Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN FATWA AL-LAJNAH AL-DAIMAH AL-BUHUTS

AL-ILMIYYAH WA AL-IFTA’ SAUDI ARABIA


“Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas UAS pada MK Kajian Fatwa
Ekonomi Syariah”

Dosen Pengampu:
Dr. Dulsukmi Kasim, Lc., M. HI

OLEH:
Triya M Yasin
Sitti Rahmatia dg Mamase
Yuni Kartika

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
2021
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan,
menyingkirkan kejahatan dan menyingkirkan kemudharatan. Ia memiliki
aturan yang lurus dan hukum- hukum yang adil demi tujuan yang terpuji
dan maksud-maksud yang mulia. Pengaturannya didasarkan pada
pertimbangan kemaslahatan dan sesuai dengan hikmah dan kebenaran.
Karena itulah ketika ada persekutuan dalam benda-benda yang tidak
bergerak (seperti tanah dan rumah), seringkali terjadi kerusuhan dan
menjurus kepada tindak kejahatan sehingga sulit dilakukan pembagian
terhadap barang itu, maka pembuat syari’at yang bijaksana menetapkan
Syuf’ah bagi sekutu atau mitra usaha.
Dengan kata lain, jika salah seorang dari dua sekutu menjual bagiannya dari
benda-benda yang tidak bergerak dan menjadi persekutuan diantara
keduanya, maka bagi sekutu yang tidak menjual, dapat mengambil bagian
dari pembeli dengan harga sama, sebagai upaya untuk menghindarkan
kerugiannya karena prsekutuan itu.
Imam Syai’i memilih pendapat bahwa yang dimaksud dengan mudharat
adalah kerugian biaya pembagian, resiko adanya pihak baru yang ikut serta
lainnya. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa maksud kemudharat
adalah resiko persekutuan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Teks Naskah Fatwa al-Lajnah al-Daimah al-Buhuts al-
Ilmiyah wa al-Ifta’ Saudi Arabia tentang Syuf’ah?
2. Bagaimana Dalil/Landasan Hukum Fatwa tentang Syuf’ah ?
II. PEMBAHASAN
A. Naskah Fatwa
B. Kajian Analisis Fatwa
1. Latar Belakang Lahirnya Fatwa
Menurut Bahasa, Syuf’ah berasal dari kata Syaf’ yang berarti ghamm’
percampuran’. Syuf’ah itu sendiri merupakan praktik yang popular
dikalangan orang-orang Arab. Pada zaman zahiliyah, seseorang yang ingin
menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga, teman atau sahabatnya
untuk meminta Syuf’ah dari apa yang di jualnya. Kemudian ia menjualkan
kepadanya dengan memprioritasikan yang lebih dekat hubungannya dari
pada yang lebih jauh. Pemohonannya disebut Syafi’.
Menurut Syariat, Syuf’ah adalah pemilikan barang syuf’ah oleh Syafi’,
sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada
pemiliknya sesuai dengan nilai dan sistem pembayaran oleh pembeli lain.
Dalam latar belakang lahirnya Fatwa Syuf’ah sudah ada dari zaman zahiliyah
dan sudah menjadi praktik/kebiasaan yang sering terjadi di kalangan orang-
orang Arab. Sehingga dengan keadaan dan perubahan zaman Syuf’ah telah
dimuat dalam fatwa Lembaga al-Lajnah al-Daimah yang dimana merupakan
Lembaga resmi di Arab Saudi.
2. Prosedur Perumusan Fatwa
Selain munculnya mufti-mufti kontemporer dengan metodologi masing-
masing, muncul juga apa yang disebut sebagai mufti Negara. Mufti Negara
adalah “pejabat Negara, birokrat, dan tokoh penting dalam administrasi
keagamaan”. Peran mufti Negara ini berbeda dari satu Negara dengan
Negara lainnya. Sebagian merupakan mufti yang berada dalam kontrol yang
ketat dan aktif dari Negara seperti di Saudi Arabia, para mufti yang
terkumpul dalam al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts wa al-ifta’ diangkat oleh
Negara. Namun para mufti ini berada pada kontrol dan pengaruh yang
sangat kuat dari Negara (kerajaan). Segala fatwa yang di keluarkan tidak akan
keluar dari madzhab resmi Negara dan juga dari kebijakan dan stabilitas
poitik kerajaan. Figur penting yang mewarnai lembaga ini adalah ‘Abd
al-‘Aziz Ibn Baz, yang keterikatannya pada madzhab Hanbali dan ajaran-
ajaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab sangat kuat, dan perannya dalam
melegitimasi berbagai kebijakan kerajaan tidak di ragukan lagi. 1
Menurut mayoritas ahli Fiqih, Karena Syuf’ah berlaku untuk orang muslim,
maka ia juga berlaku untuk orang kafir dzimmi. Tetapi Ahmad, Hasan dan
Syafi’i berpendapat bahwa Syuf’ah tidak berlaku untuk orang kafir dzimmi,
berdasarkan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Daruqhutni dari Anas,
bahwa Nabi Saw bersabda,
“Tidak berlaku Syuf’ah bagi orang Nasrani”.
3. Dalil/Landasan Fatwa
ٍ َّ‫يدقَالَو َق ْفُتعلَىسع ِدبنِأَبِيوق‬
َ‫اص َف َجاءَالْ ِم ْس َو ُر ْبنُ َم ْخَر َمةَف‬ ِ ِ َّ ِ‫ح َّدثَنالْم ِّكيُّبنِإبر ِاهيمأَخبرنَاابنجرجْيٍ أَخبرنِيِإبر ِاهيمبنميسر َةعْنعم ِروبن‬
َ ْ ْ َ َ َ ‫الشر‬ ْ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ ْ ُ َْ َ َ ْ َ ُ ُْ َ َ ْ َ َْ ُ ْ َ َ َ
ِ‫يدا ِر َك َف َقالَسع ٌدواللَّ ِهماأَبتَاعهما َف َقااَل لْم‬ ِ ِ ٍ ِ ‫وضعي َدهعلَىِإح َدىمْن ِكبيَِّإ ْذجاءأَب‬
َ ُُ ْ َ َ ْ َ َ ‫ِّيبْيَتيَّف‬ َ َ‫صلَّىاللَّ ُه َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َف َقالَي‬
َ ‫اس ْع ُد ْابَت ْعمن‬ َ ِّ‫ورافع َم ْولَىالنَّبِي‬
َ ُ َ َ َ َ ْ َ ُ ََ َ َ
ِ‫َّهما َف َقالَس ْع ٌدواللَّ ِهاَل أَ ِزي ُد َك َعلَىأ َْر َب َع ِةآاَل فٍمنَ َّجمةًأ َْو ُم َقطَّ َعةًقَاأَل َبُورافِعٍلَ َق ْدأ ُْع ِطيتُبِ َهامَخْس ِمائَِة ِدينَا ٍرولَواَل أَنِّيس ِم ْعتُالنَّب‬ َ َ‫ْس َو ُر َواللَّ ِهلَتَْبت‬
َ َْ َ َ َ ُ َ َ َ ُ ‫اعن‬
ِِ ِ ٍ ِ
َ َ‫َح ُّقبِ َس َقبِ ِه َماأ َْعطَْيتُ َك َهابِأ َْر َب َعةآاَل ف َوأَنَاأ ُْعطَىبِ َهامَخْ َسمائَةدينَا ٍرفَأ َْعط‬
ُ‫اهاإِيَاە‬ َ ‫صلَّىاللَّ ُه َعلَْي ِه َو َسلَّ َمَي ُقواُل جْلَ ُارأ‬
َ َّ‫ي‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Al Makkiy bin Ibrahim telah
mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij telah mengabarkan kepada saya
Ibrahim bin Maisarah dari ‘Amru bin Asy-Syarid berkata:
Aku pernah duduk bersama Sa’ad bin Abi Waqash lalu datang Al Miswar bin
Makhramah kemudian dia meletakkan tangannya pada salah satu pundakku
lalu datang Abu Rafi’ maula Nabi ‫ ﷺ‬seraya berkata:
“Wahai Sa’ad, belilah dua buah rumahku yang ada di kampungmu!” Sa’ad
berkata:
“Demi Allah, aku tidak akan membelinya”.
Lalu Al Miswar berkata:
“Demi Allah, aku yang akan membelinya”.
Maka Saad berkata:
“Demi Allah, aku tidak akan membelinya lebih dari empat ribu keping”.
Abu Rafi’ berkata:
“Sungguh aku telah memberikan kepadanya lima ratus dinar, seandainya aku
tidak mendengar Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:

1
Rusli, 2011. Tipologi Fatwa di Era Modern, (Hunafa; Jurnal Studi Islamika, Vol 8, No.2, Desember
2011: 269-306)
“Tetangga lebih patut dalam hal kedekatan, tidaklah akan aku berikan
rumah itu dengan harga empat ribu keeping sekalipun, sedangkan kali ini
hanya aku dapatkan lima ratus dinar.”
Dia pun lantas memberikan rumahnya.” (HR. Bukhari: 2098- Menawarkan
Syuf’ah kepada temannya sebelum di jual ke pihak lain)

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ُّ ‫اح ِدح َّد َثنَام ْعمر َعْن‬ ِ


َ ‫يسلَ َمةَبْن َعْبدالرَّمْح َن َعْن َجابِ ِربْن َعْبداللَّ ِهَر ِضيَاللَّ ُه َعْن ُه َماقَالََق‬
َ ‫ض َىر ُسواُل للَّ ِه‬
َّ‫صلَّىالل‬
َ ‫الز ْهرِّي َعْنأَب‬ ٌ َ َ َ ‫اعْب ُدالْ َو‬ َ َ‫َّد َح َّد َثن‬
ٌ ‫َح َّد َثنَ ُام َسد‬
ِ ِ ُّ ِ‫هعلَي ِهوسلَّمب‬
َ‫صِّر َفْتالطُُّر ُق َفاَل ُش ْف َعة‬ ُ ‫الش ْف َعةفي ُكلِّ َمالَ ْمُي ْق َس ْم َفِإ َذ َاو َق َعْتاحْلُ ُد‬
ُ ‫ود َو‬ َ َ َ ْ َُ
Artinya : “Telah menceritakan kepada saya Musaddad telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul Wahid telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Az
Zuhriy dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman dari Jabir bin ‘Abdullah
radliallahu ‘anhu berkata: Nabi ‫ ﷺ‬telah menetapkan hak Asy-
Syuf’ah pada setiap harta yang belum dibagi. Apabila terdapat pembatas dan
jalan yang terpisah maka tidak ada syuf’ah”.
“Rasulullah SAW memutuskan syuf’ah pada setiap kongsi kemitraan yang
belum dibagi, berupa rumah atau pagar. Tidak halal bagi seorang mitra
menjual hingga izin mitra lainnya, apabila berminat, maka mitrannya bisa
membelinya atau melepaskannya. Apabila ia menjual tanpa seizin mitranya,
maka mitranya lebih berhak dengan barang tersebut” (H.R Muslim).
4. Isi Fatwa
Seseorang tidak boleh menjual barang milik bersama tanpa seizing mitranya.
Jika penjualan itu dilakukan tanpa izin, maka sang mitra lebih berhak untuk
membelinya. Apabila sang mitra memberikan izin serta berkata, “Aku tidak
membantah penjualan tersebut”, dan tidak melakukan tuntutan apa pun
setelahnya, maka penjualan itu sah. Demikianlah tuntutan yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah saw.
“Rasulullah menetapkan syuf’ah untuk semua persekutuan yang belum
dibagi, baik berbentuk rumah atau kebun; maka tidak dihalalkan menjual
sebelum meminta izin mitra. Jika ia menghendaki, maka ia boleh
membelinya. Dan jika tidak, ia boleh meninggalkannya. Apabila penjualan
berlangsung tanpa izin mitranya, mamka mitra itulah yang paling berhak
membelinya.
“Barang siapa yang bermitra dalam pemilikan kebun kurma atau rumah,
kama ia tidak boleh menjualnya sebelum mitranya mengizinkannya. Apabila
mitranya itu suka, maka ia boleh membelinya. Dan jika tidak, ia pun boleh
meninggalkannya.” (HR Yahya bin Adam dari Zubair, dari Zubair; sand
riwayat berdasarkan syarat Muslim).
Ibnu Hazm berkata, “Tidak dihalalkan bagi orang yang berkongsi menjadi
barang perkongsian sebelum ia tawarkan kepada mitranya atau mitra-mitra
dalam perseroannya. Apabila mitra itu ingin mengambilnya, maka ia harus
membayar kepada rekannya sesuai dengan harga yang biasa dibayar oleh
pembeli lain, karena patnernya yang lebih berhak membelinya.
Apabila ia tidak berminat untuk membeli barang tersebut, berarti haknya
telah dijual kepada orang lain. Dan jika belum ditawarkan keapdanya seperti
penjelasan sebelumnya, lalu bagiannya itu dijual keapda orang lain (selain
anggota perkongsian), maka ia boleh memilih antara: menyetujui barang
tersebut dijual keapda orang lain, atau membatalkannya dan mengambil
bagiannya itu dengan bayaran harga sesuai dengan nilai penjualannya.”
Ibnul Qayyim mengatakan, “Inilah ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah saw. yang tidak ada alasan apa pun untuk membantahnya. Inilah
kebijakan yang benar dan pasti.”
Sementara itu, sebagian ulama, termasuk imam Syafi’i, berpendapat bahwa
perintah Rasulullah tersebut mengandung pengertian istihbab (disunnatkan).
Nawawi berkata, “Pengertian yang terkandung dalam hadits itu, menurut
madzhab kami, adalah sunnat untuk memberitahukan kepada rekan kongsi
dan makruh melakukan penjualan sebelum memberikan kepadanya, bukan
diharamkan.”
Resolusi No. 44, tanggal 04/13/1396 AH.
Segala Puji Bagi Allah semata, dan shalawat serta salam semoga tercurah
kepada Nabi Muhammad saw, dan kepada keluarga serta para sahabatnya,
sesudahnya:
Berdasarkan apa yang diputuskan dalam sidan ketujuh majelis ulama yang di
adakan dikota Thaif pada paruh pertama sa’ban 1395 H. dari memasukan
masalah preemption fasilitas khusus dalam agenda sidang kedelapan dari
masal al-akhir di Riyadh. Masalah preemption juga dipelajari apa yang tidak
dapat dipisahkan dari properti dan setelah meninjau penelitian yang disusun
oleh panitia tetap penelitian ilmiah dan Ifta’.
Setelah musyawarah pendapat dan diskusi oleh anggota dan bertukar
pandangan dewan memutuskan dengan suara mayoritas: bahwa pencegahan
yang dilakukan oleh perusahaan di fasilitas khusus seperti sumur, jalan,
saluran pembuangannya dan sejenisnya dijelaskan juga dalam hal yang tidak
dapat dipisahkan dari harta benda seperti rumah kecil dan ruko dan
sejenisnya, karena sifat pembuktiannya bersifat umum dan karena lain itu
termasuk dalam harta benda. Pengambilan harta benda, yaitu untuk
menghindari kerugian dalam jual beli dan hak atas barang yang dijual. Dan
nash-nash yang shahih yang diriwayatkan al- Tirmidzi dari Ibnu Abbas ra.
Bahwa Nabi saw bersabda: mitra adalah pemberi syafaat dan preemption
dalam segala hal.
III. KESIMPULAN
Secara etimologi, syuf’ah berarti mengumpulkan. Sedangkan secara
terminologi syuf’ah adalah hak mitra lama untuk mengambil alih secara
otoritatif aset milik bersama yang telah dijual oleh mitra lama lainnya kepada
mitra baru dengan cara membayar ganti rugi sebesar uang yang telah
dikeluarkan oleh mitra baru atas aset yang dia peroleh. Misalnya A dan B
bersama-sama memiliki sebidang tanah secara persentase. Tanpa
sepengetahuan A, B menjual hak atas aset bersama mereka kepada C. Maka
A secara otoritatif berhak mengambil balik tanah tersebut dengan cara
membayar ganti rugi sejumlah uang yang telah dikeluarkan C.
Dalil yang mendasari legislasi syuf’ah adalah hadis dan ijma’: “Rasulullah
SAW memutuskan syuf’ah pada aset perserikatan yang belum dibagi, dan
apabila batas dan jalan telah dibuat, maka tidak ada hak syuf’ah lagi “(H.R
Bukhari)
“Rasulullah SAW memutuskan syuf’ah pada setiap kongsi kemitraan yang
belum dibagi, berupa rumah atau pagar. Tidak halal bagi seorang mitra
menjual hingga izin mitra lainnya, apabila berminat, maka mitrannya bisa
membelinya atau melepaskannya. Apabila ia menjual tanpa seizin mitranya,
maka mitranya lebih berhak dengan barang tersebut” (H.R Muslim).
Menurut Syariat, Syuf’ah adalah pemilikan barang syuf’ah oleh Syafi’,
sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada
pemiliknya sesuai dengan nilai dan sistem pembayaran oleh pembeli lain.
Dalam latar belakang lahirnya Fatwa Syuf’ah sudah ada dari zaman zahiliyah
dan sudah menjadi praktik/kebiasaan yang sering terjadi di kalangan orang-
orang Arab. Sehingga dengan keadaan dan perubahan zaman Syuf’ah telah
dimuat dalam fatwa Lembaga al-Lajnah al-Daimah yang dimana merupakan
Lembaga resmi di Arab Saudi.
DAFTAR PUSTAKA
Fatwa al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts wa al-Ifta’ Saudi Arabia tentang Syuf’ah
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail ibn al-Mughirah, Shahih al-Bukhari, Beirut:
Dar al-Fikri, 1981, hadits ke-2257, Juz 8.
Sarwat, Ahmad. Seri Fiqh Keidupan (7) : Muamalat, Jakarta Selatan: DU
Publishing.
Rusli. Tipologi Fatwa di Era Modern, (Hunafa; Jurnal Studi Islamika, Vol 8, No.2,
Desember 2011: 269-306)

Anda mungkin juga menyukai