Ditujukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
11140130000028
JAKARTA
2019
PENCARIAN IDENTITAS DALAM NOYEL PULANG KARYA LEILA S.
CIIUDORI SERTA IMPLIKASINYA TERAADAP PEX{BELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguman
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana pendidikan (S.pd.)
Olch:
ii i i(r i:J00110t,zli
Dosen Pembimbing
NIP. 197601182009121002
1'erguji l
I'crrguji lI
liosida Erownti. \I.Hum. .tl/:.t.(.1:tl
NIP. 19771030 200301 2009
Mengetahui,
Dekar Fakultas Iimu Tarbiyah dan I(eguruan
2001
SURAT PERNYATAAN K,A.RYA ILMIAH
NIM ll I.101i000002t
Jwusan 1'el1dic]ikan Bahasa dan Sastra Irrdonesia
^!ama
l'crrbimbing : Ahmad Rahtier. l\{.FILLtn.
Dcrrrikiiul sural pernlataarl ini sa,va burt dengan sesungguhnya dan saya srrl) rt(rclntii
segala korsekLrensi rpabila tcrbukti behwa skripsi ini bUkal hasil karya sc did.
Yang menyatakan
i
ABSTRACT
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan
karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
pendidikan. Judul skripsi ini adalah “Pencarian Identitas dalam Novel Pulang
Karya Leila S. Chudori serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra di Sekolah”.
Skripsi ini dapat terselesaikan berkat bimbingan, doa, motivasi, dan bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan dalam proses
penyusunan skripsi.
3. Ahmad Bahtiar, M. Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, nasihat, dan
motivasi kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi.
4. Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang bermanfaat selama masa perkuliahan.
5. Orang tua dan keluarga peneliti yang selalu memberikan doa, bantuan,
dan motivasi kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi.
6. Tiga Pilar Pemimpi: Tiara Amelia dan Khansha Fauziah, yang selalu
memberikan motivasi dan meluangkan waktunya dalam proses
penyusunan skripsi.
7. Sri Ayu K. dan Viqi Ramadhan teman seperjuangan selama masa
bimbingan skripsi.
8. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas A 2014
atas kebersamaannya selama masa perkuliahan.
iii
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menyadari masih banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan
saran yang membangun agar peneliti dapat lebih baik lagi dalam membuat karya
ilmiah. Peneliti juga mengharapkan skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada
pembaca, khususnya mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakarta,
Februari 2019
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK .................................................................................................................................. i
ABSTRACK ................................................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................iii
DAFTAR ISI................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
B. Identitas ........................................................................................................................ 20
1. Komunitas Budaya ................................................................................................. 21
2. Loyalitas pada Kebudayaan ................................................................................... 22
3. Keanekaragaman Budaya....................................................................................... 23
BAB V PENUTUP.................................................................................................................. 84
A. Simpulan ...................................................................................................................... 84
B. Saran ............................................................................................................................ 85
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencarian identitas atau jati diri ini merupakan kebutuhan yang harus
dipenuhi oleh masing-masing individu, dengan pencarian inilah seseorang dapat
dikenal serta dapat diakui di dunia ini. Identitas merupakan hal penting, dari sinilah
manusia dapat menentukan ingin jadi apa ia selama hidup di dunia, dan memenuhi
tuntutan kehidupan. Namun, Pencarian jati diri masih persoalan yang pelik di
Indonesia, banyak anak-anak remaja yang dalam proses mencari identitas
menempuh jalan yang salah. Hal ini dapat difaktori oleh lingkungan tempat tinggal
yang tidak baik, pergaulan teman-teman yang menjurus ke arah negatif, kurangnya
perhatian dari orang tua, serta mengalami krisis identitas. Sehingga terjadilah
kenakalan remaja. Kenakalan ini sering terjadi di rumah, bahkan di sekolah.
Walaupun sekolah-sekolah sudah menyediakan bimbingan konseling untuk para
peserta didik, namun penanganan masih belum memuaskan, terbatasnya guru
konseling di setiap sekolah dan tidak adanya dukungan dari keluarga serta
lingkungan, hal ini tidak berdampak sama sekali terhadap kehidupan remaja-remaja
tersebut.
1
2
Selain terjadi dalam kehidupan nyata, persoalan tentang pencarian jati diri
ini juga dimuat dalam beberapa karya sastra, yaitu pembentukan identitas tokoh Ich
dalam novel Literatur Populer Soloalbum karya Benjamin Von Stuckrad-Barre,
pada penelitian ini berfokus pada pencarian identitas diri tokoh ich dalam buku ini
berlatar belakang hancurnya hubungan cinta tokoh ich sehingga muncul berbagai
konflik yang membuatnya mempertanyakan bagaimanakah konsep dirinya.3 Hal ini
karena karya sastra merupakan cerminan dari kehidupan nyata, karya sastra tidak
mungkin berdiri dengan ruang kosong. Kehidupan bahkan persoalan yang ada di
1
Davit Setyawan, “KPAI: PPTRA Tekan Angka Kenakalan Remaja”, dalam
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-rptra-tekan-angka-kenakalan-remaja diunduh pada 19 Juni
2019
2
Dedi Hendrian, “KPAI Sebut Ada Dua Faktor Penyebab Siswa di Kendal Bully Guru”, dalam
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-sebut-ada-dua-faktor-penyebab-siswa-di-kendal-bully-guru
diunduh pada 19 Juni 2019
3
Annisa Sylvia Piranti, Lisda Liyanti, “Pembentukan Identitas Tokoh Ich Melalui Konsep
Selbstdarstellung Dalam Novel Literatur Populer Soloalbum Karya Benjamin Von Stuckrad-Barre”,
dalam http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-11/S52439-Annisa diunduh pada 19 Juni 2019
3
Selanjutnya ada novel Pulang karya Leila S. Chudori, novel ini sangat
kental akan unsur sejarah dan politiknya, namun terdapat pula permasalahan
identitas yang dialami para tokohnya. Novel yang menceritakan tentang kehidupan
eksil politik yang harus meninggalkan tanah airnya, dan harus bertahan di negeri
asing ini, menyimpan beberapa persoalan yang dialami para tokohnya. Misalnya,
tokoh Dimas Suryo yang terus merasa bahwa identitasnya sebagai warga Indonesia
harus rela tidak diakui oleh negara kelahirannya sendiri. Ia yang akhirnya tinggal
di Perancis, merasa bahwa negara itu bukan rumah baginya, ia menolak identitas
barunya, dan tetap ingin pulang ke tanah airnya, Indonesia. Hal ini terjadi pula pada
putrinya, Lintang Utara. Lintang yang lahir dan besar di Perancis, selalu mencari
jati dirinya. Ia dilanda rasa bingung akan identitasnya. Ia merasa bahwa ia
merupakan gadis Perancis secara utuh, namun ia selalu terbayang tentang
Indonesia, hal ini juga menyebabkan Lintang mengalami krisis identitas, sehingga
ia merasa harus mencari tahu tentang Indonesia, yang merupakan identitas lain dari
dirinya,. Begitu pula dengan Vivienne Deveraux, ibu dari Lintang. Ia yang hidup
dengan gaya yang lurus cenderung monoton menemukan sesuatu yang berbeda
melalui tokoh Dimas, sehingga ia penasaran akan sesuatu yang baru tersebut. Selain
itu, novel ini juga berangkat dari pengalaman langsung sang pengarang yang pernah
menjejaki tanah asing untuk menempuh pendidikan.
4
Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Psikologi Sastra, (Yogyakarta: MedPress, 2008), hlm. 11
4
B. Identifikasi Masalah
D. Rumusan Masalah
1. Manfaat teoretis
2. Manfaat Praktis
G. Metodelogi Penelitian
1. Objek Penelitian
5
Anslem Strauss & Juliet Corbin, Dasar-dasar penelitian kualitatif, (Yogyakarata: Pustakapelajar,
2003), hlm. 4-5
6
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV. Alfabeta, 2005), hlm. 49
7
7
A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian
Kualitatif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), hlm. 111
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Novel dapat dipandang sebagai hasil dialog-perenungan pengarang
dengan kehidupan, mengangkat dan mengungkapkan kembali berbagai
permasalahan hidup dan kehidupan tersebut setelah melewati penghayatan
yang intens, seleksi-subjektif, dan diolah dengan daya imajinatif-kreatif
oleh pengarang ke dalam bentuk dunia rekaan sesuai dengan keyakinan dan
idealismenya. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup
dan kehidupan itu menjadi tema atau sub-subtema ke dalan teks fiksi sesuai
dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan
lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna
(pengalaman) kehidupan.1
2. Jenis-jenis Novel
a. Novel Populer
Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak
penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan
masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai
pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan
kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan.
Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat dan berubah
menjadi novel serius, dan boleh jadi akan ditinggalkan oleh pembacanya.
Oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya
bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang
untuk membacanya sekali lagi. Contoh dari novel ini yaitu Dilan 1990 karya
Pidi Baiq.
1
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkaji Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Pres, 2013),
hlm. 118-119
8
9
b. Novel Serius
c. Novel Teenlit
2
Ibid, hlm. 21
10
1. Unsur-unsur Novel
A. Unsur Intrinsik
3
Ibid, hlm. 21-28
4
Ibid, hlm. 30
11
1. Tema
Tema dalam sebuah karya sastra hanyalah merupakan salah satu dari
sejumlah unsur pembangun cerita yang lain yang secara bersama membentuk
sebuah keseluruhan. Bahkan sebenarnya, keberadaan tema itu sendiri amat
bergantung dari berbagai unsur yang lain. Tema tidak mungkin hadir tanpa
unsur bentuk yang menampungnya.5
Jadi tema adalah salah satu unsur penting dalam menulis sebuah
karya sastra. Tema bagaikan pondasi dasar dalam membangun sebuah cerita
yang tentu saja didukung unsur-unsur yang lain. Ada beberapa karya sastra
memiliki tema yang hampir sama, biasanya disesuaikan dengan waktu terbit
karya sastra tersebut.
Setiap karya fiksi pasti menyajikan cerita. Cerita itu terdiri dari
peristiwa-peristiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak semata-mata
5
Ibid, hlm. 122
6
Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, cetakan kedua, (Surakarta: Muhammadiyah Unifersity Press,
2001), hlm. 84-85
7
Kosasih, E., Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), hlm. 60
12
dijajarkan begitu saja, tetapi memiliki hubungan kualitas antara satu dengan
lainnya. Hal inilah yang disebut alur.8
Tahap tengah cerita yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian
menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan
pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin
menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal,
konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal atau
pertentangan yang terjadi antartokoh cerita, antara tokoh-tokoh protagonis
dan tokoh-tokoh antagonis, atau keduanya sekaligus. Dalam tahap tengah
inilah klimaks ditampilkan.
Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut tahap pelarian,
menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini
misalnya berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyarankan pada hal
bagaimanakah akhir sebuah cerita. Dalam teori klasik Aristoteles,
penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan:
kebahagiaan (happy end), dan kesedihan (sad end).9
8
Pujiharto, Pengantar Teori Fiksi, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 32
9
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkaji Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Pres, 2013),
hlm. 201-205
13
Plot sorot balik (flash back), urutan kejadian yang dikisahkan dalam
cerita fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak
dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari dari tahap tengah atau
bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Teks fiksi
yang berplot jenis ini, dengan demikian, langsung menyuguhkan adegan-
adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing.
Plot campuran bisa diartikan bahwa tidak ada novel yang secara
mutlak berplot lurus-kronologis atau sebaliknya sorot balik. Secara garis
besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya, betapapun
kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik. Demikian
pula sebaliknya. Bahkan sebenarnya, boleh dikatakan, tidak mungkin ada
sebuah cerita pun yang mutlak flash-back.10
10
Ibid, hlm. 213-215
14
Plot sub-subplot (plot paralel), sebuah teks fiksi dapat saja memilki
lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang
yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang
dihadapinya. Struktur plot yang demikian sebuah karya barangkali berupa
adanya sebuah plot utama dan plot-plot tambahan. Dilihat dari segi
keutamaan atau perannya dalam cerita secara keseluruhan, plot utama lebih
berperan dan penting dari pada sub-sub plot itu.11
11
Ibid, hlm. 217-218
12
Ibid, hlm 247
13
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Malang: Aditya Media Publishing, 2013), hlm.
129
15
14
Burhan Nurgiantoro, Op, Cit., hlm. 258
16
15
Wahyudi Siswanto, Op, Cit., hlm. 131
16
Burhan Nurgiantoro, Op, Cit., hlm. 258-275
17
pembaca secara faktual jika membaca sebuah cerita fiksi. Atau ketiga hal
inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita
adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat, dan itu
perlu pijakan, di mana, kapan, dan pada kondisi sosial-budaya masyarakat
yang bagaimana. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas.
Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca,
menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan
terjadi.17 Latar dapat menentukan tipe tokoh cerita, sebaliknya juga tipe
tokoh tertentu menghendaki latar yang tertentu pula. Latar dapat juga
mengungkapkan watak tokoh. Penggambaran keadaan kamar tokoh yang
selalu acak-acakan, misalnya, mengesankan bahwa penghuninya bukan
pecinta kerapian.18
17
Ibid, hlm. 302
18
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan oleh Panuti Sudjiman, cetakan kedua, (Jakarta:
Pustaka Jaya: 1991), hlm. 49
18
Latar dalam sebuah karya sastra tidak hanya terpaku dengan latar
waktu atau tempat saja, namun ada macam-macam latar yang ikut menghiasi
cerita tersebut, seperti latar tipikal dan latar sosial-budaya. Latar dapat juga
menentukan watak dan kehidupan para tokoh yang ada di dalam cerita
tersebut.
5. Sudut Pandang
19
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkaji Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Pres, 2013),
hlm. 302-309
20
Kosasih, E., Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, cetakan pertama, (Bandung: Yrama Widya,
2012), hlm. 69
19
dapat pula berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku”,
“dia”, bahkan kadang-kadang diselingi persona kedua “kau” sekaligus.21
Sudut pandang pada sebuah karya sastra merupakan cara pencerita dari
penulis dan pembacalah yang mengetahui setelah membaca keseluruhan
cerita. Penggunaan sudut pandang tidak terbatas hanya pada satu macam
saja, ada kalanya penulis menggunakan lebih dari satu sudut pandang.
6. Gaya Bahasa
21
Burhan Nurgiantoro, Op. Cit., hlm 359-360
22
Hanry Guntur Tarigan, Pengajian Gaya Bahasa, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2013), hlm. 4
23
Kosasih, E., Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, cetakan pertama, (Bandung: Yrama Widya,
2012), hlm. 71-72
24
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Malang: Aditya Media Publishing, 2013), hlm.
144
20
yang bagus yang digunakan maka semakin puitis karya tersebut, namun tidak
menutup kemungkinan penggunaan diksi-diksi yang sederhana banyak
memikat para pembaca.
7. Amanat
B. Identitas
25
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan oleh Panuti Sudjiman, cetakan kedua, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1991), hlm. 57
26
Kosasih, E., Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, cetakan pertama, (Bandung: Yrama Widya,
2012), hlm 71
21
namun perasaan tersebut bisa mendalam dan nyata serta secara serius
menghancurkan kecakapan kewarganegaraan dan komitmen mereka kepada
komunitas politik. Individu-individu ini bebas secara prinsip untuk
berpartisipasi dalam kehidupan kolektif, tetapi mereka sering memisahkan
atau mengasingkan diri mereka karena takut terhadap penolakan dan
cemoohan atau karena perasaan terasingkan semakin dalam. Menurut
Charles Taylor dalam Bhikhu Parekh, bahwa pengakuan sosial menjadi
penting bagi identitas dan kepercayaan diri mereka. Maka dari itu pencarian
sebuah identitas diperlukan.27 Ada beberapa cara dalam menemukan
identitas yang hilang, yaitu:
1. Komunitas Budaya
27
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik,
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 448-449
28
Ibid, hlm.210
22
29
Ibid, hlm. 211
30
Ibid, hlm. 212-213
31
Ibid, hlm. 218
23
3. Keanekaragaman Budaya
32
Ibid, hlm. 219-220
24
33
Ibid, hlm. 223-227
25
34
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 212
26
D. Penelitian Relevan
35
Mujianto Sumardi (ed), Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, cetakan
pertama, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1992), hlm. 198-201
36
Euis Sulastri dkk, Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), hlm. iv
27
37
Aditya Doni Padipta, “Konflik Politik dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Tinjauan
Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA”, dalam
http://eprints.ums.ac.id/29964/ diunduh pada 28 Juli 2018
38
Uky Mareta Yudistyanto, “Pendekatan Sosiologi Sastra, Resepsi Sastra dan Nilai Pendidikan
dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori”, dalam https://eprints.uns.ac.id/12182/, diunduh
pada 28 Juli 2018
28
39
Dio Muhammad, “Nilai Sejarah dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, dalam
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29893/1/DIO%20MOHAMAD%20NU
RDIANSAH-FITK.pdf, diunduh pada 28 Juli 2018
40
Fajar Briyanta Hari Nugraha , “Nilai Moral dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori”,
dalam https://eprints.uny.ac.id/17378/1/Fajar%20Briyanta%20Hari%20N%2007210141030.pdf,
diunduh pada 28 Juli 2018
29
cakupan tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran reaksi tokoh
lain, pelukisan latar, serta pelukisan fisik.41
41
Holida Hoirunisa, “Analisis Tokoh Lintang dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”, dalam
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30205/1/HOLIDA%20HOIRUNISA-
FITK.pdf, diunduh pada 28 Juli 2018
42
Aksinta Ken Zarita, “Repertoire dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Kajian Respons
Estetik Wolfgang Iser”, dalam https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/52240/Repertoire-dalam-
Novel-Pulang-Karya-Leila-S-Chudori-Kajian-Respons-Estetik-Wolfgang-Iser, diunduh pada 28
Juli 2018
30
objek penelitian dengan judul, “Perjalanan Pencarian Jati Diri Tokoh Kim
dalam Novel Kim Karya Rudyard Kipling”, oleh Ester Daniyati, Universitas
Dipenogoro, 2010. Dalam penelitiannya peneliti menulis bahwa tokoh Kim,
pada tahap perkembangan adolesen, ia mengalami krisis identitas yang
disebabkan oleh pubertas genital dalam dirinya yang memunculkan tekad
kuat untuk mencari tahu jati dirinya. Pada masa ini, kebutuhan untuk
mengetahui siapa dirinya sebenarnya adalah hal terbesar yang menggangu
pikiran si tokoh utama sampai ia dapat menjawab pertanyaan tersebut. Pada
fase adolesen, peluang munculnya konflik mengenai keyakinan maupun
filsafat hidup sangat besar terjadi yang dilatar-belakangi oleh pubertas
genital remaja tersebut. Dan dalam novel Kim, sang tokoh utama pun
mengalami berbagai konflik di dalam dirinya yang disebabkan oleh
pertentangan dua sisi kehidupan dan terbaginya citra diri di dalam hidupnya.
Konflik-konflik yang muncul tersebut menyebabkan kekacauan identitas
dalam diri Kim terjadi karena masalah-masalah yang disebabkan oleh
terbaginya citra diri. Pada tahap ini Kim sering bertanya pada dirinya ‘who
am I?’ secara berulang- ulang. Kekacauan identitas tersebut dapat menolong
Kim untuk memperoleh identitas yang stabil dalam dirinya. Pada akhirnya
Kim mampu menemukan jati dirinya, yaitu identitas yang sejati sebagai
individu yang mandiri, terlepas dari identifikasi budaya, adat, agama, dan
negara.43
43
Ester Daniyati, “Perjalanan Pencarian Jati Diri Tokoh Kim dalam Novel Kim Karya Rudyard
Kipling”, dalam http://eprints.undip.ac.id/19954/1/SKRIPSI.pdf
31
Selain itu memiliki manfaat praktis bagi peserta didik untuk lebih mengerti
tentang identitas dan karakter di dalam novel.
BAB III
PENGARANG DAN PEMIKIRAN
A. Biografi Pengarang
Leila S. Chudori lahir di Jakarta 12 Desember 1962. Leila
menyelesaikan pendidikan Universitas Trent, Ontario, Kanada pada tahun
1988. Leila pernah menjadi wartawan majalah Jakarta dan majalah D & R.
Kini, Leila menjadi wartawan Tempo. Leila menghasilkan beberapa karya
yaitu Hadiah (1978), Seputih Hati Adra (1981), Sebuah Kejutan (1983),
Malam Terakhir (kumpulan cerpen, 1989), dan Die Letzte Nacht (Bad
Hanof, Jerman, 1993; buku ini merupakan edisi Jerman buku Malam
Terakhir.1 Leila memulai menulis cerpen tahun 1974, waktu itu ia duduk di
kelas 4 Sekolah Dasar. Cerpen pertamanya berjudul “Pesan Sebatang Pohon
Pisang” dimuat di majalah Kuncung. Di tingkat akhir SMPnya Leila telah
berhasil menulis cerpen sekitar 50-an serta 11 novelette. Tema yang dipilih
Leila kecuali cerita anak-anak, juga kisah-kisah remaja. Berdasar imajinasi,
tetapi dalam setiap cerpen pasti terselip pengalaman yang pernah
dihayatinya.2
Leila terpilih mewakili Indonesia mendapat beasiswa menempuh
pendidikan di Lester B. Pearson College of the Pacific (United World
Colleges) di Victoria, Kanada. Lulus sarjana Political Science dan
Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada. Karya-
karya awal Leila dimuat saat ia berusia 12 tahun di majalah Si
Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia dini, ia menghasilkan buku
kumpulan cerpen berjudul Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil,
dan Seputih Hati Andra. Pada usia dewasa cerita pendeknya dimuat di
majalah Zaman, majalah Horison, Matra, jurnal sastra Solidarity (Filipina),
Menegerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia).3
1
Hasanuddin WS, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu Bandung, 2009), hlm.
555-556
2
Anonim, “Leila S. Chudori Ingin Mengenggam Dunia”, Dewi, NO. 112. Tahun 1979
3
Leila S. Chudori dalam tautan://badanbahasa.kemendikbud.go.id/ diunduh 9 November 2018
32
33
2
Leila S. Chudori dalam tautan://badanbahasa.kemendikbud.go.id/ diunduh 9 November 2018
34
3
Leila S. Chudori dalam tautan http://badanbahasa,kemedikbud.go.id/ diunduh pada 9
November 2018
5
Ray Rizal, “Saya Tak Percaya Pada Bakat”, PDS H.B Jassin, 1988
35
langsung oleh beliau, “Saya tidak bisa membuat karya yang dibikin-bikin.
Pokoknya apa yang saya fikirkan, saya tuangkan.”6 Selain itu ada jenjang
ketika beliau mengeluarkan karyanya, seperti novel yang belum lama ini
dirilis, Laut Bercerita yang memiliki jarak waktu lima tahun dari novel
Pulang. Karya-karyanya pun tidak terlepas dari kebudayaan Jawa yaitu
wayang, beliau mencampurkan persoalan nyata yang terjadi dengan cerita
mistis yang ada di pewayangan. Kritikus sastra Indonesia, H.B Jassin, dalam
pengantar untuk Malam Terakhir, mengatakan bahwa prosa Chudori
dipenuhi dengan kejujuran, tekad, ambisi dan prinsip, “Gaya cerita Leila S.
Chudori inetelektual sekaligus puitis. Banyak idiom dan metaphor bari di
samping pandangan falsafi yang terasa baru karena pengungkapan yang
baru.”7Jassin mencatat bahwa cerita pendek Chudori menunjukkan
pengaruh oleh para penulis seperti Franz Kafka, Dostoevsky, D.H.
Lawrence dan James Joyce, serta ketertarikannya pada epos Bharatayudha
dan Ramayana, dan dunia Wayang Indonesia. Dengan pengaruh ini, kata
Jassin, tidak mengherankan bahwa Leila menggambarkan karakternya
dengan kesadaran yang dalam dan kemandirian semangat, dan bahwa ia
menggunakan imajinasinya untuk menciptakan kekacauan dalam ruang dan
waktu, mengisinya dengan ilusi dan halusinasi, menyandingkan
pengalaman pribadi dan apresiasi dengan cerita mitologis.8
6
Leila S. Chodori, “Mempermainkan Rasa”, (Jakarta: Majalah Mode, 1990)
7
Leila S. Chudori, Malam Terakhir, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989)
8
Leila S. Chudori, “Tentang Leila”, dalam tautan http://www.leilaschudori.com/about-me/,
diunduh pada 3 Sepetember 2018
36
yang terbuang ini tetap ingin pulang. Sama halnya dengan yang dirasakan
Leila S. Chudori, serusak apapun negara kelahirannya, beliau tetap ingin
pulang ke Indonesia. “Ada alasan mengapa kita dilahirkan sebagai orang
Indonesia. Alasan itu harus kita cari sepanjang hidup kita.” “Karena tanah
air ini sungguh remuk luka, penuh persoalan... Manusia Indonesia? Manusia
yang gemar duit dan malas bekerja, yang gemar bergunjing hanya untuk
kesenangan sehari-hari, yang main tembak, yang mempermainkan
hukum...,” tulisan Leila dalam peringatan 40 hari kepergian ayahnya.
Tetapi, seperti kata Ayahnya pula, Indonesia juga memiliki matahari yang
hangat. Ada banyak orang yang baik, yang perduli, yang bekerja tanpa
mengeluh, banyak yang terus berpeluh tanpa pamrih agar sekadar sejengkal-
dua-jengkal tanah air ini membaik. Kekaguman Leila pada Ayahnya
Mohammad Chudori wartawan kantor Berita Antara dan The Jakarta Post
itu, tidak mampu disembunyikannya.9 Selain itu ada pula peristiwa ketika
para tokoh eksil politik ini membuka sebuah restoran yang dinamakan
Restoran Tanah air, ini juga terinspirasi dari "Restoran Indonesia" yang
sebenarnya di Rue de Vaugirard, Paris, didirikan oleh almarhum Oemar
Said, dan penulis Sorbonne Aidit, adik dari pemimpin partai Komunis
Indonesia DN Aidit dan J .J. Kusni.10
9
Anonim, “Leila Selalu Ingin Pulang”, dalam tautan //http:www.dw.de/leila-yang-selalu-
pulang/a16821309, diunduh pada 10 Agustus 2018
10
Ibid
37
11
Leila S. Chudori, Tentang Leila, dalam tautan http://www.leilaschudori.com/about-me/, diunduh
pada 3 Sepetember 2018
12
Meghan Downes, Leila S. Chudori: Khatulistiwa Award Winner’s Commitment To The Writing
Process, dalam tautan http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/20/leila-s-chudori-
khatulistiwa-awardwinner-s-commitment-writing-process.html, diunduh pada 4 September 2018
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam sebuah karya sastra tema merupakan unsur terpenting. Unsur ini
menjadi pondasi dasar dalam membangun sebuah cerita. Dengan menggabungkan
setiap peristiwa di dalamnya Tema yang terkandung di dalam novel Pulang karya
Leila S. Chudori yaitu diskriminasi para eksil politik. Tema tersebut tergambar pada
kutipan berikut:
Tentu saja sebagai seseorang yang mendapat suaka politik Ayah –seperti
juga kawan-kawannya- sudah menggunakan paspor Prancis. Namun,
berbeda dengan Om Risjaf yang entah bagaimana bisa mendapat visa,
permohonan Ayah, Om Nug, dan Om Tjai selalu ditolak.1
Kutipan di atas, menjelaskan bahwa di antara empat pilar tanah air (yang
terdiri dari Dimas Suryo, Nugroho, Tjahjadi, dan Risjaf), hanya Risjaf saja yang
memiliki visa sedangkan ketiga temannya mengalami kendala untuk mendapatkan
visa. Tentu mereka ingin sekali kembali ke tanah air yang selama ini dirindukan,
tetapi status mereka telah dibuang, seolah pintu mereka untuk kembli telah ditutup
rapat-rapat.
1
Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: PT Gramedia, 2012), hlm. 196
2
Ibid, hlm. 125
38
39
3
Ibid, hlm. 164
4
Ibid, hlm. 245
40
Cerita diawali oleh bagian perkenalan atau prolog pada novel yang
menceritakan penangkapan Hananto pada April 1968 berlokasi di Tjahjana Foto
tempat kerja Hananto Prawiro setelah Kantor Berita Nusantara tempatnya dulu
bekerja diberedel guna menghilangkan orang-orang berpaham kiri.
5
Ibid, hlm. 4
6
Ibid, hlm. 10
41
Pada bab DIMAS SURYO ini ada pula sub-bab yang berjudul SURTI
ANADARI, dari sini dikisahkan tentang percintaan yang terjalin antara Dimas dan
Surti, pada Januari-Oktober 1952 di Jakarta10. Ketika itu Dimas dan kedua
temannya, Tjai dan Risjaf, merupakan mahasiswa tahun ketiga yang mengekos di
daerah Jalan Solo. Mereka bertiga jatuh cinta pada tiga gadis cantik, yaitu Surti,
Ningsih, dan Rukmini. Hubungan Dimas dan Surti berjalan lancar berbeda dengan
kedua temannya yang menemui jalan buntu, namun kemesraan itu tidak
berlangsung lama ketika Hananto masuk ke dalam kisah mereka. Kandasnya
percintaan Dimas dan Surti didasari pula oleh sikap Dimas yang tertutup, ia
menolak undangan makan malam yang diadakan oleh keluarga Surti, sehingga
membuat Surti kecewa dan berpaling. Di bagian inilah mulai memunculkan konflik
pada novel Pulang karya Leila S. Chudori.
7
Ibid, hlm. 10
8
Ibid, hlm. 28
9
Ibid, hlm. 44
10
Ibid, hlm. 51
42
Kemudian cerita berlanjut pada bab Lintang Utara, di dalam bab ini Lintang
mengisahkan tentang keadaan Paris tahun 1998. Ia yang pada saat itu sedang
menyelesaikan tugas akhirnya menghadapi rintangan, bahwa gagasan mengenai
kerusuhan Paris tahun 1968 ditolak oleh dosen pembimbingnya. sehingga ia
diperintahkan untuk meneliti dan mendokumentasikan tentang peristiwa tahun
1965 di Indonesia, yang merupakan salah satu negara yang menjadi latar belakang
hidupnya.
“Lintang, kamu lupa ada sesuatu yang menarik dari dirimu, dari latar
belakangmu.”
Jantungku yang sejak tadi berhenti berfungsi kini terasa mendapat segelintir
oksigen. “Kamu juga mempunyai dua tanah air: Indonesia dan Prancis. Dan
kamu lahir di Paris, tumbuh dan besar di Paris. Tidakkah kamu ingin
mengetahui identitasmu, tanah kelahiranmu?”11
11
Ibid, hlm. 133
43
12
Ibid, hlm. 161
13
Ibid, hlm. 180
44
tokoh Srikandi yang selalu mencari identitas yang tepat, yang diartikan ayahnya
sebagai wujud bahwa Lintang sama-sama menglami krisis identitas. Kemudian
berlanjut pada sub-bab VIVIENNE DEVERAUX, pada bagian ini dikisahkan oleh
Vivienne saat ia pertama kali bertemu dengan Dimas hingga mereka berpisah. Ia
memulai kisahnya pada tahun 1982 sampai 1988 yang merupakan peristiwa masa
lampau. Ia yang sadar tidak bisa menggantikan Surti di hati Dimas memilih untuk
berpisah dengan Dimas. Di masa sekarang dalam novel, dikisahkan pula bahwa
Dimas mengidap penyakit yang cukup serius.
Bab selanjutnya yaitu SEGARA ALAM, pada bab ini fokus bercerita
tentang kehidupan Segara Alam yang merupakan putra dari pasangan Hananto
dengan Surti. Dimulai dari sub-bab SEBUAH DIORAMA, pada bagian ini
mengisahkan peristiwa masa lalu yaitu tentang kehidupan masa kecil Segara Alam
sebagai anak eks-tapol, tentang pahitnya diskriminasi yang ia alami bersama Bimo
putra dari Nugroho dengan Rukmini. Lalu kembali pada masa sekarang di dalam
novel, ketika ia diperintah untuk menyambut Lintang yang pertama kali datang ke
Indonesia. Selanjutnya ada sub-bab BIMO NUGROHO, bagian ini mengisahkan
tentang tertekannya Bimo yang harus berpisah dengan ayahnya dan terpaksa tinggal
bersama ibunya serta suami dari ibunya. Pada bagian ini pula Lintang berusaha
mewawancarai Pak Prakosa selaku ayah tiri Bimo, namun mengalami kegagalan
karena Pak Prakosa tidak bersedia, ia yang notabene pensiunan tantara tidak
menyukai orang-orang berbau kiri.
45
Kisah berlanjut pada sub-bab KELUARGA AJI SURYO, pada sub-bab ini
mengisahkan tentang kehidupan Aji Suryo yang merupakan adik dari Dimas. Ia
yang termasuk ke dalam keluarga tapol harus terus merunduk dan menyamar agar
bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Ia dikaruniai dua orang anak yaitu Rama
dan Andini. Rama tidak menyukai latar belakang keluarganya sebagai eks-tapol.
Hal inilah yang memicu masalah ketika keluarga Aji Suryo diundang makan malam
oleh keluarga dari kekasih Rama. Ketika itu Lintang sebagai ponakan Aji ikut
dalam acara makan malam tersebut, namun bukannya senang ia justru harus
dihadapi hinaan yang ditujukan keluarga kekasih Rama kepada ayahnya yang
sontak mebuat Lintang berang dan membela ayahnya.
Kemudian puncak konflik pada sub-bab Mei 1998 ketika ada demo besar-
besaran untuk melengserkan Soeharto dari jabatan presiden yang menyebabkan
kerusuhan dan penjarahan di mana-mana serta diskriminasi terhadap orang
keturunan Tionghoa. Lintang yang pada saat itu baru dengan Indonesia harus
mengalami trauma, ia tidak menyangka bahwa negara yang mual ia cintai
mengalami kejadian yang tragis.
46
Tokoh dan penokohan termasuk salah satu unsur intrinsik. Tokoh dan
penokohan merupakan pelaku setiap adegan yang ada di dalam cerita. Novel
Pulang karya Leila S. Chudori dapat dikatakan cukup banyak, dengan pengalaman
mengerikan dan menjadi korban dari peristiwa tahun 1965 tentu para tokoh di novel
ini memiliki keinginan yang sama, yaitu mendapatkan keadilan. Setiap tokohnya
memiliki karakter yang kuat untuk menyeimbangkan ceritanya. Tokoh-tokoh ini
yang akan dianalisis, yaitu tokoh yang dianggap memengaruhi cerita dan
14
Ibid, hlm. 414
15
Ibid, hlm. 427
16
Ibid, hlm. 449
47
mengalami krisis jati diri yaitu Lintang Utara, Dimas Suryo, dan Vivienne
Deveraux.
a. Lintang Utara
Aku pura-pura tuli dan tetap menyaksikan drama ayah, Om Nug, Om tjai,
menghadapi keempat polisi itu tanpa berkedip. Aku tak ingin kehilangan
gerakan atau peristiwa apa pun.18
Dapat dikatakan bahwa Lintang merupakan gadis yang memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi. Ia bukanlah seseorang yang cuek terhadap lingkungan di
sekitarnya.
17
Ibid, hlm. 85
18
Ibid, hlm. 141
19
Ibid, hlm. 185
48
Mau tetap duduk serius bertukar argumen dengan anak Prancis ini, aku tak
sanggup.20
“Sangat cerdas. Semula aku kira dia bahkan khas Barat yang klise: rasional,
cepat terpesona dengan yang eksotis, dan seterusnya. Ternyata tidak.
Pertanyaannya bagus, menukik, dan tajam.”21
Kutipan di atas merupakan penggalan dialog dari bab Segara Alam, yang
menjelaskan bahwa Lintang memiliki karakter yang keras kepala dan selalu
mempertahankan argumennya. Selain keras kepala Lintang merupakan gadis yang
cerdas serta kritis. Dengan karakternya yang seperti inilah ia menjadi mahasiswi
Sorbone yang penuh rasa ingin tahu, yang mencoba menggali sesuatu yang ada
dihadapannya.
b. Dimas Suryo
Dimas Suryo merupakan tokoh utama dan menjadi sentral dalam novel
Pulang karya Leila S. Chudori, karena hampir keseluruhan cerita berkaitan dengan
dirinya. Dimas Suryo digambarkan mempunyai ciri fisik berperawakan tinggi,
berhidung mancung, berkulit serta bermata coklat, dan berambut ikal. Dimas Suryo
memiliki sifat yang setia, tidak mudah menyerah, pandai memasak, sangat
menyukai cerita wayang, memilki rasa nasionalisme yang tinggi, dan selalu
merindukan Indonesia. Hal itu dapat dilihat pada kutipan tersebut:
20
Ibid, hlm. 305
21
Ibid, hlm. 315
49
Ternyata Ayah tertarik pada Bima Karena kesetiannya pada Drupadi, satu-
satunya perempuan yang menjadi isteri kakak beradik Pandawa.
Pengabdian Bima pada Drupadi bahkan melebihi cinta Yudhistira pada
isterinya. Adalah Bima yang membela harkat Drupadi yang dihina Kurawa
saat kalah permainan judi. “Hanya Bima yang menjaga Drupadi ketika dia
diganggu oleh banyak lelaki saat Pandawa dibuang ke hutan selama 12
tahun,” Ayah menafsirkan dengan semangat.23
Kutipan yang lainnya menggambarkan bahwa Dimas Suryo merupakan
tokoh yang memiliki sifat setia. Sebagai penikmat cerita wayang, ia sangat
menyukai karakter Bima (dalam cerita Mahabrata versi asli India) yang memiliki
kesetian untuk selalu mencintai Drupadi dan selalu menjaganya. Dimas pun selalu
memikirkan kekasih hatinya yang ada di tanah air yaitu Surti Anandari istri dari
Hananto Prawiro yang merupakan sahabatnya sendiri. Bahkan ia sempat
mengalami percecokan dengan Hananto yang berani berselingkuh dari Surti. Rasa
cinta itu juga tidak hilang walaupun ia menikah dengan Vivienne Deveraux gadis
Prancis yang cerdas dan pemberani. Hal ini mengjelaskan bahwa Dimas merupakan
tokoh statis.
Aku mulai memahami sedikit demi sedikit ketika dia begitu obsesif
bercerita tentang Ekalaya.24
“Kita,” aku menghela nafas, “adalah emapt pilar dari Restoran Tanah Air.”
Kami mendentingkan tiga gelas anggur dan satu gelas wedang jahe. Tanah
Air. Nama itu langsung merebut hatiku.25
... setiap tahun Ayah rutin mencoba mengajukan permohonan visa untuk
masuk ke Indonesia.
Ayah tahu, dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak
oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya. Itulah sebabnya dia
meletakkan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa
22
Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: PT Gramedia, 2012), hlm. 200
23
Ibid, hlm. 185
24
Ibid, hlm. 183
25
Ibid, hlm. 104
50
genggam bubuk kunyit di stoples kedua ruang tamu hanya untuk merasakan
aroma Indonesia.26
Kutipan ini menjelaskan bahwa Dimas Suryo selain setia juga memiliki
sikap yang pantang menyerah seperti Ekalaya yang dalam cerita Mahabrata adalah
sosok yang tidak menyerah untuk bisa memanah, walau sering kali ditolak untuk
menjadi murid Resi Dorna, ia terus berlatih sehingga menyaingi kemampuan
Arjuna dalam memanah. Begitu pula dengan Dimas Suryo yang tidak lelah dengan
penolakan yang didapatkannya dari pemerintah Indonesia, Indonesia rumah
baginya, ia akan selalu berusaha untuk bisa pulang ke tanah air. Dapat dikatakan
bahwa selama ia menumpang hidup di negara asing tersebut, ia tetap saja dihantui
rasa rindu yang mandalam pada tanah airnya.
Selain itu Dimas Suryo juga merupakan seorang lelaki lulusan sastra di
salah satu kampus di Indonesia sehingga ia pernah bekerja sebagai wartawan di
salah satu surat kabar, sebelum akhirnya ia harus meninggalkan tanah kelahirannya
tersebut ke Prancis. Ketika itu sebuah konferensi untuk para wartawanlah yang
membuatnya meninggalkan negaranya, yang ternyata setalah itu ia tidak bisa lagi
pulang ke Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
26
Ibid, hlm. 195-196
27
Ibid, hlm. 37
51
pintar dalam bidang akademik, yang pemikirannya berdasarkan nalar juga logika,
serta religius. Di masa setelah ia menikah dengan Dimas, Vivienne memutuskan
untuk bekerja menjadi dosen di salah satu kampus di Prancis.
Aku lahir dari keluarga Deveraux yang memilih untuk mengikuti nalar;
yang percaya vahwa hidup akan selesai setelah selang pernafasan
penyangga kehidupan dicabut…Keluarga kami adalah deviasi dari seluruh
Deveraux, penganut agama Katolik yang mengisi hari Minggu dengan pergi
ke gereja dan makan siang bersama.28
Watak yang dimiliki oleh Vivienne yaitu cerdas, tidak suka memaksa,
berhati lembut, dan pencemburu jika itu menyangkut orang ketiga, serta istri yang
sangat pengertian. Hal ini bisa dilihat pada kutipan:
Aku tahu Vivienne ingin menghiburku. Dia memang perempuan yang baik
dan lembut hati.31
Asal bukan soal perempuan, tampaknya Vivienne adalah isteri yang paling
pengertian di seluruh jagat raya.32
28
Ibid, hlm. 199
29
Ibid, hlm. 13
30
Ibid, hlm. 16
31
Ibid, hlm. 38
32
Ibid, hlm. 87
52
Ada pula tokoh pendukung yang lainnya yaitu Nugroho, Tjai, Risjaf, Surti,
Narayana, Kenanga, Bulan, Rukmini, Bimo, Aji Suryo, Retno, Rama, Andini,
Prakosa, Sumarno, Amir, Gilang, Mita, Hans, Yos, Raditya, Yazir, Sumarno
Biantoro, dan Monsieur Dupont.
Latar tempat pada novel Pulang karya Leila S. Chudori berpusat pada
Jakarta dan Paris, namun ada beberapa nama tempat atau daerah yang digunakan
sebagai setting peristiwa penting.
a. Jakarta
Tjahaja Foto, Jalan Sabang, tempat ini merupakan kantor dari Hananto
Prawiro serta tempat diringkusnya Hananto karena dianggap sebagai partisipan
PKI. Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.
33
Ibid, hlm. 5
53
“Dengar Lintang, ini bukan terror pertama yang pernah aku alami, juga
bukan pertama bagi anak-anak Satu bangsa.”34
Tentu saja mereka mengalami kerugian karena barang-barang elektronik
yang sehari-hari mereka gunakan pecah atau rusak.35
Tumpukan rekaman kasetku hilang. Catatanku hilang. Laptopku hilang.
Pojok itu kosong. Aku jadi blingsatan dan mengorek-ngorek meja Mita dan
membuka laci berulang-ulang.36
Dari kutipan-kutipan di atas membuktikan bahwa teror yang dialami saat itu
bukanlah yang pertama, tentu bekerja pada bagian LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) untuk korban-korban 1965 kehidupan mereka selalu diganggu oleh
intel.
Kali ini kampus Trisakti bukan hanya penuh oleh mahasiswa dan alumni,
tetapi terlihat banyak tokoh yang datang menghadiri aksi berkabung ini.37
b. Paris
Negara yang merupakan tempat empat pilar tanah air tinggal dan merajut
asa mencoba peruntungan dengan membuka restoran Tanah Air. Di Paris pula
Dimas bertemu dengan Vivienne di tengah keriuhan demo yang dilakukan oleh
mahasiswa Sorbone.
Sampai di suatu malam bulai Mei 1968 yang riuh oleh tuntutan mahasiswa
kepada pemerintah Prancis; aku bertemu dengan Vivienne Deveraux di
kampus Universitas Sorbonne. Begitu saja ia masuk ke dalam keseharianku,
ke dalam tubuhku, dan akhirnya perlahan-lahan merayap memasuki rongga
sejarah hidupku.38
Dapur Tanah Air adalah tahtaku yang tak boleh diotak-atik.39
34
Ibid, hlm. 404
35
Ibid, hlm. 405
36
Ibid, hlm. 401
37
Ibid, hlm. 414
38
Ibid, hlm. 79
39
Ibid, hlm. 95
54
Latar waktu pada novel ini yaitu dari tahun 1952 sampai 1998. Tentu ada
beberapa tahun yang sangat menonjol karena mengalami peristiwa penting.
Jakarta, Desember 196441, ada tahun ini Indonesia sudah mulai panas
dengan isu PKI, dan menganggap bahwa presiden pada saat itu terlalu akrab dengan
PKI.
Hari ini tanggal 6 April 196845, pada tanggal ini peristiwa tertangkapnya
Hananto di kantor tempatnya bekerja setelah tiga tahun bersembunyi. Di negara lain
tepatnya Paris 1968, pada saat ini pertama kalinya Dimas tiba di Paris dan bertemu
dengan Vivienne bertepatan dengan riuh aksi demo yang dilakukan di depan
40
Ibid, hlm. 51
41
Ibid, hlm. 28
42
Ibid, hlm. 31
43
Ibid, hlm. 38
44
Ibid, hlm. 44
45
Ibid, hlm. 4
55
Kampus Sorbone. Dari sinilah Dimas serta teman-temannya bertahan hidup dan
menekan rasa rindu untuk bisa kembali ke Indonesia.
Jakarta, 18 Juni 197046, Dimas mendapat surat dari Kenangan putri dari
Hananto dengan Surti bahwa ayahnya telah dieksekusi mati.
Lalu setting waktu terakhir yang diambil dari novel ini yaitu pada Mei 1998,
pada saat ini peristiwa mengerikan yang lain terjadi di Indonesia kericuhan yang
sangat parah, penjarahan yang dilakukan di mana-mana, kejahatan terhadap orang-
orang keturunan Tionghoa serta penembakan mahasiswa Trisakti yang berujung
pada reformasi dan lengsernya pemerintahan Soeharto selama 32 tahun berkuasa.
Dengan menyertakan tahun serta tempat yang jelas novel Pulang karya
Leila S. Chudori ini bisa dikatakan memiliki latar tipikal yang membuat cerita lebih
realistis karena ada unsur-unsur sejarahnya. Pada novel ini juga terdapat latar
sosial-budaya, di mana antara Prancis dan Indonesia sangat berbeda dalam hal
berdemontrasi.
5. Sudut Pandang
46
Ibid, hlm. 246
47
Ibid, hlm. 304
56
L’irreparable, Flaneur, dan Keluarga Aji Suryo, yang menggunakan sudut pandang
persona ketiga. Maka dari itu novel Pulang karya Leila S. Chudori menggunakan
sudut pandang campuran.
Lalu aku teringat puluhan tahun silam, ketika Bimo dan aku duduk di kelas
V sekolah dasar.50
Kutipan di atas dituturkan oleh Segara Alam ketika ia dan Bimo yang
diwajibkan mengikuti acara study tour ke Lubang Buaya.
b. Sudut Pandang Orang Ketiga Maha Tahu (L’irreparable, Flaneur, Keluarga Aji
Suryo)
48
Ibid, hlm. 9
49
Ibid, hlm. 132
50
Ibid, hlm. 286
51
Ibid, h lm. 167
52
Ibid, hlm. 251
57
Ketika aroma kopi toraja sudah menabrak pagi, Aji suryo memutuskan
untuk mengisi akhir pekan itu dengan kesunyian yang menenangkan.53
Kutipan di atas menggambrakan suasana pagi hari di rumah Aji Suryo.
6. Gaya Bahasa
b. Metafora
“Ketiga dara cantik itu adalah bunga yang membuat Jakarta menjadi
bercahaya.”55
Kutipan ini menjelaskan ada ketiga gadis cantik yaitu Surti, Rukmini, dan
Ningsih merupakan idola bagi kaum pria di Jakarta. Ketiga gadis tersebut membuat
mereka jatuh cinta sehingga menganggap tiga gadis ini membuat Jakarta bercahaya.
Kata bunga di sini diartikan sebagai gadis, sedangkan bercahaya adalah perasaan
kagum atau rasa jatuh cintanya mereka.
53
Ibid, hlm. 327
54
Ibid, hlm. 12
55
Ibid, hlm. 51
58
c. Personifikasi
7. Amanat
Novel Pulang karya Leila S. Chudori memiliki amanat tentang rasa
nasionalis, mecintai serta setia dengan tanah air. Walaupun dibatasi dengan jarak
yang jauh, Indonesia adalah tempat untuk kembali. Dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini:
“Ayah tahu, dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak
oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya. Itulah sebabnya dia
meletakan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa
genggam bubuk kunyit di stoples kedua di ruang tamu hanya untuk
merasakan aroma Indonesia.”57
Pada kutipan di tasa menggabarkan bahwa walaupun usaha Dimas untuk
kembali ditolak oleh negara, Dimas sebagai warga Indonesia tetap dan selalu
berusaha untuk pulang ke rumah, hal ini juga menunjukkan bahwa ia sangat
mengcintai tanah kelahirannya, tidak peduli seberapa berat ia menerima
kekecewaan dari Indonesia.
56
Ibid, hlm. 2
57
Ibid, hlm. 196
58
Ibid, hlm. 447
59
Berdasarkan kutipan di atas, tidak ada kata terlambat untuk pulang. Tidak
pernah melupakan negara yang menjadi tempatnya berasal, meninggalpun harus
kembali ke tanah ibu Pertiwi.
Lintang lahir sebagai anak darah campuran Indonesia dan Prancis. Ia lahir
dan besar di Prancis dengan pengetahuan minim akan salah satu tanah lahirnya,
yaitu Indonesia. Namun, Lintang selalu dikelililngi oleh budaya-budaya Indonesia
yang disampaikan oleh ayah serta sahabat-sahabat ayahnya. Namanya pun terkesan
sangat Indonesia sekali, negara yang dirindukan ayahnya. Untuk seseorang seperti
dirinya yang memiliki lebih dari satu negara sebagai kewarganegaraannya bisa
menimbulkan pertanyaan, seperti berasal dari mana kah ia? Atau negara manakah
yang benar-benar menjadi identitas dan menjadi rumah untuk kembali? Hal inilah
yang dialami oleh Lintang, maka dari itu ia memutuskan untuk ke Indonesia
mencari tahu tentang negara tersebut sekaligus mencari identitas yang selama ini
menjadi beban pikirannya.
59
Ibid, hlm. 135
60
Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik dan harum
bernama Prancis. Tetapi menurut ayah darahku berasal dari seberang benua
Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-
sia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang
melahirkan aneka warna, bentuk, dan keimanan, tetapi malah menghantam
warganya hanya karena perbedaan pemikiran.60
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Lintang selalu disuapi sesuatu yang
berbau Indonesia oleh ayahnya. Ia yang kelahiran Prancis bukan berarti tidak
mengenal unsur-unsur sederhana Indonesia, ayahnya pantang menyerah untuk
memperkenalkan rasa Indonesia kepadanya sejak ia lahir. Dengan memberi nama
yang kental akan Indonesia serta memperkenalkan budaya-budaya Indonesia.
“Kenapa Srikandi?” “Aku merasa dia bergerak mencari raga yang tepat.”
“Kenapa Panji Semirang?” “Dia memburu identitas.”
Maman dan ayah saling berpandangan. “Kamu memilih tokoh-tokoh yang
berubah jender,” kata ayah tanpa menghakimi.61
Berdasarkan kutipan di atas, menujukkan bahwa Lintang memilih tokoh
pewayangan yang berubah gender dan yang mencari identitas. Pada saat itu Lintang
baru berumur 10 tahun, ia hanya melihat dari segi hebatnya para tokoh pewayang
tersebut dalam berganti-ganti gender, tanpa merasa bahwa sebenarnya ia juga
memiliki kesamaan dengan para tokoh wayang tersebut, yaitu berburu identitas.
Hal ini disebabkan Lintang merupakan hasil dari perkawinan antarbudaya, yang
tentu saja membuat dirinya bingung dengan budaya yang dibawa masing-masing
oleh orang tuanya. Selain itu status ayahnya yang sebagai ekstapol yang dibuang
oleh negaranya sendiri menambah rumit kehidupan Lintang. Ia yang belum pernah
ke Indonesia merupakan salah satu faktor sehingga dirinya mengalami krisis
identitas. Dari kutipan ini pula dapat menggambarkan bahwa Dimas
60
Ibid, hlm. 137
61
Ibid, hlm. 184
61
Hal ini disebabkan Lintang yang tidak mengenal Indonesia, serta ayahnya
yang tidak bisa kembali atau telah dibuang dari Indonesia, mengharuskan dirinya
untuk sementara berpuas diri hanya memiliki identitas Prancis saja. Namun, tidak
memudarkan rasa penasaran terhadap negara asal ayahnya. Maka dari itu, ia merasa
asing dengan tanah kelahiran ayahnya, ia merasa tidak menyatu dengan negara itu.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap ayahnya serta kawan-
kawan ayahnya membuat ia merasa tidak terima, dan merasa berkecil hati untuk
mengakui bahwa Indonesia termasuk sebagian dari dirinya.
Aku mulai merasa ada sebuah kehidupan lain di bawah kehidupan ‘normal’
kami sebagai keluarga sejak aku masih kanak-kanak: keluarga kami berbeda
dari keluarga Prancis umumnya. Bukan hanya karena aku anak hasil
perkawinan campur Indonesia dan Prancis. Di kelasku, ada beberapa kawan
keturunan perkawinan campur Prancis dan Maroko, Prancis dan Cina, atau
Prancis dan Inggris, misalnya. Tetapi mereka selalu saja menceritakan
tentang tanah air orangtuanya di Rabat atau Beijing atau London.63
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Lintang merasa kehidupan keluarganya
tidak normal seperti kehidupan keluarga perkawinan dua negara yang lain. Ia
62
Ibid, hlm. 185
63
Ibid, hlm. 143
62
merasa ada yang aneh dengan keluarganya. Ia yang pada saat itu masih kecil pun
harus mempertanyakan kenapa ia tidak bisa menjelaskan atau menceritakan tentang
tanah kelahiran ayahnya yang dilakukan oleh teman-temannya di sekolah. Ia merasa
ada yang disembunyikan tentang Indonesia sehingga ia tak mengerti tentang negara
tersebut.
Ayah datang dari Indonesia, sebuah tanah yang begitu jauh, yang tak
kukenal dan tak bisa kusentuh (paling tidak selama negara itu masih
dikuasai pemerintah yang sama). Setelah berangkat remaja, perlahan-lahan
aku paham: aku tak akan pernah bisa mengunjungi Indonesia bersama
Ayah.64
Kemudian berlanjut pada masa remaja Lintang yang semakin mengerti
tentang kondisinya, ia paham bahwa dirinya ataupun keluarganya tidak bisa ke
Indonesia dengan rezim yang bertahun-tahun terus berkuasa. Ada peraturan ketat
yang membuatnya tidak bisa menjelajahi Indonesia, ada larangan keras untuk
ayahnya kembali ke tanah airnya. Hal ini disebabkan oleh peristiwa kelam yang
sudah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu, yang membuat ayahnya tersesat di
negara asing serta membuat Lintang tersesat dengan rasa bingung akan
identitasnya.
Semakin aku dewasa, semakin banyak pula cerita tentang tanah air yang
jauh itu, yang dalam film-film dokumenter memiliki laut biru dan pohon
kelapa yang memamnggil-manggil. Tetapi, aku tak pernah mendapatkan
kisah yang lengkap, komprehensif, dan mendalam.
Misalnya: bagaimana Ayah dan kawan-kawannya meninggalkan Indonesia
hanya untuk konferensi di Santiago (yang disusul sebuah konferensi di
Havana dan Peking) dengan ransel di punggung dan tak bisa kembali
selama-lamanya ke tanah air? Bukankah itu sebuah absurditas? Dan
mengapa ayah yang berangkat?65
Setelah itu berlanjut pada masa ia dewasa, berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan bahwa Lintang lebih mengetahui tentang Indonesia. Ia mengumpulkan
segala referensi yang dapat membuat rasa dahaganya terpenuhi. Namun, ada
beberapa yang janggal baginya. Ia merasa bahwa segala sesuatu tentang Indonesia
telah ia telusuri tetapi kenapa kisah tentang ayahnya yang sampai ke Prancis tidak
64
Ibid, hlm. 144
65
Ibid, hlm. 144
63
ada, lalu mengapa tidak ada alasan yang ia temukan tentang larangan ayahnya untuk
kembali ke Indonesia? Hal ini yang terus saja menjadi pertanyaan terbesar bagi
Lintang. Tentu saja hal-hal yang menimpa ayahnya tidak tertulis ke dalam sumber-
sumber yang ia temui, peristiwa ayahnya merupakan suatu kasus tentang kekejaman
sebuah rezim, yang disembunyikan.
Aku tak pernah bisa marah pada Nara. Selain Maman, Nara adalah orang
yang paling memahami hatiku. Dia tahu, ada sebuah ruang di dalam hatiku
yang tak kukenal, begitu asing, begitu ganjil yang bernama Indonesia. Kami
sama-sama generasi yang lahir di Paris dari orangtua Prancis dan Indonesia.
Bedanya, Nara dan orangtuanya bisa bebas keluar masuk Jakarta tanpa
masalah. Oarangtua Nara tak dikerangkeng oleh sejarah buruk. Sedangkan
Ayah dan ketiga sahabatnya akan selalu dipagari oleh teralis yang
dinamakan G30S (pemerintah Indonesia menambahkan ‘PKI’ di
belakangnya).66
“Oui…aku ingat. Nara, ini tentang Indonesia. Sebuah negara yang sama
sekali tak pernah kusentuh. Yang hanya kukenal melalui buku-buku Ayah
dan karya sastra milik Maman; segelintir film dokumneter di National
Geographic dan dari isi rak buku Ayah dan Maman. Sebuah negara yang
kukenal dari tiga sahabat Ayah yang pengetahuannya berhenti setelah tahun
1965.”67
Narayana adalah kekasih Lintang, ia juga berdarah campuran Prancis dan
Indonesia seperti Lintang. Hanya yang membedakan keluarga Nara merupakan
keluarga normal, ia bisa dengan bebas berkunjung ke Indonesia tanpa larangan yang
diterima oleh keluarga Lintang. Pada kutipan di atas ini, menjelaskan pula bahwa
pengetahuan Lintang terhadap Indonesia hanya sebatas kulit saja, ia hanya
mendapatkan dari beberapa informasi kecil yang ada di film dokumenter atau buku-
buku. Ia tidak pernah mengenal Indonesia secara dalam, mengetahui peristiwa-
peristiwa berdarah yang dialami Indonesia.
Monsieur Wilde, pentingkah kita mencari akar jika sudah menjadi sebatang
pohon yang kokoh? Kau seorang penyair Irlandia, sebetang pohon, yang tak
sungkan memperlihatkan orientasi seksualmu di masa begitu tertutup dan
tertib; seorang novelis yang menciptakan Dorian Gray, lelaki cantik yang
diabadikan di atas sebuah lukisan yang menggairahkan penikmatnya.
Katakan, apakah sebatang pohon yang sudah tegak dan batang rantingnya
66
Ibid, hlm. 155
67
Ibid, hlm. 152
64
Didier Dippon memandang Lintang dengan matanya yang biru. Mata yang
tersenyum, meski bibirnya tak menunjukkan emosi apa-apa. “Saya paham.
Tapi di mata penonton yang menyaksikan, di mata orang luar, kau tetap
korban. Karena kamu belum pernah mempunyai kesempatan untuk
mengenal sebagian dari dirimu. Tanah air ayahmu.”69
Ternyata Lintang memang harus menggali lebih dalam tentang Indonesia.
Hal ini berawal ketika Lintang mengajukan topik untuk tugas akhirnya yang ditolak
oleh dosen pembimbingnya. Didier Dippon (dosen pembimbing Lintang) merasa
bahwa mangangkat topik tentang revolusi Prancis pada tahun 1968 sudah banyak
yang melakukannya. Ia menyarankan Lintang untuk meneliti tentang Indonesia,
menyelami peristiwa-peristiwa yang dialami Indonesia, merasakan pahitnya
korban-korban dari rezim yang berkuasa puluhan tahun lamanya.
Tiba-tiba saja aku merasa harus mencari sebatang lilin untuk masuk ke gua
sejarah yang Panjang dan gelap. Tiba-tiba darahku megalir dengan deras.
Dadaku berdebur-debur. Kata I.N.D.O.N.E.S.I.A menjadi sesuatu yang
menarik perhatianku. Aku ingat Shakespeare dan aku ingat Rumi.70
“Lintang berlari-lari sepanjang koridor. Dia merasa seperti akan menggapai
sesuatu. Menggapai sesuatu yang selalu asing di dalam dirinya. Memetik
satu dari I.N.D.O.N.E.S.I.A”71
Pada kutipan di atas menggambarkan bahwa Lintang sudah merasa tertarik
untuk mencari tahu tentang Indonesia. Ia merasa tertantang untuk mengenal lebih
68
Ibid, hlm. 153
69
Ibid, hlm. 256
70
Ibid, hlm. 165
71
Ibid, hlm. 258
65
dalam tentang tanah yang katanya asri itu. Selain bertujuan untuk menyelesaikan
tugas akhirnya ia juga merasa bahwa selama ini pertanyaan yang melayang-layang
di pikirannya akan terjawab dengan pasti jika ia ke Indonesia. Ia akan berpetualang
dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang tak dikenalnya, tanah kelahiran ayahnya
yang hanya sedikit saja yang ia ketahui.
Lintang terpana dengan informasi baru ini. Tetapi dia tak merasa punyak
cukup waktu dan energi untuk berdiskusi tentang kebiasaan “tidak
menggunakan nama keluarga” di Indonesia.72
Rupanya bukan hanya hal-hal yang berat dan kelam saja yang Lintang tidak
ketahui, tetapi perbedaan tentang penggunaan nama pun ia tak tahu. Bagi sebagian
orang Eropa nama belakang atau keluarga merupakan identitas yang penting,
namun bagi orang Indonesia hal itu bukanlah keharusan. Sebagian orang Indonesia
yang tidak memiliki nama keluarga, karena menganggap hal itu tidak terlalu
penting. Pada saat itu Lintang mengurus segala dokumen untuk ke Indonesia tanpa
embel-embel “Suryo” yang melengkapi namanya. Hal ini bertujuan agar Lintang
bisa dengan mudah masuk ke Indonesia, karena nama belakangnya itu merupakan
nama belakang ayahnya yang menjadi musuh negara Indonesia.
Untuk sementara, segala yang logis kini harus dibuang kesungai. Atau lebih
tepatnya, segala yang logis bagi “anak Sorbone”–demikian mereka
menyebutku sebagai identifikasi makhluk asing yang terlalu banyak tanya–
harus dilupakan dulu.73
Perbedaan yang ditemui pula, ketika Lintang yang selalu banyak tanya khas
orang Eropa. Ketika ia sampai di Indonesia ia harus terbiasa menahan rasa
penasarannya, karena tak semua pertanyaan harus mendapatkan jawaban. Terlebih
keadaan Indonesia yang sedang kocar kacir akibat dari peperangan rakyat degan
pemeritah. Hal ini juga menyebabkan Lintang terpuruk, ia merasa apa yang
dilakukan pemerintah tidak adil bagi rakyat. Ada suatu kebusukan yang terus
dilakukan pada saat itu, membuat rakyat semakin menderita.
72
Ibid, hlm. 263
73
Ibid, hlm. 425
66
Mengapa saat aku sudah mulai mencintai negeri ini, lantas perasaan itu
ditebas semena-mena?74
Kutipan di atas menggambarkan saat Lintang merasa terpuruk, ketika ia
sudah merasa mencintai Indonesia, kenapa harus mengalami peristiwa yang tragis.
Ia merasa heran dengan rakyat Indonesia, seberapa kuat mental mereka mengalami
teror yang tidak berhenti, dan terus berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik lagi. Ia merasa selain negara dengan tanah yang kaya akan pesona
alamnya, Indonesia juga memiliki rakyat yang kaya akan perjuangan dalam
menjalani hidup, berapa kalipun dinjak mereka tetap bangkit dan menuntut
pemeritah yang adil.
Tiba-tiba saja, setelah selesai semua tugas wawancara, aku merasa lega.
Untuk pertama kali, aku ingin sekali pulang ke Prais untuk menyunting dan
menyelesaikan tugas ini, lalu menyerahkannya kepada Monsieur Dupont.
Lebih penting lagi aku ingin pulang menemui Ayah dan Maman. Sebentar.
Barusan aku menyebut Paris sebagai tempat aku ‘pulang’. benarkah Paris
rumahku?75
Setelah Lintang mengumpulkan segala sesuatu serta menyelesaikan tugas
akhirnya, ia memutuskan untuk kemabli ke Prancis. Namun, kutipan di atas
menggambarkan bahwa Lintang mengalami kerisauan hati saat menyebut Prancis
adalah tempatnya untuk pulang. Ia sudah mencintai Jakarta serta orang-orang yang
ada di dalamnya. Ia merasa bahwa Jakarta bukanlah hanya sekadar tempat mencari
informasi, akan tetapi tempat ia berbagi dan menerima segala suka dan duka.
Indonesia yang pada awalnya ia hanya mengenal dari kulitnya saja, sekarang sudah
menjadi tempat ia berlindung, tempat ia merasa kekuatan dari perjuangan orang-
orang yang meminta keadilan.
74
Ibid, hlm. 427
75
Ibid, hlm. 437
76
Ibid, hlm. 440
67
Dimas merupakan lelaki asal Indonesia yang harus menjalani sisa hidupnya
dengan menumpang di negara asing yang jauh dari tanah kelahirannya. Ia harus
merasakan keresahan serta kegundahan dalam mencari identitasnya yang baru,
dengan selalu dilanda rasa rindu dan keinginan untuk pulang ke negara asalnya,
Indonesia. Perjalanannya dalam mencari identitas baru tentu tidak mudah, ia harus
menerima kesulitan dalam prosesnya untuk memiliki kewarganegaraan baru. Di
samping itu, ia selalu memimpikan untuk kembali ke Indonesia. Hal ini berawal
ketika Dimas harus menghadiri acara konferensi para wartawan di Santiago.
77
Ibid, hlm. 441
78
Ibid, hlm. 17
68
pada saat itu menemui kebingungan akan statusnya di negeri orang pun merasa
tidak berdaya. Ia yang selama di Paris selalu ditemani Vivienne (gadis asal Prancis),
untuk menikmati suasana negara romantis tersebut tidak menghilangkan
kegundahan dirinya terhadap status yang ia sandang. Ia merasa tidak ada yang
cocok untuk mengidentifikasikan dirinya selama ia tinggal di sana.
Dia memandangku serius. “Jadi, aku tidak konsisten, dan kau merasa yakin
dengan posisimu sekarang? Kau merasa konsisten? Kau merasa tahu apa
yang kau inginkan? Dalam politik? Dalam kehidupan pribadimu?”
Aku terdiam. Aku yakin itu hanya retorika.
“Kau menolak masuk ormas. Apalagi masuk partai. Kau menolak memihak.
Kau mengkritik Lekra tapi kau juga mengkritik para penandatangan
Manifes Kebudayaan.”79
Sebelumnya, Dimas juga telah disadarkan oleh salah satu sahabatnya
selama ia masih di Indonesia. Sahabatnya berpendapat bahwa Dimas merupakan
seseorang yang tidak bersikap untuk tetap netral namun malah menjadi tidak jelas
dengan arah orientasi politiknya. Ia beranggapan bahwa ia tak harus memihak pada
satu pihak manapun, walau sekelilingnya adalah orang-orang yang jelas memilih
untuk berpihak. Hal ini dijelaskan oleh kutipan di atas, bagaimana seorang Dimas
Suryo yang gemar mengkritik setiap aliran yang ia temui.
79
Ibid, hlm. 42
80
Ibid, hlm. 61
69
Tentu saja bukan eksil politik jika tidak ada gangguan sehari-hari. Paspor
dicabut, berpindah negara, berpindah kota, berubah pekerjaan, berubah
keularga…segalanya terjadi tanpa rencana. Semua terjadi sembari kami
terengah-engah berburu identitas seperti ruh yang mengejar-ngejar
tubuhnya sendiri.82
Dimas yang hidup dalam perasingan tentu saja selalu merasa dirinya terus
diburu. Ia harus merelakan dirinya yang kehilangan identitas selama dalam
perjalanannya melarikan diri. Ia dituntut untuk tidak boleh menetapkan tempat
tinggal dan terus menerus bersembunyi. Selama proses ini pula ia mengais sisa-sisa
identitas atau bahkan identitas baru yang bisa ia miliki. Seseorang yang hidup tanpa
identitas sama saja dengan bencana, ia tidak memiliki sesuatu yang akan membela
serta melindunginya dari segala macam masalah.
81
Ibid, hlm. 80
82
Ibid, hlm. 120
83
Ibid, hlm. 72
70
84
Ibid, hlm. 78
85
Ibid, hlm. 79
71
Sekali lagi, apa lagi yang harus kukeluhkan jika aku dikelilingi keluarga
yang sangat mencintaiku? Mengapa aku tetap merasa ada sepotong diriku
yang masih tertinggal di tanah air?86
Kutipan di atas yaitu kutipan lain yang menggambarkan bahwa Dimas terus
saja merasa kehilangan sebagian darinya. Selama ia tinggal serta memutuskan
untuk menikah dengan Vivienne, Dimas merasa bahwa ia telah dikelilingi oleh
keluarga baru yang baik, yang mampu menerima segala kondisinya. Namun, ada
saja sisi yang terus mengenang Indonesia, dan terus mengahantui dirinya dengan
kerinduan yang mendalam.
Aku ingat ketika Ayah menerima sebuah bingkisan titipan dari adiknya, Om
Aji: wayang kulit Bima dan Ekalaya. Mata Ayah berkilat-kilat. Dia
langsung menggantung kedua helai sosok wayang kulit itu di tembok ruang
tengah sembari mengatakan tokoh Ekalaya sukar dicari, karena dia bukan
tokoh utama Mahabrata. Om Aji pasti mecarinya hingga ke pelosok Solo.87
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Dimas merupakan sosok yang loyal
terhadap budaya aslinya. Walaupun ia hidup jauh dari negara asalnya, ia selalu
memberikan sentuhan Indonesia di setiap sudut tempat tinggal. Hal ini digunakan
untuk mengobati rasa rindu terhadap tanah air. Ia memasangkan salah satu tokoh
Mahabrata yaitu Ekalaya yang memiliki watak tangguh dan pantang menyerah,
yang mecerminkan dirinya pula yang pantang meyerah.
Ayah tahu, dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak
oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya. Itulah sebebanya dia
meletakkan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa
genggam bubuk kunyit di stoples kedua di ruang tamu hanya untuk
merasakan aroma Indonesia.88
Kutipan ini menjelaskan bahwa Dimas adalah seseorang yang pantang
menyerah, walaupun ia selalu ditolak kembali ke Indonesia namun rasa cintanya
terhadap tanah kelahirannya tak pernah pudar. Dengan itu ia selalu meletakan
cengkih dan kunyit untuk selalu menghirup wangi Indonesia. Sedikit mengurangi
rasa rindunya pada negara tersebut.
86
Ibid, hlm. 87
87
Ibid, hlm. 186
88
Ibid, hlm. 196
72
Semula mereka kuanggap seperti burung camar yang terbang dari satu
benua ke benua lain secara berkelompok dan membangun rumah serta
keluarga di benua yang mereka tempati (sejenak). Tetapi setelah bertemu
Dimas, menikah dan membangun keluarga, aku paham, ternyata Dimas tak
pernah menjadi bagian dari kumpulan burung camar itu. Aku rasa
persahabatannya sungguh ketat dengan kawan-kawannya. Kesetiannya tak
tertandingi. Tetapi, Dimas tetap berbeda dari sekawanan burung-burung itu.
Jika yang lain, ruh Dimas tetap pada darah tempat dia lahir dan tumbuh.
Berbeda dengan burung camar umumnya, Dimas adalah burung camar yang
senantiasa ingin kembali ke tanah kelahirannya; bukan kepada keluarga
yang dibentuknya di benua sekarang.90
Seperti burung camar, orang-orang eks tapol yang menetap di suatu negara
yang asing akan selalu berusaha beradaptasi dengan tempat tinggalnya, hal ini
berlaku pada sahabat-sahabat Dimas di Prancis. Namun, hal itu tidak berlaku
padanya. Ia terus saja masih mencari kenyamanan yang tak pernah dirasa puas oleh
dirinya, ia masih terus berusaha mencari identitas yang sesuai dengan
keinginannya. Ia tak bisa menerima begitu saja kondisi nyaman yang ia dapatkan
dari keluarga barunya di Prancis. Ia tetap ingin pulang, memiliki identitas sebagai
rakyat Indonesia.
Prancis tak pernah menjadi rumah bagi Dimas. Aku sudah menyadari itu
sejak awal kami bertemu mata. Ada sesuatu yang mencegah dia untuk
berbahagia. Ada banjir darah di tanah kelahirannya. Ada le chaos politique
yang bukan sekadar mengalahkan, tetapi merontokkan, kemanusia Dimas
dan kawan-kawannya, hingga mereka harus memungut serpihan dirinya dan
89
Ibid, hlm. 213
90
Ibid, hlm. 205
73
Dimas ingin sekali bercerita pada anaknya bahwa menetap di Paris dan
membangun keluarga bersama ibunya dalam pengasingan bukan sebuah
cita-cita yang dibangun. Bahwa Dimas tak akan pernah mengeluarkan kata
‘pengasingan’ di depan ibunya, karena bagi Vivienne: Paris adalah rumah.
Apa yang dilakukan Dimas, Nugroho, Tjai, dan Risjaf berloncatan dari
Santiago, ke Havana, lalu ke Peking untuk akhirnya mendarat di Paris,
bukan karena ingin berkelana sebagai pilihan.92
Hal ini didukung pula oleh kutipan di atas yang menjelaskan bahwa Paris
bukanlah rumah Dimas, negara romantis itu hanya rumah bagi istrinya. Ia masih
saja hidup dalam pengasingan yang terpaksa harus dijalaninya, mencari sesuatu
yang dirasa pas untuk melengkapi kekosongan hatinya. Ini bukanlah rasa
ketidakpuasan Dimas yang memutuskan untuk mempersunting Vivienne, hanya
saja rasa keputus asaan dirinya yang ingin kembali pulang ke Indonesia. Ia merasa
hanya Indonesia yang bisa mengisi ruang yang selalu tertutup dan gelap itu.
91
Ibid, hlm. 203
92
Ibid, hlm. 278
93
Ibid, hlm. 280
74
kembali ke tanah airnya, melebur dengan tanah yang menjadi tempat asalnya.
Menemui kedamaian yang selama ini ia mimpikan, medapatkan kembali
identitasnya sebagai orang Indonesia. Ia menegaskan pula bahwa selama ia hidup
di Prancis, ia bukanlah bagian dari negara tersebut. Darah yang mengalir di
tubuhnya adalah darah Indonesia, tanah yang katanya kaya dan di huni oleh orang-
orang yang kuat. Tanah yang kental akan budayanya yang mengikat dan membuat
siapa saja terpesona. Baginya, unsur-unsur Indonesia yang ia selipkan di rumahnya,
hanya mampu membuat dirinya sedikit bertahan hidup di negeri asing, tak sanggup
untuk memuaskan keinginannya. Ia tetap ingin kembali pulang.
Akhirnya dia bersatu dengan tanah yang menurut dia “memiliki aroma yang
berbeda” dengan tanah Cimetiere du Perelacahise. Tanah Karet. Tanah
tujuan dia untuk pulang.94
Berdasarkan pada perjalanan Dimas dalam mencari identitas, pada fase
akhir hidupnya, Dimas mencapai mimpinya. Ia kembali ke Indonesia, menyatu
dengan tanah Karet yang merah. Ia berhasil mendapatkan identitasnya kembali
sebagai warga Indonesia. Dengan dikelilingi orang-orang yang dikasihinya, ia
menemukan kedamaian yang kekal. Hal ini merupakan buah manis dari kesabaran
serta kesetiannya dalam mencintai tanah airnya. Kematianlah yang membawanya
pada negara yanga sangat ia cintai, identitas yang selama ini ia cari.
94
Ibid, hlm. 447
75
semua berakhir ketika ia terserang yang namanya jatuh cinta pada pandangan
pertama kepada lelaki asia yang ia temui di depan kampusnya.
Aku lahir dari keluarga Laurance Deveraux yang memilih untuk mengikuti
nalar; yang percaya bahwa hidup akan selesai setelah selang pernafasan
penyangga hidup dicabut. Segala kisah tentang kehidupan setelah kematian,
untuk kami, adalah romantisme mereka yang percaya bahwa manusia
adalah mahluk immortal. Mereka ingin memperpanjang kehidupan yang
memiliki batas. Mereka tak ingin kehidupan patah dan menuju pada sebuah
ketidaktahuan. Aku percaya pada kefanaan. Aku ingin percaya bahwa suatu
hari hidupku selesai. Keluarga kami adalah deviasi dari seluruh Deveraux,
penganut agama Katolik yang mengisi hari Minggu dengan pergi ke gereja
dan makan siang bersama.95
Dari kutipan di atas, menjelaskan bahwa Vivienne hidup dengan keluarga
yang harmonis serta religius. Ia hidup dengan tatanan yang rapih, setiap peristiwa
yang ia jalani sudah tersusun atas kuasa Tuhan. Baginya kehidupan akan selelsai
suatu saat nanti.
Dengan cara berpikir seperti keluarga Deveraux, yang hidup untuk hari ini,
bekerja untuk hari ini, tentu saja dengan sendirinya aku tak percaya le coup
de foudre. Bagaimana mungkin kita bisa mencintai seseorang yang baru kita
kenal? Atau bahkan yang baru saja bertabrakan mata? Jamais.96
Kehidupan Vivienne yang terkesan monoton, yang segala sesuatunya telah
terstruktur harus mengalami sedikit perbedaan ketika rasa cinta itu muncul. Ia yang
selalu percaya pada nalar logika tentu merasa terkejut ketika peristiwa yang baginya
mustahil menimpanya, yaitu mencintai lelaki yang baru saja bertatapan dengannya.
Ia merasa ada yang aneh dengan kejadian itu, ini adalah sesuatu yang baru baginya
yang terjadi selama ia hidup.
Itu yang dikatakan Maman ketika pertama kali ia bersibobrok mata dengan
ayah di kampus Sorbone Mei 1968. Mereka selalu menceritakannya dengan
penuh sentimentalitas revolusi, kemerdekaan, keadilan, dan kebebasan.
Yang belakangan itu, menurutku, pasti soal kebebasan seks, karena sebelum
revolusi Mei 1968, aku dengar dari cerita Maman, asrama lelaki dan
perempuan di kampus di Prancis masih dipisah.97
95
Ibid, hlm. 199
96
Ibid, hlm. 200
97
Ibid, hlm. 363
76
Hal ini bermula pada Mei tahun 1968, ketika itu mahasiswa Sorbone
melakukan aksi demo untuk meminta kebijakan pemerintah tentang kebebasan dan
keadilan seluruh rakyat Prancis. Di hari itu ia menemukan sesosok laki-laki Asia
yang memiliki perawakan yang ganteng, serta ada kesan misterius di dirnya yang
ingin Vivienne sentuh. Ketika itu pula kewarasan yang dianutnya terancam hilang
hanya karena rasa cinta yang datang tanpa permisi.
Ada rasa kehilangan dalam dirinya yang ingin kuraba dan kugenggam. Ada
kesedihan di matanya yang ingin kusembuhkan. Selain itu, ada kemampuan
untuk bertahan dan terus melawan yang sungguh luar biasa. Kemampuan
bertahan dan menangkis segala badai dalam hidupnya. Meski daya tahannya
bisa sampai ke tahap obsesif. Mungkin para eksil politik dari negara mana
pun mempunyai persamaan itu: jiwa untuk bertahan yang kemudian
membuat mereka obsesif untuk menunjukkan sesuatu.98
Sosok Dimas yang ia lihat untuk pertama kalinya merupakan sosok yang
membuatnya penasaran. Baginya dari sosok Dimas inilah ia merasakan atau
menginginkan sesuatu yang berbeda dan baru pertama kali terjadi dalam hidupnya.
Dari sosok Dimas inilah ia bisa mendapatkan sebuah nilai kehidupan yang berbeda
dengan yang selama ini ia anut. Ia yang hidup dalam sebuah nalar, harus takluk
dengan kehidupan orang lain yang sering ditimpa oleh rasa sakit. Dua orang dengan
latar berbeda untuk mendapatkan suatu pelajaran dan nilai yang baru.
Dengan segera aku paham, Vivienne, seperti juga aku, adalah seorang
pengembara. Dia ingin mengetahui dan memahami berbagai macam
pemikiran yang lahir pada setiap masa yang penting tanpa harus mampir
dan berhenti untuk menikmati pesona.99
Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa Vivienne dan Dimas memiliki
kesamaan, mereka tak mudah terpesona dengan satu paham saja. Mereka adalah
pengelana, mencari sesuatu yang bisa mereka nikmati tanpa harus mereka yakini.
98
Ibid, hlm. 203
99
Ibid, hlm. 25
77
Vivienne Deveraux dan aku dengan cepat menjadi dua titik yang melekat
menjadi satu garis yang merayap, menyusuri pori-pori tubuh Paris.100
Ternyata rasa itu tidak bertepuk sebelah tangan, lelaki Asia yang bernama
Dimas Suryo itu juga merasa tertarik dengan Vivienne, sehingga membuat mereka
dekat. Hal ini membuat Vivienne tidak sungkan untuk menceritakan tentang
keiginannya serta para kawan-kawannya yang melakukan demontrasi untuk
mendapatkan kebebasan. Ceritanya sangat dipenuhi gejolak muda yang kental
dengan peberontakan, ia terus menceritakan bagaimana para pendemo semangat
dalam berjuang serta betapa keos negerinya saat itu.
Selama itu pula Vivienne tak memaksaku untuk bercerita tentang diriku.
Dia tak banyak–atau tepatnya, belum berani–bertanya tentang sejengkal dua
jengkal sejarah hidupku. Dan aku sudah tahu banyak tentangnya.101
Vivienne adalah seorang wanita yang tahu di mana batasannya saat
berhubungan dengan seseorang. Walaupun segala kisah telah ia sampaikan pada
Dimas, ia tidak mau terburu-buru untuk mengetahui sejarah tentang Dimas. Ia tidak
mau dianggap lancang jika memaksa Dimas untu menceritakan siapa dirinya yang
sebenarnya. Ia mampu bersabar untuk sementara waktu dan menyiapkan diri ketika
Dimas memutuskan untuk memulai kisah hidupnya.
Vivienne segera saja paham bahwa sikapnya yang terbuka padaku itu tidak
otomatis mendapat barter sejarah hidupku. Dia menyadari, kedatanganku ke
Paris bukan karena aku adalah bagian dari keluarga bourgeoisie yang sibuk
mengutip Albert Camus sebagai bagian dari kekenesan. Dia tahu betul, ada
sesuatu yang memaksaku berhenti dan tertahan di Eropa. Mungkin dari
caraku menghitung lembaran franc dengan hati-hati atau karena aku hanya
bisa berlama-lama di toko buku bekas tanpa membeli. Dia sungguh
perempuan yang penuh pengertian.102
100
Ibid, hlm. 13
101
Ibid, hlm. 15
102
Ibid, hlm. 16
78
menempuh pendidikan atau berlibur di negara yang cantik itu. Vivienne sadar ada
sesuatu yang yang mengerikan sehingga Dimas bisa terdampar di Paris.
103
Ibid, hlm. 20
104
Ibid, hlm. 84
79
105
Ibid, hlm. 206
106
Ibid, hlm. 207
80
Surat itu dari wanita yang mejadi cinta sejati Dimas yang berada di Indonesia. Hal
ini membuat Vivienne berang dan akhirnya meminta berpisah dari suaminya. Ia
tidak menolerir tentang adanya perempuan lain di kehidupan pernikahannya. Saat
itu ia sadar bahwa ia tidak bisa memaksa Dimas untuk menjadi manusia dengan
identitas yang baru. Paris hanyalah tempat singgah sementara untuk Dimas, tempat
yang menjadi saksi betapa setianya seorang warga negara terhadap negaranya
sendiri. Ia sadar pula bahwa selama ini Paris bukanlah rumah bagi Dimas. Pada
akhirnya perpisahanlah yang membuat sadar siapa dirinya, ia hanyalah wanita
Prancis yang menginginkan sesuatu yang baru yang eksotis untuk ada di dalam
hidupnya, namun pada akhirnya harus merelakannya pergi. Dimas tetaplah lelaki
yang setia pada negaranya, wanitanya, serta identitas asalnya. Walaupun sudah
berkali-kali ditolak, tidak menyurutkan niatnya untuk kembali. Vivienne pun
memutuskan untuk tetap menjadi warga Paris yang baik serta menikmati perannya
sebagai ibu bagi Lintang, serta sahabat bagi Dimas, yang telah berpisah namun
masih saling mengerti dan memberikan kasih sayang yang tulus.
Berdasarkan dari analisis di atas, ketiga tokoh dalam novel Pulang karya
Leila S. Chudori sempat mengalami krisis identitas sehingga mengaharuskan
mereka untuk mencari identitas. Tokoh Lintang lahir di dalam lingkungan berbau
Indonesia yang didirikan oleh ayahnya, sehingga membuatnya sedikit mengenal
tentang budaya Indonesia, walaupun ia lahir dan tumbuh besar di Paris. Selama
hidupnya ia selalu dipenuhi rasa penasaran yang tinggi tentang identitas keduanya,
yaitu Indonesia, yang membuat dirinya memutuskan untuk datang ke Indonesia
dengan tujuan menyelesaikan tugas akhirnya. Lintang yang pada mulanya hanya
mengambil data di Indonesia, akhirnya jatuh cinta pada pesona negara tersebut.
Pada dasarnya keraguan hatinyalah yang memutuskan untuk mencari asal-usul
dirinya sehingga ia memutuskan untuk mengakui bahwa Indonesia merupakan
salah satu identitasnya, dan menjadikannya rumah untuk ia kembali. Tokoh Dimas
yang semula beridentitas sebagai orang Indonesia harus merelakan identitasnya
yang hilang karena paspornya yang dicabut, ia pun harus berkelana demi
menemukan identitas yang baru, ia memutuskan untuk menetap di Paris dan
meminta suaka politik selama ia tinggal di sana. Namun, ia adalah seseorang yang
81
memiliki sifat loyalitas pada budaya aslinya dengan selalu menaruh beberapa
barang yang mewakilkan negaranya di setiap sudut rumahnya. Sehingga ia tetap
memegang identitas asalnya walaupun kecil kemungkinan ia kembali ke tanah air.
Pada akhirnya kematianlah yang membawa Dimas pulang, bersatu dengan tanah
Indonesia yang merupakan mimpinya. Tokoh Vivienne yang besar dengan keluarga
yang selalu bersikap mengikuti nalar serta religius, membuat dirinya tidak percaya
pada cinta pandangan pertama. Namun hal itu terbantahkan ketika ia
mengalaminya, semua nalar dan kewarasannya haruslah runtuh ketika ia
berhadapan dengan sesuatu yang eksotis, misterius, yang baru ia temui. Pada saat
itulah ia merasakan sesuatu yang berbeda terjadi di dalam hidupnya. Ia merasakan
sebuah pengalaman yang belum pernah ia rasakan, sesuatu yang selalu diburunya.
Pada akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan dimas Suryo, lelaki yang
membuatnya jatuh cinta menyatukan segala pebedaan budaya demi menuju pada
kehidupan yang dan lebih baik. Namun pernikahannya tak bisa bertahan lama
karena pandangan hidup yang berbeda, sehingga mereka sepakat untuk berpisah
dan memilih jalan masing-masing. Dari perpisahan inilah Vivienne mendapatkan
keasadaran tentang siapa dirinya, ia hanyalah wanita Prancis yang menginginkan
sesuatu yang eksotis untuk bertahan di hidupnya, tetapi pada akhirnya harus
merelakannya pergi. Setidaknya ia dapat sebuah pelajaran tentang bertahan hidup
dari sosok Dimas, mantan suaminya.
Analisis tentang pencarian identitas tokoh Lintang Utara, Dimas Suryo, dan
Vivienne Deveraux dapat diimplikasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra di
sekolah. Novel ini menitikberatkan pada aspek sejarah, sosial, dan pengetahuan
yang bertujuan untuk memahami struktus kaidah di dalam novel. Kaitannya dengan
novel Pulang karya Leila S. Chudori ini yaitu guru dapat memberikan sebuah
rujukan kepada peserta didik untuk membaca dan memahami proses pencarian
identitas tokoh Lintang, Dimas, dan Vivienne.
Perjalanan selama mencari sebuah identitas tiga tokoh dalam novel ini dapat
direfleksikan ke kehidupan peserta didik. Hal ini, karena ketiga tokoh novel ini
sempat mengalami kesulitan dalam mengidentifikasikan dirinya, mereka selalu
dihantui rasa bingung akan jati diri mereka yang sebenarnya. Seperti tokoh Lintang
yang merupakan anak dari perkawinan dua negara yang berbeda harus memburu
jati dirinya yang sebenarnya, tokoh Dimas yang harus berpindah-pindah tempat
tinggal sehingga membuat identitas yang dimilikinya hilang, serta tokoh Vivienne
yang terpesona dengan sesuatu yang baru, yang ia temui dalam sosok Dimas,
sehingga membuat dirinya penasaran yang ada pada lelaki Indonesia itu.
dilalui oleh peserta didik. Maka dari itu materi serta bimbingan dari guru di sekolah
sangatlah penting. Dari ketiga tokoh ini juga memberikan contoh dan pengalaman
yang tidak harus dirasakan oleh peserta didik.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Tiga tokoh dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori sempat mengalami
krisis identitas sehingga mengaharuskan mereka untuk mencari identitas.
Tokoh Lintang lahir di dalam lingkungan berbau Indonesia yang didirikan
oleh ayahnya, sehingga membuatnya sedikit mengenal tentang budaya
Indonesia, walaupun ia lahir dan tumbuh besar di Paris. Selama hidupnya ia
selalu dipenuhi rasa penasaran yang tinggi tentang identitas keduanya, yaitu
Indonesia, yang membuat dirinya memutuskan untuk datang ke Indonesia
dengan tujuan menyelesaikan tugas akhirnya. Lintang yang pada mulanya
hanya mengambil data di Indonesia, akhirnya jatuh cinta pada pesona negara
tersebut. Pada dasarnya keraguan hatinyalah yang memutuskan untuk
mencari asal-usul dirinya sehingga ia memutuskan untuk mengakui bahwa
Indonesia merupakan salah satu identitasnya, dan menjadikannya rumah
untuk ia kembali. Tokoh Dimas yang semula beridentitas sebagai orang
Indonesia harus merelakan identitasnya yang hilang karena paspornya yang
dicabut, ia pun harus berkelana demi menemukan identitas yang baru, ia
memutuskan untuk menetap di Paris dan meminta suaka politik selama ia
tinggal di sana. Namun, ia adalah seseorang yang memiliki sifat loyalitas pada
budaya aslinya dengan selalu menaruh beberapa barang yang mewakilkan
negaranya di setiap sudut rumahnya. Sehingga ia tetap memegang identitas
asalnya walaupun kecil kemungkinan ia kembali ke tanah air. Pada akhirnya
kematianlah yang membawa Dimas pulang, bersatu dengan tanah Indonesia
yang merupakan mimpinya. Tokoh Vivienne yang besar dengan keluarga
yang selalu bersikap mengikuti nalar serta religius, membuat dirinya tidak
percaya pada cinta pandangan pertama. Namun hal itu terbantahkan ketika ia
mengalaminya, semua nalar dan kewarasannya haruslah runtuh ketika ia
berhadapan dengan sesuatu yang eksotis, misterius, yang baru ia temui. Pada
saat itulah ia merasakan sesuatu yang berbeda terjadi di dalam hidupnya. Ia-
84
85
2. Analisis tentang pencarian identitas tokoh Lintang Utara, Dimas Suryo, dan
Vivienne Deveraux dapat diimplikasikan dalam pembelajaran bahasa dan
sastra di sekolah. Peserta didik diharapkan mampu menganalisis dan
menjelaskan bagaimana proses percarian identitas tiga tokoh pada novel yang
telah dibaca, yaitu dengan cara berpartisipasi langsung dalam menganalisis.
Hal ini bertujuan agar peserta didik dapat memahami cara mencari identitas
atau jati diri sehingga tidak salah langkah yang menyebabkan penyimpangan.
Fase ini merupakan fase yang sangat penting, yang pasti akan dilalui oleh
peserta didik. Maka dari itu materi serta bimbingan dari guru di sekolah
sangatlah penting. Dari ketiga tokoh ini juga memberikan contoh dan
pengalaman yang tidak harus dirasakan oleh peserta didik.
B. Saran
Kep.rda Yth.,
\ Ill(Dcl!panl
Judul Skripsi "]lultiliulturul d1llam Nolel Pultng K^tJ,t\ Leil.r S. Chudori
dan Implikasioya terhadap pembelajaran Bahasa atan Sastra
di Sekolah"
Judul. tersebut telah disetujui oleh Jllrusan yang bersangkuian pada tanggal 16
Marct 2018, abstraksi/orrl/re terlanrpir. Saxdara dapal rnelaklrkan perllbahan redaksional
pada judul tersebut. Apabila perubahan substansial diarggap perlu, mollon pembimbing
rienghubungi Jurusan tcrlebih dahulu
Atas perhatiaD dan kerja sa,na Saudara, kami ucapkan terima kasih.
l4/u.s.; a l a n tt a l er i ku n y, r. y, b.
Sut}nki, M, Hum.
5 200901 I 0t5
l. Dcl(an FITK
I Kairr PBSI
Sekolah : SMA Negeri 1 Parung
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : XII / Genap
Materi Pokok : Analisis Teks Novel dan Unsur Intrinsik
Alokasi Waktu : 1 Minggu x 4 Jam Pelajaran @45 Menit
A. Kompetensi Inti
1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
2. Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
peduli (toleransi, gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun,
responsif, proaktif, dan percaya diri sebagai bagian dari solusi atas
berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan
keberadaannya.
3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik
sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. Mencoba, mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret
(menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat)
dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan
mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah secara mandiri
dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang atau teori dengan
menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.
B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK)
C. Tujuan Pembelajaran
Selama dan setelah mengikuti proses pembelajaran ini peserta
didik diharapkan dapat mengidentifikasi unsur intrinsik dan menemukan
proses pencarian identitas dalam novel. Peserta didik juga mampu menjadi
insan yang memiliki kemampuan berbahasa dan bersastra untuk menggali
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan menerapkan secara kreatif dalam
kehidupan sosial.
D. Materi Pembelajaran
1. Analisis teks novel
2. Unsur intrinsik dan proses pencarian identitas
3. Hasil menyunting penggalan teks novel berupa unsur intrinsik dan analisis
pencarian identitas.
E. Metode Pembelajaran
Pendekatan : Scientific Learning
Model Pembelajaran : Discovery Learning
Metode : Tanya Jawab, Diskusi dan Penugasan
F. Alat, Media dan Sumber Belajar
1. Alat
➢ LCD Proyektor
➢ Notebook
2. Media
➢ Power Point materi tentang puisi rakyat
➢ Email
➢ Novel Pulang karya Leila S. Chudori
3. Sumber Belajar
➢ Buku teks Bahasa Indonesia SMA/SMK/MA/MAK Kelas XII Edisi
Revisi. 2017. Jakarta: Kemendikbud.
➢ Buku refensi yang relevan,
➢ Lingkungan setempat
G. Langkah-langkah Pembelajaran
Pertemuan
Pertama
Kegiatan Deskripsi kegiatan Alokasi
waktu
Pendahuluan Orientasi 10 menit
1. Pendidik melakukan pembukaan dengan salam pembuka dan
berdoa untuk memulai pembelajaran.
2. Pendidik mempersiapkan peserta didik dalam pembelajaran dengan
menanyakan kabar, dan memeriksa kehadiran peserta didik sebagai
sikap disiplin.
Appersepsi
3. Pendidik mengaitkan materi pembelajaran yang akan dilakukan
dengan pengalaman peserta didik dengan materi sebelumnya,
4. Pendidik mengingatkan kembali materi dengan bertanya.
Tujuan dan Motivasi
5. Pendidik memberikan informasi tentang kompetensi dan tujuan
juga manfaat pentingnya mempelajari analisis teks novel, unsur
intrinsik serta mengidentifikasi proses pencarian identitas dalam
novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya dalam
kehidupan sehari-hari.
6. Pendidik memotivasi peserta didik mengenai pentingnya
mempelajari materi yang sedang diajarkan.
Pemberian Acuan
7. Pendidik memberitahukan materi pelajaran yang akan dibahas
sesuai rpp.
Kegiatan Inti Mengamati 60 menit
8. Peserta didik diminta untuk memperhatikan dan mencermati LCD
proyektor yang berbentuk power point yang berisi teks novel yang
berkaitan dengan unsur intrinsik novel.
9. Peserta didik menemukan proses pencarian identitas dalam novel.
Menanya
10. Pendidik memberikan kesempatan pada peserta didik untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin pertanyaan yang berkaitan
dengan materi yang disajikan melalui power point dan akan dijawab
melalui kegiatan.
Membimbing Penyelidikan Individu dan Kelompok
11. Pendidik membimbing peserta didik untuk menentukan:
a. Analisis teks novel
b. Unsur-unsur intrinsik
c. Mengidentifikasi proses pencarian identitas dalam novel
Pulang karya Leila S. Chudori
12. Pendidik meminta kepada setiap kelompok untuk
mempersentasikan hasil diskusi di depan kelas terhadap analisis
unsur intrinsik novel dan proses pencarian identitas tiga tokoh dalam
novel Pulang karya Leila S. Chudori melalui LCD Projektor yang
berbentuk power point
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
13. Pendidik dan peserta didik secara bersama-sama meluruskan
pembahasan yang sudah didiskusikan sebelumnya.
14. Pendidik memberikan penghargaan (pujian) kepada seluruh
peserta didik yang telah berusaha belajar semaksimal mungkin pada
saat pembelajaran berlangsung.
Penutup 15. Pendidik melakukan refleksi, misalnya mereview bagian mana 10 menit
yang perlu dijelaskan lebih lanjut.
16. Peserta didik dibantu oleh pendidik membuat kesimpulan tentang
materi yang telah dibahas hari ini.
17. Pendidik memberikan tugas kepada peserta didik untuk
mengungkapkan pengalamn kehidupan sebagai pembelajaran yang
terkandung dalam sebuah novel.
H. Penilaian
1. Teknik/jenis : tugas individu/kelompok
2. Bentuk instrumen : pengamatan sikap, tes tertulis, pekerjaan
rumah
a. Penilaian sikap
Ket
Bertanggung Percaya Disiplin Jujur
Berani Sopan
Jawab Diri
1.
Jumlah
b. Penilaian Pengetahuan
Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia
I 35. 195.
196. 199.
100.201.
205.206.
20t, 2l l.
2.16. l5l.
25(,.2iS.
21) l. IiS.
2110.286.
10.1. 105.
-: L 5. l6l,
,101. .10-1.
,105..114.
-!rt Ji,
,140. ,1,11
,
112. 417,
'1.19
9. Daniyati, Ester. "Perjalaiai Pencar-ian Jati l)iri lokoh Kim 30
10.
Semarang.2010
t2.
E,, Kosasih. Dasar-dasar Keterampilan Bersastl-a. Balldung:
14.
Mlhammadiyah Unifersity Press. 2001
http://www.kpai.go.id/be trkpai-scbut-ada-dua-
faktor-penyebab-siswa-di-kendal-bui1y-guru dlunduh A
pada 19 Juni 2019
24',7
258
258-2',7 5,
302
302-309
a
359-360
Ombak.2012
,)o
)t. Pradipta. Aclit)a Doni. 'Konflih Politik dalam Novel P /.7rg
Karya Leila S. Chudori: llinjauan Sosiologi Sastla dan
23. Ilizal. lta].'Saya Tak Petcaya PadaBakat . PI)lj ILB Jassin. 3,1
1988.
A1fabeta.2005 ,<
Sulast . E,ris dkk. Bahasa dan Sastta [lldonesia. lakarta Iv 25
31
Strauss, Anslem & Juliet Corbi.. Dasar dasar penelitian
lcualtatd Yogyakarata: Pustaka pelajar. 2003
Taligan, Hanry Cul7l$t- I'engajian aiala Ballasa- Bal,drng,
.1-5
I
6
19
I
Pe,. r.b , qr gl,:.a. '01 ' \
li.
Titiall ilmu Bandung. 2009
Yudistyanto, Uky Mareta. "Pendekatarl Sosiologi Sastra, 28
fi
Resepsi Saska dan Nilai Pendidikan dalam Novel
Pulang Karya Leila S. Chudori", Masters Thesis 4
Universitas Sebelas Maret, Surakarta: 2011
31. Zarita, AksiDta Ken. Repertoire dalarn Novcl Puldrg Kalya 29
Leila S. Chudoll: Kajian Respons Esletik Woltgang
lser". Skripsi Fakullas Sastla dar Scni
Unirelsitas Scbclas NIarct. Surakmta: f016
Rupa
a
Jakaita. Juli 201!)
Pelnbimbilig
Ajeng Pertiwi Kartika Sari, lahir di Jakarta pada 01 Februari 1996. Anak
bungsu dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sularjo dan Ibu
Supiyati. Ajeng Pertiwi Kartika Sari yang akrab disapa Ajeng ini
memulai pendidikannya di RA (Raudhatul Athfal) Yapia Parung, lulus
pada tahun 2002. Kemudian melanjutkan pendidikannya di SDN Waru
02 Parung, lulus pada tahun 2008. Selanjutnya, ia melanjutkan
pendidikan pada jenjang berikutnya, yaitu di SMPN 01 Parung, lulus
pada tahun 2011. Ia melanjutkan pendidikannya di SMAN 01 Parung,
lulus pada tahun 2014. Setelah itu, ia meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi, yaitu di
UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan memilih jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.