Anda di halaman 1dari 8

BANTUAN LIKUIDITAS BANK UMUM NASIONAL

Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas 1


Studi Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

Di Susun Oleh :
Nama: Rifa Arya Putri
Nim : 21221130
Kelas : Manajemen 4

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah bentuk bantuan berupa pinjaman
yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada
saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian
Indonesia dengan International Monetary Fund dalam mengatasi masalah krisis moneter
yang terjadi. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7
triliun kepada 48 bank.
Namun, pada tahun 2000, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi
kerugian negara sebanyak Rp 138,7 triliun dari penyaluran dana BLBI. Disusul hasil temuan
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyimpulkan
penyimpangan dana hingga Rp 54,5 triliun oleh 28 bank penerima bantuan likuiditas.
Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana BLBI alias Satgas BLBI, atas perintah
Presiden Joko Widodo hanya memiliki tenggat hingga Desember 2023 untuk memburu 48
obligor dan debitur dana BLBI. Upaya pemerintah untuk menyelesaikan skandal tersebut
tertuang dalam Keputusan Presiden  Nomor 6 Tahun 2021 mengenai Satgas Penanganan Hak
Tagih BLBI yang disahkan pada 6 April 2021. Dalam dua tahun mendatang, Satgas mesti
bisa mengeksekusi utang Rp 110,45 triliun dari para obligor tersebut. 
1.2 Rumusan Masalah
1. Bank yang mendapat bantuan pinjaman dari BLBI ?
2. Ada berapa bank yang mendapat bantuan dari BLBI ?
3. Bank mana yang sampai saat ini kasusnya masih berlanjut ?
4. Bagaimana pemerintah menyelesaikan kasus BLBI tersebut ?
5. Bagaimana kasus Bank Umum Nasional ?

1.3 Maksud dan Tujuan


1. Mengetahui bank yang mendapat bantuan dari BLBI
2. Mengetahui bank yang masih kasus nya berjalan
3. Mengetahui sejauh mana pemerintah menyelesaikan kasus BLBI
4. Mengetahui sejauh mana kasus BLBI dengan Bank Umum Nasional

1.4 Metode Penulisan


Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan
(library Research) merupakan metode pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku,
diktat-diktat, jurnal dan literatur-literatur serta informasi-informasi yang berasal dari media
elektronik yang berhubungan dengan penulisan makalah ini.
BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN
2.1 Teori
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Berawal dari usaha yang pemerintah lakukan
untuk menyelamatkan perekonomian Tanah Air dari krisis moneter yang melanda Indonesia
pada tahun 1998 dan melemahnya kurs rupiah ke level 15.000 per dolar Amerika . Pelemahan
Rupiah secara signifikan menjadikan sebab aksi penarikan uang dengan jumlah yang banyak
secara bersama sama di bank-bank Tanah Air pada 1997. Oleh karena itu tidak dibutuhkan
waktu yang lama likuiditas perbankan di Indoneisa terkena dampaknya dan berakhir pada
kredit perbankan yang tersendat atau tidak sehat. Untuk mengatasi permsalahan-
permasalahan serta kesulitan tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) bekerjasama
untuk memberikan bantuan yang sebut dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI.
Dana Moneter Internasional (IMF) meminta Indonesia untuk menyuntikkan dana bantuan
kepada sejumlah bank yang mengalami krisis. Kemudian, pada Desember 1998, BI memberi
bantuan kepada 48 bank di Indonesia melalui skema BLBI. Namun, pada tahun 2000, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian negara sebanyak Rp 138,7 triliun
dari penyaluran dana BLBI. Selain itu, hasil temuan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) memperlihatkan penyimpangan dana hingga Rp 54,5 triliun oleh 28
bank penerima dana BLBI tersebut.
2.2 Kasus/Pembahasan atau analisa kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah memyalurkan bantuan sebesar Rp
147,7 triliun kepada 48 bank antara lain :

N
Nama Penerima Nama Bank
o
1 Agus Anwar Bank Pelita
Hashim Bank Papan Sejahtera
2
Djojohadikusumo Bank Pelita
3 Samadikun Hartono Bank Modern
4 Kaharuddin Ongko Bank Umum Nasional
5 Ulung Bursa Bank Lautan Berlian
6 Atang Latief Bank Indonesia Raya
7 Lidia Muchtar Bank Tamara
8 Omar Putihrai Bank Tamara
9 Adisaputra Januardy Bank Namura Yasonta
10 James Januardy Bank Namura Yasonta
11 Marimutu Sinivasan Bank Putera Multikarsa
Bank Metropolitan
12 Santosa Sumali
Bank Bahari
13 Fadel Muhammad Bank Intan
Baringin MH
14 Bank Namura Internusa
Panggabean
15 Joseph Januardy Bank Namura Internusa
Bank Putera Surya
16 Trijono Gondokusumo
Perkasa
17 Hengky Wijaya Bank Tata
18 Tony Tanjung Bank Tata
19 I Gde Dermawan Bank Aken
20 Made Sudiarta Bank Aken
21 Tarunojo Nusa Wijaya Bank Umum Servitia
22 David Nusa Wijaya Bank Umum Servitia
23 Santosa Sumali Bank Bahari
24 Andi Hartawan Bank Baja
25 The Ning Khong Bank Baja
26 Hendra Liem Bank Budi Internasional
27 Suparno Adijanto Bank Bumi Raya
28 The Ning King Bank Danahutama
29 Syamsul Nursalim BDNI
30 U Atmadjaja Bank Danamon
31 Salim Group Bank Central Asia
32 The Tje Min Bank Hastin
33 Ho Kiarto Bank Hokindo
Keluarga Mulianto
34 Bank Indotrade
Tanaga
35 Iwan Suhadirman Bank Indotrade
36 Philip S Wijaya Bank Mashill
Nirwan Dermawan
37 Bank Nusa Nasional
Bakrie
38 Honggo Wendratno Bank Papan Sejahtera
39 Njoo Kok Kiong Bank Papan Sejahtera
40 Ibrahim Risjad Bank RSI
41 Ganda Eka Handria Bank Sanho
42 Husodo Angkosubroto Bank Sewu
43 Sudwikatmono Bank Surya
44 M Hasan Bank Umum Nasional
45 Tarunodjojo Bank Umum Servita
Siti Hardiyanti
46 Bank Yama
Rukmana

Salah satu bank yang menjadi kasus BLBI yang sampai saat ini kasus nya masih berlanjut
salah satu nya adalah Bank Umum Nasional (BUN). Bank Umum Nasional (BUN) menyeret
beberapa nama yaitu Leonard Tanubrata mantan presiden direktur BUN dan Kaharudin
Ongko yang menjadi pemegang saham mayoritas BUN. Di bawah manajemen baru ini Bank
Umum Indonesia mulai berkembang pesat dalam jumlah aset, memperluas jaringan usaha dan
keuntungan yang didapat.

Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 membuat perbankan di


Indonesia collapse, dampak nya pun terjadi pada BUN. Untuk mengatasi kebangkrutan BUN
saat krisis moneter, pemerintah melalui BLBI menyuntikkan dana bantuan dengan total
senilai lebih dari Rp 12 triliun. Dari jumlah tersebut Rp 8,34 triliun di antaranya mengalir ke
kas BUN. Namun, BUN tetap tidak tertolong, dikarenakan ditarik masif oleh nasabahnya, dan
juga dijebol oleh grup Ongko sendiri.

Perusahaan yang terafiliasi dan terhubung dengan Ongko yang memiliki simpanan di BUN,
di antaranya adalah PT Ongko Sekuritas, PT. KIA Keramik Mas, PT Indokisar Djaya, dan PT
Bunas Finance Indonesia. Peralihan dana dilakukan menggunakan cek, bilyet, giro, dan
transfer. Padahal, ketentuan dana BLBI yaitu tidak boleh disalurkan ke pemilik dan
manajemen bank, serta pihak-pihak yang terkait. Usaha yang dilakukan Ongko tersebut
diketahui oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Pada tahun 2003, Kaharudin Ongko
didakwa 16 tahun penjara karena telah menggelapkan Rp 6,7 triliun dana BLBI.

Dari lembaran pengumuman dengan nomor S-3/KSB/PP/2021 tersebut, total tagihan


yang harus dibayarkan Ongko adalah Rp 8,2 triliun. Tagihan tersebut meliputi, Rp 7,8 triliun
dari PKPS Bank Umum Nasional (BUN) dan Rp 359,4 miliar dari PKPS Bank Arya
Panduarta. Ongko diketahui memiliki tiga alamat, yaitu Paterson Hill Singapura, Setiabudi,
Jakarta Selatan dan Menteng Jakarta Pusat. Satgas BLBI menginginkan kehadiran Kaharudin
Ongko di kantor Kementerian Keuangan dan menemui Ketua Pokja Penagihan dan Litigasi
Tim C.

Di samping itu, upaya penagihan utang BLBI yang menjerat Kaharudin Ongko juga
sudah dilakukan sejak 2008. Namun, Ongko dinilai lamban memenuhi kewajibannya. Untuk
itu, Satgas BLBI telah menyita sekaligus mencairkan harta Kaharudin Ongko. Harta tersebut
tersimpan di salah satu bank swasta nasional dalam bentuk escrow account, sebuah rekening
bersama yang dikelola pihak ketiga atau agen escrow. Satgas BLBI mencatat, jumlah escrow
account milik Kaharudin Ongko mencapai Rp 110 miliar. Jumlah tersebut terdiri atas escrow
account dalam nominal rupiah sebesar Rp 664,9 juta dan dalam bentuk dolar AS sebesar US$
7,6 juta atau setara Rp 109,5 miliar.

Selain menyita harta Ongko yang tersimpan di bank, Satgas BLBI masih mengejar
kekayaan Ongko lainnya untuk melunasi utang Rp 8,2 triliun. Satgas juga akan memburu
sejumlah barang yang sudah disampaikan Ongko sebagai barang jaminan. Sementara itu, dari
Humas Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Ongko diketahui hadir dalam
pemanggilan 7 September lalu dengan mengirim perwakilan.

Sebelumnya, Ongko dan Tanubrata masing-masing dituntut 14 dan 16 tahun penjara.


Beberapa pihak, tulis Agus Pandoman dalam buku “Bantuan Likuiditas Bank Indonesia”,
mengatakan bahwa seharusnya Kaharudin Ongko juga divonis hukuman karena memberi
persetujuan atas penyaluran dana bank sekitar Rp 5 triliun ke anak usaha BUN yang
kemudian macet. Setelah Kaharudin Ongko dibebaskan di tingkat pengadilan negeri pada
tahun 2003, kejaksaan mendaftarkan berkas banding dalam perkara korupsi dana BLBI
senilai Rp 6,7 triliun. Namun, putusan Mahkamah Agung pada 1 September 2004
menyatakan permohonan memori dari kasasi jaksa tidak dapat diterima. Selain memperkuat
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membebaskan Kaharudin Ongko, putusan MA
sekaligus melepaskan Leonard Tanubrata dari segala tuntutan hukum. Kemudian pada 2005,
kejaksaan mempertimbangkan mengajukan Peninjauan Kembali atas kasus korupsi BLBI
Kaharudin Ongko. Di luar kasus pidananya, kabarnya Ongko sempat berupaya melunasi
utangnya yang mencapai Rp 8,2 triliun tersebut di awal 2000-an. Namun hingga kini belum
berbuah manis, sampai Satgas BLBI akhirnya menyita Rp 110 miliar dana Kaharudin Ongko
di escrow account pada pekan lalu.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi yang sudah dilakukan terkait Bantuan Likuiditas bank
Indonesia terhadap Bank Umum Nasional dapat disimpulkan bahwa terdapat 48 bank yang
menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998.
Bank Indonesia sudah memberikan dana sebesar Rp 147,7 Triliun untuk membantu bank-
bank yang mengalami likuiditas. Dari 48 bank yang menerima BLBI terdapat sekitar 28 bank
yang menyelewengkan dana yang diberikan. Sekitar Rp 138,7 Triliun dari Rp 147,7 Triliun
atau sekitar 93% dari dana yang diberi.
Salah satu kasus yang sampai saat ini masih berlangsung adalah kasus Bank Umum Nasional
yang menyeret nama Leonard Tanubrata dan Kaharudin Ongko. Kedua nama tersebut telah
berhutang kepada negara sebesar lebih dari 8,2 Triliun Rupiah.
Upaya pemerintah dalam menangani kasus Kaharudin Ongko dengan menyita harta Ongko
yang berada di bank sebesar 110 Miliar Rupiah, selain itu Satgas BLBI juga menyita
beberapa properti yang sudah dijadikan jaminan untuk melunasi sisa hutang. Selain itu
Kaharudin Ongko dan Leonard Tanubrata dituntut 14 sampai 16 tahun penjara, tetapi sampai
saat ini belum ada putusan yang pasti apakah hukuman tersebut berjalan sesuai hukum yang
ada atau tidak.
3.2 Saran
Terkait hal-hal diatas yang sudah dipaparkan berhubungan dengan BLBI sebaiknya untuk
kedepan pemerintah dapat lebih bijaksana saat memberikan bantuan dana terutama ketika
melihat resiko yang akan dialami oleh negara akan sangat besar. Pemerintah juga sebaiknya
menjalankan hukum dengan seadil-adil nya tidak memandang rakyat ataupun pejabat, tidak
menerim suap sekecil apapun karena ketika menerima suap sama saja dengan pelaku yang
merugikan negara.
DAFTAR PUSTAKA
https://nasional.kompas.com/read/2021/09/21/14001331/buru-utang-blbi-pemerintah-sita-
dan-cairkan-aset-obligor-pt-bank-umum
https://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Umum_Nasional
https://id.wikipedia.org/wiki/Bantuan_Likuiditas_Bank_Indonesia
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210413040323-4-237309/mengejar-blbi-kasus-
puluhan-tahun-bernilai-ratusan-triliun
https://katadata.co.id/intannirmala/finansial/614d59cb7f779/sejarah-kasus-blbi-dan-mega-
skandal-di-belakangnya
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210904160032-4-273659/ngutang-rp-82-t-di-kasus-
blbi-ini-sosok-kaharudin-ongko

Anda mungkin juga menyukai