Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KAIDAH TAFSIR

“MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH ILMU


TAFSIR”

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 6

ANDEPRA 2010301024

VITO AULIA ARDO 2010301014

DOSEN PEMBIMBING:

IRIL ADMIZAL. Ma

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH ILMU ALQUR’AN DAN


TAFSIR INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI [IAIN] KERINCI

THN 2021 M /1443 H

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjadkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “KAIDAH
TAFSIR” dengan tepat waktu. Dan semoga sholawat beserta salam selalu tercurahkan kepada
nabi kita Muhammad SAW.

Kami mengakui bahwa kami hanyalah manusia biasa yang memiliki banyak
kekurangan, oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat sempurna
begitu pula dengan makalah ini. Tidak semua hal dapat kami diskripsikan dengan sempurna
dalam penulisan makalah ini. Kami melakukan semaksimal mungkin dan dengan kemampuan
yang kami miliki.

Dengen menyelesaikan makalah ini kami berharap makalah tentang “KAIDAH


TAFSIR” ini bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga dengan adanya makalah ini dapat
membantu kita dalam memahami seputar tharah dan permasalahannya.

Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat.

Kerinci, 20 Oktober 2021

Pemakalah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ada satu pandangan teologis dalam Islam bahwa al-Qur’an shalihun li kulli zaman wa
makan. Sebagian umat Islam memandang keyakinan tersebut sebagai doktrin kebenaran yang
bersifat pasti. Akibatnya muncul respon reaktif terhadap setiap perkembangan situasi yang
terjadi dalam perjalanan sejarah peradaban manusia. Misalnya dengan pernyataan bahwa
semua ilmu pengetahuan yang ada sekarang ini dan pada masa yang akan datang sudah ada
semuanya dalam al-Qur’an. Seperti yang disampaikan oleh al-Ghazali dalam Jawahir al-
Qur’an.

Respon ini tentunya tidak produktif. Sebab jika ada penemuan baru berdasarkan
metodologi ilmu pengetahuan kontemporer yang kontradiktif dengan al-Qur’an muncul
respon defensif yang seringkali menempatkan informasi-informasi dalam teks al-Qur’an pada
dataran mistik. Ada semacam pemaksaan teologis dalam rangka menyelamatkan keshahihan
al-Qur’an tersebut. Padahal upaya ini justru akan memposisikan al-Qur’an secara sempit.
Pemahaman al-Qur’an hanya terbatas pada ruang dan waktu ketika al-Qur’an itu turun, atau
paling tidak sampai pada waktu ulama-ulama klasik saja.

Karenanya diperlukan upaya yang lebih produktif dalam rangka mempertahankan


pandangan teologis di atas. Salah satunya adalah pengembangkan tafsir kontemporer dengan
menggunakan metodologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya,
ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban manusia. Persoalannya adalah bagaimana
merumuskan sebuah metode tafsir yang mampu menjadi alat untuk menafsirkan al-Qur’an
secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif serta mampu menjawab perubahan dan
perkembangan problem kontemporer yang dihadapi umat manusia.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai
upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk
mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga
penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam
menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan

sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran
yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat justifikasi benar-
salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an. Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai
pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat
dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada dasarnya adalah produk pemikiran
manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah-kaidah penafsiran?
2. Bagaimanakah penerapan kaidah penafsiran tersebut dalam penafsiran al-Qur’an?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui kaidah-kaidah penafsiran
2. Untuk mengetahui penerapan kaidah penafsiran tersebut dalam penafsiran al-
Qur’an

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah-Kaidah Tafsir

Kaidah-kaidah tafsir, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al tafsir.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah yang berarti undang-undang, peraturan dan
asas. Secara istilah didefinisikan dengan undang-undang, sumber, dasar yang digunakan
secara umum yang mencakup semua yang partikular. Adapun kata tafsir secara bahasa
berasal dari kata fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti mengungkapkan. Secara istilah tafsir
dapat diartikan sebagai alat atau ilmu pengetahuan dalam memahami petunjuk-petunjuk al-
Qur’an.

Berdasarkan penjelasan tersebut, kaidah-kaidah tafsir dapat diartikan sebagai


pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-
petunjuk al-Qur’an. Pengembangan kaidah-kaidah tafsir telah dilakukan oleh para ulama
sejak awal munculnya ulum al-Qur’an. Di antaranya usaha yang dilakukan oleh Abd ar-
Rahman ibn Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an.
Pembahasan tentang kaidah-kaidah tafsir juga dikaji secara mendalam dalam kitab-kitab
ulum al-Qur’an yang lain , seperti oleh Manna al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an
dan lain-lain..

Namun dari berbagai kaidah yang disusun oleh para ulama ulum al-Qur’an tersebut
tidak terdapat kesamaan konseptual antara yang satu dengan yang lainnya. Ada yang
mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman keagamaan
secara umum seperti hukum dan tauhid, seperti yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn
Nasir al-Sa’adi. Ada pula yang membahasnya secara teknis dan detail, seperti yang dilakukan
oleh Manna al-Qattan.

Karenanya sikap para ulama dan pemikir Islam terhadap kaidah-kaidah ini juga
beragam. Ada yang memandang kaidah tafsir yang disusun oleh para ulama sebagai sesuatu
yang mengikat dan harus diikuti oleh para mufasir yang lain. Ada pula yang melihat hal
tersebut sebagai sesuatu yang tidak mengikat dan melihatnya hanya sebagai suatu prosedur
kerja seorang mufasir saja.

4
Oleh karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang,
sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, tampaknya kaidah-kaidah
penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini,
kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang
sama. Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka
metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Meskipun demikian keberadaan kaidah-kaidah penafsiran yang disusun para ulama


tetap penting. Kaidah-kaidah tersebut bisa dijadikan sebagai kerangka metodologi dalam
melakukan penafsiran dengan menggunakan metode yang sama. Kaidah tersebut juga bisa
digunakan sebagai referensi dan pembanding dalam melakukan proses penafsiran.

B. Macam-Macam Kaidah Tafsir

Kaidah-kaidah tafsir yang berkembang dalam sejarah penafsiran al-Qur’an sangat


beragam. Berdasarkan perkembangan tersebut, jika dipetakan kadiah-kaidah tafsir dapat
dikelompokkan menjadi kaidah dasar, umum dan khusus.

1. Kaidah Dasar Tafsir

Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-
Qur’an yang meliputi al-Qur’an, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam
kaidah dasar ini seorang mufasir pertama-tama harus kembali kepada al-Qur’an dengan
meneliti secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an tentang suatu pokok
persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang
mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat masalahnya
disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain .

Kemudian mufasir juga harus memerhatikan hadis-hadis nabi. Bila mendapatkan


hadis shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk
menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis tersebut.
Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, ia
harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat
banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
Demikian juga dengan perkataan tabiin. Hanya saja keberadaan perkataan tabiin dalam
menafsirkan al-Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur

5
dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya
sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.

2. Kaidah Umum Tafsir

Kaidah khusus yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang
dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu-ilmu tersebut meliputi
ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ushul fiqh,
dan ilmu qiraat. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi dan
konteks al-Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang mufasir akan mengetahui
bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan perubahan i’rab. Dengan ilmu sharah
(konyugasi), seorang mufasir dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata.
Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau
kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan
memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufasir
untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang
dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi
keindahan sebuah ungkapan (badi’). Adapun ilmu ushul fiqih dapat membantu mufasir dalam
mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qiraat
digunakan oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara melafalkan al-Qur’an.

Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan kaidah penafsiran berdasarkan ilmu-
ilmu tersebut.

a. Dhamir (kata ganti)

Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:

 Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan


 Setiap dhamir harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
 Pada dasarnya dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat

6
b. Penggunaan ism al-ma’rifat dan al-nakirat (ta’rif dan tankir)

Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan
macamnya;

 Ta’rif dengan ism al-dhamir berfungsi untuk menunjukkan keadaan


 Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam hati
 pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, memuliakan (Q.S. 48:29)
dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
 Ta’rif dengan ism al-isyarat (kata tunjuk) berfungsi untuk menjelaskan bahwa sesuatu
yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11), menjelaskan keadaannya dengan menggunakan
kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5), menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat (Q.S.
29:64), memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh (Q.S. 2:2), dan mengingatkan
bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat
yang disebutkan sesudah ism al-isyarat tersebut (Q.S. 2:2-5)
 Ta’rif dengan ism al-mausul (kata ganti penghubung) berfungsi untuk menunjukkan
tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau sebab lain (Q.S.
12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S. 29-69), untuk meringkas kalimat (Q.S.
33:69)
 Ta’rif dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui
karena telah disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui
pendengar (Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir
pada saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua satuannya (Q.S. 103:2), menunjukkan
segala karakteristik jenis (Q.S. 2:2), menerangkan esensi, hakikat dan jenis (Q.S.
21:30).
c. Pengulangan kata benda (ism)

Apabila sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan,
yakni keduanya makrifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua
makrifah , dan yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah
sebagai berikut:

 Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat
yang pertama (Q.S. 1:6-7)
 Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama (Q.S.
30:54)
 Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah berarti, karena itulah yang sudah
diketahui (Q.S. 73:15-16)
 Jika yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang dimaksudkan
bergantung pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya
itu berbeda (Q.S. 39:27-28)
d. Mufrad dan Jamak

Dalam al-Qur’an ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika berada dalam
bentuk mufrad dan jamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:

 Kata al-rih, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk mufrad berarti
adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih luas dari pada adzab-
Nya
 Kata al-nur dan sabil al-haq selalu dalam bentuk mufrad, sedangkan kata al-dzulumat dan
sabil al-bathil selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya
satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam. Kaidah yang sama juga berlaku untuk
kalimat waliy al-mu’minin dan auliya al-kafirin.

e. Kata-kata yang seolah-olah sinonim (Mutaradif)

Dalam al-Qur’an banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun seorang mufasir
harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali memiliki makna yang
berbeda. Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini antara lain:

 al-khauf dan al-khasyyah yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan untuk
menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun
pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-khauf berarti rasa
takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendati pihak yang ditakuti
itu merupakan hal yang kecil.
8
 al-syuhh dan al bukhl yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang lebih dalam,
yakni kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl hanya kikir saja.
f. Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Apabila terjadi
penyimpangan dari pertanyaan yang dikehendaki, hal ini mengingatkan bahwa jawaban itulah
yang seharusnya ditanyakan.(Q.S. 2: 189)

g. Penerapan kaidah ushul fiqh dalam penafsiran al-Qur’an

Di antara kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqih adalah sebagai berikut:

 Patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat umum, bukan sebab
khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat.(Q.S. 24:6)
 Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau mengabaikan yang
wajib (Q.S. 62:9)
 Perintah atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya dan larangan atas sesuatu berarti
perintah atas kebalikannya (Q.S. 73:10)

Selain kaidah-kaidah di atas masih banyak kaidah lainnya, di antaranya kaidah


tentang al-jumlat al-ismiyat dan fi’liyah, ‘athaf, kata fa’ala, kana, kada, ja’ala, la’alla dan
‘asa. Penerapan kaidah-kaidah tersebut dibahas secara panjang lebar oleh Manna al-Qattan
dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an.

3. Kaidah Khusus Tafsir

Kaidah khusus penafsiran merupakan kaidah yang dibangun berdasarkan perspektif


dan wordview yang dianut oleh berbagai aliran pemikiran Islam. Dalam hal ini warna tafsir
menjadi sangat beragam sesuai dengan perspektif keilmuannya masing-masing.
Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-Qur’an di antaranya
adalah ilmu kalam, fiqh, tasawuf, filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Pada masing-masing
perspektif keilmuan tersebut juga terdapat berbagai aliran pemikiran yang bermacam-macam.
Misalnya adanya perbedaan kaidah antara tafsir yang dikembangkan Asy’ariyah dan
Muktazilah dalam perspertif teologi. Atau antara tafsir Syafi’iyah dan Hanafiyah dalam

perspektif fiqh. Juga antara tafsir Ghazalian dan Rusydian dalam sudut pandang filsafat.
Setiap aliran memiliki perspertif keilmuan tersendiri berdasarkan paradigmanya masing-
masing.

Munculnya ilmu pengetahuan modern juga berpengaruh pada corak tafsir umat Islam.
Adanya perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa melahirkan tafsir
modern. Arus perubahan dan perkembangan ini berjalan sedemikian cepat dan bersifat
global. Akibatnya pandangan umat Islam terhadap realitas pun berubah. Dus pemahaman
terhadap informasi yang bersumber dari al-Qur’an pun mengalami perubahan.

Misalnya ketika ilmu pengetahuan dapat mendeteksi jenis janin bayi ketika masih
dalam perut ibunya, maka pemahaman terhadap teks “Allah mengetahui apa yang dikandung
oleh setiap perempuan (hamil)” (Q.S. 13:8) tidak lagi ditafsirkan mengetahui jenis kelamin
laki-laki atau perempuan. Melainkan mengetahui dalam perspektif yang lain, seperti masa
depan, jiwa, bakat dan perincian yang lain.

Rasionalitas modern seperti inilah yang menjadi ciri khusus tafsir modern. Para
mufasir modern melakukan penafsiran dengan menggunakan kacamata yang bisa dikonsumsi
masyarakat saintifik. Salah satu cirinya adalah adanya upaya demitologisasi terhadap
berbagai pemikiran yang tidak rasional yang dilakukan para mufasir sebelumnya.

Beberapa kaidah khusus terkait dengan tafsir modern ini diantaranya adalah:

a. Memetakan masalah-masalah dalam al-qur’an menjadi wilayah bukan nalar


dan wilayah nalar.

Wilayah bukan nalar meliputi masalah-masalah metafisika dan perincian ibadah.


Sedangkan yang termasuk wilayah nalar meliputi masalah-masalah kemasyarakatan. Wilayah
pertama, apabila nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan,
karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun wilayah yang kedua
menempatkan penafsiran terhadap teks sesuai dengan proporsinya yang tepat. Dalam hal ini
wilayah kedua menjadi lahan garapan bagi para mufasir untuk melakukan tafsir ulang
terhadap teks al-Qur’an

10

b. Melakukan pemetaan ulang terhadap wilayah qath’i dan dzanni

Pemikiran modernis menuntut adalah pemetaan ulang terhadap wilayah dzanni dan qath’i
al-Qur’an. Hal ini terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak memberikan
realitas baru. Misalnya angka kematian yang dapat ditekan dan rata-rata umur manusia yang
meningkat dibanding tahun-tahun berikutnya, dengan menggunakan ilmu kedokteran.
Karenanya pandangan yang selama ini menyatakan bahwa umur merupakan mafatih al-ghayb
yang tidak diketahui kecuali oleh Allah sudah seharusnya berubah .

Pembagian wilayah qath’i dan dzanni didasarkan pada pemetaan wilayah bukan nalar dan
wilayah nalar pada poin pertama di atas. Pemetaan ini berimplikasi pada konsep syariat yang
selama ini diidentikkan dengan fiqh. Karena itu syariat harus dipisahkan dari fiqh. Syariat
bersifat qhat’i, sedangkan fiqh bersifat dzanni. Dengan demikian fiqh menjadi wilayah nalar
yang dapat ditafsirkan ulang, dengan bantuan ilmu modern.

c. Penggunaan takwil dan metafora dalam penafsiran

Perkembangan ilmu pengetahuan, dengan berbagai penemuan ilmiahnya memungkinkan


usangnya makna al-Qur’an yang ditafsirkan jauh sebelum penemuan tersebut. Misalnya
adanya keyakinan bahwa sesungguhnya yang menurunkan hujan adalah Allah. Ulama klasik
enggan untuk mengatakan bahwa langit yang menurunkan hujan. Di era modern, dengan
adanya bukti empirik tentang proses terjadinya hujan, maka teks tersebut harus diposisikan
sebagai suatu metafora. Dengan demikian peluang penggunaan takwil dalam penafsiran
menjadi lebih terbuka.

BAB III

KESIMPULAN

Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum
guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena penafsiran
merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial,
ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai
suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir
lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan
prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat
dipertanggungjawabkan

Penerapan kaidah tafsir bergantung pada kaidah yang digunakan oleh para mufasir.
Dari berbagai kaidah tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yakni kaidah dasar, kaidah umum
dan kaidah khusus. Masing-masing kaidah diterapkan sesuai dengan metode penafsirannya
masing-masing

11

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsi. Bandung: Pustaka Setia, 2005

Aziz, Amir Abd. Dirasat Fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983

Chirzin, Muhammad, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima

Yasa, 2003. Cetakan II

Dahlan, Abd. Rahman dalam Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998.

Al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Kairo: Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1356 H. Jilid II

Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia,


2004

Al-Qattan, Manna. Mabahits fiUlum al-Qur’an. Beirut: Mu’assah al-Risalah: 1993

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Mizan: Bandung, 1999

Suryadilaga, M. Alfatih, dkk.. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005

Syafe’i, Rahmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006

12

Anda mungkin juga menyukai