Anda di halaman 1dari 111

PENCARIAN IDENTITAS DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S.

CHUDORI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN


BAHASA DAN SASTRA DI SEKOLAH

Ditujukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Ajeng Pertiwi Kartika Sari

11140130000028

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019
PENCARIAN IDENTITAS DALAM NOYEL PULANG KARYA LEILA S.
CIIUDORI SERTA IMPLIKASINYA TERAADAP PEX{BELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA DI SEKOLAH

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguman
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana pendidikan (S.pd.)

Olch:

Aiclls I'r r tin i Nlrr tikr Sx r;

ii i i(r i:J00110t,zli

Dosen Pembimbing

Ahmad Bahtiar, M. Hum.

NIP. 197601182009121002

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF IIIDAYATULLAH
JAK-{RTA
2019
LENI I]AR PENGES,\II \
Skril)si be!udLrl l'encarian Idcnlitas dnlint Nolcl Pukrttg K.trt-,,r t-cila S. Chudori serta
Implikrsir\a terhi(lap Pembelaiaran Bahlsa dan Sastra di Sel<olah disLrsun oleh
?\JEN(l PERTI\\:I K.\lt l'lliA SARI. Nomor lndLri( \'lal)nsis\\'l 111.1(t13000002E. diqlLrkan
kepude Ilkultas Ih)ru Ttlbivrh dan Kcguluan tJT-\ Syrril Hlciavaruliah.lakarte dau tcla])
(linlxtlkan lulLrs delarrr iljian Nluneqasah padr ttrnegal tli hadapal .L-r ait pensuji. Olclr
karcnr itri. pcrulis belhak rlrcnlpcrolclt gciar Saljlna S-1 (S.Pd.) daltm biclans Pcndidikar
tsilhl-\a dan Srsh a hrd()rtesia.

lakarta, 03 Nlei 2019

Panitia Ujian Munaqasah

Ketua Panitia (KetLra Junisan.rPr-ogranl Siudi) Tanggal

Dr. NJrlil ur Subulii. NI.IIunr. .L> ic::l


/ ).tt
NIP. 19800-105 200901 I 015

Sclir elil! ii J,Jrusan

Novi Dilh Harvanti. i\I.Hum. .:.11.v.i l.:t!


N]P. 19t41 126 201503 2007

1'erguji l

Novi Diah IIar\,?riti. Xl.Hunr. .!it i.yi.(:i.:.:


NIP. 19841 116 201503 2007

I'crrguji lI
liosida Erownti. \I.Hum. .tl/:.t.(.1:tl
NIP. 19771030 200301 2009

Mengetahui,
Dekar Fakultas Iimu Tarbiyah dan I(eguruan

2001
SURAT PERNYATAAN K,A.RYA ILMIAH

Yarg befianda tangan di bawah ini:


Nama Ajcrtg Perlirvi l(ultika Sari
Tenrpat dan tanggal lafiir Jtkulir. 0l febuari 1996

NIM ll I.101i000002t
Jwusan 1'el1dic]ikan Bahasa dan Sastra Irrdonesia

i,iE\YA IAKAN DEN(;A\ SEST]NCCI]IINYA


Bahl,a skr'ipsi yang bcrjudul Perrcarian ldentitas dalam No.,'cl Prrlarry Kar]:r Leiia S.

Chudori serta lmplikasinya tcrhadap Pernbelnjnral Bahirsa dan Sast.n di Sekotrh


adrlah benar hasil karya sendiri di bawah birrbingan doscn'

^!ama
l'crrbimbing : Ahmad Rahtier. l\{.FILLtn.

.[urusan : Pcndidikan Bahasa tlarr Sastm lndonesiu

Dcrrrikiiul sural pernlataarl ini sa,va burt dengan sesungguhnya dan saya srrl) rt(rclntii
segala korsekLrensi rpabila tcrbukti behwa skripsi ini bUkal hasil karya sc did.

Jakarla. 0l Mei 1019

Yang menyatakan

Aieng Pertirvi Kartika Sari


ABSTRAK
Ajeng Pertiwi Kartika Sari. NIM : 11140130000028. “Pencarian Identitas dalam
Novel Pulang Karya Leila S. Chudori serta Implikasinya terhadap Pembelajaran
Bahasa dan sastra di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing : Ahmad Bahtiar, M. Hum
Penelitian ini meneliti tokoh Lintang Utara, Dimas Suryo, dan Vivienne
Deveraux dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Tujuan penelitian ini untuk
menganalisis proses pencarian identitas ketiga tokoh novel Pulang Leilla S.
Chudori serta implikasinya pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra guna untuk memahami
aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra dan menggunakan
metode deskriptif kualitatif untuk mendeskripsikan setiap proses pencarian
identitas dalam novel. Teknik pengumpulan data yang digunakan di penelitian ini
yaitu analisis dokumen dengan menggunakan metode analisis isi.
Hasil penelitian dari ketiga tokoh yang mencari identitas, yaitu tokoh
Lintang melalui keraguannya menemukan identitasnya, ia memutuskan bahwa
Indonesia termasuk ke dalam identitasnya, yang menjadi tempatnya untuk kembali.
Tokoh Dimas yang akhirnya mendapatkan kembali identitasnya ketika kematian
menjemputnya. Pada akhirnya mimpinya untuk menyatu dengan tanah Indonesia
tercapai. Tokoh Vivienne yang menemukan identitasnya melalui perpisahannya
dengan tokoh Dimas, yang memberinya sesuatu rasa yang baru serta pelajaran
hidup yang selama ini ia cari. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa proses pencarian identitas para tokoh ini dapat diimplikasikan terhadap
pembelajaran Bahasa dan Sastra di sekolah. Dalam pembelajaran ini, kompetensi
yang harus dicapai peserta didik ialah menganalisis teks novel baik secara lisan
maupun tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta
menemukan proses dalam mencari identitas atau jati diri di dalam novel.

Kata kunci : pencarian identitas, novel Pulang, Leila S. Chudori.

i
ABSTRACT

Ajeng Pertiwi Kartika Sari. NIM: 11140130000028. "Search for Identity in


"Pulang", a Novel by Leila S. Chudori and Its Implications for Language Learning
and Literature in Schools". Indonesian Language and Literature Education
Department, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training. Syarif Hidayatullah State
Islamic University Jakarta. Supervisor: Ahmad Bahtiar, M. Hum.
This research examines figures from Lintang Utara, Dimas Suryo, and
Vivienne Deveraux in the novel Pulang by Leila S. Chudori. The purpose of this
study was to analyze the search process for the identity of the three figures of
"Pulang", a novel by Leilla S. Chudori and their implications for learning
Indonesian Language and Literature. This study uses a literary psychology
approach in order to understand the psychological aspects contained in a literary
work and use a qualitative descriptive method to describe each identity search
process in a novel. The data collection technique used in this study is document
analysis by using the content analysis method.
The results of the research of the three figures who sought identity, namely
the character Lintang through his doubts finally found his identity, he decided that
Indonesia was included in his identity, which became his place to return. Dimas
figure who finally regains his identity when death picks him up. In the end, his
dream of joining Indonesia land was achieved. The character Vivienne who
discovered his identity through his separation from the character Dimas, who gave
him something new and life lessons he had been searching for. Based on the results
of the study it can be concluded that the search process for the identity of these
characters can be implicated in learning Language and Literature at school. In this
learning, the competencies that must be achieved by students are analyzing the text
of the novel both orally and in writing, by explaining the intrinsic elements in the
novel and finding processes in seeking identity or identity in the novel.

Keywords: Identity search, Pulang's novel, Leila S. Chudori.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan
karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
pendidikan. Judul skripsi ini adalah “Pencarian Identitas dalam Novel Pulang
Karya Leila S. Chudori serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra di Sekolah”.

Skripsi ini dapat terselesaikan berkat bimbingan, doa, motivasi, dan bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih
kepada:

1. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan dalam proses
penyusunan skripsi.
3. Ahmad Bahtiar, M. Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, nasihat, dan
motivasi kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi.
4. Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang bermanfaat selama masa perkuliahan.
5. Orang tua dan keluarga peneliti yang selalu memberikan doa, bantuan,
dan motivasi kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi.
6. Tiga Pilar Pemimpi: Tiara Amelia dan Khansha Fauziah, yang selalu
memberikan motivasi dan meluangkan waktunya dalam proses
penyusunan skripsi.
7. Sri Ayu K. dan Viqi Ramadhan teman seperjuangan selama masa
bimbingan skripsi.
8. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas A 2014
atas kebersamaannya selama masa perkuliahan.

iii
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menyadari masih banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan
saran yang membangun agar peneliti dapat lebih baik lagi dalam membuat karya
ilmiah. Peneliti juga mengharapkan skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada
pembaca, khususnya mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Jakarta,
Februari 2019

Ajeng Pertiwi K.S

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK .................................................................................................................................. i
ABSTRACK ................................................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................iii
DAFTAR ISI................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................................ 1


B. Identifikasi Masalah ....................................................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah ...................................................................................................... 4
D. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 4
E. Tujuan Penelitian ........................................................................................................... 4
F. Manfaat Penelitian ......................................................................................................... 5
G. Metodologi Penelitian .................................................................................................... 5

1. Objek Penelitian ....................................................................................................... 6


2. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................................... 6
3. Teknik Analisis Data................................................................................................ 7
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................................................. 8
A. Hakikat Novel ................................................................................................................ 8
1. Pengertian Novel ...................................................................................................... 8

2. Jenis-jenis Novel ...................................................................................................... 8


a. Novel Populer………………… ........................................................................ 8
b. Novel Serius……………….… .......................................................................... 9
c. NovelTeenlit………………. .............................................................................. 9
3. Unsur-unsur Novel ................................................................................................. 10
a. Unsur-Unsur Intrinsik ...................................................................................... 10
1) Tema .......................................................................................................... 11
2) Plot atau Alur ............................................................................................. 11
3) Tokoh dan Penokohan................................................................................ 14
a) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan ................................................... 15
b) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis ............................................. 15
c) Tokoh Serhana dan Tokoh Bulat ......................................................... 16
d) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang.................................................. 16
4) Latar atau Setting ....................................................................................... 16
5) Sudut Pandang ........................................................................................... 18
6) Gaya Bahasa............................................................................................... 19
7) Amanat ....................................................................................................... 20

B. Identitas ........................................................................................................................ 20
1. Komunitas Budaya ................................................................................................. 21
2. Loyalitas pada Kebudayaan ................................................................................... 22
3. Keanekaragaman Budaya....................................................................................... 23

C. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ................................................................. 25


D. Penelitian Relevan ...................................................................................................... 26
BAB III PENGARANG DAN PEMIKIRAN ...................................................................... 32
A. Biografi Pengarang ...................................................................................................... 32
B. Pemikiran Leila S. Chudori.......................................................................................... 34

BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................................... 38


A. Unsur Intrinsik Novel Pulang Karya Leila S. Chudori................................................ 38
1. Tema ...................................................................................................................... 38
2. Plot atau Alur ......................................................................................................... 40
3. Tokoh da Penokohan.............................................................................................. 46
4. Latar atau Setting ................................................................................................... 52
5. Sudut Pandang ....................................................................................................... 55
6. Gaya Bahasa........................................................................................................... 57
7. Amanat ................................................................................................................... 58
B. Pencarian Identitas Para Tokoh dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori ........... 59
1. Penemuan Identitas Tokoh Lintang Utara melalui Keraguan
terhadap Statusnya ................................................................................................. 59
2. Penemuan Identitas Tokoh Dimas Suryo melalui Kematiannya ........................... 67
3. Penemuan Identitas Tokoh Vivienne Deveraux melalui
Perpisahannya dengan Tokoh Dimas Suryo .......................................................... 74
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA ....................................................... 81

BAB V PENUTUP.................................................................................................................. 84
A. Simpulan ...................................................................................................................... 84
B. Saran ............................................................................................................................ 85

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya setiap manusia memiliki karakteristik yang berbeda satu


dengan lainnya, terutama dalah hal kepribadian. Kepribadian seseorang dapat
berubah serta berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Perubahan dan
perkembangan ini terjadi secara alamiah oleh manusia, tidak disengaja. Berbicara
tentang perkembagan, tentu manusia akan berkembang secara fisik, namun hal itu
terjadi pula pada kepribadiannya. Perkembangan kepribadian ini merupakan sebuah
proses yang pasti terjadi dan dialami setiap individu. Berawal dari masa kanak-
kanak, remaja, dewasa, hingga tua. Dalam fase-fase ini perkembangan kepribadian
tersebut dibentuk secara berbeda. Ada bagian terpenting dalam perkembangan
kepribadian ini, yaitu di fase remaja. Ketika remaja adalah masa-masa pencarian
diri, haruslah didorong dengan lingkungan yang ramah dan baik.

Pencarian identitas atau jati diri ini merupakan kebutuhan yang harus
dipenuhi oleh masing-masing individu, dengan pencarian inilah seseorang dapat
dikenal serta dapat diakui di dunia ini. Identitas merupakan hal penting, dari sinilah
manusia dapat menentukan ingin jadi apa ia selama hidup di dunia, dan memenuhi
tuntutan kehidupan. Namun, Pencarian jati diri masih persoalan yang pelik di
Indonesia, banyak anak-anak remaja yang dalam proses mencari identitas
menempuh jalan yang salah. Hal ini dapat difaktori oleh lingkungan tempat tinggal
yang tidak baik, pergaulan teman-teman yang menjurus ke arah negatif, kurangnya
perhatian dari orang tua, serta mengalami krisis identitas. Sehingga terjadilah
kenakalan remaja. Kenakalan ini sering terjadi di rumah, bahkan di sekolah.
Walaupun sekolah-sekolah sudah menyediakan bimbingan konseling untuk para
peserta didik, namun penanganan masih belum memuaskan, terbatasnya guru
konseling di setiap sekolah dan tidak adanya dukungan dari keluarga serta
lingkungan, hal ini tidak berdampak sama sekali terhadap kehidupan remaja-remaja
tersebut.

1
2

Beberapa kasus kenakalan remaja yag sering terjadi di Indonesia yaitu,


kekerasan, tindakan asusila, dan kriminalitas serta penggunaan obat terlarang.
Banyak pula laporan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bahwa
sering terjadinya tawuran yang dilakukan oleh antarpelajar dengan sekolah yang
berbeda, karena komunikasi yang buruk antaranggota masyarakat. Anak-anak yang
bermasalah ini tidak tersalurkan minat dan bakatnya. Pola asuh otoriter dan
lingkungan yang permisif terhadap fenomena kenakalan remaja juga menjadi salah
satu faktor pemicu.1 Bahkan ada pula kenakalan yang kerap terjadi pada akhir-akhir
ini yaitu kasus siswa membully guru di sekolah. Kejadian ini terjadi di Kendal, Jawa
Tengah, ketika video peristiwa siswa mendorong dan menendang guru di kelas viral
di sosial media. Menurut KPAI bahwa kejadian ini didasari oleh dua faktor yaitu
karakter siswa tersebut yang kurang terbina dengan baik di rumah ataupun di
sekolah dan kurangnya wibawa dan rendahnya kompetensi pendagogik yang
dimiliki oleh guru tersebut.2 Hal ini tentu saja membuat konflik tersendiri di
Indonesia, dari salahnya memilih jalan dalam mencari identitas para remaja ini
berujung melakukan tindakan yang merugikan dirinya serta orang banyak.

Selain terjadi dalam kehidupan nyata, persoalan tentang pencarian jati diri
ini juga dimuat dalam beberapa karya sastra, yaitu pembentukan identitas tokoh Ich
dalam novel Literatur Populer Soloalbum karya Benjamin Von Stuckrad-Barre,
pada penelitian ini berfokus pada pencarian identitas diri tokoh ich dalam buku ini
berlatar belakang hancurnya hubungan cinta tokoh ich sehingga muncul berbagai
konflik yang membuatnya mempertanyakan bagaimanakah konsep dirinya.3 Hal ini
karena karya sastra merupakan cerminan dari kehidupan nyata, karya sastra tidak
mungkin berdiri dengan ruang kosong. Kehidupan bahkan persoalan yang ada di

1
Davit Setyawan, “KPAI: PPTRA Tekan Angka Kenakalan Remaja”, dalam
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-rptra-tekan-angka-kenakalan-remaja diunduh pada 19 Juni
2019
2
Dedi Hendrian, “KPAI Sebut Ada Dua Faktor Penyebab Siswa di Kendal Bully Guru”, dalam
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-sebut-ada-dua-faktor-penyebab-siswa-di-kendal-bully-guru
diunduh pada 19 Juni 2019
3
Annisa Sylvia Piranti, Lisda Liyanti, “Pembentukan Identitas Tokoh Ich Melalui Konsep
Selbstdarstellung Dalam Novel Literatur Populer Soloalbum Karya Benjamin Von Stuckrad-Barre”,
dalam http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-11/S52439-Annisa diunduh pada 19 Juni 2019
3

dalamnya menjadi inspirasi pengarang untuk membuat suatu karya. Dengan


kelihaian pengarang dalam merangkai kata-kata yang mampu membawa jiwa
pembaca masuk ke dalam cerita, serta dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya.

Selanjutnya ada novel Pulang karya Leila S. Chudori, novel ini sangat
kental akan unsur sejarah dan politiknya, namun terdapat pula permasalahan
identitas yang dialami para tokohnya. Novel yang menceritakan tentang kehidupan
eksil politik yang harus meninggalkan tanah airnya, dan harus bertahan di negeri
asing ini, menyimpan beberapa persoalan yang dialami para tokohnya. Misalnya,
tokoh Dimas Suryo yang terus merasa bahwa identitasnya sebagai warga Indonesia
harus rela tidak diakui oleh negara kelahirannya sendiri. Ia yang akhirnya tinggal
di Perancis, merasa bahwa negara itu bukan rumah baginya, ia menolak identitas
barunya, dan tetap ingin pulang ke tanah airnya, Indonesia. Hal ini terjadi pula pada
putrinya, Lintang Utara. Lintang yang lahir dan besar di Perancis, selalu mencari
jati dirinya. Ia dilanda rasa bingung akan identitasnya. Ia merasa bahwa ia
merupakan gadis Perancis secara utuh, namun ia selalu terbayang tentang
Indonesia, hal ini juga menyebabkan Lintang mengalami krisis identitas, sehingga
ia merasa harus mencari tahu tentang Indonesia, yang merupakan identitas lain dari
dirinya,. Begitu pula dengan Vivienne Deveraux, ibu dari Lintang. Ia yang hidup
dengan gaya yang lurus cenderung monoton menemukan sesuatu yang berbeda
melalui tokoh Dimas, sehingga ia penasaran akan sesuatu yang baru tersebut. Selain
itu, novel ini juga berangkat dari pengalaman langsung sang pengarang yang pernah
menjejaki tanah asing untuk menempuh pendidikan.

Pada kajian ini peneliti menggunakan pendekatan psikologi sastra yang


bertujuan untuk memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu
karya sastra.4 Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, peneliti tertarik
untuk menganalisis novel Pulang karya Leila S. Chudori dengan judul penelitian

4
Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Psikologi Sastra, (Yogyakarta: MedPress, 2008), hlm. 11
4

“Pencarian Identitas dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori serta


Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti paparkan di atas, maka


identifikasi masalah penelitian ini adalah:

1. Masih adanya persoalan tentang pencarian identitas di kalangan remaja.


2. Masih banyaknya kenakalan remaja akibat proses pencarian identitas
yang salah.
3. Kurangnya pengajaran serta bimbingan tentang pencarian identitas di
sekolah.
4. Belum adanya kajian pencarian identitas dalam novel Pulang karya
Leila S. Chudori.
C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah peneliti, maka pembatasan masalah yaitu


Pencarian Jati Diri dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori serta Implikasinya
terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalahnya


adalah:

1. Bagaimana proses pencarian identitas para tokoh di dalam novel Pulang


karya Leila S. Chudori?
2. Bagaimana implikasi proses pencarian identitas diri dalam novel Pulang
karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia?
E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan. Maka tujuan penelitian


ini adalah sebagai berikut.
5

1. Mendeskripsikan proses pencarian identitas dalam novel Pulang


karya Leila S. Chudori.
2. Mengetahui implikasi penelitian pencarian jati diri dalam novel
Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran Bahasa dan
Sastra di Sekolah.
F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoretis dan


praktis.

1. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan memperluas pengetahuan tentang sastra


Indonesia, khususnya pembelajaran sastra di sekolah mengenai unsur
intrinsik novel.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian secara praktis diharapkan bermanfaat bagi peserta didik


untuk lebih mengerti proses pencarian identitas di dalam novel.

G. Metodelogi Penelitian

Metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Istilah


penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya
tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Contohnya
dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang,
disamping juga peranan organisasi, pergerakan sosial, atau hubungan timbal-balik.
Sebagian datanya dapat dihitungsebagaimana data sensus, namun analisisnya
bersifat kualitatif. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan
memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui. Metode
ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru
sedikit diketahui. Demikian pula metode kualitatif dapat memberi rincian yang
6

kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.5


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskriptif mengenai pencarian jati
diri, unsur-unsur intrinsik, dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di
sekolah yang terdapat dalam novel yang diteliti.

1. Objek Penelitian

Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi,


tetapi oleh Spradley dinamakan “social situation” atau situasi sosial.”6
Objek penelitian ini adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori yang
berjumlah 449 halaman yang diterbitkan PT Gramedia tahun 2012 cetakan
pertama.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan di penelitian ini yaitu


analisis dokumen. Dalam paradigma kualitatif, ada dibedakan istilah
documents dan records (bukti catatan). Guba dan Lincoln dengan singkat
membedakannya sebagai berikut: records segala catatan tertulis yang
disiapkan seseorang atau lembaga untuk pembuktian sebuah peristiwa atau
menyajikan perhitungan, sedangkan dokumen adalah barang yang tertulis
atau terfilmkan selain records meliputi manifest penerbangan, catatan
bisnis, bukti sumbangan, bukti setoran pajak, sertifikat kematian, catatan
militer, catatan bisnis, surat nikah, catatan akuntan, akta kelahiran, dan lain
sebagainya. Sementara yang termasuk dokumen antara lain adalah, surat,
memoir, otobiografi, diari, jurnal, buku teks, surat wasiat, makalah, pidato,
artikel, koran, catatan medis, pamphlet propaganda, foto, dan sebagainya.

Baik dokumen maupun bukti-bukti catatan seperti dirinci di atas


seringkali diperlukan oleh peneliti sebagai bukti pendukung. Dokumen-
dokumen seperti yang telah disebutkan di atas harus dianalisis sesuai dengan

5
Anslem Strauss & Juliet Corbin, Dasar-dasar penelitian kualitatif, (Yogyakarata: Pustakapelajar,
2003), hlm. 4-5
6
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV. Alfabeta, 2005), hlm. 49
7

fokus penelitian dan beberapa dilampirkan dalam skripsi, tesis, ataupun


disertasi.7

3. Teknik Analisis Data

Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalis data


antara lain:

a. Menganalisis novel Pulang karya Leila S. Chudori dengan


menggunakan analisis struktural. Analisis struktural dilakukan
dengan membaca dan memahami kembali data yang sudah
diperoleh. Berikutnya mengelompokan teks-teks yang terdapat
dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori yang mengandung unsur
intrinsik novel berupa, tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut
pandang, gaya bahasa, dan amanat.
b. Analisis dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra
dilakukan dengan membaca serta memahami kembali data yang
diperoleh. Selanjutnya mengelompokan teks-teks yang megandung
bahasan tentang pencarian identitas di dalam novel Pulang karya
Leila S. Chudori.
c. Mengimplikasikan novel Pulang karya Leila S. Chudori pada
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang dilakukan dengan
cara menghubungkan materi sastra di sekolah.

7
A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian
Kualitatif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), hlm. 111
BAB II

LANDASAN TEORI
A. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Novel dapat dipandang sebagai hasil dialog-perenungan pengarang
dengan kehidupan, mengangkat dan mengungkapkan kembali berbagai
permasalahan hidup dan kehidupan tersebut setelah melewati penghayatan
yang intens, seleksi-subjektif, dan diolah dengan daya imajinatif-kreatif
oleh pengarang ke dalam bentuk dunia rekaan sesuai dengan keyakinan dan
idealismenya. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup
dan kehidupan itu menjadi tema atau sub-subtema ke dalan teks fiksi sesuai
dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan
lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna
(pengalaman) kehidupan.1
2. Jenis-jenis Novel
a. Novel Populer

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak
penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan
masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai
pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan
kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan.
Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat dan berubah
menjadi novel serius, dan boleh jadi akan ditinggalkan oleh pembacanya.
Oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya
bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang
untuk membacanya sekali lagi. Contoh dari novel ini yaitu Dilan 1990 karya
Pidi Baiq.

1
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkaji Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Pres, 2013),
hlm. 118-119

8
9

b. Novel Serius

Novel serius di pihak lain, justru “harus” sanggup memberikan yang


serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Hal
itu sesuai dengan hakikat kebenaran dalam cerita sebagaimana telah
dikemukakan, yaitu kebenaran dalam kemungkinan. Membaca novel serius,
jika kita ingin memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsentrasi
yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu. Pengalaman dan permasalahan
kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan
sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Di samping
memberikan hiburan, dalam novel serius juga terimplisit tujuan
memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak
mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-
sungguh tentang permasalahan yang diangkat.

Masalah percintaan banyak juga diangkat ke dalam novel serius.


Namun, ia bukan satu-satunya masalah yang penting dan menarik untuk
diungkap, masalah kehidupan amat kompleks, bukan sekadar cinta asmara,
melainkan juga hubungan sosial, ketuhanan, maut, takut, cemas, dan bahkan
masalah cinta itupun dapat ditujukan terhadap berbagai hal, misalnya cinta
kepada orang tua, saudara, tanah air, dan lain-lain. Contoh dari novel ini
yaitu Pulang karya Leila S. Chudori.2

c. Novel Teenlit

Istilah “teenlit” terbentuk dari kata “teenager” dan “literature”.


Kata “teenager” sendiri terbentuk dari kata “teens”, “age”, dan akhiran “-
er”, yang secara istilah berarti ‘menunjuk pada anak usia belasan tahun’.
Salah satu karakteristik novel teenlit adalah bahwa mereka selalu berkisah
tentang remaja, naik yang menyangkut tokoh-tokoh (utama) maupun
permasalahannya. Para tokoh remaja itu hadir lengkap dengan karakter dan
masalahnya: pertemanan, kisah cinta, putus-sambung cinta, impian,

2
Ibid, hlm. 21
10

khayalan, cita-cita, konflik, dan lain-lain yang kesemuanya merupakan


romantika dunia remaja. Novel teenlit ditulis untuk memenuhi selera
pembaca remaja tentang dunia remaja. Teenlit tidak berkisah sesuatu yang
berat, mendalam, dan serius terhadap berbagai persoalan kehidupan karena
ia akan menjadi berat yang menyebabkan pembaca remaja menjadi malas
membaca karena merasa itu bukan lagi dunianya. Namun, juga karena para
penulis remaja lebih menguasai dunianya, dunia remaja, daripada dunia
dewasa yang menuntut keseriusan seperti pada novel serius. Mereka lebih
suka berbicara apa yang menjadi persoalan remaja yang menurut ukuran
dewasa mungkin sebagai sesuatu yang ringan. Contoh novel ini yaitu
Fairish karya Esti Kinasih.3

1. Unsur-unsur Novel
A. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun


karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks
hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika
orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-
unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan
antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud.
Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita)
inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. Unsur yang
dimaksud, untuk menyebut sebagian saja misalnya, peristiwa, cerita, plot,
penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa,
dan lain-lain.4

3
Ibid, hlm. 21-28
4
Ibid, hlm. 30
11

1. Tema

Tema dalam sebuah karya sastra hanyalah merupakan salah satu dari
sejumlah unsur pembangun cerita yang lain yang secara bersama membentuk
sebuah keseluruhan. Bahkan sebenarnya, keberadaan tema itu sendiri amat
bergantung dari berbagai unsur yang lain. Tema tidak mungkin hadir tanpa
unsur bentuk yang menampungnya.5

Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang


melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Sebagai sebuah karya imajinatif, tema
dapat diungkapkan melalui berbagai cara, seperti melalui dialog tokoh-
tokohnya, melalui konflik-konflik yang dibangun, atau melalui komentar
secara tidak langsung. Menarik tidaknya sebuah tema akhirnya memang
bergantung kepada kepiawaian pengarang. Semakin pandai ia menyamarkan
tema tersebut melalui ungkapan-ungkapan simbolik, maka semakin baik
model tema yang diungkapkan.6 Tema suatu cerita menyangkut segala
persoalan, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang,
dan kecemburuan.7

Jadi tema adalah salah satu unsur penting dalam menulis sebuah
karya sastra. Tema bagaikan pondasi dasar dalam membangun sebuah cerita
yang tentu saja didukung unsur-unsur yang lain. Ada beberapa karya sastra
memiliki tema yang hampir sama, biasanya disesuaikan dengan waktu terbit
karya sastra tersebut.

2. Plot atau Alur

Setiap karya fiksi pasti menyajikan cerita. Cerita itu terdiri dari
peristiwa-peristiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak semata-mata

5
Ibid, hlm. 122
6
Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, cetakan kedua, (Surakarta: Muhammadiyah Unifersity Press,
2001), hlm. 84-85
7
Kosasih, E., Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), hlm. 60
12

dijajarkan begitu saja, tetapi memiliki hubungan kualitas antara satu dengan
lainnya. Hal inilah yang disebut alur.8

Secara teoretis-kronologis tahap-tahap pengembangan struktur plot


dijelaskan di bawah ini:

Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan.


Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang
berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap
berikutnya. Misalnya, berupa penunjukan dan pengenalan latar, seperti
nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadiannya (misalnya ada
kaitannya dengan waktu sejarah), selain itu, tahap awal juga sering
dipergunakan untuk pengenalan tokoh-tokoh cerita, mungkin berwujud
deskripsi fisik, bahkan mungkin juga telah disinggung perwatakannya.

Tahap tengah cerita yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian
menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan
pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin
menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal,
konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal atau
pertentangan yang terjadi antartokoh cerita, antara tokoh-tokoh protagonis
dan tokoh-tokoh antagonis, atau keduanya sekaligus. Dalam tahap tengah
inilah klimaks ditampilkan.

Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut tahap pelarian,
menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini
misalnya berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyarankan pada hal
bagaimanakah akhir sebuah cerita. Dalam teori klasik Aristoteles,
penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan:
kebahagiaan (happy end), dan kesedihan (sad end).9

8
Pujiharto, Pengantar Teori Fiksi, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 32
9
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkaji Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Pres, 2013),
hlm. 201-205
13

Selain teoretis-kronologis, plot juga dapat dibedakan dengan kriteria


urutan waktu, yang dijelaskan dibawah ini:

Plot lurus (progresif), plot sebuah novel dikatakan progresif jika


peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa yang
pertama diikuti oleh (atau menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa
selanjutnya. Atau, secara runtut cerita dimulai dari tahap awal
(penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik
meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian).

Plot sorot balik (flash back), urutan kejadian yang dikisahkan dalam
cerita fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak
dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari dari tahap tengah atau
bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Teks fiksi
yang berplot jenis ini, dengan demikian, langsung menyuguhkan adegan-
adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing.

Plot campuran bisa diartikan bahwa tidak ada novel yang secara
mutlak berplot lurus-kronologis atau sebaliknya sorot balik. Secara garis
besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya, betapapun
kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik. Demikian
pula sebaliknya. Bahkan sebenarnya, boleh dikatakan, tidak mungkin ada
sebuah cerita pun yang mutlak flash-back.10

Perbedaan plot juga bisa berdasarkan kriteria jumlah, dimaksudkan


plot cerita yang terdapat dalam sebuah teks fiksi. Sebuh novel mungkin
hanya menampilkan sebuah plot, tetapi lebih dari satu plot. Kemungkinan
adalah untuk novel (fiksi) yang berplot tunggal, sedang yang kedua adalah
yang menampilkan sub-subplot atau plot paralel.

Plot tunggal, karya fiksi yang berplot tunggal biasanya hanya


mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama

10
Ibid, hlm. 213-215
14

protagonis yang sebagai hero. Cerita pada umumnya hanya megikuti


perjalanan hidup tokoh tersebut lengkap dengan permasalahan dan konflik
yang dialaminya. Cerita yang demikian mirip dengan biografi seseorang,
atau bahkan memang berupa novel biografis.

Plot sub-subplot (plot paralel), sebuah teks fiksi dapat saja memilki
lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang
yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang
dihadapinya. Struktur plot yang demikian sebuah karya barangkali berupa
adanya sebuah plot utama dan plot-plot tambahan. Dilihat dari segi
keutamaan atau perannya dalam cerita secara keseluruhan, plot utama lebih
berperan dan penting dari pada sub-sub plot itu.11

3. Tokoh dan Penokohan

Tokoh cerita, sebagaimana dikemukakan Abrams dalam Burhan


Nurgiantoro, adalah orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif,
atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa
yang dilakukan dalam tindakan. Tidak berbeda dengan Abrams, Baldic
menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita
fiksi atau drama, sedang penokohan adalah penghadiran tokoh dalam cerita
fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang
pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.12
Menurut Aminuddin dalam buku Wahyudi Siswanto, cara sastrawan
menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu
mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian
watak pada tokoh suatu karya oleh sastra disebut perwatakan.13

11
Ibid, hlm. 217-218
12
Ibid, hlm 247
13
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Malang: Aditya Media Publishing, 2013), hlm.
129
15

Dalam sebuah karya sastra pasti memiliki tokoh yang mendukung


setiap terjadinya peristiwa di dalamnya. Para tokoh inilah yang melakoni
setiap adegan-adegan yang disajikan oleh pengarang. Walaupun karya yang
dihasilkan merupakan cerita fiksi, namun ada pula tokoh yang terinspirasi
dari kehidupan nyata. Contonya novel Pulang karya Leila S. Chudori, yang
mengangkat kisah tentang para eksil politik tahun 65 dan para keluarganya.

Tokoh-tokoh dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan berdasarkan


sudut pandang dan tinjauan tertentu, seorang tokoh dapat dikategorikan ke
dalam beberapa jenis sekaligus, yang dijelaskan di bawah ini:

a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama dan tokoh tambahan merupakan tokoh yang dilihat


dari peran tokoh-tokoh. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama,
sedangkan yang kedua adalah tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh
yang diutamakan penceritaanya dalam novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling dikenai kejadian. Bahkan, pada novel-novel
tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat
ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan. Pada novel-
novel yang lain, tokoh utama tidak muncul dalam setiap kejadian, atau tidak
langsung ditunjuk dalam setiap bab, namun, ternyata dalam kejadian atau
bab tersebut tetap erat berkaitan, atau dapat dikaitkan, dengan tokoh
utama.14

b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh potagonis adalah tokoh yang wataknya disukai pembacanya.


Biasanya, watak tokoh semacam ini adalah watak yang baik dan positif,
seperti dermawan, jujur, rendah hati, pembela, cerdik, pandai, mandiri, dan
setia kawan. Tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci
pembacanya. Tokoh ini biasanya digambarkan sebagai tokoh yang berwatak

14
Burhan Nurgiantoro, Op, Cit., hlm. 258
16

buruk dan negatif, seperti pendendam, culas, pembohong, menghalalkan


segala cara, sombong, iri, suka pamer, dan ambisius.15

c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Perbedaan tokoh ini dilihat dari perwatakannya. Tokoh sederhana


adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat
watak tertentu saja. Tokoh sederhana dapat saja melakukan berbagai
tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada
perwatakan yang dimiliki. Tokoh bulat, tokoh kompleks, adalah tokoh yang
memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi
kepribadian, dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang
dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan
tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin tampak bertentangan dan
sulit diduga.

d. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Dilihat dari berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita


dalam sebuah cerita fiksi. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara
esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai
akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah
tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan
sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot dikisahkan.16

4. Latar atau setting

Abrams dalam Panuti Sudjiman, mengemukakan bahwa latar atau


setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian
tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Stanton dalam Panuti
mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta
(cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh

15
Wahyudi Siswanto, Op, Cit., hlm. 131
16
Burhan Nurgiantoro, Op, Cit., hlm. 258-275
17

pembaca secara faktual jika membaca sebuah cerita fiksi. Atau ketiga hal
inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita
adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat, dan itu
perlu pijakan, di mana, kapan, dan pada kondisi sosial-budaya masyarakat
yang bagaimana. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas.
Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca,
menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan
terjadi.17 Latar dapat menentukan tipe tokoh cerita, sebaliknya juga tipe
tokoh tertentu menghendaki latar yang tertentu pula. Latar dapat juga
mengungkapkan watak tokoh. Penggambaran keadaan kamar tokoh yang
selalu acak-acakan, misalnya, mengesankan bahwa penghuninya bukan
pecinta kerapian.18

Membaca sebuah novel kita akan bertemu dengan lokasi tertentu


seperti nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan, kamar, dan lain-lain tempat
terjadinya peristiwa. Karena latar tempat secara jelas menunjuk pada lokasi
tertentu, yang dapat dilihat dan dirasakan kehadirannya, disebut sebagai latar
fisik. Keadaan yang agak berbeda adalah latar yang berhubungan dengan
waktu. Latar waktu jelas tidak dapat dilihat, namun bekas-bekas
kehadirannya dapat dilihat pada tempat-tempat tertentu yang antaralain
ditandai oleh bengunan fisik, pada umumnya tidak sama, dan itu disebabkan
oleh waktu. Maka, pelukisan tempat dapat berubah tergantung kapan ia
dilukiskan. Penunjukan latar fisik dalam teks fiksi dapat dengan cara yang
bermacam-macam tergantung selera dan kreativitas pengarang. Ada
pengarang yang melukiskan secara rinci, dan sebaliknya ada pula yang
sekadar menunjukkannya dalam bagian cerita. Artinya, ia tidak secara
khusus menceritakan situasi latar. Latar dalam cerita fiksi tidak terbatas pada
penunjukan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja,
melainkan juga yang berwujud tata acara, adat istiadat, kepercayaan, dan

17
Ibid, hlm. 302
18
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan oleh Panuti Sudjiman, cetakan kedua, (Jakarta:
Pustaka Jaya: 1991), hlm. 49
18

nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Hal-hal yang disebut


terakhr inilah yang disebut sebagai latar spiritual. Jadi, latar spiritual adalah
nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik.

Latar fungsional memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu,


baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial-budaya. Latar
fungsional adalah unsur latar yang memiliki fungsi menonjol dalam
kaitannya dengan cerita secara keseluruhan. Latar fungsional dalam
kaitannya dengan cerita secara keseluruhan. Latar fungsional adalah latar
yang mampu memengaruhi dan bahkan ikut menentukan perkembangan plot
dan pembentukan karakter tokoh. Latar tipikal biasanya digarap secara teliti
dan hati-hati oleh pengarang, yang antara lain dimaksudkan untuk mengesani
pembaca agar karya itu tampak realistis, terlihat seungguh-sungguh diangkat
dari kondisi faktual.19

Latar dalam sebuah karya sastra tidak hanya terpaku dengan latar
waktu atau tempat saja, namun ada macam-macam latar yang ikut menghiasi
cerita tersebut, seperti latar tipikal dan latar sosial-budaya. Latar dapat juga
menentukan watak dan kehidupan para tokoh yang ada di dalam cerita
tersebut.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita.20


Dalam penggunaan sudut pandang, pengarang dapat berganti-ganti dari
teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang ditulisnya.
Penggunaan sudut pandang campuran itu di dalam sebuah novel, mungkin
berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia”
mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku”
sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi. Selain itu, ia

19
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkaji Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Pres, 2013),
hlm. 302-309
20
Kosasih, E., Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, cetakan pertama, (Bandung: Yrama Widya,
2012), hlm. 69
19

dapat pula berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku”,
“dia”, bahkan kadang-kadang diselingi persona kedua “kau” sekaligus.21
Sudut pandang pada sebuah karya sastra merupakan cara pencerita dari
penulis dan pembacalah yang mengetahui setelah membaca keseluruhan
cerita. Penggunaan sudut pandang tidak terbatas hanya pada satu macam
saja, ada kalanya penulis menggunakan lebih dari satu sudut pandang.

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkati


efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau
hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum.22 Dalam cerita,
penggunaan bahasa berfungsi untuk menciptakan suatu nada atau suasana
persuasif serta merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan
dan interaksi antara sesama tokoh. Kemampuan sang penulis
mempergunakan bahasa secara cermat menjelmakan suatu suasana yang
berterus terang atau satiris, simpatik atau menjengkelkan, objektif atau
emosional. Bahasa dapat menimbulkan suasana yang tepat guna bagi adegan
yang seram, adegan cinta, ataupun peperangan, keputusan, maupun
harapan.23 Dari segi kata, karya sastra menggunakan pilihan kata yang
mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif.
Sedangkan kalimat-kalimtnya menunjukkan adanya variasi dan harmoni
sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan nuansa tertentu saja.
Alat gaya melibatkan kiasan dan majas, majas kata, majas kalimat, majas
pikiran, dan majas bunyi.24 Dalam menulis sebuah karya sastra tentu
pemilihan kata sangat penting karena gaya bahasa yang digunakan penulis
dapat memengaruhi karyanya serta para pembacanya. Gaya bahasa bisa juga
diartikan sebagai keindahan suatu tulisan, dengan banyaknya diksi-diksi

21
Burhan Nurgiantoro, Op. Cit., hlm 359-360
22
Hanry Guntur Tarigan, Pengajian Gaya Bahasa, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2013), hlm. 4
23
Kosasih, E., Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, cetakan pertama, (Bandung: Yrama Widya,
2012), hlm. 71-72
24
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Malang: Aditya Media Publishing, 2013), hlm.
144
20

yang bagus yang digunakan maka semakin puitis karya tersebut, namun tidak
menutup kemungkinan penggunaan diksi-diksi yang sederhana banyak
memikat para pembaca.

7. Amanat

Karya sastra yang mengandung tema sesungguhnya merupakan suatu


penafsiran atau pemikiran tentang kehidupan. Permasalahan yang
terkandung di dalam tema atau topik cerita adakalanya diselesaikan secara
positif (happy ending), adakalanya secara negatif. Dari sebuah karya sastra
dapat diangkat suatu ajaran moral, atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang; itulah yang disebut amanat. Jika permasalahan yang diajukan di
dalam cerita juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, maka jalan
keluarnya itulah yang disebut amanat.25 Dengan kata lain, bahwa amanat
merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan
pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu.26 Setiap buku bacaan tentu
memiliki nilai penting yang bisa dipetik oleh para pembacanya, tidak
terkecuali karya sastra yang kaya akan pelajaran hidup, moral, serta nilai-
nilai yang lain. Amanat yang ingin disampaikan oleh penulis ini tentu tidak
dituliskan secara gamblang, namun pembacalah yang menangkap amanat itu
dengan membaca karya tesrsebut.

B. Identitas

Identitas atau kewarganegaraan adalah mengenai status dan hak,


kepemilikan adalah mengenai diterima dan merasa menerima. Beberapa
individu dan kelompok mungkin menikmati hak-hak yang sama seperti
lainnya tetapi merasa bahwa mereka tidak sungguh-sungguh menjadi milik
individu-individu tersebut. Perasaan menjadi warga yang utuh dan juga
perasaan menjadi orang-orang asing sulit untuk dianalisa dan dijelaskan,

25
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan oleh Panuti Sudjiman, cetakan kedua, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1991), hlm. 57
26
Kosasih, E., Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, cetakan pertama, (Bandung: Yrama Widya,
2012), hlm 71
21

namun perasaan tersebut bisa mendalam dan nyata serta secara serius
menghancurkan kecakapan kewarganegaraan dan komitmen mereka kepada
komunitas politik. Individu-individu ini bebas secara prinsip untuk
berpartisipasi dalam kehidupan kolektif, tetapi mereka sering memisahkan
atau mengasingkan diri mereka karena takut terhadap penolakan dan
cemoohan atau karena perasaan terasingkan semakin dalam. Menurut
Charles Taylor dalam Bhikhu Parekh, bahwa pengakuan sosial menjadi
penting bagi identitas dan kepercayaan diri mereka. Maka dari itu pencarian
sebuah identitas diperlukan.27 Ada beberapa cara dalam menemukan
identitas yang hilang, yaitu:

1. Komunitas Budaya

Sebagaimana sebuah kumpulan masyarakat yang berbagi satu


bahasa umum, agama, struktur otoritas sipil secara berturur-turut
membentuk satu komunitas lingustik, religious dan politik, sebuah
kumpulan masyarakat yang bersatu menurut budaya yang sama membentuk
satu komunitas budaya.28 Komunitas budaya merupakan komunitas
partisipatoris, dipelihara setiap hari dengan pengetahuan atau kepercayaan
yang para anggotanya sama-sama memiliki kosa kata sosial dan moralyang
mengetahui bagaimana bercakap-cakap serta berperilaku terhadap satu
sama lainnya dalam situasi berbeda. Walaupun budaya lain memberi
pengaruh, memberi banyak kesenangan, dan melayang-layang di atas
horizon kebudayaan asal, namun tidak menjadi bagian dari kebudayaan
kolektif mereka. Sebagian karena kebudayaan dipakai bersama dengan
anggota-anggota lain yang tidak terpengaruh olehnya, dan sebagian karena
pengaruh tersebut tidak mungkin meluas pada pembentukan kembali sistem
kepercayaan dan praktek mengenai siapa mereka sesungguhnya. Walaupun
bukan dari kebudayaan mereka, pengaruh ini tetap menjadi bagian dari

27
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik,
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 448-449
28
Ibid, hlm.210
22

lingkungan intelektual dan membentuk sumber daya asing yang tidak


digabungkan, yang pada suatu hari bisa mengaktifkan pembentukan
kembali kebudayaan mereka. Dilahirkan dan dibesarkan dalam komunitas
budaya berarti dipengaruhi secara mendalam oleh isi kebudayaan dan dasar
komunalnya.29

Tumbuh di dalam sebuah komunitas budaya juga berarti


membangun pertalian umum dan mengembangkan rasa solidaritas dengan
anggota masyarakat lainnya. Pertalian itu berkembang menjadi serangkaian
kepercayaan bersama, objek-objek umum kasih sayang, kenangan historis
bersama dan lain sebagainya. Keanggotaan sebuah komunitas budaya
memiliki dua konsekuensi besar. Keanggotaan ini menstrukturkan dan
membentuk kepribadian seseorang dengan cara tertentu dan memberikan isi
atau identitas kepadanya. Keanggotaan ini juga menempatkan seseorang
menjadi bagian dari sekelompok orang tertentu. Identitas dan identifikasi
terjalin erat. Seseorang terindentifikasi sebagai laki-laki atau perempuan
karena memiliki identitas yang sama dengan mereka, dan identifikasi
seseorang memberikan sebuah dasar sosial, kekuatan emosi dan ukuran
stabilitas serta objektivitas pada identitas tersebut.30

2. Loyalitas pada Kebudayaan

Setelah masuk ke dalam komunitas budaya ada yang dinamakan


sebagai bentuk loyalitas budaya, yaitu gambaran kesetiaan seseorang
terhadap budayanya. Komunitas budaya memberikan jaringan dukungan,
solidaritas, sumber daya moral dan emosional, serta perasaan yang
mengakar.31 Komunitas budaya tidak bersifat instrumental secara alamiah
dalam arti dirancang untuk memajukan, dan dibuang jika gagal memajukan,
kepentingan-kepentingan ekstrinsik. Berbeda dengan perkumpulan
sukarela, lagi-lagi komuntias budaya bukanlah buatan sengaja manusia

29
Ibid, hlm. 211
30
Ibid, hlm. 212-213
31
Ibid, hlm. 218
23

tetapi merupakan masyarakat historis dengan sejarah perjuangan dan


pencapaian panjang serta tradisi sikap tingkah laku yang telah mapan. Para
anggotanya tidak bergabung, melainkan lahir di dalamnya, identitas
pergaulannya merupakan pilihana, sedangkan identitas budayanya
merupakan warisan yang bisa diterima atau ditolak. Dengan terus
menyimpan sebagian dari kebudayaan tersebut, termasuk bahasa, kenangan
bersama, cara pembawaan diri, dan paling tidak sedikit rasa cinta terhadap
ritual, musik, makanannya, dan lain sebagainya. Ketika ada yang
meninggalkan komunitas budaya itu, tidak bisa pula menanggalkan
hubungan-hubungan yang telah terajut di dalamnya, teman dekat dan lain-
lain, karena akan tetap terhubung dengan masyarakat tersebut dalam
beberapa hal. Seandainya mungkin ada yang mampu membuang
kebudayaan sekaligus seluruh ikatan komunalnya, orang luar akan terus
mengidentifikasikan dengan komunitas budaya tersebut.32

3. Keanekaragaman Budaya

Pertama, keanekaragaman budaya meningkatkan pilihan yang ada


dan memperluas kebebasan pilihan. Keanekargaman budaya juga
merupakan suatu penentu dan kondisi bagi kebebasan manusia. Jika
manusia tidak mampu keluar dari kebudayaannya, mereka tetap terpenjara
di dalamnya dan cenderung untuk memutlakkannya, membayangkannya
menjadi satu-satunya jalan alamiah atau yang tidak membutuhkan bukti
untuk memahami dam mengorganisasikan hidup manusia. Mereka tidak
mampu keluar dari kebudayaan mereka kecuali jika mereka memiliki akses
pada kebudayaan lain. Walaupun manusia memiliki kekurangan satu sudut
pandang Archimidean atau satu pandangan yang tidak memiliki asal-usul,
mereka masih memiliki sudut pandang mini Archimidean melihat
kebudayaan sendiri dari luar, mencari keukatan-kekuatan dan kelemahan-
kelemahannya, dan memperdalam kesadaran diri mereka. Mereka mampu
melihat ketergantungan kebudayaan mereka dan dengan bebas

32
Ibid, hlm. 219-220
24

menghubungkannya dengan keanekaragaman budaya daripada sebagai satu


takdir atau satu halangan. Keanekaragaman budaya ialah satu kebaikan
objektif karena mempertahankan prasyarat vital bagi kebebasan manusia
sebagai pengetahuan, transedensi, dan krtik bagi diri sendiri. Kebaikan ini
memiliki nilai yang tidak diperoleh dari plihan-pilihan individu melainkan
dari wataknya yang menjadi syarat penting bagi kebebasan dan
kesejahteraan manusia. Keanekaragaman kebudayaan juga menyadarkan
pada keanekaragaman budaya dalam diri. Untuk melihat perbedan-
perbedaan di antara kebudayaan-kebudayaan, biasanya manusia cenderung
mencari perbedaan dalam diri dan belajar memperlakukan perbedaan ini
secara adil. Dengan menghargai bahwa kebudayaan merupakan suatu hasil
dari pengaruh yang berbeda, berisi rangkaian-rangkaian pikiran yang
berbeda dan terbuka terhadap penafsiran-penafsiran yang berbeda pula. Hal
ini membuat rasa curiga terhadap segala upaya untuk menghomogenisasi
perbedaan dan menghadapkan padanya satu identitas tunggal dan
disederhanakan. Hal ini juga mendorong satu dialog internal dalam
kebudayaan, menciptakan satu ruang pemikiran kritis dan independent, dan
mempertahankan kemampuan eksperimentalnya. Satu kebudayaan atau
agama yang menganggap dirinya sebagai yang terbaik dan mengakhiri
kebudayaan lain atau takut pandangan yang diseragamkan dan homogen
mengenai diri mereka dan juga menghapus perbedaan dan ambiguitas
internalnya. Keanekargaman budaya menciptakan iklim yang di dalamnya,
kebudayaan yang berlainan dapat terlibat dalam dialog yang saling
meguntungkan. Tradisi kesenian, kesusatraan, musik, moral, dan tradisi lain
yang berbeda mempertanyakan, menguji dan menyingkap satu sama yang
lain, meminjam dan melakukan uji coba gagasan yang satu dengan lainnya,
dan sering menghasilkan gagasan dan sesibilitas yang baru.33

33
Ibid, hlm. 223-227
25

C. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra


Indonesia bidang sastra adalah untuk (1) peserta didik mampu menikmati
dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa, (2) peserta didik menghargai dan membanggakan
sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia
Indonesia. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi mendengarkan,
memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra baik karya asli amupun
saudara atau terjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik.
Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan
mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks
lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan
membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta
mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra
meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati dalam
bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai
berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.34

Secara khusus, pengajaran sastra bertujuan mengembangkan


kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai efektif, nilai
sosial, ataupun gabungan keseluruhannya. Dalam konteks inilah, kegiatan
belajar-mengajar sastra perlu dilaksanakan. Metode pengajaran mana pun
yang akan ditempuh, keefektifannya ditentukan terutama oleh corak
komunikasi yang terjalin antara guru dengan siswanya. Pengajaran sastra
membekali siswa dengan keterampilan mendengarkan dan membaca,
menulis dan berbicara. Sastra juga memberikan pengalaman-pengalaman
baru kepada para siswa, tanpa menempuh risiko yang dapat mengecewakan
ataupun membebani diri siswa. Serta pengetahuan yang dapat diperoleh dari
sastra adalah pengetahuan tentang kehidupan budaya suatu masyarakat,

34
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 212
26

artinya totalitas ciri-ciri khas suatu masyarakat tertentu, sebagaimana


disajikan karya sastra yang dibacanya.35

Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual,


sosial, serta emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan
dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran Bahasa Indonesia ini
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1)
berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku,
baik secara lisan maupun tulis, (2) menghargai dan bangga menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, (3)
memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif
untuk berbagai tujuan, (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan
sosial, (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa, dan (6) menghargai dan membanggakan sastra
Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia
kreativitas guru maupun peserta didik justru lebih menentukan isi dan
jalannya proses belajar. Materi yang tersaji lebih bersifat sebagai pemandu,
maka tetap diperlukan seorang fasilitator maupun motivator. Oleh karena
itu, sangatlah diharapkan guru berperan sebagai fasilitator dan motivator.36

D. Penelitian Relevan

Novel Pulang karya Leila S. Chudori sudah tidak asing lagi


dijadikan sebagai objek kajian. Novel yang bertemakan eksil politik serta
sejarah ini seringkali dikaji dari segi politik, sejarah, hingga nilai moral.
Penelitian sebelumnya tentang politik di dalam novel Pulang dapat dilihat
dalam skripsi “Konflik Politik dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori:
Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra

35
Mujianto Sumardi (ed), Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, cetakan
pertama, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1992), hlm. 198-201
36
Euis Sulastri dkk, Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), hlm. iv
27

di SMA”, oleh Aditya Doni Pardipta, mahasiswa Universitas


Muhammadyah, tahun 2014. Hasil penelitian dengan tinjauan sosiologi
sastranya, konflik politik dalam novel Pulang dibagi menjadi dua, yang
pertama senjata-senjata pertempuran meliputi, (a) kekerasan fisik, (b)
kekayaan, (c) organisasi, (d) media informasi. Yang kedua strategi politik,
(a) perjuangan terbuka, (b) perjuangan tersembunyi, (c) pergolakan di dalam
rezim, (d) perjuangan untuk mengontrol rezim, dan (e) kamuflase. Serta,
implemestasinya sebagai bahan ajar di SMA.37
Penelitian lain adapula yang melakukannya dalam tinjauan sosiologi
sastra yang dilakukan oleh Uky Mareta Yudistyanto dalam tulisan
“Pendekatan Sosiologi Sastra, Resepsi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam
Novel Pulang Karya Leila S. Chudori”, mahasiswa Universitas Sebelas
Maret, tahun 2013. Dalam tulisannya ini, beliau memaparkan tentang latar
belakang sosial pengarang dan latar belakang sosiologi karya sastra, serta
memaparkan resepsi pembaca dan memaparkan nilai pendidikan yang ada
di dalam novel Pulang. Hasil dari penelitian ini yaitu, analisis kajian tentang
latar sosiologis karya sastra novel Pulang dari segi sosiologi sastra,
ketidakadilan sosial yang meliputi stereotip sosial dan pelanggaran HAM,
penyimpangan norma dalam masyarakat yang meliputi seks bebas,
perselingkuhan, tindak anarki dalam demontrasi, dan pelecehan seksual,
birokrasi yang meliputi pemerintahan yang otoriter dan marginalisasi
masyarakat. Adapula analisis dari segi resepsi pembaca umum, dan analisis
kajian tentang nilai pendidikannya yang meliputi analisis pendidikan
akademis, nilai pendidikan politik, dan nilai pendidikan sosial.38

37
Aditya Doni Padipta, “Konflik Politik dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Tinjauan
Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA”, dalam
http://eprints.ums.ac.id/29964/ diunduh pada 28 Juli 2018
38
Uky Mareta Yudistyanto, “Pendekatan Sosiologi Sastra, Resepsi Sastra dan Nilai Pendidikan
dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori”, dalam https://eprints.uns.ac.id/12182/, diunduh
pada 28 Juli 2018
28

Selain dari penelitian yang mengangkat tema sosiologi sastra dan


politik, adapula penelitian tentang segi sejarahnya yang pernah dilakukan
oleh Dio Muhammad, dalam tulisannya yang bertajuk “Nilai Sejarah dalam
Novel Pulang Karya Leila S. Chudori dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, mahasiswa Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2015. Penelitian ini memaparkan
tentang nilai-nilai sejarang yang ada di novel Pulang dari tahun 1965 (saat
tragedi G30SPKI sampai tahun 1998 pada masa orde baru).39

Penelitian selanjutnya pernah dilakukan oleh Fajar Briyanta Hari


Nugraha dengan judul “Nilai Moral dalam Novel Pulang Karya Leila S.
Chudori”, di Universitas Negeri Yogyakarta, tahun 2014. Hasil penelitian
ini memaparkan wujud nilai moral dalam novel Pulang yaitu hubungan
manusia dengan Tuhan (bersyukur kepada Tuhan), hubungan manusia
dengan diri sendiri (penyesalan), hubungan manusia dengan manusia lain
dalam lingkup lingkungan sosial (peduli dengan sesama), serta juga
penokohan yang berperan sebagai penyampai nilai moral kepada
pembaca.40 Selain itu adapula analisis tentang penokohan yang ada di dalam
novel, oleh Holida Hoirunisa yang berjudul “Analisis Tokoh Lintang dalam
Novel Pulang Karya Leila S. Chudori dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA”, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2015. Penelitian ini memaparkan tentang tokoh
Lintang yang mengalami krisis identitas, pintar, pemberani, dan idealis.
Peneliti dalam mengungkapkan sifat-sifat dari tokoh menggunakan teknik

39
Dio Muhammad, “Nilai Sejarah dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, dalam
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29893/1/DIO%20MOHAMAD%20NU
RDIANSAH-FITK.pdf, diunduh pada 28 Juli 2018
40
Fajar Briyanta Hari Nugraha , “Nilai Moral dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori”,
dalam https://eprints.uny.ac.id/17378/1/Fajar%20Briyanta%20Hari%20N%2007210141030.pdf,
diunduh pada 28 Juli 2018
29

cakupan tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran reaksi tokoh
lain, pelukisan latar, serta pelukisan fisik.41

Untuk penelitian bertemakan budaya pernah dilakukan, dengan


judul “Repertoire dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Kajian
Respons Estetik Wolfgang Iser”, oleh Aksinta Ken Zarita, Universitas
Sebelas Maret, tahun 2016. Dalam tulisannya peneliti memaparkan tentang
gambaran repertoire (peneliti beranggapan bahwa setiap peristiwa di dalam
novel Pulang merupakan suatu pertunjukan) berkaitan dengan sosial-
budaya dan norma sejarah, lalu menjelaskah makna terhadap novel Pulang
karya Leila S. Chudori berkaitan dengan norma sosial-budaya dan norma
sejarah. Analisis penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gambaran
repertoire atau latar belakang penciptaan (background) yang berkaitan
dengan norma sosial-budaya adalah sistem kehidupan keluarga priyayi Jawa
yang memiliki perbedaan dengan kehidupan sosial di Prancis. Sementara
itu, gambaran repertoire yang berkaitan dengan norma sejarah adalah
berbagai kemelut yang dialami masyarakat, yang dianggap memiliki
hubungan dengan simpatisan PKI dan kisah perlawanan eksil politik
terhadap diskriminasi Pemerintah Indonesia dan hasil dari respons estetik
terhadap pemaknaaan objek estetik di dalam novel Pulang adalah
pengungkapan permasalahan pelanggaran HAM di Indonesia yang belum
terselesaikan dan masih diperjuangkan.42

Penelitian tentang pencarian jati diri atau identitas dalam novel


Pulang belum pernah dilakukan maka, peneliti menggunakan referensi
dengan objek lain. Novel Kim karya Rudyard Kipling pernah dijadikan

41
Holida Hoirunisa, “Analisis Tokoh Lintang dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”, dalam
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30205/1/HOLIDA%20HOIRUNISA-
FITK.pdf, diunduh pada 28 Juli 2018
42
Aksinta Ken Zarita, “Repertoire dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Kajian Respons
Estetik Wolfgang Iser”, dalam https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/52240/Repertoire-dalam-
Novel-Pulang-Karya-Leila-S-Chudori-Kajian-Respons-Estetik-Wolfgang-Iser, diunduh pada 28
Juli 2018
30

objek penelitian dengan judul, “Perjalanan Pencarian Jati Diri Tokoh Kim
dalam Novel Kim Karya Rudyard Kipling”, oleh Ester Daniyati, Universitas
Dipenogoro, 2010. Dalam penelitiannya peneliti menulis bahwa tokoh Kim,
pada tahap perkembangan adolesen, ia mengalami krisis identitas yang
disebabkan oleh pubertas genital dalam dirinya yang memunculkan tekad
kuat untuk mencari tahu jati dirinya. Pada masa ini, kebutuhan untuk
mengetahui siapa dirinya sebenarnya adalah hal terbesar yang menggangu
pikiran si tokoh utama sampai ia dapat menjawab pertanyaan tersebut. Pada
fase adolesen, peluang munculnya konflik mengenai keyakinan maupun
filsafat hidup sangat besar terjadi yang dilatar-belakangi oleh pubertas
genital remaja tersebut. Dan dalam novel Kim, sang tokoh utama pun
mengalami berbagai konflik di dalam dirinya yang disebabkan oleh
pertentangan dua sisi kehidupan dan terbaginya citra diri di dalam hidupnya.
Konflik-konflik yang muncul tersebut menyebabkan kekacauan identitas
dalam diri Kim terjadi karena masalah-masalah yang disebabkan oleh
terbaginya citra diri. Pada tahap ini Kim sering bertanya pada dirinya ‘who
am I?’ secara berulang- ulang. Kekacauan identitas tersebut dapat menolong
Kim untuk memperoleh identitas yang stabil dalam dirinya. Pada akhirnya
Kim mampu menemukan jati dirinya, yaitu identitas yang sejati sebagai
individu yang mandiri, terlepas dari identifikasi budaya, adat, agama, dan
negara.43

Berdasarkan dari beberapa referensi yang telah dijabarkan di atas,


maka penelitian pencarian identitas dalam novel Pulang karya Leila S.
Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah belum
pernah dilakukan dan perlu dilakukan, karena memiliki manfaat teoretis
yang diharapkan memperluas pengetahuan tentang sastra Indonesia,
khususnya pembelajaran sastra di sekolah mengenai unsur intrinsik novel.

43
Ester Daniyati, “Perjalanan Pencarian Jati Diri Tokoh Kim dalam Novel Kim Karya Rudyard
Kipling”, dalam http://eprints.undip.ac.id/19954/1/SKRIPSI.pdf
31

Selain itu memiliki manfaat praktis bagi peserta didik untuk lebih mengerti
tentang identitas dan karakter di dalam novel.
BAB III
PENGARANG DAN PEMIKIRAN

A. Biografi Pengarang
Leila S. Chudori lahir di Jakarta 12 Desember 1962. Leila
menyelesaikan pendidikan Universitas Trent, Ontario, Kanada pada tahun
1988. Leila pernah menjadi wartawan majalah Jakarta dan majalah D & R.
Kini, Leila menjadi wartawan Tempo. Leila menghasilkan beberapa karya
yaitu Hadiah (1978), Seputih Hati Adra (1981), Sebuah Kejutan (1983),
Malam Terakhir (kumpulan cerpen, 1989), dan Die Letzte Nacht (Bad
Hanof, Jerman, 1993; buku ini merupakan edisi Jerman buku Malam
Terakhir.1 Leila memulai menulis cerpen tahun 1974, waktu itu ia duduk di
kelas 4 Sekolah Dasar. Cerpen pertamanya berjudul “Pesan Sebatang Pohon
Pisang” dimuat di majalah Kuncung. Di tingkat akhir SMPnya Leila telah
berhasil menulis cerpen sekitar 50-an serta 11 novelette. Tema yang dipilih
Leila kecuali cerita anak-anak, juga kisah-kisah remaja. Berdasar imajinasi,
tetapi dalam setiap cerpen pasti terselip pengalaman yang pernah
dihayatinya.2
Leila terpilih mewakili Indonesia mendapat beasiswa menempuh
pendidikan di Lester B. Pearson College of the Pacific (United World
Colleges) di Victoria, Kanada. Lulus sarjana Political Science dan
Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada. Karya-
karya awal Leila dimuat saat ia berusia 12 tahun di majalah Si
Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia dini, ia menghasilkan buku
kumpulan cerpen berjudul Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil,
dan Seputih Hati Andra. Pada usia dewasa cerita pendeknya dimuat di
majalah Zaman, majalah Horison, Matra, jurnal sastra Solidarity (Filipina),
Menegerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia).3

1
Hasanuddin WS, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu Bandung, 2009), hlm.
555-556
2
Anonim, “Leila S. Chudori Ingin Mengenggam Dunia”, Dewi, NO. 112. Tahun 1979
3
Leila S. Chudori dalam tautan://badanbahasa.kemendikbud.go.id/ diunduh 9 November 2018

32
33

Buku kumpulan cerita pendeknya Malam Terakhir (Pustaka Utama


Grafiti, 1989) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die Letzte Nacht
(Horlemman Verlag). Cerpen Leila dibahas oleh kritikus sastra Tinneke
Hellwig “Leila S.Chudori and women in Contemporary Fiction Writing
dalam Tenggara”, di sebuah jurnal sastra Asia Tenggara. Nama Leila
Chudori tercantum sebagai salah satu sastrawan Indonesia dalam kamus
sastra Dictionnaire des Creatrices yang diterbitkan EDITIONS DES
FEMMES, Prancis, yang disusun oleh Jacqueline Camus. Kamus sastra ini
berisi data dan profil perempuan yang berkecimpung di dunia seni. Leila
juga aktif menulis skenario drama televisi. Drama TV berjudul Dunia
Tanpa Koma (produksi SinemArt, sutradara Maruli Ara) yang
menampilkan Dian Sastrowardoyo dan Tora Sudiro ditayangkan di RCTI
tahun 2006. Terakhir, Leila menulis skenario film pendek Drupadi
(produksi SinemArt dan Miles Films, sutradara Riri Riza), yang merupakan
tafsir kisah Mahabharata.2
Masa kanak-kanak, Leila jadi pengarang cerita anak-anak, waktu
remaja, jadi pengarang cerita remaja, dewasa, mengarang cerita sastra.
Cerpen pertamanya yang berjudul “Pesan Sebatang Pohon Pisang” dimuat
di majalah anak-anak Si Kuncung (1973). Sejak itulah, ia memulai karier
menulisnya dan melahirkan karya-karyanya. Cerpen yang lahir kemudian
dimuat di majalah-majalah remaja saat itu, seperti majalah Kawanku, Hai,
dan Gadis. Dengan banyaknya cerpennya yang dimuat maka nama Leila S.
Chudori menjadi sangat akrab bagi pembaca karya-karyanya, lalu selain
cerpen ia juga menulis cerita bersambung. Pada saat masih remaja, Leila
sudah menghasilkan beberapa buku kumpulan cerpen, seperti Sebuah
Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andra. Ketika memasuki
masa kuliah, ia mulai menulis cerpen-cerpen yang lebih serius dan dimuat
di majalah sastra Horison, surat kabar Kompas Minggu, Sinar Harapan,
serta majalah Zaman dan Matra. Cerpen-cerpennya yang berserakan di

2
Leila S. Chudori dalam tautan://badanbahasa.kemendikbud.go.id/ diunduh 9 November 2018
34

berbagai media itu kemudian diterbitkannya dalam sebuah buku kumpulan


cerpen yang berjudul Malam Terakhir. Buku kumpulan cerpen itu
diterbitkan oleh Pustaka Grafiti (1989) dan dua puluh tahun kemudian
(2009) diterbitkan oleh penerbit Gramedia.3

B. Pemikiran Leila S. Chudori

Leila tentu sangat akrab dengan dunia menulis, terlebih dalam


menulis cerita pendek. Cerita pendek yang ditulis oleh beliau lebih terkesan
sulit karena adanya keterbatasan ruang, persoalan yang diangkat harus
disajikan ke dalam cerita pendek, berbeda dengan novel yang cenderung
lebih mudah dengan penggambaran peristiwa yang lebih menarik dan
santai.

Menurut Leila S. Chudori, seorang pengarang itu memiliki kepekaan


menangkap fenomena dalam dirinya yang kemudian diekspresikan lewat
kertas, “Kita harus mengadakan pendekatan pada ‘kepekaan’ itu. Sesudah
mengenal kepekaan itu, barulah dilanjutkan dengan proses ‘edukasi’, saya
membaca, belajar dari pengalaman, menghayati kehidupan. Bagi saya, seni
itu tak diperoleh dalam Pendidikan akademis, kecuali masalah politik dan
ekonomi.”

Dalam menulis, Leila lebih mengungkapka realita yang ada,


menurutnya sastra haruslah bebas, “Saya tak suka dengan berbagai label-
label dalam sastra. Ada yang namanya sastra sufi, religious, kontekstual dan
sebagainya. Sebagai pengarang ya saya mengarang tanpa terjebak pada
suatu ideologi tertentu, karena seni itu harus bebas.”5 Seperti halnya ketika
ia menulis novel Pulang yang sangat kental akan sejarahnya serta tidak
menulis cerita yang terlalu berlebihan dan terkesan cengeng dalam
merangkai setiap peristiwa yang ada di dalam karyanya. Ini pula diakui

3
Leila S. Chudori dalam tautan http://badanbahasa,kemedikbud.go.id/ diunduh pada 9
November 2018
5
Ray Rizal, “Saya Tak Percaya Pada Bakat”, PDS H.B Jassin, 1988
35

langsung oleh beliau, “Saya tidak bisa membuat karya yang dibikin-bikin.
Pokoknya apa yang saya fikirkan, saya tuangkan.”6 Selain itu ada jenjang
ketika beliau mengeluarkan karyanya, seperti novel yang belum lama ini
dirilis, Laut Bercerita yang memiliki jarak waktu lima tahun dari novel
Pulang. Karya-karyanya pun tidak terlepas dari kebudayaan Jawa yaitu
wayang, beliau mencampurkan persoalan nyata yang terjadi dengan cerita
mistis yang ada di pewayangan. Kritikus sastra Indonesia, H.B Jassin, dalam
pengantar untuk Malam Terakhir, mengatakan bahwa prosa Chudori
dipenuhi dengan kejujuran, tekad, ambisi dan prinsip, “Gaya cerita Leila S.
Chudori inetelektual sekaligus puitis. Banyak idiom dan metaphor bari di
samping pandangan falsafi yang terasa baru karena pengungkapan yang
baru.”7Jassin mencatat bahwa cerita pendek Chudori menunjukkan
pengaruh oleh para penulis seperti Franz Kafka, Dostoevsky, D.H.
Lawrence dan James Joyce, serta ketertarikannya pada epos Bharatayudha
dan Ramayana, dan dunia Wayang Indonesia. Dengan pengaruh ini, kata
Jassin, tidak mengherankan bahwa Leila menggambarkan karakternya
dengan kesadaran yang dalam dan kemandirian semangat, dan bahwa ia
menggunakan imajinasinya untuk menciptakan kekacauan dalam ruang dan
waktu, mengisinya dengan ilusi dan halusinasi, menyandingkan
pengalaman pribadi dan apresiasi dengan cerita mitologis.8

Pengalaman Leila S. Chudori yang pernah terjadi dituangkan ke


dalam ceritanya, salah satunya pengalaman saat ia berada di luar negeri
untuk menempuh Pendidikan, peristiwa ini ada di beberapa karya-karyanya
seperti cerpen 9 Dari Nadira dan novel Pulang. Novel Pulang karyanya
menceritakan tentang beberapa warga Indonesia yang terjebak di luar negeri
dan selalu memimpikan untuk menginjakkan kaki lagi ke negara
kelahirannya. Bagaimanapun keadaan Indonesia saat itu, para eksil politik

6
Leila S. Chodori, “Mempermainkan Rasa”, (Jakarta: Majalah Mode, 1990)
7
Leila S. Chudori, Malam Terakhir, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989)
8
Leila S. Chudori, “Tentang Leila”, dalam tautan http://www.leilaschudori.com/about-me/,
diunduh pada 3 Sepetember 2018
36

yang terbuang ini tetap ingin pulang. Sama halnya dengan yang dirasakan
Leila S. Chudori, serusak apapun negara kelahirannya, beliau tetap ingin
pulang ke Indonesia. “Ada alasan mengapa kita dilahirkan sebagai orang
Indonesia. Alasan itu harus kita cari sepanjang hidup kita.” “Karena tanah
air ini sungguh remuk luka, penuh persoalan... Manusia Indonesia? Manusia
yang gemar duit dan malas bekerja, yang gemar bergunjing hanya untuk
kesenangan sehari-hari, yang main tembak, yang mempermainkan
hukum...,” tulisan Leila dalam peringatan 40 hari kepergian ayahnya.
Tetapi, seperti kata Ayahnya pula, Indonesia juga memiliki matahari yang
hangat. Ada banyak orang yang baik, yang perduli, yang bekerja tanpa
mengeluh, banyak yang terus berpeluh tanpa pamrih agar sekadar sejengkal-
dua-jengkal tanah air ini membaik. Kekaguman Leila pada Ayahnya
Mohammad Chudori wartawan kantor Berita Antara dan The Jakarta Post
itu, tidak mampu disembunyikannya.9 Selain itu ada pula peristiwa ketika
para tokoh eksil politik ini membuka sebuah restoran yang dinamakan
Restoran Tanah air, ini juga terinspirasi dari "Restoran Indonesia" yang
sebenarnya di Rue de Vaugirard, Paris, didirikan oleh almarhum Oemar
Said, dan penulis Sorbonne Aidit, adik dari pemimpin partai Komunis
Indonesia DN Aidit dan J .J. Kusni.10

Kritikus sastra dan dosen senior di Universitas Gajah Mada, Faruk


T. menganggap Pulang, dan kata “Indonesia” dalam novel, memiliki makna
pluralistik. Karakter Dimas, Lintang dan Rama mempertahankan
interpretasi mereka sendiri tentang apa arti “pulang”, sementara kata
“Indonesia”, yang terdiri dari huruf-huruf I, N, D, O, N, E, S, I, dan A
menawarkan pembaca kesempatan untuk memberikan makna dan
interpretasi alternatif mereka sendiri. Penyair, penulis esai dan pendiri
majalah Tempo, Goenawan Mohamad, menulis di kolom “Catatan Pinggir”,
bahwa “Pulang oleh Leila S. Chudori, dalam narasi yang hidup dan

9
Anonim, “Leila Selalu Ingin Pulang”, dalam tautan //http:www.dw.de/leila-yang-selalu-
pulang/a16821309, diunduh pada 10 Agustus 2018
10
Ibid
37

menawan, menceritakan kisah mereka yang dipaksa untuk menjadi orang


buangan di Eropa, atau yang dibunuh di Jakarta karena dianggap 'Komunis'
— dan juga keluarga, teman, dan anak-anak mereka ... Novelnya cepat —
mencerminkan cara anak-anak muda berpikir apa yang perlu Indonesia terus
jalankan, untuk kehilangan pahit kepahitan yang menyengat di masa lalu.
Bahasanya pintar dan transparan, sepenuhnya tanpa ambiguitas dan
ketidakjelasan. ”11

Pemaparan di atas memperlihatkan bahwa Leila S. Chudori


benar-benar menuangkan realita serta pengalaman pribadi ke karya-
karyanya. Leila juga tidak segan untuk melakukan riset dan penelitian untuk
dapat menulis sebuah cerita fiktif namun kaya akan informasi dari peristiwa
penting bahkan bisa disebut sebagai sejarah yang pernah dialami oleh
Indonesia. Leila telah mengerjakan novel ini sejak 2006, dengan
mewawancarai para eksil politik yang tinggal di Paris serta para
sejarawan.12

11
Leila S. Chudori, Tentang Leila, dalam tautan http://www.leilaschudori.com/about-me/, diunduh
pada 3 Sepetember 2018
12
Meghan Downes, Leila S. Chudori: Khatulistiwa Award Winner’s Commitment To The Writing
Process, dalam tautan http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/20/leila-s-chudori-
khatulistiwa-awardwinner-s-commitment-writing-process.html, diunduh pada 4 September 2018
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Unsur Intrinsik Novel Pulang Karya Leila S. Chudori


1. Tema

Dalam sebuah karya sastra tema merupakan unsur terpenting. Unsur ini
menjadi pondasi dasar dalam membangun sebuah cerita. Dengan menggabungkan
setiap peristiwa di dalamnya Tema yang terkandung di dalam novel Pulang karya
Leila S. Chudori yaitu diskriminasi para eksil politik. Tema tersebut tergambar pada
kutipan berikut:

Tentu saja sebagai seseorang yang mendapat suaka politik Ayah –seperti
juga kawan-kawannya- sudah menggunakan paspor Prancis. Namun,
berbeda dengan Om Risjaf yang entah bagaimana bisa mendapat visa,
permohonan Ayah, Om Nug, dan Om Tjai selalu ditolak.1
Kutipan di atas, menjelaskan bahwa di antara empat pilar tanah air (yang
terdiri dari Dimas Suryo, Nugroho, Tjahjadi, dan Risjaf), hanya Risjaf saja yang
memiliki visa sedangkan ketiga temannya mengalami kendala untuk mendapatkan
visa. Tentu mereka ingin sekali kembali ke tanah air yang selama ini dirindukan,
tetapi status mereka telah dibuang, seolah pintu mereka untuk kembli telah ditutup
rapat-rapat.

“Kasian loo, di KTP mereka harus diletakkan tanda ET.”2


Dari kutipan di atas menggambarkan bahwa diskriminasi tidak hanya terjadi bagi
para orang-orang terbuang, namun orang-orang yang dianggap kiri dan tinggal di
Indonesia juga mengalami peristiwa pahit. Setiap KTP-nya tercantum tanda ET
yang berarti ekstapol atau mantan tahanan politik, dengan tanda tersebut banyak
yang tidak dapat melangsungkan hidup dengan semestinya, peristiwa-peristiwa
diskiriminasi tidak pernah berhenti.

1
Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: PT Gramedia, 2012), hlm. 196
2
Ibid, hlm. 125

38
39

Aku masih terdiam. Memikirkan istilah Bersih Lingkungan. Memikirkan


wajah dan undangan Tante Sur, berbagai diplomat dan tamu pesta di KBRI
(Kedutaan Besar Rakyat Indonesia).3
Selain tokoh empat pilar tanah air, kesulitan juga dialami oleh Lintang
Utara, putri dari Dimas suryo. Istilah dari “Bersih Lingkungan” yaitu diartikan
sebagai tindakan diskriminasi untuk orang-orang Indonesia yang dianggap komunis
yang mendapat perlakuan tidak baik selama acara yang diadakan di KBRI bahkan
tidak ada yang mengundang untuk menghadiri acara tersebut.

Salah satu interagator, dengan sopan menyampaikan mereka meminta


Kenanga membersihkan salah satu ruangan di Gedung itu. Saya hanya bisa
menyetujui saja, meski belakangan saya baru tahu bahwa tugas Kenanga
adalah mengepel bekas bercak darah kering yang melekat di lantai ruangan
penyiksaan. Dia bahkan menemukan cambuk ekor pari yang berlumur
darah kering. Kenanga baru bercerita sebulan kemudian sambal menangis
tersedu-sedu, karena dia tidak tega melihat saya didera demam tinggi untuk
waktu yang lama.4
Kutipan di atas, menunjukkan bahwa penyiksaan tidak hanya terjadi pada
orang-orang yang dianggap PKI (Partai Komunis Indonesia), namun terjadi pula
pada keluarga mereka. Bagi keluarga yang dianggap simpatisan dan memiliki
hubungan dengan PKI diinterogasi, bahkan diperlakukan tidak adil pada saat itu.
Seperti yang terjadi pada Kenanga, putri dari Hananto Prawiro, ia dan ibunya
diperlakukan semena-mena oleh petugas. Ia yang saat itu masih remaja harus
menuruti perintah untuk membersihkan ruangan penyiksaan, yang memungkinkan
hal itu dialami pula oleh ayahnya.

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas maka dapat dikatakan bahwa novel Pulang


karya Leila S. Chudori memiliki tema diskriminasi para eksil politik dan
keluarganya.

3
Ibid, hlm. 164
4
Ibid, hlm. 245
40

2. Plot atau Alur

Alur yang digunakan dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori


merupakan alur campuran. Novel ini seringkali menceritakan kejadian masa lalu
dengan cetakan huruf miring sehingga membuat pembaca tahu bahwa adegan
tersebut merupakan masa lalu yang diceritakan para tokohnya melalui surat di
dalam novel. Dalam novel ini juga bisa dikatakan memiliki plot pararel, karena
memilki tiga bab yaitu Dimas Suyo, Lintang Utara, dan Segara Alam yang di
masing-masing bab tersebut menceritakan kisah para tokohnya serta terbagi
menjadi sub-bab-sub-bab.

Cerita diawali oleh bagian perkenalan atau prolog pada novel yang
menceritakan penangkapan Hananto pada April 1968 berlokasi di Tjahjana Foto
tempat kerja Hananto Prawiro setelah Kantor Berita Nusantara tempatnya dulu
bekerja diberedel guna menghilangkan orang-orang berpaham kiri.

Hari ini tanggal 6 April 1968.


“Bapak hananto, saya Lettu Mukidjo.” Dia tersenyum. Dialah yang bersuara
sopan dan penuh tata krama tadi. Kini aku bisa lihat matanya yang
bercahaya. Dia tersenyum puas. Dari senyumnya itu selintas aku
mengangkap silau gigi emas yang menyeruak melalui bibirnya. Aku tahu,
dia puas karena aku adalah butir terakhir rangkaian yang mereka buru.
Ratusan teman-temanku sudah mereka tangkap sejak pemburuan yang
dimulai tiga tahun lalu.5
Setelah itu dilanjutkan dengan bab DIMAS SURYO pada Paris, Mei 1968.
Bab ini mengisahkan tetang kedatangan Dimas Suryo ke Paris dan melihat aksi
demo oleh para mahasiswa Sorbone serta pertemuannya dengan Vivienne. Di bab
ini pula Dimas Suryo dengan secara bertahap mengupas kisah kelam di Indonesia
kepada Vivienne, dibumbui surat menyedihkan yang datang dari Indonesia yang
menceritakan kondisi Indonesia pada saat itu.

Dia memiliki sepasang mata yang tersenyum, meskipun bibirnya tetap


terkulum. Sesekali dia menggigit bibir bawahnya. Lalu mengecek
arlojinya.6

5
Ibid, hlm. 4
6
Ibid, hlm. 10
41

Kutipan di atas menggambarkan peristiwa ketika Dimas dan Vivienne


bertemu.

…sama sepertian ribuan mahasiswa sorbone lain yang mengadakan


pertemuan untuk menggelar protes atau ditahannya mahasiswa Universitas
Paris X di Nanterre dan menentang penutupan kampus itu untuk semestara.7
Kutipan di atas menjelaskan kondisi Dimas Suryo yang ada di antara
mahasiswa Sorbone yang sedang mengadakan aksi demontrasi.

Selanjutnya sub-bab HANANTO PRAWIRO yang menceritakan asal


mulanya Dimas Suryo dan teman-temannya bisa merantau di Paris. Dalam novel
diceritakan pada Jakatra, Desember 19648 sampai Jakarta, 12 September 19659.
Pada saat kondisi politik di Indonesia sudah mulai panas, sehingga ada isu-isu
bahwa orang-orang yang menyeleweng dari pemerintah atau yang dianggap kaum
kiri akan ditangkap, hal ini sudah disadari oleh Hananto sehingga ia memberi
undangan acara konferensi wartawan di Cile untuk Dimas, yang bertujuan agar
Dimas tidak tertangkap.

Pada bab DIMAS SURYO ini ada pula sub-bab yang berjudul SURTI
ANADARI, dari sini dikisahkan tentang percintaan yang terjalin antara Dimas dan
Surti, pada Januari-Oktober 1952 di Jakarta10. Ketika itu Dimas dan kedua
temannya, Tjai dan Risjaf, merupakan mahasiswa tahun ketiga yang mengekos di
daerah Jalan Solo. Mereka bertiga jatuh cinta pada tiga gadis cantik, yaitu Surti,
Ningsih, dan Rukmini. Hubungan Dimas dan Surti berjalan lancar berbeda dengan
kedua temannya yang menemui jalan buntu, namun kemesraan itu tidak
berlangsung lama ketika Hananto masuk ke dalam kisah mereka. Kandasnya
percintaan Dimas dan Surti didasari pula oleh sikap Dimas yang tertutup, ia
menolak undangan makan malam yang diadakan oleh keluarga Surti, sehingga
membuat Surti kecewa dan berpaling. Di bagian inilah mulai memunculkan konflik
pada novel Pulang karya Leila S. Chudori.

7
Ibid, hlm. 10
8
Ibid, hlm. 28
9
Ibid, hlm. 44
10
Ibid, hlm. 51
42

Mas Hananto tengah melingkarkan kedua tangannya ke bahu seorang


perempuan yang sadang duduk di meja kerjanya. Aku tak bisa melihat
wajah perempuan itu karena tertutup tubuh Mas Hananto. Tapi aku segera
mencium aroma melati. Aku segera menutup pintu itu gedubrakan. Hatiku
berdegup cepat. Nafasku memburu. Aku melangkah dengan cepat
meninggalkan pavilium dengan dipan penuh bangsat itu.
Selain sub-bab HANANTO PRAWIRO dan SURTI ANANDARI, adapula
sub-bab yang berjudul TERRE D’ASILE. Pada sub-bab ini menceritakan tentang
perjalanan Dimas yang pernah tinggal di Peking selama tiga tahun sebelum
akhirnya menetap di Paris. Selain itu dikisahkan pula kelahiran Lintang Utara putri
cantik dari pasangan Dimas dan Vivienne. bagian akhir dari bab DIMAS SURYO
yaitu sub-bab yang berjudul EMPAT PILAR TANAH AIR, yang mengisahkan
tentang persahabatan yang terjalin antara Dimas, Nugroho, Risjaf, dan Tjai. Bagian
ini pula yang tidak menceritakan kejadian flashback melainkan mengisahkan masa
sekarang di dalam novel yaitu tahun 1998. Pada tahun ini empat pilar tanah air
memutuskan untuk membuka bisnis di bidang kuliner, yang dinamai Restoran
Tanah Air. Dapat dikatakan bahwa bab Dimas Suryo merupakan bagian perkenalan
para tokoh di dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.

Kemudian cerita berlanjut pada bab Lintang Utara, di dalam bab ini Lintang
mengisahkan tentang keadaan Paris tahun 1998. Ia yang pada saat itu sedang
menyelesaikan tugas akhirnya menghadapi rintangan, bahwa gagasan mengenai
kerusuhan Paris tahun 1968 ditolak oleh dosen pembimbingnya. sehingga ia
diperintahkan untuk meneliti dan mendokumentasikan tentang peristiwa tahun
1965 di Indonesia, yang merupakan salah satu negara yang menjadi latar belakang
hidupnya.

“Lintang, kamu lupa ada sesuatu yang menarik dari dirimu, dari latar
belakangmu.”
Jantungku yang sejak tadi berhenti berfungsi kini terasa mendapat segelintir
oksigen. “Kamu juga mempunyai dua tanah air: Indonesia dan Prancis. Dan
kamu lahir di Paris, tumbuh dan besar di Paris. Tidakkah kamu ingin
mengetahui identitasmu, tanah kelahiranmu?”11

11
Ibid, hlm. 133
43

Cerita berlanjut pada sub-bab NARAYANA LAFEBVRE, pada bagian ini


Lintang berdokus pada kisah percintaannya dengan lelaki Prancis namun memiliki
darah Indonesia pula seperti dirinya, hanya yang membedakan bahwa Narayana
adalah keluarga terhormat bukan keluarga ekstapol yang tersesat. Di sini pulalah
Lintang mengalami diskriminasi yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia yag
ada di acara KBRI, acara tersebut haruslah “bersih lingkungan”, yang artinya
terbebas dari kaum kiri.

“Siapa yang berani-berani bawa dia ke sini?”


“Biar sajalah. Kan tidak ada larangan untuk anaknya?”
“Sudah pada lupa Bersih Lingkungan?”12
Lalu, selanjutnya berlanjut pada sub-bab L’IRREPARABLE, bagian ini
mengisahkan tentang penolakan Dimas terhadap kisah percintaan yang terjalin
antara putrinya, Lintang dengan Narayana, yang membuat Lintang marah kepada
ayahanya. Bagian ini pulalah Lintang menceritakan tentang perpisahan ayah
dengan ibunya, ia menemukan surat ayahnya yang ditujukan kepada perempuan
bernama Surti Anandari, yang langsung saja ia berikan kepada ibunya. Hal inilah
yang menimbulkan keributan besar di dalam keluarganya, sehingga membuat
ayahnya pergi dari rumah.

Surat ayahnya kepada seorang peremouan bernama Surti Anandari. Lintang


juga ingat dengan jelas bagaimana surat itu terasa begitu intim hingga
Lintang merasa kalap. Surat yang kemudian dia berikan pada ibunya itu
lantas menyebabkan pertengkaran yang berkepanjangan di antara kedua
orangtuanya.13
Sub-bab selanjutnya berjudul EKALAYA, bagian ini Lintang berfokus pada
kisah ayahnya yang sangat menyukai cerita Mahabrata pada masa-masa ia akur
dengan ayahnya. Lintang ketika itu mengetahui bahwa ayahnya sangat
mengidolakan tokoh Ekalaya yang digambarkan sebagai seseorang yang tidak
pantang menyerah walaupun sudah ditolah beberapa kali. Hal ini ia samakan
dengan nasib ayahnya yang selalu ingin pulang ke Indonesia, namun selalu dilarang
dan menemui jalan buntu. Di sini pulalah Lintang mengakui bahwa ia suka pada

12
Ibid, hlm. 161
13
Ibid, hlm. 180
44

tokoh Srikandi yang selalu mencari identitas yang tepat, yang diartikan ayahnya
sebagai wujud bahwa Lintang sama-sama menglami krisis identitas. Kemudian
berlanjut pada sub-bab VIVIENNE DEVERAUX, pada bagian ini dikisahkan oleh
Vivienne saat ia pertama kali bertemu dengan Dimas hingga mereka berpisah. Ia
memulai kisahnya pada tahun 1982 sampai 1988 yang merupakan peristiwa masa
lampau. Ia yang sadar tidak bisa menggantikan Surti di hati Dimas memilih untuk
berpisah dengan Dimas. Di masa sekarang dalam novel, dikisahkan pula bahwa
Dimas mengidap penyakit yang cukup serius.

Lalu berlanjut pada sub-bab SURAT-SURAT BERDARAH yang


menceritakan tentang akurnya kembali hubungan ayah dan anak, yaitu Dimas dan
Lintang. Bagian ini pula Lintang mengetahui surat-surat yang dikirimkan oleh
kerabat Dimas yang ada di Indonesia, yang membuat Lintang merasa sangat simpati
sehingga benar-benar memutuskan untuk ke Indonesia. Menyelami kembali
peristiwa tragis pada tahun 1965. Di sinilah konflik mulai berkembang. Kemudian
dilanjutkan dengan sub-bab FLANEUR, yang mengisahkan tentang proses
pemberangkatan Lintang ke Indonesia serta pada bagian ini Dimas mulai
menyembunyikan penyakit yang sebenarnya dari putrinya.

Bab selanjutnya yaitu SEGARA ALAM, pada bab ini fokus bercerita
tentang kehidupan Segara Alam yang merupakan putra dari pasangan Hananto
dengan Surti. Dimulai dari sub-bab SEBUAH DIORAMA, pada bagian ini
mengisahkan peristiwa masa lalu yaitu tentang kehidupan masa kecil Segara Alam
sebagai anak eks-tapol, tentang pahitnya diskriminasi yang ia alami bersama Bimo
putra dari Nugroho dengan Rukmini. Lalu kembali pada masa sekarang di dalam
novel, ketika ia diperintah untuk menyambut Lintang yang pertama kali datang ke
Indonesia. Selanjutnya ada sub-bab BIMO NUGROHO, bagian ini mengisahkan
tentang tertekannya Bimo yang harus berpisah dengan ayahnya dan terpaksa tinggal
bersama ibunya serta suami dari ibunya. Pada bagian ini pula Lintang berusaha
mewawancarai Pak Prakosa selaku ayah tiri Bimo, namun mengalami kegagalan
karena Pak Prakosa tidak bersedia, ia yang notabene pensiunan tantara tidak
menyukai orang-orang berbau kiri.
45

Kisah berlanjut pada sub-bab KELUARGA AJI SURYO, pada sub-bab ini
mengisahkan tentang kehidupan Aji Suryo yang merupakan adik dari Dimas. Ia
yang termasuk ke dalam keluarga tapol harus terus merunduk dan menyamar agar
bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Ia dikaruniai dua orang anak yaitu Rama
dan Andini. Rama tidak menyukai latar belakang keluarganya sebagai eks-tapol.
Hal inilah yang memicu masalah ketika keluarga Aji Suryo diundang makan malam
oleh keluarga dari kekasih Rama. Ketika itu Lintang sebagai ponakan Aji ikut
dalam acara makan malam tersebut, namun bukannya senang ia justru harus
dihadapi hinaan yang ditujukan keluarga kekasih Rama kepada ayahnya yang
sontak mebuat Lintang berang dan membela ayahnya.

Kemudian dilanjutkan pada sub-bab POTRET YANG MURAM, bagian ini


menceritakan bahwa Lintang mengakui bahwa ia jatuh cinta pada pandangan
pertama dengan Alam. Selain itu pada bagian ini pula Lintang pertama kali bertemu
dengan Surti, kekasih hati ayahnya. Surti digambarkan Lintang sebagai wnaita yang
cantik dan kuat. Dari sinilah Surti menceritakan kisah kelam selama ia dan anak-
anaknya diinterogasi oleh petugas intel. Bahkan ia mengalami hal yang tidak
senonoh pada saat itu. Kejadian makin buruk ketika suaminya, Hananto, tertangkap
dan dieksekusi mati beberapa tahun kemudian. Namun hal itu tidak membuatnya
lemah, justru membuatnya bangkit dan tegar. Sub-bab ini juga menceritakan teror
yang dialami pertama kali oleh Lintang. Data yang selama ini ia kumpulkan untuk
tugas akhirnya dicuri, kantor Satu Bangsa tempat ia mengerjakan tugas, porak
poranda diberedel oleh intel. Tentu saja peristiwa ini membuat Lintang kalut, tetapi
kejadian seperti ini bukanlah yang pertama sehingga orang-orang yang bekerja di
kantor Satu Bangsa sudah menyalin laporan-laporan penting.

Kemudian puncak konflik pada sub-bab Mei 1998 ketika ada demo besar-
besaran untuk melengserkan Soeharto dari jabatan presiden yang menyebabkan
kerusuhan dan penjarahan di mana-mana serta diskriminasi terhadap orang
keturunan Tionghoa. Lintang yang pada saat itu baru dengan Indonesia harus
mengalami trauma, ia tidak menyangka bahwa negara yang mual ia cintai
mengalami kejadian yang tragis.
46

Lautan manusia mengenakan baju hitam memperlihatkan gelombang


suasana duka. Meski jenazah mahasiswa sudah diberangkatkan ke rumah
masing-masing untuk kemudian dimakamkan, halaman depan Gedung
Syarif Thayeb tetap menjadi pelayatan.14
Lalu mengapa harus ada peristiwa kekerasan persis di depan mataku pada
saat aku mulai mencintai tempat ini, juga orang-orangnya? Menyerang dan
menghajar rumah-rumah orang-orang Indonesia keturuanan Tionghoa?15
Tahap akhir alur cerita ini yaitu pada epilog novel. Mengisahkan tentang
Dimas Suryo yang berhasil mewujudkan mimpinya untuk pulang ke tanah air yaitu
Indonesia, namun dengan keadaan tidak bernyawa, karena melawan penyakit
sirosis hati, ia berpesan untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum Karet,
Jakarta, seperti di dalam kutipan ini:

Senja kemudian turun perlahan-lahan, seolah memberikan sisa waktu agar


kami bisa menemani Ayah sebelum gelap tiba. Aku takt ahu apakah aku
sedang berada di Pere Lachaise atau di Karet. Yang aku tahu Ayah
tersenyum dari jauh. Dia begitu bahagia karena sudah pulang dan kami
semua berada di sekitarnya.16
Dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori juga bisa dikatakan memiliki
plot pararel, karena memilki tiga bab yaitu Dimas Suyo, Lintang Utara, dan Segara
Alam yang di masing-masing bab tersebut menceritakan kisah para tokohnya serta
terbagi menjadi sub-bab-sub-bab.

3. Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan termasuk salah satu unsur intrinsik. Tokoh dan
penokohan merupakan pelaku setiap adegan yang ada di dalam cerita. Novel
Pulang karya Leila S. Chudori dapat dikatakan cukup banyak, dengan pengalaman
mengerikan dan menjadi korban dari peristiwa tahun 1965 tentu para tokoh di novel
ini memiliki keinginan yang sama, yaitu mendapatkan keadilan. Setiap tokohnya
memiliki karakter yang kuat untuk menyeimbangkan ceritanya. Tokoh-tokoh ini
yang akan dianalisis, yaitu tokoh yang dianggap memengaruhi cerita dan

14
Ibid, hlm. 414
15
Ibid, hlm. 427
16
Ibid, hlm. 449
47

mengalami krisis jati diri yaitu Lintang Utara, Dimas Suryo, dan Vivienne
Deveraux.

a. Lintang Utara

Lintang Utara merupakan tokoh yang paling berpengaruh dalam


pembentukan cerita dan dianggap sentral, di novel ini Lintang Utara digambarkan
mempunyai ciri fisik yang sama persis seperti ibunya, yaitu Vivienne Deveraux,
hanya saja berambut hitam dan bermata coklat yang merupakan keturunan dari sang
ayah, yaitu Dimas Suryo. Seperti Dimas Suryo, Lintang juga termasuk ke dalam
tokoh berkembang karena ia yang tadinya tidak tertarik dengan Indonesia menjadi
tertarik dan menganggap Indonesia sebagai rumah untuknya, ia memiliki watak
sebagai perempuan yang cerdas, rasa penasaran yang tinggi, dan membela
argumennya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan:

Semua yang ada pada Lintang adalah perwujudan ibunya, kecuali


rambutnya yang hitam dan ikal adalah rambut keluarga Suryo.17
Kutipan ini menjelaskan tentang ciri fisik yang dialami oleh Lintang Utara.
Lintang memiliki fisik perpaduan antara ibu dan ayahnya, berwajah seperti ibunya
dengan darah ciri khas Indonesia di rambutnya yang berwarna cokelat.

Aku pura-pura tuli dan tetap menyaksikan drama ayah, Om Nug, Om tjai,
menghadapi keempat polisi itu tanpa berkedip. Aku tak ingin kehilangan
gerakan atau peristiwa apa pun.18
Dapat dikatakan bahwa Lintang merupakan gadis yang memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi. Ia bukanlah seseorang yang cuek terhadap lingkungan di
sekitarnya.

Ayah mengatakan pilihanku mungkin kelak menunjukkan siapa diriku. Aku


mendengar Ayah berbincang dengan Maman, saat aku tidur di malam hari,
bahwa dia merasa bersalah. Pasti Lintang memilih tokoh-tokoh yang
berburu identitas karena dia juga merasa krisis identitas.19

17
Ibid, hlm. 85
18
Ibid, hlm. 141
19
Ibid, hlm. 185
48

Kutipan di atas menggambarkan bahwa Lintang Utara mengalami krisis


identitas yang disebabkan kurangnya pengetahuan negeri asal ayahnya yaitu
Indonesia, ia hanya mengetahui tentang Prancis yang merupakan tanah
kelahirannya. Sehingga membuat Lintang menyukai tokoh-tokoh pewayangan yang
memiliki peran ganda atau perubahan gender, seperti Srikandi dan Panji Semirang.
Hal ini disebabkan rasa ragu yang dialaminya terhadap identitas yang dipegangnya.
Ia merupakan gadis berstatus sebagai warga Prancis, namun ia terlahir dari seorang
ayah yang berasal dari Indonesia. Namun, ia tak mengenal tanah kelahiran ayahnya,
ia tidak tahu peristiwa apa yang membuat ayahnya bisa sampai di Prancis, sehingga
membuat dirinya kebingungan dan dilanda penasaran yang menuntut jawaban.

Mau tetap duduk serius bertukar argumen dengan anak Prancis ini, aku tak
sanggup.20
“Sangat cerdas. Semula aku kira dia bahkan khas Barat yang klise: rasional,
cepat terpesona dengan yang eksotis, dan seterusnya. Ternyata tidak.
Pertanyaannya bagus, menukik, dan tajam.”21
Kutipan di atas merupakan penggalan dialog dari bab Segara Alam, yang
menjelaskan bahwa Lintang memiliki karakter yang keras kepala dan selalu
mempertahankan argumennya. Selain keras kepala Lintang merupakan gadis yang
cerdas serta kritis. Dengan karakternya yang seperti inilah ia menjadi mahasiswi
Sorbone yang penuh rasa ingin tahu, yang mencoba menggali sesuatu yang ada
dihadapannya.

b. Dimas Suryo

Dimas Suryo merupakan tokoh utama dan menjadi sentral dalam novel
Pulang karya Leila S. Chudori, karena hampir keseluruhan cerita berkaitan dengan
dirinya. Dimas Suryo digambarkan mempunyai ciri fisik berperawakan tinggi,
berhidung mancung, berkulit serta bermata coklat, dan berambut ikal. Dimas Suryo
memiliki sifat yang setia, tidak mudah menyerah, pandai memasak, sangat
menyukai cerita wayang, memilki rasa nasionalisme yang tinggi, dan selalu
merindukan Indonesia. Hal itu dapat dilihat pada kutipan tersebut:

20
Ibid, hlm. 305
21
Ibid, hlm. 315
49

Tubuhnya yang dibungkus kulit kecoklatan itu memberi indikasi dia


seorang lelaki Vietnam. Tetapi dia terlalu menjulang tinggi untuk ukuran
lelaki Asia. Rambutnya yang ikal tebal dan hidungnya yang lancip dan
mancung itu malah lebih menunjukkan dia dari Timur Tengah.22
Dari kutipan ini jelas terlihat bahwa tampilan fisik dari Dimas Suryo
merupakan ciri khas lelaki Asia.

Ternyata Ayah tertarik pada Bima Karena kesetiannya pada Drupadi, satu-
satunya perempuan yang menjadi isteri kakak beradik Pandawa.
Pengabdian Bima pada Drupadi bahkan melebihi cinta Yudhistira pada
isterinya. Adalah Bima yang membela harkat Drupadi yang dihina Kurawa
saat kalah permainan judi. “Hanya Bima yang menjaga Drupadi ketika dia
diganggu oleh banyak lelaki saat Pandawa dibuang ke hutan selama 12
tahun,” Ayah menafsirkan dengan semangat.23
Kutipan yang lainnya menggambarkan bahwa Dimas Suryo merupakan
tokoh yang memiliki sifat setia. Sebagai penikmat cerita wayang, ia sangat
menyukai karakter Bima (dalam cerita Mahabrata versi asli India) yang memiliki
kesetian untuk selalu mencintai Drupadi dan selalu menjaganya. Dimas pun selalu
memikirkan kekasih hatinya yang ada di tanah air yaitu Surti Anandari istri dari
Hananto Prawiro yang merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan ia sempat
mengalami percecokan dengan Hananto yang berani berselingkuh dari Surti. Rasa
cinta itu juga tidak hilang walaupun ia menikah dengan Vivienne Deveraux gadis
Prancis yang cerdas dan pemberani. Hal ini mengjelaskan bahwa Dimas merupakan
tokoh statis.

Aku mulai memahami sedikit demi sedikit ketika dia begitu obsesif
bercerita tentang Ekalaya.24
“Kita,” aku menghela nafas, “adalah emapt pilar dari Restoran Tanah Air.”
Kami mendentingkan tiga gelas anggur dan satu gelas wedang jahe. Tanah
Air. Nama itu langsung merebut hatiku.25
... setiap tahun Ayah rutin mencoba mengajukan permohonan visa untuk
masuk ke Indonesia.
Ayah tahu, dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak
oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya. Itulah sebabnya dia
meletakkan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa

22
Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: PT Gramedia, 2012), hlm. 200
23
Ibid, hlm. 185
24
Ibid, hlm. 183
25
Ibid, hlm. 104
50

genggam bubuk kunyit di stoples kedua ruang tamu hanya untuk merasakan
aroma Indonesia.26
Kutipan ini menjelaskan bahwa Dimas Suryo selain setia juga memiliki
sikap yang pantang menyerah seperti Ekalaya yang dalam cerita Mahabrata adalah
sosok yang tidak menyerah untuk bisa memanah, walau sering kali ditolak untuk
menjadi murid Resi Dorna, ia terus berlatih sehingga menyaingi kemampuan
Arjuna dalam memanah. Begitu pula dengan Dimas Suryo yang tidak lelah dengan
penolakan yang didapatkannya dari pemerintah Indonesia, Indonesia rumah
baginya, ia akan selalu berusaha untuk bisa pulang ke tanah air. Dapat dikatakan
bahwa selama ia menumpang hidup di negara asing tersebut, ia tetap saja dihantui
rasa rindu yang mandalam pada tanah airnya.

Selain itu Dimas Suryo juga merupakan seorang lelaki lulusan sastra di
salah satu kampus di Indonesia sehingga ia pernah bekerja sebagai wartawan di
salah satu surat kabar, sebelum akhirnya ia harus meninggalkan tanah kelahirannya
tersebut ke Prancis. Ketika itu sebuah konferensi untuk para wartawanlah yang
membuatnya meninggalkan negaranya, yang ternyata setalah itu ia tidak bisa lagi
pulang ke Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

“Ada konferensi jurnalis di Santiago dan Peking.” Kataku mencoba


memberi konteks sejarah dalam ceritaku yang meluncur sedikit demi
sedikit. “Seharusnya Mas Hananto yang berangkat ke saba bersama Mas
Nugroho karena dia yang senior dan lebih paham persoalan. Tetapi,” aku
terdiam, dan Vivienne menanti dengan tatapan tak sabar, “saat itu Mas
Hananto berhalangan. Ada pekerjaan yang bertumpuk dan ada urusan
pribadi yang harus diselesaikan. Jadi aku menggantikan Mas Hananto
mendampinginMas Nug. Mereka ingin betul aku belajar dan konferensi
itu.”27
c. Vivienne Deveraux

Vivienne Deveraux di novel ini digambarkan sebagai wanita yang cantik,


bermata hijau, berambut brunnete, dan berkebangsaan Prancis. Ia merupakan
mahasiswi Sorbone yang penuh dengan rasa keingintahuan yang tinggi, yang tidak
mudah terpesonan dengan satu paham saja. Selain itu ia berasal dari keluarga yang

26
Ibid, hlm. 195-196
27
Ibid, hlm. 37
51

pintar dalam bidang akademik, yang pemikirannya berdasarkan nalar juga logika,
serta religius. Di masa setelah ia menikah dengan Dimas, Vivienne memutuskan
untuk bekerja menjadi dosen di salah satu kampus di Prancis.

Aku lahir dari keluarga Deveraux yang memilih untuk mengikuti nalar;
yang percaya vahwa hidup akan selesai setelah selang pernafasan
penyangga kehidupan dicabut…Keluarga kami adalah deviasi dari seluruh
Deveraux, penganut agama Katolik yang mengisi hari Minggu dengan pergi
ke gereja dan makan siang bersama.28
Watak yang dimiliki oleh Vivienne yaitu cerdas, tidak suka memaksa,
berhati lembut, dan pencemburu jika itu menyangkut orang ketiga, serta istri yang
sangat pengertian. Hal ini bisa dilihat pada kutipan:

Rambut berwarna brunnete, tebal, berombak, melawan arah tiupan angin....


Tapi, di tengah gangguan rambut yang menebar-nebar ke sana kemari, aku
melihat sepasang mata hijaunya yang mampu menembus hatiku yang tengah
berkabut.29
Vivienne jelas seorang perempuan cerdas yang kepandainnya dipupuk oleh
kehidupan keluarga intelektual kelas menengah Prancis yang
mementingkan pencapaian akademik…Vivienne tak memaksa aku untuk
segera mengeluarkan seluruh rinci sejarah kehidupanku versi ensiklopedik.
Dia sengaja membiarkan aku meneteskannya sedikit demi sedikit dari botol
ingatanku.30
Pada kutipan di atas menggambarkan bahwa Vivienne merupakan
perempuan yang cerdas serta memiliki sifat pengertian. Ia tidak langsung memaksa
Dimas untuk menceritakan kisah kelam yang dialami Dimas saat di Indonesia. Ia
justru menunggu sampai Dimas siap untuk membuka lembaran masa lalu itu dan
mengungkit luka dalam yang ditorehkan oleh pemerintahan Indonesia.

Aku tahu Vivienne ingin menghiburku. Dia memang perempuan yang baik
dan lembut hati.31
Asal bukan soal perempuan, tampaknya Vivienne adalah isteri yang paling
pengertian di seluruh jagat raya.32

28
Ibid, hlm. 199
29
Ibid, hlm. 13
30
Ibid, hlm. 16
31
Ibid, hlm. 38
32
Ibid, hlm. 87
52

Selama menjadi pasangan dari Dimas Suryo, Vivienne merupakan wujudan


dari istri yang baik, ia selalu menghargai Dimas sebagai suami serta kepala
keluarga. Ia tak pernah menuntut apapun dari Dimas, hanya saja ia tidak menolerir
jika itu ururasan wanita lain. Kutipan di atas menggambarkan pula bahwa Vivienne
merupakan tipikal sedikit pencemburu. Ia berpisah dengan Dimas juga didasari oleh
sikap Dimas yang masih mencintai Surti Anandari dan masih terikat dengan masa
lalunya.

Ada pula tokoh pendukung yang lainnya yaitu Nugroho, Tjai, Risjaf, Surti,
Narayana, Kenanga, Bulan, Rukmini, Bimo, Aji Suryo, Retno, Rama, Andini,
Prakosa, Sumarno, Amir, Gilang, Mita, Hans, Yos, Raditya, Yazir, Sumarno
Biantoro, dan Monsieur Dupont.

4. Latar atau Setting

Latar tempat pada novel Pulang karya Leila S. Chudori berpusat pada
Jakarta dan Paris, namun ada beberapa nama tempat atau daerah yang digunakan
sebagai setting peristiwa penting.

a. Jakarta

Tjahaja Foto, Jalan Sabang, tempat ini merupakan kantor dari Hananto
Prawiro serta tempat diringkusnya Hananto karena dianggap sebagai partisipan
PKI. Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.

Ketika mesin mobil dinyalakan, aku menebarkan pandangan ke seluruh


malam di Jalan Sabang, gerobak kue putu Soehardi, sate Pak Heri, warung
bakmi godog, dan terakhir lampu neon Tjahaja Foto yang berkelap-kelip.
Untuk terakhir kalinya.33
Kantor Satu Bangsa, suatu kantor yang menjadi tempat kerja semetara
Lintang demi menyusun tugas akhirnya. Di kantor ini pula kejadian teror yang
sudah beberapa kali terjadi sehingga merusak beberapa alat elektronik di dalamnya
rusak dan hilangnya dokumen-dokumen korban 1965 yang Lintang kumpulkan.

33
Ibid, hlm. 5
53

“Dengar Lintang, ini bukan terror pertama yang pernah aku alami, juga
bukan pertama bagi anak-anak Satu bangsa.”34
Tentu saja mereka mengalami kerugian karena barang-barang elektronik
yang sehari-hari mereka gunakan pecah atau rusak.35
Tumpukan rekaman kasetku hilang. Catatanku hilang. Laptopku hilang.
Pojok itu kosong. Aku jadi blingsatan dan mengorek-ngorek meja Mita dan
membuka laci berulang-ulang.36
Dari kutipan-kutipan di atas membuktikan bahwa teror yang dialami saat itu
bukanlah yang pertama, tentu bekerja pada bagian LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) untuk korban-korban 1965 kehidupan mereka selalu diganggu oleh
intel.

Kampus Trisakti, tempat yang menjadi saksi peristiwa beradarah, yaitu


ditembaknya empat mahasiswa Trisakti, sehingga menjadi aksi berkabung yang
dihadiri oleh mahasiswa dan alumni-alumni kampus tersebut namun juga para
tokoh-tokoh masyarakat. Dilihat dari kutipan di bawah ini.

Kali ini kampus Trisakti bukan hanya penuh oleh mahasiswa dan alumni,
tetapi terlihat banyak tokoh yang datang menghadiri aksi berkabung ini.37
b. Paris

Negara yang merupakan tempat empat pilar tanah air tinggal dan merajut
asa mencoba peruntungan dengan membuka restoran Tanah Air. Di Paris pula
Dimas bertemu dengan Vivienne di tengah keriuhan demo yang dilakukan oleh
mahasiswa Sorbone.

Sampai di suatu malam bulai Mei 1968 yang riuh oleh tuntutan mahasiswa
kepada pemerintah Prancis; aku bertemu dengan Vivienne Deveraux di
kampus Universitas Sorbonne. Begitu saja ia masuk ke dalam keseharianku,
ke dalam tubuhku, dan akhirnya perlahan-lahan merayap memasuki rongga
sejarah hidupku.38
Dapur Tanah Air adalah tahtaku yang tak boleh diotak-atik.39

34
Ibid, hlm. 404
35
Ibid, hlm. 405
36
Ibid, hlm. 401
37
Ibid, hlm. 414
38
Ibid, hlm. 79
39
Ibid, hlm. 95
54

Latar waktu pada novel ini yaitu dari tahun 1952 sampai 1998. Tentu ada
beberapa tahun yang sangat menonjol karena mengalami peristiwa penting.

Jakarta, Januari-Oktober 195240, ini merupakan latar waktu yang


menceritakan tentang kehidupan Dimas, Hananto, Nugroho, Risjaf, dan Tjai.
Ketika itu Hananto dan Nugroho memiliki usia lebih tua di antara ketiganya. Pada
masa ini pula mereka bertemu dengan Surti, Rukmini, dan Ningsih.

Jakarta, Desember 196441, ada tahun ini Indonesia sudah mulai panas
dengan isu PKI, dan menganggap bahwa presiden pada saat itu terlalu akrab dengan
PKI.

Bang Amir, wartawan di Kantor Berita Nusantara, sangat kritis terhadap


Bung Karno – kritis karena presiden kami ini terlalu mesra dengan pimpinan
PKI, dan juga karena M. Natsir di penjara.42
Jakarta 5 September 196543 dan 12 September 196544 Pada tanggal
lima September Dimas mengalami percecokan dengan Hananto karena Hananto
berselingkuh dari Surti yang merupakan wanita yang masih sangat dicintai oleh
Dimas. Lalu, pada 12 September Dimas dan Hananto bertemu setelah percecokan
itu, kemudian Hananto memerintahkan Dimas untuk menghadiri undangan
konferensi para wartawan di Cile. Rupanya ia sudah mengetahui bahwa kondisi
politik Indonesia sedang panas-panasnya dan diadakannya pemburuan bagi
partisipan PKI.

Hari ini tanggal 6 April 196845, pada tanggal ini peristiwa tertangkapnya
Hananto di kantor tempatnya bekerja setelah tiga tahun bersembunyi. Di negara lain
tepatnya Paris 1968, pada saat ini pertama kalinya Dimas tiba di Paris dan bertemu
dengan Vivienne bertepatan dengan riuh aksi demo yang dilakukan di depan

40
Ibid, hlm. 51
41
Ibid, hlm. 28
42
Ibid, hlm. 31
43
Ibid, hlm. 38
44
Ibid, hlm. 44
45
Ibid, hlm. 4
55

Kampus Sorbone. Dari sinilah Dimas serta teman-temannya bertahan hidup dan
menekan rasa rindu untuk bisa kembali ke Indonesia.

Jakarta, 18 Juni 197046, Dimas mendapat surat dari Kenangan putri dari
Hananto dengan Surti bahwa ayahnya telah dieksekusi mati.

Lalu setting waktu terakhir yang diambil dari novel ini yaitu pada Mei 1998,
pada saat ini peristiwa mengerikan yang lain terjadi di Indonesia kericuhan yang
sangat parah, penjarahan yang dilakukan di mana-mana, kejahatan terhadap orang-
orang keturunan Tionghoa serta penembakan mahasiswa Trisakti yang berujung
pada reformasi dan lengsernya pemerintahan Soeharto selama 32 tahun berkuasa.

Dengan menyertakan tahun serta tempat yang jelas novel Pulang karya
Leila S. Chudori ini bisa dikatakan memiliki latar tipikal yang membuat cerita lebih
realistis karena ada unsur-unsur sejarahnya. Pada novel ini juga terdapat latar
sosial-budaya, di mana antara Prancis dan Indonesia sangat berbeda dalam hal
berdemontrasi.

“Di Eropa, demontrasi sangat teratur. Kalaupun terjadi kekacauan seperti di


Paris, Mei 1968, itu masih belum termasuk kategori berbahaya. Di sini
segalanya bisa terjadi karena terlalu banyak pihak tak jelas yang ikut
nyemplung. Demontrasi damai bisa berekor kerusuhan.”47
Hal ini menggambarkan bahwa demontrasi yang dilakukan di Paris masih
dalam tahap wajar, jelas dalam menuntut dan yang dituntut, serta santun, sedangkan
demontrasi di Indonesia hanya ricuh tanpa kejelasan dan anarkis.

5. Sudut Pandang

Novel Pulang karya Leila S. Chudori ini secara keselurahan banyak


memakai sudut pandang “aku” sebagai tokoh tambahan, dapat dilihat dari prolog
yang bersusut pandang Hananto Prawiro, bab Dimas Suryo, Lintang Utara, dan
Segara Alam yang masing-masing babnya menggunakan sudut pandang orang
pertama sebagai pencerita, tetapi ada di salah satu sub-babnya yang berjudul

46
Ibid, hlm. 246
47
Ibid, hlm. 304
56

L’irreparable, Flaneur, dan Keluarga Aji Suryo, yang menggunakan sudut pandang
persona ketiga. Maka dari itu novel Pulang karya Leila S. Chudori menggunakan
sudut pandang campuran.

a. Sudut Pandang Orang Pertama

Di antara ribuan mahasiswa Sorbonne yang baru saja mengadakan


pertemuan, aku melihat dia berdiri di bawah patung Victor Hugo.48
Kutipan diatas dituturkan oleh Dimas, ketika ia pertama kali bertemu
dengan Vivienne saat demonstrasi mahasiswa berlangsung.

Didier Dupont, pembimbingku, yang ekonomis dalam kata-kata itu tidak


melanjutkan kalimatnya.49
Kutipan di atas dituturkan oleh Lintang, ketika ia mengajukan judul tugas akhirnya.

Lalu aku teringat puluhan tahun silam, ketika Bimo dan aku duduk di kelas
V sekolah dasar.50
Kutipan di atas dituturkan oleh Segara Alam ketika ia dan Bimo yang
diwajibkan mengikuti acara study tour ke Lubang Buaya.

b. Sudut Pandang Orang Ketiga Maha Tahu (L’irreparable, Flaneur, Keluarga Aji
Suryo)

Dimas nampak mendekati lensa dan memberi intruksi. Barulah Nara


menyadari, tangan kecil yang memegang kamera itu milik Lintang.51
Kutipan di atas menggambarkan ketika Lintang dan Nara menyaksikan
video dokumenter sewaktu ia masih kecil.

Malam itu Lintang mempunyai satu pertnyaan. Mungkin seribu


pertanyaan.52
Kutipan di atas menjelaskan ketika Lintang memikirkan sesuatu peristiwa
rumit yang dialami Indonesia.

48
Ibid, hlm. 9
49
Ibid, hlm. 132
50
Ibid, hlm. 286
51
Ibid, h lm. 167
52
Ibid, hlm. 251
57

Ketika aroma kopi toraja sudah menabrak pagi, Aji suryo memutuskan
untuk mengisi akhir pekan itu dengan kesunyian yang menenangkan.53
Kutipan di atas menggambrakan suasana pagi hari di rumah Aji Suryo.

6. Gaya Bahasa

Novel Pulang karya Leila S. Chudori dalam penggunaan bahasanya sering


kali perumpamaan untuk mengungkapkan suatu keadaan yang terjadi di dalamnya.
Perumpamaan atau perbandingan dengan analogi ini memunculkan bermacam-
macam gaya bahasa kiasan, seperti diuraikan di bawah ini:

a. Persamaan atau Simile

“Dia datang seperti secarik puisi yang sudah genap.”54


Kutipan ini diucapkan oleh Dimas ketika ia pertama kalinya bertemu
Vivienne. Ia menganggap bahwa Vivenne merupakan perempuan yang sempurna
dan melengkapi kehidupannya. Ia menyamakannya dengan secarik puisi yang
sudah genap, tak butuh dilengkapi lagi.

b. Metafora

“Ketiga dara cantik itu adalah bunga yang membuat Jakarta menjadi
bercahaya.”55
Kutipan ini menjelaskan ada ketiga gadis cantik yaitu Surti, Rukmini, dan
Ningsih merupakan idola bagi kaum pria di Jakarta. Ketiga gadis tersebut membuat
mereka jatuh cinta sehingga menganggap tiga gadis ini membuat Jakarta bercahaya.
Kata bunga di sini diartikan sebagai gadis, sedangkan bercahaya adalah perasaan
kagum atau rasa jatuh cintanya mereka.

53
Ibid, hlm. 327
54
Ibid, hlm. 12
55
Ibid, hlm. 51
58

c. Personifikasi

“Bunyi siulan dari gerobak kue putu itu masih memanggil-manggil.”56


Kutipan ini ketika Hananto sedang bersembunyi dari kejaran petugas
pemerintah untuk menangkap partisipan PKI. Pada kutipan ini pula dapat dilihat
bahwa pengarang membandingkan bunyi siulan gerobak kue putu yang memanggil-
manggil Hananto, padalah siulan gerobak kue putu itu adalah benda mati.

7. Amanat
Novel Pulang karya Leila S. Chudori memiliki amanat tentang rasa
nasionalis, mecintai serta setia dengan tanah air. Walaupun dibatasi dengan jarak
yang jauh, Indonesia adalah tempat untuk kembali. Dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini:

“Ayah tahu, dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak
oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya. Itulah sebabnya dia
meletakan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa
genggam bubuk kunyit di stoples kedua di ruang tamu hanya untuk
merasakan aroma Indonesia.”57
Pada kutipan di tasa menggabarkan bahwa walaupun usaha Dimas untuk
kembali ditolak oleh negara, Dimas sebagai warga Indonesia tetap dan selalu
berusaha untuk pulang ke rumah, hal ini juga menunjukkan bahwa ia sangat
mengcintai tanah kelahirannya, tidak peduli seberapa berat ia menerima
kekecewaan dari Indonesia.

Selain kutipan tersebut adapula kutipan yang menggambarkan suatu bentuk


kecintaan terhadap tanah air.

Akhirnya ayah pulang.


Akhirnya dia bersatu dengan tanah yang menurut dia “memiliki aroma yang
berbeda” dengan tanah Cimetiere du Pere Lachaise. Tanah Karet. Tanah
tujuan dia untuk pulang.58

56
Ibid, hlm. 2
57
Ibid, hlm. 196
58
Ibid, hlm. 447
59

Berdasarkan kutipan di atas, tidak ada kata terlambat untuk pulang. Tidak
pernah melupakan negara yang menjadi tempatnya berasal, meninggalpun harus
kembali ke tanah ibu Pertiwi.

B. Pencarian Identitas Para Tokoh dalam Novel Pulang Karya Leila S.


Chudori
1. Penemuan Identitas Tokoh Lintang Utara melalui Keraguan terhadap
Statusnya

Lintang lahir sebagai anak darah campuran Indonesia dan Prancis. Ia lahir
dan besar di Prancis dengan pengetahuan minim akan salah satu tanah lahirnya,
yaitu Indonesia. Namun, Lintang selalu dikelililngi oleh budaya-budaya Indonesia
yang disampaikan oleh ayah serta sahabat-sahabat ayahnya. Namanya pun terkesan
sangat Indonesia sekali, negara yang dirindukan ayahnya. Untuk seseorang seperti
dirinya yang memiliki lebih dari satu negara sebagai kewarganegaraannya bisa
menimbulkan pertanyaan, seperti berasal dari mana kah ia? Atau negara manakah
yang benar-benar menjadi identitas dan menjadi rumah untuk kembali? Hal inilah
yang dialami oleh Lintang, maka dari itu ia memutuskan untuk ke Indonesia
mencari tahu tentang negara tersebut sekaligus mencari identitas yang selama ini
menjadi beban pikirannya.

Pernyataan pertamaku adalah kalimat yang jujur. Seumur hidupku selama


23 tahun, aku tak pernah menginjak Indonesia karena keluarga tak akan bisa
mengijaknya – betapapun ayah merindukan tanah airnya. Tetapi aku harus
mengakui, pernyataan keduaku adalah kebohongan. Tentu saja aku
mengenal Indonesia, paling tidak dari tangan kedua. Dari ayah, ketiga
kawan ayah: om Nug, om Tjahjadi, dan om Risjaf; dari buku-buku, dari film
dokumenter, dari seluruh pertengkaran ayah dan maman. Dan juga berbagai
peristiwa, baik dan buruk, yang akhirnya bisa membawa pada ketegangan
antara ayah dan aku hingga hari ini.59
Dari kutipan di atas dapat menggambarkan bahwa hal ini berawal dari
Lintang yang selalu menanyakan tentang asal-usul ayahnya. Ia tidak begitu
mengenal tentang tanah kelahiran ayahnya, dan mengapa ayahnya tidak bisa
kembali ke sana lagi. Namun, Lintang tentu saja tidak hanya pasrah, pertanyaan-

59
Ibid, hlm. 135
60

pertanyaan tersebut ia tanyakan kepada sahabat-sahabat ayahnya yang bernasib


sama. Ia juga mengumpulkan informasi-informasi yang ia kumpulkan dari buku
serta film.

Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik dan harum
bernama Prancis. Tetapi menurut ayah darahku berasal dari seberang benua
Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-
sia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang
melahirkan aneka warna, bentuk, dan keimanan, tetapi malah menghantam
warganya hanya karena perbedaan pemikiran.60
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Lintang selalu disuapi sesuatu yang
berbau Indonesia oleh ayahnya. Ia yang kelahiran Prancis bukan berarti tidak
mengenal unsur-unsur sederhana Indonesia, ayahnya pantang menyerah untuk
memperkenalkan rasa Indonesia kepadanya sejak ia lahir. Dengan memberi nama
yang kental akan Indonesia serta memperkenalkan budaya-budaya Indonesia.

“Kenapa Srikandi?” “Aku merasa dia bergerak mencari raga yang tepat.”
“Kenapa Panji Semirang?” “Dia memburu identitas.”
Maman dan ayah saling berpandangan. “Kamu memilih tokoh-tokoh yang
berubah jender,” kata ayah tanpa menghakimi.61
Berdasarkan kutipan di atas, menujukkan bahwa Lintang memilih tokoh
pewayangan yang berubah gender dan yang mencari identitas. Pada saat itu Lintang
baru berumur 10 tahun, ia hanya melihat dari segi hebatnya para tokoh pewayang
tersebut dalam berganti-ganti gender, tanpa merasa bahwa sebenarnya ia juga
memiliki kesamaan dengan para tokoh wayang tersebut, yaitu berburu identitas.
Hal ini disebabkan Lintang merupakan hasil dari perkawinan antarbudaya, yang
tentu saja membuat dirinya bingung dengan budaya yang dibawa masing-masing
oleh orang tuanya. Selain itu status ayahnya yang sebagai ekstapol yang dibuang
oleh negaranya sendiri menambah rumit kehidupan Lintang. Ia yang belum pernah
ke Indonesia merupakan salah satu faktor sehingga dirinya mengalami krisis
identitas. Dari kutipan ini pula dapat menggambarkan bahwa Dimas

60
Ibid, hlm. 137
61
Ibid, hlm. 184
61

memperkenalkan budaya Indonesia kepada Lintang, ia gemar berdongeng dengan


kisah wayang yang ia gemari ke putrinya.

Ayah mengatakan pilihanku mungkin kelak menujukkan siapa diriku. Aku


mendengar ayah berbincang dengan maman, saat aku tidur di malam hari,
bahwa dia merasa bersalah. Pasti Lintang memilih tokoh-tokoh yang
berburu identitas karena dia juga merasa krisis identitas. Pasti dia tengah
bertanya-tanya, siapakah dirinya, orang Indonesia yang tak pernah ke
Indonesia? Atau orang Prancis setengah Indonesia?62
Kutipan di atas menggambarkan kesadaran Dimas yang mengerti alasan
putrinya memilih tokoh-tokoh wayang yang selalu memburu identitas, karena tanpa
sadar Lintang mengalami hal itu. Ia tentu memiliki identitas sebagai warga Prancis,
namun di dirinya ada darah campuran yang diturunkan Dimas. Darah Indonesia, ia
tentu tidak bisa sembarang mengklaim bahwa dirinya juga memiliki identitas
sebagai warga Indonesia.

Hal ini disebabkan Lintang yang tidak mengenal Indonesia, serta ayahnya
yang tidak bisa kembali atau telah dibuang dari Indonesia, mengharuskan dirinya
untuk sementara berpuas diri hanya memiliki identitas Prancis saja. Namun, tidak
memudarkan rasa penasaran terhadap negara asal ayahnya. Maka dari itu, ia merasa
asing dengan tanah kelahiran ayahnya, ia merasa tidak menyatu dengan negara itu.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap ayahnya serta kawan-
kawan ayahnya membuat ia merasa tidak terima, dan merasa berkecil hati untuk
mengakui bahwa Indonesia termasuk sebagian dari dirinya.

Aku mulai merasa ada sebuah kehidupan lain di bawah kehidupan ‘normal’
kami sebagai keluarga sejak aku masih kanak-kanak: keluarga kami berbeda
dari keluarga Prancis umumnya. Bukan hanya karena aku anak hasil
perkawinan campur Indonesia dan Prancis. Di kelasku, ada beberapa kawan
keturunan perkawinan campur Prancis dan Maroko, Prancis dan Cina, atau
Prancis dan Inggris, misalnya. Tetapi mereka selalu saja menceritakan
tentang tanah air orangtuanya di Rabat atau Beijing atau London.63
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Lintang merasa kehidupan keluarganya
tidak normal seperti kehidupan keluarga perkawinan dua negara yang lain. Ia

62
Ibid, hlm. 185
63
Ibid, hlm. 143
62

merasa ada yang aneh dengan keluarganya. Ia yang pada saat itu masih kecil pun
harus mempertanyakan kenapa ia tidak bisa menjelaskan atau menceritakan tentang
tanah kelahiran ayahnya yang dilakukan oleh teman-temannya di sekolah. Ia merasa
ada yang disembunyikan tentang Indonesia sehingga ia tak mengerti tentang negara
tersebut.

Ayah datang dari Indonesia, sebuah tanah yang begitu jauh, yang tak
kukenal dan tak bisa kusentuh (paling tidak selama negara itu masih
dikuasai pemerintah yang sama). Setelah berangkat remaja, perlahan-lahan
aku paham: aku tak akan pernah bisa mengunjungi Indonesia bersama
Ayah.64
Kemudian berlanjut pada masa remaja Lintang yang semakin mengerti
tentang kondisinya, ia paham bahwa dirinya ataupun keluarganya tidak bisa ke
Indonesia dengan rezim yang bertahun-tahun terus berkuasa. Ada peraturan ketat
yang membuatnya tidak bisa menjelajahi Indonesia, ada larangan keras untuk
ayahnya kembali ke tanah airnya. Hal ini disebabkan oleh peristiwa kelam yang
sudah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu, yang membuat ayahnya tersesat di
negara asing serta membuat Lintang tersesat dengan rasa bingung akan
identitasnya.

Semakin aku dewasa, semakin banyak pula cerita tentang tanah air yang
jauh itu, yang dalam film-film dokumenter memiliki laut biru dan pohon
kelapa yang memamnggil-manggil. Tetapi, aku tak pernah mendapatkan
kisah yang lengkap, komprehensif, dan mendalam.
Misalnya: bagaimana Ayah dan kawan-kawannya meninggalkan Indonesia
hanya untuk konferensi di Santiago (yang disusul sebuah konferensi di
Havana dan Peking) dengan ransel di punggung dan tak bisa kembali
selama-lamanya ke tanah air? Bukankah itu sebuah absurditas? Dan
mengapa ayah yang berangkat?65
Setelah itu berlanjut pada masa ia dewasa, berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan bahwa Lintang lebih mengetahui tentang Indonesia. Ia mengumpulkan
segala referensi yang dapat membuat rasa dahaganya terpenuhi. Namun, ada
beberapa yang janggal baginya. Ia merasa bahwa segala sesuatu tentang Indonesia
telah ia telusuri tetapi kenapa kisah tentang ayahnya yang sampai ke Prancis tidak

64
Ibid, hlm. 144
65
Ibid, hlm. 144
63

ada, lalu mengapa tidak ada alasan yang ia temukan tentang larangan ayahnya untuk
kembali ke Indonesia? Hal ini yang terus saja menjadi pertanyaan terbesar bagi
Lintang. Tentu saja hal-hal yang menimpa ayahnya tidak tertulis ke dalam sumber-
sumber yang ia temui, peristiwa ayahnya merupakan suatu kasus tentang kekejaman
sebuah rezim, yang disembunyikan.

Aku tak pernah bisa marah pada Nara. Selain Maman, Nara adalah orang
yang paling memahami hatiku. Dia tahu, ada sebuah ruang di dalam hatiku
yang tak kukenal, begitu asing, begitu ganjil yang bernama Indonesia. Kami
sama-sama generasi yang lahir di Paris dari orangtua Prancis dan Indonesia.
Bedanya, Nara dan orangtuanya bisa bebas keluar masuk Jakarta tanpa
masalah. Oarangtua Nara tak dikerangkeng oleh sejarah buruk. Sedangkan
Ayah dan ketiga sahabatnya akan selalu dipagari oleh teralis yang
dinamakan G30S (pemerintah Indonesia menambahkan ‘PKI’ di
belakangnya).66
“Oui…aku ingat. Nara, ini tentang Indonesia. Sebuah negara yang sama
sekali tak pernah kusentuh. Yang hanya kukenal melalui buku-buku Ayah
dan karya sastra milik Maman; segelintir film dokumneter di National
Geographic dan dari isi rak buku Ayah dan Maman. Sebuah negara yang
kukenal dari tiga sahabat Ayah yang pengetahuannya berhenti setelah tahun
1965.”67
Narayana adalah kekasih Lintang, ia juga berdarah campuran Prancis dan
Indonesia seperti Lintang. Hanya yang membedakan keluarga Nara merupakan
keluarga normal, ia bisa dengan bebas berkunjung ke Indonesia tanpa larangan yang
diterima oleh keluarga Lintang. Pada kutipan di atas ini, menjelaskan pula bahwa
pengetahuan Lintang terhadap Indonesia hanya sebatas kulit saja, ia hanya
mendapatkan dari beberapa informasi kecil yang ada di film dokumenter atau buku-
buku. Ia tidak pernah mengenal Indonesia secara dalam, mengetahui peristiwa-
peristiwa berdarah yang dialami Indonesia.

Monsieur Wilde, pentingkah kita mencari akar jika sudah menjadi sebatang
pohon yang kokoh? Kau seorang penyair Irlandia, sebetang pohon, yang tak
sungkan memperlihatkan orientasi seksualmu di masa begitu tertutup dan
tertib; seorang novelis yang menciptakan Dorian Gray, lelaki cantik yang
diabadikan di atas sebuah lukisan yang menggairahkan penikmatnya.
Katakan, apakah sebatang pohon yang sudah tegak dan batang rantingnya

66
Ibid, hlm. 155
67
Ibid, hlm. 152
64

menggapai langit kini harus merunduk, mecari-cari akarnya untuk sebuah


nama? Untuk sebuah identitas?68
Pada kutipan di atas ini Lintang merasa apakah harus dirinya mengetahui
tentang negara yang pada dasarnya tak ia kenal. Negara yang hanya dibawa oleh
ayahnya saja. Tanah kelahiran yang hanya dirindukan oleh ayahnya saja. Apa ia
harus mencari salah satu identitasnya tersebut, tak bisakah ia menerima saja apa
yang sudah ditakdirkan untuknya? Hal ini merupakan pertanyaan Lintang atas
segala kebingungannya selama ini. Ia merasa bahwa sesuatu yang tidak jelas apa
penting dicari kebenarannya.

Didier Dippon memandang Lintang dengan matanya yang biru. Mata yang
tersenyum, meski bibirnya tak menunjukkan emosi apa-apa. “Saya paham.
Tapi di mata penonton yang menyaksikan, di mata orang luar, kau tetap
korban. Karena kamu belum pernah mempunyai kesempatan untuk
mengenal sebagian dari dirimu. Tanah air ayahmu.”69
Ternyata Lintang memang harus menggali lebih dalam tentang Indonesia.
Hal ini berawal ketika Lintang mengajukan topik untuk tugas akhirnya yang ditolak
oleh dosen pembimbingnya. Didier Dippon (dosen pembimbing Lintang) merasa
bahwa mangangkat topik tentang revolusi Prancis pada tahun 1968 sudah banyak
yang melakukannya. Ia menyarankan Lintang untuk meneliti tentang Indonesia,
menyelami peristiwa-peristiwa yang dialami Indonesia, merasakan pahitnya
korban-korban dari rezim yang berkuasa puluhan tahun lamanya.

Tiba-tiba saja aku merasa harus mencari sebatang lilin untuk masuk ke gua
sejarah yang Panjang dan gelap. Tiba-tiba darahku megalir dengan deras.
Dadaku berdebur-debur. Kata I.N.D.O.N.E.S.I.A menjadi sesuatu yang
menarik perhatianku. Aku ingat Shakespeare dan aku ingat Rumi.70
“Lintang berlari-lari sepanjang koridor. Dia merasa seperti akan menggapai
sesuatu. Menggapai sesuatu yang selalu asing di dalam dirinya. Memetik
satu dari I.N.D.O.N.E.S.I.A”71
Pada kutipan di atas menggambarkan bahwa Lintang sudah merasa tertarik
untuk mencari tahu tentang Indonesia. Ia merasa tertantang untuk mengenal lebih

68
Ibid, hlm. 153
69
Ibid, hlm. 256
70
Ibid, hlm. 165
71
Ibid, hlm. 258
65

dalam tentang tanah yang katanya asri itu. Selain bertujuan untuk menyelesaikan
tugas akhirnya ia juga merasa bahwa selama ini pertanyaan yang melayang-layang
di pikirannya akan terjawab dengan pasti jika ia ke Indonesia. Ia akan berpetualang
dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang tak dikenalnya, tanah kelahiran ayahnya
yang hanya sedikit saja yang ia ketahui.

Lintang terpana dengan informasi baru ini. Tetapi dia tak merasa punyak
cukup waktu dan energi untuk berdiskusi tentang kebiasaan “tidak
menggunakan nama keluarga” di Indonesia.72
Rupanya bukan hanya hal-hal yang berat dan kelam saja yang Lintang tidak
ketahui, tetapi perbedaan tentang penggunaan nama pun ia tak tahu. Bagi sebagian
orang Eropa nama belakang atau keluarga merupakan identitas yang penting,
namun bagi orang Indonesia hal itu bukanlah keharusan. Sebagian orang Indonesia
yang tidak memiliki nama keluarga, karena menganggap hal itu tidak terlalu
penting. Pada saat itu Lintang mengurus segala dokumen untuk ke Indonesia tanpa
embel-embel “Suryo” yang melengkapi namanya. Hal ini bertujuan agar Lintang
bisa dengan mudah masuk ke Indonesia, karena nama belakangnya itu merupakan
nama belakang ayahnya yang menjadi musuh negara Indonesia.

Untuk sementara, segala yang logis kini harus dibuang kesungai. Atau lebih
tepatnya, segala yang logis bagi “anak Sorbone”–demikian mereka
menyebutku sebagai identifikasi makhluk asing yang terlalu banyak tanya–
harus dilupakan dulu.73
Perbedaan yang ditemui pula, ketika Lintang yang selalu banyak tanya khas
orang Eropa. Ketika ia sampai di Indonesia ia harus terbiasa menahan rasa
penasarannya, karena tak semua pertanyaan harus mendapatkan jawaban. Terlebih
keadaan Indonesia yang sedang kocar kacir akibat dari peperangan rakyat degan
pemeritah. Hal ini juga menyebabkan Lintang terpuruk, ia merasa apa yang
dilakukan pemerintah tidak adil bagi rakyat. Ada suatu kebusukan yang terus
dilakukan pada saat itu, membuat rakyat semakin menderita.

72
Ibid, hlm. 263
73
Ibid, hlm. 425
66

Mengapa saat aku sudah mulai mencintai negeri ini, lantas perasaan itu
ditebas semena-mena?74
Kutipan di atas menggambarkan saat Lintang merasa terpuruk, ketika ia
sudah merasa mencintai Indonesia, kenapa harus mengalami peristiwa yang tragis.
Ia merasa heran dengan rakyat Indonesia, seberapa kuat mental mereka mengalami
teror yang tidak berhenti, dan terus berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik lagi. Ia merasa selain negara dengan tanah yang kaya akan pesona
alamnya, Indonesia juga memiliki rakyat yang kaya akan perjuangan dalam
menjalani hidup, berapa kalipun dinjak mereka tetap bangkit dan menuntut
pemeritah yang adil.

Tiba-tiba saja, setelah selesai semua tugas wawancara, aku merasa lega.
Untuk pertama kali, aku ingin sekali pulang ke Prais untuk menyunting dan
menyelesaikan tugas ini, lalu menyerahkannya kepada Monsieur Dupont.
Lebih penting lagi aku ingin pulang menemui Ayah dan Maman. Sebentar.
Barusan aku menyebut Paris sebagai tempat aku ‘pulang’. benarkah Paris
rumahku?75
Setelah Lintang mengumpulkan segala sesuatu serta menyelesaikan tugas
akhirnya, ia memutuskan untuk kemabli ke Prancis. Namun, kutipan di atas
menggambarkan bahwa Lintang mengalami kerisauan hati saat menyebut Prancis
adalah tempatnya untuk pulang. Ia sudah mencintai Jakarta serta orang-orang yang
ada di dalamnya. Ia merasa bahwa Jakarta bukanlah hanya sekadar tempat mencari
informasi, akan tetapi tempat ia berbagi dan menerima segala suka dan duka.
Indonesia yang pada awalnya ia hanya mengenal dari kulitnya saja, sekarang sudah
menjadi tempat ia berlindung, tempat ia merasa kekuatan dari perjuangan orang-
orang yang meminta keadilan.

“Coba,” dia mengambil tanganku dan meletakkanya di atas dadaku. “Apa


rasanya setiap kali mereka meneriakkan ‘reformasi’?”
Degup jantung yang lebih cepat dan darahku berdesir.
“Aku selalu merasa kau adalah bagian dari rumah ini, Lintang.” Ada rasa
hangat yang mengalir ke dadaku. “Do you think so?”
“Sangat. Kau berakar dari sini.”76

74
Ibid, hlm. 427
75
Ibid, hlm. 437
76
Ibid, hlm. 440
67

Kini, aku rasa aku tahu di mana rumahku.77


Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, dengan segala perjalanan berliku yang
dihadapi Lintang demi mencari identitasnya, akhirnya ia memilih Indonesia sebagai
tempat untuk pulang, tempat yang menjadi identitasnya. Lingkungan tempat ia
hidup selama ini selalu berkaitan dengan Indonesia, walaupun ia tinggal di negara
Prancis yang sangat berbeda dengan Indonesia, namun ayahnya selalu menanamkan
budaya Indonesia sedari ia kecil, mengenalkannya dengan rasa Indonesia melalui
masakan khasnya, menceritakan sebuah kisah menarik seperti Mahabrata yang
terkenal di masyarakat Jawa, serta segala macam peristiwa yang ia temui selama di
Indonesia, merasakan setiap emosi perjuangan yang dilakukan oleh orang-orang
Indonesia. Ia sadar bahwa semua itu yang membuatnya merasakan sebagian
Indonesia di dalam dirinya. Ia merasa bahwa tanah kaya yang dihuni oleh orang-
orang kuat tersebut merupakan sebagian dari dirnya. Keraguannya selama inilah
yang membawanya pada identitas yang ia cari selama ini.

2. Penemuan Identitas Tokoh Dimas Suryo melalui Kematiannya

Dimas merupakan lelaki asal Indonesia yang harus menjalani sisa hidupnya
dengan menumpang di negara asing yang jauh dari tanah kelahirannya. Ia harus
merasakan keresahan serta kegundahan dalam mencari identitasnya yang baru,
dengan selalu dilanda rasa rindu dan keinginan untuk pulang ke negara asalnya,
Indonesia. Perjalanannya dalam mencari identitas baru tentu tidak mudah, ia harus
menerima kesulitan dalam prosesnya untuk memiliki kewarganegaraan baru. Di
samping itu, ia selalu memimpikan untuk kembali ke Indonesia. Hal ini berawal
ketika Dimas harus menghadiri acara konferensi para wartawan di Santiago.

Vivienne mengajakku mengelilingi bagian Paris yang tak terlalu mahal


untuk kantong pengelana sepertiku (aku belum tahu bagaimana menyebut
diriku: Pelarian? Pengelana? Pengangguran? Atau agar sedikit bermartabat:
Penulis? Wartawan tanpa koran?).78
Pada kutipan di atas ini, menggambarkan ketika Dimas sudah sampai di
Paris yang sebelumnya pernah menetap di beberapa negara yang berbeda. Ia yang

77
Ibid, hlm. 441
78
Ibid, hlm. 17
68

pada saat itu menemui kebingungan akan statusnya di negeri orang pun merasa
tidak berdaya. Ia yang selama di Paris selalu ditemani Vivienne (gadis asal Prancis),
untuk menikmati suasana negara romantis tersebut tidak menghilangkan
kegundahan dirinya terhadap status yang ia sandang. Ia merasa tidak ada yang
cocok untuk mengidentifikasikan dirinya selama ia tinggal di sana.

Dia memandangku serius. “Jadi, aku tidak konsisten, dan kau merasa yakin
dengan posisimu sekarang? Kau merasa konsisten? Kau merasa tahu apa
yang kau inginkan? Dalam politik? Dalam kehidupan pribadimu?”
Aku terdiam. Aku yakin itu hanya retorika.
“Kau menolak masuk ormas. Apalagi masuk partai. Kau menolak memihak.
Kau mengkritik Lekra tapi kau juga mengkritik para penandatangan
Manifes Kebudayaan.”79
Sebelumnya, Dimas juga telah disadarkan oleh salah satu sahabatnya
selama ia masih di Indonesia. Sahabatnya berpendapat bahwa Dimas merupakan
seseorang yang tidak bersikap untuk tetap netral namun malah menjadi tidak jelas
dengan arah orientasi politiknya. Ia beranggapan bahwa ia tak harus memihak pada
satu pihak manapun, walau sekelilingnya adalah orang-orang yang jelas memilih
untuk berpihak. Hal ini dijelaskan oleh kutipan di atas, bagaimana seorang Dimas
Suryo yang gemar mengkritik setiap aliran yang ia temui.

Mereka yang sudah terlalu mengenalku akan tahu, sesungguhnya aku


adalah antitesa segala yang pasti dan konstan. Apa yang dituduhkan Mas
Hananto kelak–bahwa aku tak pernah bersedia menentukan pilihan (politik
atau bahkan jodoh)–mungkin ada benarnya. Aku seperti sebuah kapal yang
enggan berlabuh selama-lamanya. Setiap kali berhenti, aku sudah gatal
untuk pergi lagi.80
Pada kutipan di atas lebih menjelaskan lagi bahwa Dimas memang sudah
terkenal dengan sikapnya yang sulit menentukan pilihan akan mengikuti suatu
pandangan politik yang mana. Ia juga menyadari bahwa hal ini akan berakibat pada
masa depannya yang tidak memutuskan untuk berpihak pada siapapun. Bukan
hanya persoalan tentang politik namun itu juga berefek pada hubungan asmaranya.

79
Ibid, hlm. 42
80
Ibid, hlm. 61
69

Aku mulai menyesali kecenderunganku untuk tidak menetapkan pendirian.


Aku gemar berlayar ke mana-mana tak keruan, ke sebelah kanan, ke
sebalah kiri, terpesona pada berbagai pemikiran tanpa ingin terjun
sepenuhnya menjadi salah satu penganut isme. Ini semua akhirnya
mengakibatkan seluruh keluargaku terjungkal ke jurang kesulitan yang
tanpa dasar.81
Sampai pada fase hidupannya yang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang
mendalam. Ia merasa sikapnya dahulu yang selalu di daerah netral berakibat fatal
dengan nasibnya serta keluarganya di masa depan. Ia beranggapan, seandainya ia
memutuskan untuk mengikuti salah satu aliran yang ada, seharusnya ia memihak
salah satu di antara beberapa pandangan politik yang ia temui, mungkin hal buruk
ini tidak akan terjadi. Ia tidak menyangka dengan dirinya yang tidak memihak akan
berujung pada takdir yang membuatnya rindu. Takdir yang membawa ia pergi jauh
dari keluarganya, serta para anggota keluarganya yang mengalami kesulitan serta
teror yang dilakukan terus menerus.

Tentu saja bukan eksil politik jika tidak ada gangguan sehari-hari. Paspor
dicabut, berpindah negara, berpindah kota, berubah pekerjaan, berubah
keularga…segalanya terjadi tanpa rencana. Semua terjadi sembari kami
terengah-engah berburu identitas seperti ruh yang mengejar-ngejar
tubuhnya sendiri.82
Dimas yang hidup dalam perasingan tentu saja selalu merasa dirinya terus
diburu. Ia harus merelakan dirinya yang kehilangan identitas selama dalam
perjalanannya melarikan diri. Ia dituntut untuk tidak boleh menetapkan tempat
tinggal dan terus menerus bersembunyi. Selama proses ini pula ia mengais sisa-sisa
identitas atau bahkan identitas baru yang bisa ia miliki. Seseorang yang hidup tanpa
identitas sama saja dengan bencana, ia tidak memiliki sesuatu yang akan membela
serta melindunginya dari segala macam masalah.

“Kami menjadi sekelompok manusia stateless. Sekelompok orang tanpa


identitas.”83

81
Ibid, hlm. 80
82
Ibid, hlm. 120
83
Ibid, hlm. 72
70

Setelah ia beberapa kali hidup berpindah-pindah dari satu negara dengan


negara yang lain, ia menetapkan untuk tinggal di Prancis dengan sahabat-sahabat
yang bernasib sama dengannya. Akibat dari perjalanan mereka yang tak tentu arah
membuat mereka kehilangan identitas. Sudah tak jelas lagi apa identitas mereka
setelah terbuang dari tanah air, dan harus menjalani hidup layaknya burung camar.

Prancis memang dikenal sebagai negara yang memeluk para pengelana


politik seperti kami dengan hangat, tapi tentu tak begitu saja kami
mendapatkan kewarganegaraan. Proses birokrasi untuk menjadi warga
negara tetap saja melalui prosedur dan persyaratan yang cukup lama dan
rumit. Tetapi untuk sementara, kami memegang apa yang disebut Titre de
Voyage atau surat perjalanan. Kami bisa ke mana saja di dunia, kecuali
Indonesia.84
Dimas datang ke Prancis merupakan negara yang mau menampung orang-
orang eks tapol, untuk itu ia berusaha mendapatkan sedikitnya kejelasan tentang
kewarganegaraan yang selama ini ia tidak dapatkan dari negara-negara yang
sebelumnya ia singgahi. Namun, hal itu tidaklah mudah. Ia harus menemui proses
yang panjang untuk sebuah identitas baru. Selama itu ia harus mengandalkan surat
perjalanan yang menjadi penopang hidupnya selama di Prancis.

Bersama Vivienne, aku mencoba lahir kembali sebagai manusia baru,


tetapi aku masih merasa ada sesuatu yang tertinggal di tanah air. Mungkin
ada hatiku yang tertinggal pada Ibu, pada Aji, mungkin juga pada Surti dan
anak-anaknya.85
Ketika ia berusaha bertahan hidup di Paris, ia bertemu dengan Vivienne
mahasiswi Sorbone yang cerdas. Ia merasakan kenyamanan saat bersama Vivienne
dan memutuskan untuk memulai semuanya dari awal. Tetapi ada perasaan janggal,
walalupun ia hidup tentram selama di Paris, ada sebagian dirinya yang
menyuruhnya untuk terus kembali ke tanah air. Ia merasa separuh dirinya tertinggal
di Indonesia. Tentu saja ia meninggalkan keluarganya, kerabatnya, serta kekasih
hatinya, Surti.

84
Ibid, hlm. 78
85
Ibid, hlm. 79
71

Sekali lagi, apa lagi yang harus kukeluhkan jika aku dikelilingi keluarga
yang sangat mencintaiku? Mengapa aku tetap merasa ada sepotong diriku
yang masih tertinggal di tanah air?86
Kutipan di atas yaitu kutipan lain yang menggambarkan bahwa Dimas terus
saja merasa kehilangan sebagian darinya. Selama ia tinggal serta memutuskan
untuk menikah dengan Vivienne, Dimas merasa bahwa ia telah dikelilingi oleh
keluarga baru yang baik, yang mampu menerima segala kondisinya. Namun, ada
saja sisi yang terus mengenang Indonesia, dan terus mengahantui dirinya dengan
kerinduan yang mendalam.

Aku ingat ketika Ayah menerima sebuah bingkisan titipan dari adiknya, Om
Aji: wayang kulit Bima dan Ekalaya. Mata Ayah berkilat-kilat. Dia
langsung menggantung kedua helai sosok wayang kulit itu di tembok ruang
tengah sembari mengatakan tokoh Ekalaya sukar dicari, karena dia bukan
tokoh utama Mahabrata. Om Aji pasti mecarinya hingga ke pelosok Solo.87
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Dimas merupakan sosok yang loyal
terhadap budaya aslinya. Walaupun ia hidup jauh dari negara asalnya, ia selalu
memberikan sentuhan Indonesia di setiap sudut tempat tinggal. Hal ini digunakan
untuk mengobati rasa rindu terhadap tanah air. Ia memasangkan salah satu tokoh
Mahabrata yaitu Ekalaya yang memiliki watak tangguh dan pantang menyerah,
yang mecerminkan dirinya pula yang pantang meyerah.

Ayah tahu, dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak
oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya. Itulah sebebanya dia
meletakkan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa
genggam bubuk kunyit di stoples kedua di ruang tamu hanya untuk
merasakan aroma Indonesia.88
Kutipan ini menjelaskan bahwa Dimas adalah seseorang yang pantang
menyerah, walaupun ia selalu ditolak kembali ke Indonesia namun rasa cintanya
terhadap tanah kelahirannya tak pernah pudar. Dengan itu ia selalu meletakan
cengkih dan kunyit untuk selalu menghirup wangi Indonesia. Sedikit mengurangi
rasa rindunya pada negara tersebut.

86
Ibid, hlm. 87
87
Ibid, hlm. 186
88
Ibid, hlm. 196
72

Di ruang tengah apartemen kami, ada Indonesia yang ditanamkan Dimas


Suryo. Dua sosok wayang kulit yang digantung di dinding: Ekalaya dan
Bima. Ada beberapa topeng yang dibawa oleh kawan-kawan yang kembali
dari Indonesia, alas batik di atas rak buku dan peta batik Indonesia di
kamar Lintang.89
Hal serupa juga dijelaskan pada kutipan di atas, bahwa Dimas selalu
menanamkan unsur-unsur Indonesia ke dalam rumahnya. Ia tidak pernah membuka
budaya yang selama ini membalut tubuhnya. Ia tuangkan sedikit demi sedikit rasa
Indonesia yang bertujuan agar putrinya, Lintang, dapat merasakan dan mengenali
bau-bau tanah yang eksotis itu.

Semula mereka kuanggap seperti burung camar yang terbang dari satu
benua ke benua lain secara berkelompok dan membangun rumah serta
keluarga di benua yang mereka tempati (sejenak). Tetapi setelah bertemu
Dimas, menikah dan membangun keluarga, aku paham, ternyata Dimas tak
pernah menjadi bagian dari kumpulan burung camar itu. Aku rasa
persahabatannya sungguh ketat dengan kawan-kawannya. Kesetiannya tak
tertandingi. Tetapi, Dimas tetap berbeda dari sekawanan burung-burung itu.
Jika yang lain, ruh Dimas tetap pada darah tempat dia lahir dan tumbuh.
Berbeda dengan burung camar umumnya, Dimas adalah burung camar yang
senantiasa ingin kembali ke tanah kelahirannya; bukan kepada keluarga
yang dibentuknya di benua sekarang.90
Seperti burung camar, orang-orang eks tapol yang menetap di suatu negara
yang asing akan selalu berusaha beradaptasi dengan tempat tinggalnya, hal ini
berlaku pada sahabat-sahabat Dimas di Prancis. Namun, hal itu tidak berlaku
padanya. Ia terus saja masih mencari kenyamanan yang tak pernah dirasa puas oleh
dirinya, ia masih terus berusaha mencari identitas yang sesuai dengan
keinginannya. Ia tak bisa menerima begitu saja kondisi nyaman yang ia dapatkan
dari keluarga barunya di Prancis. Ia tetap ingin pulang, memiliki identitas sebagai
rakyat Indonesia.

Prancis tak pernah menjadi rumah bagi Dimas. Aku sudah menyadari itu
sejak awal kami bertemu mata. Ada sesuatu yang mencegah dia untuk
berbahagia. Ada banjir darah di tanah kelahirannya. Ada le chaos politique
yang bukan sekadar mengalahkan, tetapi merontokkan, kemanusia Dimas
dan kawan-kawannya, hingga mereka harus memungut serpihan dirinya dan

89
Ibid, hlm. 213
90
Ibid, hlm. 205
73

membangun itu semua kembali agar bisa kembali menjadi sekumpulan


manusia yang memiliki harkat yang utuh.91
Hal itu dirasakan oleh istrinya, Vivienne. Vivienne merasa bahwa Prancis
bukanlah rumah bagi Dimas, bukan tempat tujuan yang selama ini Dimas cari. Ia
merasa bahwa suaminya menekan dirinya untuk merasakan kenyamanan di tempat
tinggal barunya. Ia merasa bahwa kesedihan selalu memenuhi hidup Dimas.
Kedukaan yang mendalam membuat Dimas menjadi tertutup sehingga tidak dapat
merasakan kebahagiaan yang tersedia di depannya. Rasa penyesalan serta
keinginan untuk pulang ke Indonesia tidak pernah surut, malah terus ia buru.

Dimas ingin sekali bercerita pada anaknya bahwa menetap di Paris dan
membangun keluarga bersama ibunya dalam pengasingan bukan sebuah
cita-cita yang dibangun. Bahwa Dimas tak akan pernah mengeluarkan kata
‘pengasingan’ di depan ibunya, karena bagi Vivienne: Paris adalah rumah.
Apa yang dilakukan Dimas, Nugroho, Tjai, dan Risjaf berloncatan dari
Santiago, ke Havana, lalu ke Peking untuk akhirnya mendarat di Paris,
bukan karena ingin berkelana sebagai pilihan.92
Hal ini didukung pula oleh kutipan di atas yang menjelaskan bahwa Paris
bukanlah rumah Dimas, negara romantis itu hanya rumah bagi istrinya. Ia masih
saja hidup dalam pengasingan yang terpaksa harus dijalaninya, mencari sesuatu
yang dirasa pas untuk melengkapi kekosongan hatinya. Ini bukanlah rasa
ketidakpuasan Dimas yang memutuskan untuk mempersunting Vivienne, hanya
saja rasa keputus asaan dirinya yang ingin kembali pulang ke Indonesia. Ia merasa
hanya Indonesia yang bisa mengisi ruang yang selalu tertutup dan gelap itu.

“Ayah, katakanlah, apakah Ayah masih seorang pengelana? Seorang


flâneur yang masih selalu mencari, berjalan terus, dan tak ingin berlabuh?”
Kali ini Dimas menjawab dengan jujur dan ikhlas, “Aku ingin pulang ke
rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau, bangun tubuh, dan
jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet.”93
Kutipan di atas yaitu kutipan lain yang menjelaskan tentang keinginan
Dimas untuk kembali ke Indonesia. Tempat tujuan yang ia inginkan adalah Karet,
tanah pemakaman yang berada di Indonesia. Ia ingin di akhir hayatnya ia bisa

91
Ibid, hlm. 203
92
Ibid, hlm. 278
93
Ibid, hlm. 280
74

kembali ke tanah airnya, melebur dengan tanah yang menjadi tempat asalnya.
Menemui kedamaian yang selama ini ia mimpikan, medapatkan kembali
identitasnya sebagai orang Indonesia. Ia menegaskan pula bahwa selama ia hidup
di Prancis, ia bukanlah bagian dari negara tersebut. Darah yang mengalir di
tubuhnya adalah darah Indonesia, tanah yang katanya kaya dan di huni oleh orang-
orang yang kuat. Tanah yang kental akan budayanya yang mengikat dan membuat
siapa saja terpesona. Baginya, unsur-unsur Indonesia yang ia selipkan di rumahnya,
hanya mampu membuat dirinya sedikit bertahan hidup di negeri asing, tak sanggup
untuk memuaskan keinginannya. Ia tetap ingin kembali pulang.

Akhirnya dia bersatu dengan tanah yang menurut dia “memiliki aroma yang
berbeda” dengan tanah Cimetiere du Perelacahise. Tanah Karet. Tanah
tujuan dia untuk pulang.94
Berdasarkan pada perjalanan Dimas dalam mencari identitas, pada fase
akhir hidupnya, Dimas mencapai mimpinya. Ia kembali ke Indonesia, menyatu
dengan tanah Karet yang merah. Ia berhasil mendapatkan identitasnya kembali
sebagai warga Indonesia. Dengan dikelilingi orang-orang yang dikasihinya, ia
menemukan kedamaian yang kekal. Hal ini merupakan buah manis dari kesabaran
serta kesetiannya dalam mencintai tanah airnya. Kematianlah yang membawanya
pada negara yanga sangat ia cintai, identitas yang selama ini ia cari.

3. Penemuan Identitas Tokoh Vivienne Deveraux melalui Perpisahannya


dengan Tokoh Dimas Suryo

Vivienne Deveraux merupakan wanita kewarganegaraan Prancis yang


berasal dari keluarga intelektual tinggi. Maka dari itu ia tumbuh menjadi wanita
yang cerdas, ia pernah menempuh Pendidikan di kampus Sorbone. Setelah itu ia
memutuskan menikah dan bekerja sebagai dosen di salah satu kampus yang ada di
Prancis. Ia selama hidupnya selalu memegang penuh pada nalar, bahwa manusia
hidup dan setelah itu mati, yang selalu menjalani hari dengan sederhana. Namun itu

94
Ibid, hlm. 447
75

semua berakhir ketika ia terserang yang namanya jatuh cinta pada pandangan
pertama kepada lelaki asia yang ia temui di depan kampusnya.

Aku lahir dari keluarga Laurance Deveraux yang memilih untuk mengikuti
nalar; yang percaya bahwa hidup akan selesai setelah selang pernafasan
penyangga hidup dicabut. Segala kisah tentang kehidupan setelah kematian,
untuk kami, adalah romantisme mereka yang percaya bahwa manusia
adalah mahluk immortal. Mereka ingin memperpanjang kehidupan yang
memiliki batas. Mereka tak ingin kehidupan patah dan menuju pada sebuah
ketidaktahuan. Aku percaya pada kefanaan. Aku ingin percaya bahwa suatu
hari hidupku selesai. Keluarga kami adalah deviasi dari seluruh Deveraux,
penganut agama Katolik yang mengisi hari Minggu dengan pergi ke gereja
dan makan siang bersama.95
Dari kutipan di atas, menjelaskan bahwa Vivienne hidup dengan keluarga
yang harmonis serta religius. Ia hidup dengan tatanan yang rapih, setiap peristiwa
yang ia jalani sudah tersusun atas kuasa Tuhan. Baginya kehidupan akan selelsai
suatu saat nanti.

Dengan cara berpikir seperti keluarga Deveraux, yang hidup untuk hari ini,
bekerja untuk hari ini, tentu saja dengan sendirinya aku tak percaya le coup
de foudre. Bagaimana mungkin kita bisa mencintai seseorang yang baru kita
kenal? Atau bahkan yang baru saja bertabrakan mata? Jamais.96
Kehidupan Vivienne yang terkesan monoton, yang segala sesuatunya telah
terstruktur harus mengalami sedikit perbedaan ketika rasa cinta itu muncul. Ia yang
selalu percaya pada nalar logika tentu merasa terkejut ketika peristiwa yang baginya
mustahil menimpanya, yaitu mencintai lelaki yang baru saja bertatapan dengannya.
Ia merasa ada yang aneh dengan kejadian itu, ini adalah sesuatu yang baru baginya
yang terjadi selama ia hidup.

Itu yang dikatakan Maman ketika pertama kali ia bersibobrok mata dengan
ayah di kampus Sorbone Mei 1968. Mereka selalu menceritakannya dengan
penuh sentimentalitas revolusi, kemerdekaan, keadilan, dan kebebasan.
Yang belakangan itu, menurutku, pasti soal kebebasan seks, karena sebelum
revolusi Mei 1968, aku dengar dari cerita Maman, asrama lelaki dan
perempuan di kampus di Prancis masih dipisah.97

95
Ibid, hlm. 199
96
Ibid, hlm. 200
97
Ibid, hlm. 363
76

Hal ini bermula pada Mei tahun 1968, ketika itu mahasiswa Sorbone
melakukan aksi demo untuk meminta kebijakan pemerintah tentang kebebasan dan
keadilan seluruh rakyat Prancis. Di hari itu ia menemukan sesosok laki-laki Asia
yang memiliki perawakan yang ganteng, serta ada kesan misterius di dirnya yang
ingin Vivienne sentuh. Ketika itu pula kewarasan yang dianutnya terancam hilang
hanya karena rasa cinta yang datang tanpa permisi.

Ada rasa kehilangan dalam dirinya yang ingin kuraba dan kugenggam. Ada
kesedihan di matanya yang ingin kusembuhkan. Selain itu, ada kemampuan
untuk bertahan dan terus melawan yang sungguh luar biasa. Kemampuan
bertahan dan menangkis segala badai dalam hidupnya. Meski daya tahannya
bisa sampai ke tahap obsesif. Mungkin para eksil politik dari negara mana
pun mempunyai persamaan itu: jiwa untuk bertahan yang kemudian
membuat mereka obsesif untuk menunjukkan sesuatu.98
Sosok Dimas yang ia lihat untuk pertama kalinya merupakan sosok yang
membuatnya penasaran. Baginya dari sosok Dimas inilah ia merasakan atau
menginginkan sesuatu yang berbeda dan baru pertama kali terjadi dalam hidupnya.
Dari sosok Dimas inilah ia bisa mendapatkan sebuah nilai kehidupan yang berbeda
dengan yang selama ini ia anut. Ia yang hidup dalam sebuah nalar, harus takluk
dengan kehidupan orang lain yang sering ditimpa oleh rasa sakit. Dua orang dengan
latar berbeda untuk mendapatkan suatu pelajaran dan nilai yang baru.

Dengan segera aku paham, Vivienne, seperti juga aku, adalah seorang
pengembara. Dia ingin mengetahui dan memahami berbagai macam
pemikiran yang lahir pada setiap masa yang penting tanpa harus mampir
dan berhenti untuk menikmati pesona.99
Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa Vivienne dan Dimas memiliki
kesamaan, mereka tak mudah terpesona dengan satu paham saja. Mereka adalah
pengelana, mencari sesuatu yang bisa mereka nikmati tanpa harus mereka yakini.

98
Ibid, hlm. 203
99
Ibid, hlm. 25
77

Vivienne Deveraux dan aku dengan cepat menjadi dua titik yang melekat
menjadi satu garis yang merayap, menyusuri pori-pori tubuh Paris.100
Ternyata rasa itu tidak bertepuk sebelah tangan, lelaki Asia yang bernama
Dimas Suryo itu juga merasa tertarik dengan Vivienne, sehingga membuat mereka
dekat. Hal ini membuat Vivienne tidak sungkan untuk menceritakan tentang
keiginannya serta para kawan-kawannya yang melakukan demontrasi untuk
mendapatkan kebebasan. Ceritanya sangat dipenuhi gejolak muda yang kental
dengan peberontakan, ia terus menceritakan bagaimana para pendemo semangat
dalam berjuang serta betapa keos negerinya saat itu.

Selama itu pula Vivienne tak memaksaku untuk bercerita tentang diriku.
Dia tak banyak–atau tepatnya, belum berani–bertanya tentang sejengkal dua
jengkal sejarah hidupku. Dan aku sudah tahu banyak tentangnya.101
Vivienne adalah seorang wanita yang tahu di mana batasannya saat
berhubungan dengan seseorang. Walaupun segala kisah telah ia sampaikan pada
Dimas, ia tidak mau terburu-buru untuk mengetahui sejarah tentang Dimas. Ia tidak
mau dianggap lancang jika memaksa Dimas untu menceritakan siapa dirinya yang
sebenarnya. Ia mampu bersabar untuk sementara waktu dan menyiapkan diri ketika
Dimas memutuskan untuk memulai kisah hidupnya.

Vivienne segera saja paham bahwa sikapnya yang terbuka padaku itu tidak
otomatis mendapat barter sejarah hidupku. Dia menyadari, kedatanganku ke
Paris bukan karena aku adalah bagian dari keluarga bourgeoisie yang sibuk
mengutip Albert Camus sebagai bagian dari kekenesan. Dia tahu betul, ada
sesuatu yang memaksaku berhenti dan tertahan di Eropa. Mungkin dari
caraku menghitung lembaran franc dengan hati-hati atau karena aku hanya
bisa berlama-lama di toko buku bekas tanpa membeli. Dia sungguh
perempuan yang penuh pengertian.102

Kutipan lain yang menjalaskan bahwa Vivienne merupakan seseorang yang


pengertian, ia yang sangat penasaran dengan sejarah hidupnya Dimas tidak
memaksaknya untuk bercerita tentang peristiwa yag menyebabkannya sampai di
Paris. Ia tahu bahwa Dimas bukanlah lelaki kaya yang datang ke Paris hanya untuk

100
Ibid, hlm. 13
101
Ibid, hlm. 15
102
Ibid, hlm. 16
78

menempuh pendidikan atau berlibur di negara yang cantik itu. Vivienne sadar ada
sesuatu yang yang mengerikan sehingga Dimas bisa terdampar di Paris.

“Bisakah kau menceritakan padaku? Percayakah kau padaku?”103


Pada akhirnya Vivienne berani mempertanyakan sesuatu yang sakral.
Hubungannya yang pada saat itu sudah lumayan jauh dengan Dimas memaksanya
untuk bertanya tentang sesuatu yang selama ini membuatnya penasaran. Pada
akhirnya Dimas yang merasa bahwa Viviennya sudah melebur ke dalam dirinya
memutuskan untuk menceritakan peristiwa pahit yang dialami dirinya sampai ia
harus meninggalkan tanah airnya yang membuat Vivienne banjir air mata ikut
merasakan kesedihan Dimas. Hal inilah yang dinantikan Vivienne, Dimas berani
membuka ruangan rahasia yang sebentar lagi akan dimasukinya.

Kami menikah setahun kemudian di kebun anggur salah seorang paman


Vivienne–ayah Marie–Claude–di Beaujolais, Lyon. Itulah tempat tinggal
keularga besar Deveraux. Karena kelihatannya semua anggota keluarga
mereka adalah kalangan akademis yang sangat pandai di dapur, aku sama
sekali tak berani memamerkan kemampuanku memasak. Ayah Vivienne,
Laurence, dan Ibunya, Marianne, mengajarkan kepadaku begaimana
memilih anggur (dan ini proses yang sungguh menyenangkan) dan
bagaimana mencampurkannya pada daging. Dia juga menjelaskan
mengapa mereka menggunakan anggur putih untuk pendamping makan
ikan.104
Setelah Vivienne mendapatkan sedikit informasi tentang Dimas, mereka
memutuskan untuk menikah. Seluruh keluarga Vivienne mendukung serta merestui
hubungan mereka. Bahkan ibunda dari Vivienne sangat bersimpati dengan Dimas
yang baru saja kehilangan ibu kandungnya. Dengan penyatuan kedua orang yang
berbeda negara dan budaya ini mereka mengaharapkan pernikahan ini selalu
dipenuhi kebahagiaan, terutama Vivienne yang berharap bahwa Dimas dapat
melupakan masa lalunya yang kelam dan mulai menata kehidupan bahagia
bersamanya serta menemukan sesuatu pencapaian yang baru dalam hidupnya.

Bagaimana situasinya, ada tanjakan dan ada trauma dalam kebijakan


pemberian pintu masuk bagi kawan-kawan. Karena itu, agar Dimas tak

103
Ibid, hlm. 20
104
Ibid, hlm. 84
79

terus-menerus merasa ditolak seperti Ekalaya, aku pernah mengutarakan


sudah waktunya dia menerima kemungkinan untuk tak lagi menganggap
Indonesia sebagai tempat di hari tua dan menutup mata. O Mon Diue.
Betapa aku melihat luka di matanya. Aku juga terkejut pada ucapanku
sendiri. Aku menyadari, mengucapkan sesuatu dengan nalar sering berarti
bencana. Betapa aku telah menutup cahaya kecil di lorong gelap. Dia tidak
mengatakan apa-apa, tak juga memuntahkan kekecewaan. Itu bukan gaya
Dimas. Dia hanya berdiri dan keluar ke teras, merokok. Angin musim dingin
menyerbu masuk karena Dimas sengaja tidak menutup pintu. Aku tahu aku
telah mengucapkan sesuatu yang salah. Tapi aku tidak salah.105
Nyatanya kehidupan pernikahan mereka tidaklah mulus, ada juga
permasalahan yang datang. Hal ini berawal ketika Dimas selalu berusaha untuk
kembali ke Indonesia, ia yang sangat rindu dengan Indonesia mencoba segala
macam cara agar bisa masuk kembali ke tanah airnya. Ia juga bermimpi menikmati
hari tua dan menunggu waktunya habis di tanah kelahirannya tersebut. Namun
berbeda dengan Vivienne yang menganggap bahwa usaha Dimas selalu berujung
pada kegagalan. Ia menawarkan suaminya itu untuk rela melepaskan mimpinya dan
mulai menerima bahwa Prancis merupakan rumahnya, tempat untuk menikmati sisa
hidupnya. Menurutnya yang ia katakan adalah sebuah kebenaran, tetapi itu menjadi
salah bila lawan bicaranya adalah Dimas, seseorang yang sangat mencintai negara
asalnya. Apa yang diinginkannya untuk hidup terus menerus dengan Dimas
nampaknya tidaklah mudah, ada beberapa perbedaan nilai dan pandangan hidup
yang mereka alami. Vivienne yang sangat menjunjung tinggi logikanya dan Dimas
yang selalu menikmati kebahagiaan yang semu dengan terus berharap bisa pulang
ke Indonesia.

Pembicaraan saat itu bukanlah titik yang menentukan perpisahan kami.


Malam itu hanyalah satu titik dari garis panjang yang akhirnya memaksa
kami untuk mengambil jalan masing-masing.106
Rupanya pembicaraan sensitif pada malam itu membuat hubungan mereka
merenggang. Dengan saling tetap mempertahankan pemikirannya masing-masing
membuat mereka memilih jalan yang berbeda. rupanya setelah kejadian itu, Lintang
putri semata wayang mereka, menemukan surat yang selama ini disimpan Dimas.

105
Ibid, hlm. 206
106
Ibid, hlm. 207
80

Surat itu dari wanita yang mejadi cinta sejati Dimas yang berada di Indonesia. Hal
ini membuat Vivienne berang dan akhirnya meminta berpisah dari suaminya. Ia
tidak menolerir tentang adanya perempuan lain di kehidupan pernikahannya. Saat
itu ia sadar bahwa ia tidak bisa memaksa Dimas untuk menjadi manusia dengan
identitas yang baru. Paris hanyalah tempat singgah sementara untuk Dimas, tempat
yang menjadi saksi betapa setianya seorang warga negara terhadap negaranya
sendiri. Ia sadar pula bahwa selama ini Paris bukanlah rumah bagi Dimas. Pada
akhirnya perpisahanlah yang membuat sadar siapa dirinya, ia hanyalah wanita
Prancis yang menginginkan sesuatu yang baru yang eksotis untuk ada di dalam
hidupnya, namun pada akhirnya harus merelakannya pergi. Dimas tetaplah lelaki
yang setia pada negaranya, wanitanya, serta identitas asalnya. Walaupun sudah
berkali-kali ditolak, tidak menyurutkan niatnya untuk kembali. Vivienne pun
memutuskan untuk tetap menjadi warga Paris yang baik serta menikmati perannya
sebagai ibu bagi Lintang, serta sahabat bagi Dimas, yang telah berpisah namun
masih saling mengerti dan memberikan kasih sayang yang tulus.

Berdasarkan dari analisis di atas, ketiga tokoh dalam novel Pulang karya
Leila S. Chudori sempat mengalami krisis identitas sehingga mengaharuskan
mereka untuk mencari identitas. Tokoh Lintang lahir di dalam lingkungan berbau
Indonesia yang didirikan oleh ayahnya, sehingga membuatnya sedikit mengenal
tentang budaya Indonesia, walaupun ia lahir dan tumbuh besar di Paris. Selama
hidupnya ia selalu dipenuhi rasa penasaran yang tinggi tentang identitas keduanya,
yaitu Indonesia, yang membuat dirinya memutuskan untuk datang ke Indonesia
dengan tujuan menyelesaikan tugas akhirnya. Lintang yang pada mulanya hanya
mengambil data di Indonesia, akhirnya jatuh cinta pada pesona negara tersebut.
Pada dasarnya keraguan hatinyalah yang memutuskan untuk mencari asal-usul
dirinya sehingga ia memutuskan untuk mengakui bahwa Indonesia merupakan
salah satu identitasnya, dan menjadikannya rumah untuk ia kembali. Tokoh Dimas
yang semula beridentitas sebagai orang Indonesia harus merelakan identitasnya
yang hilang karena paspornya yang dicabut, ia pun harus berkelana demi
menemukan identitas yang baru, ia memutuskan untuk menetap di Paris dan
meminta suaka politik selama ia tinggal di sana. Namun, ia adalah seseorang yang
81

memiliki sifat loyalitas pada budaya aslinya dengan selalu menaruh beberapa
barang yang mewakilkan negaranya di setiap sudut rumahnya. Sehingga ia tetap
memegang identitas asalnya walaupun kecil kemungkinan ia kembali ke tanah air.
Pada akhirnya kematianlah yang membawa Dimas pulang, bersatu dengan tanah
Indonesia yang merupakan mimpinya. Tokoh Vivienne yang besar dengan keluarga
yang selalu bersikap mengikuti nalar serta religius, membuat dirinya tidak percaya
pada cinta pandangan pertama. Namun hal itu terbantahkan ketika ia
mengalaminya, semua nalar dan kewarasannya haruslah runtuh ketika ia
berhadapan dengan sesuatu yang eksotis, misterius, yang baru ia temui. Pada saat
itulah ia merasakan sesuatu yang berbeda terjadi di dalam hidupnya. Ia merasakan
sebuah pengalaman yang belum pernah ia rasakan, sesuatu yang selalu diburunya.
Pada akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan dimas Suryo, lelaki yang
membuatnya jatuh cinta menyatukan segala pebedaan budaya demi menuju pada
kehidupan yang dan lebih baik. Namun pernikahannya tak bisa bertahan lama
karena pandangan hidup yang berbeda, sehingga mereka sepakat untuk berpisah
dan memilih jalan masing-masing. Dari perpisahan inilah Vivienne mendapatkan
keasadaran tentang siapa dirinya, ia hanyalah wanita Prancis yang menginginkan
sesuatu yang eksotis untuk bertahan di hidupnya, tetapi pada akhirnya harus
merelakannya pergi. Setidaknya ia dapat sebuah pelajaran tentang bertahan hidup
dari sosok Dimas, mantan suaminya.

4. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah

Telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa pembelajaran sastra dapat


membantu peserta didik untuk mampu mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan serta pengetahuan, dan meningkatkan kemampuan dalam berbahasa. Saat
mempelajari sastra tentunya akan dipelajari pula empat keterampilan, yang meliputi
keterampilan menulis, keterampilan membaca, keterampilan, menyimak, serta
keterampilan dalam berbicara. Sastra merupakan suatu ajaran yang merefleksi
kehidupan sehari-hari, sehingga peserta didik dapat menemukan nilai kebudayaan,
sosial, sejarah, dan yang lainnya dalam karya sasta. Salah satu karya sastra yaitu
novel, peserta didik dapat menggunakan keterampilan membaca yang akan
82

memperkaya wawasan dan pengetahuannya terhadap nilai kehidupan. Dengan


membaca karya sastra, peserta didik juga mendapatkan pengalaman tanpa harus
merasakannya. Pembalajaran sastra dengan menganalisis sebuah novel dapat
dilakukan oleh guru, guna membangun daya kreativitas peserta didik untuk
mengapresiasikan suatu karya sastra. Pemilihan novel yang mudah dipahami oleh
setiap peserta didik merupakan kelebihan dalam pelajaran sastra, sehingga
meminimalisir peserta didik tertinggal materi, serta mampu mencapai tujuan
pembelajaran dengan baik.

Analisis tentang pencarian identitas tokoh Lintang Utara, Dimas Suryo, dan
Vivienne Deveraux dapat diimplikasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra di
sekolah. Novel ini menitikberatkan pada aspek sejarah, sosial, dan pengetahuan
yang bertujuan untuk memahami struktus kaidah di dalam novel. Kaitannya dengan
novel Pulang karya Leila S. Chudori ini yaitu guru dapat memberikan sebuah
rujukan kepada peserta didik untuk membaca dan memahami proses pencarian
identitas tokoh Lintang, Dimas, dan Vivienne.

Perjalanan selama mencari sebuah identitas tiga tokoh dalam novel ini dapat
direfleksikan ke kehidupan peserta didik. Hal ini, karena ketiga tokoh novel ini
sempat mengalami kesulitan dalam mengidentifikasikan dirinya, mereka selalu
dihantui rasa bingung akan jati diri mereka yang sebenarnya. Seperti tokoh Lintang
yang merupakan anak dari perkawinan dua negara yang berbeda harus memburu
jati dirinya yang sebenarnya, tokoh Dimas yang harus berpindah-pindah tempat
tinggal sehingga membuat identitas yang dimilikinya hilang, serta tokoh Vivienne
yang terpesona dengan sesuatu yang baru, yang ia temui dalam sosok Dimas,
sehingga membuat dirinya penasaran yang ada pada lelaki Indonesia itu.

Selain itu, dalam meneliti novel peserta didik diharapkan mampu


menganalisis dan menjelaskan bagaimana proses percarian identitas tiga tokoh pada
novel yang telah dibaca, yaitu dengan cara berpartisipasi langsung dalam
menganalisis. Hal ini bertujuan agar peserta didik dapat memahami cara mencari
identitas atau jati diri sehingga tidak salah langka yang menyebabkan
penyimpangan. Fase ini merupakan fase yang sangat penting, yang pasti akan
83

dilalui oleh peserta didik. Maka dari itu materi serta bimbingan dari guru di sekolah
sangatlah penting. Dari ketiga tokoh ini juga memberikan contoh dan pengalaman
yang tidak harus dirasakan oleh peserta didik.
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
1. Tiga tokoh dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori sempat mengalami
krisis identitas sehingga mengaharuskan mereka untuk mencari identitas.
Tokoh Lintang lahir di dalam lingkungan berbau Indonesia yang didirikan
oleh ayahnya, sehingga membuatnya sedikit mengenal tentang budaya
Indonesia, walaupun ia lahir dan tumbuh besar di Paris. Selama hidupnya ia
selalu dipenuhi rasa penasaran yang tinggi tentang identitas keduanya, yaitu
Indonesia, yang membuat dirinya memutuskan untuk datang ke Indonesia
dengan tujuan menyelesaikan tugas akhirnya. Lintang yang pada mulanya
hanya mengambil data di Indonesia, akhirnya jatuh cinta pada pesona negara
tersebut. Pada dasarnya keraguan hatinyalah yang memutuskan untuk
mencari asal-usul dirinya sehingga ia memutuskan untuk mengakui bahwa
Indonesia merupakan salah satu identitasnya, dan menjadikannya rumah
untuk ia kembali. Tokoh Dimas yang semula beridentitas sebagai orang
Indonesia harus merelakan identitasnya yang hilang karena paspornya yang
dicabut, ia pun harus berkelana demi menemukan identitas yang baru, ia
memutuskan untuk menetap di Paris dan meminta suaka politik selama ia
tinggal di sana. Namun, ia adalah seseorang yang memiliki sifat loyalitas pada
budaya aslinya dengan selalu menaruh beberapa barang yang mewakilkan
negaranya di setiap sudut rumahnya. Sehingga ia tetap memegang identitas
asalnya walaupun kecil kemungkinan ia kembali ke tanah air. Pada akhirnya
kematianlah yang membawa Dimas pulang, bersatu dengan tanah Indonesia
yang merupakan mimpinya. Tokoh Vivienne yang besar dengan keluarga
yang selalu bersikap mengikuti nalar serta religius, membuat dirinya tidak
percaya pada cinta pandangan pertama. Namun hal itu terbantahkan ketika ia
mengalaminya, semua nalar dan kewarasannya haruslah runtuh ketika ia
berhadapan dengan sesuatu yang eksotis, misterius, yang baru ia temui. Pada
saat itulah ia merasakan sesuatu yang berbeda terjadi di dalam hidupnya. Ia-

84
85

merasakan sebuah pengalaman yang belum pernah ia rasakan, sesuatu yang


selalu diburunya. Pada akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan dimas
Suryo, lelaki yang membuatnya jatuh cinta menyatukan segala pebedaan
budaya demi menuju pada kehidupan yang dan lebih baik. Namun
pernikahannya tak bisa bertahan lama karena pandangan hidup yang berbeda,
sehingga mereka sepakat untuk berpisah dan memilih jalan masing-masing.
Dari perpisahan inilah Vivienne mendapatkan keasadaran tentang siapa
dirinya, ia hanyalah wanita Prancis yang menginginkan sesuatu yang eksotis
untuk bertahan di hidupnya, tetapi pada akhirnya harus merelakannya pergi.
Setidaknya ia dapat sebuah pelajaran tentang bertahan hidup dari sosok
Dimas, mantan suaminya.

2. Analisis tentang pencarian identitas tokoh Lintang Utara, Dimas Suryo, dan
Vivienne Deveraux dapat diimplikasikan dalam pembelajaran bahasa dan
sastra di sekolah. Peserta didik diharapkan mampu menganalisis dan
menjelaskan bagaimana proses percarian identitas tiga tokoh pada novel yang
telah dibaca, yaitu dengan cara berpartisipasi langsung dalam menganalisis.
Hal ini bertujuan agar peserta didik dapat memahami cara mencari identitas
atau jati diri sehingga tidak salah langkah yang menyebabkan penyimpangan.
Fase ini merupakan fase yang sangat penting, yang pasti akan dilalui oleh
peserta didik. Maka dari itu materi serta bimbingan dari guru di sekolah
sangatlah penting. Dari ketiga tokoh ini juga memberikan contoh dan
pengalaman yang tidak harus dirasakan oleh peserta didik.
B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian serta impilkasinya terhadap


pembelajaran bahasa dan sastra, maka penulis menyarankan:

1. Penelitian ini dapat memperluas pengetahuan tentang sastra Indonesia,


khususnya pembelajaran Bahasa dan Sastra di sekolah mengenai unsur
intrinsik novel.
2. Peserta didik dapat lebih mengerti proses pencarian identitas dengan tokoh
di dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori senagai contohnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. “Leila Selalu Ingin Pulang”. Dalam tautan //http:www.dw.de/leila-yang-selalu-


pulang/a16821309, diunduh pada 10 Agustus 2018
Anonim. “Leila S. Chudori Ingin Mengenggam Dunia”. Dewi NO. 112
Anonim. “Leila S. Chudori”. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/, diunduh pada 9 November
2018
Alwasilah, A. Chaedar. Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya. 2000
Chudori, Leila S. “Mempermainkan Rasa”. Jakarta: Majalah Mode. 1990
. “Tentang Leila”. Dalam http://www.leilaschudori.com/about-me/, diunduh
pada 3 Sepetember 2018
. Malam Terakhir. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1989
. Pulang. Cetakan kedua. Jakarta: PT Gramedia. 2012
Downes, Meghan. Leila S. Chudori: Khatulistiwa Award Winner’s Commitment To The
Writing Process, dalam tautan http://www.thejakartapost.com/, diunduh pada 4
September 2018
E., Kosasih. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya. 2012
Endraswara, Suwardi. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress, 2008
Fananie, Zainuddin, Telaah Sastra. Cetakan kedua. Surakarta: Muhammadiyah Unifersity
Press. 2001
Hendrian, Dedi. “KPAI Sebut Ada Dua Faktor Penyebab Siswa di Kendal Bully Guru”,
dalam http://www.kpai.go.id/berita/kpai-sebut-ada-dua-faktor-penyebab-siswa-di-
kendal-bully-guru diunduh pada 19 Juni 2019
Hoirunisa, Holida. “Analisis Tokoh Lintang dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori
dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”, Skripsi Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri, Jakarta: 2015
Muhammad, Dio. “Nilai Sejarah dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, Skripsi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri, Jakarta: 2015
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkaji Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Pres.
2013Nugraha, Fajar Briyanta Hari. “Nilai Moral dalam Novel Pulang Karya Leila
S. Chudori”, Skrispi Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
2014
Nugraha, Fajar Briyanta Hari. “Nilai Moral dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori”,
Skripsi Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta Yogyakarta. 2014
Parekh, Bhikhu. Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik.
Yogyakarta: Kanisius, 2008
Pujiharto. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2012
Pradipta, Aditya Doni. “Konflik Politik dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori:
Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di
SMA”, Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unversitas
Muhammadyah Surakarta. 2014
Piranti, Annisa Sylvia, Lisda Liyanti. “Pembentukan Identitas Tokoh Ich Melalui Konsep
Selbstdarstellung Dalam Novel Literatur Populer Soloalbum Karya Benjamin Von
Stuckrad-Barre”, Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. 2013
Rizal, Ray. “Saya Tak Percaya Pada Bakat”. PDS H.B Jassin. 1988
Setyawan, Davit. “KPAI: PPTRA Tekan Angka Kenakalan Remaja”, dalam
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-rptra-tekan-angka-kenakalan-remaja diunduh
pada 19 Juni 2019
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Malang: Aditya Media Publishing. 2013
Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan oleh Panuti Sudjiman. Cetakan kedua.
Jakarta: Pustaka Jaya. 1991
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. 2005
Sulastri, Euis dkk. Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional. 2008
Sumardi, Mujianto (Ed). Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Cetakan pertama. Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo 1992
Strauss, Anslem & Juliet Corbin. Dasar-dasar penelitian kualitatif. Yogyakarata: Pustaka
pelajar. 2003
Tarigan, Hanry Guntur. Pengajian Gaya Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa. 2013
WS, Hasanuddin. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu Bandung. 2009
Yudistyanto, Uky Mareta. “Pendekatan Sosiologi Sastra, Resepsi Sastra dan Nilai
Pendidikan dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori”, Masters Thesis
Universitas Sebelas Maret, Surakarta: 2013
Zarita, Aksinta Ken. “Repertoire dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Kajian
Respons Estetik Wolfgang Iser”, Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret, Surakarta: 2016
KEMENTERIAN AGAMA ootumLn : -FtTK-FnIxo-o6i
,iar UIN JAKARTA
FITK FORM (FR)
Revisi: r
No.
Tgl.Tebit : t ttlare.t ZO1O
rlJtlll Jt- t. H. l@rta Na 9s ci.utat 15412 t,fude
No. 01
Hal 111

SURAT BIMBINGAN SKRIPSI


Nonror :B l83l1lri/KN1.0l.ltl t.120tE Jal(ada. l4 November 2018
Lirnp
ilxL : Binhingai Sktipsi

Kep.rda Yth.,

Ahmnd Bahtiar. M, Hum.


Pcmbimbing Skripsi
FakLrlras I|nu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif I lida) alullah
Jrknna

1s,;qItnu aIuikunt 111.. Iltb


DeDgan ini diharapkan kcsediaan Uapak untuk menjadi pembinlbinB (maleriheknis)
pcn!lisau skripsi ntahasiswal

Nama Ajerg Pefii\\iK.S


NIM llt40t'10000018
.lurusan Irefdi.LikeLr Ilahusr dan Sirsiru lnLlonesia

\ Ill(Dcl!panl
Judul Skripsi "]lultiliulturul d1llam Nolel Pultng K^tJ,t\ Leil.r S. Chudori
dan Implikasioya terhadap pembelajaran Bahasa atan Sastra
di Sekolah"
Judul. tersebut telah disetujui oleh Jllrusan yang bersangkuian pada tanggal 16
Marct 2018, abstraksi/orrl/re terlanrpir. Saxdara dapal rnelaklrkan perllbahan redaksional
pada judul tersebut. Apabila perubahan substansial diarggap perlu, mollon pembimbing
rienghubungi Jurusan tcrlebih dahulu

i|i diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulau, dan dapat


Bimbingan skripsi
diperpaniang selama 6 (enafi) bulaD berikutllya tanpa surat perpanjangan.

Atas perhatiaD dan kerja sa,na Saudara, kami ucapkan terima kasih.

l4/u.s.; a l a n tt a l er i ku n y, r. y, b.

Sut}nki, M, Hum.
5 200901 I 0t5

l. Dcl(an FITK
I Kairr PBSI
Sekolah : SMA Negeri 1 Parung
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : XII / Genap
Materi Pokok : Analisis Teks Novel dan Unsur Intrinsik
Alokasi Waktu : 1 Minggu x 4 Jam Pelajaran @45 Menit

A. Kompetensi Inti
1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
2. Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
peduli (toleransi, gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun,
responsif, proaktif, dan percaya diri sebagai bagian dari solusi atas
berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan
keberadaannya.
3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik
sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. Mencoba, mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret
(menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat)
dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan
mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah secara mandiri
dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang atau teori dengan
menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.
B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK)

Kompetensi Dasar Indikator


3. 19. Menganalisis teks novel baik Mampu mengindentifikasi unsur-unsur
melalui lisan maupun tulisan. intrinsik yang terkandung dalam novel.
4.19. Menjelaskan unsur-unsur Mampu menganalisis unsur-unsur
intrinsik dalam novel. intrinsik novel, meliputi tema, latar,
tokoh, alur, sudut pandang, gaya
bahasa, dan amanat.
5.19. Menemukan proses pencarian Mampu menemukan proses pencarian
identitas dalam novel Pulang karya identitas tiga tokoh dalam novel Pulang
Leila S. Chudori karya Leila S. Chudori.

C. Tujuan Pembelajaran
Selama dan setelah mengikuti proses pembelajaran ini peserta
didik diharapkan dapat mengidentifikasi unsur intrinsik dan menemukan
proses pencarian identitas dalam novel. Peserta didik juga mampu menjadi
insan yang memiliki kemampuan berbahasa dan bersastra untuk menggali
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan menerapkan secara kreatif dalam
kehidupan sosial.
D. Materi Pembelajaran
1. Analisis teks novel
2. Unsur intrinsik dan proses pencarian identitas
3. Hasil menyunting penggalan teks novel berupa unsur intrinsik dan analisis
pencarian identitas.
E. Metode Pembelajaran
Pendekatan : Scientific Learning
Model Pembelajaran : Discovery Learning
Metode : Tanya Jawab, Diskusi dan Penugasan
F. Alat, Media dan Sumber Belajar
1. Alat
➢ LCD Proyektor
➢ Notebook
2. Media
➢ Power Point materi tentang puisi rakyat
➢ Email
➢ Novel Pulang karya Leila S. Chudori
3. Sumber Belajar
➢ Buku teks Bahasa Indonesia SMA/SMK/MA/MAK Kelas XII Edisi
Revisi. 2017. Jakarta: Kemendikbud.
➢ Buku refensi yang relevan,
➢ Lingkungan setempat
G. Langkah-langkah Pembelajaran
Pertemuan
Pertama
Kegiatan Deskripsi kegiatan Alokasi
waktu
Pendahuluan Orientasi 10 menit
1. Pendidik melakukan pembukaan dengan salam pembuka dan
berdoa untuk memulai pembelajaran.
2. Pendidik mempersiapkan peserta didik dalam pembelajaran dengan
menanyakan kabar, dan memeriksa kehadiran peserta didik sebagai
sikap disiplin.
Appersepsi
3. Pendidik mengaitkan materi pembelajaran yang akan dilakukan
dengan pengalaman peserta didik dengan materi sebelumnya,
4. Pendidik mengingatkan kembali materi dengan bertanya.
Tujuan dan Motivasi
5. Pendidik memberikan informasi tentang kompetensi dan tujuan
juga manfaat pentingnya mempelajari analisis teks novel, unsur
intrinsik serta mengidentifikasi proses pencarian identitas dalam
novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya dalam
kehidupan sehari-hari.
6. Pendidik memotivasi peserta didik mengenai pentingnya
mempelajari materi yang sedang diajarkan.
Pemberian Acuan
7. Pendidik memberitahukan materi pelajaran yang akan dibahas
sesuai rpp.
Kegiatan Inti Mengamati 60 menit
8. Peserta didik diminta untuk memperhatikan dan mencermati LCD
proyektor yang berbentuk power point yang berisi teks novel yang
berkaitan dengan unsur intrinsik novel.
9. Peserta didik menemukan proses pencarian identitas dalam novel.
Menanya
10. Pendidik memberikan kesempatan pada peserta didik untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin pertanyaan yang berkaitan
dengan materi yang disajikan melalui power point dan akan dijawab
melalui kegiatan.
Membimbing Penyelidikan Individu dan Kelompok
11. Pendidik membimbing peserta didik untuk menentukan:
a. Analisis teks novel
b. Unsur-unsur intrinsik
c. Mengidentifikasi proses pencarian identitas dalam novel
Pulang karya Leila S. Chudori
12. Pendidik meminta kepada setiap kelompok untuk
mempersentasikan hasil diskusi di depan kelas terhadap analisis
unsur intrinsik novel dan proses pencarian identitas tiga tokoh dalam
novel Pulang karya Leila S. Chudori melalui LCD Projektor yang
berbentuk power point
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
13. Pendidik dan peserta didik secara bersama-sama meluruskan
pembahasan yang sudah didiskusikan sebelumnya.
14. Pendidik memberikan penghargaan (pujian) kepada seluruh
peserta didik yang telah berusaha belajar semaksimal mungkin pada
saat pembelajaran berlangsung.
Penutup 15. Pendidik melakukan refleksi, misalnya mereview bagian mana 10 menit
yang perlu dijelaskan lebih lanjut.
16. Peserta didik dibantu oleh pendidik membuat kesimpulan tentang
materi yang telah dibahas hari ini.
17. Pendidik memberikan tugas kepada peserta didik untuk
mengungkapkan pengalamn kehidupan sebagai pembelajaran yang
terkandung dalam sebuah novel.

H. Penilaian
1. Teknik/jenis : tugas individu/kelompok
2. Bentuk instrumen : pengamatan sikap, tes tertulis, pekerjaan
rumah

a. Penilaian sikap

No Nama Aspek sikap yang dinilai

Ket
Bertanggung Percaya Disiplin Jujur
Berani Sopan
Jawab Diri

1.

Jumlah
b. Penilaian Pengetahuan

Diskusikanlah proses pencarian identitas tiga tokoh yang terdapat


dalam novel beserta unsur instrinsiknya!

Parung, 5 Maret 2018

Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia

H.Ikhwan Sertiawan, S. Pd Ajeng Pertiwi KS


NIP. 19640824 198811 1001 NIM.11140130000028
Lcmbar Uji Rcfcrensi

Nama Ajong Peftiwi KS


NL\l 1 1 140130000018
Jurusan Pct'tdiclikan Bahasa dar Sastr-a Indoncsla
llirkultas Ilmu Talhiyah dan KceutLrnl
.Tudul SkLipsi llencalian ld.lrtitus drlrnt No|cl Prrlrrrrg K.rrvl Lcila S. Chudorr scrla
Implikasinya Terhadap penrbelajaran Bahasa daD Sastra di Sekolah
Doscn Pembinbirg :Ahmad Bahtiar. M. Hum..

No. Identitas Btku Halanan I{alaman Paraf


Buku Skripsi
I A11onim. "Lei1a Selalu Ingin Pulang". Da)am tautan 36
r,4tttp:www.dw.de/ieila-yang-selalu-
pulang/al68213 09, diunduh pada 1O Agustus 2018
A
2. Anonim. "Leila S. Chudori IngirMengenggam Dunia" ,:2
Dewi NO. I 12. o
,/)
Anonim. "Lei1a S. Chr.rdor.i,'. Badan pengembaDgiin clarl 32. 33
PenbiDaan Bahasa I(ementeriaD pendidikan dan
Kebudayaan. I)al,rnr
http:,,badr11bahasa.kemrllkbud.gr].idihDLlf
diunduh pilda 9 \o\embcr 201I
b hasa,.
,z
1. Alwasilah, A. Chaedar. Pokaknyd KualitctLif: Dasar-dasar 111 6
Merdncofig dal1 Melakukan Penelitiatl Kualitatif.
Jakafia: Pustaka Jaya.2000

5. Chudod, Leila S. "N,lempemainkan Rasa,.. Jakarta: Majalah 34


Mode. 1990
. "Tentang I-eila" Dalarn 33, 34,36
9
Irttp r, i rvrvrr .lcilaschudori.com/ about-mci.

pada 3 Sepetcruber 2[tl E


diunduh
A
7. Malan 'I crakhir. Jaknfia: Pustaka Ulaltla 35
Grafiti. 1989
h
8. . Palang. Cctakau kedua. Jakarta: PT Gramedia. 38, 39,
10. 1-1, 40. 41,
15. 16. 42, 43,
17. 20. 46, 4',7,

25, 2E, 48, 49,


II, _17. 50, 51,
t3. .1t. 52, 53,
11. 5r. 54, 55,
61. ',71.
56, 5',7,
7E. i9. 59,
ll0. 3.+. 60, 61,
85, 37. 62, 63,
95, 10,1. 64, 65,
t)5 tt) 66, 67,
Ill, I15. 68, 69,
I37. l'+1. 10, 11,
1,1i. 1,1.1. '12, 13,
t -il- I53. 71, 15,
1-i 5. L6t. 76, '/'1,
16.i. I65. 78.79
16,-. 1S0.
13i. 13.,1.

I 35. 195.
196. 199.
100.201.
205.206.
20t, 2l l.
2.16. l5l.
25(,.2iS.
21) l. IiS.
2110.286.
10.1. 105.
-: L 5. l6l,
,101. .10-1.
,105..114.
-!rt Ji,
,140. ,1,11
,

112. 417,
'1.19
9. Daniyati, Ester. "Perjalaiai Pencar-ian Jati l)iri lokoh Kim 30

dalam Novcl ,(i/71 Kar)a Rudlard Kipling , Skripsi


Fakultas llmu Budava Unir cr-sitrs Diponcgorrr

10.
Semarang.2010

Do\\rcs, N,lcgharr. l,cilo S. (;ludori Khuntlisrrtu .^unl 37


z
Win er's Cotl litfiefit To The Wriling Ptucess, dalafi
tautan httpi//www.thejakafiapost.con]/, diunduh pada
4 September 201E
E
lt 60, 11,

t2.
E,, Kosasih. Dasar-dasar Keterampilan Bersastl-a. Balldung:

Y.ama Widya. 2012

Endraswara, Suwardi. Metode Penelitian Psikologi Srrst/o.


'7 t,'12
69,
19,
18,
20 l)
4
:l

Yogyakarra: Medlress, 2008


13. Fananie, Zainuddin, feladh Sastra. C elakankedua. S].rrakarlx: E4,85 1t

14.
Mlhammadiyah Unifersity Press. 2001

H endrian, Dedi- "KPA1 Sebut Ada Dua Faktor Penyebat'r )


A
Sisrva di Kendal Bully Guru", dalan,

http://www.kpai.go.id/be trkpai-scbut-ada-dua-
faktor-penyebab-siswa-di-kendal-bui1y-guru dlunduh A
pada 19 Juni 2019

15. Hoirunisa, Holida. "Analisis Tokoh Liniang dalam Novel 29

Ptrlang Karya Leila S. Chudori dan lmplikasinya


Terhadap Pembelajaran Sastm di SMA". Skrlpsi
Fakultas Ilmu Talbiyah dan Kegurran Universitas
Islam Neged, Jakarta: 2015

16. Muhammad, Dio. "Nilai Sejarah dalam Novel PulangKarya 28

Leila S. Chudori dan Implikasinya Terhadap


Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia", Skripsi

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas


A
Islam Nege , Jakarta:2015
).'t. Nurgialrtoro, tsurhan. Tcori Pen.qkaji liksi. Yogvakarta: 118-1i9 8, 9, 10,

Gajah l\4ada Univelsity 1']res. 2011 11, t2,


2t- 28
13, 11,
30, t22 15, 16,
17, 18, 19
20t -2t'7 ,

24',7

258

258-2',7 5,
302

302-309
a
359-360

1t. Nugraha. Iajar Briyanta Hari. "l.liiai Moral dalam Novel 28

Pulang Karya Leila S. Chudori", Skrispi Fakultas


Bahasa dan Seri Uni.rersitas Neger i Yogyakafla. 2014 h
19. Paleklr, Bhikhu, Ra*lnki g l,ILiticultu'alistn Kebcragatnan 210, r. 21 21, 22.
Budaya dan Teori Politilc- Yogyakata: Kanisius, 212-213. 24
21E, 219-
2008
224, )21-
22 ,-
A
)0. Pnj1hafio. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakafia: Penerbit 32 11

Ombak.2012
,)o
)t. Pradipta. Aclit)a Doni. 'Konflih Politik dalam Novel P /.7rg
Karya Leila S. Chudori: llinjauan Sosiologi Sastla dan

hnplementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA",


Skipsi Fakultas Kcgurran dan Ilmu Pendidikat
Unversitas Muhammadyah Sulakafta. 20i4
h
22. l'rranti. Almisa S\lvia, Lis.la Li)anti. 'Perrbcutukan 2

l.lcntitas Tokoh Ich l\fclalui Konsep Selbstdalstellung


Dalanr Novcl Lilclrlur Populer Soloalbunr Kar)a
\
Bedaltin Von Stuckr-ad-Barrc-. Jurrral lakulias lllnu
Budaya UDiversrtas hrdonesia. 20 I3

23. Ilizal. lta].'Saya Tak Petcaya PadaBakat . PI)lj ILB Jassin. 3,1

1988.

)1. Setyawan, Davlt. "KPAI: PPTRA Tekan Aigka Kenakalan )


A
Rernaja". dalam http://wrvrv.kpai.go.id/berita/kpai-
rptra-tekan-angka-kenakalan-remaja diuDduh pada 1 9
Jlni 2019 ff
25. Sisuanlo, \\ialiyurdi. P?ngdntLtr l.ari So\tt-u \'lalang: Aclitla t44, t29, t4, 15,
a
lvlcdia Publlshing. 20l -i
13t,212 I 15
,4
('et'it llrkdan olL,h Punuti
l-
26. Sudlinran. Penutr. ,\Icntahanti ,19, 51 1',|,20
J-r/i1lilr.1/r a etilkiln kcdue. Jrkirta: PustakaJava. 1991

21. S.tgryono. )tlemalnmi Penelitian KualitaLi.f. Ba:odung: CV 19

A1fabeta.2005 ,<
Sulast . E,ris dkk. Bahasa dan Sastta [lldonesia. lakarta Iv 25

Pusat Perbukuan Depaitemen Pendidikan Nasionai


2008
A
)9 Sumardi, Mujiento (Ed). Berbagai Penclekatan dalam l9E-201 26

Pengdjarun Balmsa dan Sarlra. Cetakan peftarna.


Jakada: PT. Midas Surya Grafindo 1992
\
t0

31
Strauss, Anslem & Juliet Corbi.. Dasar dasar penelitian
lcualtatd Yogyakarata: Pustaka pelajar. 2003
Taligan, Hanry Cul7l$t- I'engajian aiala Ballasa- Bal,drng,
.1-5

I
6

19
I
Pe,. r.b , qr gl,:.a. '01 ' \

12. WS, Hasanuddin. Ensiklopedi Sdstta Indonesio. Bal1dung, 555,556 32

li.
Titiall ilmu Bandung. 2009
Yudistyanto, Uky Mareta. "Pendekatarl Sosiologi Sastra, 28
fi
Resepsi Saska dan Nilai Pendidikan dalam Novel
Pulang Karya Leila S. Chudori", Masters Thesis 4
Universitas Sebelas Maret, Surakarta: 2011
31. Zarita, AksiDta Ken. Repertoire dalarn Novcl Puldrg Kalya 29
Leila S. Chudoll: Kajian Respons Esletik Woltgang
lser". Skripsi Fakullas Sastla dar Scni
Unirelsitas Scbclas NIarct. Surakmta: f016
Rupa

a
Jakaita. Juli 201!)
Pelnbimbilig

Ahrrad Bahtier. \f ll!Lt11.


NIr. 197601 131009121002
RIWAYAT PENULIS

Ajeng Pertiwi Kartika Sari, lahir di Jakarta pada 01 Februari 1996. Anak
bungsu dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sularjo dan Ibu
Supiyati. Ajeng Pertiwi Kartika Sari yang akrab disapa Ajeng ini
memulai pendidikannya di RA (Raudhatul Athfal) Yapia Parung, lulus
pada tahun 2002. Kemudian melanjutkan pendidikannya di SDN Waru
02 Parung, lulus pada tahun 2008. Selanjutnya, ia melanjutkan
pendidikan pada jenjang berikutnya, yaitu di SMPN 01 Parung, lulus
pada tahun 2011. Ia melanjutkan pendidikannya di SMAN 01 Parung,
lulus pada tahun 2014. Setelah itu, ia meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi, yaitu di
UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan memilih jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai