Anda di halaman 1dari 4

Perkosaan Dalam Perkawinan dan

Perlindungan Hukumnya

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam
perkawinan terdapat hak-hak serta kewajiban yang harus saling dipenuhi antara
suami dan istri. Salah satunya saling memenuhi kebutuhan biologis pasangan,
namun banyak suami maupun istri yang mengindahkan hak-hak yang mereka miliki
dengan mengabaikan kewajiban yang mereka tanggung. Hal ini biasanya akan
berujung pada terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga karena ada
pihak-pihak yang merasa bahwa haknya tidak terpenuhi.
Tidak jarang dijumpai dalam perkawinan terdapat tindakan pelanggaran yang
dilakukan dalam rangka terpenuhinya kebutuhan biologis, seperti pemaksaan
terhadap istri yang dalam literatur dikenal dengan pemerkosaan dalam rumah
tangga atau marital rape. Dari segi terminologi marital rape berasal dari bahasa
Inggris, Marital yakni sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, sedangkan
rape berarti perkosaan.
Perkosaan merupakan salah satu kejahatan kekerasan yang paling
mencemaskan dibanding jenis kejahatan kekerasan lainnya. Dalam artian bahwa
marital rape adalah perkosaan yang terjadi antara suami istri dalam hubungan
perkawinan. Salah satu pasangan memaksa untuk melakukan aktivitas seksual
tanpa persetujuan dan pertimbangan kondisi salah satu pihak merupakan
pelanggaran hak asasi manusia.
Selain itu pengertian marital rape sebagaimana yang disampaikan oleh
Bergen yang dikutip oleh Siti ’Aisyah, diartikan sebagai hubungan seksual lewat
vagina mulut, maupun anus yang dilakukan dengan paksaan, ancaman, atau saat
istri tidak sadar. Sedangkan Elli Nur Hasbianto memberikan pengertian marital rape
sebagai kekerasan terhadap istri dalam bentuk pemaksaan untuk melakukan
hubungan seksual, pemaksaan selera seksual, dan pemaksaan seksual tanpa
memperhatikan kepuasan istri.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa marital rape
adalah perbuatan pemerkosaan terhadap seorang istri karena ada unsur-unsur
pemaksaan, ancaman, kekerasan, yang berdampak buruk terhadap istri baik dari
segi fisik maupun psikis. Dan ini dianggap perbuatan pidana disamping melanggar
hak asasi manusia. Patricia Mahoney memaparkan bahwa penyebab marital rape
secara garis besar sebagai berikut:
a. Reinforce power, dominance and control. Pemaksaan hubungan seksual tidak
selalu disebabkan motif hasrat seksual semata, namun seringkali dilakukan
untuk menunjukkan kekuasaan, dominasi dan kontrol suami terhadap istri.
b. Ekpresi kemarahan. Pemaksaan hubungan seksual dilakukan sebagai bentuk
kemarahan ketika istri tidak memenuhi permintaan (perintah) suaminya.
c. Sterotype atau pelabelan tentang bagaimana seorang istri atau perempuan
bersikap. Misalnya: melayani suami dalam hubungan seksual adalah
kewajiban istri, perempuan dianggap menikmati hubungan seksual yang
dipaksakan, perempuan berkata tidak padahal hatinya mengiyakan, dan
sebagainya.

Dalam hukum pidana di Indonesia, marital rape masuk dalam ruang lingkup
kejahatan kesusilaan yaitu Pasal 285-288 KUHP. Pasal 285 KUHP secara tegas
menyebutkan bahwa pemaksaan terhadap perempuan untuk melakukan hubungan
seksual ditekankan pada pada perempuan yang bukan istrinya. Sedangkan
terhadap perempuan (istri) sendiri dikenakan Pasal 288 KUHP dengan batasan
belum masanya dikawinkan dan mengakibatkan luka pada perempuan tersebut.
Jelaslah kiranya, dalam KUHP, memang tidak dikenal istilah perkosaan dalam
perkawinan atau marital rape. Perkosaan hanya terjadi apabila pemaksaan untuk
bersetubuh ditujukan pada perempuan yang bukan istri.
Dengan demikian pemaksaan hubungan dalam ikatan perkawinan bukan
termasuk dalam kategori perkosaan yang diatur dalam KUHP. Rumusan hukum ini
berakibat istri tidak dapat mengadukan suaminya ke meja hijau dengan alasan
perkosaan. Atau kalau di adukan, perkara tersebut akan diproses sebagai perkara
penganiayaan bukan perkosaan.
Keterbatasan hukum pidana dalam pengaturan kekerasaan seksual Indonesia
meresahkan seperti suatu perkosaan akan dianggap perkosaan apabila penis
masuk ke dalam vagina dan mengeluarkan mani. Hal seperti ini sehingga
memunculkan RUU PKS untuk mengatur kembali tentang kekerasan seksual di
Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum
terhadap perlindungan suami atau istri dalam hal aktivitas seksual atas kemauan
sendiri sangat penting. Selain dikarenakan korban memiliki hak yang harus di
tegakkan, tetapi juga untuk menumbuhkan kesadaran manusia untuk menghargai
dan melindungi hak asasi manusia. Pelaku marital rape dapat dihukum berdasarkan
UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Undang-Undang ini mengatur kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan penelantaran.
Termasuk juga mengatur tentang marital rape yakni dalam pasal 5 huruf c meliputi :
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum bagi


korban perkosaan dalam perkawinan masih perlu ditangani secara serius. RUU PKS
dapat segera disahkan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, selain itu
untuk menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku, serta
menjamin terlaksananya Menjamin terlaksananya kewajiban negara dan tanggung
jawab keluarga, masyarakat dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas
kekerasan seksual.
Referensi

Samsudin Titin. 2010. MARITAL RAPE SEBAGAI PELANGGARAN HAK ASASI


MANUSIA. Jurnal Al- Ulum. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai,
Gorontalo.
Muyassarotussolichah. Marital Rape pada Masyarakat: Kasus Marital Rape yang
Terlapor di Rifka Annisa Tahun 2001-2006.
Erlytawati Nita, Lukitasari Diana. TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM
PERKAWINAN (MARITAL RAPE) DALAM PERBANDINGAN HUKUM PIDANA
INDONESIA DAN SINGAPURA.

Anda mungkin juga menyukai