Anda di halaman 1dari 6

Nama:Zainul Fahmi

NIM:1.20.5144

Prodi:PAI

Semester:3

MatKul:Pembelajaran Aqidah

UTS PEMBELAJARAN AQIDAH

1).Bagaimana penafsiran ayat al-baqarah ayat 62 terkhusus tentang shabiin dan apakah zabur termasuk
dalam golongan ini?(Dicantumkan kitab apa dan halaman berapa)

2).Bagaimana makna tentang ahli kitab dalam Al-qur'an dan penafsirannya.(Dicantumkan sumbernya,
dilarang dari artikel biasa).

JAWAB

1).

Terjemahannya:"Sesungguhnya orang-orangyang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang


Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang (benar-benar) beriman kepada Allah
dan hari Kemudian serta beramal saleh, maka untuk mereka pahala mereka di sisi Tuhan mereka, tidak
ada kekhawatiran menimpa mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. ”

Dalam Tafsir al-Misbah Jilid 1" Hal 214 dalam Kelompok IV Ayat 40-70 yang diterbitkan oleh penerbit
Lentera Hati. karya Prof. Quraish Shihab.

Menafsirkan Ayat-ayat yang lalu telah mengecam bahkan mengancam orang-orang Yahudi yang
durhaka. Tentu saja ancaman dapat menimbukkan rasa takut Melalui ayat ini Allah memberi jalan keluar
sekaligus ketenangan kepada mereka yang bermaksud memperbaiki diri. Ini sejalan dengan kemurahan
Allah yang selalu membuka pintu bagi hamba-hamba-Nya yang insaf. Kepada mereka disampaikan
bahwa jalan guna meraih ridha Allah bagi mereka serta bagi umat-umat lain, tidak lain kecuali iman
kepada Allah dan hari Kemudian serta beramal saleh. Karena itu ditegaskannya bahwa: Sesungguhnya
orang-orangyang beriman, yakni yang mengaku beriman kepada Nabi Muhammad saw., orang-orang
Yahudi, yang mengaku berinfan kepada Nabi Musa as. dan orang-orang Nasrani yang mengaku beriman
kepada ‘Isa as. dan orang-orang Shabi’in, kaum musyrik atau penganut agama dan kepercayaan lain,
siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudidn sebagaimana dan
sesuai dengan segala unsur keimanan yang diajarkan Allah melalui para nabi serta beramal saleh, yakni
yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan Allah, maka untuk mereka pahala amal-
amal saleh mereka yang tercurah di dunia ini dan tersimpan hingga di akhirat nanti di sisi Tuhan
Pemilihara dan Pembimbing mereka, serta atas kemurahan-Nya; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
menyangkut sesuatu apapun yang akan datang, dan tidak pula mereka bersedih hati menyangkut sesuatu
yang telah terjadi.

Kecaman dan siksa yang diuraikan ayat-ayat yang lalu boleh jadi diduga sementara orang tertuju
kepada semua Bani Isra’il. Untuk menampaik dugaan keliru itu, maka ayat ini memulai informasinya
dengan kata inna,/sesungguhnya. Memang banyak orangyang menduga bahwa kedurhakaan orang-orang
Yahudi mencakup semua mereka, padahal tidak demikian. “Sementara sahabat-sahabat saya heran ketika
saya sampaikan bahwa pada saat berada di Roma saya berkunjung ke kuburan Petrus untuk memperoleh
berkatnya, karena beliau adalah salah seorang hawariyin (sahabat Nabi ‘Isa as. yang setia).” Demikian
tulis Ibn ‘Asyur ketika menafsirkan ayat ini.

Yang dimaksud dengan kata hadu adalah orang-orang Yahudi atau yang beragama Yahudi.
Mereka dalam bahasa Arab disebut yahud. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ini terambil dari
bahasa Ibrani, yahudz. Dalam bahasa Arab, kata ini ditulis hanya dengan sedikit sekali perbedaannya
yaitu meletakan "titik" di atas huruf dal. Perlu diingat, peletakan "titik" dan abris pada aksara Arab
dikenal jauh setelah turunnya Al-Qur’an. Di sisi lain, bahasa Arab sering kali mengubah pengucapan satu
kata asing yang diserapnya. Hal itu pun berlaku di sini. Penanaman tersebut, menurut Thahir Ibn Asyur,
baru dikenal setelah kematian Nabi Sulaiman AS, diperkirakan sekitar 975 SM. Ada juga yang
memahami kata tersebut berasal dari bahasa Arab, yang berarti "kembali" yakni bertaubat. Mereka
dinamai demikian karena mereka bertaubat dari penyembahan anak sapi. Penulis mengamati bahwa Al-
Qur’an tidak menggunakan kata yahud kecuali dalam konteks kecaman. Agaknya, itulah sebabnya, di sini
(baca: ayat 62) tidak digunakan kata tersebut tetapi digunakan kata hadu.

Thahir Ibn Asyur berpendapat lain. Menurutnya, kerajaan Bani Isra’il terbagi dua setelah
kematian Nabi Sulaiman AS. Yang pertama adalah kerajaan putra Nabi Sulaiman bernama Rahbi’am
dengan ibu kotanya Yerusalem. Kerajaan ini tidak diikuti kecuali oleh cucu Yahudza dan cucu Benyamin.
Sedang kerajaan kedua dipimpin oleh Yurbi’am putra Banath, salah seorang anak buah Nabi Sulaiman
yang gagah berani, dan diserahi beliau (Nabi Sulaiman) kekuasaan yang berpusat di Samirah. Ia digelar
dengan raja Isra’il. Tetapi, masyarakatnya sangat bejat dan mengaburkan ajaran agama. Mereka
menyembah berhala dan kekuasaan mereka diporakporandakan, bahkan mereka diperbudak, sehingga
akhirnya kerajaan ini punah setelah 250 tahun. Sejak itu, tidak ada lagi kekuasaan dan kerajaan Bani
Isra’il, kecuali kerajaan pertama di atas, dan ini bertahan sampai dihancurkan pada 120 SM oleh Adrian,
salah seorang pengasa Imperium Romawi dan yang mengusir mereka sehingga terpencar ke mana-mana.
Agaknya, tulis Ibnu Asyur lagi, mereka itulah yang dimaksud dengan hadu, dan karena itu ayat ini
menggunakan kata tersebut, walau pada akhirnya kata ini mencakup semua yang beragama Yahudi.
Kata an-nasahara sendiri terambil dari kata nashirah yaitu satu wilayah di Palestina, di mana
Maryam, ibu Nabi Isa AS., dibesarkan. Dan, dari sana pula, dalam keadaan mengandung jabang bayi Isa
AS., beliau pergi menuju ke Bait al-Maqdis. Tetapi sebelum tiba di tujuan, beliau sudah duluan
melahirkan Isa AS., di Betlehem. Isa AS., (kemudian) digelari oleh Bani Isra’il dengan sebutan Yasu.
Dari sinilah pengiut-pengikut beliau dinamai nashara yang merupakan bentuk jamak dari kata nashry atau
nashiry.

Kata ash-shabi’in ada yang berpendapat diambil dari kata shaba, yang berarti "muncul" dan
"tampak", misalnya ketika melukiskan bintang yang muncul. Dari sinilah ada yang memahami istilah al-
Qur’an tersebut sebagai atau dalam arti "penyembah bintang". Ada juga yang memahaminya diambil dari
kata saba’, satu daerah di Yaman di mana pernah berkuasa Ratu Balqis dan penduduknya menyembah
matahari dan bintang. Ada lagi yang berpendapat bahwa kata ini adalah kata lama dari Bahasa Arab yang
digunakan oleh penduduk Mesopotamia di Irak.

Persyaratan beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, seperti bunyi ayat di atas, bukan berarti
(hanya) kedua rukun itu yang dituntut dari mereka. Tetapi keduanya adalah istilah yang biasa digunakan
oleh al-Qur’an dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya. Memang akan
sangat panjang bila semua objek keimanan disebut satu demi satu. Rasul SAW., dalam percakapan sehari-
hari, sering hanya menyebut keimanan kepada Allah dan Hari Kemudian. Misalnya, sabda beliau: “Siapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, hendaklah dia menghormati tamunya.” Di kali lain,
beliau bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, hendaklah mengucapkan kata-
kata yang baik atau diam.....” Dan masih banyak yangserupa.
Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar-umat
beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut
agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, mereka
semua akan memperoleh keselamatan dan tidak akan diiputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pula
akan bersedih. Pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu
pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadat yang diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi
dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini dan
itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut atau sedih, sedang yang ini menurut itu dan atas nama Tuhan
yang disembah adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan
yang itu, bukan saja takut tetapi disiksa dengan aneka siksa.

Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogratif Allah memang harus diakui. Tetapi, hak tersebut
tidak menjadikan semua penganut agama sama di hadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar-
pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai
hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan
kepada-Nya semata untuk memutuskan di Hari Kemudian kelak agama siapa yang direstui-Nya dan
agama siapa pula yang keliru, kemudian menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang
dianugerahi kedamaian dan surga dan siapa pula yang akan takut dan bersedih. Firman-Nya: falahum
ajruhum ‘ina Rabihimi (untuk mereka pahala mereka di sisi Tuhan mereka) diperhadapkan dengan
firman-Nya pada ayat lalu menyangkut yang durhaka yakni wa ba'du bi ghadabi min Allah (mereka
mendapat kemurkaan dari Allah). (Umat yang) ini mendapat murka dan (umat yang) itu mendapat rida
yang tercermin antara lain dalam ganjaran. Karena itu, janji tersebut disertai dengan kata "di sisi Allah".
Sedangkan firman-Nya: wa laa khaufun’alaihim (tidak ada kekhawatiran menimpa mereka)
diperhadapkan dengan firman-Nya: wa dhuribat ‘alaihim adz-dzillah (dan ditimpakanlah atas mereka
nista) -- nista karena ia menjadikan seseorang takut dan khawatir. Dalam hal (umat) ini takut dan yang itu
tidak disentuh rasa takut. Sedang firman-Nya: wa laa hum yahzanun (tidak [pula] mereka bersedih hati),
diperhadapkan dengan firman-Nya: al-maskanah (kehinaan), karena kehinaan hidup menjadikan
seseorang mengharapkan sesuatu yang tidak dapat dicapai sehingga menyedihkan hati.

Dengan demikian, (umat) yang ini sedih dan (umat yang) itu gembira. Demikian sekali lagi
terlihat hubungan ayat ini dengan ayat (al-Baqarah) yang lalu dari sisi uraiannya yang bertolak belakang.
Setelah penegasan yang memberi ketenangan terhadap semua pihak yang beriman kepada Allah dan Hari
Kemudian secara benar sesuai dengan yang diajarkan oleh para nabi-Nya, kelompok ayat ini melanjutkan
dengan mengingatkan orang-orang Yahudi tentang perjanjian mereka menyangkut kitab suci Taurat.

2). Dalam Tafsir al-Manar disebutkan bahwa pada dasarnya ahli kitab merupakan agama tauhid.
Namun, dengan banyaknya orang-orang musyrik yang masuk, agama mereka mulai dimasuki pengaruh-
pengaruh syirik. Hal ini disebabkan mereka yang baru masuk (orang musyrik yang menjadi ahli kitab)
tidak berusaha meninggalkan kebiasaan mereka terdahulu, sehingga Allah dengan tegas membedakan
antara ahli kitab dengan musyrik. Untuk mengetahui pendapat Rasyid Ridha berkenaan dengan cakupan
makna ahli kitab, penulis akan membahas ayat al-Qur'an yang ketika menafsirkan ayat tersebut ia
mengeluarkan pendapatnya tentang cakupan makna ahli kitab. Rasyid Ridha secara panjang lebar
mengungkapkan cakupan makna ahli kitab dalam ayat berikut ini:

Artinya
Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu
halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi)
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman
dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab
sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah
beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.
Ayat ini berisi tentang kebolehan seorang muslim untuk makan makanan dari ahli kitab dan
dihalalkannya seorang lelaki muslim untuk menikahi perempuan ahli kitab yang muhshanat. Maksud dari
term al-muhshanat terjadi perbedaan pendapat, apakah ia perempuan merdeka yang menjaga
kehormatannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan muhshanat adalah
perempuan merdeka dan dilarang menikahi perempuan ahli kitab yang tidak merdeka. Pendapat ini
berasal dari Syafi’i. Ia menguatkan pendapatnya dengan firman Allah Swt. dalam QS. al-Nisa’/4: 25:
“Dan siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini
perempuan merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini perempuan yang beriman dari budak-budak yang
kamu miliki. Ada yang berpendapat bahwa perintah untuk menikahi budak perempuan yang beriman
ketika tidak mampu menikahi yang merdeka ini adalah sementara saja, karena pada saat ayat ini turun
Allah belum menghalalkan pernikahan dengan perempuan ahli kitab yang muhshanat. Setelah ayat ini
turun, posisi perempuan Islam dengan ahli kitab menjadi sama. Pendapat lain mengatakan bahwa arti dari
kata muhshanat adalah perempuan yang menjaga diri dari perbuatan zina.

Secara umum, ayat ini bermakna bahwa (pada hari ini telah dihalalkan makanan yang baik-baik
kepadamu) sehingga makan bahirah, sa’ibah, washilah, dan ham tidak mengapa. (Dan makanan
sembelihan ahli kitab itu adalah halal bagimu) sesuai dengan dasarnya bahwa Allah sama sekali tidak
mengharamkan sembelihan mereka kepada kalian. (Dan sembelihanmu halal bagi mereka) sama seperti
penjelasan sebelumnya. Kalian boleh makan daging hewan yang mereka sembelih atau buru,
bagaimanapun cara penyembelihan dan berburu yang biasa mereka lakukan. Kalian juga boleh
memberikan mereka daging hewan yang kalian sembelih dan buru. Ini termasuk daging kurban, tidak
seperti pendapat yang melarangnya. Daging kurban tidak termasuk (ke dalam daging yang boleh
diberikan kepada ahli kitab) jika ada sesuatu yang menunjukkan bahwa hal itu hanya khusus bagi suatu
kaum tertentu. Contohnya, bernazar untuk memberikan sesuatu kepada seseorang dengan ketentuan
tertentu. (Dan menikahi perempuan yang menjaga diri yang beriman, dan perempuan yang menjaga diri
dari mereka yang diberikan kitab sebelum kamu adalah halal bagimu) demikian juga, halal dengan sebab
kaidah asal dan ketetapan Allah di dalam surat al-Nisa’: “…dan dihalalkan bagimu apa yang disebalik
itu…” Allah tidak mengharamkan perempuan-perempuan tersebut, jika kamu telah membayar mahar
yang telah kamu tentukan pada waktu akad. Jika belum ditentukan, wajiblah membayar mahar mitsl
selama kamu menikah dengan tujuan memelihara diri dan istri kamu dari perbuatan zina; bukan dengan
tujuan melakukan keburukan.

Penjelasan terhadap ayat (pada hari ini telah dihalalkan yang baik-baik kepadamu) adalah
penghalalan secara umum dan tetap, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, Allah
tidak mengatakan hal yang sama bagi ayat seterusnya, namun Ia berfirman: “Halal bagimu”. Ini berfungsi
sebagai khabar yang menetapkan dua hal pokok, yaitu makan sembelihan ahli kitab dan menikahi
perempuan mereka. Kedua hal ini tidak diharamkan sebelumnya dan tidak pula dihalalkan pada hari itu.
Keduanya tidak diharamkan sebelumnya oleh Allah maupun oleh manusia atas dirinya sendiri, seperti
pengharaman mereka terhadap hal-hal yang baik bagi diri mereka sendiri.

Jadi, ayat ini membolehkan orang muslim untuk makan makanan ahli kitab karena dilihat dari
dasarnya mereka adalah pengikut Musa dan Isa yang juga beragama samawi. Selain itu, ayat ini juga
membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab dengan syarat perempuan tersebut harus
muhshanat yang artinya perempuan merdeka dan menjaga dirinya dari zina. Setelah kebolehan tersebut,
timbul permasalahan lain yaitu mengenai siapa ahli kitab yang dimaksud. Uraian panjang lebar mengenai
cakupan makna ahli kitab dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar.

Anda mungkin juga menyukai