Analisa Kemantapan Lereng Pada Tanah Batuan: Oleh: Ir. A.A Ketut Ngurah Tjerita, MSC NIP: 195312311986021003
Analisa Kemantapan Lereng Pada Tanah Batuan: Oleh: Ir. A.A Ketut Ngurah Tjerita, MSC NIP: 195312311986021003
BATUAN
OLEH :
NIP : 195312311986021003
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, karena hanya berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penelitian ini
dengan judul Analisa Kemantapan Lereng Pada Tanah Batuan .
Dalam nasalah kemantapan lereng pada tanah batuan (batuan) merupakan suatu hal yang
menarik karena sifat-sifat dan prilakunya yang berbeda dengan kemantapan lereng pada tanah.
Kemantapan suatu lereng pada batuan dipengaruhi oleh geometri suatu lereng, struktur batuan,
sifat-sifat fisik dan makanik batuan serta gaya-gaya luar yang bekerja pada lereng tersebut.
Dengan semakin terbatasnya lahan untuk keperluan pembangunan bidang teknik sipil dan
banyak sumber-sumber alam yang terdapat didaerah–daerah yang berbatuan, maka sangat
diperlukan Ilmu pengetahuan “Kemantapan Lereng” untuk mengantisipasi kemungkinan–
kemungkinan yang timbul yang tidak diingini.
Untuk menghadapi fenomena ini dan untuk menambah refrensi buku kuliah saya ingin
ikut memberikan sumbangan penulisan ini, dirangkum dari beberapa buku sesuai dengan refrensi
yang ada.
Dengan menyadari pula barangkali ada hal-hal yang kurang sempurna terdapat dalam
penyelesaian penulisan ini, masukan dan saran dari pembaca sangat diharapkan dan semoga
penulisan ini ada manfaatnya bagi kita serta perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia
Penulis
i
DAFTAR ISI
A. Pendahuluan
..................................................................................................... 1
B. Faktor – faktor yang
mempengaruhi kemantapan lereng batuan .................... 2
C. Klasifikasi longsoran
batuan ........................................................................... 3
D. Metode analisis
kemantapan lereng dengan metode Hoek dan
Bray ................................................................................................................. 7
E. Data sebagai dasar
analisis ............................................................................. 15
F. Pemantauan
(Monitoring) ..............................................................................16
G. Proteksi Lereng
.............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA
ii
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR Halaman
1. Longsoran Bidang
..................................................................................................... 4
2. Longsoran Baji
.......................................................................................................... 5
3. Longsoran Busur
....................................................................................................... 6
4. Longsoran Guling
..................................................................................................... 7
5. Macam – macam
Longsoran Guling ......................................................................... 8
6. Regangan Tarik Pada
Longsoran Bidang .................................................................. 10
7. Stereoplot Data
Longsoran Bali ................................................................................ 13
8. Manual Extensometer
................................................................................................ 17
9. Electric Load Cell
...................................................................................................... 17
10. Perbaikan Kondisi
Lereng Dengan Pembuatan Saluran Penirisan ............................ 20
LAMPIRAN A
11. Penggambaran
Struktur Bidang pada Jaring Schimdt ...............................................23
12. Penggambaran Arah
dan Penunjaman perpotongan Dua Bidang .............................. 24
iii
13. Sudut Perpotongan
Dua Bidang ................................................................................ 25
14. Penggambaran Sudut
Geser Dalam ........................................................................... 26
15. X-12
.......................................................................................................................... 26
16. Tipe Utama dari
“Slope Failure” dan “ Stereo Plots” dari keadaan Struktural
yang mungkin menyebabkan Tipe kelongsoran ini .................................................. 27
17. Interpretasi dari
Stereoplot Bidang-bidang lemah .................................................... 28
18. Informasi struktur
Geologi dan Evaluasi awal terhadap kemantapan lereng
Dari suatu rencana tambang open pit ....................................................................... 29
iv
v
KEMANTAPAN LERENG BATUAN
A. Pendahuluan
Masalah kemantapan lereng pada batuan merupakan suatu hal yang menarik, karena
sifat – sifat dan perilakunya yang berbeda dengan kemantapan lereng pada tanah.
Kemantapan lereng pada batuan lebih ditentukan oleh adanya bidang – bidang lemah yang
disebut diskontinuitas, tidak demikian halnya dengan lereng – lereng pada tanah.
Kemantapan suatu lereng pada batuan dipengaruhi oleh geometri lereng, struktur
batuan, sifat fisik dan mekanik batuan serta gaya – gaya luar yang bekerja pada lereng
tersebut
Suatu cara yang umum untuk menyatakan kemantapan suatu lereng adalah dengan
factor kemantapan atau factor keamanan. Faktor ini merupakan perbandingan antara gaya
penahan yang membuat lereng tetap mantap, dengan gaya penggerak yang menyebabkan
longsor. Secara matematis factor kemantapan lereng dapat dinyatakan sebagai berikut :
Dimana :
1
B. Faktor – faktor yang mempengaruhi kemantapan lereng batuan
1. Geometri Lereng
Kemiringan dan tionggi suatu lereng sangat mempengaruhi kemantapannya.
Semakin besar kemiringan dan ketinggian suatu lereng, maka kemantapannya
semakin berkurang.
2. Struktur batuan
Struktur batuan yang sangat mempengaruhi kemantapan lereng adalah bidang –
bidang sesar, perlapisan dan rekahan, Struktur batuan tersebut merupakan bidang –
bidang lemah (diskontinuitas) dan sekaligus sebagai tempat merembesnya air.
Sehingga batuan lebih mudah longsor.
3. Sifat fisik dan mekanik batuan
Sifat fisik batuan yang mempengaruhi kemantapan lereng adalah : bobot isi
(density), porositas dan kandungan air. Kuat tekan, kuat tarik, kuat geser dan sudut
geser – dalam batuan merupakan sifat mekanik batuan yang juga mempengaruhi
kemantapan lereng.
a. Bobot-isi-batuan
b. Porositas batuan.
dimana :
c : Kohesi (ton/m2)
2
c. Kandungan air dalam batuan
Semakin besar kandungan air dalam batuan, maka tekanan air pori
menjadi semakin besar juga. Dengan demikian berarti bahwa kuat geser
batuanya menjadi semakin kecil, sehingga kemantapannya pun berkurang
(lihat porositas)
Semakin besar sudut geser dalam, maka kuat geser batuan juga akan
semakin besar. Dengan demikian, batuan 9lereng akan lebih mantap
1. Longsoran Bidang
a. Terdapat bidang luncur bebas (daylight) berarti kemiringan bidang luncur harus lebih
kecil daripada kemiringan lereng (lihat Gambar 1)
b. Arah bidang luncur sejajar atau mendekati sejajar dengan arah lereng (maksimum
berbeda 200)
c. Kemiringan bidang luncur lebih besar dari pada sudut geser dalam batuannya
3
d. Terdapat bidang bebas (tidak terdapat gaya penahan) pada kedua sisi longsoran
Gambar 1
Longsoran bidang
2. Longsoran Baji
Longsoran baji dapat terjadi pada suatu batuan jika terdapat lebih dari satu bidang
lemah yang bebas dan saling berpotongan.sudut perpotongan antara bidang lemah
tersebut harus lebih besar dari sudut geser dalam batuannya (lihat Gambar 2). Bidang
lemah ini dapat berupa bidang sesar, rekahan (joint) maupun bidang perlapisan.
Cara longsor suatu baji dapat melalui salah satu atau beberapa bidang lemahnya,
ataupun melalui garis perpotongan kedua bidang lemahnya.
4
Gambar 2
Longsoran baji
3. Longsoran Busur
Longsoran batuan yang terjadi sepanjang bidang luncur yang berupa busur disebut
longsoran bususr (Lihat Gambar 3). Longsoran busur hanya akan terjadi pada tanah atau
material yang bersifat seperti tanah. Antar partikel tanah tidak terikat satu sama lain (not
interlock). Dengan demikian, longsoran busur juga dapat terjadi pada batuan yang sangat
lapuk serta banyak mengandung bidang lemah , maupun tumpukan (timbunan) batuan
hancur.
5
Gambar 3
Longsoran busur
4. Longsoran Guling
Longsoran guling akan terjadi pada suatu lereng batuan yang arak kemiringannya
berlawanan dengan kemiringan bidan – bidang lemahnya. Keadaan tersebut dapat
digambarkan dengan balok – balok yang diletakkan di atas sebuah bidang miring sebagai
berikut (lihat Gambar 4) :
a. Jika > Ø dan Δ x/y n < tan , maka balok akan meluncur kemudian mengguling
b. Jika < Ø dan Δ x/y n < tan , maka balok akan langsung mengguling
6
Gambar 4
Longsoran guling
Kemantapan suatu lereng batuan dapat dianalisis dengan metode Hoek dan Bray,
analisis fektor dan metoda grafis. Tetapi didalam tulisan ini hanya dibahas metoda Hoek dan
Bray.
Metoda Hoek dan Bray dapat digunakan untuk menganalisis keempat macam
longsoran pada lereng batu: khusus untuk longsoran busur tidak akan dibahas disini karena
longsoran tersebut tidak akan terjadi pada batuan segar (fresh rock)
7
Gambar 5
8
1. Longsoran Bidang
Dalam menganilisis longsoran bidang dengan metoda Hoek dan Bray; suatu
lereng ditinjau dalam dua dimensi dengan anggapan-anggapan:
F=
F=
Dimana :
9
Gambar 6
Regangan tarik pada longsoran bidang
U = ½ ϒW ZW (H-Z) cosec p
V = ½ ϒW ZW2
10
ZW = tinggi kolom air yang mengisi regangan tarik (m)
Z = kedalam regangan tarik (m)
H = tinggi lereng (m).
Jika terjadi getaran yang diakibatkan oleh adanya gempat, peledakan maupun
aktivitas manusia lainnya, maka persamaan diatas menjadi :
F=
Dimana :
2. Longsoran baji
Sebagai contoh analisis hanya akan dibahas tentang longsoran baji yang
dibentuk oleh dua bidang lemah. Dalam analisis dengan menggunakan metoda Hoek
dan Bray, longsoran baji dianggap hanya akan terjadi pada garis perpotongan kedua
bidang lemah.
Dimana :
X =
Y =
11
A =
B =
Jika pada bidang I dan II tidak terdapatk kohesi, serta kondisi lereng kering,
maka persamaan diatas menjadi :
F = A tan Øa + B tan Øb
Dimana A dan B adalah suatu faktor tanpa satuan yang besarnya tergantung
pada jurus (strike) dan kemiringan (dip) kedua bidang lemahnya. Bidang lemah yang
mempunyai kemiringan lebih kecil selalu dinamakan bidang lemah I, sedangkan bidang
lemah yang satunya lagi dinamakan bidang lemah II.
3. Longsoran Guling
Dengan metode Hoek dan Bray terjadinya longsoran guling dapat dianalisis
dengan menggunakan suatu model yang sederhana. Model tersebut hanya berlaku untuk
kasus – kasus yang sederhana. Untuk menganalisis lereng yang sebenarnya dilakukan
analogi dengan mempertimbangkan variable – variable di lapangan.
Model tersebut berupa balok – balok yang disusun pada suatu tangga yang
miring (lihat Gambar 4). Dengan model tersebut akan dianalisis kemantapan
(kestabilan) batas suatu lereng terhadap longsoran guling. Kemantapan batas adalah
suatu keadaan dimana lereng pada saat akan longsor
Gaya – gaya yang bekerja pada setiap balok dihitung dengan nilai (angka) sudut
geser dalam (Ø) tertentu, sampai diperoleh nilai P0 positif terkecil. Nilai P tersebut
merupakan gaya yang menahan balok 1 (lihat Gambar 4). Nilai sudut geser dalam (Ø)
yang menghasilkan P0 positif terkecil kemudian dipakai berbagai sudut geser dalam
pada keadaan kemantapan batas. Faktor kemantapan lereng terhadap longsoran guling
kemudian dapat dinyatakan dengan persamaan :
F=
Dimana :
F = faktor kemantapan
Ø1 = sudut geser dalam yang sebenarnya di lapangan (0)
Ø2 = sudut geser dalam pada kritis (kemantapan batas), (0)
12
Gambar 7
Stereoplot data longsoran baji
Keterangan :
na . nb = Sudut Perpotongan bidang lemah I dan II
1 . nb = Sudut antara bidang lemah I dengan garis perpotongan bidang lemah I dan
muka lereng
2 . na = Sudut antara bidang lemah II dengan garis perpotongan bidang lemah II dan
muka lereng
24 = Sudut antara garis perpotongan bidang lemah II dan muka lereng dengan garis
perpotongan bidang lemah II dan bagian atas lereng (upper slope)
13 = Sudut antara garis perpotongan bidang lemah I dan muka lereng dengan garis
perpotongan bidang lemah I dan muka lereng
35 = Sudut antara garis perpotongan bidang lemah I dan bagian atas lereng (upper
slope) dengan garis perpotongan bidang lemah I dan II
45 = Sudut antara garis perpotongan bidang lemah II dan muka lereng dengan garis
perpotongan bidang lemah I dan II
T5 = Sudut penunjaman perpotongan bidang lemah I dan II
13
Tabel I
14
E. Data sebagai dasar analisis
Data utama sebagai dasar analisis kemantapan suatu lereng batuan adalah: geometri
lereng, struktur batuan, serta sifat dan mekanik batuan.
1. Geometri lereng
Sifat fisik dan sifat mekanik batuan sebagai dasar analisis kemantapan lereng
adalah:
1. Penyelidikan di lapangan
15
e. Uji batuan di lapangan (insitutes)
untuk mendapat data tentang sifat mekanik batuan, misalnya dengan “block shear
test”.
2. Penyelidikan di laboratorium
Sifat fisik dan sifat mekanik batuan diperoleh dari hasil uji coba (test) di
laboratorium terhadap sampah contoh (sampel) batuan yang diambil dari lapangan.
Penyelidikan di laboratorium dapat dilakukan dengan:
F. Pemantauan (monitoring)
Pemantauan merupakan tindakan pengamatan yang terus menerus teratur
(periodik). Pengamatan tersebut bertujuan untuk mengetahui kondisi (gerakan) lereng
sedini mungkin sebelum terjadi longsoran.
Pemantauan terhadap suatu lereng batuan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Pengukuran (Surveying)
Adanya gerakan pada suatu lereng menunjukan bahwa lereng tersebut tidak mantap
gerakan lereng tersebut diukur dengan “Theodolyt”.
Prinsip kerja alat tersebut adalah mengukur koordinat satu titik pada lereng.
Koordinat titik tersebut kemudian dibandingkan dengan koordinat titik tetap
(reference), sehingga gerakan lereng dapat diketahui
2. Pemantapan (Inclinometer)
Selain dengan pengukuran atau surveying, gerakan suatu lereng juga dapat diukur
dengan inclinometer. Alat ini hanya cocok dipakai pada lereng yang berupa tanah
atau material yang bersifat seperti tanah, sehingga tidak dibahas lebih lanjut
3. Pemasangan (extensometer)
“extensometer” dapat berupa kabel maupun batang baja (rod) yang dimasukkan ke
dalam lubang bor (lihat Gambar 8). “Extensometer” diapasang pada daerah (lereng)
yang diperkirakan paling kritis (labil), biasanya pada tempat yang banya mengandung
bidang lemah. Besar gerakan lereng pada kedalaman tertentu dapat diukur dengan alat
tersebut, baik secara manual maupun secara otomatis
4. Pemasangan (Load Cell)
16
Load cell dapat dipasang pada jangkar batuan (rock anchor) yang berupa kabel
maupun batang baja. Prinsip kerja alat tersebut adalah mengukur tegangan (gaya)
pada jangkar batuan yang diakibatkan oleh adanya gerakan batuan (lihat Gambar 9)
G. Proteksi Lereng
Tindakan proteksi terhadap suatu lereng batuan merupakan suatu usaha yang
dilakukan untuk melindungi, bahkan memperbesar kemantapan lereng. Tindakan
tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Penguatan (Suporting)
Penguatan merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk memperbesar kekuatan
(strength) batuan, sehingga lereng lebih mantap. Tindakan tersebut dapat dilakukan
dengan :
a. Pemasangan jangkar batuan (rock
anchor)
Jangkar batuan terutama berfungsi sebagai penguat (armature) dan pengikat
(confining) batuan. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian jangkar
batuan adalah sebagai berikut :
1) Jenis jangkar
Berdasarkan jenisnya, jangakar batuan dibedakan menjadi dua yaitu :
- “Punctual Anchor”
- “Distributed Anchor”
Gambar 8
Manual Extensometer
17
Gambar 9
Elektrik load cell
Untuk menahan gerakan (deformasi) yang besar dipilih distributed anchor karena
jenis jangkar ini mempunyai kemampuan mengikat batuan lebih besar
dibandingkan dengan punctual anchor. Distributed anchor juga baik digunakan
pada batuan yang mengandung air, karena bahan pengikatnya (grouthing)
sekaligus pelindung jangkar terhadap korosi.
Jenis jangkar juga dapat dibedakan dalam bentuk kabel dan batang baja (rock
bolt). Jika pada penguatan lereng diperlukan jangkar yang panjang ( lebih dari
15.0 m), maka dipilih yang berbentuk kabel karena lebih lues ( flexible ) dalam
pemasangan.
2) Panjang jangkar
Panjang jangkar tergantung pada struktur batuan, terutama bidang-bidang
lemahnya. Pemasangan jangkar batuan selalu diusahakan agar dapat
mengikat batuan yang lemah (lepas) pada batuan induknya yang kuat
(mantap).
3) Kerapatan jangkar
Pada prinsipnya jangkar batuan harus dapat mengikat (menahan) setiap
beban (massa batuan) yang akan longsor. Kerapatan jangkar tergantung
pada kuat tarik (tensile strength) jangkar, struktur bidang lemah dan massa
batuan yang akan longsor.
4) Kuat tarik (tensile strenght) jangkar
Kuat tarik jangkar merupakan kemampuan (kekuatan) suatu jangkar untuk
menahan beban tarikan yang diakibatkan oleh batuan yang akan longsor.
Pada prinsipnya kuat tarik jangkar harus lebih besar dari beban (massa
batuan yang akan longsor).
5) Diameter jangkar
Diameter jangkar ditentukan oleh besar beban yang akan longsor. Semakin
besar beban yang akan longsor, maka diperlukan jangkar dengan diameter
yang lebih besar pula.
6) Orientasi jangkar
18
Orientasi jangkar ditentukan berdasarkan struktur batuan, terutama bidang-
bidang lemahnya. Pada prinsipnya jangkar harus dapat mengikat batuan
yang lepas (lemah) pada batuan induknya yang kuat.
7) Tarikan mula-mula (prestressed)
Tarikan mula-mula pada jangkar bertujuan untuk mengikat batuan yang
lepas sebelum mengalami gerakan (deformasi) lebih lanjut. Dengan
demikian, batuan tersebut masih dapat menyangga dirinya sendiri.
19
Air tanah maupun air hujan yang merembes ke dalam batuan akan memperbesar
gaya angkat (uplift) dan gaya mendatar, sehingga memperbesar gaya penggerak
yang menyebabkan lereng longsor. Dengan membuat lubang-lubang (saluran-
saluran) penirisan maka gaya-gaya tersebut berkurang sehingga lereng lebih
mantap.
Lubang-lubang (saluran-saluran) penirisan dapat dibuat denganmembor lereng
maupun menggali parit-parit pada setiap jenjang (lihat gambar 10)
b. Memperlandai kemiringan lereng
Kondisi suatu lereng batuan dapat diperbaiki dengan pemotongan lereng,
sehingga lereng menjadi lebih landai. Dengan demikian lereng akan menjadi
lebih mantap.
Gambar 10
Perbaikan kondisi lereng dengan pembuatan saluran penirisan
Keterangan :
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Hoek E. and Bray, J.W : “Rock Sloop Engineering”, 3rd edition, The Insitution of Mining
and Metalrugi, London, 1981.
2. Anung Dri Prasetya: “Analisis Kemantapan dan Proteksi Lereng di Kuari Breksi Proyek
PLTA Cirata Jawa Barat”, Tugas Sarjana Jurusan Teknik Pertambangan ITB, 1987.
3. Cirata Hydroelectric Power Project, “Breccia Quarry Permanent Slope Protection”, The
New Jec Inc, 1985.
21
22
LAMPIRAN A
CARA PENGGAMBARAN STRUKTUR BATUAN PADA JARING SCHMIDT DALAM
ANALISIS KEMANTAPAN LERENG SECARA GRAFIS
Dalam penggambaran struktur batuan, digunakan jaring Schmidt (Schmidt’s net” sebagai pola,
dan kertas transparant untuk menggambarkannya.
22
Gambar 11
Penggambaran struktur bidang pada jaring Schmidt
Dengan cara yang sama, bidang-bidang (struktur batuan) dengan orientasi yang lain dapat
digambarkan.
23
Tahap I : penggambaran kedua bidang diatas dilakukan pada jaring Schmidt (lihat
bagian A)
Tahap II : arah perpotongan kedua bidang tersebut diperoleh dengan menarik garis
dari pusat jaring ke perpotongan kedua bidang (200,5o)
Tahap III : memutar titik perpotongan kedua bidang di atas sampai berhimpit sumbu
W-E, kemudian mengukur sudutnya dari luar lingkaran. Sudut tersebut merupakan sudut
penunjaman perpotongan dua bidang (20o,5o).
Gambar 12
Penggambaran arah dan penunjaman perpotongan dua bidang
24
Gambar 13
Sudut perpotongan dua bidang
25
Gambar 14
Penggambaran sudut geser dalam
X-12
26
Gambar 16
Tipe utama dari “Slope Failure” dan “Streo Plots” dari keadaan struktural yang mungkin
menyebabkan tipe kelongsoran ini
27
Gambar 17
Intepretasi dari Streo Plot bidang-bidang lemah pada lereng
28
Gambar 18
Informasi struktur geologi dan evaluasi awal terhadap kemantapan lereng dari suatu
`rencana tambang open PIT
29
15