IJTIHAD
IJTIHAD
MK : Pendidikan Agama
DISUSUN OLEH :
JURUSAN KEWIRAUSAHAAN
FAKULTAS EKONOMI
2021
DAFTAR ISI
JUDUL UTAMA…………………………………………………....1
Daftar Isi………………………………………………………..….....2
KATA PENGANTAR……………………………………………...3
LATAR BELAKANG………………………………………….……4
PEMBAHASAN………………………………………………….....5
Pengertian ijtihad…………………………………………....5
Hukum Ijtihad……………………………………………………6
Macam-Macam Ijtihad…………………………………...7
Syarat-Syarat ijtihad………………………………..……...8
Penerapan Ijtihad…………………………………………....9
KESIMPULAN………………………………………………….....…
11
DAFTAR PUSTAKA……………………………………….
……….12
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang di ampu oleh
ibu Tiara Rochmawati, ME .
Secara etimologi kata ijtihad berasal dari kata al-jahd, al-juhd dan at-
thaqat,yang artinya kesulitan, kesusahan dan juga berupa suatu kesanggupan
atau kemampuan (almasyaqat). Kata Al-Juhd menunjukkan pekerjaan yang sulit
dikerjakan, (lebih dari pekerjaan biasa). Sedangkan kata ijtihad yaitu bentuk
mashdar tsulatsi mazid dari kata kerja ijtahada-yajtahidu-ijtiihaadan yang berarti
bersungguh-sungguh dan mencurahkan segala kemampuannya. Kata ijtihad juga
bermakna kesungguhan, kegiatan dan ketekunan. menurut istilah hukum islam
ijtihad ialah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum
agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’ dan tanpa cara-cara tertentu.usaha
tersebut merupakan pemikiran dengan kemampuan sendiri semata-mata.
Menurut muhammad ibn husayn ibn hasan al-jizani ijtihad adalah
mengerahkan semua pemikiran dalam mengkaji dalil shar’iyyah untuk
menentukan beberapa hukum syari’at. Berdasarkan definisi tersebut
mengandung beberapa ketentuan yaitu:
1. Sesungguhnya ijtihad merupakan menggerakkan pemikiran dalam mengkaji
dalil-dalil, dan hal ini lebih umumnya dari qiyas.
2. Ijtihad dilakukan oleh faqi, yaitu orang yang mengetahui dalil-dalil dan cara
istinbat.
3. Ijtihad dilakukan terhadap sesuatu yang belum ada hukumnya atau bersifat
zanni serta menghasilkan hukum yang bersifat zanni.
4. Dengan adanya batasan istinbat maka ijtihad merupakan pemikiran mujtahid
dan ijtihadnya.
HUKUM IJTIHAD
Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nas tidak di jumpai dengan
hukum yang diterapkan pada suatu kasus, maka seorang mujtahid boleh
melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama.
mayoritas ulama fiqh dan ushul diperkuat oleh at-taftazani dan ar-ruhawi
mengatakan, “ijtihad tidak boleh dalam masalah qatiyyat dan masalah
aqidah”. Minoritas ulama (al-ibnu taimiyah dan al-haumam) membolehkan
adanya ijtihad dalam aqidah. Hukum melakukan ijtihad bagi orang yang
telah memenuhi syarat dan kriteria ijtihad:
a. Fardu ‘ain untuk melakukan ijtihad untuk kasusu dirinya sendiri dan ia
harus mengamalkan hhasil ijtihad sendiri
b. Fardu ‘ain juga untuk menjawab permasalahan yang belum ada
hukumnya.
c. Fardu kifayah jika permasalah yang diajukan kepadanya tidak di
khawatirkan akan habis waktunya
d. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahaan yang baru
baik ditanya ataupun tidak.
e. Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qati
karna bertantangan dengan syara’.
MACAM-MACAM IJTIHAD
Ijtihad terbagi menjadi dua kategori yaitu ijtihad fardhi dan ijtihad
jama’i. menurut al-thayyibi khuderi al-sayyid, adapun yang dimaksud
dengan ijtihad fardhi yaitu ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau
hanya beberapa mujtahid. Sedangkan ijtihad jama’i merupkan apa yang
dikenal dengan ijma’ di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yaitu kesepakatan
para mujtahid dari umat rasulullah setelah beliau wafat dalam menjawab
masalah-masalah hukum tertentu. Dalam perkembangannya ijtihad jama’i
hanya melibatkan ulama-ulama tertentu dalam berbagai disiplin ilmu,
meskipun ilmu fiqh menjadi salah satu permasalahan yang dibahas. Hal
yang perlu diingat bahwa perubahan zaman masalah-masalah yang
bermunculan, ada berkaitan dengan selainilmu fiqh atau membutuhkan
ilmu lain yang dalam hal ini membutuhkan jawaban berkaitan hukum
syara’. Misalnya dengan menentukan hukum syara’ berkaitan dengan
rekayasa genetik seperti cloning dan aborsi persoalan ini membutuhkan
alasan ilmiah dari sisi ilmu lainnya sebelum menentukan hukum syara’
dan ditetapkan oleh para mujtahid.
Macam-macam ijtihad dari jenis mujtahid dapat dibagi dalam
a. Mujtahid mutlak: (mujtahid fi syari’) orang-orang yang melakukan
ijtihad langsung secara keseluruhan dari al-quran dan hadis, serta
sering kali mendirikan mazhab sendiri seperti halnya dengan para
sahabat dan para imam mazhab.
b. Mujtahid mazhab: (mujtahid fi mazhab atau fatwa mujtahid), yakni
orang yang mengetahui salah satu pendapat mazhab dan meskipun
dalam beberapa hasil ijtihad berbeda dengan imam atau guru.
c. Mujtahid fi masa’il: yaitu mujtahid hanya berijtihad pada beberapa
masalah saja, dan tidak bergantung pada mazhab tertentu.
d. Mujtahid mugayyad: yaitu orang-orang berijtihad dengan
mengingatkan diri pada ulama salaf tertentu serta dengan
kesanggupannya untuk menilai pendapat lebih utama.
Ibnu al-qayyim al-jauziyyah menggolongkan kedalam empat tingkat saja
yakni 1. Mujtahid mutlak; 2. Mujtahid mazhab; 3. Mujtahid fatwa; 4.muqallid
atau disebut ahli tarjih.
SYARAT-SYRAT IJTIHAD
Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum Islam tidak berarti bahwa setiap
orang dapat melakukan ijtihad. Hanya orang-orang memiliki syarat
tertentulah yang mampu berijtihad. Syarat-syarat tersebut ialah berikut ini:
a. Mengetahui bahasa arab dengan segala seginya, sehingga
memungkinkan dia menguasai pengertian susunan katakatanya. Hal ini
karena objek pertama bagi orang yang berijtihad ialah pemahaman
terhadap nas-nas Al-Qur’an dan Hadis yang berbahasa Arab. Sehingga ia
dapat menetapkan aturan-aturan bahasa dalam pengambilan hukum
darinya.
b. Mengetahui Al-Qur’an, dalam hal ini adalah hukum-hukum yang
dibawa oleh Al-Qur’an beserta ayat-ayatnya dan mengetahui cara
pengambilan hukum dari ayat tersebut.sehingga apabila tersjadi suatu
peristawa ia dapat menunjuk ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis yang
berbahasa syarat itu pun sangat diperlukan untuk mengetahui sebab-sebab
turunnya suatu ayat serta riwayat-riwayat yang berhubungan dengan
permintaan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang bertalian dengan hukum tidaklah
banyak. Di samping itu ada juga khitab tafsir yang khusus menafsirkan
ayat-ayat tersebut. Bahkan ayat-ayat tersebut dapat dikumpulkan satusama
lain menurut isi pembicaraannya, seperti ayat-ayat yang bertalian dengan
perkawinan, talak, dan sebagasinya, seperti yang dilakukan oleh John
Lalbaume. Juga tidak sukar untuk mencari dalam kitab-kitab Hadis shahih
yang menerangkan Hadis -Hadis yang berhubungan dengan sebab-sebab
turunnya dan penjelasannya. Dengan demikian setiap persoalan hukum
dalam Al-Qur’an dipelajari dalam hubungannya dengan keseluruhan
persoalan tersebut, karena ayat-ayat Al-Qur’an saling menafsirkan satu
sama lain, namun apabila dalam pemahamannya dipisahkan satu sama
lain, adanya kekeliruan penafsiran tidak dapat dihindarkan.
c. Mengetahui Hadis- Hadis Nabi saw, yaitu yang berhubungan dengan
hukum-hukum syariah sehingga ia dapat mendatangkan Hadis -Hadis yang
diperlukan dengan mengetahui keadaan sanadnya. Ulama-ulama angkatan
dahulu telah memberikan jasajasanya yang tidak sedikit dalam usaha
pengamanan terhadap Hadis-Hadis Nabi saw, diantaranya ialah pembagian
Hadis menjadi mutawatir, masyhur, sahih, hasan, dan do’if. Seperti halnya
dengan tafsir-tafsir hukum,dalam lapangan Hadis juga ada kitab-kitab
yang khusus mengumpulkan Hadis -Hadis yang berhubungan dengan
hukum dan diurutkan menurut isi pembicaraannya juga.
d. Mengetahui segi-segi pemakaian qiyas, seperti illat dan hikmah
penetapan hukum, serta mengetahui fakta-fakta yang ada nas-nya dan yang
tidak ada nasnya. Selain itu harus mengetahui urf orangdan jalan-jalan
yang dapat banyak mendapatkan kebaikan atau keburukannya. Dengan
demikian apabila orang yang berijtihad dengan tidak dapat memakai qiyas
dalam masalah yang dihadapi, ia dapat memakai jalan-jalan yang telah
ditunjukkan oleh syara’.
e. Mampu menghadapi nas-nas yang berlawanan, kadang-kadang Dala
suatu persoalan terdapat beberapa ketentuan yang berlawanan. Nas-nas
yang berlawanan tersebut ada kalanya dapat diketahui sejarah
dikeluakannya dan adakalanya tidak diketahui. Kalau dapat diketahui, nas
yang datang belakangan membatalkan nas yang dikeluarkan terdahulu.
PENERAPAN IJTIHAD
Secara umum pola ijtihad dapat di bagi ke dalam tiga pola yaitu;
1. Pola bayani ( kajian semantik )yaitu kegiatan yang berkaitan dengan
kebahasaan,kapan suatu lafal di artikan secara majaz,bagaimana
memilih salasatu arti lafal musytara(ambiguitas),mana ayat yang
umum yang di terangkan dan mana pula yang khusus ,yang
menerangkan, mana ayat yang qat’i dan mana yang jammi kapan
sesuatu perintah di anggap untuk wajib dan kapan pula untuk sunah,
kapan larangan itu untuk haram dan kapan pula untuk makruh. Sebagai
contoh,di dalam hadits ada perintah untuk mempersaksikan nikah dan
dalam al’quran ada perintah mempersaksikan ruju’.
2. Pola ta’lili yaitu semua yang menjadikan illad(keadaan atau sifat yang
menjadi tambatan hukum)sebagai titik tolaknya.di sini di bahas cara”
menemukan illad,prsyaratan illad,pengguaan illad,di dalam qiyas dan
isthisan serta penggubahan hukum itu sendiri sekiranya di temukan
iilad baru.sebagai contoh di dalam hadits ada perintah untuk
mengambil jakat hanya dari tiga jenis tanaman yaitu tanaman
gandum,kurma,dan anggur.sebagian ulama memahami ayat ini melalui
pola bayani,hanya memeganggi arti jahirnya jadi, produk pertanian
yang terkena jakat hanyalah tiga jenis tanaman tersebut.
3. Pola istislahi (pertimbangan kemaslahatan) yaitu mengidentifikasi
masalah’ yang tidak mempunyai nas khusus sebagai rujukan. Dalam
pola ini, ayat ayat umum di kumpulkan guna menciptakan beberapa
prinsip, yang di gunakan untuk melindungi atau mendatangkan
kemaslahatan tertentu.prinsip’’ tersebut di susun menjadi tiga
tinggkatan (daruriyat,kebutuhan ensensial; hajiyat, kebutuhan
sekunder; dan tahsiniyat, kebutuhan kemewahan. Prinsip ini
didedukasikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya
transplantasi organ tubuh, bayi tabung, dan aturan lalu lintas
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER DINAMIKA ISLAM
Selain sumber hukum islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-
Sunah, sumeber lainnya juga bersumber dari hasil ijtihad yang mana
berupa pengarahan atau suatu kemampuan dari seorang mujtihad dalam
mencari pengatahuan tentang hukum syara’.
Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nas tidak di jumpai dengan
hukum yang diterapkan pada suatu kasus, maka seorang mujtahid boleh
melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama.
DAFTAR PUSTAKA