Anda di halaman 1dari 14

UJIAN TENGAH SEMESTER

Mata Kuliah : Tafsir


Prodi/Kelas/Smt : Psikologi Islam/F/III
Dosen 1 : H. Masruchin, Ph.D.
Dosen 2 : Hilmi Yusron Rofi’i, M.H.
Dikumpul : Maksimal 16 November 2021

1. Apa yang anda pahami mengenai konsep manusia di dalam Al-Qur’an (Al-Basyar,
Al-Insan, dan An-Nass). Jelaskan dan tampilkan ayat serta tafsirannya.
2. Apa yang anda pahami mengenai kepribadian manusia di dalam Al-Qur’an. Jelaskan
dan tampilkan ayat serta tafsirnya.
3. Apa yang anda pahami mengenai kesehatan mental di dalam Al-Qur’an. Jelaskan dan
tampilkan ayat serta tafsirannya.
4. Apa yang anda pahami mengenai kepribadian di dalam Al-Qur’an. Jelaskan dan
tampilkan ayat serta tafsirannya.
5. Apa yang anda pahami mengenai dorongan-dorongan psikis manusia di dalam Al-
Qur’an. Jelaskan dan tampilkan ayat serta tafsirannya.
Nama:Devi Triani

Npm:2031060323

Kelas:F.3

Uts: Tafsir

Jawaban

1.-Al- Basyar

Secara etimologi al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat
tumbuhnya rambut. Penamaan ini menunjukkan makna bahwa secara biologis yang
mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibanding rambut atau bulunya Kata basyar
dapat juga diartikan sebagai makhluk biologis, maksudnya memberi pengertian kepada sifat
biologis manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain.

Oleh karena yang ditonjolkan pada kata basyar adalah pada aspek ini, banyak ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan kata basyar, dan ayat-ayat tersebut mengindikasikan bahwa manusia
dalam pengertian basyar ini tidak memiliki kualitas kemanusiaan yang menunjukkan
kelebihan manusia yang satu atas yang lainnya. Sebagai basyar manusia hanyalah kumpulan
dari organ-organ tubuh yang memiliki fungsi fisiologis semata dan memiliki kaitan dengan
tindakan-tindakan yang memerlukan topangan organ-organ fisik.

Manusia dalam konsep al-Basyr ini dapat berubah fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan
semakin lemah dan akhirnya meninggal dunia. Dan dalam konsep alBasyr ini juga dapat
tergambar tentang bagaimana seharusnya peran manusia sebagai makhluk biologis.
Bagaimana dia berupaya untuk memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan
Penciptanya. Yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.

Salah satunya pada surah Yusuf ayat 31

َ ‫فَلَ َّما َرأَ ْينَهُ أَ ْكبَرْ نَهُ َوقَطَّ ْعنَ أَ ْي ِديَه َُّن َوقُ ْلنَ َح‬
ٌ َ‫اش هَّلِل ِ َما هَ َذا بَ َشرًا إِ ْن هَ َذا إِاَّل َمل‬
‫ك َك ِريم‬

“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepadanya (keelokan rupanya)
dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: Maha sempurna Allah, ini bukanlah
manusia (basyar). Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia”. (Q.S.Yusuf :
31)

Disini dijelaskan Dalam surah Al-Hijr ayat ke-33, Allah Ta‘ala bahkan mengabadikan kata-
kata iblis, yang mengklaim secara fisik dirinya lebih unggul.

َ ‫ص ْل‬
ٍ ُ‫صا ٍل ِم ْن َح َمإ ٍ َم ْسن‬
‫ون‬ َ ‫قَا َل لَ ْم أَ ُك ْن أِل َ ْس ُج َد لِبَ َش ٍر خَ لَ ْقتَهُ ِم ْن‬

“Berkata Iblis: ‘Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia (basyarin) yang Engkau
telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk.’”

-Al-Insan

Kata al-Insan yang berasal dari kata al-uns. Secara etimologi, al-Insan dapat diartikan
harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Dan ada juga dari akar kata Naus yang
mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al-Insan dapat kita
pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta
berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali
dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan, sikap,
serta perilaku negatife dan merugikan.

Kata ini lebih menekankan pada aspek psikologis manusia yang dapat berpikir dan merasakan
apa yang dialaminya. Namun demikian harus dipahami bahwa insaan tidak ada tanpa ada
basyar, karena sifat insaan senantiasa melekat pada sifat basyariyah manusia. Basyar
merupakan wujud materi, sementara insaan merupakan eksiden bagi materi tersebut.

Kata insaan juga dikaitkan dengan asal-usul penciptaannya. Namun demikian, asal usul
penciptaan manusia di sini sedikit agak berbeda dengan asalusul yang disebutkan dalam
kaitannya dengan kata basyar. Meskipun juga dikaitkan dengan unsur-unsur sebagaimana
yang disebutkan dalam basyar, seperti tanah yang liat dan debu, kata insaan dikaitkan paling
sering dengan kata nuthfah.

Digambarkan dalam al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 172


ُ ‫ُور ِه ْم ُذ ِّريَّتَهُ ْم َوأَ ْشهَ َدهُ ْم َعلَى أَ ْنفُ ِس ِه ْم أَلَس‬
‫ْت بِ َربِّ ُك ْم قَالُوا بَلَى َش ِه ْدنَا‬ َ ُّ‫َوإِ ْذ أَخَ َذ َرب‬
ِ ‫ك ِم ْن بَنِي آ َد َم ِم ْن ظُه‬

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belulang) anak cucu Adam
keturunan mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman) :
Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Kami bersaksi”. (Q.S.al-A’raf : 172)

-Al-Nas

Kata An- Nas dalam Al-Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai
makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari
pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling
kenal mengenal “berinterksi”

Yang lain mengakarkan pada kata nasa-yanusu artinya bergoncang. Sementara dzu nawwas
artinya yang memiliki keilmuan. Konsep al-Nas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi
manusia sebagai makhluk sosial, Dalam alQur‟an kata al-Nas dipakai untuk menyatakan
adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan (aktivitas)
untuk mengembangkan kehidupannya. Penyebutan manusia dengan kata Al-Nas tampak lebih
menonjolkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa
bantuan dan bersama-sama manusia lainnya.

Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus mengutamakan keharmonisan


bermasyarakat. Manusia harus hidup ber-sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri, karena
manusia tidak bisa hidup sendiri. Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang
bermula dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi
masyarakat, ini menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling
menjatuhkan. Manusia dalam arti al-nas paling banyak disebut al-Quran yaitu sebanyak 240
kali. Salah satunya adalah surah (Al-hujurat :13)

َ ‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا َخلَ ْقنَا ُكم ِّمن َذ َك ٍر َوأُنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبا ً َوقَبَائِ َل لِتَ َع‬
‫ارفُوا‬

“Wahai manusia sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal”. (Q.S.al-Hujurat : 13)
2. Secara etimologis perkataan persona berarti topeng (mask) yang dipakai di dalam
sandiwara/drama Yunani, yang digunakan joleh bangsa Romawi 100 th SM. Para ahli
terakhir mengatakan dengan istilah per-seuna (self containing).

Secara teologi berarti kepribadian, di mana Tuhan (a Deity) sebagai causa prima dan causa
finalis (sebab pertama dan terakhir) dari pada pribadi manusia.

Secara Psikologis, kepribadian adalah jumlah dari keseluruhan unsur-unsur biologis,


dorongan, kecenderungan, keinginan-keinginan, dan naluri-naluri individu dan juga
disposisidisposisi serta kecenderungan yang berasal dari pengalaman.

Al-Qur’an mengisyaratkan pergulatan psikologis yang dialami oleh manusia, yakni antara
kecenderungan pada kesenangan-kesenangan jasmani dan kecenderungan pada godaan-
godaan kehidupan duniawi. Jadi, sangat alamiah bahwa pembawaan manusia tersebut
terkandung adanya pergulatan antara kebaikan dan keburukan, antara keutamaan dan
kehinaan, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi pergulatan antara aspek material dan aspek
spiritual pada manusia tersebut dibutuhkan solusi yang baik, yakni dengan menciptakan
keselarasan di antara keduanya.

Potensi positif dan negatif manusia ini banyak diungkap oleh Al-Qur’an. Di antaranya ada
dua ayat yang menyebutkan potensi positif manusia, dijelaskan dalam Q. S al-isra [7]:70

ِ ‫ت َوفَض َّْل ٰنهُ ْم ع َٰلى َكثِي ٍْر ِّم َّم ْن َخلَ ْقنَا تَ ْف‬
۞ 70 ࣖ ‫ض ْياًل‬ ِ ‫ َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا بَنِ ْْٓ™ٓي ٰا َد َم َو َح َم ْل ٰنهُ ْم فِى ْالبَ ِّر َو ْالبَحْ ِر َو َر َز ْق ٰنهُ ْم ِّمنَ الطَّيِّ ٰب‬.
Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat
dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di
atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.

Di samping itu, banyak juga ayat Al-Qur’an yang mencela manusia dan memberikan cap
negatif terhadap manusia. Di antaranya adalah manusia amat aniaya serta mengingkari
nikmat (Q.S. Ibrahim [14]: 34).

ࣖ ‫َو ٰا ٰتى ُك ْم ِّم ْن ُكلِّ َما َسا َ ْلتُ ُموْ ۗهُ َواِ ْن تَ ُع ُّدوْ ا نِ ْع َمتَ هّٰللا ِ اَل تُحْ صُوْ ه َۗا اِ َّن ااْل ِ ْن َسانَ لَظَلُوْ ٌم َكفَّا ٌر‬

Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan
jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.
Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).
3. Istilah “kesehatan mental” diambil dari konsep mental hygiene. Kata mental diambil dari
bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahasa Latin yang artinya psikis,
jiwa atau kejiwaan. Jadi istilah mental hygiene dimaknakan sebagai kesehatan mental atau
jiwa yang dinamis bukan statis karena menunjukkan adanya usaha peningkatan.

Sementara Menurut Dr. Jalaluddin dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa: “Kesehatan
mental merupakan suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman
dan tentram, dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain
melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan)”

Sesuai dengan pengertian Islam ditinjau dari segi bahasanya dan asal katanya, Islam memiliki
beberapa pengertian, diantaranya adalah:

Berasal dari ‘salm’ yangberarti damai.(QS. 8:61)

Berasal dari kata ‘aslama’ berarti menyerah.(QS. 4:125)

Berasal dari kata istaslama– mustaslimun penyerahan total kepada Allah.(QS. 37 : 26)

Berasal dari kata ‘saliim’ yang berarti bersih dan suci.(QS. 26:89)

Berasal dari ‘salam’ berarti selamat dan sejahtera.(QS. 19:47)

Disini dijelaskan dalam surah Al-Baqarah 155-156

ِ ۗ ‫س الثَّ َم ٰر‬
‫ت ال‬ ِ ْ‫ف ْالجُو‬
ِ ُ‫ع ااْل َ ْم َوا ِل ااْل َ ْنف‬ ِ ْ‫لَنَ ْبلُ َونَّ ُك ْم ْال َخو‬

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit jaringan, kekurangan, harta, jiwa, dan
buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (Q.S Al-
Baqarah:155)

َ‫ص ْيبَةٌ ۗ قَالُ ْٓوا اِنَّا هّٰلِل ِ َواِنَّٓا اِلَ ْي ِه ٰر ِجعُوْ ۗن‬ َ َ‫اَلَّ ِذ ْينَ اِ َذٓا ا‬
ِ ‫صابَ ْتهُ ْم ُّم‬

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna
ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).(Q.S Al-
Baqarah:156)
4. Ada tiga komponen nafsani yang disebut al-Qur’an yang memiliki saham dalam
pembentukan kepribadian yaitu:

-Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar
pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle). Ia menarik kalbu manusia untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia
merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela.

Ketinggian dan kerendahan kualitas nafs diukur dengan tingkat hubungannya dengan Tuhan.
Nafs kualitas tinggi adalah nafs yang sudah sampai pada tingkat dipanggil Tuhan untuk
kembali kepada-Nya dengan senang dan diridhai, atau sekurang-kurangnya menyesali diri
karena kurang menggunakan peluang. Sedangkan nafs kualitas rendah, dalam pandangan al-
Qur’an ada empat karakter yang menandainya:

(a) Secara mudah melanggar apa yang dilarang Allah


(b) menuruti dorongan hawa nafsu
(c) menjalankan maksiat dan,
(d) tidak mau memenuhi panggilan kebenaran.

Secara eksplisit al-Qur’an menyebutnya dengan -nafs al-ammarah bi al-suh.

Kepribadian ammarah adalah kepribadian di bawah sadar manusia. Orang yang didominasi
oleh kperibadian ini, sesungguhnya ia tidak lagi memiliki identitas manusia, sebab sifat-sifat
humanitasnya telah hilang. Kepribadian model ini rela menurunkan derajat asli manusia.
Manusia yang berkepribadian model ini tidak saja dapat merusak dirinya sendiri, tetapi juga
merusak diri orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu

(1) daya syahwat yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur
tangan urusan orang lain.

(2) daya ghadhab yang selalu menginginkan ketamakan, serakah, mencekal, berkelahi, ingin
menguasai yang lain, keras kepala, sombong, angkuh dan semisalnya. Jadi orientasi
kepribadian ammarah adalah mengikuti sifat-sifat binatang.

-Kepribadian Lawwamah (al-nafs al-lawwamah)

Term Lawwamah hanya satu kali disebut dalam al-Quran, yaitu pada surat al-Qiyamah: 1-2,

‫ٓاَل اُ ْق ِس ُم بِيَوْ ِم ْالقِ ٰي َم ۙ ِة‬


Aku bersumpah dengan hari Kiamat,(Q.S Al-qiyamah:1)

‫س اللَّوَّا َم ِة‬
ِ ‫َوٓاَل اُ ْق ِس ُم بِالنَّ ْف‬

Dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri).(Q.S Al-qiyamah:2)

Lawwamah adalah kata bentukan dari laama – yaluumu yang artinya adalah mencela.
Secara bahasa, term lawwamah mengandung arti amat mencela. Dengan demikian, nafs
lawwamah secara bahasa berarti nafs yang banyak mencela.Nafs lawwamah ini termasuk
nafs tingkat tinggi karena yang dicela oleh nafs ini adalah dirinya sendiri.

Jadi, ciri nafs lawwamah adalah selalu mengeluh, kecewa dan menyalahkan dirinya. Dalam
QS al-Zumar: 56

َ‫َّاخ ِر ْي ۙن‬ ُ ‫ب هّٰللا ِ َواِ ْن ُك ْن‬


ِ ‫ت لَ ِمنَ الس‬ ِ ‫ت فِ ْي َج ۢ ْن‬ ْ ‫اَ ْن تَقُوْ َل نَ ْفسٌ ٰيّ َح ْس َر ٰتى ع َٰلى َما فَر‬
ُّ ‫َّط‬

Agar jangan ada orang yang mengatakan, ‘Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku
dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, dan sesungguhnya aku termasuk orang-
orang yang memperolok-olokkan (agama Allah),’

QS al-Maarij: 19-21,

۞ ‫ق هَلُوْ ع ًۙا‬
َ ِ‫اِ َّن ااْل ِ ْن َسانَ ُخل‬

Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh.

‫اِ َذا َم َّسهُ ال َّشرُّ َج ُزوْ ع ًۙا‬

Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah,

‫َّواِ َذا َم َّسهُ ْال َخ ْي ُر َمنُوْ ع ًۙا‬

dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir,

disebutkan bahwa nafs menyesali dirinya atau hilangnya peluang untuk berbuat amal baik.
Menurut al-Razi dalam Tafsir al-Kabir prototype nafs lawwamah dapat dicontohkan pada
penyesalan Nabi Adam as ketika harus meninggalkan surga sebagai akibat kesalahannya
melanggar larangan Tuhan. Nafs lawwamah termasuk nafs yang mulia, karena hanya nafs ini
mendorong seseorang untuk menyesali perbuatan buruknya dan berintrospeksi atas dirinya.
Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia
bangkit untuk memperbaiki kebimbangan antara dua hal. Dalam upaya itu terkadang tumbuh
perbuatan buruk yang disebabkan oleh watak gelapnya, namun kemudian ia diingatkan oleh
cahaya ilahi, sehingga ia mencela perbuatannya itu dan selanjutnya ia bertaubat dan
membaca doa ampunan.

Jadi, nafs lawwamah menurut al-Qur’an adalah nafs yang amat hilangnya peluang baik, dan
untuk itu ia mencela dirinya sendiri. Nafs dalam tingkatan ini merupakan keadaan batin yang
bekerja mengawasi secara internal terhadap tingkah laku, satu kondisi dimana setiap orang
yang berada pada tingkatan ini selalu mempertanyakan irinya, mengkalkulasi amalnya serta
mencela kesalahan yang terlanjur dilakukan, baik perkataan maupun perbuatan.

-Kepribadian Muthmainnah (al-nafs al-muthmainnah)

Al-Qur’an secara tegas menyebut al-nafs al-muthmainnah

dalam surat al-Fajr: 27-30,

ُ‫ط َم ِٕٕىِ™نَّ ۙة‬


ْ ‫ٰيٓاَيَّتُهَا النَّ ْفسُ ْال ُم‬

Wahai jiwa yang tenang!

ً‫ضيَّة‬
ِ ْ‫اضيَةً َّمر‬ ِ ِّ‫ۚ ارْ ِج ِع ْٓي اِ ٰلى َرب‬
ِ ‫ك َر‬

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.

ْ‫فَا ْد ُخلِ ْي فِ ْي ِع ٰب ِد ۙي‬

Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,

ࣖࣖ ‫َوا ْد ُخلِ ْي َجنَّتِ ْي‬

Dan masuklah ke dalam surga-Ku.

Muthmainnah berarti tenang setelah mengeluh dan gelisah. Nafs Muthmainnah dalam hal ini
berarti jiwa yang tenang, karena ia mantap dan kuat, setelah mengalami proses interaksi
dengan lingkungan yang membuatnya mengeluh dan gelisah. Maka muthmainnah dalam
konteks al-nafs al-muthmainnah dalam al-Qur’an, adalah jiwa yang tenang yang ditandai
dengan hal-hal berikut :

(a) Memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan terhadap kebenaran (QS. Al-Nahl:106).
‫طمٕى™ ۢ ٌّن بااْل ْيمان و ٰلك ْن م ْن َشرح ب ْال ُك ْفر ص ْدرًا فَعلَ ْيهم َغضبٌ منَ هّٰللا‬ ‫هّٰلل‬
ِ ِّ َ ِْ َ َ ِ ِ َ َ َّ ِ َ ِ َ ِ ِ ِِٕ َ ْ ‫َم ْن َكفَ َر بِا ِ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد اِ ْي َمانِ ٖ ٓه اِاَّل َم ْن اُ ْك ِرهَ َوقَ ْلبُهٗ ُم‬
ِ ‫َۗولَهُ ْم َع َذابٌ ع‬
‫َظ ْي ٌم‬
Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan
Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar.

(b) Memiliki rasa aman, terbebas dari rasa takut dan sedih di dunia (QS. Al-Nisa: 103).
‫َت َعلَى‬ ْ ‫ض ْيتُ ُم الص َّٰلوةَ فَ ْاذ ُكرُوا هّٰللا َ قِيَا ًما َّوقُعُوْ دًا َّوع َٰلى ُجنُوْ بِ ُك ْم ۚ فَا ِ َذا‬
ْ ‫اط َمأْنَ ْنتُ ْم فَاَقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ ۚ اِ َّن الص َّٰلوةَ َكان‬ َ َ‫فَا ِ َذا ق‬
‫ْال ُم ْؤ ِمنِي َ™ْن ِك ٰتبًا َّموْ قُوْ تًا‬
Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah ketika kamu
berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa
aman, maka laksanakanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, salat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

(c) Hatinya tenteram karena selalu ingat kepada Allah SWT (QS. Al-Ra’d: 28)
ْ ‫َط َم ِٕٕىِ™ ُّن قُلُوْ بُهُ ْم بِ ِذ ْك ِر هّٰللا ِ ۗ اَاَل بِ ِذ ْك ِر هّٰللا ِ ت‬
ُ‫َط َم ِٕٕىِ™ ُّن ْالقُلُوْ ب‬ ْ ‫ۗ الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َوت‬
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.

Term Muthmainnah digunakan al-Qur’an tidak hanya dalam konotasi positif, tetapi juga
dalam konotasi negative. Dalam QS. Yunus: 7

ْ ‫اِ َّن الَّ ِذ ْينَ اَل يَرْ جُوْ نَ لِقَ ۤا َءنَا َو َرضُوْ ا بِ ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَا َو‬
َ‫اط َمٔـََٔ™نُّوْ ا بِهَا َوالَّ ِذ ْينَ هُ ْم ع َْن ٰا ٰيتِنَا ٰغفِلُوْ ۙن‬

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan


dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan
(kehidupan) itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami,

disebutkan bahwa orang yang tidak mempercayai adanya kehidupan akhirat dan berpuas diri
dengan kehidupan dunia juga disebut tuma’ninah atau merasa tenang karena puas dengan
kehidupan dunia. Kepribadian muthmainnah merupakan kepribadian yang selalu merasa
tenang dalam menerima keyakinan fitriah. Keyakinan fitriah adalah keyakinan yang
dihujamkan pada ruh manusia (fitrah munazzalah) di alam arwah dan kemudian dilegitimasi
oleh wahyu ilahi. Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami
kepribadian lawwamah, tetapi penuh keyakinan. Oleh karena itu, ia terbiasa menggunakan
metode dzawq (cita rasa) dan ‘ain al-Bashirah (mata batin) dalam menerima sesuatu
sehingga ia merasa yakin dan tenang.

5. Dorongan psikis adalah dorongan yang berasal dari jiwa yang bersifat abstrak. Menurut
psikoanalis Freud dorongan dorongan terletak di id kemudian di ekspresikan oleh ego.
Dorongan psikis secara sifat terbagi dua yaitu dorongan psikis yang bersifat positif dan
dorongan psikis yang bersifat negatif.

Salah satu bentuk dorongan psikis positif adalah rasa cinta dan kasih sayang. Dalam Al-
Quran terdapat banyak sekali ayat berhubungan dengan cinta dan kasih sayang. Dan di
antara manusia ada orang-orang yang memuja tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintai mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang sangat beriman kepada Allah.
Dan jika orang-orang yang melakukan dzalim itu mengetahui ketika mereka siksa (pada hari
ini melihat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat
siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS Al-Baqarah: 165)

َ‫ص ْيبَةٌ ۗ قَالُ ْٓوا اِنَّا هّٰلِل ِ َواِنَّٓا اِلَ ْي ِه ٰر ِجعُوْ ۗن‬ َ َ‫اَلَّ ِذ ْينَ اِ َذٓا ا‬
ِ ‫صابَ ْتهُ ْم ُّم‬

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna
ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).

Dalam al-qur’an dorongan-dorongan tingkah laku itu diantaranya adalah :

1.Dorongan Fisiologis

Dorongan ini berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan tubuh dan kekurangan atau


hilangnya keseimbangan-keseimbangan yang terjadi dalam jaringan-jaringan tubuh.
Dorongan-dorongan ini mengarahkan tingkah laku individu pada tujuan-tujuan yang bisa
memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiologis tubuh atau menutup kekurangan yang terjadi pada
jaringan-jaringan tubuh dan mengembalikannya pada keseimbangan yang ada sebelumnya.
Ada kecenderungan alamiah dalam tubuh manusia dan hewan untuk memelihara suatu kadar
keseimbangan dalam dirinya. Dan Apabila keseimbangan ini mengalami kegoncangan, maka
timbullah suatu dorongan yang spontan untuk mengembalikan keseimbangan tubuh seperti
sebelumnya. Konsesi keseimbangan ini merupakan hal yang pasti (Qs. 15:19, 25:2, 13:8,
54:9).

Adapun macam – macam dorongan Fisiologia adalah :

-Dorongan untuk menjaga diri

Dalam Al-Qur'an Allah mengemukakan dorongan-dorongan fisiologis terpenting yang


berfungsi menjaga diri dan kelangsungan hidup individu. Misalnya dorongan rasa lapar,
haus, capai, kepanasan, kedinginan, rasa sakit dan bernafas.

-Dorongan Mempertahankan Kelestarian Hidup

Dua dorongan fisiologis alamiah yang mendorong keduanya untuk melakukan dua
tingkah laku penting yang menentukan kelangsungan seluruh jenis, yaitu dorongan seksual

Dan dorongan keibuan

2.Dorongan Psikologis

Psikolog modern menamakan juga dorongan psikososia. Di satu sisi individu memiliki
dorongan untuk memenuhi kebutuhan individu, namun di sisi lain ia hidup di tengah-tengah
individu-individu secara sosial. Misalnya, rasa memiliki, penghargaan, kehormatan,
berkelompok, rasa memusuhi, berkompetisi, dan lain-lain. Dorongan – dorongan psikologis
ada bermacam – macam jenis, yaitu :

-Dorongan memiliki, merupakan diantara dorongan psikis yang dipelajari manusia dalam
proses sosialisasi yang dijalaninya. Dari kebudayaan tempat dia hidup dan pengalaman-
pengalaman yang dialaminya, manusia belajar cinta untuk memiliki harta bergerak,
tanah dan berbagai hak milik yang menumbuhkan dalam dirinya rasa aman dari
kemiskinan dan membekalinya dengan pengaruh, pangkat dan kekuatan dalam masyarakat

-Dorongan memusuhi, tampak dalam tingkah laku manusia yang memusuhi orang lain
dengan tujuan untuk menyakitinya, baik secara fisik maupun dengan kata-kata

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.”Dorongan untuk berkompetisi.

-Dorongan untuk berkompetisi, Menurut Najati manusia diberi kebutuhan untuk meraih
prestasi, sukses, unggul dari yang lain dan merealisasikan ambisinya. Karena semua itu akan
menghidupkan rasa percaya diri, puas dan bahagia. Bahkan manusia masih memiliki
banyak kebutuhan psikologis yang akan muncul ditengah-tengah pergumulannya dengan
masyarakat. Al Qur’an sangat sering menyebutkan aneka motivasi manusia, baik yang
bersifat fisiologis, psikologis, maupun spiritual. Dalam berprestasi seseorang
membutuhkan dorongan untuk berkompetisi, dan bersaing. Najati (2003: 41)

Al qur’an sendiri telah menganjurkan kaum muslimin untuk berkompetisi dalam hal
peningkatan kualitas taqwa, mendekatkan diri kepada Allah dengan cara beribadah, dan
beramal sholeh.

3. Dorongan Spiritual

Dorongan yang berhubungan dengan aspek spiritual, seperti beragama, taqwa, cinta
kebajikan, kebenaran dan keadilan. Dorongan Spiritual adalah adalah dorongan yang
berhubungan aspek spiritual dalam diri manusia, seperti dorongan untuk beragama, taqwa,
cinta kebajikan, kebenaran dan keadilan, benci terhadap kejahatan, kebathilan dan
kedzaliman. Sependapat dengan hal tersebut (Najati, 2001: 15). Kebutuhan spiritual manusia
merupakan kebutuhan alami, yang integritas perkembangan dan kematangan kepribadian
individu sangat tergantung pada pemenuhan kebutuhan tersebut. Sebagaimana hadits
Rosululloh SAW yang artinya “Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah berpotensi
untuk berbuat baik dan buruk tergantung orang tuanya, mau dijadikannya Yahudi, Nashrani
atau Majusi”

Anda mungkin juga menyukai