Negara tidak hanya abstrak, tetapi juga sangat kompleks untuk dibicarakan.
Kompleksitas ini tercermin dari makna, asal-usul kemunculannya, struktur dan fungsi
hingga pada perspektifnya yang digunakan para teoritisi atau ilmuwan dalam
membincangkan persoalan negara. Karena itu, bab ini sengaja dirancang untuk
membedah sosok dan dinamika pemahaman negara. Dimana konsep negara ini
merupakan salah satu pokok kajian dalam studi ilmu politik. Tidak hanya itu, negara
juga merupakan kajian yang terpenting dan sentral karena mengungguli tema-tema
lainnya dalam studi ilmu politik.
Makna Negara
Kata “negara”—sama dengan “staat” dalam bahasa Jerman atau ‘state’ dalam bahasa
Inggris—mempunyai dua arti. Pertama, negara adalah masyarakat atau wilayah yang
merupakan satu kesatuan politis. Kedua, negara adalah lembaga pusat yang menjamin
kesatuan politis itu, yang menata dan dengan demikian menguasai wilayah itu. Dari dua
arti negara ini, para filsuf politik lebih berkonsentrasi pada poin yang kedua, yakni
negara sebagai lembaga pemersatu suatu masyarakat melalui penetapan aturanaturan
hukum yang mengikat.
Pakar lain mengatakan bahwa negara adalah sebuah unit teritori yang diperintah oleh
kekuasaan yang berdaulat, dan melibatkan pejabat negara, tanah air, tentara yang
dipersenjatai secara khusus untuk membedakan mereka dengan warga lainnya.
Sementara Ramlan Surbakti memetakan dua arus besar pemikiran mengenai konsep
negara yakni pada tataran individual (Norlinger) dan kelembagaan (Skocpol). Negara
pada tataran individu adalah sekumpulan individu yang memiliki sejumlah
kewenangan, termasuk menyusun dan melaksanakan keputusan/kebijakan yang
mengikat semua pihak di wilayah tertentu. Dalam konteks ini negara dianggap sebagai
bagian dari sekumpulan individu yang menduduki jabatan pemerintahan, khususnya
presiden dan para menteri.
Perbedaan tafsir dalam memberikan makna negara di kalangan para ilmuwan sosial dan
politik merupakan sebuah kenyataan sejarah, yang harus diterima. Bahkan, perbedaan
konsepsi ini menunjukkan bahwa konsepsi negara sangat dinamis dan berkembang
dalam penstudi ilmu-ilmu sosial. Karya suntingan yang dilakukan William Outhwaite
yang bertajuk Pemikiran Sosial Modern, kembali memberikan sebuah pemaknaan baru
mengenai negara. Menurutnya, pertama, negara adalah seperangkat institusi dan
institusi ini diisi dengan personil negara. Institusi terpenting adalah alat kekerasan.
Kedua, institusi ini ada di pusat teritori biasanya disebut dengan society. Ketiga, negara
memonopoli pembuatan aturan di dalam batas wilayahnya.
Pada titik ini, kita bisa mengatakan bahwa mengkonseptualisasikan negara adalah
perkara yang cukup rumit, sehingga definisi mengenai negara bermacam-macam. Tidak
ada dua orang mempunyai definisi yang sama tentang negara. Menurut beberapa
sarjana, di antara masing-masing definisi tersebut malahan saling bertentangan168
atau bisa juga akan saling melengkapi.
Ilmuwan lainnya adalah para penganut teori fungsionalis, yang memberikan penekanan
bahwa terbentuknya negara sebagai suatu faktor integrasi masyarakat dan melihat
kemunculannya sebagai suatu struktur organisasi yang perlu untuk mengkoordinasikan
sistem-sistem sosial-budaya yang kompleks. Sementara para teoritisi ekologis
berpandangan pentingnya peranan tekanan penduduk dan lingkungan dalam
pembentukan negara. Ada banyak sarjana yang memberikan perhatian kepada peranan
faktor-fator demografis dan ekologis dalam memunculkan negara, tetapi teori yang
paling terkenal adalah teori ekologis dari Carneiro. Bahkan, teori ini sesungguhnya lebih
dari hanya sebagai teori asal mula negara, tetapi teori ini adalah teori tentang seluruh
arah evolusi politik.
Tafsir yang lain datang dari pakar antropologi politik. Ada dua tokoh yang patut dicatat,
yakni Linton dan Fried. Pengamatan Linton menyebutkan ada dua cara utama
pembentukan negara: persekutuan volunter dan dominasi yang dipaksakan atas asas
superioritas kekuatan. Yang kedua itulah yang sering terjadi. Negara-negara hadir
melalui penggabungan dua suku atau lebih, ataupun mulai tunduknya kelompok-
kelompok yang lebih lemah terhadap yang lebih kuat173. Fried ketika menjelaskan
terbentuknya negara dibagi menjadi dua yakni negara primer dan sekunder. Yang
pertama adalah negara-negara yang dibentuk, melalui perkembangan internal dan
eksternal, dengan tanpa rangsangan dari luar bentuk-bentuk sebelum adanya negara
itu. Hal ini terjadi di negara-negara di lembah sungai Niil, China, Peru, dan Meksiko.
Yang kedua dihasilkan dari jawaban yang dipaksakan oleh hadirnya negara-negara
tetangga, sebuah pusat kekuasaan yang segera memodifikasi keseimbangan yang
dibangunnya atas kawasan lebih luas. Sejumlah negara di Asia, Eropa, dan Afrika, telah
dibangun atas dasar metode ini.
Fungsi Negara
Setelah menguraikan definisi dan asal-usul terbentuknya sebuah negara, maka bahasan
berikutnya akan diarahkan pada fungsi pokok negara. Secara teoritik perbincangan
mengenai fungsi negara sangat variatif. Hal ini bisa terjadi karena para teoritisi negara
memiliki pandangan yang berbeda dalam memberikan penafsiran tentang fungsi
negara. Pemikir politik kontemporer asal Amerika Serikat, yakni Francis Fukuyama
menulis:
“negara mempunyai fungsi yang sangat beragam, mulai dari yang baik hingga yang
buruk. Kekuasaan untuk memaksa yang memungkinkan mereka melindungi hak milik
pribadi dan menciptakan keamanan publik juga memungkinkan mereka mengambil alih
hak milik pribadi dan melanggar hak-hak warga negera mereka”.
Pada bagian yang lain, Fukuyama secara rinci memaparkan fungsi-fungsi umum negara.
Menurut penulis buku The End of History and the Last Man yang terbit pada tahun 1992
disebutkan ada tiga fungsi negara, yakni fungsi negara minimal, fungsi negara
menengah dan fungsi negara aktivis. Untuk lebih rincinya bisa dilihat pada tabel 6.1
Pakar politik lainya adalah Karl W Deutsch. Menurutnya ada sembilan yang menjadi
fungsi negara. Pertama, memelihara tatanan dan prediktabilitas di dalam masyarakat.
Kedua, pengupayaan kekuasaan yang diharapkan, kekayaan, dan kedudukan sosial yang
lebih tinggi seiring dengan menggunakan kekerasan bagi organisasi dan aparat negara
dan bagi semua atau sebagian penduduk dalam wilayah kekuasaannya. ketiga,
mengupayakan kemakmuran melalui pembangunan ekonomi terencana atau diatur
oleh pemerintah. Keempat, pengupayaan kemakmuran melalui pembangunan dan
kompetisi “laissez faire’ di dalam pasar yang dasar pemilikannya dilindungi pemerintah
dan syarat lain yang memungkinkan berfungsi. Kelima, pemberian kesejahteraan
melalui pelayanan sosial, media, dan pendidikan. Keenam, mengoordinasikan dan
mengintegrasikan kegiatan dan sikap yang ada dalam masyarakat. Ketujuh, memajukan
proses belajar menyesuaikan diri dalam segala tingkatan masyarakat. Kedelapan,
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk belajar berinisiatif melalui struktur dan
proses baru yang memungkinkannya berinisiatif dan berkembang dalam menghadapi
perkembangan baru. Kesembilan, meraih beberapa tujuan khusus seperti kebebasan,
atau pembaharuan tatanan sosial atau budaya.
Pandangan yang berbeda mengenai fungsi negara dating dari G.A. Jacobsen dan H.M
Lipman sebagaimana dikutip Ceppy Haricahyono menyebutkan tiga fungsi negara.
Pertama fungsi esensial yaitu fungsi yang berkaitan langsung dengan esensial negara,
misalnya pemeliharaan angkatan bersenjata, badan-badan peradilan, hubungan luar
negeri dan seterusnya. Fungsi kedua adalah jasa. Fungsi ini tidak berkaitan langsung
dengan eksistensi negara, tetapi karena kebutuhan manusia masyarakat pada saatsaat
tertentu. Fungsi ini lebih berhubungan dengan penyediaan jasa negara terhadap
rakyatnya, seperti pemeliharaan fakir miskin, pembangunan sarana transportasi, dan
jaminan kesehatan. Ketiga, fungsi perniagaan, yaitu fungsi yang didasari oleh motivasi
memperoleh keuntungan seperti pelayanan pos, telepon, dan jaminan deposito.
• Kesatuan
Bentuk negara kesatuan berangkat dari asumsi bahwa formasi negara kesatuan
dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan menklaim seluruh
wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. Tidak ada kesepakatan para penguasa
daerah, apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang
termasuk di dalamnya bukanlah negara-negara bagian wilayahnya yang bersifat
independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-
wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat
untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya
Selanjutnya, Andi A Mallarangeng dan M Ryaas Rasyid mengatakan bahwa dalam negara
kesatuan, negaralah yang menjadi sumber kekuasaan. Keuasaan daerah pada dasarnya
adalah kekuasaan pusat yang didesentralisasikan, dan selanjutnya terbentuklah daerah-
daerah otonomi185. Daerah-daerah otonom ini berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Tetapi perlu dicatat bahwa daerah-daerah otonom tersebut tidak
mempunyai keuasaan atau wewenang yang tertinggi mengenai apapun dalam lapangan
pemerintahan. Karena dalam tingkatan terakhir dan tertinggi putusan itu berada di
tangan pemerintah pusat. Dengan kata lain, pemerintah pusatlah yang berhak
memutuskan segala sesuatu di dalam negara tersebut. Dengan demikian hakikat dari
negara kesatuan ialah kedaulatannya tidak terbagi, atau dalam istilah lain kekuasaan
pemerintah pusat tidak dibatasi, bahkan pemerintah pusat ditempatkan sebagai
pengawas kekuasaan tertinggi. Akibatnya adalah warga negara dalam negara kesatuan
hanya merasakan adanya satu pemerintah saja.
• Federalisme
Bentuk yang kedua adalah negara federalisme. Federalisme adalah salah satu bentuk
sistem atau ognaisasi politik yang banyak digunakan. Di kalangan masyarakat
internasional kontemporer, paling tidak ada sembilan belas negara federasi, mulai dari
yang paling mini seperti Republik Islam Federal Komoro sampai yang raksasa seperti
Amerika Serikat. Negara-negara demokrasi yang besar dilihat dari jumlah penduduk
dan luas wilayahnya termasuk di dalamnya, sehingga menopang argumen yang
mengatakan bahwa negara yang besar dan demokratis berbentuk federasi.
Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan negara federal? Pertanyaan ini
dijawab Soehino dalam bukunya Ilmu Negara. Menurutnya negara federal adalah:
“negara yang tersusun dari beberapa negara yang semula berdiri sendiri-sendiri, yang
kemudian negara-negara-negara itu mengadakan ikatan kerjasama yang efektif, tetapi
negara tersebut masih ingin mempunyai wewenang yang dapat diurus sendiri. Jadi di sini
tidak semua urusan itu diserahkan kepada pemerintah federal, tetapi masih ada beberapa
urusan tertentu yang tetap diurus sendiri”.
Adalah Daniel J Elasar sebagaimana dikutip oleh Afan Gaffar, Ryaas Rasyid, dan Saukani
mendefinisikan federalisme merupakan suatu bentuk asosiasi politik dan organisasi
yang menyatukan unitunit politik yang terpisah ke dalam suatu sistem politik yang lebih
komprehensif, dan mengijinkan masing-masing unit politik tersebut untuk tetap
memiliki atau menjaga integrasi politiknya secara fundamental. Federalisme dapat juga
dipahami sebagai mekanisme berbagi kekuasaan secara konstitusional dimana
kombinasi dari “berpemerintahan sendiri” dan “berbagi kekuasaan” dijamin dalam
konstitusi tersebut. Selanjutnya, di dalam negara federal, unit-unit politik memiliki
otonomi secara utuh, baik yang menyangkut wewenang eksekutif, ataupun legislatif,
dan bahkan juga menyangkut kekuasaan yudikatif. Di dalam negara federal diakui pula
mekanisme berbagi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah bagian,
dan antara pemerintahan bagian dengan pemerintah daerah.