OLEH:
Pada bencana banjir bandang yang terjadi beberapa waktu lalu di Sentani, salah satu
pemicu naiknya debit air pada danau sentani adalah longsor yang terjadi di hulu
danau Sentani. Longsor yang terjadi di hulu itu juga mengalirkan material berupa
pohon dan batu-batu besar, material tersebut memicu naiknya debit air yang begitu
cepat, hal itu menyebabkan luapan air yang begitu besar debitnya tersebut mengalir
dari hulu menuju ke hilir tidak berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) lagi, tetapi
meluap dan merusak pemukiman di sekitar daerah pingiran danau Sentani.
Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dilakukan Kajian Risiko longsor di
sekitar hulu danau Sentani, guna mengantisipasi bencana banjir bandang seperti
yang sudah terjadi beberapa waktu lalu. Dan mencari faktor utama pemicu longsor
pada daerah tersebut, serta penanganan untuk jangka panjang supaya bisa
mengantisipasi jatuhnya korban jiwa akibat banjir bandang di waktu yang akan
datang.
Pemetaan potensi bahaya longsor terkonstentrasi menjadi dua aspek yaitu, aspek
fisik alami, dan aspek manusia. Aspek fisik alami mewakili unsur-unsur asli yang
terdapat di alam, mewakili nilai resistansi atau kecenderungan terhadap potensi
longsor, sedangkan aspek manusia mewakili unsur-unsur kegiatan maupun
aktivitas manusia yang mewakili resistansi atau malah memperbesar risiko longsor.
Bencana tanah longsor merupakan bencana yang kerap terjadi di daerah berkontur
curam, jenis tanah atau batuan spesifik seperti kepekaan terhadap air, kekar, atau
pelapukan. Potensi longsor juga membesar sebagai akibat aktivitas manusia yang
mengganggu keseimbangan lereng seperti pemotongan untuk pemukiman, trase
jalan, pencetakan kolam, pembuatan sawah, tata air yang kurang tepat dari sisi
teknis, dan lain sebagainya. Namun demikian, longsor memiliki pemicu utama.
Pemicu utama tersebut berupa aktivitas manusia seperti getaran kendaraan, mesin
alat berat, ledakan bom, dan lain sebagainya.
2.3.1 Jatuhan/Falls
Jatuhan adalah gerakan jatuh material lereng, bisa berupa batuan, tanah, ataupun
jatuhan debris tanpa interaksi antar bagian material yang longsor. Jatuhan terjadi
sangat cepat dan meluncur di udara mengikuti gaya gravitasi. Proses jatuhan ini
lebih disebabkan oleh terlepasnya material akibat bidang kekar, atau meluncur dari
posisi lain (discontinuity) yang disebabkan kecepatan awal yang tinggi. Jatuhan
pada material tanah biasanya diakibatkan oleh posisi material mudah tererosi
terletak diatas tanah yang lebih tahan erosi, semisal lapisan pasir bersih, material
granular, atau lanau, yang berada di atas lapisan lempung kaku yang padat atau
keras. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya jatuhan antara lain:
a. geometri lereng
b. sistem sambungan (joint) dan posisi kekar yang memungkinkan terjadinya
jatuhan;
c. kuat geser dari sambungan dan kekar;
d. gaya-gaya dari luar yang menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidakstabilan
seperti tambahan tekanan air dalam sambungan, pembekuan, atau getaran.
2.3.2 Robohan/jungkiran/topple
Robohan adalah gerakan material yang roboh, biasanya terjadi pada lereng curam,
terjal, sampai tegak, dengan bidang-bidang diskontinuitas yang relatif vertikal.
Posisi dip dari kekar (discontinuity) sangat menentukan terjadinya longsor tipe
robohan. Gerakan longsoran adalah mengguling hingga roboh atau terlepas dari
batuan induknya, tanpa perpindahan vertikal melewati udara. Faktor utama yang
menyebabkan robohan adalah hampir sama dengan faktor yang menyebabkan
jatuhan/falls.
2.3.3 Longsoran/slide
Secara terminologi umum, longsoran/slide memiliki cakupan seluruh tipe gerakan
perpindahan massa. Namun pengertian slide disini adalah jenis klasifikasi longsor
yang memiliki pengertian lebih spesifik, yaitu jenis longsoran dengan tipe gerakan
yang disebabkan oleh keruntuhan bidang geser di sepanjang satu atau lebih bidang
longsor. Massa yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-pecah dari posisi semula.
Secara garis besar Varnes (1978) membagi longsoran jenis ini ke dalam 2 (dua) sub
klasifikasi, yaitu:
a. longsoran dengan bidang gelincir lengkung (rotational slide), seperti ditunjukan
pada Gambar 2.1 tipe a;
b. longsoran dengan bidang gelincir datar (translational slide), sebagaimana
ditunjukan pada gambar 2.1 tipe b dan c.
Untuk membedakan longsoran berdasarkan kedalaman bidang gelincir, Broms
(1975) dalam Hardiyatmo (2012) memberi klasifikasi sebagaimana Tabel 2.1
2.3.4 Sebaran/spread
Menurut Cruden dan Varnes (1996), longsoran tipe sebaran merupakan kombinasi
dari pergerakan massa tanah dan massa batuan yang terpecah-pecah kedalam
material lunak di bawahnya. Pada longsoran tipe sebaran lateral, permukaan bidang
longsor tidak terletak di lokasi terjadinya gesekan terkuat. Longsoran tipe ini dapat
terjadi akibat proses likuifaksi tanah granular ataupun keruntuhan pada tanah
kohesif lunak. Gambar yang menjelaskan longsoran tipe ini adalah sebagaimana
ditunjukan pada gambar 2.1 Tipe dan jenis gerakan massa tanah (USGS, 2004)
huruf j.
2.3.5 Aliran/flow
Longsoran tipe aliran merupakan gerakan campuran material ke bawah lereng yang
mengalir seperti cairan kental. Gerakan ini terjadi pada banyak bidang geser yang
berbeda-beda, massa yang bergerak memiliki kadar air sangat tinggi. Tanah yang
terganggu ikatan antar partikelnya cenderung melonggar, menyerap air saat terjadi
awal longsoran. Hal tersebut menjadikan tanah berubah menjadi bubur.
Longsor tipe aliran dapat terjadi pada bidang geser relatif sempit, terutama pada
daerah lembah yang sempit diapit lereng curam, terjadi ketika hujan lebat menerpa
kawasan tersebut. Material yang terbawa longsor tipe aliran ini terdiri dari tanah,
kerikil, batu, kayu-kayuan, atau campuran runtuhan material penyusun lereng yang
ikut terbawa dan tergerus material longsoran. Material longsoran tersebut tidak
akan berhenti sebelum mencapai daerah berkontur landai atau datar.
Faktor pemicu gerakan tanah terdiri dari unsur alam, unsur non alam, atau
merupakan kombinasi keduanya yang secara aktif mengurangi stabilitas lereng.
Pemicu alam berupa curah hujan, gempa bumi, sedangkan pemicu non alam bisa
berupa getaran kendaraan maupun aktivitas manusia yang secara aktif
mempengaruhi sifat maupun kerentanan lereng.
Mekanisme hujan yang memicu terjadinya gerakan tanah melewati empat tahapan,
yaitu infiltrasi, kenaikan muka air tanah, penjenuhan lapisan tertentu yang berakibat
turunnya parameter kuat geser tanah, ketikstabilan dari sisi gaya pendorong dan
penahan lereng. Proses-proses tersebut terjadi dalam tempo waktu yang cukup
lama, namun tak jarang terjadi dalam rentang waktu teramat cepat. Kondisi tersebut
tergantung kondisi geologi, jenis tanah, vegetasi yang menutupi permukaan tanah,
juga faktor-faktor lain yang mengontrol kestabilan lereng.
Selain dipicu faktor alam, tataguna lahan sangat mempengaruhi kerentanan longsor.
Pembukaan hutan untuk aktivitas pertanian, perkebunan, sawah, atau kolam secara
sembarangan justru memperbesar potensi longsor. Jenis tanaman atau vegetasi pada
kawasan lereng, kelandaian pemotongan lereng , kelandaian pemotongan lereng
untuk trase jalan, pengembangan pemukiman, kawasan pariwisata, perhotelan, dan
lain sebagaianya, jika lalai memperhitungkan karakter atau sifat-sifat lereng, cepat
atau lambat akan memicu bencana longsor.
Pemetaan risiko yang memiliki banyak kelebihan adalah pemetaan berbasis spasial.
Pemetaan risiko dikalkulasi menggunakan SIG. Menghasilkan peta-peta tematik
sebagai unsur analisi peta risiko. Secara garis besar peta-peta tematik tersebut
terbagi menjadi 3 (tiga) unsur yaitu : peta ancaman, peta kerentanan, dan peta
kapasitas.
Peta risiko dihasilkan sesuai pembobotan pada unsur penyusun, yaitu pembobotan
pada unsur ancaman, unsur kerentanan, dan juga unsur kapasitas, penilaian bobot
akhir dalam SIG dilakukan otomatis dengan memasukan algoritma-algoritma
tertentu sesuai dengan tujuan pembuatan peta risiko.
Gambar 2.2 Korelasi hujan kumulatif 3 hari, P3, dengan kumalatif 15 hari
sebelumnya, P15 (Chleborad, 2003).
Gambar 2.3 Ambang batas bawah hujan pemicu longsor menurut Huang (2015).
2.9.2 Seleksi data dan penentuan stasiun hujan
Vennari (2014) melakukan studi hujan pemicu longsor dangkal pada area seluas
15.080 km2 di Calabria, Italia bagian selatan. Penelitian Vennari (2014)
menggunakan data historis kejadian longsor selama 16 (enam belas) tahun, periode
antara Januari 1996 hingga september 2011 dengan data sebanyak 251 longsoran.
Sumber data dikompilasi dari berbagai sumber, yaitu koran, jurnal, blog internet,
juga literatur atau publikasi ilmiah. Jenis data yang dikumpulkan mencakup: (i)
lokasi geografis termasuk koordinat latitude, longitude, dan elevasi; (ii) waktu atau
periode kejadian; (iii) tipe longsor berdasarkan Cruden dan Varnes (1996).
Setelah proses seleksi alat penakar hujan selesai, langkah selanjutnya adalah
mengidentifikasi data hujan. Vennari (2014) berpendapat bahwa proses penentuan
awal dan akhir hujan pemicu longsor adalah proses paling kritis dalam perhitungan
hujan ambang batas. Dalam menentukan durasi dari hujan, Vennari (2014)
melakukan pendekatan visual terhadap gradien kurva kumulatif hujan sebagaimana
diusulkan oleh Aleotti (2014), serta mempertimbangkan data meteorologi lokasi
penelitian. Kondisi hujan, sedangkan akhir dari hujan penentu longsor adalah
peristiwa longsor itu sendiri.
𝑃(𝐵ǀ𝐴).𝑃(𝐴)
P(AǀB) = (2.1)
𝑃(𝐵)
Jika NB adalah jumlah kejadian hujan pada magnitude B, dan N(BǀA) adalah jumlah
hujan magnitude B yang menyebabkan longsor, probabilitas kejadian dapat didekati
sebagai berikut:
P(BǀA) ≈ N(BǀA)ǀNA sehingga pada persamaan 2.1 dapat didekati menjadi
P(AǀB) ≈ N(BǀA)ǀNA
2.10.1 Pemboran
Setiap eksplorasi di bawah permukaan tanah haruslah didahului oleh pengkajian
ulang semua informasi yang ada tentang kondisi geologi dan kondisi di bawah
permukaan tanah di lokasi penelitian atau sekitar lokasi tersebut. Di sebagian besar
keadaan, informasi ini harus ditambah lagi dengan hasil-hasil penyelidikan yang
lebih langsung. Langkah langsung yang pertama biasanya membor beberapa lubang
dengan metode yang tepat, mengembil contoh-contoh tanah yang utuh dari setiap
lapisan tanah yang dijumpai oleh alat pengeboran (Terzhagi dan Peck, 1967).
Contoh tanah terganggu didapatkan apabila sifat-sifat dan indeks tanah ingin
diketahui dan keadaan struktur tanah di lapangan yang sebenarnya (dan sejarah
tegangannya) tidak diperlukan. Dengan pengertian lain, tanah terganggu adalah
tanah yang sudah diangkut dari lokasi tempat pengambilan untuk dipindahkan dan
ditempatkan pada suatu truk, struktur sebagian akan rusak (kecuali bongkah-
bongkah yang besar). Untuk memperoleh conto-contoh tanah terganggu dapat
dilakukan dengan beberapa cara antara lain menggunakan sekop dan garpu,
pemotongan dengan auger, dan uji penetrasi (Bowles, 1991).
Contoh tanah tidak terganggu harus didapatkan apabila kita ingin mengurangi
perubahan-perubahan dalam struktur tanah. Contoh ini dibutuhkan untuk
memperkirakan sifat-sifat teknis tanah untuk analisis kekuatan dan stabilitas serta
studi aliran air.
Salah satu pendekatan matematis yang sering dipakai untuk menghitung deformasi
dan stabilitas tanah pada konstruksi geoteknik adalah metode elemen hingga.
BAB 3
LANDASAN TEORI
Keterangan:
Zona A: Zona berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng pegunungan,
lereng bukit, lereng perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng lebih
dari 40% dengan ketinggian diatas 2000 meter di atas permukaan laut.
Zona B: Zona berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng pegunungan,
lereng bukit, lereng perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng lebih
dari 40% dengan ketinggian diatas 2000 meter diatas permukaan laut. (pada daerah
penelitian antara 500-1100 meter diatas permukaan laut).
Zona C: Zona berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki pegunungan, kaki
bukit, kaki perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara
21% sampai 40%, dengan ketinggian 500 meter sampai dengan 2000 meter diatas
permukaan laut. (pada daerah penelitian antara 500-200 meter di atas permukaan
laut).
3.2 Pemetaan Potensi Gerakan Tanah
Tahapan analisis dan pemrosesan data spasial menggunakan software GIS. Data-
data spasial tersebut diperoleh dari instansi pemerintah terkait yang dikombinasikan
dengan data survei di lapangan. Untuk penentuan klasifikasi kerawanan bencana
longsor dan penelitian ini melalui tahapan yaitu: penilaian indikator, pemberian
bobot, identifikasi, klasifikasi, dan tumpang susun.
Dari persamaan 3.1 tersebut di atas, terdapat dua nilai C, yaitu Cmin, dan Cmax.
Hubungan antara nilai C dan PLO adalah mengikuti persamaan 3.2.
𝐶−𝐶𝑚𝑖𝑛 𝑃𝐿𝑂−0 2
=( ) = 𝑃𝐿𝑂2 (3.2)
𝐶𝑚𝑎𝑥−𝐶𝑚𝑖𝑛 1−0
4.2.2 Alat
Untuk penelitian, alat bantu yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. alat pembaca GPS (Global Positioning System)
b. kompas;
c. kamera;
d. alat tulis;
e. bor tangan (hand auger);
f. perangkat komputer;
g. tabung sampel (shelby).
Studi Pustaka
Pengumpulan Data
Selesai
sd