Anda di halaman 1dari 12

IJTIHAD

Dosen Pengampu : Tiara Rochmawati, M.E

MK : Pendidikan Agama

DISUSUN OLEH :

Lilis Sucitra 2140029

Yuni Ashari 2140032

JURUSAN KEWIRAUSAHAAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PASIR PANGARAIAN

2021
DAFTAR ISI

JUDUL UTAMA…………………………………………………....1

Daftar Isi………………………………………………………..….....2

KATA PENGANTAR……………………………………………...3

LATAR BELAKANG………………………………………….……4

PEMBAHASAN………………………………………………….....5

Pengertian ijtihad…………………………………………....5

Hukum Ijtihad……………………………………………………6

Macam-Macam Ijtihad…………………………………...7

Syarat-Syarat ijtihad………………………………..……...8

Penerapan Ijtihad…………………………………………....9

Ijtihad Sebagai Sumber Dinamika Islam…...…10

KESIMPULAN………………………………………………….....…
11

DAFTAR PUSTAKA……………………………………….
……….12
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang di ampu oleh
ibu Tiara Rochmawati, ME .

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.Makalah ini kami akui
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang.
Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca, dan Ibu untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Latar Belakang

Di periode sekitar 600- 1000 M yang mana disebut dengan periode


keemasan fikih islam yang di dalamnya melahirkan para imam mujtihad seperti :
imam Abu hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Yang mana disebut juga dengan periode ijtihad yang ada dalam bidang hukum.
Perkembangan dari ijtihad sendiri sejalan dengan perkembangan hukum dalam
islam sejak zaman Rasulallah SAW. Selain sumber hukum islam yang
bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah, sumeber lainnya juga bersumber dari
hasil ijtihad yang mana berupa pengarahan atau suatu kemampuan dari seorang
mujtihad dalam mencari pengatahuan tentang hukum syara’. Disisi lain aktivitas
Ijtihad merupakan suatu bidang keilmuan yang cukup berkembang pesat. Ijtihad
menurut Zaidan dan para ahli ushul fiqh ialah:

1) Dalam ijtihad harus adanya pengerahan kemampuan yang maksimal


sampai ia merasa tidak mampu berbuat lebih dari yang ia usahakan.

2) Orang yang mencurahkan kemampuan tersebut mestinya seorang


mujtahid yang sudah memnuhi kualifikasi yang ditentukan syara’.

3) Adapun sasaran dari ijtihad adalah hukum syar’i yang menyangkut


tingkah laku dan perbuatan umat manusia (hukum taklifiy).

4) Disyaratkan untuk memperoleh hukum-hukum syari’ah tersebut dengan


jalan istinbat} yakni upaya memperoleh dan mengambil faedah-faedah
hukum dari dalil-dalilnya dengan cara mencari, merenungkan, memikirkan
ataupun melakukan penelitian terhadap dalil-dalil tersebut.
Pengertian Ijtihad

Secara etimologi kata ijtihad berasal dari kata al-jahd, al-juhd dan at-
thaqat,yang artinya kesulitan, kesusahan dan juga berupa suatu kesanggupan
atau kemampuan (almasyaqat). Kata Al-Juhd menunjukkan pekerjaan yang sulit
dikerjakan, (lebih dari pekerjaan biasa). Sedangkan kata ijtihad yaitu bentuk
mashdar tsulatsi mazid dari kata kerja ijtahada-yajtahidu-ijtiihaadan yang berarti
bersungguh-sungguh dan mencurahkan segala kemampuannya. Kata ijtihad juga
bermakna kesungguhan, kegiatan dan ketekunan. menurut istilah hukum islam
ijtihad ialah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum
agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’ dan tanpa cara-cara tertentu.usaha
tersebut merupakan pemikiran dengan kemampuan sendiri semata-mata.
Menurut muhammad ibn husayn ibn hasan al-jizani ijtihad adalah
mengerahkan semua pemikiran dalam mengkaji dalil shar’iyyah untuk
menentukan beberapa hukum syari’at. Berdasarkan definisi tersebut
mengandung beberapa ketentuan yaitu:
1. Sesungguhnya ijtihad merupakan menggerakkan pemikiran dalam mengkaji
dalil-dalil, dan hal ini lebih umumnya dari qiyas.
2. Ijtihad dilakukan oleh faqi, yaitu orang yang mengetahui dalil-dalil dan cara
istinbat.
3. Ijtihad dilakukan terhadap sesuatu yang belum ada hukumnya atau bersifat
zanni serta menghasilkan hukum yang bersifat zanni.
4. Dengan adanya batasan istinbat maka ijtihad merupakan pemikiran mujtahid
dan ijtihadnya.

HUKUM IJTIHAD

Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nas tidak di jumpai dengan
hukum yang diterapkan pada suatu kasus, maka seorang mujtahid boleh
melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama.
mayoritas ulama fiqh dan ushul diperkuat oleh at-taftazani dan ar-ruhawi
mengatakan, “ijtihad tidak boleh dalam masalah qatiyyat dan masalah
aqidah”. Minoritas ulama (al-ibnu taimiyah dan al-haumam) membolehkan
adanya ijtihad dalam aqidah. Hukum melakukan ijtihad bagi orang yang
telah memenuhi syarat dan kriteria ijtihad:
a. Fardu ‘ain untuk melakukan ijtihad untuk kasusu dirinya sendiri dan ia
harus mengamalkan hhasil ijtihad sendiri
b. Fardu ‘ain juga untuk menjawab permasalahan yang belum ada
hukumnya.
c. Fardu kifayah jika permasalah yang diajukan kepadanya tidak di
khawatirkan akan habis waktunya
d. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahaan yang baru
baik ditanya ataupun tidak.
e. Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qati
karna bertantangan dengan syara’.

MACAM-MACAM IJTIHAD

Ijtihad terbagi menjadi dua kategori yaitu ijtihad fardhi dan ijtihad
jama’i. menurut al-thayyibi khuderi al-sayyid, adapun yang dimaksud
dengan ijtihad fardhi yaitu ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau
hanya beberapa mujtahid. Sedangkan ijtihad jama’i merupkan apa yang
dikenal dengan ijma’ di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yaitu kesepakatan
para mujtahid dari umat rasulullah setelah beliau wafat dalam menjawab
masalah-masalah hukum tertentu. Dalam perkembangannya ijtihad jama’i
hanya melibatkan ulama-ulama tertentu dalam berbagai disiplin ilmu,
meskipun ilmu fiqh menjadi salah satu permasalahan yang dibahas. Hal
yang perlu diingat bahwa perubahan zaman masalah-masalah yang
bermunculan, ada berkaitan dengan selainilmu fiqh atau membutuhkan
ilmu lain yang dalam hal ini membutuhkan jawaban berkaitan hukum
syara’. Misalnya dengan menentukan hukum syara’ berkaitan dengan
rekayasa genetik seperti cloning dan aborsi persoalan ini membutuhkan
alasan ilmiah dari sisi ilmu lainnya sebelum menentukan hukum syara’
dan ditetapkan oleh para mujtahid.
Macam-macam ijtihad dari jenis mujtahid dapat dibagi dalam
a. Mujtahid mutlak: (mujtahid fi syari’) orang-orang yang melakukan
ijtihad langsung secara keseluruhan dari al-quran dan hadis, serta
sering kali mendirikan mazhab sendiri seperti halnya dengan para
sahabat dan para imam mazhab.
b. Mujtahid mazhab: (mujtahid fi mazhab atau fatwa mujtahid), yakni
orang yang mengetahui salah satu pendapat mazhab dan meskipun
dalam beberapa hasil ijtihad berbeda dengan imam atau guru.
c. Mujtahid fi masa’il: yaitu mujtahid hanya berijtihad pada beberapa
masalah saja, dan tidak bergantung pada mazhab tertentu.
d. Mujtahid mugayyad: yaitu orang-orang berijtihad dengan
mengingatkan diri pada ulama salaf tertentu serta dengan
kesanggupannya untuk menilai pendapat lebih utama.
Ibnu al-qayyim al-jauziyyah menggolongkan kedalam empat tingkat saja
yakni 1. Mujtahid mutlak; 2. Mujtahid mazhab; 3. Mujtahid fatwa; 4.muqallid
atau disebut ahli tarjih.

SYARAT-SYRAT IJTIHAD

Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum Islam tidak berarti bahwa setiap
orang dapat melakukan ijtihad. Hanya orang-orang memiliki syarat
tertentulah yang mampu berijtihad. Syarat-syarat tersebut ialah berikut ini:
a. Mengetahui bahasa arab dengan segala seginya, sehingga
memungkinkan dia menguasai pengertian susunan katakatanya. Hal ini
karena objek pertama bagi orang yang berijtihad ialah pemahaman
terhadap nas-nas Al-Qur’an dan Hadis yang berbahasa Arab. Sehingga ia
dapat menetapkan aturan-aturan bahasa dalam pengambilan hukum
darinya.
b. Mengetahui Al-Qur’an, dalam hal ini adalah hukum-hukum yang
dibawa oleh Al-Qur’an beserta ayat-ayatnya dan mengetahui cara
pengambilan hukum dari ayat tersebut.sehingga apabila tersjadi suatu
peristawa ia dapat menunjuk ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis yang
berbahasa syarat itu pun sangat diperlukan untuk mengetahui sebab-sebab
turunnya suatu ayat serta riwayat-riwayat yang berhubungan dengan
permintaan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang bertalian dengan hukum tidaklah
banyak. Di samping itu ada juga khitab tafsir yang khusus menafsirkan
ayat-ayat tersebut. Bahkan ayat-ayat tersebut dapat dikumpulkan satusama
lain menurut isi pembicaraannya, seperti ayat-ayat yang bertalian dengan
perkawinan, talak, dan sebagasinya, seperti yang dilakukan oleh John
Lalbaume. Juga tidak sukar untuk mencari dalam kitab-kitab Hadis shahih
yang menerangkan Hadis -Hadis yang berhubungan dengan sebab-sebab
turunnya dan penjelasannya. Dengan demikian setiap persoalan hukum
dalam Al-Qur’an dipelajari dalam hubungannya dengan keseluruhan
persoalan tersebut, karena ayat-ayat Al-Qur’an saling menafsirkan satu
sama lain, namun apabila dalam pemahamannya dipisahkan satu sama
lain, adanya kekeliruan penafsiran tidak dapat dihindarkan.
c. Mengetahui Hadis- Hadis Nabi saw, yaitu yang berhubungan dengan
hukum-hukum syariah sehingga ia dapat mendatangkan Hadis -Hadis yang
diperlukan dengan mengetahui keadaan sanadnya. Ulama-ulama angkatan
dahulu telah memberikan jasajasanya yang tidak sedikit dalam usaha
pengamanan terhadap Hadis-Hadis Nabi saw, diantaranya ialah pembagian
Hadis menjadi mutawatir, masyhur, sahih, hasan, dan do’if. Seperti halnya
dengan tafsir-tafsir hukum,dalam lapangan Hadis juga ada kitab-kitab
yang khusus mengumpulkan Hadis -Hadis yang berhubungan dengan
hukum dan diurutkan menurut isi pembicaraannya juga.
d. Mengetahui segi-segi pemakaian qiyas, seperti illat dan hikmah
penetapan hukum, serta mengetahui fakta-fakta yang ada nas-nya dan yang
tidak ada nasnya. Selain itu harus mengetahui urf orangdan jalan-jalan
yang dapat banyak mendapatkan kebaikan atau keburukannya. Dengan
demikian apabila orang yang berijtihad dengan tidak dapat memakai qiyas
dalam masalah yang dihadapi, ia dapat memakai jalan-jalan yang telah
ditunjukkan oleh syara’.
e. Mampu menghadapi nas-nas yang berlawanan, kadang-kadang Dala
suatu persoalan terdapat beberapa ketentuan yang berlawanan. Nas-nas
yang berlawanan tersebut ada kalanya dapat diketahui sejarah
dikeluakannya dan adakalanya tidak diketahui. Kalau dapat diketahui, nas
yang datang belakangan membatalkan nas yang dikeluarkan terdahulu.
PENERAPAN IJTIHAD

Secara umum pola ijtihad dapat di bagi ke dalam tiga pola yaitu;
1. Pola bayani ( kajian semantik )yaitu kegiatan yang berkaitan dengan
kebahasaan,kapan suatu lafal di artikan secara majaz,bagaimana
memilih salasatu arti lafal musytara(ambiguitas),mana ayat yang
umum yang di terangkan dan mana pula yang khusus ,yang
menerangkan, mana ayat yang qat’i dan mana yang jammi kapan
sesuatu perintah di anggap untuk wajib dan kapan pula untuk sunah,
kapan larangan itu untuk haram dan kapan pula untuk makruh. Sebagai
contoh,di dalam hadits ada perintah untuk mempersaksikan nikah dan
dalam al’quran ada perintah mempersaksikan ruju’.
2. Pola ta’lili yaitu semua yang menjadikan illad(keadaan atau sifat yang
menjadi tambatan hukum)sebagai titik tolaknya.di sini di bahas cara”
menemukan illad,prsyaratan illad,pengguaan illad,di dalam qiyas dan
isthisan serta penggubahan hukum itu sendiri sekiranya di temukan
iilad baru.sebagai contoh di dalam hadits ada perintah untuk
mengambil jakat hanya dari tiga jenis tanaman yaitu tanaman
gandum,kurma,dan anggur.sebagian ulama memahami ayat ini melalui
pola bayani,hanya memeganggi arti jahirnya jadi, produk pertanian
yang terkena jakat hanyalah tiga jenis tanaman tersebut.
3. Pola istislahi (pertimbangan kemaslahatan) yaitu mengidentifikasi
masalah’ yang tidak mempunyai nas khusus sebagai rujukan. Dalam
pola ini, ayat ayat umum di kumpulkan guna menciptakan beberapa
prinsip, yang di gunakan untuk melindungi atau mendatangkan
kemaslahatan tertentu.prinsip’’ tersebut di susun menjadi tiga
tinggkatan (daruriyat,kebutuhan ensensial; hajiyat, kebutuhan
sekunder; dan tahsiniyat, kebutuhan kemewahan. Prinsip ini
didedukasikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya
transplantasi organ tubuh, bayi tabung, dan aturan lalu lintas
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER DINAMIKA ISLAM

Umat islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa kekinian yang


menyangkut berbagai aspek kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu
memerlukanpenyelesaian secara seksama, lebih-lebih untuk kasus yang
tidak tegas penunjukannya oleh nas. Di samping itu, kata Rager Graudi,
sebagai dikutip oleh Jalaludin Rahmat, tantangan umat Islam sekarang ada
dua macam, yakni taklid kepada Barat dan kepada masa lalu. Taklid model
pertama terjadi karena ketidakmampuan melakukan pemilahan antara
modernisasi dan cara hidup Barat; sedangkan taklid model kedua muncul
karena ketidakmampuan dalam membedakan antara agama (wahyu)
dengan pemikiran ulama masa lalu.
Melihat persoalan-persoalan di atas, umat Islam dituntut untuk keluar
dari kemelut itu, yaknia dengan cara melakukan ijtihad. Oleh karena itu,
ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap
orang. Adapun kepentingannya itu disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
1). Jarak antara kita dengan masa tasyri’ semakin jauh. Jarak yang jauh
ini memungkinkan terlupakannya beberapa nas, khususnya dalam as-
Sunah, yakni masuknya hadis-hadis palsu dan perubahan pemahaman
terhadap nas. Oleh karena itu para mujtahid dituntut secara sungguh-
sungguh menggali ajaran Islam yang sebenarnya melalui kerja ijtihad.
2). Syariat disampaikan dalam al-Qur’an dan as-Sunah secara
komprehensif; memerlukan penelaahan dan pengkajian yang sungguh-
sungguh. Di dalamnya terdapat sejumlah ayat, yang bisa dikatakan masih
dalam kategori memerlukan penjelasan.
Dilihat dari fungsinya, ijtihad sebagai penyalur kretivitas pribadi atau
kelompok dalam merespons peristiwa yang dihadapi sesuai dengan
pengalaman mereka. Di samping itu, ijtihad pun memberi tafsiran kembali
atas perundangundangan yang sifatnya insidental sesuai dengan syarat-
syarat yang berlaku pad amasanya dengan tidak melanggar prinsip-prinsip
umum, dalail-dalil kulli dan maqahid asy-syari’ah yang merupakan aturan-
aturan pengarah dalam hidup. Ijtihad juga berperan sebagai interpreter
terhadap dalil-dalil yang zhanni ad-dalalah. Penjelasan terhadap dalil-dalil
tersebut memerlukan kerja akal fikiran lewat ijtihad. Ijtihad diperlukan
untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang 219 dinamis menerobos
kejumudan kebekuan, memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya dari
ajaran Islam, mencari pemecahan islami untuk masalah masalah kehidupan
kontemporer. Ijtihad juga menjadi saksi keunggulan Islam atas
agamaagama lainnya.
KESIMPULAN

Di periode sekitar 600- 1000 M yang mana disebut dengan periode


keemasan fikih islam yang di dalamnya melahirkan para imam mujtihad
seperti : imam Abu hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad
bin Hanbal.Yang mana disebut juga dengan periode ijtihad yang ada
dalam bidang hukum.

Selain sumber hukum islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-
Sunah, sumeber lainnya juga bersumber dari hasil ijtihad yang mana
berupa pengarahan atau suatu kemampuan dari seorang mujtihad dalam
mencari pengatahuan tentang hukum syara’.

Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nas tidak di jumpai dengan
hukum yang diterapkan pada suatu kasus, maka seorang mujtahid boleh
melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama.

menurut al-thayyibi khuderi al-sayyid, adapun yang dimaksud dengan


ijtihad fardhi yaitu ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya
beberapa mujtahid.Sedangkan ijtihad jama’i merupkan apa yang dikenal
dengan ijma’ di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yaitu kesepakatan para
mujtahid dari umat rasulullah setelah beliau wafat dalam menjawab
masalah-masalah hukum tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Sebagaimana dikutip oleh Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta:


PRENADA MEDIA GROUP,2015),258

A. Hanafi, Pengantar dan sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan


Bintang, 1995,H.162

Muhammad Ibn Husayn Ibn Hasan al-Jizani, Mu’alim


usul fiqh ’inda ahl sunnah wa al-jama’ah (Riyad: Dar ibn al-Jauzy,
1998), h. 470

H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan


Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: raja Grafindo Persada,
2007),H.118
Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam
(Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 61.

Sebagaimana dikutip oleh Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta:


PRENADA MEDIA GROUP,2015),258.

Anda mungkin juga menyukai