Anda di halaman 1dari 30

PROPOSAL TESIS

UJIAN AKHIR SEMESTER

KAJIAN RISIKO DAERAH RAWAN LONGSOR UNTUK


MENGANTISIPASI BENCANA BANJIR BANDANG DI SENTANI
JAYAPURA

OLEH:

ROBERTH EVANDER MEIDUDGA


19 / 449753 / PTK / 13012

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL N0 1 (SATU) 2019/2020


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gerakan masa tanah atau sering disebut tanah longsor (landslide) merupakan salah
satu bencana alam yang sering melanda daerah perbukitan di deerah tropis basah.
Kerusakan yang sering ditimbulkan oleh gerakan masa tersebut tidak hanya
kerusakan secara langsung seperti rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian,
ataupun adanya korban manusia, akan tetapi juga kerusakan secara tidak langsung
yang melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi di daerah
bencana dan sekitarnya (Hardiyatmo, 2006). Seperti bencana longsor yang terjadi
beberapa waktu lalu pada bulan maret 2019 yang memicu terjadinya bencana banjir
bandang di daerah Sentani yang megakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa.

Pada bencana banjir bandang yang terjadi beberapa waktu lalu di Sentani, salah satu
pemicu naiknya debit air pada danau sentani adalah longsor yang terjadi di hulu
danau Sentani. Longsor yang terjadi di hulu itu juga mengalirkan material berupa
pohon dan batu-batu besar, material tersebut memicu naiknya debit air yang begitu
cepat, hal itu menyebabkan luapan air yang begitu besar debitnya tersebut mengalir
dari hulu menuju ke hilir tidak berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) lagi, tetapi
meluap dan merusak pemukiman di sekitar daerah pingiran danau Sentani.

Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dilakukan Kajian Risiko longsor di
sekitar hulu danau Sentani, guna mengantisipasi bencana banjir bandang seperti
yang sudah terjadi beberapa waktu lalu. Dan mencari faktor utama pemicu longsor
pada daerah tersebut, serta penanganan untuk jangka panjang supaya bisa
mengantisipasi jatuhnya korban jiwa akibat banjir bandang di waktu yang akan
datang.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menyusun peta risiko longsor pada pegunungan Cycloop.
2. Mengetahui jenis tanah pada daerah rawan longsor di daerah hulu danau
Sentani.
3. Menganilisis frekuensi kejadian berdasarkan data rekam kejadian longsor dan
data curah hujan harian.
4. Memberikan rekomendasi dan skala prioritas penanganan dalam upaya
pengurangan risiko bencana longsor pada pegunungan Cycloop.

1.3 Batasan Masalah


Batasan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Lokasi penelitan di lakukan di pegunugan Cycloop Sentani Jayapura.
2. Laju kerusakan alam dan atau perubahan tata guna lahan di pegunungan
Cycloop tidak di perhitungkan.
3. Uji laboraturium terhadap material penyusun lereng berdasarkan sampel
tanah/batuan di lokasi kajian yang diambil dengan alat bor tangan.

1.4 Manfaat Penelitian


Penyusunan peta risiko bencana longsor dapat digunakan sebagai acuan untuk
mengantisipasi daerah rawan longsor di pegunungan Cycloop. Hasil peta risiko
dapat digunakan sebagai acuan prioritas penanganan.

1.5 Keaslian Penelitian


Penelitian penyusunan peta risiko dan analisis frekuensi longsor pada pegunungan
Cycloop Sentani Jayapura belum pernah dilakukan peneliti lain.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Risiko Longsor


Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu kawasan dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit,
jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta,
dan gangguan kegiatan masyarakat. Penaksiran terhadap risiko bencana tersebut
dilakukan setelah melakukan pemetaan terhadap potensi bahaya (hazard), risiko
terpapar (vulnerability), serta kapasitas (capasity) masyarakat dalam menghadapi
sebuah bencana.

Pemetaan potensi bahaya longsor terkonstentrasi menjadi dua aspek yaitu, aspek
fisik alami, dan aspek manusia. Aspek fisik alami mewakili unsur-unsur asli yang
terdapat di alam, mewakili nilai resistansi atau kecenderungan terhadap potensi
longsor, sedangkan aspek manusia mewakili unsur-unsur kegiatan maupun
aktivitas manusia yang mewakili resistansi atau malah memperbesar risiko longsor.

Pengkajian risiko merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi


dampak negatif yang timbul dihitung berdasarkan tingkat kerentanan dan kapasitas
kawasan dalam merespon kejadian bencana.

Menurut Peraturan Mentri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 tentang penataan


ruang kawasan rawan bencana longsor, indikator tingkat kerentanan didasarkan
pada aspek fisik alami yang meliputi beberapa indikator yaitu: kemiringan lereng,
vegetasi. Untuk tingkat kerawanan berdasarkan aspek manusia antara lain: pola
tanam, penggalian dan pemotongan lereng, pencetakan kolam, drainase,
pembangunan kontruksi, kepadatan penduduk, serta usaha mitigasi.

2.2 Pengertian Longsor


Di banyak negara di dunia dengan topografi berbukit dan bergunung seperti
Indonesia, China, Jepang, Swiss, Norwegia, longsoran kerap terjadi dan menjadi
problem serius yang harus di tangani. Hardiyatmo (2012) mendefinisikan longsor
sebagai gerakan massa (mass movement) tanah atau batuan pada bidang longsor
potensial. Gerakan masa adalah gerakan dari massa tanah yang besar di sepanjang
bidang kritis longsor. Gerakan massa dapat berupa tanah, batuan, tanah timbunan,
atau material lain, umumnya gerakan tersebut dikontrol oleh gaya gravitasi. Jika
pergerakan massa sudah dirasa berlebih, maka pergerakan tersebut dinyatakan
sebagai longsor.

Cruden (1992) mendefinisikan longsoran sebagai pergerakan masa batuan, tanah,


atau bahan rombakan material penyusun lereng, bisa merupakan pencampuran
tanah dan batuan yang bergerak menuruni lereng dan disebabkan gaya gravitasi.
Longsor juga didefinisikan sebagai gangguan keseimbangan lereng yang
menyebabkan pergerakan masa tanah atau batuan ke tempat yang lebih rendah,
dipengaruhi oleh gaya gravitasi, air tanah, hujan lebat, maupun beban dari luar, atau
akibat ketidakseimbangan unsur pengontrol (Karnawati, 1998).

Bencana tanah longsor merupakan bencana yang kerap terjadi di daerah berkontur
curam, jenis tanah atau batuan spesifik seperti kepekaan terhadap air, kekar, atau
pelapukan. Potensi longsor juga membesar sebagai akibat aktivitas manusia yang
mengganggu keseimbangan lereng seperti pemotongan untuk pemukiman, trase
jalan, pencetakan kolam, pembuatan sawah, tata air yang kurang tepat dari sisi
teknis, dan lain sebagainya. Namun demikian, longsor memiliki pemicu utama.
Pemicu utama tersebut berupa aktivitas manusia seperti getaran kendaraan, mesin
alat berat, ledakan bom, dan lain sebagainya.

2.3 Klasifikasi Gerakan Massa Tanah atau Batuan


Varnes (1978) dalam Karnawati (2005) membuat klasifikasi jenis gerakan massa
tanah atau batuan berdasarkan mekanisme gerakan serta tipe material yang bergerak
(Tabel 2.1)
Tabel 2.1 Klasifikasi gerekan massa tanah atau batuan Varnes (1978) dalam
Karnawati (2005)
JENIS MATERIAL
JENIS GERAKAN MASSA TANAH
TANAH
BATUAN Berbutir
RUNTUHAN Berbutir Kasar
Halus
Runtuhan bahan Runtuhan
ROBOHAN Runtuhan Batuan rombakan tanah
Runtuhan bahan Robohan
ROTASI Robohan Batuan rombakan
Beberapa tanah
unit Nendatan bahan Nendatan
GERAKAN Nendatan Batuan rombakan tanah
MASSA
TANAH/ Longsoran
Longsoran blok Longsoran blok
BATUAN TRANSLASI blok
batuan bahan rombakan
Banyak tanah
unit Longsoran
Longsoran
Longsoran batuan bahan
tanah
rombakan
PANCARAN LATERAL Pancaran batuan Pancaran bahan Pencaran
rombakan tanah
Aliran
Aliran bahan
pasir/lanau
rombakan
basah
Aliran pasir
Solifluction
kering
Aliran batuan
ALIRAN Lawina bahan Aliran tanah
(rayapan dalam)
rombakan
Rayapan bahan Aliran lepas
rombakan
Aliran blok
KOMPLEKS Campuran dari dua atau lebih jenis gerakan
Gambar 2.1 Tipe dan jenis gerakan massa tanah (USGS, 2004).

2.3.1 Jatuhan/Falls
Jatuhan adalah gerakan jatuh material lereng, bisa berupa batuan, tanah, ataupun
jatuhan debris tanpa interaksi antar bagian material yang longsor. Jatuhan terjadi
sangat cepat dan meluncur di udara mengikuti gaya gravitasi. Proses jatuhan ini
lebih disebabkan oleh terlepasnya material akibat bidang kekar, atau meluncur dari
posisi lain (discontinuity) yang disebabkan kecepatan awal yang tinggi. Jatuhan
pada material tanah biasanya diakibatkan oleh posisi material mudah tererosi
terletak diatas tanah yang lebih tahan erosi, semisal lapisan pasir bersih, material
granular, atau lanau, yang berada di atas lapisan lempung kaku yang padat atau
keras. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya jatuhan antara lain:
a. geometri lereng
b. sistem sambungan (joint) dan posisi kekar yang memungkinkan terjadinya
jatuhan;
c. kuat geser dari sambungan dan kekar;
d. gaya-gaya dari luar yang menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidakstabilan
seperti tambahan tekanan air dalam sambungan, pembekuan, atau getaran.

2.3.2 Robohan/jungkiran/topple
Robohan adalah gerakan material yang roboh, biasanya terjadi pada lereng curam,
terjal, sampai tegak, dengan bidang-bidang diskontinuitas yang relatif vertikal.
Posisi dip dari kekar (discontinuity) sangat menentukan terjadinya longsor tipe
robohan. Gerakan longsoran adalah mengguling hingga roboh atau terlepas dari
batuan induknya, tanpa perpindahan vertikal melewati udara. Faktor utama yang
menyebabkan robohan adalah hampir sama dengan faktor yang menyebabkan
jatuhan/falls.

2.3.3 Longsoran/slide
Secara terminologi umum, longsoran/slide memiliki cakupan seluruh tipe gerakan
perpindahan massa. Namun pengertian slide disini adalah jenis klasifikasi longsor
yang memiliki pengertian lebih spesifik, yaitu jenis longsoran dengan tipe gerakan
yang disebabkan oleh keruntuhan bidang geser di sepanjang satu atau lebih bidang
longsor. Massa yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-pecah dari posisi semula.
Secara garis besar Varnes (1978) membagi longsoran jenis ini ke dalam 2 (dua) sub
klasifikasi, yaitu:
a. longsoran dengan bidang gelincir lengkung (rotational slide), seperti ditunjukan
pada Gambar 2.1 tipe a;
b. longsoran dengan bidang gelincir datar (translational slide), sebagaimana
ditunjukan pada gambar 2.1 tipe b dan c.
Untuk membedakan longsoran berdasarkan kedalaman bidang gelincir, Broms
(1975) dalam Hardiyatmo (2012) memberi klasifikasi sebagaimana Tabel 2.1

Tabel 2.2 Klasifikasi kedalaman longsoran (Broms, 1975)


Tipe Kedalaman (m)
Longsoran permukaan (surface slide) <1,5
Longsoran dangkal (shallow slide) 1,5-5,0
Longsoran dalam (deep slide) 5,0-20,0
Longsoran sangat dalam(very deep slide) >20,0

Broms (1975) dalam Hardiyatmo (2012) menjelaskan perbedaan keruntuhan


translasional dan rotasional. Sistem gaya pada longsoran jenis transional atau slump
akan berkurang seiring dengan bertambahnya deformasi akibat massa tanah yang
bergerak miring ke arah yang lebih rendah, sedangkan pada longsoran tipe
rotasional, sistem gaya-gaya yang menjadi pendorong keruntuhan besarnya adalah
konstan.

2.3.4 Sebaran/spread
Menurut Cruden dan Varnes (1996), longsoran tipe sebaran merupakan kombinasi
dari pergerakan massa tanah dan massa batuan yang terpecah-pecah kedalam
material lunak di bawahnya. Pada longsoran tipe sebaran lateral, permukaan bidang
longsor tidak terletak di lokasi terjadinya gesekan terkuat. Longsoran tipe ini dapat
terjadi akibat proses likuifaksi tanah granular ataupun keruntuhan pada tanah
kohesif lunak. Gambar yang menjelaskan longsoran tipe ini adalah sebagaimana
ditunjukan pada gambar 2.1 Tipe dan jenis gerakan massa tanah (USGS, 2004)
huruf j.

2.3.5 Aliran/flow
Longsoran tipe aliran merupakan gerakan campuran material ke bawah lereng yang
mengalir seperti cairan kental. Gerakan ini terjadi pada banyak bidang geser yang
berbeda-beda, massa yang bergerak memiliki kadar air sangat tinggi. Tanah yang
terganggu ikatan antar partikelnya cenderung melonggar, menyerap air saat terjadi
awal longsoran. Hal tersebut menjadikan tanah berubah menjadi bubur.
Longsor tipe aliran dapat terjadi pada bidang geser relatif sempit, terutama pada
daerah lembah yang sempit diapit lereng curam, terjadi ketika hujan lebat menerpa
kawasan tersebut. Material yang terbawa longsor tipe aliran ini terdiri dari tanah,
kerikil, batu, kayu-kayuan, atau campuran runtuhan material penyusun lereng yang
ikut terbawa dan tergerus material longsoran. Material longsoran tersebut tidak
akan berhenti sebelum mencapai daerah berkontur landai atau datar.

2.4 Kecepatan Gerekan Longsor


Kecepatan pergerakan longsor merupakan fungsi dari unsur pemicu longsor.
Hardiyatmo (2012) menyatakan bahwa kecepatan maksimum longsoran
bergantung pada kemiringan permukaan lereng dan rasio kuat geser residu terhadap
kuat geser puncak dari tanah atau batuan pembentuk lereng. Kecepatan longsoran
akan sangat tinggi pada material dengan kuat geser residu sangat rendah
dibandingkan dengan kuat geser puncaknya, ditambah pula keruntuhan tersebut
terjadi pada bidang longsor yang tajam. Jenis material dengan kuat geser residu
sangat rendah dibandingkan dengan kuat geser puncaknya adalah serpih (shales),
pasir lekat (cemented sand), lempung cair (quick clays), serta pasir atau lanau tidak
padat dan jenuh. Cruden dan Varnes (1992) mengusulkan klasifikasi kecepatan
gerakan material yang longsor seperti ditunjukan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Klasifikasi kecepatan longsoran (Cruden dan Varnes,1992)


Kelas Kategori Kecepatan (mm/detik)
7 Amat sangat cepat 5 × 103
6 Sangat cepat 50
5 Cepat 0,5
4 Sedang 5 × 103
3 Lambat 5 × 10-6
2 Sangat lambat 0,5 × 10-6
1 Amat sangat lambat -

2.5 Tanda-Tanda Gerakan Tanah


Bencana longsor merupakan bencana dengan gejala (symptom) terlebih dulu,
meskipun jenis dan gejala yang ditunjukkan dari longsor di wilayah yang satu
dengan wilayah yang satu dengan wilayah lain cenderung berbeda-beda, tergantung
unsur pemicu longsor dan klasifikasi longsor yang terjadi. Terjadinya gerakan tanah
dapat diidentifikasi melalui tanda-tanda awal antara lain:
a. kemunculan retakan atau kerutan pada lereng sebagai akibat desakan, tarikan,
dan pergeseran;
b. patahnya pipa, tiang listrik, atau inklinasi benda-benda vertikal;
c. miringnya pepohonan;
d. amblasan badan jalan;
e. kerusakan pagar jalan atau saluran drainase;
f. tertutupnya sambungan ekspansi pada jembatan atau perkerasan kaku;
g. tembok bangunan retak, dinding sumur mengalami pergeseran;
h. dinding penahan tanah retak, atau bergerak dari posisi semula ke arah lereng
lebih rendah;
i. dan lain sebagainya.

2.6 Pemicu Gerakan Tanah


Faktor dominan penyebab longsor pada suatu daerah dengan daerah lain belum
tentu sama. Karakter geomorfologi, kemiringan lereng, struktur geologi, dan
vegetasi merupakan faktor pengontrol longsor. Gerakan tanah terjadi sebagai akibat
ketidakseimbangan gaya pendorong yang lebih besar dibandingkan gaya penahan.
Pemicu tersebut bisa berasal dari unsur alam dan unsur manusia.

Faktor pemicu gerakan tanah terdiri dari unsur alam, unsur non alam, atau
merupakan kombinasi keduanya yang secara aktif mengurangi stabilitas lereng.
Pemicu alam berupa curah hujan, gempa bumi, sedangkan pemicu non alam bisa
berupa getaran kendaraan maupun aktivitas manusia yang secara aktif
mempengaruhi sifat maupun kerentanan lereng.

2.6.1 Pemicu akibat curah hujan


Hujan dengan intensitas tertentu yang berlangsung selama periode waktu tertentu
bisa dikatakan menjadi pemicu terjadinya gerakan tanah. Laprade dkk. (2004) yang
kemudian dikuatkan oleh Coe dkk. (2004), menyatakan bahwa dari 1.400 longsoran
yang diteliti, penyebab alam utama yang memicu longsor adalah hujan. Begitu juga
dengan Salvati dkk. (2010) menyatakan bahwa hujan yang menyebabkan longsor
merupakan kejadian geomorfologi umum yang mengakibatkan kerusakan
lingkungan dan kerugian ekonomi serta penyebab kematian.

Mekanisme hujan yang memicu terjadinya gerakan tanah melewati empat tahapan,
yaitu infiltrasi, kenaikan muka air tanah, penjenuhan lapisan tertentu yang berakibat
turunnya parameter kuat geser tanah, ketikstabilan dari sisi gaya pendorong dan
penahan lereng. Proses-proses tersebut terjadi dalam tempo waktu yang cukup
lama, namun tak jarang terjadi dalam rentang waktu teramat cepat. Kondisi tersebut
tergantung kondisi geologi, jenis tanah, vegetasi yang menutupi permukaan tanah,
juga faktor-faktor lain yang mengontrol kestabilan lereng.

2.6.2 Pemicu akibat getaran gempa atau kendaraan


Getaran yang menjadi pemicu longsor bisa diakibatkan oleh gempa atau aktivitas
manusia seperti getaran kendaraan atau getaran mesin alat berat. Beberapa kejadian
runtuhan dipicu oleh getaran kendaraan. Lantai rumah atau tembok yang berada
pada tepi jalan yang retak. Bukti nyata lainnya adalah retakan-retakan di sepanjang
tikungan jalan pada daerah lembah. Deformasi tanah tersebut mengindikasikan
beban kombinasi kendaraan dan getaran mesin yang mengikuti.

2.6.3 Pemicu akibat aktivitas manusia


Laprade dkk. (2000) menyatakan bahwa kejadian longsor berdasarkan hasil studi
komprehensif lebih diakibatkan oleh aktivitas manusia. Aktivitas manusia tersebut
menyumbang 84% (delapan puluh empat persen) dari sekitar 1.400 kejadian
longsor yang diteliti. Aktivitas seperti penempatan timbunan yang lalai dari sisi
teknis, drainase yang buruk, kebocoran pipa air, drainase tersumbat, penggalian,
dan pemotongan lereng ; seeringkali menjadi penyebab awal longsor ketika hujan
dalam periode waktu dan intensitas tertentu mengguyur sebuah kawasan.

Selain dipicu faktor alam, tataguna lahan sangat mempengaruhi kerentanan longsor.
Pembukaan hutan untuk aktivitas pertanian, perkebunan, sawah, atau kolam secara
sembarangan justru memperbesar potensi longsor. Jenis tanaman atau vegetasi pada
kawasan lereng, kelandaian pemotongan lereng , kelandaian pemotongan lereng
untuk trase jalan, pengembangan pemukiman, kawasan pariwisata, perhotelan, dan
lain sebagaianya, jika lalai memperhitungkan karakter atau sifat-sifat lereng, cepat
atau lambat akan memicu bencana longsor.

2.7 Sistem Informasi Geografis (SIG)


Ancaman, kerentanan, maupun risiko dari bencana dapat dipetakan sebaran dan
dampaknya terhadap suatu wilayah menggunakan analisis spesial berbasis data
dampaknya terhadap suatu wilayah menggunakan analisis spesial bebasis data
(database). Menurut Perka BNPB Nomor 02 Tahun 2012 tentang pedoman umum
pengkajian risiko bencana, definisi Peta Risiko Bencana merupakan penggabungan
(overlay) dari peta ancaman (hazard map), peta kerentanan (vulnerability map), dan
peta kapasitas (capasity map). Pada dasarnya terdapat banyak metode dalam
memetakan risiko. Pendekatan tersebut diambil bertujuan menyajikan seaktual
mungkin risiko. Pendekatan tersebut diambil bertujuan menyajikan seaktual
mugkin risiko berdasarkan kondisi lapangan.

Pemetaan risiko yang memiliki banyak kelebihan adalah pemetaan berbasis spasial.
Pemetaan risiko dikalkulasi menggunakan SIG. Menghasilkan peta-peta tematik
sebagai unsur analisi peta risiko. Secara garis besar peta-peta tematik tersebut
terbagi menjadi 3 (tiga) unsur yaitu : peta ancaman, peta kerentanan, dan peta
kapasitas.

2.7.1 Peta ancaman


Peta ancaman adalah representasi ancaman pada suatu wilayah atau lokasi tertentu.
Peta ancaman tersusun atas indikator-indikator yang mendukung kecenderungan
terjadinya suatu bencana, seperti indikator geologi, jenis tanah, curah hujan,
kemiringan lereng, jarak terhadap sungai, dan sebagainya. Peta ancaman ini
melibatkan unsur-unsur yang terdapat di alam dan bersifat pemberian (sukar
diubah). Sifat dari unsur ancaman tersebut ada yang bersifat statis, ada pula yang
bersifat dinamis. Contoh dari unsur ancaman yang bersifat statis adalah aspek
geologi, kemiringan lereng, dan jenis tanah, sedangkan contoh untuk unsur
ancaman yang bersifat dinamis adalah curah hujan, kegempaan, jarak dari sungai,
dan lain sebagainya.

2.7.2 Peta kerentanan


Peta kerentanan adalah representasi kerentanan suatu wilayah terhadap manusia,
sumber ekonomi, aset finansial, obyek vital, dan lain sebagainya, sebagai fungsi
potensi kerusakan dan kerugian akibat bencana yang teridentifikasi. Kerentanan
muncul sebagai akibat aktivitas manusia pada suatu kawasan. Contoh nyata dari
kerentanan adalah penyusunan tataguna lahan, kepadatan penduduk, lokasi obyek
vital, pusat perekonomian atau pemerintahan, dan lain sebagainya. Kerentanan
yang bersifat statis umumnya diidentifikasi sebagai lokasi pemukiman, konsentrasi
penduduk, serta letak obyek vital. Untuk kerentanan yang bersifat sementara
umumnya lebih kepada aktivitas ekonomi. Lokasi tersebut bisa berubah-ubah
sesuai peruntukannya.

2.7.3 Peta kapasitas


Peta kapasitas merupakan representasi kapasitas suatu wilayah dalam mengurangi,
menghadapi, dan melakukan pemulihan terhadap potensi bencana yang telah
diidentifikasi. Kapasitas merupakan usaha yang dilakukan oleh komunitas atau
individu manusia dalam mengetahui, memetakan serta prosedur dalam menghadapi
suatu ancaman, mengurangi kerentanan, serta upaya bertahan hidup. Wujud dari
kapasitas bisa diupayakan melalui penyebaran informasi seperti rambu-rambu,
sistem peringatan dini, atau pemahaman masyarakat perihal potensi bencana di
sekitar mereka.

2.7.4 Peta risiko bencana


Peta risiko bencana merupakan representasi risiko suatu wilayah atau lokasi tertentu
berdasarkan parameter-parameter ancaman, kerentanan, dan kapasitas yang ada.
Peta risiko menunjukkan lokasi atau zona-zona yang paling banyak terdampak
ketika terjadi bencana, sehingga upaya lanjutan terkait prioritas penanganan dapat
merunjuk peta ini.

Peta risiko dihasilkan sesuai pembobotan pada unsur penyusun, yaitu pembobotan
pada unsur ancaman, unsur kerentanan, dan juga unsur kapasitas, penilaian bobot
akhir dalam SIG dilakukan otomatis dengan memasukan algoritma-algoritma
tertentu sesuai dengan tujuan pembuatan peta risiko.

2.8 Mitigasi Bencana Tanah Longsor


Mitigasi merupakan upaya atau usaha yang dilakukan guna mengurangi risiko
bencana, baik melalui mitigasi struktural maupun non struktural. Mitigasi struktural
dilakukan dengan membangun macam-macam pelindung lereng, counter-weight,
dinding penahan tanah, pemasangan sistem peringatan dini, pemakuan tanah, dan
lain sebagainya. Untuk mitigasi non struktural dapat berupa pemetaan risiko,
sosialisai kebencanaan, pengembangan komitmen publik, serta edukasi dan
informasi seperti pembuatan rambu-rambu, penetapan peraturan tataguna lahan
berbasis kebencanaan, dan lain sebagainya.

2.9 Analisis Frekuensi Kejadian Tanah Longsor


Analisis frekuensi bencana longsor pada penelitian ini bertujuan mencari hujan
ambang batas (rainfall threshold) pemicu longsor berdasarkan frekuensi kejadian
dalam periode waktu tertentu. Analisis frekuensi dilakuakan menggunakan data
longsor rentan waktu 10 (sepuluh) tahun pada daerah pegunungan Cycloop
Kabupaten Sentani. Periode waktu tersebut diambil sebagai acuan dikarenakan
ketersedian data dalam area penelitian yang hanya mencakup periode waktu antara
tahun 2009-2019.

2.9.1 Metode penentuan hujan ambang batas bawah


Berbagai pendekatan telah dilakukan dengan menentukan hujan ambang batas
untuk memprediksi kejadian longsor di masa depan. Chleborad dkk. (2006)
mengusulkan prediksi hujan yang menyebabkan longsor berdasarkan formula
kumalatif hujan ambang batas (cumulative rainfall threshold, CT) hujan selama 3
(tiga) hari sebelum kejadian (P3) dengan hujan 15 hari sebelum P3 yang disebut
sebagai P15. Dari penelitian terhadap 577 kejadian longsor sejak 1978-2003 di
Seattle, Chleborad dkk. (2006) menghasilkan korelasi antara P3 dan P15 yang
disebut sebagai ambang batas bawah (lower-bound threshold) kumalatif hujan yang
menyebabkan longsor. Garis tersebut ditentukan sebagaimana Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Korelasi hujan kumulatif 3 hari, P3, dengan kumalatif 15 hari
sebelumnya, P15 (Chleborad, 2003).

Dalam menentukan kolerasi pada Gambar 2.2, Chleborad (2003) mendefinisikan


peristiwa longsor sebagai kegagalan lereng baik berupa lereng alam maupun lereng
yang telah mengalami perubahan. Tipe longsoran mengadopsi Cruden dan Varnes
(1996) dengan mengikutsertakan tipe longsor debris, longsor translasi, rotasi,
aliran, runtuhan, jatuhan, dan juga rubuhan. Untuk memastikan bahwa kejadian
longsor tersebut benar-benar diakibatkan oleh hujan, Chleborad (2003) melakukan
seleksi terhadap data longsor, yaitu dengan menentukan kriteria bahwa longsor
yang digunakan dalam menentukan hujan ambang batas adalah kejadian longsor
yang berjumlah 3 (tiga) atau lebih dalam kurun waktu periode 3 (tiga) hari. Setelah
menentukan hujan ambang batas bawah, langkah Chleborad (2003) adalah
menganilisis probabilitas kejadian longsor apabila ambang batas bawah hujan
(lower-bound threshold) terlampaui. Hal ini dilakukan karena probabilitas kejadian
longsor saat hujan ambang batas bawah terlampaui tergolong kecil, yaitu 8,4%.
Chleborad dkk. (2006) dalam langkah lanjutan menambahkan kriteria hujan
ambang batas berdasarkan intensitas dan durasi dalam satuan waktu jam-jaman
(hujan durasi pendek). Kedua hujan ambang batas tersebut dalam prakteknya
digunakan beriringan untuk memprediksi kejadian longsor di Seattle.

Huang (2015) melakukan pendekatan berbeda dalam penelitiannya di wilayah


Huangshan, China. Huang (2015) menentukan garis ambang batas bawah hujan
pemicu longsor melalui pendekatan regresi linear terhadap titik-titik terendah yang
mewakili kejadian longsor akibat pengaruh hujan. Sumbu absis merupakan
kumulatif hujan Rt (dalam mm) yang didefinisikan sebagai akumulasi hujan selama
7 (tujuh) hari, sementara sumbu ordinat merupakan Ih , intensitas hujan dalam
satuan mm/jam. Metode yang dilakukan Huang (2015) sebagaimana Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Ambang batas bawah hujan pemicu longsor menurut Huang (2015).
2.9.2 Seleksi data dan penentuan stasiun hujan
Vennari (2014) melakukan studi hujan pemicu longsor dangkal pada area seluas
15.080 km2 di Calabria, Italia bagian selatan. Penelitian Vennari (2014)
menggunakan data historis kejadian longsor selama 16 (enam belas) tahun, periode
antara Januari 1996 hingga september 2011 dengan data sebanyak 251 longsoran.
Sumber data dikompilasi dari berbagai sumber, yaitu koran, jurnal, blog internet,
juga literatur atau publikasi ilmiah. Jenis data yang dikumpulkan mencakup: (i)
lokasi geografis termasuk koordinat latitude, longitude, dan elevasi; (ii) waktu atau
periode kejadian; (iii) tipe longsor berdasarkan Cruden dan Varnes (1996).

Untuk menentukan kondisi hujan pemicu longsor, Vennari (2014) menyeleksi


stasiun penakar hujan yang dianggap representatif. Kriteria seleksi stasiun hujan
tersebut adalah: (i) jarak geografis antara alat penakar hujan dan lokasi kejadian
tidak lebih dari 12 km; (ii) elevasi alat penakar hujan dan posisi longsor harus dapat
diperbandingkan; (iii) kondisi fisiografis umum antara alat menakar hujan dan sisi
lereng harus dapat diperbandingkan (contoh: letak pada sisi lereng yang sama, atau
pada lembah yang sama).

Setelah proses seleksi alat penakar hujan selesai, langkah selanjutnya adalah
mengidentifikasi data hujan. Vennari (2014) berpendapat bahwa proses penentuan
awal dan akhir hujan pemicu longsor adalah proses paling kritis dalam perhitungan
hujan ambang batas. Dalam menentukan durasi dari hujan, Vennari (2014)
melakukan pendekatan visual terhadap gradien kurva kumulatif hujan sebagaimana
diusulkan oleh Aleotti (2014), serta mempertimbangkan data meteorologi lokasi
penelitian. Kondisi hujan, sedangkan akhir dari hujan penentu longsor adalah
peristiwa longsor itu sendiri.

2.9.3 Pendekatan probabilistik Bayes


Berbagai metode telah diusulkan dalam upaya memprediksi karakteristik hujan
yang dapat memicu kejadian longsor pada area tertentu. Sebagai besar metode
tersebut hanya mempertimbangkan kejadian pemicu longsor serta menghasilkan
nilai ambang batas yang sifatnnya ditentukan (deterministic threshold), hasil yang
dikeluarkan berupa keluaran tunggal (single possible output), yaitu longsor atau
tidak longsor untuk kondisi hujan tertentu sebagai nilai masukan. Berti (2012)
berpendapat bahwa pandangan deterministik tidak selalu cocok diterapkan untuk
kasus tanah longsor. Stabilitas lereng pada kenyataannya tidak digerakkan oleh
hujan secara sendirian. Kegagalan lereng tercapai sebagai kombinasi faktor-faktor
lain yang relevan.

Berti (2012) mengusulkan metode baru penentuan ambang batas hujan


berdasarakan probabilitas Bayes. Metode tersebut menghasilkan nilai probabilitas
longsor antara 0 (nol) dan 1 (satu) untuk masing-masing kombinasi variabel data
hujan. Penelitan yang dilakukan oleh Berti (2012) menghasilkan kesimpulan bahwa
kejadian longsor pada wilayahn Emilia-Romagna, Itali, erat hubungannya dengan
parameter hujan yaitu: durasi, intensitas, dan total kumulatif hujan. Parameter
hujan-hujan yang mendahului (antecendent rainfall) tidak terlalu berpengaruh
terhadap kejadian. Dari segi parameter-parameter utama pemicu longsor,
Wieczorek (1987) menyatakan hal berbeda dengan yang disampaikan Berti (2012).
Wieczorek (1987) menyatakan bahwa hujan-hujan yang mendahului kejadian
berperan penting sebagai pemicu longsor, namun pengaruh hujan-hujan tersebut
sulit untuk diukur. Pengaruh hujan-hujan sebelumnya tergantung pada beberapa
faktor seperti kondisi iklim lokal, kemiringan lereng, heterogenitas tanah yang
berhubungan dengan sifat-sifat fisik dan mekanis, serta permeabilitas (Aleotti,
2004). Sebagai perbandingan, tanah berbutir dangan rongga antar partikel yang
sangat mudah tertembus air, maka penting dalam memicu debris. Sebaliknya pada
material tanah dengan permeabilitas rendah, hujan-hujan yang terjadi sebelum
hujan kejadian akan menjadi sangat berpengaruh dalam mereduksi ikatan tanah
serta meningkatkan tekanan air pori (Aleotti, 2004).

Pendekatan probabilitas memiliki keuntungan tersendiri. Pertama, pendekatan


probabilitas mengakomodasi variabilitas dan ketidaktentuan pemodelan,
menghasilkan penilaian kuantitatif terhadap reliabilitas data. Setelah nilai ambang
batas bawah hujan pemicu longsor (lower-bound threshold) terlampaui, longsor
belum tentu terjadi apabila ambang batas tersebut terlampaui, sehingga dalam kasus
tersebut, faktor ketidaktentuan tidak dimasukkan dalam perhitungan. Pendekatan
probabilitas pada akhirnya lebih jamak digunakan untuk menilai risiko pada
berbagai tingkatan prediksi (Refice dan Capolongo, 2004).

2.9.4 Pendekatan satu dimensi


Teorema Bayes merupakan aplikasi langsung probabilitas bersyarat (conditional
Probability). Probabilitas bersyarat merupakan probabilitas suatu kejadian A (pada
kasus ini longsoran), terjadi ketika kejadian B (dalam kasus ini hujan dengan
periode, atau intensitas atau variabel lain) berlangsung. Probabilitas bersyarat
tersebut ditulis P(AǀB) yang berarti “Probabilitas suatu longsoran (A) terjadi ketika
kejadian hujan (B)” berlangsung. Teorema Bayes tersebut adalah sebagaimana
Persamaan 2.1 di bawah ini:

𝑃(𝐵ǀ𝐴).𝑃(𝐴)
P(AǀB) = (2.1)
𝑃(𝐵)

P(AǀB) = Probabilitas bersyarat A (longsor) dengan syarat B (hujan)


P(BǀA) = Probabilitas bersyarat B (hujan) dengan syarat A (longsor)
P(A) = Probabilitas A (longsor)
P(B) = Probabilitas B (hujan)

Perhitungan probabilitas Bayes berhubungan dengan frekuensi relatif. Oleh karena


itu, jika NR adalah jumlah total hujan yang tercatat pada periode waktu tertentu, dan
NA adalah jumlah total longsor yang tercatat pada periode waktu tertentu, maka
probabilitas kejadian longsor A Sebagaimana Persamaan 2.2 dan 2.3 berikut:

P(A) ≈ NAǀNR (2.2)


P(B) ≈ NBǀNR (2.3)

Jika NB adalah jumlah kejadian hujan pada magnitude B, dan N(BǀA) adalah jumlah
hujan magnitude B yang menyebabkan longsor, probabilitas kejadian dapat didekati
sebagai berikut:
P(BǀA) ≈ N(BǀA)ǀNA sehingga pada persamaan 2.1 dapat didekati menjadi
P(AǀB) ≈ N(BǀA)ǀNA

2.9.5 Identifikasi kejadian hujan


Secara umum para peneliti sepakat bahwa kejadian hujan pemicu merupakan
periode dari hujan menerus atau nyaris menerus, berawal dari kejadian hujan atau
peningkatan intensitas tiba-tiba dari sebuah periode hujan ringan, hingga kemudian
berakhir ketika peristiwa longsor terjadi.

Berti (2012) menyatakan ketidakpastian terbesar dalam menentukan ambang batas


hujan pemicu longsor terletak pada penentuan titik awal hujan pemicu. Aleotti
(2004) memilih pendekatan visual, sementara Frattini dkk. (2009) menggunakan
banyak kerangka waktu dalam penentuan titik awal hujan penentu.

2.10 Rekayasa Teknis


Bebagai upaya rekayasa teknis yang dapat dilakukan dalam rangka langkah-
langkah pengendalian terhadap terjadinya longsor adalah dengan melakukan
investigasi lapangan dan pengambilan data-data material lapisan tanah. Upaya
tersebut dapat dilakukan dengan melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan
geoteknis dan rekayasa teknik sipil.

2.10.1 Pemboran
Setiap eksplorasi di bawah permukaan tanah haruslah didahului oleh pengkajian
ulang semua informasi yang ada tentang kondisi geologi dan kondisi di bawah
permukaan tanah di lokasi penelitian atau sekitar lokasi tersebut. Di sebagian besar
keadaan, informasi ini harus ditambah lagi dengan hasil-hasil penyelidikan yang
lebih langsung. Langkah langsung yang pertama biasanya membor beberapa lubang
dengan metode yang tepat, mengembil contoh-contoh tanah yang utuh dari setiap
lapisan tanah yang dijumpai oleh alat pengeboran (Terzhagi dan Peck, 1967).

Metode yang biasa dilakukan untuk menentukan kondisi-kondisi tanah bawah


permukaan dan pengambilan contoh adalah dengan melakukan pemboran pada
titik-titik yang dipilih. Pengambilan contoh dari sejumlah kecil tanah untuk
pengujian fisis dan index untuk klasifikasi, korelasi kekuatan, atau untuk pengujian
sifat-sifat teknis biasanya dikategorikan sebagai pengambilan contoh terganggu
(disturbed) dan tidak terganggu (undisturbed). Jelas bahwa semua contoh itu harus
mewakili keadaan tanah yang sebenarnya (Bowles, 1991).

Contoh tanah terganggu didapatkan apabila sifat-sifat dan indeks tanah ingin
diketahui dan keadaan struktur tanah di lapangan yang sebenarnya (dan sejarah
tegangannya) tidak diperlukan. Dengan pengertian lain, tanah terganggu adalah
tanah yang sudah diangkut dari lokasi tempat pengambilan untuk dipindahkan dan
ditempatkan pada suatu truk, struktur sebagian akan rusak (kecuali bongkah-
bongkah yang besar). Untuk memperoleh conto-contoh tanah terganggu dapat
dilakukan dengan beberapa cara antara lain menggunakan sekop dan garpu,
pemotongan dengan auger, dan uji penetrasi (Bowles, 1991).

Contoh tanah tidak terganggu harus didapatkan apabila kita ingin mengurangi
perubahan-perubahan dalam struktur tanah. Contoh ini dibutuhkan untuk
memperkirakan sifat-sifat teknis tanah untuk analisis kekuatan dan stabilitas serta
studi aliran air.

Bowles (1991), mengatakan bahwa pengambilan contoh tanah tidak terganggu


biasa diperoleh dari:
1. sumur uji, ini mungkin akan menghasilkan kualitas yang terbaik;
2. tabung contoh berdinding tipis dengan diameter nominal 50 sampai 150 mm.
Tabung berdiameter 50 sampai 75 mm merupakan tabung yang paling biasa
dipakai, selain itu tabung contoh berdinding tipis merupakan sumber yang paling
banyak untuk contoh tidak terganggu;
3. berbagai jenis alat pengambil contoh piston;
4. berbagai jenis alat pengambil contoh dari kertas logam (foil).
2.11 Analisis Geotektik
Istilah rekayasa geoteknik (geotechnical engineering) didefinisikan sebagai ilmu
pengetahuan dan pelaksanaan dari bagian teknik sipil yang menyangkut material-
material alam yang terdapat pada permukaaan bumi. Dalam arti umumnya rekayasa
geoteknik juga mengikut sertakan aplikasi dari prinsip-prinsip dasar mekanika
tanah dan mekanika batuan dalam masalah-masalah perancangan fondasi (Das,
1985).

Dalam bidang geoteknik, untuk menyatakan lereng aman terhadap terjadinya


longsoran, dilakukan analisis dengan pendekatan model matematik dua dimensi
untuk berbagai bidang longsor datar, lengkung (lingkaran), atau kombinasi
keduanya dalam analisis ini umumnya dicari besarnya angka aman (safety factor)
yang merupakan fungsi tegangan geser (t). Pendekatan yang digunakan dalam
metode ini adalah keseimbangan batas, dan bentuk bidang longsor dalam dua
dimensi, namun lereng tanah perlu dipertimbangkan sebagai suatu sistem tidak
kenyang air. Letak muka air tanah (phreatic water surface) di daerah perbukitan
umumnya dalam atau dangkal, sehingga kondisi tanah pada waktu-waktu tertentu
kering (musim kemarau) dan di waktu musim hujan, tanah menjadi kenyang air. Di
awal musim hujan, kondisi tanah sebagian pori tanah terisi air atau dalam kondisi
tidak kenyang air. Selain itu jenis tanah merupakan parameter yang harus
dipertimbangkan pula, berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis tanah akibat
pengaruh air (Suryolelono, 2003).

Salah satu pendekatan matematis yang sering dipakai untuk menghitung deformasi
dan stabilitas tanah pada konstruksi geoteknik adalah metode elemen hingga.
BAB 3
LANDASAN TEORI

3.1 Dasar Penetapan Kawasan Rawan Bencana Longsor


Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 membagi kawasan rawan
bencana longsor dan zona berpotensi longsor atau lokasi yang diperkirakan akan
terjadi longsor akibat alami. Sedangkan pada tahap berikutnya dalam menetapkan
tingkat kerawanan dan kajian berdasarkan aspek aktifitas manusianya. Pada
prinsipnya longsor terjadi apabila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari pada
gaya penahan. Gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban,
dan berat jenis tanah dan batuan, sedangkan gaya penahan umumnya dipengaruhi
oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah.

Kawasan rawan bencana longsor dibedakan atas zona-zona berdasarkan karakter


dan kondisi fisik alaminya sehingga pada setiap zona akan berbeda dalam
penentuan struktur ruang dan pola ruangnya serta jenis dan intensitas kegiatan yang
dibolehkan, dibolehkan dengan persyaratan, atau yang dilarangnya. Zona
berpotensi longsor adalah daerah/kawasan yang rawan terhadap bencana longsor
dengan kondisi terrain dan kondisi geologi yang sangat peka terhadap gangguan
luar, baik yang bersifat alami maupun aktifitas manusia sebagai faktor pemicu
gerakan tanah, sehingga berpotensi terjadinya longsor. Berdasarkan
hidrogeomorfologinya dibedakan menjadi tiga tipe zona seperti pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 klasifikasi zona potensi longsor berdasarkan kajian
hidrogeomorfologi (Sumber : Permen PU Nomor 22/PRT/M/2007).

Keterangan:

Zona A: Zona berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng pegunungan,
lereng bukit, lereng perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng lebih
dari 40% dengan ketinggian diatas 2000 meter di atas permukaan laut.

Zona B: Zona berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng pegunungan,
lereng bukit, lereng perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng lebih
dari 40% dengan ketinggian diatas 2000 meter diatas permukaan laut. (pada daerah
penelitian antara 500-1100 meter diatas permukaan laut).

Zona C: Zona berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki pegunungan, kaki
bukit, kaki perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara
21% sampai 40%, dengan ketinggian 500 meter sampai dengan 2000 meter diatas
permukaan laut. (pada daerah penelitian antara 500-200 meter di atas permukaan
laut).
3.2 Pemetaan Potensi Gerakan Tanah
Tahapan analisis dan pemrosesan data spasial menggunakan software GIS. Data-
data spasial tersebut diperoleh dari instansi pemerintah terkait yang dikombinasikan
dengan data survei di lapangan. Untuk penentuan klasifikasi kerawanan bencana
longsor dan penelitian ini melalui tahapan yaitu: penilaian indikator, pemberian
bobot, identifikasi, klasifikasi, dan tumpang susun.

3.2.1 Proses penilaian indikator/scoring


Pemberian nilai masing-masing parameter dilakukan berdasarkan nilai kepekaan
parameter tersebut terhadap bencana longsor. Berdasarkan Peraturan Mentri
Pekerjaan Umum No. 22/PRT/M/2007, masing-masing indikator tingkat
kerawanan pada aspek fisik alami diberikan bobot sebesar: 30% untuk kemiringan
lereng, 15% untuk kondisi tanah, 20% untuk batuan penyusun lereng, 15% untuk
curah hujan, 7% untuk tata air lereng, 3% untuk kegempaan, dan 10% untuk
vegetasi. Sedangkan terhadap indikator tingkat kerawanan pada aspek aktivitas
manusia diberi bobot: 10% untuk pola tanam, 20% untuk penggalian dan
pemotongan lereng, 10% untuk pencetakan kolam, 10% untuk drainase, 20% untuk
pembangunan konstruksi, 20% untuk kepadatan penduduk, dan 10% untuk usaha
mitigasi.

3.3 Probabilitas Longsoran


Huang (2015) sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2.3 membuat cara lain dalam
menentukan probabilitas kejadian. Setelah menarik garis biru sebagai batas hujan
ambang batas bawah (rekam sejarah pemicu longsor 0%), Huang (2015) menarik
garis merah hujan ambang batas atas (rekam sejarah longsor 100%) namun angka-
angka probabilitas kejadian longsor, PLO (probability of landslide occurrence),
dalam kasus tersebut diberikan PLO =10% untuk batas bawah dan PLO = 90%
untuk batas atas. Algoritma dalam persamaan garis lurus tersebut selanjutnya
mengikuti Persamaan 3.1.
Rt + ∝. Ih = C (3.1)

Rt = kumulatif hujan (mm)


Ih = intensitas hujan jam-jaman (mm/jam)
C = konstanta numerik

Dari persamaan 3.1 tersebut di atas, terdapat dua nilai C, yaitu Cmin, dan Cmax.
Hubungan antara nilai C dan PLO adalah mengikuti persamaan 3.2.

𝐶−𝐶𝑚𝑖𝑛 𝑃𝐿𝑂−0 2
=( ) = 𝑃𝐿𝑂2 (3.2)
𝐶𝑚𝑎𝑥−𝐶𝑚𝑖𝑛 1−0

Dengan menggunakan persamaan 3.2 diatas, probabilitas kejadian longsor untuk


masing-masing titik yang berada diantara batas bawah dan batas atas dapat
diketahui. Huang (2015) menggunakan data hujan periode pendek dengan rentang
nilai PLO tertentu untuk menentukan klasifikasi level bahaya. Namun demikian
data hujan jam-jaman tidak tersedia di lokasi penelitian, sehingga tidak
memungkinkan membuat status peringatan berdasar data hujan durasi pendek.
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian yang digunakan untuk melakukan penelitian adalah daerah
Pegunungan Cycloop Sentani Jayapura Provinsi Papua.

Gambar 4.1 Lokasi Penelitian (Google earth, 2019).

4.2 Bahan dan Alat


Untuk melakukan penelitian, penyedian bahan, alat, serta pemenuhan prosedur
perijinan terkait telah dilaksanakan. Rincian dari kegiatan tersebut diatas adalah
sebagai berikut.
4.2.1 Bahan
Penelitian ini menggunakan data-data sekunder sebagai dasar pembuatan peta dan
analisis frekuensi kejadian longsor. Data-data tersebut berupa:
a. data curah hujan rata-rata terpetakan termasuk data hujan harian 10 tahun;
b. peta geologi;
c. peta tataguna lahan di sekitar Pegunungan Cycloop;
d. peta jenis tanah Pegunungan Cycloop;
e. data rekam kejadian bencana beserta posisi;
f. peta administrasi, pencetakan sawah, kolam, vegetasi.

4.2.2 Alat
Untuk penelitian, alat bantu yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. alat pembaca GPS (Global Positioning System)
b. kompas;
c. kamera;
d. alat tulis;
e. bor tangan (hand auger);
f. perangkat komputer;
g. tabung sampel (shelby).

4.3 Bagan Alir Penelitian


Garis besar penelitian ini diawali dengan studi pustaka, pengumpulan data
sekunder, pengumpulan data primer, penentuan segmen rawan longsor, perhitungan
risiko, dan analisis frekuensi. Secara skematis, bagan alir umum penelitian ini
adalah sesuai Gambar 4.1 di bawah ini.
Mulai

Studi Pustaka

Pengumpulan Data

Data Sekunder Data Primer

- Peta topografi - Dokumentasi


- Peta geologi - Pengambilan sampel tanah di
- Data kejadian longsor lapangan
- Curah hujan harian
- Peta tataguna Lahan

Peta risiko daerah rawan longsor

Pemasangan Rain Gauge dan Early Warning System

Kesimpulan dan Saran

Selesai
sd

Gambar 4.1 Bagan Alir Umum Penelitian.

Anda mungkin juga menyukai