Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Disusun oleh :
Fitri Amalia
20210940100049
Profesi Ners

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, 2012).
Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan tengkorak dan
otak (Pierce dan Neil, 2014).
Menurut Brain Injury Assosiation of American (2006), cedera kepala
merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari
luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi
kognitif maupun fungsi fisik.
Klasifikasi Cedera Kepala
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan
Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif
tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek
yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal
respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:
a. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat
di rumah sakit < 48 jam.
b. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT
scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di
rumah sakit setidaknya 48 jam.
c. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score
GCS < 9.

2. Manifestasi Klinis
 Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
 Kebingungan
 Iritabel
 Pucat
 Mual dan muntah
 Pusing kepala
 Terdapat hemoatoma
 Kecemasan
 Sukar untuk dibangunkan
 Racoon Eyes, bettel sign
 Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(Rhinorrohea) dan telingga (ottorrhea) bila fraktur tulang temporal.
 Peningkatan TD, pemurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.

3. Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang
terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder
yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi
intracranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intracranial
dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003).
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-
deselerasi, coup-countre coup dan cedera rotasional.
a. Cedera Akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak missal alat pemukul menghantam kepala.
b. Cedera Deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam,
seperti kasus jatuh.
c. Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan
bermotor dan episode kekerasan fisik.
d. Cedera coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan
otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang
tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur.
Contoh dipukul dibagian belakang kepala.
e. Cedera rotasional terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar
dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robekanya
neuron dalam substansia alva serta robeknya pembuluh darah yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
 GDA untuk menentukan adanya masalah ventilasi atau oksigenasi dan
peningkatan tekanan intracranial (TIK).
 Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan yang
memperberat peningkatan TIK. Peningkatan laju metabolisme dan
diaphoresis dapat menyebabkan peningkatan natrium (hypernatremia).
b. Pencitraan
 CT scan untuk mengidentifikasi adanya hemoragi, hematoma, kontusio,
fraktur tengkorak, pembengkakan atau pergeseran jaringan otak.
 MRI lebih sensitive untuk memeriksa deficit neurologis yang tidak
terdeteksi oleh ST scan .
c. Prosedur diagnostic
 EEG menunjukkan adanya atau terjadinya gelombang patologi.

5. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi


a. Farmakologi
 Bolus mannitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi
hematom intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.
 Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
 Antikonvulsan untuk kejang.
 Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat
memperburuk penurunan kesadaran (Ginsberg, 2007).

b. Non Farmakologi
 Bedah
 Intrakranial : evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak
tulang.
 Ekstrakranial : inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan
pada laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi
bedah segera dengan debridement luka dan menaikkan fragmen tulang
untuk mencegah infeksi lanjut pada meningen dan otak.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan
Riwayat trauma baru (jatuh, kecelakaan kendaraan, luka tembak, cedera
tembak atau ledakan).
b. Pemeriksaan Fisik
 Perubahan tingkat kesadaran pada saat kejadian (perasaan aneh, bingung,
kunang-kunang)
 Perubahan penglihatan (pandangan ganda, seolah melihat Gerakan
dinding/lantai atau objek diam)
 Kelemahan
 Gangguan keseimbangan
 Perubahan kepribadian
 Mual
 Amnesia seputar kejadian trauma
 Perubahan kemampuan berfikir
 Vertigo, masalah keseimbangan
 Telinga berdering, pendengaran terganggu
 Kesemutan, kebas pada ekstermitas
 Tidak ada atau perubahan rasa pengecap atau penghidu
 Sakit kepala dengan variasi intensitas dan lokasi, biasanya menetap dan
lama

2. Patofisiologi
3. Diagnosa Keperawatan
 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam
jalan napa, disfungsi neuromuskuler.
 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular,
gangguan sensoripersepsi
 Resiko perfusi serebaral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala
 Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit

4. Perencanaan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan Observasi :
tidak efektif keperawatan selama 3x24 jam
berhubungan dengan diharapkan tidak ada a. Monitor pola napas
benda asing dalam jalan sumbatan pada jalan napas. (frekuensi, kedalaman, usaha
napa, disfungsi Dengan kriteria hasil : napas)
neuromuskuler.
a. Status pernapasan : b. Monitor bunyi napas
ventilasi tidak terganggu tambahan (mis, gurgling,
mengi, wheezing, ronkhi
kering)
Terapeutik :
a. Pertahankan
kepatenan jalan napas dengan
head-tilt dan chin-lift (jaw-
thrust) jika curiga trauma
servikal
b. Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi :
a. Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari, jika
tidak kontraindikasi
b. Anjurkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi :
a. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
2. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan Observasi :
fisik berhubungan
dengan gangguan keperawatan 3 x 24 jam a. Identifikasi adanya
neuromuskular, diharapkan terjadi nyeri atau keluhan fisik
gangguan peningkatan mobilitas fisik. lainnya
sensoripersepsi Dengan kriteria hasil :
b. Identifikasi toleransi
a. Klien meningkat dalam fisik melakukan pergerakan
aktivitas fisik
c. Monitor kondisi
umum selama melakukan
mobilisasi
Terapeutik :
a. Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu
b. Libatkan keluarga
untuk membantu pasien
dalam meningkatkan
pergerakan
Edukasi :
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
b. Anjurkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. duduk di
tempat tidur, duduk di sisi
tempat tidur)
3. Resiko perfusi serebaral Setelah dilakukan tindakan Observasi :
tidak efektif keperawatan selama 3x24 jam a. Monitor frekuensi dan
berhubungan dengan diharapkan resiko perfusi irama jantung
cedera kepala serebral dapat teratasi.
Dengan kriteria hasil : b. Monitor peningkatan
tekanan darah
a. Tidak ada tanda-tanda
c. Monitor penurunan
peningkatan tekanan frekuensi jantung
intrkranial
Terapeutik :
a. Berikan posisi semi
fowler
b. Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
Edukasi :
a. Anjurkan
mempertahankan posisi semi
fowler
b. Anjurkan beraktifitas
fisik sesuai toleransi

C. Daftar Pustaka
Lemone, priscilla. 2016. Buku ajar keperawatan Medikal-Bedah: gangguan neurologi,
Ed.5. Jakarta: EGC.

Tim Pokja SDKI DPP PNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PNI. 2018. Standar intervensi keperawatan Indonesia : PPNI

Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosis Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Jilid 1. Jakarta : Mediaction.
CATATAN:
Pemeriksaan Refleks Patologis
a. KAKI
 Refleks babinski
Melakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari tumit melengkung
sampai pangkal ibu jari
Menentukan refleks babinski positif bila timbul dorsum flexi ibu jari kaki, di ikuti
pengembangan dan ekstensi jari-jari kaki (fanning).
 Refleks chaddock
Melakukan penggoresan terhadap melingkari maleolus sampai kulit dorsum pedis
bagian lateral atau eksterna, hasil positif nya sama dengan babinski
 Refleks openheim
Melakukan pengurutan dari proksimal ke distal secara keras dengan jari telunjuk
dan ibu jari tangan terhadap kulit yang menutupi os tibia atau dengan
menggunakan sendi intrafangeal jari telunjuk dan jari tengah dengan tangan
mengepal, hasil positifnya sama dengan refleks babinski.
 Refleks Gordon
Melakukan pemencetan otot betis keras, hasil positifnya sama dengan refleks
babinski
 Refleks schaeffer
Melakukan pemencetan tendon Achilles secara keras, hasil positif sama degan
babinski
 Refleks gonda
Melakukan penjepitan jari kaki ke empat pasien, di plantar fleksikan maksimal,
dilepas, hasil posifnya sama dengan refleks babinski
b. TANGAN
 Refleks tromner
Pemeriksa mendorong fleksikan jari tengah pasien, kemudian melakukan
pencolekan pada ujung jari tengah, hasil positifnya akan di ikuti fleksi jari
telunjuk dan ibu jari serta jari jari setiap kali di colek-colek.
 Refleks Hoffman
Jari tengah pasien dijepit dan di goreskan pada kuku dengan ujung kuku ibu jari
pemeriksa akan di ikuti fleksi sejenak ibujari, jari telunjuk serta jari-jari lainnya
setiap kali kuku jari tengah digores.
Aspek Klinis
Pemeriksaan refleks patologis unguk menentukan letak kelainan :
Bila refleks patologis positif letak kelainan UMN
Bila refleks patologis negatif maka normal atau kelainan LMN

Skala GCS
Aspek klinis
Pemeriksaan untuk menentukan derajat kesadaran
 Sadar :GCS 15
 Kesadaran menurun :GCS 4-14
 Koma : GCS 3

Indikasi Kraniotomi
 Adanya tanda herniasi/lateralisasi
 Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan
Kepala tidak bisa dilakukan.
 Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker dan jaringan
epileptogenic
 Mengurangi tekanan intrakranial.
 Mengevakuasi bekuan darah .
 Pembenahan organ-organ intrakranial,
 Mengaspirasi perdarahan (hemorrage),
 Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
 Peradangan dalam otak
 Trauma pada tengkorak.

Anda mungkin juga menyukai