Anda di halaman 1dari 10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hemoptisis

Hemoptisis (batuk darah) merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu

penyakit infeksi. Secara umum, pengertian hemoptisis adalah membatukkan darah

dari paru atau ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah

laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah laring (Bidwell JL,

Pachner RW, 2005; Rasin, 2009).

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Ada banyak masalah potensial yang menjadi penyebab hemoptisis. Berikut

adalah etiologi hemoptisis berdasarkan frekuensinya: a. Sangat sering (> 5%) :

Bronkitis (akut atau kronis) merupakan penyebab utama tersering dari hemoptisis,

biasanya tidak mengancam jiwa (Pneumonia dan Tuberkulosis); b. Sering (1 sampai

4%) : Bronkiektasis, Kanker paru atau tumor paru non-maligna terutama karsinoma

bronkus, Emboli paru, Hemoptisis palsu (mimisan, penyakit mulut, hematemesis).

Perdarahan hidung yang berat atau muntahan darah dari lambung dapat menyebabkan

masuknya darah ke trakea. Darah kemudian dibatukkan dan muncul sebagai

hemoptisis; c. Jarang (< 1%) : Gagal jantung kongestif terutama karena stenosis

mitral, arteriovenosus pulmonary malformation, penggunaan antikoagulan, kondisi

inflamasi atau autoimun (Lupus, Wegener’s granulomatosis, microscopic polyangitis,

5
6

Churg-Strauss syndrome), Trauma seperti pada luka tembakan atau kecelakaan

(Bidwell JL, Pachner RW, 2005;Web MD, 2013).

2.3 Patofisiologi

Asal anatomis perdarahan dan patofisiologi hemoptisis berbeda tiap proses

patologik tertentu: Bronkitis akibat pecahnya pembuluh darah superfisial di mukosa.

Tuberkulosis paru akibat robekan atau ruptur aneurisma arteri pulmoner (dinding

kaviti “aneurisma Rassmussen”) atau akibat pecahnya anastomosis bronkopulmoner

atau proses erosif pada arteri bronkialis. Infeksi kronik akibat inflamasi sehingga

terjadi pembesaran & proliferasi arteri bronchial misal: bronkiektasis, aspergilosis

atau fibrosis kistik. Kanker paru akibat pembuluh darah yang terbentuk rapuh

sehingga mudah berdarah (Rasmin, 2009).

2.4 Klasifikasi

Banyaknya jumlah batuk darah yang dikeluarkan sangat penting diketahui

untuk menentukan klasifikasi hemoptisis nonmasif atau masif. Batuk darah ringan

apabila jumlah darah yang dikeluarkan kurang dari 25 ml/24 jam. Batuk darah sedang

apabila jumlah darah 25-250 ml/24 jam. Batuk darah masif bila: Batuk darah > 600

ml/24 jam dan dalam pengamatan batuk darah tidak berhenti. Batuk darah < 600

ml/24 jam tetapi > 250 ml/24 jam dan pada pemeriksaan hemoglobin < 10 gr%

sedang batuk darah masih berlangsung. Batuk darah < 600 ml/24 jam tetapi > 250

ml/24 jam dan pada pemeriksaan hemoglobin >10 gr% dan pada pengamatan selama

48 jam dengan pengobatan konservatif, batuk darah masih berlangsung.


7

Pseudohemoptisis adalah batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas

laring) atau dari saluran cerna atas (gastrointestinal) atau hal ini dapat berupa

perdarahan buatan (factitious) (Marleen et al., 2009).

2.5 Gejala Klinis

Tabel 2 Perbedaan antara Hemoptisis dan Hematemesis


No Keadaan Hemoptisis Hematemesis
1 Prodomal Darah yang dibatukkan dengan Darah yang di
rasa panas di tenggorokan muntahkan dengan rasa
mual
2 Onset Darah yang dibatukkan, dapat Darah yang di
disertai dengan muntah mintahkan dapat disertai
dengan batuk
3 Tampilan Darah berbuih Darah tidak berbuih
4 Warna Merah segar Merah tua
5 Isi Leukosit, mikroorganisme, Sisa makanan
hemosiderin, makrofag
6 Ph Alkalis Asam
7 Riwayat penyakit Penyakit paru Peminum alkohol, ulcus
dahulu pepticum, kelainan
hepar
8 Anemis Kadang tidak di jumpai Sering disertai anemis
9 Tinja Blood test (-) Blood test (+)
Benzidine test (-) Benzedine test (+)
Sumber : Amirullah, R. 2004. Gambaran dan Penatalaksanaan Batuk Darah di Biro Pulmonologi
RSMTH. Cermin Dunia Kedokteran No. 33 : 30-32.
8

Untuk mengetahui penyebab hemoptisis kita harus memastikan bahwa

pendarahan tersebut memang berasal dari saluran pernafasan bawah dan bukan

berasal dari nasofaring atau gastrointestinal. Dengan kata lain bahwa penderita

tersebut benar benar batuk darah dan bukan muntah darah. pada tabel 2 menjelaskan

perbedaan antara batuk darah dan muntah darah. Tabel tersebut mempermudah untuk

menegakkan diagnosis hemoptisis (Amirullah R, 2004).

2.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding penyebab hemoptisis sangat banyak, sebagaimana telah

disebutkan dalam etiologi. Berikut ini penjelasan mengenai penyebab hemoptisis

tersering dan yang terjadi pada pasien dalam kasus ini.

2.6.1 Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan

distorsi bronkus lokal patologis dan berjalan kronik, persisten, dan ireversibel.

Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus

berupa destruksi elemen-elemen elastik, otot polos bronkus, tulang rawan, dan

pembuluh darah. Bronkus yang terkena pada umumnya adalah bronkus kecil,

sedangkan bronkus besar umumnya jarang (Rahmatullah, 2007).

2.6.2 Bronkitis

Bronkitis adalah inflamasi dari pembuluh bronkus yang menyebabkan

bengkak pada permukaannya, mempersempit pembuluh dan menimbulkan sekresi

dan cairan inflamasi. Bronkitis akut adalah batuk yang tiba-tiba terjadi karena infeksi
9

virus yang melibatkan jalan napas yang besar. Bronkitis akut pada umumnya ringan.

Berlangsung singkat (beberapa hari sampai beberapa minggu), rata-rata 10-14 hari.

Meski ringan, namun adakalanya sangat mengganggu, terutama jika disertai sesak,

dada terasa berat, dan batuk berkepanjangan. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai

adanya batuk produktif yang belangsung 3 bulan dalam 1 tahun selama 2 tahun

berturut-turut. Diagnosis bronkitis kronis biasanya terkait dengan riwayat merokok

(Marleen et al., 2009).

2.6.3 Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

tuberculosis complex yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan

yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat

hidup terutama di paru atau berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial

tinggi. Penyakit tuberkulosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke

hampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi

awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu kemudian dapat

mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun (PDPI,

2011).

2.6.4 Pneumonia

Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang

disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan


10

paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan

toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis. Pneumonia dapat disebabkan

oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa.

Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri

banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit

banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak

disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di

Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak

penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif (PDPI, 2003).

2.7 Penegakan Diagnosis

Diagnosis biasanya di tegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

gambaran radiologis. Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan urutan anamnesis

yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga penanganan dapat

di tentukan.

2.7.1 Anamnesis

Hal yang perlu di tanyakan dalam batuk darah adalah : Jumlah dan warna

darah yang di batukkan, lamanya pendarahan, batuk yang diderita bersifat produktif

atau tidak, batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan, ada merasakan nyeri dada,

nyeri substernal atau nyeri pleuritik, hubungan perdarahan dengan gerakan fisik,

istirahat, dan posisi badan saat batuk, riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu

(Bidwell JL; Pachner RW, 2005).


11

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Untuk mengetahui perkiraan penyebab hemoptisis, maka diperlukan

pemeriksaan fisik lebih lanjut: panas merupakan tanda adanya peradangan, auskultasi

atau rales ( Kemungkinan menonjolkan lokasi, ada aspirasi, ronchi menetap ,

wheezing local, kemungkinan penyumbatan oleh Ca, bekuan darah), friction rub :

emboli paru atau infark paru, clubbing : bronkiektasis, neoplasma (Alsagaff H, 2009).

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin

terutama digunakan untuk melihat kadar hemoglobin untuk mengetahui ada tidaknya

anemia akibat hemoptisis. Foto polos toraks dalam posisi PA dan lateral, Bronkografi

untuk mengetahui adanya bronkiektasis, Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi

maupun sitologi (Bidwell JL, Pachner RW, 2005).

Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber pendarahan sekaligus untuk

penghisapan darah yang keluar agar tidak terjadi penyumbatan. Sebaiknya dilakukan

sebelum perdarahan berhenti sehingga sumber pendarahan dapat segera diketahui.

Adapun indikasi bronkoskopi pada hemoptisis adalah : 1) bila pemeriksaan radiologi

tidak di dapatkan kelainan, 2) batuk darah yang berulang, 3) batuk darah massif :

sebagai identifikasi dan terapi lokal pada titik perdarahan (Bidwell JL, Pachner RW,

2005).
12

2.8 Tatalaksana

Tujuan utama terapi adalah untuk mencegah asfiksia dan menghentikan

pendarahan. Selain itu, tatalaksana hemoptisis untuk menemukan diagnosis penyakit

dasar dan memberi terapi yang tepat, atau menyingkirkan penyakit lain yang serius.

Sebagian besar hemoptisis terjadi minor atau bisa sembuh sendiri, walaupun kadang-

kadang perdarahan bisa menjadi berat dan tidak terkendali. Saat ini tatalaksana

hemoptisis meliputi konservatif, pembedahan, dan embolisasi arteri bronkialis

(Marleen et al., 2009).

2.8.1 Konservatif

Terapi konservatif batuk darah masif di Biro Pulmonologi RSAL

dr.Mintohardjo adalah 1) Memproteksi jalan napas dan stabilisasi pasien:

mempertahankan jalan napas yang adekuat, pemberian suplementasi oksigen, koreksi

tiap koagulopati. 2) Lokalisasi sumber perdarahan dan penyebab perdarahan: setelah

pasien dalam keadaan stabil perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut mencari sumber

dan penyebab perdarahan. 3) Terapi spesifik: menghentikan perdarahan dan

mencegah perdarahan berulang. Tahap ini dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu 1)

Dengan bronkoskop: bilasan garam fisiologis, epinefrin, pemberian 12hrombin

fibrinogen, tamponade dengan balon. 2) Tanpa bronkoskop: pemberian obat dan

antifibrinolitik, pengobatan penyakit primernya (Bidwell JL, Pachner RW, 2005;

Rasin, 2009).
13

2.8.2 Pembedahan

Terapi definitif hemoptisis adalah pembedahan. Tindakan bedah dilakukan

bila pasien memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) diketahui jelas sumber

perdarahan, 2) tidak ada kontra indikasi medis, 3) setelah dilakukan pembedahan sisa

paru masih mempunyai fungsi yang adekuat (faal paru adekuat), 4) pasien bersedia

dilakukan tindakan bedah (Rasin, 2009; Marleen et al., 2009).

2.8.3 Embolisasi arteri bronkialis

Teknik ini adalah melakukan oklusi pembuluh darah yang menjadi sumber

perdarahan dengan embolisasi transkateter. Embolisasi ini dapat dilakukan pada arteri

bronkialis dan sirkulasi pulmoner. Teknik ini terutama dipilih untuk penderita dengan

kelainan paru bilateral, fungsi paru sisa yang minimal, menolak operasi ataupun

memiliki kontraindikasi tindakan operasi. Terapi ini dapat diulang beberapa kali

untuk mengontrol perdarahan. Embolisasi memiliki angka keberhasilan dalam

mengontrol perdarahan (jangka pendek) antara 64-100% (Rasin, 2009; Marleen et al.,

2009).

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptisis, yaitu di

tentukan oleh tiga faktor: 1) Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah

dalam saluran pernafasan, 2) Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya

hemoptisis dapat menimbulkan hipovolemik, 3) Aspirasi dimana masuknya bekuan

darah maupun sisa makanan ke dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.
14

(Mason RJ, 2010). Penyulit hemoptisis yang biasanya di dapatkan ialah: 1) Terjadi

penyumbatan trakea dan saluran napas, sehingga timbul sufokasi yang sering fatal. 2)

Penderita tidak tampak anemis tetapi sianosis, hal ini sering terjadi pada batuk darah

masif (600-1000 cc/24 jam). 3) Pneumonia aspirasi akibat darah yang terhisap ke

bagian paru yang sehat. 4) Tersumbatnya saluran nafas menyebabkan paru bagian

distal kolaps sehingga terjadi atelektasis. 5) Terjadinya hipovolemia akibat

perdarahan banyak dan anemia jika terjadi perdarahan dalam waktu lama (Mason RJ,

2010).

2.9 Prognosis

Pada hemoptisis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami

hemoptisis rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada beberapa faktor yang

menentukan prognosis : 1) tingkatan hemoptoe (hemoptoe yang terjadi pertama kali

mempunyai prognosis yang lebih baik), 2) penyebab mendasar hemoptoe, 3) cepatnya

tindakan tatalaksana dari hemoptoe misalnya bronkoskopi segera dilakukan untuk

menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita dari kegawat

daruratan medis.

Prognosis berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan pasien maka : 1) Jika jumlah

darah yang dikeluarkan <200ml/24jam prognosis supportive baik, 2) pasien dengan

profuse massive > 600ml/24jam prognosis jelek 85% pasien meninggal dengan

bilateral far advance, faal paru kurang baik, dan terdapat kelainan jantung) (Bidwell

JL; Pachner RW, 2005).

Anda mungkin juga menyukai