Anda di halaman 1dari 9

NEGARA

Negara tidak hanya abstrak, tetapi juga sangat kompleks untuk dibicarakan.
Kompleksitas ini tercermin dari makna, asal-usul kemunculannya, struktur dan fungsi
hingga pada perspektifnya yang digunakan para teoritisi atau ilmuwan dalam
membincangkan persoalan negara. Karena itu, bab ini sengaja dirancang untuk
membedah sosok dan dinamika pemahaman negara. Dimana konsep negara ini
merupakan salah satu pokok kajian dalam studi ilmu politik. Tidak hanya itu, negara
juga merupakan kajian yang terpenting dan sentral karena mengungguli tema-tema
lainnya dalam studi ilmu politik.

Makna Negara
Kata “negara”—sama dengan “staat” dalam bahasa Jerman atau ‘state’ dalam bahasa
Inggris—mempunyai dua arti. Pertama, negara adalah masyarakat atau wilayah yang
merupakan satu kesatuan politis. Kedua, negara adalah lembaga pusat yang menjamin
kesatuan politis itu, yang menata dan dengan demikian menguasai wilayah itu. Dari dua
arti negara ini, para filsuf politik lebih berkonsentrasi pada poin yang kedua, yakni
negara sebagai lembaga pemersatu suatu masyarakat melalui penetapan aturanaturan
hukum yang mengikat.

Pakar lain mengatakan bahwa negara adalah sebuah unit teritori yang diperintah oleh
kekuasaan yang berdaulat, dan melibatkan pejabat negara, tanah air, tentara yang
dipersenjatai secara khusus untuk membedakan mereka dengan warga lainnya.
Sementara Ramlan Surbakti memetakan dua arus besar pemikiran mengenai konsep
negara yakni pada tataran individual (Norlinger) dan kelembagaan (Skocpol). Negara
pada tataran individu adalah sekumpulan individu yang memiliki sejumlah
kewenangan, termasuk menyusun dan melaksanakan keputusan/kebijakan yang
mengikat semua pihak di wilayah tertentu. Dalam konteks ini negara dianggap sebagai
bagian dari sekumpulan individu yang menduduki jabatan pemerintahan, khususnya
presiden dan para menteri.

Negara dalam arti tataran kelembagaan adalah seperangkat organisasi administratif,


kepolisian, dan militer. Masing-masing organisasi dipimpin, dikelola, dan dikoordinasi
oleh pihak eksekutif. Termasuk dalam organisasi ini adalah lembaga pembuat kebijakan
yang mewakili kepentingan masyarakat, seperti parlemen, partai politik, dan organisasi
korporatis serta lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dimobilisasi untuk ikut
menjalankan kebijakan serta menjaga kepentingan dan kekuasaan negara. Tanpa
mengurangi eksistensi para teoritisi di atas, konsepsi negara yang paling banyak dirujuk
pendapatnya adalah Max Weber (1946). Pakar birokrasi dan ilmuwan sosial terkenal
asal Jerman ini, mendefinisikan negara sebagai suatu “komunitas manusia yang berhasil
mengklaim monopoli atas penggunaan kekerasan yang sah atas kekuatan fisik dalam
sebuah teritori tertentu”. Pendapat ini ingin mengatakan bahwa hakikat negara adalah
penegakan atau pemaksaan: kemampuan pamungkas mengirim seseorang dengan
seragam dan pistol untuk memaksa orang-orang mematuhi UU negara.

Perbedaan tafsir dalam memberikan makna negara di kalangan para ilmuwan sosial dan
politik merupakan sebuah kenyataan sejarah, yang harus diterima. Bahkan, perbedaan
konsepsi ini menunjukkan bahwa konsepsi negara sangat dinamis dan berkembang
dalam penstudi ilmu-ilmu sosial. Karya suntingan yang dilakukan William Outhwaite
yang bertajuk Pemikiran Sosial Modern, kembali memberikan sebuah pemaknaan baru
mengenai negara. Menurutnya, pertama, negara adalah seperangkat institusi dan
institusi ini diisi dengan personil negara. Institusi terpenting adalah alat kekerasan.
Kedua, institusi ini ada di pusat teritori biasanya disebut dengan society. Ketiga, negara
memonopoli pembuatan aturan di dalam batas wilayahnya.

Pada titik ini, kita bisa mengatakan bahwa mengkonseptualisasikan negara adalah
perkara yang cukup rumit, sehingga definisi mengenai negara bermacam-macam. Tidak
ada dua orang mempunyai definisi yang sama tentang negara. Menurut beberapa
sarjana, di antara masing-masing definisi tersebut malahan saling bertentangan168
atau bisa juga akan saling melengkapi.

Asal Usul Negara


Berbagai teori yang berusaha menjelaskan proses umum terbentuknya negara.
Keragaman teori ini akan diuraikan pada bagian ini. Secara general perdebatan asal usul
negara sudah dimulai Abad 17. Perdebatan dipusatkan pada pertanyaan apakah negara
lahir dan berkembang melalui kesepakatan atau konflik. Para teoritis kontrak sosial
seperti Thomas Hobbes dan John Locke percaya bahwa individu secara sukarela tunduk
negara dengan imbalan perlindungan untuk pribadi dan kekayaan negara. Penganut
teori konflik mengatakan bahwa negara muncul karena penaklukan, khususnya
penaklukan masyarakat pertanian oleh kaum pastoralis. Kaum Marxis berpendapat
bahwa terbentuknya suatu negara sebagai akibat dari perjuangan kelas. Lebih jauh lagi,
para penganut teori Marxis bahkan berasumsi bahwa kelas berkembang lebih dulu baru
negara.169 Selanjutnya teori manajerial berpendapat bahwa munculnya sebuah negara
untuk mengatur kegiatan-kegiatan tertentu dari kompleksitas suatu struktur. Kegiatan
ini memerlukan administratur profesional atau penguasa ‘despotik’. Sementara teori
integrasi lebih menekankan bahwa pembentukan negara pada faktor-faktor yang
menentang kekuatan sentrifugal yang mengancam masyarakat.

Ilmuwan lainnya adalah para penganut teori fungsionalis, yang memberikan penekanan
bahwa terbentuknya negara sebagai suatu faktor integrasi masyarakat dan melihat
kemunculannya sebagai suatu struktur organisasi yang perlu untuk mengkoordinasikan
sistem-sistem sosial-budaya yang kompleks. Sementara para teoritisi ekologis
berpandangan pentingnya peranan tekanan penduduk dan lingkungan dalam
pembentukan negara. Ada banyak sarjana yang memberikan perhatian kepada peranan
faktor-fator demografis dan ekologis dalam memunculkan negara, tetapi teori yang
paling terkenal adalah teori ekologis dari Carneiro. Bahkan, teori ini sesungguhnya lebih
dari hanya sebagai teori asal mula negara, tetapi teori ini adalah teori tentang seluruh
arah evolusi politik.

Tafsir yang lain datang dari pakar antropologi politik. Ada dua tokoh yang patut dicatat,
yakni Linton dan Fried. Pengamatan Linton menyebutkan ada dua cara utama
pembentukan negara: persekutuan volunter dan dominasi yang dipaksakan atas asas
superioritas kekuatan. Yang kedua itulah yang sering terjadi. Negara-negara hadir
melalui penggabungan dua suku atau lebih, ataupun mulai tunduknya kelompok-
kelompok yang lebih lemah terhadap yang lebih kuat173. Fried ketika menjelaskan
terbentuknya negara dibagi menjadi dua yakni negara primer dan sekunder. Yang
pertama adalah negara-negara yang dibentuk, melalui perkembangan internal dan
eksternal, dengan tanpa rangsangan dari luar bentuk-bentuk sebelum adanya negara
itu. Hal ini terjadi di negara-negara di lembah sungai Niil, China, Peru, dan Meksiko.
Yang kedua dihasilkan dari jawaban yang dipaksakan oleh hadirnya negara-negara
tetangga, sebuah pusat kekuasaan yang segera memodifikasi keseimbangan yang
dibangunnya atas kawasan lebih luas. Sejumlah negara di Asia, Eropa, dan Afrika, telah
dibangun atas dasar metode ini.

Perlu pula ditambahkan bahwa kajian kontemporer mengenai asal-usul negara


disebutkan bahwa negara sebagai gejala modern, yang diperlukan oleh manusia modern
untuk mengorganisasi kehidupan bersama secara modern. Sebagaimana diuraikan oleh
Anthony Giddens dalam The State-Nation and Violence (1985), di Eropa, pada masa
feodal, misalnya tidak dikenal “negara” dengan batas-batas wilayah yang tegas. Pada
fase berikutnya, ketika absolutisme berhasil menaklukkan penguasa feodal, negara
masih pada taraf embrio belum mempunyai sistem administrasi, sistem perpajakan, dan
sebagainya. Baru ketika muncul nation-state munculllah negara yang mempunyai batas
wilayah yang tegas, dilengkapi sistem administrasi, dan sistem perpajakan, juga dengan
ideologi nasionalisme. ‘Warga negara’ dituntut untuk setia kepada negara dan negara
berkewajiban melindungi warga negaranya.

Fungsi Negara
Setelah menguraikan definisi dan asal-usul terbentuknya sebuah negara, maka bahasan
berikutnya akan diarahkan pada fungsi pokok negara. Secara teoritik perbincangan
mengenai fungsi negara sangat variatif. Hal ini bisa terjadi karena para teoritisi negara
memiliki pandangan yang berbeda dalam memberikan penafsiran tentang fungsi
negara. Pemikir politik kontemporer asal Amerika Serikat, yakni Francis Fukuyama
menulis:
“negara mempunyai fungsi yang sangat beragam, mulai dari yang baik hingga yang
buruk. Kekuasaan untuk memaksa yang memungkinkan mereka melindungi hak milik
pribadi dan menciptakan keamanan publik juga memungkinkan mereka mengambil alih
hak milik pribadi dan melanggar hak-hak warga negera mereka”.

Pada bagian yang lain, Fukuyama secara rinci memaparkan fungsi-fungsi umum negara.
Menurut penulis buku The End of History and the Last Man yang terbit pada tahun 1992
disebutkan ada tiga fungsi negara, yakni fungsi negara minimal, fungsi negara
menengah dan fungsi negara aktivis. Untuk lebih rincinya bisa dilihat pada tabel 6.1
Pakar politik lainya adalah Karl W Deutsch. Menurutnya ada sembilan yang menjadi
fungsi negara. Pertama, memelihara tatanan dan prediktabilitas di dalam masyarakat.
Kedua, pengupayaan kekuasaan yang diharapkan, kekayaan, dan kedudukan sosial yang
lebih tinggi seiring dengan menggunakan kekerasan bagi organisasi dan aparat negara
dan bagi semua atau sebagian penduduk dalam wilayah kekuasaannya. ketiga,
mengupayakan kemakmuran melalui pembangunan ekonomi terencana atau diatur
oleh pemerintah. Keempat, pengupayaan kemakmuran melalui pembangunan dan
kompetisi “laissez faire’ di dalam pasar yang dasar pemilikannya dilindungi pemerintah
dan syarat lain yang memungkinkan berfungsi. Kelima, pemberian kesejahteraan
melalui pelayanan sosial, media, dan pendidikan. Keenam, mengoordinasikan dan
mengintegrasikan kegiatan dan sikap yang ada dalam masyarakat. Ketujuh, memajukan
proses belajar menyesuaikan diri dalam segala tingkatan masyarakat. Kedelapan,
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk belajar berinisiatif melalui struktur dan
proses baru yang memungkinkannya berinisiatif dan berkembang dalam menghadapi
perkembangan baru. Kesembilan, meraih beberapa tujuan khusus seperti kebebasan,
atau pembaharuan tatanan sosial atau budaya.

Pandangan yang berbeda mengenai fungsi negara dating dari G.A. Jacobsen dan H.M
Lipman sebagaimana dikutip Ceppy Haricahyono menyebutkan tiga fungsi negara.
Pertama fungsi esensial yaitu fungsi yang berkaitan langsung dengan esensial negara,
misalnya pemeliharaan angkatan bersenjata, badan-badan peradilan, hubungan luar
negeri dan seterusnya. Fungsi kedua adalah jasa. Fungsi ini tidak berkaitan langsung
dengan eksistensi negara, tetapi karena kebutuhan manusia masyarakat pada saatsaat
tertentu. Fungsi ini lebih berhubungan dengan penyediaan jasa negara terhadap
rakyatnya, seperti pemeliharaan fakir miskin, pembangunan sarana transportasi, dan
jaminan kesehatan. Ketiga, fungsi perniagaan, yaitu fungsi yang didasari oleh motivasi
memperoleh keuntungan seperti pelayanan pos, telepon, dan jaminan deposito.

Daftar fungsi-fungsi negara sebagaimana disebutkan oleh Fukuyama, Karl W Deutsch,


serta G.A. Jacobsen dan H.M Lipman sudah tentu membutuhkan kapasitas negara untuk
merealisasikan. Dalam usaha merealisasikan fungsi itu membutuhkan suatu negara
yang kuat yang ditandai oleh kemampuan menjamin bahwa semua hukum dan
kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan
ancaman, paksaan, dan kecemasan yang berlebihan. Karena itu, elemen dasar yang ada
pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Atau dalam istilah
Munafrizal Manan, negara kuat adalah ‘negara yang tingkat otonomi dan dukungan
masyarakatnya tinggi. Negara bertindak berdasarkan preferensinya dan masyarakat
selalu mendukung tindakan-tindakannya. Secara teoritis ada dua cara dalam rangka
memperkuat sebuah negara menurut Fukuyama. Pertama, ‘sejauhmana lingkup fungsi
negara dijalankan. Kedua, kemampuan negara merumuskan, menjalankan, dan
menegakkan berbagai kebijakan yang dibuat

Dua Bentuk Negara


Persoalan bentuk negara masih menyita perhatian di kalangan ilmuwan politik dan
pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, perdebatan bentuk negara pernah mencuat
dan menjadi wacana publik selama beberapa bulan. Kemunculan wacana bentuk negara
apakah kesatuan atau federalisme bertepatan dengan derasnya proses liberalisasi
politik pasca runtuhnya kekuasaan Jenderal Besar Soeharto. Adalah Andi A
Mallarangeng dan M Ryaas Rasyid dalam tulisannya “Otonomi dan Federalisme”
menyebutkan bahwa dalam teori pemerintahan, secara garis besar dikenal adanya dua
model dalam formasi negara, yakni negara federal dan model negara kesatuan.
Pemetaan bentuk negara semacam ini ditemukan pula dalam karya klasik Meriam
Budiarjo (2008), Soehino (1980), CP. Strong (1966), Cheppy Haricahyono (1986), dan
Afan Gaffar, Ryaas Rasyid, dan Saukani (2002).

• Kesatuan
Bentuk negara kesatuan berangkat dari asumsi bahwa formasi negara kesatuan
dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan menklaim seluruh
wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. Tidak ada kesepakatan para penguasa
daerah, apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang
termasuk di dalamnya bukanlah negara-negara bagian wilayahnya yang bersifat
independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-
wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat
untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya

Selanjutnya, Andi A Mallarangeng dan M Ryaas Rasyid mengatakan bahwa dalam negara
kesatuan, negaralah yang menjadi sumber kekuasaan. Keuasaan daerah pada dasarnya
adalah kekuasaan pusat yang didesentralisasikan, dan selanjutnya terbentuklah daerah-
daerah otonomi185. Daerah-daerah otonom ini berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Tetapi perlu dicatat bahwa daerah-daerah otonom tersebut tidak
mempunyai keuasaan atau wewenang yang tertinggi mengenai apapun dalam lapangan
pemerintahan. Karena dalam tingkatan terakhir dan tertinggi putusan itu berada di
tangan pemerintah pusat. Dengan kata lain, pemerintah pusatlah yang berhak
memutuskan segala sesuatu di dalam negara tersebut. Dengan demikian hakikat dari
negara kesatuan ialah kedaulatannya tidak terbagi, atau dalam istilah lain kekuasaan
pemerintah pusat tidak dibatasi, bahkan pemerintah pusat ditempatkan sebagai
pengawas kekuasaan tertinggi. Akibatnya adalah warga negara dalam negara kesatuan
hanya merasakan adanya satu pemerintah saja.

• Federalisme
Bentuk yang kedua adalah negara federalisme. Federalisme adalah salah satu bentuk
sistem atau ognaisasi politik yang banyak digunakan. Di kalangan masyarakat
internasional kontemporer, paling tidak ada sembilan belas negara federasi, mulai dari
yang paling mini seperti Republik Islam Federal Komoro sampai yang raksasa seperti
Amerika Serikat. Negara-negara demokrasi yang besar dilihat dari jumlah penduduk
dan luas wilayahnya termasuk di dalamnya, sehingga menopang argumen yang
mengatakan bahwa negara yang besar dan demokratis berbentuk federasi.
Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan negara federal? Pertanyaan ini
dijawab Soehino dalam bukunya Ilmu Negara. Menurutnya negara federal adalah:
“negara yang tersusun dari beberapa negara yang semula berdiri sendiri-sendiri, yang
kemudian negara-negara-negara itu mengadakan ikatan kerjasama yang efektif, tetapi
negara tersebut masih ingin mempunyai wewenang yang dapat diurus sendiri. Jadi di sini
tidak semua urusan itu diserahkan kepada pemerintah federal, tetapi masih ada beberapa
urusan tertentu yang tetap diurus sendiri”.

Adalah Daniel J Elasar sebagaimana dikutip oleh Afan Gaffar, Ryaas Rasyid, dan Saukani
mendefinisikan federalisme merupakan suatu bentuk asosiasi politik dan organisasi
yang menyatukan unitunit politik yang terpisah ke dalam suatu sistem politik yang lebih
komprehensif, dan mengijinkan masing-masing unit politik tersebut untuk tetap
memiliki atau menjaga integrasi politiknya secara fundamental. Federalisme dapat juga
dipahami sebagai mekanisme berbagi kekuasaan secara konstitusional dimana
kombinasi dari “berpemerintahan sendiri” dan “berbagi kekuasaan” dijamin dalam
konstitusi tersebut. Selanjutnya, di dalam negara federal, unit-unit politik memiliki
otonomi secara utuh, baik yang menyangkut wewenang eksekutif, ataupun legislatif,
dan bahkan juga menyangkut kekuasaan yudikatif. Di dalam negara federal diakui pula
mekanisme berbagi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah bagian,
dan antara pemerintahan bagian dengan pemerintah daerah.

Misalnya negara federal diberi kekuasaan penuh di bidang moneter, pertahanan,


peradilan, dan hubungan luar negeri. Sementara kekuasaan lainnya cenderung tetap
dipertahankan oleh negara bagian, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial
dan keamanan masyarakat (kepolisian). Alur pikir di atas sebenarnya menggambarkan
soal ciri negara federal, dimana kekuasaan pemerintah dibagi antara kekuasaan federal
dan kekuasaan negara bagian. Menurut CP. Strong salah satu ciri dari negara federal
ialah bahwa ia mencoba menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya bertentangan yaitu
kedaulatan negara fedaral dalam keseluruhannya dan kedaulan negara bagian.
Penyelenggaraan kedaulatan keluar dari negara-negara bagian diserahkan sama sekali
kepada pemerintah federal, sedangkan kedaulatan ke dalam dibatasi. Satu prinsip yang
dipegang teguh pada negara federal yaitu bahwa soal-soal yang menyangkut negara
dalam keseluruhannya diserahkan kepada kekuasaan federal. Jadi dalam negara federal
untuk soal-soal yang menyangkut negara bagian belaka dan yang tidak termasuk
kepentingan nasional, diserahkan kepada kekuasaan negara bagian dan untuk halhal
semacam ini negara bagian bebas sama sekali dari pengaruh pemerintah federal.
Patut pula dicatat bahwa negara federal itu juga merupakan sebuah sistem yang
memberikan kompensasi kepada keadaan yang tidak berimbang dalam hal yang
berkenaan dengan kekuasaan kawasan tertentu. Wilayah-wilayah yang kurang memiliki
pengaruh secara ekonomis maupun demografis memperoleh pengaruh politik di
jenjang pemerintahan nasional. Wilayah-wilayah yang terlampau terwakili akan
memperoleh bagian dari anggaranpemerintah federal yang agak kurang berimbang
dibandingkan dengan jumlah penduduknya.

Dalam konteks sekarang pengalaman negara-negara federal juga menunjukkan ada


gerak atau arus yang sangat menonjol dalam federalisme. Gerak pertama, adalah
unifikasi. Dalam hal ini, beberapa negara atau satuan teritori yang terpisah
menggabungkan diri menjadi sebuah federasi yang berlandaskan konstitusi tertulis.
Fokus utama gerak pertama adalah teritori. Maksudnya ketidakselerasan atau masalah
yang ingin ditangani berhubungan dengan teritori, seperti statusnya, kontrol atasnya,
otonominya, atau pemisahannya dari etnis yang lebih besar tempatnya berada. Gerak
kedua adalah penyebaran desentralisasi. Dalam hal ini, otoritas dan kekuasaan dari
pusat atau pemerintah umum disebarkan dan didesentralisasikan ke satuan-satuan
pemerintahan yang menjadi bagian federasi tersebut. Seperti hanya dengan gerak
pertama, gerak kedua ini juga dengan ketegangan, benturan, dan bahkan gerak mundur.
Tetapi, berbeda dari gerak pertama, fokus utama gerakan kedua adalah pemerintahan.
Maksudnya, ketidakselarasan atau masalah yang ingin ditangani berhubungan dengan
pemerintahan, seperti tipe sistem politik yang akan digunakan, penggantian pemerintah
pusat dan komposisinya, perlawanan dan pemberontakan terhadap pemerintah pusat,
perang saudara, ketidakselarasan horizontal dan lain-lainnya

Sumber : Muhtar Haboddin, M,harjul. Pengantar ilmu politik, UB Press, 2016

Anda mungkin juga menyukai