Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepemimpinan merupakan sebagian dari masalah – masalah yang


paling sering dibahas dalam kebayakan organisasi. Kepemimpinan
diwujudkan melalui gaya kerja atau cara kerja sama dengan orang lain secara
konsisten. Melalui apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat., pemimpin
membantu bawahan untuk memperoleh hasil kerja yang dinginkan. (Pace dan
Faules, 2010 : 276).

Untuk memperoleh hasil kerja yang dinginkan dari bawahan, seorang


pemimpin harus memerhatikan komunikasi yang dapat membantu bawahan
dalam melaksanakan tugas melalui informasi – informasi yang berhubungan
dengan pekerjaan. Gaya kepemimpinan meliputi sekumpulan ciri yang
digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi
tercapai. Gaya pemimpin mendukung distrubusi pesan baik secara vertical
maupun horizontal.

Pendistribusian pesan menyangkut aliran informasi vertical dimana


komunikasi organisasi bergerak kea rah komunikasi manajerial yang perhatian
utamanya adalah komunikasi ke bawah. Dalam hal ini, meliputi cara
pemimpin mengendalikan atau mengarahkan orang lain, memberi tantangan
atau rangsangan kepada orang lain, menjelaskan atau memberi intruksi kepada
orang lain, mendorong atau mendukung orang lain, melibatkan atau
memberdayakan orang lain. Kemudian memberi ganjaran atau memperkuat
orang lain.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis membuat rumusan makalah


yakni sebagai berikut ;
1. Menjelaskan tentang pengertian Kepemimpinan ?
2. Apa saja prinsip – prinsip Etika ?
3. Menjelaskan tentang Kode etik Public Relatoins?

1
1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan pemaparan rumusan masalah diatas, penulis


mempunyai tujuan penulisan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sekaligus memahami tentang pengertian


Kepemimpinan;
2. Untuk mengetahui sekaligus memahami tentang Prinsip – prinsip etika ;
3. Untuk mengetahui sekaligus memahami tentang Kode etik Public
Relations.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Komunikasi Kepemimpinan

Komunikasi didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan dari


komunikan dengan komunikator. Dalam proses ini, baik pembawa dan
penerima pesan akan memakai tanda atau simbol yang sama. Komunikasi
dideskripsikan juga sebagai proses penukaran informasi atau ide untuk
mencapai pemahaman bersama. Komunikasi sangat penting dalam berbagai
segi kehidupan manusia, terlebih dalam hal organisasi. Komunikasi
organisasi memiliki banyak fungsi yang akan mendukung keberhasilan suatu
organisasi. Komunikasi organisasi ini erat kaitannya dengan komunikasi
kepemimpinan.

Komunikasi kepemimpinan adalah proses komunikasi yang dilakukan


pemimpin (sebagai komunikator) kepada bawahan organisasinya (sebagai
komunikan). Dalam penerapannya, pemimpin dapat menggunakan berbagai
macam jenis komunikasi kepemimpinan sesuai dengan gaya masing masing
yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Jenis komunikasi kepemimpinan atau
gaya komunikasi kepemimpinan wajib dimiliki oleh seorang pemimpin. Gaya
komunikasi kepemimpinan ini harus digunakan pemimpin untuk
mempengaruhi bawahannya untuk mencapai target organisasi.

2.1.1 Manfaat Mempelajari Komunikasi Kepemimpinan

1. Meningkatkan alur informasi


Komunikasi kepemimpinan memiliki fungsi informatif yang
artinya proses pertukaran informasi atau ide antara atasan dan bawahan
harus terlaksana dengan baik. Bagi atasan, komunikasi kepemimpinan
dibutuhkan agar atasan mengetahui kondisi organisasi dan dapat
menentukan kebijakan dalam organisasi. Bagi bawahan, komunikasi
kepemimpinan bermanfaat untuk memperoleh informasi seperti benefits
yang didapat karyawan, izin cuti, jaminan sosial & kesehatan dan
informasi lainnya.

3
2. Melancarkan regulasi

 Komunikasi kepemimpinan juga berfungsi dalam menjalankan


regulasi dalam perusahaan atau organisasi. Atasan memiliki wewenang
dalam mengatur alur komunikasi. Atasan berhak memberikan instrusi
kerja kepada bawahan. Dengan adanya komunikasi kepemimpinan, proses
penyampaian instruksi pekerjaan beserta regulasinya bisa berjalan lebih
baik.
3. Meningkatkan fungsi persuasif
Salah satu fungsi komunikasi kepemimpinan adalah membuat
pemimpin bisa memberikan pengaruh kepada bawahannya untuk
mengikuti arahan pemimpin tersebut. Pemimpin yang baik harus memiliki
kemampuan persuasif, karena dengan ini maka bawahannya bisa bekerja
lebih baik dan tidak sekadar mengerjakan instruksi kerja atasan.

4. Membuat integrasi komunikasi organisasi

Adanya sistem komunikasi kepemimpinan yang baik juga bisa


memperlancar proses komunikasi antar pegawai maupun pegawai dengan
atasan dalam suatu organisasi. Dengan mempelajari komunikasi
kepemimpinan, atasan bisa menerapkan sistem maupun sarana komunikasi
yang bisa mengintegrasikan proses komunikasi di dalam organisasi.

2.2 Arti Kepemimpinan

Masalah kepemimpinan tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai


organisasi dan manajemen, sebab sukses tidaknya suatu tujuan yang dicapai oleh
sebuah organisasi kekaryaan beserta manajemen – manajemennya, tergantung dari
kepemimpinan manajer.

Dalam pembahasan kepemimpinan tidak bisa lepas pula dari pembahasan


mengenai human relations dan public relations, oleh karena sukses tidaknya ke
dua “ kegiatan pendukung manajemen” teragntung dari kepemimpinan para
pemimpin ke lompok kekaryaan tersebut.

4
Dalam pengertian umum, kepemimpinan adalah suatu proses dimana
seseorang memipin ( directs ), membimbing ( guides ), mempengaruhi (
influences ) atau mengontrol ( control )pikiran, perasaan atau tingkah laku orang
lain. Kegiatan mempengaruhi itu dapat dilakukan dengan medium sebuah hasil
karya, umpanyanya buku atau lukisan. Kepemimpinan jenis ini terdapat pada para
ilmiawan, seniman, penulis, dan sebagainya. Kegiatan lainnya untuk
mempengaruhi orang lain, ialah dengan medium kata – kata lisan (speech )atau
melakukan kontak – pribadi secara langsung.

Berdasarkan pengertian tersebut, medium kepemimpinan para pemimpin


kelompok kekaryaan, kepemimpinan merupakan aspek penting bagi seorang
pemimpin, karena seorang pemimimpin harus berperan sebagai organisator
kelompoknya untuk mencapai yang telah ditetapkan. Kepemimpinan dapat pula
didefinisikan sebagai suatu proses untuk mengarahkan dan mempengaruhi
aktivitas yang berhubungan dengan penugasan anggota organisasi dalam rangka
mencapai tujuan / kelompok.

W.C.C.H. Prentince ( 1965 ) dalam mengartikan kepemimpinan, secara


filosofis dia menyatakan bahwa : Leadership is democratic if it provides each
worker the maximum opportunity for growth without creating anarchy.
( kepemimpinan adalah demokratis apabila dia menyediakan para karyawannya
kesempatan semakisimal mungkin untuk berkembang tanpa paksaan).

Dalam Stogdill’s Handbook of Leadership di kelompokan 11 ( sebelas )


arti kepemimpinan. Kesebelas arti kepemimpinan tersebut dapat dijelaskan
sebaagi berikut :

1. Leadership as a focus of group processes.

Kepemimpinan sebagai titik tolak dari proses – proses kelompok; artinya


pangkal penyebab terjadinya atau timbulnya kegiatan – kegiatan, proses – proses
atau perubahan – perubahan dalam kelompok merupakan akibat kepemimpinan.

2. Leadersip as personalitiy and its effects.

5
Kepemimpinan sebagai keperibadian dan pengaruhnya, artinya
kepemimpinan merupakan pengaruh yang bersifat pribadi di mana sifat tersebut
membedakanya dari pengikutnya.

3. Leadership as the art of inducing compliance.

Kepemimpinan sebagai seni untuk mendorong terjadinya persesuaian atau


kesepakatan, artinya tindakan atau usaha terselubung untuk mempengaruhi dan
membentuk kelompok agar terjadi kesesuaian di antara mereka dan dengan
kehendak pemimpin dilakukan melalui kegiatan kepemimpinan.

4. Leadership as the exercise of influence.

Kepemimpinan sebagai pelaksanaan pengaruh, yaitu sebagai kegiatan


untuk mengubah, membentuk, atau menentukan perilaku anggota dan kegiatan
kelompok.

5. Leadership as actor behaviour.

Kepemimpinan sebagai tindakan dan perilaku, artinya serangkaian


kegiatan yang dilakukan untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan
kegiatan/pekerjaan anggota kelompoknya.

6. Leadership as a form of persuasion.

Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi, artinya kegiatan atau tindakan


mempengaruhi anggita atau kelompok melalui ajakan atau hubungan emosional,
bukan dengan paksaan atau otoritas formal.

7. Leadership as a power relation.

Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan, artinya sebagai kegiatan


mempengaruhi anggota kelompoknya yang diantara mereka ada ikatan kekuasaan.

8. Leadership as an instrument of goal achievement.

Kepemimpinan sebagai intrumen pencapai tujuan, artinya dengan dan


melalui kegiatan kepemimpinan tujuan kelompok dan pemuasaan kebutuhan
individu dapat dicapai.

6
9. Leadership as an emerging effect of interaction.

Kepemimpinan sebagai akibat yang muncul dari interaksi, artinya


kepemimpinan tumbuh proses interkasi dan dalam proses interkasi tersebut
diberikan dukungan atau pengakuan.

10. Leadership as a differentiated role.

Kepemimpinan sebagai peranan yang dibedakan, artinya pada saat itu


kelompok ada anggota yang diberi peranan untuk yang memadukan berbagai
peranan dan memelihara kesatuan tindakan dalam usaha kelompok untuk
mencapai tujuan.

11. Leadership as the inititation of structure

Kepemimpinan sebagai inisiasi struktur, artinya proses pemunculan serta


pemeliharaan struktur peranan dan interaksi kelompok dilakukan melalui kegiatan
kepemimpinan.

2.3 Fungsi Pemimpin dan Kepemimpinan

Manajer sebagai pemimpin yang intensif menjalankan fungsi


kepemimpinan membawa pengaruh positif terhadap meningkatnya unjuk kerja.
(performance) karyawan. Namun ini ditentukan oleh kualitas kepemimpinan.
Meningkatkan kualitas kepeimpinan dapat dilakukan dengan meningkatkan
keterampilan-keterampilan (leadership skill) para manajer terutama dalam aspek
yang berhubungan dengan pemahaman tentang strategi dan teknik kepemimpinan
yang efektif.

Orang bergabung dalam kelompok atau organisasi karena mereka


menyadari bahwa dengan usaha banyak orang yang dipersatukan akan
mendapatkan hasil yang lebih besar dari masing-masing dari pada usaha individu
yang terkoordinasi. Perekat yang mempersatukan anggota-anggota kelompok
ialah keyakinan bahwa partisipasi dalam usaha tim memberi harapan yang lebih
besar untuk mencapai keuntungan pribadi daripada bekerja sendiri-sendiri.

Eksistensi kelompok adalah untuk memberikan kerangka kerja dimana


individu-individu dapat memberikan sumbangan pada usaha bersama dengan

7
pengharapan bahwa masing-masing akan memperoleh imbalan yang lebih besar
dari hasil keseluruhan yang dicapai dari pada mereka bekerja sendiri-sendiri
(Louis A. Allen, 1990). Agar kerja sama dengan kelompok efektif mengarah pada
pecapaian tujuan, maka manajer dituntut untuk melaksanakan fungsi
kepemimpinan (leading).

Agar suatu kelompok dapat dipimpin dengan efektif, seorang pemimpin


paling sedikit harus menjalankan dua “fungsi utama”, yaitu:

1. Fungsi Pemecah Masalah (problem solving function). Fungsi ini


berhubungan dengan tugas atau pekerjaan yaitu memberikan jalan keluar,
pendapat, dan informasi terhadap masalah yang dihadapi kekelompok..
2. Fungsi Sosial, fungsi ini berhubungan dengan kehidupan kelompok, yaitu
memberikan dorongan kepada anggota kelompok untuk mencapai tujuan
dan menciptakan suasana kerja bagi kelompoknya.

Fungsi kepemimpinan (leading function) sebagai salah satu fungsi


manajemen merupakan fungsi atau tugas yang dilakukan manajer untuk membuat
orang-orang melalui siapa manajer bekerja untuk mencapai tujuan bertindak
efektif. Jika tindakan dari orang-orang yang menjadi anggota organisasi efektif
maka hal itu akan membuat organisasi menjadi efektif dalam mencapai tujuannya.
Melalui fungsi kepemimpinan, organisasi akan membina sifat dan kepribadiannya
sendiri seakan-akan kelompok itu seorang individu.
Louis A. Allen (1966), mengatakan kegiatan memimpin terdiri dari
kegiatan-kegiatan:
1. Mengambil keputusan (decision making),
2. Mengadakan komunikasi (communicating),
3. Memberikan motivasi (motivating),
4. Memilih orang-orang (selecting),
5. Memperkembangkan orang-orang (developing people).

George R. Terry (1977) mengatakan bahwa sarana (tools) untuk menggerakan


(actuating) adalah kepemimpinan, hubungan manusia dan komunikasi. Martin M.
Broadwell (1975) menyebut segi-segi pengarahan yaitu memimpinan,

8
berkomunikasi dan memotivasi. Dalam menjalakan fungsi kepemimpinan
(leadership), motivasi (motivasion), dan komunikasi (communication).
Meski banyak variasi pendapat tentang fungsi pimpinan, namum dapat
disumpulkan pada hakekatnya kegiatan fungsional pimpinan yang dapat dilakukan
oleh manajer untuk mempengaruhi bawahan atau karyawan ialah kegiatan
kepemimpinan, komunikasi dan motivasi, dan ketiga elemen kepemimpinan ini
sangat erat hubungannya satu dengan yang lain.
Pimpinan yang secara individual telah memenuhi syarat sebagai pemimpin
dilihat dari sifat-sifatnya dan memiliki keterampilan kepemimpinan dilihat dari
perilakunya belum jadi jaminan mutlak untuk menjadi pemimpin yang efektif.
Sebab factor situasional lingkungan, seperti factor nilai-nilai budaya masyarakat
maupun nilai-nilai budaya organisasi (organizational culture value) termasuk
nilai-nilai motivasi individual juga mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan.
Dinamika kepemimpinan selalu menunjukan aksi dan reaksi serta interaksi
antara pemimpin dengan pengikut. Dalam prosesnya, baik aksi dan reaksi maupun
interaksi dan intereaksi dapat menimbulkan dua sisi kecenderungan, yaitu negatif
atau positif dan untuk pemimpin atau pengikut, baik secara sebab maupun akibat.
Cenderung negative bagi pengikut apabila pemimpin menunjukan perilaku yang
tidak sesuai dengan keinginan dan tututan pengikut dan akibatnya pengikut
tersebut juga menunjukan reaksi dan interaksi yang tidak mendukung keinginan
pemimpin. Keadaan ini menjadi kecenderungan negative dan menjadiancaman
bagi kelangsungan kepemimpinan seorang pemimpin.
Sebaliknya, kecenderungan positif bagi pengikut apabila pemimpin
menunjukan perilaku yang sesuai dengan tuntutan dan keinginan pengikut,
sehingga pengikut memberi reaksi dan interaksi yang mendukung keinginan
pemimpin. Keadaan ini menjadi kecenderungan positif bagi keberhasilan dan
kelangsungan kepemimpinan manajer.
Secara kuantitatif maupun kualitatif, pemimpin dituntut untuk melakukan
interaksi dengan pengikutnya. Hal ini penting bukan saja untuk dapat pengetahuan
aspirasi pemimpin yang bersangkutan sehingga akan memudahkan pemimpin
untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam mempengaruhi pengikut agar
melakukan aktivitas untuk mencapai tujuan yang di inginkan.

9
Makin intensif pemimpin melakukan interaksi dengan bawahan terutama,
melalui pendekatan manusiawi (human approach), menunjukan kecenderungan
semakin tinggi dan terbina satu sikap saling pengertian dan keeratan hubungan
emosional antara pemimpin dengan bawahan atau pengikut. Dan keadaan ini
menjadi potensi untuk mencapai tujuan bersama. Interaksi yang dilakukan oleh
pemimpin terhadap pengikut dapat berlangsung secara formal (dalam satu
pertemuan resmi dan dalam hubungan tugas) atau secara informal sesuai dengan
tuntutan situasi, tepat dan kepentingan. Jadi implementasi fungsi kepemimpinan
yang efektif menjadikan karyawan bekerja efektif kearah pencapaian tujuan.

2.4 Gaya Kepemimpinan

Sejak awal Perang Dunia II para peneliti lebih memerhatikan pada


perilaku pemimpin atau gaya kepemimpinan (leadership). Atau dengan kata lain,
perhatian beralih melihat sifat-sifat pemimpin ke perilaku-perilaku senyatanya
para pemimpin.
Menurut Stoner ada 2 (dua) gaya kepemimpinan yang bisa digunakan oleh
seorang pemimpin dalam mengarahkan atau memengaruhi bawahan, yaitu:
1. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (Task Oriented Style).
Dalam gaya kepemimpinan ini, seorang manajer akan mengarahkan dan
mengawasi bahawannya secara ketat agar mereka bekerja sesuai dengan
harapannya. Manajer dengan gaya ini lebih mengutamakan keberhasilan
pekerjaan daripada pengembangan kemampuan bawahan.
2. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada pekerja (Employee Oriented
Style). Manajer dengan gaya kepemimpinan ini berusaha mendorong dan
memotivasi bawahannya untuk bekerja dengan baik. Mereka
mengikutsertakan bawahan dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut tugas/pekerjaan bawahan. Disini hubugan pemimpin dan
bawahan terasa sangat akrab, saling percaya, dan saling menghargai.

Menurut Koontz, O’Donnell dan Weihrich gaya kepemimpinan dapat


digolongkan berdasarkan cara si pemimpin menggunakan kekuasaannya.
Dengan demikian terdapat 3 (tiga) gaya kepemimpinan:

10
1. Otoratic. Pemimpin dipandang sebagai orang yang memberi perintah dan
dapat menuntut. Keputusan ada ditangan pemimpin.
2. Democratic atau Participatif. Pemimpin dipandang sebagai orang yang
tidak akan melakukan sesuatu kegiatan tanpa mengkosultasikan terlebih
dahulu pada bawahannya. Pemimpin disini mengikutsertakan pendapat
bawahan sebelum ia membuat keputusan.
3. Free Rein. Pemimpin hanya menggunakan sedikit kekuasaan dan memberi
banyak kebebasan kepada bahawan untuk melakukan kegiatan. jadi
pemimpin disini memberi keleluasaan pada bawahan untuk menentukan
tujuan perusahaan dan cara untuk mencapainya. Pemimpin hanya
berfungsi sebagai orang yang berhubungan dengan kelompok lain.

Efektivitas seorang pemimpin tidak ditentukan oleh gaya/tipe kepemimpinan


yang digunakannya, tapi bergantung pada caranya menerapkan gaya/tipe
kepemimpinan tersebut pada situasi yang dihadapinya. Seorang pemimpin
mungkin akan menjadi sangat otokratik dalam situasi darurat. Misalnya seorang
pemimpin pemadam kebakaran tidak mungkin harus mengadakan rapat dahulu
dengan bawahannya untuk mendisikusikan cara-cara memadamkan kebakaran
yang sedang terjadi.
Seorang pemimpin lembaga penelitian akan memberi kebebasan pada
penelitinya untuk melakukan eksperimen, tapi ia juga harus menjadi agak
otokratik terhadap para penelitinya untuk tidak sembarangan menggunakan
bahan-bahan kimia yang berbahaya.
Kepemimpinan hanya mempunyai makna bila dibentuk dan ditentukan oleh
anggota organisasi. Gaya manajemen yang sama dalamkonteks yang berbeda
mungkin dipahami dengan cara yang berlainan. Tetapi, bagaimana dengan semua
kepustakaan dalam manajemen dan komunikasi yang memberi sarana mengenai
gaya kepemimpinan yang harus digunakan? Cadler dalam R. Wayne Pace (1998)
berpendapat “Kepemimpinan tidak dapat diajarkan sebagai keahlian. Keahlian
tentu dapat membantu manusia untuk bertindak efektif, tetapi kepemimpinan
tergantung bagaimana kinerja ini dan pengaruhnya dipahami oleh orang lain.
Mengajarkan kepemimpinan adalah mengajari manusia agar peka terhadap

11
persepsi orang lain, yaitu mengajari mereka agar peka terhadap cara berpikir
sehari-hari sekelompok orang. Dengan demikian, pemindahan kepemimpinan dari
satu kelompok pelaku kepada yang lainnya menjadi persoalan yang cukup besar.
Calon pemimpin harus tanggap terhadap pensifatan kepemimpinan yang didasari
oleh makna bagi setiap kelompok tempat ia berinteraksi.”
Manajer dapat menjadi peka dan tanggap pada tuntutan organisasi dengan
memahami interaksi anggotanya. Setiap budaya organisasi mempunyai tuntutan
yang berbeda berdasarkan apa yang dapat dilakukan manajer dan tanggapan apa
yang harus diberikan manajer dalam suatu konteks yang khusus.
Menurut Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt terdapat berbagai
faktor yang memengaruhi seorang manajer memiliki suatu gaya kepemimpinan
yaitu:
1. Karakteristik Manajer. Cara seorang manajer memimpin banyak
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya, pengalaman masa lalunya,
nilai-nilai ang dianutnya, dan sebagainya. Misalnya, jika seorang manajer
mempunyai keyakinan bahwa kebutuhan organisasi harus lebih
diutamakan dari pada kebutuhan individu. Kemungkinan besar ia akan
mengarahkan aktivitas pegawainya.
2. Karakteristik Bawahan. Seorang manajer akan memberi kebebasan dan
mengikutsetakan bawahannya dalam pengambilan keputusan bila bawahan
dianggap cukup berpengalaman dan pengetahuan yang memadai untuk
mengatasi masalah secara efektif. Apabila bawahan memahami dengan
baik tujuan organisasi, mempunyai pengetahuan dan pengalaman untuk
memecahkan secara efektif, manajer akan cenderung untuk bersifat
demokratif dan mengikutsertakan bawahan dalam kepemimpinan. Tetapi
bila bawahan dipandang tidak mempunyai kemampuan tersebut, manajer
akan cenderung bergaya otoriter.
3. Karakteristik Organisasi. Seorang manajer akan menentukan gaya
kepemimpinan berdasarkan iklim organisasi. Jenis pekerjaan organisasi,
dan sebagainya.

12
Dari hasil penelitian Tannenbaum dan Schmidt, banyak peneliti lain yang
berusaha untuk mencari faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas
kepemimpinan. Pada umumnya peneliti-peneliti tersebut menunjukan bahwa
efektifitas kepemimpinan dipengaruhi oleh:
1. Diri Pemimpin. Kepribadian, pengalaman masa lalu, latar belakang, dan
harapan pemimpin sangat memengaruhi efektivitas kepemimpinan
disamping memengaruhi gaya kepemimpinan yang dipilihnya.
2. Karakteristik Atasan. Gaya kepemimpinan atasan dari manajer sangat
memengaruhi orientasi kepemimpinan manajer yang dipilihnya.
3. Karakteristik bawahan. Respon yang diberikan oleh bawahan akan
menentukan efektivitas kepemimpinan seorang manajer. Latar belakang
pendidikan bawahan juga sangat menentukan cara manajer menggunakan
gaya kepemimpinan.
4. Persyaratan Tugas. Tuntutan tanggung jawab terhadap pekerjaan bawahan
akan memengaruhi gaya kepemimpinan seorang manajer.
5. Iklim Organisasi dan Kebijakan. Faktor ini dapat memengaruhi harapan
dan perilaku anggota kelompok serta gaya kepemimpinan yang dipilih
manajer.
6. Perilaku dan Harapan Rekan. Rekan sekerja manajer merupakan kelompok
acuan yang penting. Segala pendapat yang diberikan oleh rekan-rekan
manajer sangat memengaruhi efektivitas hasil kerja manajer.
Hasil penelitian diatas menimbulkan petanyaan: Faktor-faktor mana saja yang
memengaruhi efektivitas kepemimpinan, dan gaya kepemimpinan mana yang
paling efektif? Friedler mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
dengan menunjukan adanya 3 (tiga) unsur dalam situasi kerja yang menentukan
gaya kepemimpinan mana yang efektif. Tiga unsur tersebut adalah:
1. Hubungan pimpinan dan bawahan
2. Struktur tugas
3. Kedudukan kekuasaan pemimpin

Hubungan antara pemimpin dan bawahan merupakan faktor penting yang


sangat memengaruhi kekuasaan dan efektivitas kepemimpinan seorang manajer.

13
Apabila antara manajer dan bawahan ada hubungan yang baik dan saling
menghargai, maka manajer tidak perlu harus bersikap otoriter. Sedangkan bila
manajer yang tidak disukai oleh bawahannya maka ia harus bekerja keras untuk
mengarahkan dan mendorong bawahan dalam melaksanakan tugas-tugas yang
diberikannya.
Faktor penting kedua yang memengaruhi kekuasaan dan efektivitas
kepemimpinan adalah faktor struktur tugas. Degn adanay struktur tugas yang
jelas, pengukuran kinerja bawahan juga dapat dilakukan sehingga pemimpin dapat
mengontrol dengan lebih baik.
Kedudukan pemimpin menurut Friedler merupakan faktor terakhir yang
memengaruhi efektivitas kepemimpinan. Semakin tinggi kedudukan pemimpin,
semakin tinggi pula pengaruh pimpinan terhadap bawahan. Demikian pula
sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, tugas pemimpin akan menjadi
semakinsulit.
2.5 Pengendalian dan Kepemimpinan organisasi

Tidak ada bidang lain yang dapat dengan lebih jelas membuktikan adanya
ketegangan antara kebutuhan organisasi dan kebutuhan para partisipan yaitu
antara kebutuhan akan efektivitas, efesiensi dan kepuasan selain di bidang
pengendalian organisasi. Kedua kebutuhan tersebut saling mendukung.
Meningkatnya pendapatan suatu perusahaan misalnya, padat menyebabkan
naiknya upah dan gaji karyawan ; demikian pula meningkatnya prestise suatu
sekolah dapat juga meningkatkan prestise pada gurunya. Sampai suatu tingkat
tertentu di mana kedua kebutuhan itu berjalan seimbang.

Kekuatan yang digunakan oleh organisasi biasanya banyak berbeda


menurut tingkat partisipan oleh partisipan yang harus di kendaalikan. Hampir
semua organisasi kurang menggunakan sarana yang akan menyebabkan bawahan
merasa dirinya lebih terpencil untuk mengendalikan para pejabat atasan
dibandingkan dengan bawahan. Misalnya kekuatan koersif apabila digunakan
seluruhnya selalu diterapkan untuk partisipan tingkat rendah; para nara pidana
akan dikurung di dalam sel apabila mereka berusaha melarikan diri. D pihak lain
partisipan tingkat tinggi, misalnya pengawal, seringkali di beri ganjaran atau
malah dikenakan sanksi material dengan tujuan agar mereka dapat lebih

14
menunjukan prestasi pekerjaannya. (kelambanan bekerja biasanya dikenakan
denda).

Dengan membandingkan sarana pengendalian yang diterapkan terhadap


partisipan tingkat bawahan di dalam berbagai jenis organisasi akan merupakan
cara yang bermanfaat untuk mengklarifikasikan masing-masing organisasi;
alasannya ialah karena perbedaan ciri pengendalian merupakan pentunjuk yang
berguna, dan dalam pengertian ini malah dapat dijadikan pegangan untuk
meramalkan beberapa perbedaan lain yang terdapat didalam berbagai organisasi.
Banyak organisasi biasanya menggunakan lebih dari satu jenis kekuasaan. Sistem
pengendalian dapat mengandung ciri-ciri koersif yang menonjol atau utiliter atau
juga normatif.

Semua unit sosial selalu mengendalian anggotanya tetapi masalah


pengendalian dalam organisasi merupakan masalah yang sangat pelik. Organisasi
sebagai unit sosial yang mengejar suatu tujuan tertentu merupakan unit sosial
buatan (artifical social unit). Karena organisasi direncanakan dan dibentuk dengan
sengaja; hasil pekerjaannya dikaji sendiri secara terus-menerus dengan penuh
kesadaran dan mengadakan tahanan-pertahanan struktur jika perlu.

Untuk memenuhi fungsi pengendalian, organisasi harus memberikan


ganjaran dan sanksi berdasarkan hasil pekerjaan sehingga siapa yang bekerja
menurut norma-norma yang telah ditentukan oleh organisasi patut diberi ganjaran,
sedangkan yang menyimpang perlu dihukum.

2.6 Klarifikasi sarana pengendalian

Sarana pengendalian yang diterapkan oleh organisasi dapat di


klarifikasikan didalam tiga kategori analitik, yaitu sama dengan fisik, material,
atau simbolik. Ganjaran material dapat berbentuk barang dan jasa. Pemberian
simbol (misalnya uang) yang menyebabkan seseorang memperoleh suatu barang
atau jasa.

Simbol murni adalah simbol yang tidak menimbulkan ancaman fisik atau
tuntutan atas ganjaran material. Dalam seperti itu antara lain tercakup simbol
normatif, yaitu prestise dan penghargaan, maupun simbol sosial yaitu cinta kasih

15
dan penerimaan. Penggunaan simbol-simbol untuk tujuan pengendalian disebut
kekuatan normatif, normatif sosial, atau kekuatan sosial. Kekuatan normatif
biasanya digunakan oleh para pejabat tingkat atas untuk mengendalikan bawahan
secara langsung, kekuatan normatif sosial digunakan secara tidak langsung seperti
kalau seorang pejabat tinggi memberi saran kepada kelompok untuk mengeawasi
seorang bawahan.

Reaksi atau respon para partisipan atau pengundang salah satu atau
kombinasi kekuatan yang diterapkan oleh organisasi pada hakekatnya tidak hanya
tergantung kepada penggunaan kekuatan itu sendiri, melainkan dari segi
kepribadian sosial kultur para partisipan sendiri.

2.7 Kepemimpinan dan Pengendalian Organisasi

Kekuatan yang diterapkan oleh organisasi untuk mengendalikan anggotanya


biasanya terletak pada posisi tertentu (kepala departemen) seorang individu (tokoh
yang persuasif) atau kombinasi kedua-duanya (seorang departemen yang
persuasif). Dalam hal ini, kekuatan pribadi selalu merupakan kekuatan normatif,
dan dilandasi oleh penggunaan simbol, serta berfungsi untuk menggugah
komitmen orang yang menguasainya. Di pihak lain kekuatan posisional dapat
bersifat normatif, koersif, atau utiliter. Pemimpin informal merupakan seorang
individu yang mampu mengendalikan bawahan berdasarkan kekuatan pribadi.
Sedangkan pemimpin formal merupakan seorang yang sekaligus memiliki
kekuasan posisional dan kekuatan pribadi.

Dalam hal ini terdapat dua lingkungan kegiatan utama yang biasanya menjadi
sasaran pengendalian organisasi yakni: instrumental dan ekspresif. Kegiatan
instrumental ialah kegiatan yang banyak sangkut pautnya dengan masalah
masukan (input) sarana dalam organisasi, maupun distribusi masukan tersebut
dalam organisasi, dan produksi biasanya merupakan bidang kegiatan instrumental.
Sedangkan kegiatan ekspresif ialah kegiatan yang akan memengaruhi hubungan
interpersonal yang terdapat di dalam organisasi, maupun proses pembentukan
norma-norma organisasi serta pentaatannya partisipan.

16
Dalam organisasi yang cenderung menerapkan sistem koersif secara ekstensif, dan
anggota tingkat bawahan cenderung merasa sangat tertekan ─ misalnya penjara
tradisional ─ pengendalian atas pekerjaan organisasi dan perilaku yang terdapat di
dalamnya juga cenderung terbagi antara kalangan pejabat dan tokoh-tokoh
pimpinan informal. Para penjaga atau pengawal dapat diklasifikasikan sebagai
petugas karena kekuasaan yang berasal dari posisi mereka sendiri, dan pada
prinsipnya tergantung dari ciri-ciri kualitas kepribadian mereka. Meskipun
demikian kekuasaan untuk mengendalikan penghuni penjara ternyata banyal
berada di dalam tokoh-tokoh narapidana sendiri yang berpengaruh, padahal
mereka tidak menduduki posisi resmi di dalam organisasi, dan efektivitasnya
sangat tergantung dari pengaruh kepribadiannya. Mereka di sebut sebagai tokoh
pemimpin informal. Meskipun petugas penjara, mempunyai pengaruh terhadap
narpidana, tetapikenyataannya pengaruh tersebut tidak begitu terasa; dalam
pengertiannya ini dapat dikatakan bahwa di dalam beberapa penjara tertentu tidak
terdapat kepemimpinan formal yang berarti. Kemampuan pimpinan penjara untuk
mengendalikan narapidana pada hakekatnya sebagaian bersar tergantung dari
jumlah kekuatan koersif yang di terapkan oleh para pejabat (misalnya berapa
banyak pengawal yang ditugaskan untuk menjaga keamanan di penjara), dan juga
dari segi hubungan sehari-hari antara para pejabat dengan tokoh informal
narapidana. Mc Cleery pernah melakukan penyelidikan di dalam penjara di mana
para tokoh informal penghuninya untuk sementara waktu bersedia memberi
dukungan an membantu menegakkan “hukum dan ketertiban”, kecuali apabila
para pejabat penjara ─ setelah beberapa diantaranya diganti ─ kurang menghargai
kepemimpinan informal dengan cara mencptakan kekuasaan dan kepemimpinan
pribadi. Keadaan ini sudah tentu mengurangi kelancaran kerja sama antara tokoh
informal narapidana dengan para penjabat penjara sehingga akibatnya
memercepat proses pemberontakan. Dengan perkataan lain para penjabat penjara
kehilangan kemampuannya untuk mengendalikan narapidana. Hal ini
menimbulkan keraguan apakah pejabat yang menduduki posisi yang tinggi
mampu berfungsi sebagai pimpinan yang dapat diandalkan dalam pengendalian
anggota-anggotanya di dalam organisasi yang bersifat koersif.

17
Di pihak lain kegiatan ekspresif di dalam penjara biasanya dikendalikan hampir
secara ekslusif oleh tokoh-tokoh narapidana; mereka menentukan dan
memaksakan sendiri norma-norma yang bertalian dengan apa yang dianggapnya
benar atau salah. Sementara itu kegiatan instrumental di dalam penjara, terutama
mengenai pembagian makan dan pekerjaa , biasanya memang lebih banyak
diawasi oleh para petugas. Narapidana yang memiliki skala normatif dan struktur
status yang tinggi akan menerima bagian yang lebih banyak, sedangkan yang
tidak malah dihukum. Selain itu kekuasaan narapidana atas kegiatan instrumental
cenderung mencakup bidang yang lebih luas meliputi produksi dan pemilikan
benda-benda terlarang maupun perencanaan dan bahkan juga pelaksanaan untuk
melarikan diri dari penjara.

Organisasi lain yang menekankan kepada sistem pengendalian koersif mempunyai


struktur yang dapat dikatakan sama denganpenjara. Walaupun demikian semakin
kurang diterapkan sistem paksaan, akan semakin besar pula pengaruhnya terhadap
perilaku narapidana; demikian juga akan lebih terbuka kemungkinan
kepemimpinan formal (yakni, kepemimpinan yang dilaksanakan oleh para pejabat
tinggi) untuk berkembang di dalam posisi organisasi.

Dodalam organisasi yang lebih menitik beratkan kepada sistem pengendalian


normatif cenderung terdapat beberapa “pejabat” dan tokoh pimpinan informal;
pimpinan informal biasanya mampu mengendalikan hampir semua partisipan
organisasi secara efektif. Dibandingkan dengan organisasi koersif, sistem yang
pengendalian yang diterapkan oleh organisasi normatif pada hakekatnya lebih
tergantung dari kualitas pribadi. Dengan demikian melalui berbagai proses seleksi
dan sosialisasi. Biasanya organisasi normatif selalu berusaha untuk mengisi posisi
organisasi yang melaksanakan pengendalian dengan tenaga-tenaga yang memiliki
pengaruh pribadi. Dalam hal ini kekuasaan normatif posisional dikombinasikan
dengan pengaruh kekuatan pribadi. Individu yang tidak memiliki kekuatan pribadi
seringkali dipindahkan untuk menduduki posisi organisasi yang tidak mempunyai
fungsi untuk melaksanakan kekuasaan, misalnya pekerjaan administrasi atau
intelektual.

18
Pemimpin formal di dalam organisasi normatif biasanya mampu melaksanakan
pengendalian instrumental dan ekspresif walaupun sebenarnya mereka lebih
banyak menaruh perhatian terhadap kegiatan ekspresif pengendalian

pengendalian atas kegiatan instrumental sebagian besar malah dibebankan kepada


kalangan awam, dan di pihal lain organisasi tetap berusaha memegang monopoli
pengendalian atas kegiatan ekspresif. Pengendalian kedua jenis kegiatan tersebut
tidak mungkin dipisahkan secara mutlak karena kegiatan instrumental, dan
demikian juga sebaliknya.

Struktur kepemimpinan di dalam organisasi lain yang sangat normatif biasanya


mirip sekali dengan struktur kepemimpinan di dalam organisasi keagamaan.
Dalam organisasi seperti itu kepemimpinan dipusatkan di dalam posisi organisasi
seperti sekretaris partai, dan tokoh pimpinan informal biasanya akan diberikan
kedudukan atau malah tidak jarang disingkirkan. Apabila ditinjau dari segi
kemampuan profesional, kaum awam ternyata tidak memiliki landasan yang kuat
untuk memberikan penilaian secara rasional sehingga wajar apabila jalan pikiran
mereka diarahkan ke bidang lain.

Sistem pengendalian di dalam organisasi utiliter biasanya lebih terbagi merata di


dalam tangan para pejabat, pimpinan formal dan anggota bawahan. Selain itu
perhatian utama organisasi lebih banyak diarahkan untuk melaksanakan
pengendalian instrumental di bidang produksi dan efisiensi, dan bukan
pengendalian mengenai hubungan dan norma-norma yang ditentukan oleh para
pekerja sendiri selama hal ini tidak memberikan pengaruh yang sebaliknya
terhadap kegiatan instrumental.

Beberapa sistem pengendalian ekspresif - meskipun memang jarang - kadang-


kadang terletak di dalam tangan orang-orang yang menduduki posisi kekuasaan di
dalam organisasi. Norma-norma yang ditaati oleh partisipan bawahan ternyata
lebih dekat dengan apa yang diikuti oleh para pejabat yang lebih tinggi, dan
hubungan sosial tidak terpisah secara tajam.

Organisasi koersif biasanya dibentuk dengan dilandasi oleh asumsi bahwa para
pejabat tidak dapat melaksanakan kepemimpinan secara efektif. Di pihak lain

19
organisasi utiliter dapat berfungsi sangat efektif dengan kepemimpinan formal
yang mengendalikan kegiatan instrumental maupun ekspresif. Sedangkan
organisasi normatif tampaknya hanya merupakan satu-satunya tipe yang harus
banyak didukunh oleh kepemimpinan formal di bidang kegiatan operasional.

20
BAB III

STUDI KASUS

3.1 Abstrak

Studi kasus tentang gaya kepemimpinan seorang pemimpin di Himpunan


Mahasiswa Jurusan KPI IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Tujuan studi kasus ini
adalah untuk mengetahui gaya kepemimpinan ketua Himpunan Mahasiswa
Jurusan KPI IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Objek studi kasus ini adalah gaya
kepemimpinan seorang ketua. Yang kemarin telah di tunjuk menjadi ketua
Maulana Yusuf.

3.2 Latar Belakang


Masalah kepemimpinan tidak bisa lepas dari pembicaraan
mengenai organisasi dan manajemen, sebab sukses tidaknya suatu tujuan
yang dicapai oleh sebuah organisasi kekaryaan beserta manajemen –
manajemennya, tergantung dari kepemimpinan manajer.
Dalam pembahasan kepemimpinan tidak bisa lepas pula dari
pembahasan mengenai human relations dan public relations, oleh karena
sukses tidaknya ke dua “ kegiatan pendukung manajemen” teragntung dari
kepemimpinan para pemimpin ke lompok kekaryaan tersebut.
Dalam pengertian umum, kepemimpinan adalah suatu proses
dimana seseorang memipin (directs), membimbing (guides),
mempengaruhi (influences) atau mengontrol (control ) pikiran, perasaan
atau tingkah laku orang lain. Kegiatan mempengaruhi itu dapat dilakukan
dengan medium sebuah hasil karya, umpanyanya buku atau lukisan.
Kepemimpinan jenis ini terdapat pada para ilmiawan, seniman, penulis,
dan sebagainya. Kegiatan lainnya untuk mempengaruhi orang lain, ialah
dengan medium kata – kata lisan (speech)atau melakukan kontak – pribadi
secara langsung.
Seorang pemimpin Himpunan Mahasiswa Jurusan IAIN Syekh
Nurjati Cirebon sebagai seseorang yang bertanggung jawab untuk
mengatur anggotanya dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Seorang pemimpin harus bisa menggiring anggotanya agar selalu

21
berpegang tenguh pada aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam
organisasi Himpunan Mahasiwa Jurusan KPI IAIN Syekh Nurjati Cirebon
agar anggotanya tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan.
Pemimpin perlu mengenal anggota-anggotanya dalam organisasi
agar komunikasi diantara pemimpin dan anggota terjalin secara harmonis
dan efektif. Dengan komunikasi yang efektif maka akan terjalin hubungan
yang akrab dan hangat. Sehingga jarang terjadi konflik internal dalam
organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi pembahasan ini
mengenai organisasi HMJ KPI IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Organisasi
HMJ ini merupakan kepengurusan jurusan di dalam jurusan KPI.
Organisasi ini sudah lama berjalan dan sudah mampu menunujukkan
eksistensinya di dalam kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon terutama di
dalam jurusan KPI.
3.3 Fokus Masalah
Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, fokus masalah studi
kasus ini adalah “bagaimana kita mengetahui gaya kepemimpinan seorang
ketua organisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan KPI IAIN Syekh Nurjati
Cirebon”.
3.4 Tujuan

Untuk mengetahui gaya kepemimpinan ketua HMJ KPI.

3.5 Uraian Teoritis


Kekuatan yang diterapkan oleh organisasi untuk mengendalikan
anggotanya biasanya terletak pada posisi tertentu (kepala departemen)
seorang individu (tokoh yang persuasif) atau kombinasi kedua-duanya
(seorang departemen yang persuasif). Dalam hal ini, kekuatan pribadi
selalu merupakan kekuatan normatif, dan dilandasi oleh penggunaan
simbol, serta berfungsi untuk menggugah komitmen orang yang
menguasainya. Di pihak lain kekuatan posisional dapat bersifat normatif,
koersif, atau utiliter. Pemimpin informal merupakan seorang individu yang
mampu mengendalikan bawahan berdasarkan kekuatan pribadi. Sedangkan

22
pemimpin formal merupakan seorang yang sekaligus memiliki kekuasan
posisional dan kekuatan pribadi.
Dalam hal ini terdapat dua lingkungan kegiatan utama yang biasanya
menjadi sasaran pengendalian organisasi yakni: instrumental dan
ekspresif. Kegiatan instrumental ialah kegiatan yang banyak sangkut
pautnya dengan masalah masukan (input) sarana dalam organisasi,
maupun distribusi masukan tersebut dalam organisasi, dan produksi
biasanya merupakan bidang kegiatan instrumental. Sedangkan kegiatan
ekspresif ialah kegiatan yang akan memengaruhi hubungan interpersonal
yang terdapat di dalam organisasi, maupun proses pembentukan norma-
norma organisasi serta pentaatannya partisipan.

3.6 Pembahasan

Menurut Stoner ada 2 (dua) gaya kepemimpinan yang bisa digunakan oleh
seorang pemimpin dalam mengarahkan atau memengaruhi bawahan, yaitu:
1. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (Task Oriented Style).
Dalam gaya kepemimpinan ini, seorang manajer akan mengarahkan dan
mengawasi bahawannya secara ketat agar mereka bekerja sesuai dengan
harapannya. Manajer dengan gaya ini lebih mengutamakan keberhasilan
pekerjaan daripada pengembangan kemampuan bawahan.
2. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada pekerja ( Employee Oriented
Style). Manajer dengan gaya kepemimpinan ini berusaha mendorong dan
memotivasi bawahannya untuk bekerja dengan baik. Mereka
mengikutsertakan bawahan dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut tugas/pekerjaan bawahan. Disini hubugan pemimpin dan
bawahan terasa sangat akrab, saling percaya, dan saling menghargai.

Menurut Koontz, O’Donnell dan Weihrich gaya kepemimpinan dapat


digolongkan berdasarkan cara si pemimpin menggunakan kekuasaannya.
Dengan demikian terdapat 3 (tiga) gaya kepemimpinan:
1. Otoratic. Pemimpin dipandang sebagai orang yang memberi perintah dan
dapat menuntut. Keputusan ada ditangan pemimpin.

23
2. Democratic atau Participatif. Pemimpin dipandang sebagai orang yang
tidak akan melakukan sesuatu kegiatan tanpa mengkosultasikan terlebih
dahulu pada bawahannya. Pemimpin disini mengikutsertakan pendapat
bawahan sebelum ia membuat keputusan.
Free Rein. Pemimpin hanya menggunakan sedikit kekuasaan dan memberi
banyak kebebasan kepada bahawan untuk melakukan kegiatan. jadi
pemimpin disini memberi keleluasaan pada bawahan untuk menentukan
tujuan perusahaan dan cara untuk mencapainya. Pemimpin hanya
berfungsi sebagai orang yang berhubungan dengan kelompok lain.

Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Maulana Yusuf adalah


Employee Oriented Style karena ia menerapkan gaya kepemimpinan
dengan cara memotivasi anggotanya untuk bekerja dengan baik. Ia tidak
bersikap otoriter atau memaksa sama sekali terhadap anggotanya dalam
mengambil keputusan. Selalu mengikutsertakan bawahannya dalam
pengambilan keputusan. Terlihat ketika ia akan membentuk struktur
organisasi dan membagi-bagi tugas anggotanya ia mendiskusikan terlebih
dahulu sebelum memutuskan tugas apa yang pantas untuk setipa anggota
Himpunan Mahasiwa Jurusan KPI IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini.
Maulana Yusuf juga terlihat akrab dengan para anggotanya tanpa
memandang jabatan.

Ketua HMJ ini juga menggunakan gaya kepemimpinan Democratic atau


Participatif dan Free Rein. Ia tidak akan melakukan sesuatu kegiatan
tanpa mengkonsultasikan terlebih dahulu kepada bawahannya selalu
mengikutsertakan pendapat dari anggotanya. Serta ia juga memberi
kebebasan kepada anggotanya untuk melakukan kegiatan. Jadi ia memberi
keleluasaan pada bawahan untuk menetukan tujuan perusahaan dan cara
untuk mencapainya. Ia hanya sebagai fasilitator melalui pemberian
informasi dan sebagai orang yang berhubungan dengan kelompok lain.

3.7 Kesimpulan

24
Pemimpin sudah melaksanakan tugasnya sebagai seorang pemimpin yang
baik. Dengan selalu melibatkan para anggotanya ketika akan melakukan
suatu kegiatan dalam organisasi. Hubungan pemimpin dan anggotanya pun
terlihat dekat dan hangat. Sehingga bisa terlihat bahwa ia telah
menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai.

25
BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Komunikasi kepemimpinan adalah proses komunikasi yang


dilakukan pemimpin (sebagai komunikator) kepada bawahan
organisasinya (sebagai komunikan). Dalam penerapannya, pemimpin
dapat menggunakan berbagai macam jenis komunikasi kepemimpinan
sesuai dengan gaya masing masing yang dipengaruhi oleh banyak
faktor. Jenis komunikasi kepemimpinan atau gaya komunikasi
kepemimpinan wajib dimiliki oleh seorang pemimpin. Gaya
komunikasi kepemimpinan ini harus digunakan pemimpin untuk
mempengaruhi bawahannya untuk mencapai target organisasi.

Dalam pengertian umum, kepemimpinan adalah suatu proses


dimana seseorang memipin ( directs ), membimbing ( guides ),
mempengaruhi ( influences ) atau mengontrol ( control )pikiran,
perasaan atau tingkah laku orang lain. Kegiatan mempengaruhi itu
dapat dilakukan dengan medium sebuah hasil karya, umpanyanya buku
atau lukisan. Kepemimpinan jenis ini terdapat pada para ilmiawan,
seniman, penulis, dan sebagainya. Kegiatan lainnya untuk
mempengaruhi orang lain, ialah dengan medium kata – kata lisan
(speech )atau melakukan kontak – pribadi secara langsung.

26
DAFTAR PUSTAKA

Harun, Rochazat. 2008. KomunikasiOrganisasi. Bandung: MandarMaju.

Suryatim. 1985. Organisasi-organisasi Modern. Jakarta: Penerbit Universitas


Inonesia.

Pakarkomunikasi.com. 17 Juni 2017. Komunikasi Kepemimpinan dalam


Organisasi. (http://pakarkomunikasi.com/komunikasi-kepemimpinan).

27
28

Anda mungkin juga menyukai