperluas konsep pengukuran
kinerja dengan menarik perhatian dalam memproses pengukuran juga.
Setelah otoritas menentukan produk, ia dapat merencanakan volume produksi selama
jangka waktu tertentu dan menetapkan pada akhir periode ini apa produksi dicapai. Akibatnya,
organisasi publik - seperti banyak organisasi di sektor swasta - mungkin melewati siklus
perencanaan, di mana kinerja direncanakan, dicapai dan diukur. Hal ini sering disertai dengan
orientasi yang kuat pada tujuan. Pengukuran kinerja memaksa organisasi untuk merumuskan
target untuk berbagai program yang menjadi tanggung jawabnya dan negara, periode di mana
mereka harus dicapai. Ini akan menunjukkan ambisinya untuk masing-masing target tersebut
dalam indikator kinerja. Pengukuran kinerja kemudian dapat memenuhi sejumlah fungsi (Hans
de Bruijn, 2004). Mereka yang disebutkan paling sering adalah sebagai berikut:

96
• Transparansi. Pengukuran kinerja mengarah ke transparansi dan dengan demikian dapat
berperan dalam proses akuntabilitas. Suatu organisasi dapat membuat jelas produk apa yang
menyediakan dan - dengan cara analisis input-output - apa biaya yang terlibat.
• Belajar (learning). Sebuah organisasi mengambil langkah lebih lanjut ketika menggunakan
pengukuran kinerja untuk belajar. Berkat transparansi dibuat, sebuah organisasi dapat
mempelajari apa yang baik dan mana perbaikan yang mungkin.
• Penilai (appraising). Sebuah penilaian berbasis kinerja sekarang dapat diberikan (oleh
manajemen organisasi, oleh pihak ketiga) tentang kinerja organisasi.
• Sanksi (sanctions). Akhirnya, penilaian dapat diikuti oleh sanksi positif ketika kinerja yang
baik atau dengan sanksi negatif, ketika kinerja tidak cukup. Sanksi ini mungkin menjadi salah
satu masalah keuangan.

Sistem Pengukuran Kinerja (SPK)


Dalam bentuk yang paling sederhana, sebuah sistem membutuhkan masukan,
mengubahnya menjadi output, dan kemudian bergerak kepada umpan balik. Sistem informasi
akuntansi biasanya mengkonversi input berupa data menjadi informasi yang berguna untuk
pengambilan keputusan terkait dengan perencanaan, monitoring, dan pengendalian. Sementara
fitur komputer menentukan fungsinya, set yang dipilih dari ukuran kinerja mendefinisikan
SPK. Di dalam SPK, secara berkala, data (input) dikumpulkan dan nilai-nilai yang dihitung
(output) yang digunakan untuk menilai kinerja organisasi dan / atau individu. Proses penilaian
menentukan apakah kinerja sesuai dengan harapan. Seperti sistem lain, sistem PK berisi
umpan balik tunggal yang terjadi sebagai individu membuat keputusan berdasarkan trend dan
perubahan dalam tindakan.
Sistem Pengukuran Kinerjasebuah perusahaan terletak pada kontinum antara sistem
tradisional dan SPMS (stratejik SPK), seperti balance scorecard (BSC). Banyak karakteristik
membedakan dua ekstrim, seperti proses pembelajaran putaran ganda dan pilihan ukuran
kinerja. Sebuah SPK tradisional menekankan ukuran finansial kinerja. Sebaliknya, sebuah
strategi SPK(SSPK) menggabungkan kedua ukuran finansial dan nonfinansial yang dipilih
melalui proses penyaringan untuk mencerminkan strategi organisasi. Dengan cara ini, sebuah
organisasi mengkomunikasikan informasi tentang 'strategi jangka panjang, hubungan antara
berbagai tujuan strategis, dan hubungan antara tindakan karyawan dan tujuan strategis yang
dipilih'. Dengan demikian, sebuah SPMS memotivasi individu untuk mengejar tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi.
Lingkungan sistem PK tetap menjadi wilayah penelitian aktif, dengan studi terbaru
berkonsentrasi pada SSPKyang lebih baru, versi yang lebih kompleks dari SPK. Penelitian
perilaku cenderung berfokus pada bagaimana SSPK mempengaruhi hasil organisasi-level atau
proses evaluasi divisi/kinerja individu. Pengecualian termasuk studi oleh (Burney dan
Matherly, 2007) yang meneliti SSPK pada tingkat individu dalam kaitannya dengan hasil
(outcome) karyawan pada tekanan peran, persepsi keadilan, dan prestasi kerja. Baris penelitian
ini dibangun di atas premis bahwa tujuan utama dari sistem PK adalah untuk mempengaruhi
perilaku individu yang tindakannya sangat menentukan tujuan jangka panjang organisasi.
Lebih jauh lagi, bahkan tanpa efek langsung pada kinerja organisasi, menyediakan karyawan
dengan lingkungan yang meningkatkan hasil perilaku, seperti kepuasan kerja, bisa sendiri

97
menjadi tujuan yang berharga. Studi ini mempertahankan fokus pada individu dengan
menyelidiki perilaku manajer yang tercermin dalam kinerja pekerjaan mereka dan kepuasan
kerja.

Pengukuran Kinerja dan Pengambilan Keputusan, Ambiguitas dalam Organisasi


Perspektif ambiguitas dalam pengukuran kinerja berasal dari tradisi rasionalitas yang
dibatasi. Hasil tradisional ini dalam dua arah utama penelitian pengukuran kinerja (Vakkuri
dan Meklin, 2006). Pertama, adalah mungkin untuk memeriksa pengukuran kinerja sebagai
sistem pengambilan keputusan. Pengukuran kinerja dapat 'terurai' menjadi serangkaian
keputusan yang dibuat oleh pengukur kinerja, organisasi, tim dan pengambil keputusan
individu memanfaatkan informasi pengukuran kinerja.
Pengambilan keputusan tersebut dapat dipelajari dengan merefleksikan teori-teori
umum organisasiperilaku dan informasi masalah dalam organisasi. Kedua, perspektif
ambiguitas menyatakan bahwa dunia sosial pengambilan keputusan dan pengukuran kinerja
tidak sepenuhnya rasional. Itu diisi dengan keterbatasan, konflik kepentingan, ketidakpastian,
paradoksdan ambivalensi, yang membuat pengukuran kinerja usaha yang rumit. Tantangan-
tantangan khusus berikut dapat diperkenalkan. Ada keterbatasan dalam memusatkan perhatian
dalam pengukuran kinerja organisasi, keterbatasan dalam memori, dan kepekaan yang terkait
dalam sistem pencatatan, keterbatasan dalam memahami hubungan sebab-akibat dari
organisasi yang kompleks dan keterbatasan dalam berkomunikasi untuk dan tentang kinerja
organisasi. Dengan demikian, organisasi tidak mampu membuat benar-benar rasional
(memaksimalkan) keputusan. Mereka harus melakukan dengan lebih sedikit, solusi yang
memuaskan. Meskipun kompleksitas, kegiatan masih harus dikoordinasikan, keputusan harus
dibuat dan kinerja harus diukur.
Ambiguitas adalah sesuatu yang pengambilan keputusan dan para pengambil
keputusan harus mengatasinya. Untuk ide-ide sebagian besar pada pengukuran kinerja
didasarkan pada teori pilihan rasional. Pilihan rasional adalah daerah teori keputusan dan
informasi engineering yang memiliki perspektif tertentu pada beberapa konsep penting seperti
pilihan, keputusan dan preferensi. Perspektif ini mencakup dua penting 'tebakan'. Yang
pertama adalah tentang konsekuensi masa depan dari tindakan saat ini. Logika konsekuensial
ini kadang-kadang menyebabkan penyederhanaan berlebihan kesimpulan kausal. Namun,
consequentalism sangat tertanam dalam sistem pengukuran kinerja. Menebak kedua
menyangkut masa depanpreferensi organisasi dan pengambil keputusan untuk menetapkan
nilai konsekuensi yang dirasakan. Bagaimana hasil keputusan untuk dievaluasi? Berdasarkan
preferensi yang ada pada saat pengambilan keputusan atau pada saat hasil keputusan akhirnya
menyadari? Banyak sistem pengukuran kinerja mengandung ketegangan khusus dalam hal ini,
misalnya, dengan menjadi tidak sabar. Berbeda dengan asumsi pilihan rasional, aspek
ambiguitas pengambilan keputusan mengacu pada situasi dengan kurangnya kejelasan dan
konsistensi dalam kenyataannya, kausalitas dan intensionalitas dalam pengambilan keputusan
organisasi. Teori institusional adalah suatu pendekatan yang umum digunakan dalam
penelitian pengukuran kinerja (Edita Gimzauskiene dan Kloviene, 2011), selain juga
digunakan oleh (Rautiainen dan Jarvenpaa, 2012) dan juga (Sven Modell, 2009).

98
Pertimbangkan dua konsep teori keputusan : ketidakpastian dan ambiguitas. Dalam
teori pilihan rasional ketidakpastian adalah sebuah konsep yang mengacu pada penilaian tidak
tepat konsekuensi tergantung pada tindakan yang diambil saat di masa depan. Namun, definisi
tersebut melibatkan asumsi tambahan tertentu. Di satu sisi, adalah mungkin untuk menentukan
semua negara saling melengkapi dan eksklusif di ruang pengambilan keputusan. Seorang
pembuat keputusan tidak tahu di mana negara berada, tapi ia tahu bahwa beberapa dari mereka
ada. Di sisi lain hal, ketidakpastian dapat dikurangi dengan jumlah informasi. Keterbatasan
dalam pemahaman dunia 'luar' dapat dikurangi dengan kuantitas informasi. Ketika situasi
pengambilan keputusan melibatkan ambiguitas, pengambil keputusan tidak dapat meyakinkan
dirinya sendiri apakah salah satu hal yang benar (ketidakjelasan dalam realitas), atau bahwa
dunia luar dapat didekomposisi menjadi negara saling lengkap dan eksklusif (kurangnya
kejelasan dalam kausalitas) atau bahwa informasi tersebut tidak akan selalu menyelesaikan
masalah kejelasan (kurangnya kejelasan dalam niat).
Studi Pada Sistem Pengukuran Kinerja: Gambaran Umum
Desain Sistem Pengukuran Kinerja
Rancangan pengukuran kinerja terdiri dari kegiatan yang terlibat dalam membangun
dan membangun pengukuran kinerja, seperti menyelaraskan strategi dan rencana aksi, melihat
perusahaan dari perspektif pemangku kepentingan yang berbeda ', dan menetapkan target.
Desain sistem pengukuran kinerja telah mendapat perhatian besar dalam penelitian selama
dekade terakhir. Beberapa penulis resep cara terbaik untuk desain sistem pengukuran kinerja.
Misalnya, tindakan harus berasal dari strategi, harus mewakili dimensi yang berbeda dari
sebuah organisasi, dan harus mempertimbangkan semua stakeholder perusahaan.
Balance Scorecard(BSC), pertama kali disajikan pada tahun 1992 oleh Kaplan dan
Norton, adalah sistem pengukuran yang mengatasi kekurangan dari sistem kinerja tradisi. BSC
menawarkan pandangan holistik organisasi sehubungan dengan empat perspektif penting
(keuangan, pelanggan, proses internal, inovasi dan pembelajaran). Cara berpikir sering
dipandang sebagai konsisten dengan ide-ide lain dalam organisasi kontemporer seperti
orientasi proses, perbaikan terus-menerus dan fokus pelanggan.
Balance Scorecard bagaimanapun, tidak tanpa kritik(Robert S. Kaplan 2010).
Sementara presentasi kelemahan BSC seperti hubungan kausal bermasalah dan hanya berfokus
pada hasil. Idenya adalah untuk membangun sebuah ‘kerangka kerja'yang menggabungkan
faktor-faktor keberhasilan kritis dan menggunakan model matematika yang menggambarkan
hubungan tertanam. Berdasarkan studi literatur, mengidentifikasi empat dimensi kunci
sepanjang mana organisasi manufaktur mengukur kemampuan mereka untuk menjadi efektif
dan efisien. Dimensi ini adalah kualitas, waktu, biaya dan fleksibilitas. Para penulis
menyatakan bahwa pengukuran kinerja harus berlabuh dalam konteks strategis sebagai
tindakan mempengaruhi tindakan dan prioritas masyarakat untuk sebagian besar. Terkait
dengan kerangka ini adalah proses manajemen strategis di mana visi, tujuan strategis,
pengukuran kinerja dan rencana aksi terkait dengan cara yang koheren dan konsisten. Melalui
proses ini, pengukuran diletakkan dalam konteks strategis dan, dengan demikian, dilihat
berkaitan dengan gambaran keseluruhan.

99
Tipe lain dari klasifikasi, dikembangkan oleh (Umit Bititci dkk., 2012), memisahkan
pengukuran kinerja menjadi lima sistem mewakili strategis, taktis dan operasi arah organisasi .
Klasifikasi ini mengarah, menurut penulis , untuk sistem pengukuran kinerja yang terintegrasi
sejalan dengan strategi dan visi organisasi. Sistem 1 sesuai dengan fungsi produktif dalam
organisasi dan mengukur kinerja kegiatan usaha individu. Manufaktur lead time dan
pemrosesan order lead time adalah contoh dari tindakan tersebut. Sistem 2 bertujuan
mengkoordinasikan kegiatan dariunit operasional. Sistem ini, dengan demikian, mencakup
pengukuran kinerja yang merupakan fungsi dari langkah-langkah kegiatan individu pada
tingkat proses bisnis individu. Sistem termasuk tingkat manajemen taktis organisasi. Pada
tingkat sistem ini, tujuan strategis dikerahkan dan diprioritaskan berdasarkan informasi dari
Sistem 1 dan 2. Sistem 4 penawaran dengan lingkungan eksternal. Fokusnya adalah pada
menangkap kejadian di masa depan dan mengidentifikasipotensi peningkatan, seperti
bagaimana perusahaan melakukan dalam kaitannya dengan pesaing dan kebutuhan pasar.
Melalui identifikasi strategi dan tujuan, arah organisasi yang diuraikan dalam Sistem 5.
Model Bisnis Excellence menggunakan pengukuran kinerja untuk menilai kualitas.
Model ini terdiri dari prinsip-prinsip: menyenangkan pelanggan, manajemen oleh fakta-fakta,
orang manajemen dan perbaikan terus-menerus. Prinsip-prinsip ini, pada gilirannya, dikaitkan
dengan berbagai konsep inti dan Business Excellence sebagai indikator akhir. Model Business
Excellence ini kontras dengan BSC bahwa mereka mempertimbangkan lebih dalam proses
organisasi. The BSC berfokus pada hasil.

Pelaksanaan dan pengoperasian sistem pengukuran kinerja


Penelitian tentang pelaksanaan pengukuran kinerja berfokus pada aspek-aspek seperti:
bagaimana seharusnya proses implementasi dikelola? Artinya, bagaimana kita harus
mengelola proses dalam hal kepemimpinan, sumber daya keuangan, struktur partisipatif,
penggunaan konsultan eksternal, dan infrastruktur teknis agar sukses terjamin? Pelaksanaan
pengukuran kinerja bisa sangat mahal untuk sebuah organisasi, dalam hal waktu, uang dan
sumber daya manusia. Apa jenis masalah yang terjadi sebagai hasil proses implementasi? Apa
kegiatan yang diperlukan bahwa tim perlu memberlakukan untuk menerapkan sistem
pengukuran kinerja dalam kenyataan? Ini adalah beberapa pertanyaan yang dibahas dalam
pelaksanaan penelitian.
Kaplan dan Norton (1992) menyajikan proses implementasi BSC yang bertujuan
mengamankan hubungan strategis masing-masing ukuran kinerja. Proses ini ditandai dengan
wawancara dan lokakarya dengan manajer, dimana strategi yang berlabuh dan langkah-
langkah yang dikembangkan. Dalam buku mereka, strategi fokusorganisasi, (Robert S. Kaplan
2010) mengembangkan proses implementasi dan menegaskan bahwa setiap program BSC
harus dimulai dengan identifikasi perubahan dimaksud. Implementasi seharusnya tidak dilihat
sebagai sebuah proyek pengukuran kinerja melainkan sebagai sebuah proyek yang mengarah
kepadakenyataan, perubahan nyata dalam organisasi. Langkah-langkah dalam proses tersebut
dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan, bukan sebagai produk akhir. Kaplan dan
Norton menyatakan bahwa strategi harus didiskusikan pada semua tingkat organisasi dan
bahwa pengukuran kinerja harus dikaitkan dengan strategi bahwa untuk memprioritaskan.
Dukungan teknologi informasidilihat sebagai bagian sentral dalam pelaksanaan BSC dan
banyak organisasi melihatnya sebagai langkah pertama untuk sistem berfungsi.

100
Kegunaan Dan Penyempurnaan Sistem Pengukuran Kinerja
Aspek ketiga yang diidentifikasi dalam penelitian pengukuran kinerja adalah
penggunaan pengukuran kinerja dalam pekerjaan sehari-hari. Ini berarti bahwa perhatian
ditarik kepada penggunaan sebenarnya pengukuran kinerja dalam pekerjaan sehari-hari.
Kegiatan penelitian ini dapat ditujukan untuk penggunaan strategi di antara manajemen atau
karyawan. Sebuah pertanyaan penelitian yang khas adalah: apa konsekuensi ukuran kinerja
yang harus seperti yang biasa digunakan? Studi tersebut dapat memusatkan perhatian pada
organisasi, kelompok atau tingkat individu.
Gagasan bahwa pengukuran kinerja harus membimbing tindakan masa depan tidak
hanya menjadi perhatian bagi manajer puncak. (Micheli dan Neely, 2010) menunjukkan
bahwa pengukuran adalah proses kuantifikasi, tetapi itu pada gilirannya merangsang tindakan.
Tindakan ini dihasilkan dari kegiatan dalam tim manajemen atau manajer tunggal. Studi lain
menyelidiki penggunaan pengukuran kinerja disajikan oleh (Mattias Elg dan Kollberg, 2009).
Penelitian ini berfokus pada jenis ukuran kinerja penting yang ada dalam penggunaan mereka
dalam pekerjaan manajerial. Studi ini membawa perhatian ke berbagai sosial, material, sumber
daya temporal dan spasial dari penggunaan ukuran kinerja; kegiatan mengambil tempatkan
pada pertemuan di mana ukuran kinerja yang digunakan; dan signifikansi ukuran kinerja
dalam koordinasi unit dalam organisasi hirarkis.
Studi empiris mencakup pengamatan dari pertemuan manajerial (dipilih oleh prosedur
formal) dalam berbagai tingkat hirarki dari produsen produk industri yang kompleks.
Beberapa tema yang disorot dalam penelitian ini adalah: (1) sosial, material dan lingkungan
temporal kerja manajerial mempengaruhi penggunaan; (2) bahwa penggunaan ukuran kinerja
terutama adalah kegiatan reflektif yang muncul dari sejarah organisasi; (3) yang kaitan antara
tingkat hirarki, seperti kepemimpinan dan tumpang tindih penduduk serta langkah-langkah
kinerja yang tumpang tindih, batas dan memungkinkankoordinasi; dan (4) bahwa ukuran
kinerja dalam konteks belajar merupakan peran penting dalam penciptaan pengetahuan tentang
aktivitas organisasi.
Berdasarkan survei nasional, (Patria De Lancer Julnes, 2006) mengidentifikasi faktor-
faktor yang mencegah manajemen dari menggunakan pengukuran kinerja di instansi
pemerintah negara bagian dan lokal di A.S. Mereka menyimpulkan bahwa penting untuk
melakukan penilaian terhadap organisasi kesiapan untuk mengembangkan dan menerapkan
ukuran kinerja, untuk mengungkapkan tingkat pengetahuan tentang penggunaan informasi.
Mereka lebih lanjut menyatakan bahwa tingkat dukungan untuk pengukuran kinerja dan
kondisi organisasi yang berkaitan dengan budaya, sumber daya dan keahlian merupakan faktor
penting untuk dipertimbangkan. Selain itu, mereka menganjurkan mengidentifikasi dan
melibatkan kelompok kepentingan internal dan eksternal, serta melibatkan serikat karyawan.
Akhirnya, mereka mengklaim itu adalah penting untuk mengadopsi pengukuran kinerja
bahkan jika organisasi tidak menerapkan atau menggunakannya untuk jangka waktu tertentu,
dan untuk mengembangkan budaya peningkatan kinerja.

101
Menganalisis Sistem Pengukuran Kinerja Dari Perspektif Organisasi
Tiga area masalah - desain, implementasi dan penggunaan pengukuran kinerja - dapat
dilihat dalam hal serangkaian faktor yang mempengaruhi hasilnya: ide, teknologi, orang,
transaksi dan konteks. Prinsipnya adalah untuk mengikuti berbagai kegiatan pengenalan
sistem pengukuran kinerja, dari awal hingga realisasinya dengan mengakui faktor-faktor ini.
Setiap kali seorang peneliti memasuki obyek studi, dia membawa ide-ide konseptual tertentu
tentang konstitusi bahwa praktek tertentu. Ide-ide berkembang dari waktu ke waktu selama
proses merancang penelitian dan memperoleh bahan empiris melalui berbagai metode untuk
analisis dan interpretasi. Ide-ide konseptual dapat berupa sistematis diintegrasikan ke dalam
berbagai metode dikembangkan dan digunakan untuk investigasi, atau mereka mungkin lebih
longgar digabungkan menyusul rancangan penelitian induktif.
Studi tentang pengukuran kinerja sebagai fenomena empirisseperti yang kita
pertimbangkan di sini pengambilan sistematis, pendekatan kontekstual untuk mempelajari
berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan dan penggunaan sistem tersebut -
mencakup beberapa kerangka kerja konseptual. Pemilihan kerangka tersebut mempengaruhi
apa yang peneliti akan lihat.
Bagaimana mungkin untuk mengevaluasi hasil dari sistem pengukuran kinerja?
Haruskah kita fokus pada proses atau hasil akhir? Artinya, bagaimana organisasimeningkatkan
sehubungan dengan pengukuran kinerja yang diterapkan dan digunakan? Pada bagian ini,
kami menguraikan beberapa kemungkinan yang seorang peneliti harus memilih antara sebagai
sistem pengukuran kinerja sedang dievaluasi. Disarankan bahwa studi tentang manfaat dari
sistem pengukuran kinerja harus mencakup penilaian desain, implementasi, dan penggunaan.
Desain meliputi baik model abstrak, desain visual, dan konstruksi aktual untuk mengukur
kinerja dan sistem administrasi / teknis di mana model dan konstruksi dilaksanakan.
Ada beberapa alternatif untuk mengevaluasi manfaat dari sistem pengukuran kinerja.
Namun, masing-masing perspektif memiliki kelemahan sendiri dan peneliti perlu memilih
metode yang tepat untuk desain penelitian. Salah satu bentuk evaluasi adalah membiarkan
praktisi hakim dan memutuskan langsung dengan meminta mereka. Hal ini disebut sebagai
evaluasi subyektif. Bentuk lain yang lebih 'obyektif' evaluasi termasuk yang berkaitan biaya
sistem untuk manfaat yang dirasakan, atau menganalisis bagaimana sistem menyebabkan
perubahan nyata dalam organisasi. Masalah dengan strategi kedua adalah bahwa hal itu
mungkin sulit untuk menilai apa perubahan titik berpengaruh. Ada juga masalah menemukan
hubungan sebab-akibat pada saat ada perubahan. Bagaimana kita tahu, misalnya, bahwa
kepuasan pelanggan meningkat adalah efek dari suatu sistem yang diterapkan untuk mengukur
kepuasan pelanggan? Pertanyaan ini banyak dibahas dalam studi penelitian organisasi, karena
banyak faktor dalam situasi langsung dan di lingkungan sekitarnya juga dapat mempengaruhi
dan memiliki efek pada kinerja. Sistem model dan pendekatan konteks berorientasi bertujuan
menangani masalah ini bermasalah.
Pertanyaan lain adalah ketika harus 'post-perubahan' penilaian dilakukan? Pada waktu
apa? Tekankan kemungkinan evaluasi tersebut untuk menunjukkan status quo, yaitu, bahwa
tidak ada perbaikan telah diidentifikasi. Alternatif pandang untuk memulai dari perspektif
praktisi dan mempelajari bagaimana berbagai pemangku kepentingan dan manajer menerima

102
dan memanfaatkan pengukuran kinerja. Titik yang dibuat adalah bahwa situasi kerja manajer
'telah membaik, tetapi sulit untuk menarik kesimpulan apapun tentang perubahan yang nyata
dalam hasil. Gerakan kualitas menekankan fokus pelanggan baik dalam pengembangan dan
penggunaan alat dan teknik yang berbeda. Pertanyaan kunci mencakup: Siapa pelanggan?
Bagaimana pelanggan akan menggunakan produk kami? Dalam situasi apa dia akan
menggunakan produk kami? Mengapa pelanggan menggunakan produk kami? Ini jenis
pertanyaan membantu para pengembang dan produsen untuk merancang dan menghasilkan
produk yang akan memenuhi harapan pelanggan.
Pertanyaan serupa mungkin akan diajukan sebagai sistem pengukuran kinerja sedang
dirancang dan diimplementasikan. Bagian berikutnya mengembangkan ide ini lebih lanjut.
Seperti telah dibahas sebelumnya, manfaat pengukuran kinerja menyiratkan penggunaan
praktis dalam pekerjaan manajerial. Manajer menggunakan ukuran kinerja untuk komunikasi
dan pengambilan keputusan dalam interaksi dengan orang lain. Ukuran kinerja mungkin,
dalam pengertian ini, dipandang sebagai sumber informasi tentang kegiatan organisasi yang
berkaitan dengan topik tertentu yang sedang dibahas dalam lingkungan kerja tertentu.
Penggunaan ukuran kinerja berlangsung dalam ruang-waktu pertemuan sosial tertentu. Dengan
pindah ke situasi alam di mana ukuran kinerja dipraktekkan, adalah mungkin untuk melihat
lebih dekat berbagai aspek situasi seperti itu. Hal ini diperlukan untuk menunjukkan dimensi
situasional spasial dan temporal: misalnya, manajemen puncak bertemu pada waktu dan
tempat tertentu, dan manajer tim membahas bekerja dengan operator nya di papan
pengumuman. Dua cara menggunakan ukuran kinerja memberikan petunjuk tentang sifat
berulang dari pertemuan Total Quality Management, karena keduanya terlibat dalam
penggunaan ukuran kinerja, terjadi dengan frequency.(Mattias Elg dan Kollberg,
2009)mengidentifikasi lima pengaturan khas dalam yang mengukur kinerja yang digunakan:
Pengaturan 1: Terus menerus tindak lanjut dalam pekerjaan manajerial, di mana ukuran
kinerja digunakan sebagai ukuran suhu atau perhatian-getter.
Pengaturan 2: Penggunaan dalam pekerjaan pembangunan / peningkatan, di mana
pengukuran kinerja membantu dalam pemecahan masalah.
Pengaturan 3: The 'manager tertarik' menggunakan database, mengumpulkan informasi dan
membuat analisis sendiri 'ad hoc'.
Pengaturan 4: Pengukuran kinerja digunakan dalam proses penyebaran gol.
Pengaturan 5: Informasi dari pengukuran kinerja digunakan dalam laporan dan disajikan
kepada kelompok tertentu dari para pemangku kepentingan.
Melalui fokus pada praktek (yaitu, berbagai pengaturan di mana manajer menggunakan
informasi), adalah mungkin untuk secara efektif mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana
ukuran kinerjaharus digunakan. Penggunaan istilah dalam pekerjaan manajemen berarti fokus
pada kontekstual, terletak karakter pengukuran kinerja. Apa yang kita sketsa adalah studi
tentang penggunaan ukuran kinerja yang de-menekankan karakter rasional penggunaannya
seperti yang diberikan dalam literatur manajemen normatif, dan tempat-tempat lebih penting
padaelemen kontekstual sekitarnya penggunaannya. Ide umum dari model MIRP adalah
bahwa efisiensi (dari segi desain, implementasi, dan penggunaan di kami 'pengukuran kinerja'

103
bahasa) adalah hipotesis menjadi fungsi dari dimensi internal yang. Hubungan ini
dimoderatori oleh aspek pengukuran kinerja sistem ini (pembaharuan, ukuran dan tahap
pembangunan).

Keterbatasan Pengukuran Kinerja


Pengukuran kinerja tidak, bagaimanapun, obat mujarab untuk semua masalah dan
tantangan yang dihadapi organisasi dan program yang efektif. Banyak masalah yang
organisasi publik dan nirlaba berusaha untuk alamat setidaknya agak keras, tanpa solusi yang
mudah terlihat, dan sumber daya yang tersedia sering tidak memadai untuk mengatasi secara
efektif. Selain itu, keputusan mengenai strategi, prioritas, tujuan, dan sasaran yang sering
dilakukan dalam konteks yang sangat dipolitisir ditandai dengan kepentingan bersaing pada
tingkat yang berbeda, kepribadian yang kuat, dan ditinggalkannya prinsip mendukung
kompromi. Jadi, meskipun tujuan sistem pengukuran adalah untuk membantu meningkatkan
kinerja melalui mempengaruhi keputusan, mereka tidak dapat diharapkan untuk
mengendalikan atau mendikte apa keputusan akan.
Sistem pengukuran kinerja dimaksudkan untuk menyuntikkan obyektif,berorientasi
pada hasil informasi ke dalam proses pengambilan keputusan, tetapi bahkan pada tingkat
manajemen yang lebih rendahmereka dapat diabaikan dan tidak akan secara otomatis
digunakan (Poister H. Theodore, 2003). Kesulitan lain adalah bahwa tidak semua lembaga dan
program meminjamkan diri sama baiknya untuk pengukuran kinerja. Sedangkan
mengembangkan ukuran kinerja untuk lembaga yang berorientasi produksi dengan sistem
pelayanan yang lebih nyata sering relatif mudah, proses ini mungkin akan jauh lebih sulit (atau
lemah di terbaik) di instansi yang kegiatannya diakui hanya memiliki koneksi yang sangat
tidak langsung terhadap hasil yang diinginkan. Sebagai contoh, USAEnvironmental Protection
Agency memiliki program yang dimaksudkan untuk bekerja dengan negara-negara Eropa
Timur untuk mendorong mereka untuk mengadopsi kebijakan ketat dalam rangka
meningkatkan kualitas udara dan air. Tidak hanya adalah hasil jangka sangat panjang, tetapi
faktor-faktor tak berwujud mungkin sangat penting, dan hubungan kausal dalam web
kompleks faktor yang mempengaruhi kurang jelas, sehingga lebih menantang untuk
mengembangkan ukuran kinerja berguna daripada halnya dengan produksi yang lebih
program-oriented.Unit kebijakan yang berorientasi, seperti badan-badan perencanaan, program
penelitian, atau analisis kebijakan dan evaluasi kantor, bisa sulit untuk memasukkan dalam
sistem pengukuran kinerja karena pengaruh mereka pada hasil yang nyata seringkali sulit
untuk memilah-milah dan karena hasil tersebut seringkali tidak diharapkan terwujud selama
bertahun-tahun, atau bahkan puluhan tahun. Oleh karena itu, langkah-langkah tahunan "hasil,"
misalnya, mungkin tampak tidak berarti atau seperti hanya akan melalui gerakan, tanpa nilai
nyata. Demikian pula, seringkali sulit bahkan tidak mungkin untuk mengukur dampak dari
fungsi-seperti pemeliharaan armada, toko percetakan, pos dan jasa kurir, peralatan kantor,
manajemen properti, pembelian, personalia, anggaran dan keuangan, dan manajemen
informasi-dalam hal dukungan meningkatkan efektivitas unit-unit layanan yang mereka layani,
dan dengan demikian ukuran hasil untuk fungsi-fungsi ini biasanya tidak tersedia. Selain itu,
untuk program-untuk pencegahan misalnya, yang bertujuan untuk membatasi penyebaran
penyakit atau meminimalkan cedera, kematian, Pengantar Pengukuran Kinerja kerusakan

104
properti, dan kesulitan lainnya akibat bencana-alam hasilhal dampak negatif yang tidak terjadi
bisa sangat sulit untuk menangkap dengan ukuran kinerja.
Namun demikian, berorientasi pada hasil manajer di semua organisasi publik dan
nirlaba harus sangat peduli dengan pelacakan kinerja program-program mereka, dan di mana
hal itu mungkin tidak layak atau bermanfaat untuk mengukur hasil aktual secara teratur, masih
dapat membantu untuk memantau lebih langkah cepat yang berkaitan dengan isu-isu seperti
jumlah pekerjaan yang dilakukan, ketepatan waktu dan kualitas pekerjaan itu, efisiensi yang
dilakukan, sejauh mana hal itu dipandang sebagai responsif terhadap pelanggan dan klien, dan
sejauh mana itu selesai dalam anggaran. Tidak peduli seberapa terbatas atau komprehensif
indikator, bagaimanapun, adalah penting untuk mengenali pada awal bahwa sistem
pengukuran kinerja memberikan data yang deskriptif tapi tidak ketat evaluatif. Artinya, ukuran
kinerja sendiri tidak memberikan indikasi yang jelas sebab dan akibat atau sejauh mana suatu
program atau lembaga mungkin bertanggung jawab untuk memproduksi hasil-hasil
pengamatan. Meskipun sistem pengukuran dilakukan menghasilkan data yang sering dapat
digunakan dalam evaluasi program yang lebih ketat, perawatan harus dilakukan untuk tidak
overinterpret kinerja mengukur sendiri.
Pengukuran kinerja juga dapat mendorong tanggapan yang tidak diinginkan. Meskipun
logika pengukuran kinerja menyatakan bahwa memberikan informasi yang obyektif tentang
program atau lembaga kinerja akan menghasilkan keputusan dan tindakan yang dirancang
untuk memperkuat kinerja, yang tidak akan otomatis mengikuti. Ketika tanggapan manajemen
utama untuk data kinerja negatif adalah untuk menempatkan menyalahkan individu atau unit
tertentu, misalnya, atau untuk menghukum manajer dalam beberapa cara untuk masalah di
mana mereka tidak memiliki kontrol, dampak dari sistem pengukuran adalah kontraproduktif
dan cenderung menghasilkan , setidaknya dijangka panjang, dalam memburuknya tingkat
kinerja.
Selain itu, sistem pengukuran kinerja mungkin hanya membutuhkan terlalu banyak
waktu dan usaha. Lembaga-lembaga publik dan nirlaba perlu mengembangkan sistem
pengukuran yang melayani kebutuhan mereka dengan tetap menjaga keseimbangan yang
wajar antara manfaat dan biaya. Ketika sistem tersebut sangat berat dalam hal pengumpulan
dan pengolahan data, misalnya, belum menghasilkan sedikit informasi yang benar-benar
menarik bagi manajemen, sistem tidak hemat biaya. Akhirnya, sistem pengukuran kinerja
menjalankan risiko diabaikan. Beberapa lembaga menginvestasikan sumber daya dalam
mempertahankan sistem pengukuran tapi jarang melihat data terakumulasi secara serius.
Untuk sistem untuk berkontribusi peningkatan kinerja, itu harus dimanfaatkan. Sebagai
pendukung ingin menunjukkan, melengkapi mobil dengan speedometer tidak apa-apa dengan
sendirinya untuk memastikan mengemudi yang aman dari kendaraan itu. Dengan cara yang
sama, ukuran kinerja sendiri tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan kinerja kecuali
mereka digunakan sangat sengaja untuk mengelola lembaga dan program yang lebih efektif.

105
KOMENTAR AKHIR
Pengukuran kinerja dapat menjadi pendorong perubahan organisasi dan pembaharuan, serta
sarana untuk membangun bentuk organisasi baru. Manajer organisasi yang dihadapkan dengan
ide melaksanakan dan mewujudkan seperti baru berbagai pengaturan raisea pertanyaan,
seperti:
(1) Apa jenis pengukuran kinerja yang terbaik untuk mengukur efektivitas, efisiensi dan
perbaikan?
(2) Bagaimana seharusnya kita menggunakan pengukuran kinerja dalam konteks manajemen
kami sehingga menjadi driver untuk kinerja organisasi?
(3) Apa faktor penting untuk sukses menerapkan pengukuran kinerja dalam organisasi?
Seperti kita ketahui, desain pengukuran kinerja dibuat untuk berbagai tujuan, menetapkan
mereka berbedaperan, dan menerapkannya di dunia nyata. Proses implementasi ini memainkan
peran penting dalam bagaimana pengukuran kinerja akan benar-benar dipahami dan
digunakan. Mengingat jangkauan dan arah dari pertanyaan yang diajukan oleh para sarjana
organisasi dan manajer dalam bidang pengukuran kinerja, cukup mengejutkan untuk melihat
bahwa ada beberapa studi empiris pengukuran kinerja. Salah satu pengamatan adalah bahwa
sastra tampaknya dibagi menjadi dua pandangan yang berbeda.
Yang pertama mengasumsikan bahwa ukuran kinerja yang obyektif diberikan: mereka
setara dengan kebenaran karena mereka terdiri dari fakta-fakta obyektif tentang realitas.
Perspektif lain menunjukkan bahwa ukuran kinerja secara sosial dibangun oleh anggota
kelompok tertentu dan bahwa mereka tidak lengkap. Proses pelaksanaan pengukuran kinerja
memainkan peran penting dalam bagaimana mereka akan benar-benar dipahami dan
digunakan. Pergeseran terbaru dalam pendekatan penelitian dari mempelajari pengukuran diri
untuk bagaimana mereka digunakan dalam situasi nyata tatap muka memandang penggunaan
ukuran kinerja dari mikro-perspektif, menyiratkan fokus pada tindakan manusia dalam situasi
tertentu. Dengan mengikuti pendekatan semacam itu, secara otomatis kami mengakui proses
organisasi makro di tingkat mikro.
Situasi dipelajari adalah titik awal untuk analisis. Selanjutnya, para pendukung
pendekatan ini mengklaim bahwa hal itu dapat mahal untuk gagal untuk melihat bahwa
penggunaan teknologi manajerial seperti ukuran kinerja selalu menjadi bagian dari sistem
yang lebih besar, yang dibentuk oleh dan membentuk situasi lokal praktiknya. Perspektif ini
menunjukkan perubahan dari pandangan dominan rasionalitas teknis terhadap epistemologi
praktek yang menekankan embeddedness kontekstual.
Tujuan dari pekerjaan kami dalam artikel ini adalah untuk mempresentasikan dan
mendiskusikan argumen dan arah untuk studi pengukuran kinerja alternatif. Para penulis
berpendapat bahwa ada kebutuhan untuk pendekatan umum dalam pemeriksaan pengukuran
kinerja di organisasi; perspektif yang membahas pertanyaan-pertanyaan kunci yang
diidentifikasi oleh para manajer dan bagaimana mereka berurusan dengan desain,
implementasi dan penggunaan pengukuran kinerja dalam pengaturan real-time.

106
DAFTAR PUSTAKA

Bettina Hódi Hernádi. 2012. Green Accounting for Corporate Sustainability. Honggaria: Club
of Economics in Miskolc, pp. 23-30.

Burney, L. L., dan M. Matherly. 2007. Examining Performance Measurement from an


Integrated Perspective. Journal of Information System Vol. 21, No. 2 (Fall 2007):20.

Cristian-Ionut, Ivanova, dan S. Avasilcăi. 2014. Performance measurement models: an


analysis for measuringinnovation processes performance: Procedia - Social and
Behavioral Sciences 397 – 404.
Edita Gimzauskiene, dan L. Kloviene. 2011. Performance Measurement System: Towards an
Institutional Theory. Inzinerine Ekonomika-Engineering Economics 22 (04):7.

Hans de Bruijn. 2004. Managing Performance in The Public Sector. edited by T. a. F. e-


Library. Dutch, USA and Canada: Taylor & Francis Group.

Joanna L.Y. Ho, Anne Wu, dan Steve Y.C. Wu. 2014. Performance measures, consensus on
strategy implementation, and performance: Evidence from the operational-level of
organizations. Accounting, Organizations and Society 39 (2014):38–58.

Mattias Elg, dan B. Kollberg. 2009. Alternative Arguments and Directions for Studying
Performance Measurement. Total Quality Management Vol. 20, No. 4 (April 2009):14.

Micheli, P., dan A. Neely. 2010. Performance Measurement in the Public Sector in England.
Public Administration Review (July/August 2010):10.

Naser Yousef Alzoubi. 2014. The Extent of Using Financial and Non-Financial Measures in
Evaluating Branches Performance of Commercial Banks in Jordan A field Study
According to Internal Auditors Viewpoint. Research Journal of Finance and
Accounting Vol. 5, No. 6:7.

Patria De Lancer Julnes. 2006. Performance Measurement An Effective Tool for Government
Accountability? The Debate Goes On. Utah State University, USA Vol 12(2) (Aug 7,
2006):17.

Pietro Michelia, dan Luca Mari. 2014. The theory and practice of performance measurement:
Management Accounting Research 147–156.

Poister H. Theodore. 2003. Measuring Performance in Public and Non Profit Organizations. In
a Wiley Imprint, edited by Jossey-Bass.

Rautiainen, A., dan M. Jarvenpaa. 2012. Institutional Logics and Responses to Performance
Measurement Systems. Financial Accountability & Management 28(2) (May 2012):26.

107
Robert S. Kaplan 2010. Conceptual Foundations of the Balanced Scorecard. Harvard Business
School, Harvard University (working paper) Working papers are in draft form. (This
working paper is distributed for purposes of comment and discussion only.):36.
Steven A. Melnyka, Umit Bititci, Ken Plattsc, Jutta Tobiasd, dan Bjørn Andersen. 2014. Is
performance measurement and management fit for the future?: Management
Accounting Research 173–186.
Sven Modell. 2009. Institutional Research on Performance Measurement and Management in
The Public Sector Accounting Literature: a Review and Assessment. Financial
Accountability & Management Vol. 25(3) (August 2009):26.

The World Conservation Union. 2000. Lessons Learned from Environmental Accounting.
IUCN October 2000 (Findings from Nine Case Studies. Washington, D.C):48 pages.
Umit Bititci, P. G., V. Dörfler, dan S. Nudurupati. 2012. Performance Measurement:
Challenges for Tomorrow. International Journal of Management Reviews Vol. 14
(2012):22.

Vakkuri, J., dan P. Meklin. 2006. Ambiguity in Performance Measurement: a Theoritical


Approach to Organisational Uses of Performance Measurement. Financial
Accountability & Management Vol. 22 (3) (August 2006):16.

Xenophon Koufterosa, Anto (John) Verghesea, dan Lorenzo Lucianetti. 2014. The effect of
performance measurement systems on firm performance: A cross-sectional and a
longitudinal study: Journal of Operations Management, 313 - 336.

108
PERAN KEPUASAN KERJA DALAM MEMEDIASI PENGARUH
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KINERJA
INDIVIDU

Oleh :
Yuni Siswanti , Krisnandini Wahyu Pratiwi1), Charlita Permatasari2)
1)

E-mail : yuni_sis2@yahoo.co.id
1)
Dosen Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Yogyakarta
2)Alumni Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Yogyakarta

ABSTRACT

The purpose of this study was the examined the effect of transformasional leadership to
employee performance (H1), the effect of the job satisfaction to employee performance with
job satisfaction as mediated variable (H2). The research method used is descriptive and
explanatory survey. Sampling technique used is cluster sampling from 90 respondents (from
Mitra Adi Jaya Yogyakarta. Data collection techniques among other things by distributing a
questionnaire (questionnaire), limited interviews, and observation. Data collection tool in the
form of questionnaire. Analysis hypothesis using regression analysis with Baron and Kenny’s
Model. Based on research results, it can be concluded that there was not significant direct
effect of transformational leadership to employee performance. Beside that, job satisfaction as
mediated variable on the effect of transformational leadership to employee performance (fully
mediated variabled).

Keywords: transformational leadership, employee performance, job satisfaction

PENDAHULUAN

Dalam setiap organisasi, sumberdaya mausia merupakan salah satu hal yang amat
penting untuk selalu diperhatikan karena manusialah yang membuat rencana, mengatur,
mengolah serta mengendalikan setiap kegiatan yang ada di dalam organisasi tersebut. Saat ini
pengakuan terhadap manusia senantiasa mempunyai kedudukan yang semakin penting,
sehingga segala hal yang berhubungan dengan aktivitas manusia senantiasa membutuhkan
perhatian yang lebih baik dibanding unsur lainnya. Salah satu hal yang perlu dan harus
diperhatikan adalah masalah kinerja.
Kinerja karyawan merupakan hasil yang dicapai dari fungsi kerja atau aktivitas yang
berupa perilaku dan hasil dari perilaku (Armstrong dan Baron, 2005). Ada beberapa variabel
yang mempengaruhi kinerja karyawan, diantaranya adalah kepemimpinan. Robbins (2010)
menyatakan bahwa seringkali evaluasi kerja yang terbaik dilakukan oleh supervisor langsung.
Kepemimpinan merupakan upaya menggunakan berbagai jenis pengaruh yang bukan paksaan

109
untuk memotivasi anggota organisasi agar mencapai tujuan tertentu (Gibson, 2009). Gaya
kepemimpinan seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi kondisi kerja, dimana akan
berhubungan dengan bagaimana karyawan menerima suatu gaya kepemimpinan, senang atau
tidak, suka atau tidak. Di satu sisi gaya kepemimpinan tertentu dapat menyebabkan
peningkatan kinerja disisi lain dapat menyebabkan penurunan kinerja.
Kepemimpinan transformasional diyakini memiliki pengaruh terhadap perusahaan dalam
bentuk non keuangan seperti kepuasan kerja dan kinerja karyawan
(PemimpinTransformasional memotivasi pengikutnya untuk melakukan sesuatu (kinerja)
diluar dugaan (beyond normal expectation) melalui transformasi pemikiran dan sikap mereka
untuk mencapai kinerja diluar dugaan tersebut, pemimpin transformasional menunjukkan
berbagai perilaku berikut: pengaruh idealisme, motivasi insporasional, stimulasi intelektual
dan konsiderasi individual.
Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai kepemimpinan yang
mencakup upaya perubahan organisasi (sebagai lawan kepemimpinan yang dirancang untuk
mempertahankan status quo). Diyakini bahwa gaya ini akan mengarah pada kinerja superior
dalam organisasi yang sedang menghadapi tuntutan pembaharuan dan perubahan (Bass &
Avolio, 2003). Hasil riset Cavazotte, Moreno, dan Bernardo (2013) serta Ghafoor, Qureshi,
Khan dan Hijazi (2011)menemukan bahwa ada hubungan yang cukup kuat antara
kepemimpinan transformasional dengan kinerja individu.
Kepemimpinan Transformasional dapat ditransformasikan atau dapat diukur dengan
melihat pada aspek-aspek sebagai berikut (Siswanti, 2008):
1. Karisma (Idealized Influence) :
Pemimpin transformasional memiliki integritas perilaku (behavioral
integrity) atau persepsi terhadap eksesuaian antara espoused values dan enacted values
(Simons, 1999). Artinya, nlai-nilai yang diungkapkan lewat kata-kata senada dengan
yang ia tunjukkan dalam tindakan. Pemimpin ini memberikan contoh dan cenderung
bertindak sebagai role model positif dalam perilaku, sikpa, prestasi, maupun komitmen
bagi anggota-anggotanya. Ia sangat memperhatikan kebutuhan anggotanya, siap
menanggung risiko bersama dengan anggota, hanya menggunakan kekuasaannya
pada saat diperlukan serta tidak memanfaatkan kekuasaannya itu untuk
kepentingan pribadi. Di samping itu, kepemimpinan transformasional dalam hal
ini senantiasa memberi visi dan sense of mission, serta menanamkan rasa bangga
pada anggotanya. Akibat yang terjadi adalah: anggota menjadi respek, kagum, dan
memiliki kepercayaan penuh pada pimpinan. Hal ini ditunjukkan angota dengan selalu
berkeinginan melakukan seperti yang dilakukan pimpinannya. Proses ini sangat
bermanfaat dalam hal adaptasi terhadap perubahan, khususnya perubahan
fundamental dan bahkan radikal.
2. Inspirational Motivation
Pemimpin transformasional senantiasa memotivasi anggota-anggotanya dengan
cara mengkomunikasikan harapan-harapan yang tinggi dan tantangan kerja yang
jelas, menggunakan beragam symbol untuk memfokuskan usaha atau tindakan,
dan mengekspresikan tujuan penting dengan cara-cara simple. Pemimpin tipe ini
juga membangkitkan semangat kerja sama tim, antusiasme, dan optmisme di antara
rekan kerja dan anggota itu sendiri.
3. Intelectual Stimulation
Pemimpin transformasional berusaha menciptakan iklim yang kondusif

110
bagi berkembangnya inovasi dan kreativitas. Perbedaan pendapat dipandang sebagai
hal yang biasa. Pemimpin mendorong anggotanya untuk memunculka ide-ide baru
dan solusi kreatif atas masalah-masalah yang dihadapi. Untuk itu, anggota
sungguh-sungguh dilibatkan dan diberdayakan dalam proses perumusan masalah dan
mengatasi masalah. Pada hakekatnya, esensi kepemimpinan transformasional adalah
sharing of power dengan melibatkan anggota secara ebrsama-sama. Melalui alikasi
beberapa praktik manajerial, pemimpin mampu memberdayakan anggota
sehingga mereka makin yakin pada kemampuannya sendiri. Proses ini
memunculkan sense of self-efficacy yang lebih kuat, sehingga anggota lebih mampu
dan berhasil mengerjakan berbagai pekerjaan.
4. Individualized Consideration
Pemimpin transformasional memberi perhatian khusus pada kebutuhan tiap
anggota untuk berprestasi dan berkembang dengan cara bertindak sebagai pelatih
(coach) atau penasehat (mentor) bagi anggota-anggotanya. Pemimpin sangat
menghargai perbedaaan-perbedaan individual dalam hal minat, kebutuhan, persepsi atas
sesuatu. Dalam upayanya tersebut, pemimpin transformasional melakukan
komunikasi secara personal dengan intensitas tinggi. Seringkali pemimpin
memberikan deegasi tugas pada anggota untuk dipantau dan dipastikan apakah
anggotanya memerlukan dukungan atau arahan, tanpa bermaksud mengawasi
anggota dengan ketat. Kondisi idealnya adalah bahwa anggota tidak merasa diawasi
atau diperiksa.

Di sisi lain, hasil riset Munir, Rahman, Malik, & Raamor (2012) menyatakan bahwa
ada hubungan positif dan sangat kuat antara kepemimpinan transformasional dengan kepuasan
kerja karyawan. Hasil riset Amarjit, G., Alan, B.F., Charul, S., & Ishaan, B. (2010)
menyatakan ada pengaruh positif dan signifikan antara kepemimpinan transformasional
terhadap kepuasan kerja. Kepuasan kerja dipandang sebagai suatu variabel intervensi antara
karakteristik lingkungan dan pribadi terhadap komitmen organisasional (Lum et al., 1998).
Menurut Robins, S. P (2010), kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum individu terhadap
pekerjaannya. Greenberg dan Baron (2010) menyatakan kepuasan kerja merupakan sikap
positif atau negatif yang dimiliki individu terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja
didefinisikan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau hasil sisi emosional positif dari
penilaian pekerjaan seseorang atau pengalaman kerja (Locke, 1976). Kepuasan kerja
dipandang sebagai suatu variabel intervensi antara karakteristik lingkungan dan pribadi
terhadap komitmen organisasional (Lum et al., 1998).
Sementara itu, riset Kovjanic, Schuh, & Jonas (2013) menyatakan bahwa ada
pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja dimediasi oleh kepuasan
kerja.
Berdasarkan hasil riset-riset sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
menguji pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kinerja karyawan, dan
menguji efek kepuasan kerja sebagai variabel pemediasi pengaruh kepemimpinan
transformasional terhadap kinerja karyawan, khususnya pada karyawan di Mitra Adi Jaya,
Jl. Berbah, Kalitirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta, yang bekerjasama dengan PT. H.M.
Sampoera Jawa Timur penghasil rokok.

111
Responden sejumlah 90 orang orang (dari populasi sejumlah 116, teknik Slovin),
dengan teknik probability sampling jenis cluster sampling. Menurut Sekaran (2005) cluster
sampling adalah pengambilan sampel dengan cara menentukan sampel klaster atau kelompok
pada beberapa kelompok dengan heterogenitas intrakelompok dan homogenitas interkelompok
yang ditemukan, untuk memperoleh informasi dari tiap anggota dalam klaster yang dipilih.
Teknik ini digunakan populasi terhimpun dalam klaster-klaster yang berbeda. Pengambilan
data dilakukan dengan: wawancara, observasi, dan kuesioner.
Kepemimpinan transformasional diukur dengan 16 item dari Bass dan Avolio (2003).
Kepuasan Kerja diukur dengan 4 item Job Satisfaction Index (JS) yang dikembangkan oleh
Eisenberger et al. (1997) dari penemuan Quinn dan Shepard’s (1974). Kinerja karyawan
diukur dengan 12 item (Prawirosentono, 1999). Alat uji hipotesis dengan menggunakan uji
regresi model Baron dan Kenny (1986). Uji validitas dilakukan untuk mengetahui seberapa
jauh ketepatan alat ukur yang dikembangkan dapat mengukur data dengan benar. Uji validitas
ini menggunakan analisis faktor. Semua item mengelompok sesuai dengan variabelnya. Hasil
uji reliabilitas, semua variabel penelitian ini memiliki Cronbach alphalebih dari 0,6. Semakin
mendekati 1,0 maka semakin tinggi konsistensi jawaban skor butir-butir pertanyaan atau
makin dapat dipercaya. Reliabilitas yang kurang dari 0,6 adalah kurang baik; 0,7 dapat
diterima dan di atas 0,8 adalah baik (Sekaran, 2005).

PEMBAHASAN

1. Diskriptif Responden

Tabel 2
Diskriptif Responden

Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)


Pria 26 28,9
Wanita 64 71,1
Umur Jumlah Persentase
22 – 27 tahun 19 21,1
28 – 33 tahun 38 42,2
34 – 39 tahun 18 20,0
40 – 45 tahun 12 13,3
>45 tahun 3 3,3
Jumlah 90 100
Sumber: Data Primer, 2014

Dari tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar pekerja didominasi oleh wanita, yakni sejumlah
64 (71,1%). Sedangkan dari sisi usia, paling besar didominasi oleh pekerja dengan usia
antara 28 – 33 tahun.

112
2. Hasil Uji Hipotesis
Tabel 3
Hasil Uji Regresi Model Baron dan Kenny (1986)
Tahap Independent Dependen Koefisien β t Sign.
Variabel Regresi
Variabel
1. Kepemimpinan Kinerja -0,046 -0,018 -0,171 0,865
Transformasional Individu
2. Kepemimpinan Kepuasan -0,470 -0,107 -1,007 0,317
Transformasional kerja
3. Kepuasan kerja Kinerja 0,503 0,880 17,390 0,000
Individu
4. Kepemimpinan Kinerja 0,508 0,888 17,580 0,000
Transf. Individu

Kepuasan kerja
Sumber: Lampiran (dari olah data primer, 2014)
Pada tahap 1, ada pengaruh langsung tetapi tidak signifikan kepemimpinan
transformasional terhadap kinerja.(sign. 0,865) (Hipotesis 1, tidak terdukung). sedangkan
pada tahap ke-4 untuk menguji efek mediating variable, ternyata kepuasan kerja
memediasi pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kinerja (sign 0,000) atau
di bawah 0,05. Jadi hipotesis 2 terdukung. Dengan kata lain, kepuasan kerja dalam
penelitian ini sebagai fully Mediating Variable.
Hasil riset ini mendukung penelitian Kovjanic, Schuh, & Jonas (2013) menyatakan
bahwa ada pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja dimediasi oleh
kepuasan kerja. Kepuasan kerja dalam penelitian ini menjadi fully mediated variable, karena
pengaruh langsung antara kepemimpinan transformasional terhadap kinerja , tidak signifikan.
Artinya, ketika kepemimpinan transformasional dapat dipahami secara baik oleh anggota,
akan berdampak terhadap peningkatan kepuasan kerja anggota. Setelah kepuasan kerja
anggota meningkat, maka berpengaruh terhadap peningkatan kinerja anggota/individu.
Hasil riset ini tidak mendukung riset Cavazotte, Moreno, dan Bernardo (2013) serta Ghafoor,
Qureshi, Khan dan Hijazi (2011) yang menemukan bahwa ada hubungan yang cukup kuat dan
signifikan antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja individu, karena dalam
penelitian ini hubungan anatar kepemimpinan transformasional dengan kinerja, tidak
signifikan (0,885, jauh di atas 0,05).
Efek fully mediated variable dari kepuasan kerja di Mitra Adi Jaya ini, berdasar analisis
peneliti, pimpinan sangat memahami kondisi anggota-anggotanya. Peran yang dijalankan
semata-mata untuk membangkitkan semangat kerja sama tim, antusiasme, dan optmisme di
antara rekan kerja dan anggota itu sendiri. Di samping itu, pimpinan senantiasa memotivasi
anggota-anggotanya dengan cara mengkomunikasikan harapan-harapan yang tinggi dan
tantangan kerja yang jelas, berusaha menciptakan iklim yang kondusif bagi
berkembangnya inovasi dan kreativitas. Pimpinan senantiasammemberi perhatian khusus
pada kebutuhan tiap anggota untuk berprestasi dan berkembang dengan cara bertindak
sebagai pelatih (coach) atau penasehat (mentor) bagi anggota-anggotanya. Pemimpin sangat

113
menghargai perbedaaan-perbedaan individual dalam hal minat, kebutuhan, persepsi atas
sesuatu. Inilah yang menjadi alassan, mengapa kepemimpinan transformasional mampu
meningkatkan kepuasan kerja setiap anggota di Mitra Adi Jaya Ketika kepuasan kerja anggota
meningkat, maka akan berdampak terhadap kinerja individu. Harapan selanjutnya bagi
organisasi secara umum, manakala kinerja individu meningkat, dapat berdampak terhadap
peningkatan kinerja organisasi.

KESIMPULAN

1. Kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja


individu di Mitra Adi Jaya – Yogyakarta.
2. Kepuasan kerja sebagai variabel pemediasi, pengaruh kepemimpinan transformasional
terhadap kinerja individu di Mitra Adi Jaya – Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Amarjit, G., Alan, B.F., Charul, S., & Ishaan, B. (2010). The relations of transformational
leadership and empowerment with employees job satisfaction: A study among Indian
restaurant employees. Business and Academic Journal, 18.

Baron, Reuben, M., & Kenny, David. A. 1986. The moderator mediator variabel distinction in
social psychological research: conceptual, strategic, and statistical considerations.
Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 51, Vo. 6: 1173-1182.
Bass. B. M, Avolio. B. J., Jung, D. I., & Berson. 2003. Predicting unit performance by
assesing transformational and transactional leadership. Journal of Applied
Psychology. Vol. 88 (2): 207-218.

Cavazotte, Flavia., Moreno, Valter., & Bernardo, Jane. 2013. Transformational leaders and
work performance: the mediating roles of identification and self-efficacy. BAR-
Brazilian Administration Review. Vol. 10 (4). Rio De Jenairo.

Ghafoor, Azka., Qureshi, Tahir. Masood M., Khan, Aslam., & Hijazi, Syed Tahir. 2011.
African Journal of Business Management. Vol .5(17): 7391-7403

Gibson, James. L., Ivancevich, John. M.., & Donelly Jr, James. H. Konopaske, Robert.
2009. Organizations: Behavior, Structure, Processes. 13th Edition. Boston: McGraw-
Hill.
Greenberg, Jerald., & Baron, Robert. A. 2010. Behavior in Organizations: Understanding and
Managing the Human Side of Work. 10th Edition. Prentice Hall
International, Inc.

114
Handoko, Hani T., & Reksohadiprodjo, Sukanto. 1996. Organisasi Perusahaan. Edisi kedua
Yogyakarta : BPFE

Kovjanic, Snjezana., Schuh, Sebastian., & Jonas, Klaus. 2013. Transformational leadership
and performance: An experimental investigation of the mediating effects of basic needs
satisfaction and work engagement. Journal of Occupational and Organizational
Psychology. Volume 86, Issue 4: 543–555, December.
Munir, Ros Intan Safinas., Rahman, Ramlee.A., Malik, Ariff Md. Ab., & Ma’amor,
Hairunnisa. 2012. Relationship between Transformational Leadership and Employees’
Job Satisfaction among the Academic Staff . Procedia-Social and Behavioral Science.
Vol. 65 (3), Desember.
Robbins, Stephen. P. 2010. Organizational Behavior. 12th Edition, Prentice Hall
International, Inc.
Sekaran, U. 1992. Research Methods for Business: A Skill-Building Approach. Singapore,
Singapore: John Wiley & Sons. Inc.
Siswanti, Yuni. 2005. Pengaruh Multidimensi Komitmen Organisasional Terhadap Intensi
Keluar dalam Seting Perawat di Yogyakarta. “EMPIRIKA” Univ. Muhammadiyah
Surakarta, Vol. 18 No.1 Juni.
Siswanti, Yuni. 2005. Dukungan Organisasional dan Politik Organisasional Sebagai Prediktor
Sikap Kerja, Stres Kerja, dan Perilaku Agresif. “UTILITAS”, Univ. Muhammadiyah
Yogyakarta, Vol. 13 No.2 Juli.

Siswanti, Yuni. 2006. Pengaruh Pemediasian Komitmen Organisasional dalam Hubungan


Antara Kepuasan Kerja dan Intent to Leave: Studi Pada Rumah Sakit di Yogyakarta.
“Benefit” UMS Surakarta, Vol. 10, No.2, Desember.

Siswanti, Yuni., & Muafi. 2008. Turnover intention: faktor-faktor yang mempengaruhi.
Manajemen Usahawan Indonesia,. No. 03/TH XXXVII, Jakarta.
Siswanti, Yuni. 2008. Meraih kepemimpinan Manajerial yang ‘Smart’. Wimaya Press. UPN
“Veteran” Yogyakarta.

Siswanti, Yuni., & Muafi. 2008. Turnover intention: factor-faktor yang mempengaruhi

Yuni, Siswanti. 2009. Pengaruh dukungan organisasional, sikap, dan leader-member


exchange pada masyarakat Industri Rumah Tangga terhadap kesiapan untuk berubah.
Dipresentasikan dalam Seminar Nasional V, UTY. Agustus. Yogyakarta.
Siswanti, Yuni. 2009. Pengaruh nilai-nilai dan sikap, iklim kerja, dukungan organisasional,
dan leader–member exchange pada masyarakat industri rumah tangga terhadap
kesiapan individu untuk berubah. Prosiding Semnas V, UTY, 18 Juli, Yogyakarta.

115
TECHNOPRENEURSHIP PADA PEREMPUAN PEMILIK UKM:
STRATEGI KOTA PALEMBANG DALAM MENGHADAPI ASEAN
ECONOMIC COMMUNITY 2015

Oleh:
Dina Mellita1), Trisninawati1)
E-mail: dinamellita@mail.binadarma.ac.id,
trisnina2000@yahoo.com
1)
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Bina Darma

ABSTRACT

With the strong forces of globalization, therefore essential to build the capacities of Small
Medium Entreprises (SMEs) in the region in order to ensure that they are highly competitive,
innovative and be able to utilize the regional economic initiatives. The technopreneurship
outlines the evolution of SMEs development. Technopreneurship is simple entrepreneurship in
a technology intensive context. It is a process of merging technology prowess and
entrepreneurial talent and skill. Encompassing the oppression of society limits and began to
merge into the public eye, women owned small business also has to promote
technopreneurship. This paper tends to explore the technopreneurship among women owned
small business at Palembang city. Within the qualitative data, it will identifies the
implementation of technopreneurship of women owned small business in the city. Moreover, it
will be recognize the readiness of this society in handling Asean Economic Community 2015.

Keywords: Technopreneurship, Women owned small business, Asean Economic Community

PENDAHULUAN

Hubungan antara teknologi, kewirausahaan dan pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah pada suatu perekonomian telah lama dikaji dalam literatur-literatur bisnis,
manajemen dan ekonomi. Didalamnya merefleksikan globalisasi dan pentingnya keterampilan
kewirausahaan yang berwawasan kreativitas dan teknologi tinggi. Dalam hal ini,
technopreneurship merupakan solusi untuk mencapai keunggulan kompetitif pada masa kini
dimana permasalah-permasalahan perekonomian berhubungan erat dengan persaingan. Untuk
itu, diperlukan kombinasi antara teknologi beserta keseluruhan elemen-elemen kewirausahaan
yang dikembangkan menjadi konsep “technopreneurship” yang mengacu pada perusahaan
baru atau perusahaan prospektif yang terhubung dengan teknologi (Dutse, Ningi, Abubaka;
2013).

116
Perkembangan pembangunan technopreneurship dan kontribusinya terhadap
pertumbuhan perekonomian menciptakan kebutuhan akan adanya partisipasi antar gender.
Dalam hal ini harus dilibatkan partisipasi technopreneuship pada kaum perempuan, khususnya
dalam menghadapi Asean Economic Community 2015. Pada AEC 2015 terjadi kebebasan lalu
lintas barang, jasa, investasi, modal yang bertujuan untuk pembangunan ekonomi yang lebih
merata dan mengurangi tingkat kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi di negara-negara
ASEAN. Hal ini berdampak semakin ketatnya persaingan dalam memperebutkan peluang
dalam pasar AEC. Salah satu strategi yang dijalankan adalah penguatan Usaha Kecil
Menengah melalui pemberdayaan technopreneurship perempuan pemilik UKM.
Walaupun kontribusi perempuan dalam teknologi berbasis bisnis berkembang dengan
pesat (Padnos, 2010), namun technopreneurship perempuan pada kenyataannya tidak terlihat
baik di negara-negara berkembang maupun transisi. Disisi lain, perkembangan perempuan
pengusaha dalam beberapa tahun belakangan ini meningkat. Adanya kesempatan untuk
menduduki posisi manajerial dalam organisasi, fleksibilitas dalam waktu serta kepuasan kerja
yang tinggi menjadi motivasi utama perempuan untuk berwirausaha (Comper, 1991; Belcourt
et al, 1991; Morrison et la, 1987). Kemudian secara riil, dari generasi ke generasi, perempuan
dengan berbagai latar belakang menunjukkan semangat berwirausaha yang tinggi. Ditambah
lagi, pemerintah dari berbagai tingkatan berlomba-lomba untuk menyediakan lingkungan yang
akan mendukung semangat berwirausaha (Delmar, 2000). Namun sejauh ini
tekhnopreneurship khususnya technopreneurship perempuan masih belum dikaji dengan lebih
lanjut.
Dalam beberapa kajian technopreneurship bermanfaat dalam pengembangan industri-
industri besar dan canggih, selain itu juga dapat diarahkan untuk memberikan manfaat kepada
masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi lemah untuk meningkatkan kualitas hidup
mereka. Dengan demikian Technopreneurship diharapkan dapat mendukung pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Technopreneurship dapat memberikan manfaat atau
dampak, baik secara ekonomi, sosial maupun lingkungan. Dampaknya secara ekonomi adalah
meningkatkan efisiensi dan produktivitas, meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan
kerja baru serta menggerakan sektor-sektor ekonomi yang lain
Selain itu manfaat sosial yang diperoleh dari tchnopreneurship adalah pembentukan
budaya baru yang lebih produktif, dan berkontribusi dalam memberikan solusi pada
penyelesaian masalah-masalah sosial. Manfaat dari segi lingkungan antara lain adalah
memanfaatkan bahan baki darisumber daya alam Indonesia secara lebih produktif,
meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya terutama sumber daya energi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi teknopreneurship pada perempuan
pemilik UKM yang ada di Kota Palembang. Sebagai salah satu elemen perekonomian nasional
yang mendukung AEC 2015, Kota Palembang juga berperan aktif dalam mengembangkan
UKM melalui penguatan pemberdayaan perempuan pemilik UKM. Untuk meningkatkan
pemberdayaan perempuan technopreneur pemilik UKM, harus dilakukan identifikasi yang
mendalam mengenai karakter dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi technopreneur
perempuan pemilik UKM yang ada di Kota Palembang.

117
PEMBAHASAN

Konsep Technopreneurship berdasarkan hasil observasi di lapangan merupakan hal


yang baru baik dipandang dari sisi perempuan pemilik UKM itu sendiri dan instansi yang
terkait. Beberapa kajian menyatakan bahwa technopreneurship merupakan sumber kekuatan
ekonomi di negara-negara berkembang. Beberapa sudut pandang memandang dari sudut yang
berbeda-beda mengenai technopreneurship. Seara umum, technopreneur merefleksikan
entrepreneur yang mengkombinasikan faktor produksi yang ada untuk memproduksi barang
dan jasa secara inovatif dan berteknologi serta mengesampingkan resiko-resiko yang ada
(Miller, 1983; Covin et al, 1989; Covin and Covin, 1990; Lumpkin and Dess, 2001).
Kemudian, beberapa kajian menyatakan bahwa technopreneur merupakan seorang
“entrepreneur berbasis teknologi”, “entrepreneur teknis” dan “entrepreneur berteknologi
tinggi” ( . Dengan kata lain technopreneurship berkaian erat dengan teknologi serta dianggap
sebagai nilai penggerak dari keunggulan kompetitif nasional (Jusoh dan Abdul Halim, 2013;
Egge et al, 2003).
Untuk melakukan deskripsi mengenai technopreneurship perempuan pemilik UKM
yang ada di Kota Palembang, penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
deskriptif kualitatif. Kemudian wawancara mendalam (indepth interview) terhadap 12
informan yang merupakan technopreneur perempuan pemilik UKM dan pengamatan terlibat
(participant observation) digunakan untuk mengungkap fenomena dan mendapatkan wawasan
yang lebih mendalam dan rincian yang lebih kompleks mengenai technopreneurship di
kalangan perempuan pemilik UKM yang ada di Kota Palembang.
Informan penelitian adalah technopreneur perempuan pemilik UKM di Kota
Palembang yang tersebar di 16 kecamatan, yaitu alang-alang lebar, bukit kecil, ilir barat I, Ilir
Barat II, Ilir Timur I, Ilir Timur II, Kalidonei, Kemuning, Kertapati, Plaju, Sako, Sebrang Ulu
I, Sebrang Ulu II, Sematang Borang dan Sukarame. Dari hasil observasi, bidang usaha 12
informan technopreneur perempuan pemilik UKM di Kota Palembang adalah teknologi
informasi termasuk didalamnya animasi, e commerce dan graphic designer. Kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan observasi dalam penelitian ini adalah kesulitan dalam melakukan
data dan identifikasi technopreneur perempuan, karena instansi terkait belum melakukan
kategorisasi dalam membedakan antara technopreneur dan entrepreneur.

118
Tabel 1
Deskripsi Technopreneur Perempuan pemilik UKM di Kota Palembang

No Pernyataan Hasil
1 Ide bisnis Rata-rata para informan menyatakan
mendapatkan ide bisnis dengan metode
mengamati-tiru-modifikasi
2 Lama berbisnis Rata-rata informan menjalankan usaha atau
bisnisnya selama 3-5 tahun
3 Deskripsi barang dan jasa yang Bidang usaha para technopreneur perempuan
disediakan pemilik UKM adalah teknologi informasi,
animasi, e commerce dan graphic designer
4 Pangsa pasar Pangsa pasar dari para informan adalah
instansi pemerintah, swasta dan juga
masyarakat umum
5 Pesaing Para pesaing yang dihadapi informan adalah
bidang usaha sejenis dengan pemiliknya
adalah pria dan skala usaha yang lebih besar
serta telah established
6 Diferensiasi produk atau jasa Belum mendiferensiasikan produk atau
jasanya dengan lebih rinci melalui produk,
merk, kemasan, ukuran dan rasa
7 Perubahan produk berkala Belum ada.
8 Iklan/Advertising Hanya sebatas iklan cetak dan periklanan
gerilya
9 Kendala yang dihadapi Kendala yang dihadapi informan aalah
kurangnya akses ke pemodalan, riset pasar,
dukungan dari pihak dan lembaga terkait serta
pemecahan masalah
10 Bentuk penghargaan Fleksibilitas waktu dan mandiri
11 Pengaruh latar belakang Berpengaruh
pendidikan, pengetahuan dan
pengalaman terhadap usaha yang
dijalankan
12 Pembiayaan pada saat memulai Mandiri
usaha dan pada saat akan
melakukan ekspansi usaha
13 Orientasi Ekspor Belum Ada

14 Peningkatan Teknologi Belum


15 Pengaruh Kondisi Perekonomin Berpengaruh

119
Sebagian besar para technopreneur perempuan ini memilih berwirausaha dengan
tujuan fleksibilitas waktu. Dalam hal ini para technopreneur ini dapat mengatur waktu untuk
keluarga dan aktifitas lain disamping bekerja. Disisi lain, kemandirian finansial dan tidak
tergantung dengan pihak lain secara finansial juga menjadi motif utama dalam memilih untuk
berwirausaha. Sedangkan pemilihan berwirausaha berbasis teknologi dipilih oleh para
technopreneur berdasarkan latar belakang pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki.
Namun pada kenyataannya mereka belum memahami bahwa mereka dikategorikan sebgai
technopreneur karena berwirausaha berbasis teknologi. Hal ini dikarenakan konsep dan istilah
technopreneurship belum mereka pahami dan belum disosialisasikan oleh pihak-pihak dan
lembaga terkait.
Ide bisnis rata-rata informan dapatkan dengan metode mengamati-tiru-modifikasi.
Dalam hal ini informan melakukan pengamatan terhadap apa yang menjadi peluang usaha di
masyarakat. Para technopreneur ini melihat potensi-potensi usaha mereka belum banyak
dilakukan di Kota Palembang. Seperti pada informan yang merupakan wirausaha di bidang
web design. Awalnya mereka melihat bahwa tingginya animo masyarakat, dunia usaha dan
instansi pemerintah terhadap dunia internet untuk memasarkan jasa atau produk serta iklan
layanan masyarakat. Ditambah lagi latar belakang pendidikan yang mendukung membuat
mereka membuat usaha ini.
Namun untuk menjaga kelangsungan usaha, para technopreneur perempuan ini
mendapat kendala-kendala berupa persaingan dari usaha sejenis yang didominasi kaum pria.
Selain itu belum adanya dukungan dari pihak terkait berupa lembaga pembiayaan untuk
melakukan pengembangan usaha dan ekspansi menyebabkan para technopreneur ini tidak bisa
melakukan diferensiasi produk atau jasa. Keterbatasan akses di pembiayaan itu juga yang
menyebabkan belum tercipta orientasi ekspor atas usaha produk dan jasa mereka.

KESIMPULAN

Dalam menghadapi AEC 2015, Kota Palembang harus siap ambil bagian dan
berpartisipasi dalam menangkap peluang-peluang yang ada di AEC tersebut. Kemudian setiap
elemen yang ada di Kota Palembang harus memiliki keunggulan kompetitif dalam menghadpi
kerja sama tersebut. Salah satu strategi yang dijalankan adalah penguatan UKM melalui
pemberdayaan technopreneur perempuan pemilik UKM. Agar pemberdayaan perempuan
technopreneur berjalan secara tepat sasaran, harus diidentifikasi terlebih dahulu mengenai
fenomena technopreneurship pada technopreneur perempuan pemilik UKM. Hal ini
dimaksudkan untuk mencari strategi, kebijakan dan program yang tepat untuk tchnopreneur
UKM dalam menghadapi AEC 2015.

120
Hasil penelitian menunjukkan bahwa technopreneur perempuan belum diidentifikasi
dengan jelas dari sisi jumlah dan bidang usaha. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman,
pengetahuan dan informasi untuk dinas-dinas terkait yang melakukan pendataan bagi UKM
untuk melakukan kategorisasi bagi technopreneur. Disisi lain, bagi technopreneur perempuan
pemilik UKM, mereka juga sebagian besar belum memahami bahwa mereka dikategorikan
sebagai technopreneur. Untuk menghadapi AEC 2015 perlu untuk melakukan sosialisasi
kepada mereka mengenai technopreneur agar mereka dapat melakukan peningkatan teknologi
untuk usaha mereka.
Kendala lain yang dihadapi adalah adanya persaingan dari usaha sejenis yang
didominasi kaum pria dan kurangnya akses ke lembaga pembiayaan. Untuk meningkatkan
daya saing technopreneur tersebut dalam menghadapi AEC 2015 perlu dilakukan Focus Group
Discussion agar dapat mencari solusi bersama bagi masalah-masalah usaha yang mereka
hadapi. Kemudian Instansi terkait agar turut serta meningkatkan pemberdayaan dan
pengembangan technopreneur-technopreneur tersebut melalui program-program pembiayaan
khusus dan pelatihan serta sosialisasi yang akan meningkatkan daya saing mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Belcourt, M, Burket, R.J., Lee-Gosselin, H. (1991) The Glass Box: Women Business Owners
in Canada. Background Paper Published by The Canadian Advisory Council on The
Status of Women

Comper, A. (1991), Women and Banking: From Rhetoric to Reality. In Managing Change
Through Global Networking, (ed) L. Heslop, Canadian Consortium of Management
School

Covin, J. G., and Slevin, D. P. (1989) Strategic management of small firms in hostile and
benign environments, Strategic Management Journal, 10: 75-87.

Covin J.G. and Covin, T.J. (1990) Competitive Aggressiveness, Environmental Context and
Small Firm Performance, Entrepreneurship Theory and Practice 14(4):35-50

Dutse, A. Y. (2012) Technological Capabilities and FDI-related Spillover: Evidence from


Manufacturing Industries in Nigeria. American International Journal of Contemporary
Research, 2(8):201-212. Available online at
http://www.aijcrnet.com/journals/Vol_2_No_8_August_2012/20.pdf

Dutse, A.Y., Ningi., Abubakar. (2013).Technopreneurship and Enterprise Growth in Nigeria: An


Exploration into Th Latent Role of Microfinance Banks. IOSR Journal of Business and
Management, Vol. 12 (2). 25-32.

121
Egge, K., Tan, W., and Mohamed, O. (2003) Boosting Technopreneurship through Business Plan
Contests: Malaysia’s venture 2001 & 2002 competitions, Hawaii International Conference on
Business: June 18-20, 2003.

Jusoh, M. A. and Abdul Halim H. (undated) Role of Technopreneurs in Malaysian Economy, retrieved
from http://www.jgbm.org/page/1%20Mohd%20Abdullah%20Jusoh.pdf, on 16/7/14

Lumpkin, G. T., and Dess, G. G. (2001) Linking Two Dimensions of Entrepreneurial Orientation to
Firm Performance: The Moderating Role of Environment and Industry Life Cycle, Journal of
Business Venturing, 16(5), 429−451.

Miller, D. (1983) The Correlates of Entrepreneurship in Three Types of Firms, Management


Science, 29, (7) 770-791

Morrison, A.M., White, R.P., and Van Velser, E. (1987) and The Center of Creative
Leadership. Breaking The Glass Ceiling: Can Women Reach The Top of America’s
Largest Corporation? Reading, MA. Addisson Weley Publisher Inc.

Padnos, C., (2010) High Performance Entrepreneurs: Women in High-tech. Illuminate


Ventures, White Paper.

122
MEMBUDAYAKAN PERUBAHAN DI DALAM ORGANISASI
(CULTURING THE CHANGE IN ORGANIZATION)

Oleh :
Ratno Purnomo
E-mail: ano.purnomo@gmail.com
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRACT

Culturing the change is a main objective of organizational change which can be conducted
through sharing knowledge, appreciating capabilities, and encourages individuals to do the
job based-on organization interests. Revolutionary change not only started at organizational
or culture level but can be started from organizational climate through individual interaction,
so that eventually form culture change in organization. Leader plays important role in the
process of culturing the change by changing his/her paradigm become more transformational
and participative. Leader also must be able to encourage individuals to conducted citizenship
behavior and become proactive to change.

Keywords: External Environment, Change, Proactive to Change

PENDAHULUAN

Tidak ada yang menyangkal bahwa saat ini kita hidup di era dengan perubahan
yang belum pernah terjadi pada masa-masa lalu (Beer, 2001). Persaingan bisnis semakin
ketat seiring dengan terjadinya perubahan lingkungan eksternal organisasi. Pasar modal dan
keuangan semakin terbuka, inovasi teknologi berkembang tiada henti, informasi sangat
mudah menyebar, ekonomi dan politik semakin fluktuatif dari waktu ke waktu, dan
pertumbuhan jumlah penduduk meningkat padat. Faktor-faktor lingkungan tersebut selalu
mengalami perubahan yang tidak terduga dan berjangka waktu sangat pendek, hal ini
menyebabkan turbulensi lingkungan. Schuler (1990) menyebutkan beberapa perubahan
lingkungan yang dramatis yaitu perubahan bisnis yang cepat dan penuh ketidakpastian,
peningkatan biaya, perubahan teknologi yang cepat, organisasi yang mengarah pada
perampingan dan fleksibelitas, dan perubahan demografi serta meningkatnya daya saing
global. Lingkungan eksternal ini menjadi pemicu (drivers) bagi persaingan bisnis di abad
21.
Hitt (2000) menyebutkan bahwa pengendali utama persaingan bisnis saat ini adalah
globalisasi dan teknologi. Globalisasi berkaitan dengan semakin terbukanya pasar
(borderless) yang menyebabkan terjadinya integrasi pasar keuangan, ketergantungan ekonomi
antar negara, perusahaan yang mulai melewati batas negara (stateless) dan tekanan persaingan
yang semakin meningkat. Perkembangan teknologi berkaitan dengan semakin pentingnya
knowledge bagi sebuah organisasi dan kecepatan dalam melakukan inovasi, dua hal yang

123
sangat berkaitan dengan teknologi adalah informasi dan komunikasi (Hitt, 2000).
Kecanggihan teknologi memudahkan pertukaran informasi dan komunikasi antar individu,
antar organisasi, dan antar negara. Hal ini menyebabkan semakin menyebarnya
pengetahuan (knowledge) dan cepatnya informasi diantara pelaku bisnis, imitasi produk
menjadi hal yang sangat mudah dilakukan oleh para pesaing dan inovasi selalu menyertai
persaingan yang semakin ketat. "Inovasi atau mati", menjadi jargon yang selalu menghiasi
kompetisi global.
Perubahan politik dan demografi juga menjadi fakor utama yang mempengaruhi
persaingan bisnis abad 21. Perubahan politik berkaitan dengan kebijakan suatu negara
dan konflik yang terjadi antamegara, sedangkan demografi berkaitan dengan perkembangan
yang terjadi pada penduduk dan pemukiman. Kedua faktor ini merniliki pengaruh yang
besar pada strategi dan perencanaan sebuah entitas bisnis dalam menjalankan aktivitasnya.
Perusahaan multinasional akan sangat berkepentingan dengan kebijakan yang dikeluarkan
oleh suatu negara terutama menyangkut ekonomi dan bisnis, perusahaan tersebut juga
sangat memperhatikan keadaan penduduk yang akan menjadi target pasar bisnisnya. Hal
akan semakin memperketat persaingan karena sebuah negara akan mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang akan melindungi perusahaan domestik yang sudah merniliki pasar
di dalam negeri.

PEMBAHASAN

Perubahan Adalah Keharusan


Perubahan yang berkembang sangat cepat dan tidak menentu serta persaingan
yang semakin ketat menuntut organisasi untuk mengubah paradigmanya. Perubahan
paradigma tersebut menyangkut strategi bisnis, struktur organisasi, sistem, proses serta
sumberdaya manusia yang dimiliki. Strategi bisnis dengan perencanaan yang ketat dan
terfokus pada sumberdaya internal tidak lagi sesuai untuk menghadapi persaingan global.
Perencanaan yang mengacu pada penciptaan stabilitas organisasi tidak akan mampu
menghadapi tuntutan perubahan lingkungan ekstemal organisasi dan kebutuhan konsumen
yang selalu berubah. Struktur organisasi yang "gemuk" dan kaku serta sentralistik juga tidak
akan mampu menampung perubahan yang terjadi dengan cepat dan tidak terduga,
struktur dengan span of control yang terlalu luas akan menghambat arus informasi dan
komunikasi dari atasan kepada bawahan atau sebaliknya. Hal ini tentu saja akan menyulitkan
organisasi untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi terbaru yang berasal dari dalam
maupun luar organisasi. Padahal informasi merupakan faktor penting yang menentukan
kebijakan strategis sebuah organisasi, terlebih lagi bila informasi tersebut merupakan
knowledge yang dapat mendorong terciptanya inovasi untuk menghadapi persaingan.
Sehingga sistem informasi satu arah, dari atasan kepada bawahan, juga tidak akan mampu
menjadikan organisasi dapat menyesuaikan dengan lingkungan eksternalnya. Proses yang
digunakan dalam organisasi seperti pengambilan keputusan yang masih mengandalkan
manajer tingkat atas tanpa melibatkan manajer tingkat bawah dan pekerja tidak akan
menghasilkan ide-ide, kreativitas, dan inovasi yang dapat menjadikan organisasi unggul
dari para pesaingnya.
Persyaratan utama untuk menghadapi dan tetap memenangkan persaingan bisnis
yang semakin ketat adalah membudayakan perubahan dengan menanamkan paradigma

124
fleksibelitas dan agility pada manajer, membangun human capital, menciptakan dan
menyebarkan knowledge dan mengaplikasikannya, mengembangkan pasar global dan
membangun kompetensi organisasi (Hitt, 2000). Aspek-aspek ini merupakan modal
untuk bagi organisasi untuk menghadapi persaingan yang pada abad 21 ini dilandasi
oleh perubahan yang cepat, substantif, dan tidak berkelanjutan, lingkungan global yang
sangat komplek dan strategic discontinuities (Hitt, 2000). Oleh Karena itu, organisasi
harus melakukan transformasi yaitu perubahan fundamental pada business image baik
dari sudut pandang konsumen dan karyawan, memberikan tekanan pada penciptaan mind
share daripada market share, dan menghasilkan kesamaan pandangan antara konsumen
dan karyawan (Ulrich, p.l5).
Perubahan organisasi menjadi sebuah keniscayaan untuk menghadapi persaingan
yang semakin ketat dan akan terus berkembang. Selain itu, perubahan organisasi juga
menjadi kebutuhan karena sifatnya ongoing process bukan pada satu peristiwa tertentu.
Perubahan organisasi akan terus terjadi seiring dengan semakin berkembangnya lingkungan
ekstemal. Ada beberapa aspek perubahan yang harus dilakukan yaitu mendefinisikan
kembali bisnis dan memfokuskan diri pada konsumen, membangun organisasi berbasis tim
dan struktur yang tidak bersifat hirarkis, mengubah paradigma kepemimpinan dan pembagian
nilai, serta perubahan bahasa atau istilah yang digunakan dalam interaksi organisasi
(Lancourt dan Savage, 1995).
Bisnis yang dilakukan tidak hanya untuk mencapai keuntungan yang sebesar-
besarnya, tetapi juga memfokuskan pada kebutuhan konsumen yang cepat berubah dari
waktu ke waktu. Membangun hubungan dengan konsumen menjadi sebuah kebutuhan
bagi organisasi, karena konsumen merupakan salah satu sumber inspirasi untuk melakukan
inovasi yang dibutuhkan pasar. Hal ini menjadikan proses produksi yang dilakukan lebih
fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Untuk menumbuhkembangkan
inovatifitas dan kreativitas, organisasi berbasis tim merupakan sarana yang tepat karena
melibatkan seluruh lapisan organisasi. Individu yang terlibat dalam tim merupakan sumber
ide-ide yang dapat memunculkan inovasi baru untuk memenuhi kebutuhan pasar. Oleh
karena itu perlu dibangun sistem informasi dan struktur organisasi yang dapat
menghubungkan dengan cepat interaksi antar individu atau antar tim, sehingga ide-ide
kreatif dapat segera direalisasikan menjadi sebuah produk baru. Aliran informasi yang
segera menyebar dan komunikasi yang cepat dapat terealisasi bila struktur organisasi
tidak kaku dan sentralistik. Drucker (1988) menyebutkan bahwa bentuk organisasi di
masa depan adalah organisasi berbasis informasi (information-based organization).
Organisasi harus peka dengan perubahan informasi yang terjadi di lingkungan sekitarnya
dan memberikan tanggapan terhadap informasi yang di dapat, terlebih lagi bila informasi
tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap organisasi.
Jadi, perubahan organisasi merupakan suatu keniscayaan untuk menghadapi
dinamisasi lingkungan ekstemal. Hal ini menempatkan perubahan lingkungan sebagai
pemicu utama perubahan organisasi, sehingga seolah-olah organisasi bertindak reaktif
terhadap perubahan yang terjadi. Namun demikian, perubahan organisasi tidak hanya
bersumber dari lingkungan eksternal, tetapi juga bisa datang dari dalam organisasi
itu sendiri. Organisasi dengan berbagai elemen yang dimilikinya dapat bertindak
proaktif terhadap perubahan yaitu dengan membangun bargaining power yang menjadikan
dirinya berbeda (distinctiveness) dengan organisasi lainnya. Model hubungan
antara kinerja organisasi dengan perubahan yang dikembangkan oleh Litwin dan Burke

125
(1992) menunjukan bahwa sumber perubahan bisa berasal dari berbagai elemen dalam
organisasi. Model tersebut merupakan model sebab akibat yang menunjukan keterkaitan
antara elemen organisasi yang satu dengan yang lainnya, perubahan pada satu elemen
organisasi dapat menyebabkan perubahan pada elemen lainnya. Sumber perubahan
tidak hanya berasal dari level manajemen tingkat atas atau pimpinan organisasi, tetapi
perubahan bisa datang dari level individu di tingkat bawah sekalipun. Permasalahannya
adalah penyikapan yang dilakukan terhadap sumber perubahan tersebut. Organisasi dapat
saja melakukan perubahan, tetapi juga hams rnempertimbangkan sumberdaya dan
kapabilitas yang dimiliki serta memahami tujuan perubahan yang akan dilakukannya.
Pertimbangan terpenting yang harus dilakukan adalah proses perubahan yang dilakukan
tidak menyebabkan kerusakan lebih besar dan tidak merugikan banyak pihak.

Tantangan Perubahan Organisasi


Perubahan pada organisasi tidaklah semudah membalikan telapak tangan,
terlebih lagi bila perubahan dilakukan tanpa visi dan misi yang jelas, hanya akan
menyebabkan penolakan terhadap perubahan itu sendiri. Kebanyakan orang memandang
bahwa perubahan hanya akan menimbulkan ketidakstabilan dan kerusakan organisasi,
membuang sumberdaya dan merugikan orang-orang yang terkena dampak perubahan.
Perampingan struktur organisasi adalah salah satu contohnya, banyak pekerja yang
mengalami pemutusan hubungan kerja dan pekerja lainnya selalu dilingkupi rasa
ketakutan menjadi korban selanjutnya. Proses perubahan yang dilakukan organisasi
biasanya menghasilkan pihak-pihak yang menolak (rejecting to change), mendukung
dan mendorong (proactive to change) atau hanya sekedar menunggu (waiting for
change) dari dampak perubahan tersebut. Salah satu penyebab terjadinya penolakan
perubahan adalah ketidaksamaan pandangan antara pemimpin dan bawahan (Strebel,
1996). Pimpinan organisasi merupakan pengendali utama proses perubahan sehingga
harus memiliki visi dan misi yang jelas. Namun, visi dan mist saja tidak cukup.
Pemimpin harus melakukan sosialisasi kepada bawahannya. Penolakan terhadap
perubahan dari bawahan karena tidak adanya kesamaan pandangan ini merupakan
penyebab utama tidak efektifnya proses perubahan.
Penolakan terhadap perubahan tidak hanya datang dari bawahan saja, tetapi juga
dari manajemen tingkat atas atau pimpinan organisasi sekalipun. Hal ini disebabkan
karena mereka terjebak dalam rutinitas pekerjaan dan merasa sudah sampai pada puncak
kesuksesan. Pekerjaan yang dilakukan secara rutin akan membangun sikap pembelaan
terhadap status quo dan cenderung untuk menolak perubahan. Keadaan ini semakin
parah bila sudah menjadi budaya organisasi. Orang-orang yang terlibat di dalamnya
tidak akan sadar bahwa perubahan Iingkungan eksternal menuntut mereka untuk segera
keluar dari rutinitas pekerjaan. Disinilah peran orang-orang yang sadar tentang
perubahan atau pihak -pihak yang mendorong perubahan organisasi bermain. Mereka
harus memunjukan data dan fakta bahwa perubahan merupakan suatu keharusan bagi
sebuah organisasi seiring dengan semakin dinamisnya lingkungan ekstemal. Organisasi
harus memberikan dukungan pada pihak-pihak yang proactive to change sebagai
sumberdaya perubahan organisasi dan menangani pihak-pihak yang menolak perubahan
dengan bijaksana.

126
Menjadi Proaktif Terhadap Perubahan
Ada dua teori perubahan dalam organisasi yaitu teori E (economic value) dan
teori 0 (organizational capabilities), teori E bersifat top-down sedangkan teori 0
bersifat bottom-up (Beer dan Nohria, 2000 dalam Beer, 2001). Tujuan utama dari teori E
adalah untuk memaksimalkan nilai ekonomis organisasi dengan perencanaan yang
terprogram dan memfokuskan pada struktur dan sistem. Oleh karena itu, peran pimpinan
atau manajer tingkat atas memainkan peran sebagai pengendali utama. Teori ini
menunjukan bahwa proses perubahan dilakukan berdasarkan rencana yang telah disusun
oleh manajer tingkat atas tanpa melibatkan manajer tingkat bawah atau pekerja. Tentu
saja proses perubahan berdasarkan teori ini sangat berpotensi melahirkan penolakan
terhadap perubahan karena sifatnya yang sentralistik.
Teori 0 memandang bahwa proses perubahan dilakukan untuk meningkatkan dan
mengembangkan kapabilitas organisasi dengan melibatkan seluruh lapisan organisasi
sehingga fokus utamanya adalah budaya organisasi. Perencanaan disusun lebih fleksibel
sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan internal maupun eksternal organisasi.
Perubahan yang dilakukan berdasarkan teori ini cenderung sedikit melahirkan penolakan
karena sifatnya yang partisipatif. Pimpinan organisasi harus memperhatikan suara atau
aspirasi bawahannya tentang proses perubahan yang akan dilakukan dan melakukan
sosialisasi tentang visi dan misi perubahan yang akan dilakukan. Teori 0 yang bersifat
partisipatif ini mendorong setiap orang dalam organisasi untuk: berperan dalam
setiap proses perubahan, hal ini berarti setiap orang adalah agen perubahan yang
memiliki karakter proactive to change. Implikasinya adalah proses perubahan bisa berawal
dari individu.
Perubahan yang dilakukan pada lingkup yang luas seperti budaya organisasi
cenderung untuk menghasilkan penolakan dan biaya yang dikeluarkan akan relatif
sangat besar, karena perubahan pada level budaya akan mengakibatkan perubahan pada
sistem, struktur, proses, dan kebijakan secara simultan. Terlebih lagi bila perubahan tersebut
tidak didukung oleh perencanaan yang matang dan sumberdaya yang menunjang, akan
menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Argumentasi ini bukan berarti menyalahkan
atau menolak proses perubahan yang diawali dari budaya organisasi, hanya saja
perIu pertimbangan yang mendalam untuk melakukan proses perubahan secara revolutif.
Namun demikian, perubahan secara revolutif dapat dilakukan pada level individu
atau iklim dalam organisasi yaitu dengan melakukan interaksi antar individu untuk
memotong rutinitas pekerjaan yang menjadi salah satu sumber resistensi perubahan
organisasi. Revolusi iklim pekerjaan dapat dilakukan dengan inisiatif untuk melakukan
peran yang lebih besar (extrarole) sehingga perubahan dapat tercipta. Salah satu peran
tambahan yang dapat dilakukan adalah taking charge yang memiliki orientasi perubahan
dan berfokus pada kemajuan organisasi (Morrison dan Phelps, 1999). Taking charge
adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh seorang pekerja diluar peran formalnya
yang dilakukan secara sukarela dengan usaha konstruktif dan berkaitan dengan
pekerjaan di lingkup unit organisasinya. Orang-orang yang bersedia untuk mengambil
peran tambahan bagi pekerjaanya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap
organisasi dan memiliki self efficacy yang tinggi (Morrison dan Phelps, 1999).
Relevansinya dengan proses perubahan pada level iklim organisasi adalah bahwa setiap
individu memiliki potensi untuk mengambil peran tarnbaban yang dibutuhkan organisasi
untuk memulai proses perubahan dengan memotong rutinitas pekerjaan sehingga akan

127
tertanam dalam diri setiap individu rasa tanggung jawab untuk memajukan
organisasinya. Hal ini akan mendorong setiap pekerja untuk selalu melakukan perubahan
(proactive to change) agar aktivitas yang dilakukannya dapat sesuai dengan tuntutan
organisasi dan lingkungan eksternalnya.
Iklim perubahan yang tercipta pada level individu atau unit ini merupakan
langkah awal bagi organisasi untuk menciptakan budaya perubahan dalam lingkup yang
lebih luas lagi. Membudayakan perubahan (culturing the change), itulah sasaran utama
organisasi seharusnya agar selalu dapat segera menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan yang terjadi. Perubahan yang efektif akan tercapai bila organisasi mampu
menciptakan dan mempertahankan iklim dan budaya yang baru (Sclmeider et.al, 1996),
yaitu budaya untuk berubah.

Membangun Budaya Berubah


Membudayakan perubahan berarti memanfaatkan seluruh sumberdaya dan
potensi organisasi untuk menghadapi perubahan lingkungan yang dinamis atau
menjadikan organisasi memiliki bargaining power sehingga memiliki kekuatan untuk
proactive to change. Membudayakan perubahan berarti rnenjadikan setiap individu
dalam organisasi bernilai dan menjadikannya sebagai sumber perubahan yang penting,
membudayakan perubahan juga berarti menanamkan paradigma bahwa setiap orang
adalah agen perubah dan memiliki peran yang strategis untuk pertumbuhan dan
perkembangan organisasi. Budaya organisasi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai
perubahan akan lebih mudah untuk menghadapi dinamisasi lingkungan dengan
menghasilkan kreativitas dan inovativitas yang barn. Pada intinya membudayakan
perubahan adalah menanamkan spirit of the change pada setiap individu dalam
organisasi. Semangat perubahan dapat dilakukan dengan melakukan sharing knowledge,
memberikan penghargaan kepada setiap individu (appreciating capabilities), dan
melakukan setiap aktivitas untuk kepentingan organisasi.

1. Sharing knowledge
Pengetahuan merupakan informasi yang relevan, dapat diaplikasikan dan
sebagian didapatkan melalui pengalaman (Leonard dan Sensiper), pengetahuan dapat
berbentuk nyata (explicit) dan abstrak (implicit). Pengetahuan yang berbentuk abstrak
dinamakan tacit knowledge yaitu pengetahuan atau informasi yang sukar untuk
diartikulasikan atau dinyatakan secara verbal, biasanya didapatkan melalui
pengalaman (Lubit, 2001; Berman et.al, 2002). Berman et.al (2002) menyatakan
bahwa tacit knowledge merupakan sumberdaya penting bagi banyak organisasi
untuk mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Organisasi harus memiliki
knowledge yang bersifat khusus dan sukar untuk ditiru oleh organisasi lain dan dalam
waktu yang bersamaan harus menghasilkan pengetahuan yang baru agar dapat
unggul dari para pesaingnya (lubit, 2001).
Tacit knowledge memiliki karakter yang sulit ditiru karena terbentuk dari
pengalaman individu. Tacit knowledge hanya dapat dirasakan rnanfaatnya
dengan melakukan interaksi (sharing) antar individu dalam waktu yang tidak pendek.
Interaksi antar individu penting untuk dilakukan karena masing-masing orang
merniliki tacit knowledge yang berbeda-beda, hal ini bisa menjadi sebuah keunggulan
organisasi bila tacit knowledge mampu dijadikan kompetensi inti sebuah organisasi. Lubit

128
(2001) menyebutkan tiga cara untuk mengubah tacit knowledge menjadi kompetensi inti
sebuah organisasi yaitu dengan melakukan kerjasama dengan para pakar dan pe1atih
dalam pekerjaan, membangun jaringan dalam organisasi dan bekerja berdasarkan
tim atau kelompok, dan melakukan pencatatan terhadap tacit knowledge yang telah
terjadi pada masa sebelumnya.
Knowledge merupakan salah satu sumberdaya perubahan yang melekat
pada ciri seseorang dan dapat dijadikan alat untuk membudayakan perubahan dalam
organisasi karena knowledge dapat melahirkan inovasi dan kreativitas baru yang
dapat mendorong organisasi untuk berubah. Sharing knowledge mendorong individu untuk
selalu berinteraksi satu sama lain sehingga masing-masing individu dapat meningkatkan
knowledge-nya. Setiap individu harus memainkan perannya sebagai knowledge
broker yang mampu memberikan informasi dan pengetahuan pada pihak-pihak
yang belum mendapatkannya. Sharing knowledge merupakan interaksi antar individu yang
dapat merubah cara pandang seseorang tentang pentingnya perubahan dan
menumbuhkembangkan semangat untuk berubah. Sarana yang paling tepat untuk
sharing knowledge adalah dengan membentuk tim dalam organisasi, sehingga sharing
knowledge bisa terjadi antara individu atau antara tim. Tim merupakan sarana yang
tepat karena terdiri dari berbagai individu dengan knowledge yang berbeda dan
diharapkan dari interaksi di dalam tim tersebut tercipta ide-ide baru yang dapat
digunakan untuk memenuhi tuntutan perubahan lingkungan ekstemal. Hitt (2000)
menyebutkan bahwa multicultural work teams merupakan sarana yang sesuai untuk
menciptakan budaya yang inovatif karena tim ini terdiri dari individu dengan
pendekatan pemecahan masalah yang beragam.
Metode pengajaran (teaching) dilakukan oleh Ford Motor Company dibawah
kepemimpinan Jacques Nasser sebagai sarana untuk sharing knowledge (Wetlaufer, 1999).
Setiap individu dapat menjadi teacher dengan menuangkan segala ide dan gagasan yang
dapat memajukan organisasinya, karena pada dasarnya setiap individu memiliki potensi
untuk memberikan masukan kepada organisasi tentang bagaimana organisasi harus
berubah dan melakukan perubahan. Tentu saja ide dan gagasan yang diberikan dicurahkan
tersebut sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing individu. Pengalaman
adalah guru pada masing-masing individu dan akan bermanfaat bila diajarkan kepada
orang lain sehingga menjadi sebuah pengalaman baru yang lama- kelamaan akan
terakumulasi menjadi knowledge yang bernilai.

2. Memberikan penghargaan kepada individu


Perusahaan mobil BMW merupakan salah satu organisasi dengan tingkat
inovativitas yang tinggi karena setiap orang dituntut untuk terus berkreasi. Pekerja di
BMW memiliki semangat yang tinggi untuk menghasilkan inovasi karena mereka
merasa bahwa setiap bagian dari mobil BMW merupakan hasil dari karyanya.
Appreciating, itulah kuncinya sehingga inovasi yang dihasilkan tidak pemah berhenti.
Setiap individu terus berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baru, mereka terbiasa
dengan perubahan karena tanpa berubah mereka akan kalah oleh pesaingnya. Kreativitas
dapat lahir bila organisasi memberikan tantangan kepada individu, selain itu organisasi
juga harus memberikan kebebasan, mendukung dengan sumberdaya yang dimiliki, dan
melibatkannya dalam sebuah tim (Amabile, 1998).
Appreciating berarti manajemen tingkat atas harus melakukan interaksi

129
dengan pekerja di tingkat bawah. Pimpinan harus menyadari bahwa sumber perubahan
bisa berasal dari setiap lapis an organisasi. Menanyakan sesuatu kepada individu
sesuai dengan kapasitas dan keahliannya merupakan salah satu cara untuk
menghargai keberadaannya dan langkah yang efektif untuk membudayakan perubahan.
Ide-ide yang berasal dari setiap individu dalam organisasi merupakan sumber perubahan
yang sangat berharga, karena ide-ide tersebut berasal dari kalangan bawah yang
biasanya menggambarkan keadaan organisasi sesungguhnya. Memberikan penghargaan
kepada individu karena kontribusinya terhadap organisasi berarti juga memberikan
motivasi untuk bekerja lebih baik lagi sehingga dapat menghasilkan kreativitas baru.

3. Melakukan aktivitas untuk kepentingan organisasi


Membudayakan perubahan dapat dilakukan dengan merubah cara pandang
setiap individu dalam melakukan aktivitasnya. Rasa kepemilikan organisasi harus
ditanamkan dalam setiap pikiran orang (sense of belonging for organization), bahwa
setiap aktivitas yang dilakukan adalah untuk kepentingan dan kemajuan organisasi.
Penanaman paradigma ini sangat penting untuk menghindari kecenderungan status quo
yang dapat menghinggapi pikiran setiap individu. Rasa kepemilikan yang besar terhadap
organisasi akan menciptakan individu yang cerdas dan kreatif karena mereka akan
berusaha sesuai dengan peran dan kemampuannya untuk menghasilkan ide dan
gagasan yang dapat menjadikan organisasi tumbuh dan berkembang. Selain itu
mereka juga akan mempersiapkan generasi penerus yang dapat melanjutkan
kehidupan organisasi pada masa mendatang.
Rasa kepemilikan yang tinggi terhadap organisasi akan melahirkan toxic
handler yaitu individu yang mampu dan bersedia berkorban untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi dalam organisasi (Frost dan Robinson, 1999). Toxic handler
selalu berusaha untuk meringankan permasalahan yang terjadi dalam organisasi dengan
mendengarkan secara empati, memberikan solusi, memberikan kepercayaan diri pada
orang lain dan mampu untuk mempermudah permasalahan dengan bahasa yang
sederhana. Toxic handler memainkan peran yang penting pada proses perubahan
yang dilakukan, terutama untuk menghadapi pihak-pihak yang menolak perubahan.
Membudayakan perubahan berarti menciptakan toxic handler agar dampak dari
perubahan tidak terlalu menyakitkan bagi organisasi. Selain itu, rasa kepemilikan terhadap
organisasi juga akan menghasilkan perilaku politik yang dimaksudkan untuk
kepentingan bersama, bukan semata untuk kepentingan individu. Political skill merupakan
keahlian individu yang mengkombinasikan kesadaran sosial dengan kemampuan
berkomunikasi dengan baik. Individu dengan political skill yang tinggi akan mampu
mengendalikan emosinya dan mudah melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosial
yang berbeda (Ferris et.al, 2000). Political skill berkaitan dengan kebanggaan individu
terhadap nilai-nilai yang ada dalam organisasi dan kepekaan sosial dari interaksi yang
dilakukan antar individu. Hal ini menunjukan bahwa membangun budaya perubahan
dapat dilakukan bila aktivitas politik yang dilakukan setiap individu dilakukan untuk
kepentingan organisasi dan mempertimbangkan interaksi dengan individu lainnya.

Peran Pemimpin Dalam Membudayakan Perubahan


Pemimpin memainkan peran yang sangat penting dalam membangun budaya

130
perubahan. Paradigma tentang kepemimpinan harus diubah terlebih dahulu, pemimpin
yang otoriter tidak sesuai lagi dengan tuntutan organisasi dalam menghadapi perubahan
lingkungan ekstemal, karena sifatnya satu arah dan mengabaikan suara dari manajemen
tingkat bawah. Kepemimpinan transformasional lebih sesuai untuk menghadapi tuntutan
persaingan global, karena tipe kepemimpinan ini lebih bersifat partisipatif. Paradigma
pemimpin abad 21 telah berubah, untuk membudayakan perubahan pemimpin dituntut
untuk memiliki visi yang jelas, mampu memberdayakan bawahannya, mengakumulasi
dan menyebarkan knowledge, mengumpulkan dan mengintegrasikan informasi ekstemal
serta menghilangkan status quo dan mendorong kreativitas (Dess dan Picken, 2000).
Nilai yang dibangun agar organisasi menjadi lebih inovatif adalah transparansi,
kedisiplinan, bekerja berdasarkan kompetensi, partisipatif, fleksibel dan dapat segera
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Hal ini menyebabkan interaksi antar
individu dalam organisasi menjadi lebih terbuka dan pergeseran peran menjadi lebih
egaliter.
Pemimpin harus rnemiliki tiga karakter utama agar mampu membudayakan
perubahan dalam organisasinya yaitu komitmen, konsisten dan memiliki kompetensi.
Komitmen berkaitan dengan loyalitas pemimpin pada organisasinya dan memiliki
kepedulian yang tinggi pada bawahannya. Selain itu komitmen juga berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya organisasi yang digunakan untuk kepentingan bersama dan
transaksi dengan semua pihak yang terlibat dalam proses perubahan. Konsisten berkaitan
dengan keteladanan seorang pemimpin. Setiap perilaku pemimpin dalam organisasi
menjadi rujukan bagi bawahannya. Visi dan misi yang telah disusun menjadi patokan
tingkat konsistensi pemimpin pada perilakunya. Kompetensi berkaitan dengan
kemampuan seorang pemimpin untuk rnemberikan pengaruh pada bawahannya untuk
menjalankan visi dan misi yang telah ditetapkan. Pemimpin rnenjadi pusat informasi dan
harus menyebarkan ke seluruh lapisan organisasi sehingga proses perubahan yang
dilakukan dapat berjalan dengan efektif. Oleh karena itu, pemimpin harus rnerniliki sifat
terbuka dan transparan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan perubahan
organisasi. Selain itu, pemimpin juga harus bersikap adil dalam rnenyebarkan informasi
yang dimilikinya untuk kepentingan organisasi.

Budaya Perubahan dan Organizational Citizenship Behavior


Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa perubahan secara revolutif dapat
dilakukan pada level iklim organisasi yaitu melalui interaksi antar individu. Untuk
membangun budaya perubahan dalam orgmsast diperlukan karakter-karakter
kepribadian yang dapat mendukung penciptaan iklim perubahan tersebut sehingga
menumbuhkan spirit of the change dalam organisasi setiap waktu. Salah satu yang harus
dimiliki oleh setiap individu untuk membangun budaya perubahan adalah organizational
citizenship behavior (OCB) yaitu perilaku yang dilakukan oleh seseorang di luar peran
formalnya (Greenberg dan Baron, p. 408). Seseorang dengan OCB yang tinggi memiliki
karakter kepribadian yang dapat mendukung proses perubahan dalam organisasi, karena
ia bersedia untuk melakukan aktivitas atau pekerjaan di luar rutinitas yang dituntut oleh
organisasi dan memiliki keinginan untuk menolong pekerjaan orang lain secara sukarela.
Karakter OCB seperti altruism, conscientiousness, sportmanship, dan civic virtue sangat
mendukung penciptaan spirit of the change karena di dalamnya terkandung nilai-nilai
positif yang memberikan nilai tambah bagi organisasi. Selain itu, OCB juga mendukung

131
interaksi antar individu seperti sharing knowledge, pembentukan tim yang efektif, dan
memberikan penghargaan secara adil atas kontribusi yang telah dilakukan untuk
organisasi.
Greenberg dan Baron (2003) memberikan beberapa cara yang dapat digunakan
untuk meningkatkan OCB dalam organisasi seperti membiasakan sikap saling tolong-
menolong dalam pekerjaan, menjadi contoh bagi pekerja lain dalam hal kebaikan,
membangun kondisi yang menyenangkan dalam lingkungan kerja, dan berlaku sopan
santun serta sportif dalam berinteraksi dengan individu lainnya. Namun demikian,
organisasi juga harus memperhatikan faktor lain yang dapat menimbulkan OCB.
Beberapa penelitian empiris menunjukan bahwa OCB dapat lahir bila organisasi
memperlakukan individu di dalamnya dengan adil dan dapat menciptakan kepuasan
kerja serta memberikan dukungan terhadap individu tersebut dalam meraih prestasi dan
karirnya. Jadi, intinya adalah OCB dapat menjadi pendukung terciptanya budaya
perubahan dalam organisasi karena mengandung nilai-nilai positif.

KESIMPULAN

Perubahan organisasi akan menjadi proses yang menyakitkan bila tidak disertai
visi dan misi yang jelas serta tidak melibatkan seluruh lapisan dalam organisasi. Perubahan
revolutif yang dimulai dari budaya organisasi cenderung akan mengakibatkan kerusakan
dan mengeluarkan biaya yang tinggi. Perubahan revolutif bisa dilakukan pada level unit
atau iklim organisasi yaitu melalui interaksi antar individu dengan sharing knowledge,
memberikan apresiasi kepada individu dan melakukan aktivitas untuk kepentingan
organisasi. Sharing knowledge dapat dilakukan dengan membentuk tim yang memfasilitasi
setiap individu untuk saling membagi knowledge yang dimilikinya sehingga akan terbentuk
knowledge baru, selain itu sharing knowledge juga dapat dilakukan dengan metode
pengajaran (teaching). Apresiasi diberikan kepada setiap individu yang memberikan
kontribusi pada organisasi dan rasa kepemilikan terhadap organisasi (sense of belonging
for organization) dibangun dengan political skill yang berorientasi pada perubahan dan
kemajuan organisasi.
Perubahan yang diawali dari transaksi antar individu ini lama-kelamaan akan
membentuk budaya yang selalu berorientasi pada perubahan itu sendiri. Culturing the
change adalah sasaran utama proses perubahan sehingga penolakan terhadap perubahan
dapat diminimalisasi, selain itu organisasi dapat lebih mudah mengikuti perubahan
lingkungan eksternalnya. Oleh karena itu, peran pemimpin menjadi sangat penting untuk
mendorong setiap individu menjadi agen perubahan. Komitmen, konsisten, dan memiliki
kompetensi adalah karakter pokok yang harus dimiliki pemimpin untuk memandu proses
perubahan menjadi sebuah budaya dalam organisasi. Selain itu organisasi juga perlu
mengusahakan terciptanya organizational citizenship behavior untuk mendukung proses
perubahan dalam organisasi, karena karakter OCB dapat memberikan dampak positif
bagi organisasi.

132
DAFTAR PUSTAKA

Amabile, T.M. 1998. How to kill creativity, Harvard Business Review, September-October:
77-87.
Bangle, Chris. 200l. The ultimate creativity machine: how BMW turns art into profits,
Harvard Business Review, January: 47-55.
Beer, Michael. 200 l. How to Develop an organization capable of sustained high
performance: embarace the drive for results-capability development paradox,
Organizational Dynamics, 29: 233-247.
Berman, Shawn L., Down, Jonathan & Hill, Charles W. L. 2002. Tacit knowledge as a
source of competitive advantage in the national basketball association, Academy of
Management Journal, 45: 13-31.
Burke, W. Warner, & Litwin, George H. 1992. A causal model of organizational
performance and change, Journal of Management, 18: 523-545.
st
Dess, Gregory G., & Picken, Joseph C. 2000. Changing roles: leadership in the 21
century, Organizational Dynamics, Winter: 18-34.
Ferris, Gerald R. et.al. 2000. Political skill at work, Organizational Dynamics, 28: 25-
37.
Frost, Peter & Robinson, Sandra. 1999. The toxic handler: organizational hero and causalty,
Harvard Business Review, July-August: 97-106.
Greenberg, Jerald & Baron, Robert A. 2003. Behavior in Organizations: Understanding
and Managing the Human Side of Work, 8th edition, Pearson Education
International: New Jersey.
Hitt, Michael. 2000. The new frontier: transformation of management for the new
millennium, Organizational Dynamics, Winter: 7-17.
Lubit, Roy. 2001. Tacit knowledge and knowledge management: the keys to sustainable
competitive advantage, Organizational Dynamics, Winter: 164-178.
Morrison, Elizabeth W., & Phelps, Corey C. 1999. Taking charge at work: extrarole
efforts to initiate workplace change, Academy of Management Journal, 42:
403-419.
Schneider, Benjamin et.al. 1996. Creating a climate and culture for sustainable
organizational change, Organizational Dynamics, Spring: 7-19.
Strebel, Paul. 1996. Why do employee resist change? Harvard Business Review, May-
June: 86-92.

133
Ulrich, Dave. 1997. Human Resource Champions: The Next Agenda For Adding Value
and Delivering Results, Harvard Business School Press: Boston,
Massachusetts.
Wetlaufer, Suzy. 1999. Driving change: an interview with ford motor company's,
Harvard Business Review, March-April: 77-88.

134
PENGARUH INTERGROUP KNOWLEDGE PADA KEMANDIRIAN
UMKM DI KAWASAN HEIRATEGE SEBAGAI TUJUAN WISATA
(STUDY DI KAWASAN SUNGAI GAJAH WONG)

Oleh :
Purbudi Wahyuni1), Sugiyanto1)
E-mail: purbudiwahyuni11@gmail.com
1)
Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Yogyakarta

ABSTRACT

Yogyakarta known as tourism and culture city. As the matter of fact, it needs to develop
continuously the area, which valuable for tourism object and to attract tourist to visit. Green
open area Gajah Wong river has heritage value as it is connected with the behavior people
living near the river. Unfortunately the river and people don’t well manage yet. So, the
researcher who is also the chairman of FORSIDAS Gajah Wong (Gajah Wong River Area
community Forum) since 2006 concern to increase intergroup knowledge/increase
capability the people living near the river, every Tuesday evening learning together as
specially mental support and live skill, and many event in the river to support and
implementation of knowledge. Every year since 2013 has been Festival Gajah Wong, have
been increasing the SME’s (existance, development, strength, empowerment) surround people
near the Gajah Wong River.

Keywords: heritage, intergroup knowledge, value, tourism, SME’s, FORSIDAS Gajah Wong

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai salah satu Negara yang berada di kawasan ASEAN, harus tunduk
dengan kesepakatan yang dibuat bersama dengan Negara-negara ASEAN. ASEAN
CHARTER (Piagam ASEAN) yang telah ditanda tangani oleh semua kepala Negara ASEAN
termasuk Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 November 2007 pada Konferensi
Tingkat Tinggi ASEAN di Singapore harus menjadi landasan hukum ASEAN dalam
melaksanakan semua kegiatannya yang berorientasi terhadap kepentingan rakyat. Sejumlah
poin penting dari Piagam ASEAN yang terdiri dari 13 bab dan 55 pasal itu antara membentuk
pasar tunggal berbasis produksi yang kompetitif dan terintegrasi secara ekonomi.

135
Terkait dengan itu, ASEAN akan membentuk badan HAM yg mekanismenya
ditetapkan oleh para Menteri Luar Negeri. Forum ini dapat menjadi alternatif penyelesaian
permasalahan-permasalahan tersebut di atas. Antara lain bagaimana menjadikan setiap pelaku
ekonomi salah satunya yaitu UMKM bisa bersaing di tataran ASEAN.
Tidak mudah memang untuk menjadikan UMKM menuju kemandirian, perlu melihat
potensi yang kita miliki, yang unik sehingga mempunyai nilai jual, salah satunya di Indonesia
yaitu dengan mengedepankan potensi wisata. Destinasi Indonesia setiap wilayah mempunyai
keunikan yang tidak saling bersaing tetapi justru saling melengkapi. Salah satunya di
Yogyakarta. Sebagai salah tujuan wisata baik Wisman (wisatawan Manca Negara) maupun
Wisnu (wisatawan Nusantara), berdasarkan hasil riset termasuk kriteria tujuan wisata the Best
Sevices Cities pada urutan ke 9 (Sembilan), dan sebagai the Most Favorite Destination Cities
pada urutan ke 5 (lima), khususnya Malioboro sebagai the Most Favorite Destination Sites
pada urutan ke 9 (sembilan), dan sebagai provinsi terbaik ke 3 (tiga) dalam pengembangan
periwisata.
Untuk itu Pemerintah selanjutnya mendorong setiap wilayah mulai dari Kota Madya
dan Kabupaten baik bagi yang telah mampu mencapai predikat the best untuk
mempertahankan dan meningkatkan, terlebih bagi wilayah yang belum masuk kriteria harus
lebih berusaha keras untuk meningkatkan upayanya. Termasuk upaya untuk memperlama
masa tinggal di Yogyakarta, karena saat ini lama tinggal para Wisman rata-rata di Yogyakarta
baru mencapai 1,92 hari (BPS, 2012). Hal ini terjadi karena jumlah objek yang mudah
dijangkau dengan waktu yang cukup singkat (berdekatan) serta masih kurangnya keunikan
yang ditawarkan, serta masih rendahnya keterlibatan wisatawan dalam objek wisata, sebagai
contoh dengan terlibat dalam proses membatik, proses membuat kerajinan perak, membuat
kue khas Yogyakarta yang hasilnya bisa sebagai souvenir, Cara ini akan menjadi daya terik
tersendiri dan bisa memperlama wisatawan tinggal, disisi lain akan menambah pendapatan
para pelaku UMKM. Pembangunan masyarakat melalui pemberdayaan potensi masyarakat
adalah proses yang dirancang untuk menciptakan kondiisi sosial ekonomi yang lebih maju dan
sehat bagi seluruh masyarakat, memalui partisiasi aktif serta didasarkan atas kepercayaan yang
penuh terhadap prakarsa mereka sendiri (Sedamayati, 2005), Wahyuni (2013).
Namun kondisi saat ini para pelaku UMKM di Indonesia masih tergolong mempunyai
basic pendidikan yang relative rendah (Pemkot, 2012), ditambah adanya permasalahan dalam
peningkatan dan pemberdayaan UMKM. Terutama kemampuannya dalam menghadapi
persaingan, menuntut untuk terus melakukan inovasi baik dari peningkatan potensi diri para
pelaku usaha, juga yang tidak kalah pentingya yaitu kemampuan mengembangkan potensi
unik yang menyebabkan produk yang ditawarkan mempunyai kekhasannya dibandingkan
dengan produk sejenis. Selama ini bantuan kepada UMKM yang berupa permodalan,
pemasaran dan manajemen, belum mampu berjalan secara optimal, diindikasikan pelatihan
yang diberikan masih bersifat parsial dan lemah dalam pendampingan, untuk itu perlu adanya
transfer knowledge secara berkelanjutan diawali dari dalam kelompok usaha yang
sejenis/intergroup knowledge, dalam upaya menuju kemandirian UMKM tersebut.
A. Intergroup Knowledge dan Kemandirian UMKM
Keberadaan UMKM di Indonesia termasuk yang tahan terhadap krisis, hal ini sudah
terbukti berapa kali terjadi gejolak ekonomi keberadaan UMKM tetap eksis. Demikian halnya
UMKM di DIY, khususnya di Kota Yogyakarta, saat in Jumlah UMKM (Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah) mencapai 22.091 unit dengan rata-rata omzet sebesar Rp646.829.370.000,00
(enam ratus empat puluh enam milyar delapan ratus dua puluh sembilan juta tiga ratus tujuh

136
puluh ribu rupiah) atau 20,68 % dari omzet keseluruhan industri serta realisasi volume ekspor
per mata dagangan di Kota Yogyakarta tahun 2012 dari 79 jenis mata dagangan dengan nilai
US $ 21.060.982,16 (Pemkot, 2012).
Program pemberdayaan pelaku UMKM yang diadakan belum mampu mencapai hasil
optimal karena dalam pelaksanaannya terkendala ketersediaan dana yang dirasa belum tepat
sasaran, sehingga kedepan perlu adanya data yang komprehensif terkait jenis, bentuk dan
jumlah pelaku yang membutuhkan pelatihan, serta adanya kajian dan pilot project terkait
pengembangan UMKM berdasarkan kebutuhan dan kemampuan kelompok masyarakat di
wilayah tertentu (community based) untuk meningkatkan efektifitas pemberdayaan UMKM
masyarakat local (Pemkot, 2013).
Di sisi lain masih tingginya ego dari masing-masing pelaku UMKM, terbukti masih
sulit untuk berkembang dalam bentuk kopersi, dengan bergabung akan menjadi besar dan
tentu akan lebih mudah dalam mengakses pemodalan, apalagi di dalam kelompok tersebut rela
untuk saling memberikan ilmu dalam upaya meningkatkan potensi yang dimiliki atau saling
memberikan ilmu atau kesediaan untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman antar
karyawan/ intergroup knowledge.
Seperti pendapat Make (1994), Crary (1987), DeNisi et al. (1983), Blau (1977) yang
menyatakan bahwa lamanya saling berinteraksi dan intensitas berkolaborasi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kesediaan untuk saling memberikan dukungan rekan di tempat
kerja dan berpengaruh pada tingginya kinerja individu dan kinerja kelompok. DeNisi,
Randolph dan Blencoe (1983) menambahkan bahwa bahwa semakin tinggi pengetahuan yang
dimiliki oleh rekan berpengaruh positif terhadap kesediaan untuk saling memberikan
dukungan antar rekan kerja dan berdampak positif terhadap kepuasan kerja baik secara
pribadi maupun kelompok.
Pendapat tersebut jika para pelaku UMKM ada kerelaan untuk saling memberikan
dukungan dan saling rela untuk berbagai pengetahuan, tentu permasalahan yang dihadapi oleh
para pelaku UMKM lebih mudah memperoleh jalan keluar. Temuan-temuan tersebut didukug
oleh Kloeppel (2006), yang menyatakan bahwa kerelaan untuk saling memberikan dukungan
antar rekan jika dipengaruhi oleh mood dan motivasi, apalagi didukung adanya informasi
yang positif antar rekan yang bisa dipercaya. Demikian halnya riset kualitatif yang dilakukan
Wahyuni (2009) diperoleh informasi bahwa, kesediaan karyawan untuk saling memberikan
dukungan di tempat kerja, mereka memberikan argumentasi bahwa kesediaan untuk saling
memberikan dukungan disebabkan oleh adanya harapan meningkatkan kapabilitas (intergroup
knowledge) baik secara psychologis maupun non psychologis yang didukung oleh lingkungan
kerja dan lamanya mereka saling berinteraksi akan meningkatkan kapabilitas mereka. Labih
lanjut Wahyuni (2010) menyatakan bahwa variabel intergroup knowledge pada well-being
(kepuasan kerja dan pada kepuasan keluarga), yang berarti akan berpengarruh pada
kemampuan UMKM dalam mengahadapi persaingan.
B. Intergroup Knowledge dan Kemandirian UMKM di Kawasan
HEIRATEGE
Salah satu yang bisa dikembangkan untuk menambah nilai jual dan lama tinggal di
Yogyakarta yaitu mengembangkan potensi wilayah, antara lain sungai Gajah Wong. Sebagai
satu-satunya sungai yang tidak mempunyai hulu, hanya dibesarkan oleh mata air yang ada di
sepanjang sungai. Disamping itu keberadaan sungai Gajah Wong yang melintas sebelah utara
dari museum Afandi dan di zona tengah melewati kebun binatang Gembiro Loka, serta di zona
bawah melintas di kawasan industry perak Kotagede. Didukung sungai Gajah Wong

137
mempunyai sejarah dengan keberadaan kraton Mataram. Sekilas cerita konon Raja Mataram
Pertama yaitu Panembahan Senopati menyuruh untuk memandikan Gajah piaraannya, tetapi
srati (tukang merawat Gajah) menggerutu, lalu hanyut orang dan gajah, sehingga oleh Raja
diberi nama sungai Gajah Wong.
Keberadaan tersebut sampai saat ini banyak peninggalan sejarah yang ditemukan,
namun keberadaannya masih sangat memprihatinkan. Melihat kondisi ini penulis yang sejak
kecil tinggal di kawasan sungai Gajah Wong, tergerak untuk membentuk komunitas peduli
sungai (menjaga nilai heiratage) yang diberi nam FORSIDAS (Forum Komunikasi Daerah
Aliran Sungai ) Gajah Wong yang dideklarasikan pada Juni 2012. Langkah yang kemudian
kami ambil yaitu mengupayakan agar sungai menjadi kawasan wisata. Bekerjasama dengan
pihak terkait (pemerintah) kami mengusulkan berbagai program, salah satunya mengadakan
berbagai kegiatan di sungai.
Langkah pertama yaitu penulis bersama pengurus yang lain mengadakan sosialisasi
pada masyarakat sepanjang sungai sambil mengadakan pendataan tentang UMKM yang ada.
Program kami bersama dengan pemerintah Kota Yogyakarta adalah mengembangkan kawasan
sungai Gajah Wong menjadi integrated eco tourism, mengahadapkan rumah kearah sungai dan
membuat kanan kiri sungai ada jalan untuk evakuasi serta bisa untuk akses jalan bagi para
tamu (Wisman maupun Wisnu), kemudian meningaktkan pengetahuan dan ketrampilan para
pelaku UMKM di awasan sungai Gajah Wong. Hasil yang penulis peroleh sangat
menggembirakan, seperti pengakuan salah satu warga di zona tiga (Bpk. Anto) menyatakan
bahwa: “Saya manut saja, karena kami menyadari telah menempati kawasan sungai, apalgi
kami dibina secara mental mauun ketrampilan dalam membuat kerajinan perak, yang kami
setorkan ke toko-toko besar di kawasan Kotagede, bahkan sekarang telah ada tamu atau turis
yang datang melihat proses kerajinan yang saya geluti, dan saya bisa cepat memperoleh uang.
Bahkan dengan sedikit kemampuan saya berbahasa inggris membuat saya bisa komunikasi
langsung dengan tamu. Produk kerajinan saya dihargai lebih mahal”.
Demikian juga pengakuan dari Bapak Joko Budi yang tinggal di zona satu selatan
museum Afandi, menyatakan bahwa : “ Kami sadar bahwa kami tinggal di bantaran sungai,
tetapi kami selama ini ikut merawat, dan siap untuk diatur, pekerjaan kami membuat kerajinan
dari bahan limbah plastik, dan percetakan, kami akan merubah rumah kami menghadap sungai
dan rumah kami akan kami potong untuk kepentingan jalan evakuasi, dan kami berharap jika
jadi untuk wisata saya percaya pesanan kami akan meningkat”.
Demikain juga pengakuan dari Bapak Cokro, yang tinggal persis di dekat umbul (mata
air) Naga, menyatakan:“Saya siap pindah, jika tempat ini akan dikembangkan untuk wisata
asalkan kami tetap diizinkan untuk berjualan di sekitar tempat ini (biarpun asongan, syukur
kami ada fasilitas rusun”.
Pengakuan tersebut sealan dengan pernyataan sdr Etri dan Ana, yang saat ini telah
berprofesi sebagai penari klasik : Dengan adanya berbagai kegiatan di sepanjang Gajah Wong,
kami bisa mengekspresikan kemampuan kami, serta bisa melatih anak-anak untuk ikut latihan
tarian klasik, sehingga ilmu kami lebih manfaat, dan sejak kami sering banyak tamu yang
datang untuk melihat dan ikut belajar tari”.
Dari sekian pengakuan dan potensi usaha yang mereka miliki serta kawasan yang
sudah sangat berpotensi, tinggal kita memberikan perlakuan agar permasalah tentang
kemampuan pengetahuan atau kapabilitas UMKM ditingkatkan. Atas dasar hasil yang ada
kemudian FORSIDAS Gajah Wong segera mengajukan bantuan untuk peningkatan kapasitas
bagi UMKM, salah satunya yaitu dengan mengembangkan kemampuan pengetahuan dalam

138
masing-masing kelompok usaha, kita pilah mulai dari kelompok kuliner, kelompok kerajnan,
kelompok jasa, dan sebagainya.
Pengembangan intergroup knowledge yaitu dengan sesuai dengan temua penulis pada
riset sebelumnya yang menyatakan bahwa Wahyuni (2009) diperoleh informasi bahwa,
kesediaan karyawan untuk saling memberikan dukungan di tempat kerja, mereka memberikan
argumentasi bahwa kesediaan untuk saling memberikan dukungan disebabkan oleh adanya
harapan meningkatkan kapabilitas (intergroup knowledge) baik secara psychologis maupun
non psychologis yang didukung oleh lingkungan kerja dan lamanya mereka saling berinteraksi
akan meningkatkan kapabilitas mereka. Labih lanjut Wahyuni (2010) menyatakan bahwa
variabel intergroup knowledge pada well-being (kepuasan kerja dan pada kepuasan keluarga),
yang berarti akan berpengarruh pada kemampuan UMKM dalam mengahadapi persaingan.
Atas dasar hal tersebut di setiap zona diadakan pertemuan diantara pelaku UMKM
dengan mengadakan kegiatan utama yaitu pengajian. Kegiatan ini untuk memberikan bekal
akhlak agar muncul rasa persaudaraan dan muncul hati yang jernih sehingga tidak lagi saling
benci tetapi yang terjadi yaitu saling menolong, baik dalam urusan usaha maupun
kekeluargaan.
Sebagai contoh pengakuan Ibu Yatmi yang tinggal di zona tiga, yang mempunyai
usaha pembuatan Abon Nabati, menyatakan : “Setelah kami saring ketemu dalam pengajian
dan dalam berbagai kegiatan pelatihan, pengetahuan kami dalam membuata produk semakin
bagus, semakin banyak pesanan, serta membeli bahan bisa bersama-sama sehingga harganya
jauh lebih rendah, bahkan sering diiukutkan dalam pameran, serta kami semakin percaya diri
dalam menerima pesanan yang banyak tuntutan, termasuk dalam pengurusan perizinan
menjadi lebih mudah”.
Demikian halnya yang dirasakan oleh Ibu Rustinah, yang mempunyai usaha di bidang
makanan khas kotagede Kipo, menyatakan: “dengan saya brgabung dengan pengajian saya
merasa tidak minder, dan setelah saya menggunakan jilbab, penampilan saya lebih terjaga,
saya menjadi sabar, murah senyum, pelanggan saya semakin banyak. malah pengalaman kami
membuat produk-produk kuliner tempo dulu (asli wilayah) sekarang mulai diminati lagi, kami
sering diikutkan dalam pelatihan, dan sekarang kami juga senang memberikan ilmu saya ke
orang lain, agar ilmu saya manfaat”.
Pengakuan selanjutnya dari Ibu Tusiah, yang mempunyai usaha jamu gedong,
menyatakan bahwa: “Dengan bergabung dalam kelompok, merasakan memperoleh banyak
tambahan pengetahuan dan ketrampilan, antara lain bagaimana memilih empon-empon,
bagaimana mengemas agar lebih higenis, bahkan ada yang dibuat jamu instan agar, bisa
dititipkan misalnya di angkringan, sehingga semakin luas jualanya. Apalgi sering ada
kunjungan ke wilayah, minuman segar menyehatkan, bahkan kami sering memperoleh order
membuatkan berbagai jamu instan”.
Setelah mulai kelihatan adanya peningkatan pengetahuan dalam kelompok usaha, kami
mengadakan Festival sungai Gajah Wong Pertama pada tahun 2013, dengan mendatangkan
para pemangku kebijakan mulai dari Wali Kota Yogyakarta, bahkan Gubernur DIY, serta para
dinas terkait untuk memperoleh masukan dan mengenalkan bahwa warga khususnya pelaku
UMKM di sepanjang sungai Gajah Wong telah tergeliat untuk maju, pada acara tersebut
diadakan gelar produk UMKM, dan seluruh kegiatan semua kebutuhan mulai dari dekorasi,
snack, dsb semua dipercayakan pada UMKM setempat, hasilnya tidak mengecewakan. Para
pengusaha di sepanjang sungai tidak boleh menjual produk pabrikan, harus menjual buatannya
sendiri/kelompok, hasilnya sangat menggembirakan. Kegiatan ini menjadi virus bagi warga

139
sekitarnya yang tinggal di kawasan sungai. Dengan telah mendapatkan hasil yang nyata,
selanjutnya para pelaku UMKM semakin semangat untuk terus mau dikembangkan/ dilatih.
Berbagai dialog dilakukan untuk mendapatkan berbagai akses baik dengan Gubernur,
maupn dengan pejabat di level Kota, serta para pelaku usaha dan akademisi. Sebagai contoh
kegiatan seperti pada Gambar berikut, pengurus FORSIDA dengan Gubernur dan Walikota,
dengan Ahli Geo-Heiratege, Kepala Dinas PUP-ESDM, dengan Direktur Kebun Binatang
Gembiraloka.

Dengan bimbingan dan power dari para pemangku kebijakan serta adanya kegiatan
yang menjadi sarana, untuk mempertemukan dengan para pengusaha yang lebih besar dan dari
daerah lain, terjalin hubungan bahkan para UMKM mampu mandiri artinya bisa mencari pasar
sendiri. Bahkan menghadirkan Gubernur, yang kebetulan juga sebagai Sultan Kroton
Ngayogyakarta, dengan membicarakan sungai Gajah Wong yang akan dikembangkan menjadi
wisata heiratage, untuk mendukung keistimewaan Yogyakarta dan untuk menambah
alternative berkunjung ke Yogyakarta, dengan harapan para pelaku UMKM untuk
mendapatkan akses pelatihan, pemodalan, dan akses pasar, terlihat sebagai berikut :

Dialog dengan Gubernur untuk penigkatan kapasitas UMKM dan seni budaya lokal
serta peningkatan sarana prasarana di kawasan sungai Gajah Wong.

140
Bahkan juga mencari upaya untuk dikenal di dunia luar dengan mendatangkan tamu
asing yang mempunyai power, sebagai contoh sharing dengan dinas lingkungan hidup di
Negara Florida, disamping memperoleh ilmu bagaimana mengembangkan kawasan sungai
secara otomatis mengenalkan wilayah Gajah Wong di manca Negara, dan mendatangkan
tamu asing, juga dikenalkan makanan dan minuman khas Yogya favoritnya Sultan, menjadi
daya tarik tamu untuk mengunjungi para pelaku UMKM.

141
Juga mengadakan event-event di sepanjang sungai, antara lain Festival sungai Gajah
Wong dengan rangkaian kegiatan lomba Gethek/perahu tradisional jawa dari bamboo dengan
miniature Gajah, sering diadakan berbagai lomba yang diikuti oleh para remaja, anak-anak,
dengan adanya kegiatan di sungai akan mengundang masa dan tentu akan banyak kebutuhan
muncul, misalnya kebutuhan makan, oleh-oleh, minum, mandi untuk bilas, dan sebagainya.

142
PENUTUP

Upaya untuk meningkatkan kemandirian UMKM bisa dikembangkan melalui berbagai


cara, antara lain dengan melibatkan dalam berbagai hal juga memberikan peluang untuk
menjadi oleh-oleh agi wisatawan baik Wisman maupun Wisnu. Dengan jumlah kunjungan
wisata yang semakin meningkat dan dengan semakin beragam tawaran pariwisata salah
satunya dengan memberikan kesempatan pada Wisman dan Wisnu untuk terlibat dalam
proses kegiatan UMKM, akan terjadi kesan yang mendalam dan secara otomatis para pelaku
UMM akan merasa dibutuhkan, sehingga akan secara sadar mau berusaha untuk mencari ilmu
dalam peningkatan kapabilitas. Melalui peningkatan kemampuan dan ketrampilan dan
mentalitas UMKM, mereka akan bisa terus berupaya dalam menghadapi persaingan. Biarpun
pendampingan dari berbagai pihak harus dilakukan secara simultan dan berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, Sri Dwi dan Wahyuni, Purbudi. 201, Woman Entrepreneurship Development
Model Towards Economics Independence In Yogyakarta.International seminar.
UNTAR.
Bacharach, S. B., Bamberger, P. A., & McKinney, V. 2000. Boundary management tactics and
logics of action: The case of peer-support providers. Administrative Science
Quarterly, 45:704-736.

143
Badriah, Lilis; Rahab, Widiastuti, E. 2011. Strategi pengembangan Kompetensi Sumber Daya
Manusia Berbasis Knowledge Sharing. Cakrabook, Solo.
De Nisi, A. S., & Mitchell, J. L.,1976. An analysis of peer ratings as predictors and criterion
measures and a proposed new application. Academy of Management Review,
April:369-374.
De Nisi, A. S., Randolph, W. A. & Blencoe, A. G., 1983. Potential problems with peer
ratings’. Academy of Management Journal, 26(3):457-464.
Dess, Gregory G and G.T. Lumpkin. 2003. Strategic Management, Creating Competitive
Advantage. McGraw-Hill, Irwin. North America.
Dess, Gregory G. & Lumpkin, G.T., 2003. Strategic Management, Creating Competitive
Advantages. McGraw-Hill, Irwin, New York.
DeVellis, Robert F., 1991. Scale Development, Theory and Applications. SAGE, Publications,
USA.
Harimurti, Bambang. 2011. Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberdayaan K-UMKM
(Koperasi, Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah.
Inman, J., 2001. Relationships among employees job satisfaction, satisfaction with coworkers
interpersonal relationship styles. UMI Microform,
http://sophia.stkate.edu/msw_papers/21.
Neuman, W. Lawrence, 2000. Social Research Methods, Qualitative and Quantitative
Approach. Fourth Edition, Allyn and Bacon, USA.
PEMKOT Yogyakarta, 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota
Yogyakarta.
Rahab dan Wahyuni, Purbudi. 2011. Tehnik Penggalian Data KualitatifRiset, Panduan Untuk
Peneliti Ekonomi, Bisnis dan Ilmu Sosial. Unsoed Purwokerto.
Rahab dan Wahyuni, Purbudi. 2013. Predicting Knowledge Sharing Intention Based on
Theory of Reasoned Action Framework: An Empirical Study on Higher Education
Institution. American International Journal of Contemporary Research (AIJCR),
vol.3, N0. 3, January.
Sudarso, S. 2010. Quality Control, Diklat Manajemen bagi Wanita Pengusaha Berskala Mikro
se Provinsi DIY.
Wahyuni, P., dan Vebriwati. 2009. Analisis pengaruh self-efficacy terhadap kinerja individu
yang dimoderasi oleh penetapan tujuan (goal-setting). Jurnal Manajemen, Ekonomika
Madani, 1(1): 71-86.

144
Wahyuni, Purbudi & Sangi, Reffi 2010. Pengaruh leader member exchange dan kualitas
hubungan terhadap penilaian kinerja yang dimoderasi oleh durasi. Jurnal Ekonomi &
Bisnis, EKOBIS. 11(2): 219-229.
Wahyuni, Purbudi. 2010. Analisis dual career couple: Pengaruh work role conflict, family
role stressor, dan work family conflict terhadap well-being bagi pasangan bekerja
dimoderasi social support. Performance, 1 (2): 1-28.
Wahyuni, Purbudi. 2011. Anteseden dan konsekuensi dukungan rekan, JMIB Jurnal
Management Inovasi dan Bisnis, vol.1. no.2:232-263.
Wahyuni, Purbudi. 2012. Analisis Dual Career-Couple: Dukungan Rekan Kerja sebagai
Veriabel Mediasi Intergroup Knowledge dan Sharing Informasi Terhadap Well-
Being. di Jurnal Ilmiah Siasat Bisnis, UII. Yogyakarta (proses terbit).
Wahyuni, Purbudi. 2012. Strategi Peningkatan Daya Saing Umkm Melalui Sustainable
Consumption And Production Berwawasan Green. Proccding and Call for Paper,
Seminar Nasional UII, Yogyakarta.
Wahyuni, Purbudi. 2013. People Empowerment Diffusion Innovation to Reach Economic
Community Acceleration in Green Water Resources ( Study in Gajah Wong River),
International Conference.

145
PENGARUH KNOWLEDGE SHARING ANTAR DOSEN PADA KINERJA
PENELITIAN DOSEN

Oleh:
Agoestiana Boediprasetya1), Nugroho J. Setiadi1)
E-mail: agoestiana.boediprasetya@widyatama.ac.id
1)
Dosen Fakultas Bisnis dan Manajemen Universitas Widyatama-Bandung

ABSTRACT

This research was developing a model of knowledge sharing among lecturers and their
research performance. Today, the intellectual capital is one of determinant factors for
organizational performance. The performance of intellectual capital is largely determined by
knowledge sharing activities. This research considered two dimensions of knowledge sharing
activities, namely, the type-based knowledge sharing and the use of a method in sharing. The
research performance was measured on the frequency of publications and number of scientific
papers. Besides, the research also included two moderator variables, namely, culture and
information technology application. The literature study and a real system study were used for
developing the model. The model was tested by using a structural equation modeling method.
This research found that the type-based knowledge sharing has a positive effect on research
performance, and the intensity of using diverse sharing methods has also a positive effect on
research performance. In addition, proper culture and information technology application
have some impacts on increasing research performance.

Keywords: knowledge sharing, research performance, intellectual capital

146
PENDAHULUAN

Pengetahuan dapat dipandang sebagai sumber daya esensial perusahaan untuk terus
mempertahankan keunggulan bersaing. Pada kontek ini pengetahuan yang diciptakan dan
disebarkan memiliki kontribusi untuk mengembangkan kemampuan perusahaan dalam
beradaptasi atas perubahan lingkungan (Choi dkk., 2008). Menurut Zack, 2003 organisasi
yang menggunakan pengetahuan secara intensif dalam membentuk produk utamanya disebut
sebagai Knowledge-Based Organization (KBO) dan semakin tinggi intensitas pengetahuan
dalam produk dan layanannya maka akan semakin menjadi KBO.
Pada penelitian ini perguruan tinggi dipandang sebagai KBO dan dosen sebagai aset
intelektual. Dengan demikian kinerja Perguruan Tinggi ditentukan diantaranya oleh kinerja
dosen yang pada penelitian ini diukur berdasarkan kinerja penelitiannya. Proses suatu
penelitian mencakup aktivitas penyerapan, penyampaian, dan pembelajaran pengetahuan
mulai dari saat tahap merumuskan masalah hingga diseminasi. Proses penelitian tersebut tak
lain adalah proses knowledge sharing (KS). KS adalah tindakan sedemikian rupa sehingga
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki individu dapat tersedia bagi orang lain dalam
organisasi (Ipe, 2003). Pengetahuan individu tidak akan memberikan dampak kepada
organisasi kecuali pengetahuan tersebut diusahakan dapat digunakan orang lain (Nonaka dan
Takeuchi, 1995). Beberapa peneliti mengamati hubungan antara KS dengan kinerja (Du dkk.,
2005; Huang dkk., 2008 Hu dkk., 2009). Saenz dkk. (2009) juga mengamati hubungan KS
dengan kinerja. Mereka menunjukkan bahwa KS merupakan isu kunci dalam rangka
meningkatkan kemampuan perusahaan. Oleh karena itu dapat ditarik hipotesis jika KS benar
berkaitan dengan kinerja, maka aktivitas KS yang berkaitan dengan proses penelitian dapat
meningkatkan kinerja penelitian dosen. Dengan demikian meningkatkan kinerja penelitian
dosen dapat dilakukan dengan meningkatkan aktivitas KS.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan model hubungan knowledge sharing
antar dosen di perguruan tinggi dengan kinerja penelitian dosen. Penelitian dilakukan melalui
tahap-tahap berikut: (1) mengembangkan model konseptual berdasarkan teori dan penelitian
terdahulu untuk menemukan variabel-variabel yang terlibat dan hubungan antar variabel
tersebut, (2) menyusun indikator dari variabel-variabel yang terlibat untuk kemudian
dituangkan dalam kuesioner sebagai alat ukur, (3) menguji validitas dan reliabilitas alat ukur,
(4) menguji model menggunakan data empiris yang telah dikumpulkan menggunakan
kuesioner, (5) melakukan pengujian hipotesis dan interpretasi dari hasil pengujian. Pada
bagian berikutnya dilakukan diskusi kemudian disusun kesimpulan beserta saran bagi
penelitian berikutnya.
Kuesioner disebarkan kepada responden melalui email, melalui hard copy, dan melalui
web survay. Sebanyak 337 dosen dari banyak perguruan tinggi di Indonesia tercakup dalam
penelitian ini sebagai responden

147
HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap 1 - Mengembangkan model konseptual.


Model konseptual penelitian ini dibangun dari studi literatur, yaitu dengan mempelajari
teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Teori planned behavior dan teori reasoned action
telah digunakan untuk ini. Sementara dari penelitian terdahulu KS dipandang dari dua dimensi
yaitu intensitas berbagi tipe pengetahuan (Chang dan Ahn, 2005; Choi, 2006; Glomseth dkk.,
2007; Ngah dan Ibrahim, 2009) dan intensitas penggunaan metode berbagi (Mckeen dkk.,
2006; Choi, 2006; Glomseth dkk., 2007; Lin, 2007; Hsu, 2008; Ngai dkk., 2008; Saenz dkk.,
2009; Hu dkk., 2009; Kamasak dan Butlular, 2009). Budaya organisasi (Husted dan
Michailova, 2005; Glomseth dkk., 2007; Du dkk., 2007; Hu dkk., 2009) dan penggunaan
teknologi informasi (Saenz dkk., 2009) merupakan variabel moderator pada model ini.
Dari studi literatur tersebut diperoleh model konseptual sebagaimana disajikan pada gambar 1.
Moderator:
Budaya
Aplikasi TI
Aktivitas
Knowledge
Sharing: Kinerja
-Tipe Knowledge Penelitian
-Penggunaan
metode sharing

Gambar 1. Model Penelitian

Tahap 2 - Menyusun indikator dari variabel-variabel yang terlibat.


Untuk dapat melakukan pengukuran dari variabel-variabel yang terlibat perlu digali
indikator dari masing-masing variabel (Sekaran, 2003). Hal ini bisa dilakukan dengan
mengamati proses nyata (Daellenbach dan McNickle, 2005) dari penelitian yang dilakukan
dosen selama ini. Karena sebagian besar penelitian yang dilakukan dosen adalah penelitian
yang menggunakan dana dari sponsor maka proses nyata yang diamati adalah proses
penelitian yang didanai dari sponsor (Gambar 2).

148
Pengetahuan
Pengetahuan
akademik dan
akademik
alat analisis

Penyiapan Pengolahan
Persiapan, Penyusunan alat ukur data, analisis
studi Proposal Pengumpulan dan penarikan
pendahuluan data kesimpulan

Pengetahuan Pengetahuan
akademik dan Penyusunan
akademik dan
administratif laporan
administratif

Diseminasi
hasil

Gambar 1. Proses Nyata Penelitian dengan Dana dari Sponsor

Tahap pertama pada proses nyata tersebut adalah tahap persiapan untuk penyusunan
proposal. Pada tahap ini dosen perlu mengetahui hal-hal yang bersifat administratif seperti
format dan prosedur penyusunan proposal untuk sponsor, surat-menyurat, perizinan dan lain-
lain. Hal ini memerlukan pengetahuan administratif. Selain itu, studi pendahuluan juga perlu
dilakukan pada tahap ini untuk menggali potensi masalah yang akan diteliti. Maka diperlukan
pula pengetahuan akademik sesuai dengan bidang yang ditekuni dosen. Tahap berikutnya
adalah penyusunan proposal dan dilanjutkan dengan penyusunan alat ukur serta pengumpulan
data. Pada tahap ini diperlukan pengetahuan akademik untuk melakukan identifikasi masalah,
mereview jurnal, merancang proses pengukuran, menyusun operasionalisasi variabel,
menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Pada tahap pengolahan data, analisis hasil dan
penarikan kesimpulan, diperlukan pengetahuan yang berkaitan dengan penggunaan perangkat
analisis misalnya berupa perangkat lunak pengolah data ataupun penggunaan perangkat keras
tertentu. Proses berikutnya adalah penyusunan atau penulisan laporan penelitian. Pengetahuan
administratif kembali diperlukan pada tahap ini antara lain adalah pengetahuan manajemen
proyek, menyusun laporan dengan format tertentu, dan melakukan presentasi kemajuan. Tahap
terakhir pada proses nyata penelitian adalah publikasi hasil penelitian. Dalam tahap ini juga
diperlukan pengetahuan administratif untuk hal-hal seperti memenuhi format publikasi,
prosedur penyerahan artikel, dan metode komunikasi
Dalam rangka memperoleh dan bertukar pengetahuan yang dibutuhkan pada setiap
tahap penelitian, terjadilah KS. Maka dari uraian proses nyata penelitian tersebut, dimensi tipe
pengetahuan dikelompokkan menjadi tiga yaitu pengetahuan administratif, pengetahuan
tentang penggunaan alat dan pengetahuan akademik.

149
Untuk mendapatkan indikator metode berbagi dilakukan melalui studi dari proses
nyata berbagi yang dilakukan antar dosen. Proses nyata ini dapat digambarkan pada gambar 3
berikut ini.

Aktivitas Berbagi Pengetahuan


Metode Berbagi Penggunaan IT

Pengetahuan
Individu dengan Pengetahuan
dokumen Dokumen
Pengetahuan
Individu dengan Pengetahuan
individu
Pengetahuan

Individu dengan
kelompok

Budaya

Gambar 3. Proses Nyata Metode Berbagi Pengetahuan antar Dosen


Gambar 3 menunjukkan bahwa terdapat 3 metode berbagi yang dilakukan antar dosen
yaitu dengan membaca dokumen cetak, menggunakan IT (internet), konsultasi dengan rekan
dan berdiskusi dengan kelompok. Dengan demikian metode berbagi terdiri dari tiga yaitu
melalui interaksi person to document, person to person, dan person to group. Metode berbagi
ini juga digunakan dalam penelitian Yi (2009).
Kinerja adalah prestasi karyawan atas tugas-tugasnya yang telah ditetapkan (Cascio,
1995). Pada penelitian ini, kinerja penelitian dosen diukur melalui banyaknya publikasi yang
telah dilakukan dan banyaknya karya ilmiah lainnya yang telah dihasilkan. Publikasi dapat
berupa artikel dalam prosiding ataupun dalam jurnal. Sedangkan karya ilmiah lainnya berupa
paten atau karya yang tidak dipatenkan namun diakui secara ilmiah.

Tahap 3 - Menguji validitas dan reliabilitas alat ukur.


Untuk menguji validitas, indikator-indikator dari variabel laten diberikan kepada
pakar untuk dievaluasi apakah indikator-indikator tersebut relevan digunakan untuk mengukur
variabel yang dimaksud. Sebanyak 8 pakar telah diminta memberikan evaluasinya. Kriteria
pakar yang digunakan adalah seseorang yang telah menerbitkan lebih dari 100 artikel dalam
jurnal di bidang knowledge managemen atau knowledge sharing. Tingkat relevansi diberikan
dalam rentang 1 sampai dengan 5. Tingkat relevansi 1 menunjukkan bahwa indikator tersebut
sangat tidak valid menurut pendapat pakar, sebaliknya tingkat relevansi 5 menunjukkan

150
indikator tersebut sangat valid menurut pendapat pakar. Selain itu validitas diuji dengan
menghitung nilai loading factor untuk masing-masing indikator. Untuk mengukur reliabilitas
telah dilakukan perhitungan Cronbach’s Alpha untuk masing-masing variabel. Hasil
keseluruhan tersebut disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Pengujian Validitas dan Reliabilitas
Variabel Indikator Relevansi LF CF Kep.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Intensitas Berbagi pengetahuan administrative Ya
berbagi tipe (T1) 4,1 0,82
pengetahuan
Berbagi pengetahuan tentang Ya
(Type) 0,86
penggunaan alat analisis (T2) 3,8 0,79
Berbagi pengetahuan akademik (T3) 4,4 0,84 Ya
Intensitas Berbagi melalui interaksi Person- 4,6 Ya
penggunaan Document (M 1) 0,80
metode
Berbagi melalui interaksi Person- 3,8 0,81 0,83 Ya
berbagi
Person (M 2)
(Method)
Berbagi melalui interaksi Person- 4,1 0,79 Ya
Group (M 3)

Kolom 1 menunjukkan variabel dalam model, kolom 2 menunjukkan indikator, kolom


3 adalah tingkat relevansi rata-rata menurut pakar, kolom 4 adalah loading factor, kolom 5
adalah nilai Cronbach’s Alpha, dan kolom 6 adalah keputusan apakah indikator tersebut
digunakan atau tidak dalam pengolahan data selanjutnya.
Pada tabel 1, kolom (4) merupakan nilai rata-rata pendapat pakar. Dengan
menggunakan interval 95% yaitu sebesar 1,64 kali deviasi standar maka skor kurang dari 3,2
dinyatakan secara signifikan berbeda dari nilai rata-ratanya dan dianggap tidak relevan atau
tidak valid. Berdasarkan kriteria ini seluruh indikator valid. Pada kolom (3) loading factor
dengan nilai lebih dari 0.5 dianggap valid (Hair, 1998). Berdasarkan kriteria ini seluruh
indikator valid.
Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menghitung nilai Cronbach’s Alpha untuk
masing-masing variabel. Pada table 1 kolom (5) seluruh nilai Cronbach’s Alpha menunjukkan
hasil pengukuran yang cukup reliabel.

151
Tahap - 4 Menguji model menggunakan data empiris.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode structural equation modeling
dan menggunakan software AMOS. Metode ini memberikan hasil pengujian model
pengukuran dan model struktural secara simultan. Model struktural yang akan dianalisis
beserta hipotesis penelitian ini ditunjukkan pada gambar 4.

T1 Moderator

T2 Tipe

H2
T3
H1 Kinerja
M1

H3
M2 Metode

M3

Gambar 4. Model Struktural dan Hipotesis

Hasil pengujian ketepatan model disajikan pada Tabel 2. Uji ketepatan model
menghasilkan nilai derajad bebas (df) sebesar 94. Hal ini berarti model dapat diestimasi dan
dinilai. Atau model disebut overindentified.

Tabel 2. Hasil Uji Ketepatan Model

Chi-Square GFI RMSEA CMIN/DF TLI

240,38 0,92 0,084 2,134 0,94

Catatan: GFI = Goodness of Fit Index (Kriteria > 0,9)

RMSEA = Root Mean Square Error of Approximation (Kriteria < 0,1)

CMIN/DF= chi-square per degree of freedom (Kriteria < 3)

TLI= Tucker Lewis Index (Kriteria > 0,9)

152
Uji chi-square dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor selain validitas
model teoritis, seperti normalitas multivariat, ukuran sampel, dan bahkan kompleksitas model.
Misalnya, ukuran sampel dapat memiliki pengaruh besar pada statistik chi-square. Artinya,
semakin besar ukuran sampel chi-square akan menjadi lebih sensitif dalam menciptakan
perbedaan untuk model yang diusulkan. Dengan demikian meskipun suatu model sebenarnya
dapat diterima, uji chi-square sering menunjukkan bahwa model dari sampel memiliki
perbedaan signifikan dengan model dari populasinya. Oleh karena itu perlu digunakan kriteria
lainnya dalam menyimpulkan ketepatan model.
Pada Tabel 2 nampak bahwa nilai Chi Square cukup besar. Namun apabila dilihat nilai
CMIN/DF=2,134 (kurang dari 3) maka model dapat diterima. Hal ini didukung dengan nilai
GFI=0,92 (lebih dari 0,9), RMSEA 0,084 (kurang dari 0,1), dan TLI=0,94 (lebih dari 0,9).
Dengan demikian secara keseluruhan, model dapat diterima.

Tahap 5 - Melakukan pengujian hipotesis dan interpretasi dari hasil pengujian.


Hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini telah dapat dilihat pada Gambar 3 dan
ditunjukkan sebagai koefisien jalur bernama H1 sampai dengan H3. Hasil pengujian ini
disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengujian Hipotesis

Jalur Koefisien Jalur p-Value Hasil


(Standardized)
Type  Method (H1) 0,93 0,024 signifikan

Type RPerfm (H2) 0,23 0,065 signifikan

Method RPerfm (H3) 0,35 *** signifikan

*** = signifikan pada alfa=0.005

Nampak bahwa seluruh jalur yaitu H1 sampai dengan H3 memiliki hubungan yang
signifikan. Hubungan yang terjadi adalah positip. Intensitas berbagi tipe penelitian memiliki
korelasi yang signifikan dengan intensitas penggunaan metode berbagi (H1) dengan koefisien
0,93. Hal ini dapat difahami karena intensitas berbagi memerlukan metode untuk berbagi.
Hubungan antara intensitas berbagi tipe pengetahuan dengan kinerja penelitian (H2)
memiliki koefisien yang rendah namun masih signifikan yaitu 0,23. Sedangkan hubungan
antara intensitas penggunaan metode berbagi dengan kinerja penelitian (H3) memiliki
koefisien sebesar 0.35. Hubungan antara intensitas berbagi tipe pengetahuan dengan kinerja

153
penelitian (H2) yang memiliki koefisien rendah ini dapat dijelaskan dari hasil wawancara
bahwa meskipun aktivitas berbagi pengetahuan telah dilakukan namun hal ini tidak selalu
menghasilkan sebuah karya penelitian. Masih terdapat hal lain yang mempengaruhi
keberhasilan suatu penelitian untuk menjadi sebuah karya yang mendukung kinerja. Beberapa
penelitian ternyata hanya berhenti pada rencana atau konsep belaka.
Variabel moderator yaitu budaya diukur menggunakan kerangka dari Hofstede (1991).
Hasil pengolahan variabel moderator disajikan pada Tabel 4. Nampak bahwa kedua variabel
moderator memberikan efek signifikan. Hal ini berarti bahwa budaya yang kondusif dan
tingkat penggunaan teknologi informasi memberikan efek moderasi yang positif bagi
peningkatan kinerja penelitian.

Tabel 4. Efek Variabel Moderator


Variabel moderator Koefisien p-Value Hasil
Budaya 0.360 0.000 signifikan
Penggunaan TI 0.131 0.016 signifikan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dari hasil analisis dan interpretasi data diperoleh kesimpulan bahwa terdapat tiga tipe
pengetahuan dalam aktivitas berbagi antar dosen yaitu Pengetahuan Administratif,
Pengetahuan Alat Analisis, dan Pengetahuan Akademik. Ketiga tipe pengetahuan ini
merupakan indikator yang valid dalam mengukur intensitas berbagi tipe pengetahuan. Selain
itu metode yang digunakan untuk berbagi juga ada tiga yaitu melalui interaksi person-
document, person-person, dan person-group.
Intensitas berbagi tipe pengetahuan dan intensitas penggunaan metode berbagi
memiliki koefisien korelasi yang kuat dan positif serta keduanya memberikan kontribusi pada
tingkat kinerja penelitian meskipun dalam tingkat yang tidak terlalu besar. Budaya yang
semakin kondusif dan tingkat penggunaan teknologi informasi memberikan hasil kepada
peningkatan kinerja penelitian.
Berikut adalah rekomendasi untuk peneliti selanjutnya demi mendapatkan hasil yang
lebih mendalam. Pertama, penelitian ini menggunakan sampel dari berbagai perguruan tinggi.
Namun pengambilan sampel tidak dilakukan secara acak, sehingga hasil penelitian ini tidak
dapat digeneralisasikan. Meskipun pengumpulan data dari para dosen ternyata tidaklah mudah,
peneliti selanjutnya dapat memperbaiki pengambilan sampel ini, apakah melakukannya secara

154
acak ataupun dengan mengambil area perguruan tinggi tertentu sehingga didapatkan
generalisasi pada area tersebut. Kedua, pengumpulan data dengan cara yang berbeda yaitu
melalui on-line dan hard copy dapat menghasilkan karakteristik pengisian yag berbeda. Oleh
karena itu mungkin perlu dilakukan analisis terpisah bagi kedua cara pengumpulan tersebut.
Ketiga, faktor-faktor keorganisasian tempat para dosen bekerja dapat merupakan moderator
baru, misalnya struktur organisasi, penyediaan sarana, dan dukungan pimpinan (Du dan Ren,
2007). Oleh karena itu faktor-faktor ini perlu dimasukkan dalam analisis pada penelitian
selanjutnya.

UNGKAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini didukung oleh Hibah Penelitian Kompetensi dari Dit. Litabmas Dikti,
Kemdikbud, melalui grants nomor: 043/SP2H/PL/DIT.LITABMAS/V/2013. Terima kasih
kepada ketua tim Nugroho J. Setiadi, SE, MM, PhD, anggota tim peneliti Dr. Nina Nurani,
SH, MH, dan Lia Amaliawiaty, SE, MSi, serta keterlibatan para mahasiswa Universitas
Widyatama.

DAFTAR PUSTAKA

Chang, Suk-Gwon, Ahn, Jae-Hyeon, (2005) "Product and process knowledge in the
performance-oriented knowledge management approach", Journal of Knowledge
Management, Vol. 9 Iss: 4, pp.114 - 132

Choi, B., Poon, S. K., & Davis, J. G. (2008). Effects of knowledge management strategy on
organizational performance: a complementarity theory-based approach. Omega, 36(2),
235-251.

Choi, M. (2006). Communities of practice: an alternative learning model for knowledge


creation. British Journal of Educational Technology, 37(1), 143-146.

Daellenbach, H.G. and D.C. McNickle, 2005. Management Science: Decision Making
Through Systems Thinking. Palgrave Macmillan
Du, R., Ai, S., & Ren, Y. (2007). Relationship between knowledge sharing and performance:
A survey in Xi’an, China. Expert Systems with Applications, 32(1), 38-46.

Glomseth, R., Gottschalk, P., & Solli-Saether, H. (2007). Occupational culture as determinant
of knowledge sharing and performance in police investigations. International Journal
of the Sociology of Law, 35(2), 96-107.

155
Hofstede, Geert (1991). Cultures and Organizations: Software of the Mind, McGraw-Hill
Professional.

Hsu, I. (2008). Knowledge sharing practices as a facilitating factor for improving


organizational performance through human capital: a preliminary test. Expert Systems
with Applications, 35(3), 1316-1326.

Hu, Monica M. L., Horng, J. S., & Christine Sun, Y. H. (2009). Hospitality teams: knowledge
sharing and service innovation performance. Tourism Management, 30(1), 41-50.
Husted, K. and Michailova, S, (2005) Knowledge Sharing And Organizational Performance:
The Role Of Extrinsic And Intrinsic Motives. 8th International Human Resource
Management Conference. Cairns, Australia, Copenhagen business school.

Ipe, M. (2003). Knowledge sharing in organizations: a conceptual framework. Human


Resource Development Review, 2(4), 337-359.

Lin, H. F. (2007). Effects of extrinsic and intrinsic motivation on employee knowledge sharing
intentions. Journal of information science, 33(2), 135-149.

McKeen, J. D., Zack, M. H., & Singh, S. (2006, January). Knowledge management and
organizational performance: an exploratory survey. In System Sciences, 2006.
HICSS'06. Proceedings of the 39th Annual Hawaii International Conference on (Vol.
7, pp. 152b-152b). IEEE.

Ngah, R., & Jusoff, K. (2009). Tacit knowledge sharing and SMEs’ organizational
performance. International Journal of Economics and Finance, 1(1), P216.

Sáenz, J., Aramburu, N., & Rivera, O. (2009). Knowledge sharing and innovation
performance: a comparison between high-tech and low-tech companies. Journal of
Intellectual Capital, 10(1), 22-36.

Sekaran, U. (2003): Research Methods for Business A Skill Building Approach, Edisi ke-4,
John Wiley & Sons, Inc., New York.

Simmons, J., & Iles, P. (2001). Performance appraisals in knowledge-based organisations:


Implications for management education. The international journal of management
education, 2(1), 3-18.

Yi, J. (2009). A measure of knowledge sharing behavior: scale development and validation.
Knowledge Management Research & Practice, 7(1), 65-81.

Zack, M. H. (2003). Rethinking the knowledge-based organization. MIT Sloan Management


Review, 44(4), 67-72

156

Anda mungkin juga menyukai