Anda di halaman 1dari 3

dari : 

mkb.kerjabudaya.org
oleh : Tim Media Kerja Budaya
 
Sepanjang sejarah sekolah selalu diliputi oleh masalah. Sudah terlalu banyak catatan kritis yang berniat
membenahi sistem sekolah mulai dari masalah administrasi, dana sampai ke falsafah pendidikan,
sementara terlalu sedikit perubahan yang berarti. Para penguasa modal dan negara melihat sekolah
sebagai satu-satunya ruang untuk mencerdaskan bangsa, dan mereka yang tak bersekolah dianggap
tidak memberi sumbangan pada pembangunan bangsa. Mereka yang mampu dan memiliki akses
menjadi ‘kaum terlepajar’ dan digiring ke menara gading yang semakin jauh dari masyarakatnya, dan
akhirnya menjadi pelayan kepentingan modal dan negara. Krisis yang melanda Indonesia membuat
sekolah semakin sulit dijamah oleh rakyat miskin, dan semakin banyak pula ‘orang tak berguna’ dalam
kacamata penguasa.
 
Kembali ke Kegunaan Dasar
Dalam situasi sekolah semacam ini perlu juga kita meninjau kembali konsep ‘pendidikan’ secara luas.
Selama ini, di bawah bermacam tekanan yang hebat, alternatif terus saja bermunculan. Cukup banyak
komunitas yang mengembangkan model pendidikannya sendiri, mendirikan sekolah alternatif untuk
mengembalikan pendidikan pada tempat semestinya, dan melawan kesewenangan penguasa dalam
pendidikan.
 
Ada dua wilayah penting yang dijelajahi oleh sekolah-sekolah alternatif sepanjang sejarahnya. Wilayah
pertama adalah perkembangan kejiwaan anak didik dalam lingkungannya. Di Amerika Serikat, John
Dewey (1859-1952) mendirikan sekolah percobaan melawan model sekolah negara yang menekankan
pengembangan intelektualisme dan cenderung verbalistik. Guru besar dari Chicago itu kemudian
mengembangkan pendidikan yang menitikberatkan pengembangan kejiwaan dan sosial, karena
menurutnya yang terpenting adalah proses setiap individu untuk berkembang di tengah masyarakat.
Sekolah yang didasarkan pada filsafat pragmatisnya cukup menonjol, karena memberi pilihan lain dari
model-model sekolah sezaman yang berorientasi menjawab pertumbuhan kebutuhan industri belaka.
Sejarah kemudian mencatat upaya dari Jan Lighthart, seorang kepala sekolah menengah di Den Haag,
Belanda. Seperti Dewey, ia pun tidak puas dengan metode belajar pasif dan merasa bahwa pendidikan
harus membawa anak-anak mengenal persoalan yang berkaitan langsung dengan kehidupannya.
Begitu pula dengan Maria Montessori yang terusik melihat pendidikan bagi anak cacat yang hanya
terarah pada satu aspek saja. Sebagai kritik ia mengembangkan pendidikan yang membangun motivasi
atau kemauan anak, sesuai dengan kodratnya.
 
Wilayah lain adalah kebudayaan atau hubungan manusia dengan lingkungan secara utuh. Sekolah-
sekolah yang bergerak di wilayah ini muncul umumnya di zaman kekuasaan kolonial yang menerapkan
sistem pendidikan untuk mengubah anak rakyat tanah jajahan menjadi ‘manusia beradab’ sesuai
ukuran penguasa kolonial. Di India, Rabindranath Tagore (1861-1941) mendirikan Shanti Niketan,
sebagai perlawanan terhadap pendidikan kolonial Inggris yang hanya ingin menciptakan rakyat jajahan
yang penurut dan sedikit ‘terpelajar’.
 
Sekolah kolonial pun menjadi alat efektif untuk menyaring orang-orang India berbakat untuk mengisi
jajaran birokrasi kolonial. Anak didik dijauhkan dari bahasa dan tradisinya sendiri, dan dipaksa
mengikuti disiplin dan cara berpikir kolonial Inggris. Mereka yang lulus dan akhirnya mendukung sistem
itu, dikenal dengan sebutan Anglicist, adalah pembela utama sistem kolonial secara keseluruhan, dan
menganggap penindasan kolonial sebagai hal yang patut diterima oleh rakyat India yang ‘tak beradab’.
Tagore memulai kegiatannya dalam situasi itu. Baginya rakyat tak punya pilihan lain kecuali
mengembalikan kepribadian rakyat India pada akar tradisinya sendiri. Ia membangun proses
pendidikan menyeluruh, dimulai dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi yang bertolak dari
pengalaman para siswa. Sementara dalam pendidikan kolonial anak-anak hanya menjadi obyek dari
para guru dan pengambil keputusan, di Shanti Niketan anak-anak diberi keleluasaan mengembangkan
diri dan berlaku sebagai subyek pendidikan.
 
Pendidikan Sebagai Gerakan
Di Indonesia, pendidikan sejak awal dianggap bagian penting dari perjuangan melawan penguasa
kolonial. Pikiran itu berkembang setelah timbul kesadaran bahwa kolonialisme mungkin bertahan bukan
hanya karena keserakahan dan kejahatan penguasa kolonial, tapi juga karena ketidaktahuan dan
ketidakmampuan rakyat untuk melawan. Sejak akhir abad ke-19 berdiri sekolah-sekolah particulier
(swasta) yang diselenggarakan oleh rakyat, karena sistem pendidikan kolonial hanya memberi
kesempatan kepada mereka yang mampu dan ‘berguna’.
Secara umum penguasa kolonial tak peduli pada nasib pendidikan bumiputra. Para pejabatnya lebih
sibuk menyebar intel untuk meredam gerakan nasionalis ketimbang menyalurkan dana untuk
pendidikan. Sekolah-sekolah particulier pada awalnya dibiarkan berkembang bebas, dan dipandang
sebelah mata saja.
 
Adalah van der Meulen, direktur pendidikan pemerintah kolonial yang pertama memberi perhatian
serius. Dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Fock, ia menguraikan bahaya dari sekolah
particulier yang menyebar nilai-nilai anti-kolonial. Maksudnya tidak lain dari sekolah-sekolah yang
dibuka oleh Sarekat Islam pimpinan Tan Malaka dan sekolah-sekolah Tionghoa yang sedang gandrung
menyebarkan nilai-nilai gerakan pembebasan di Tiongkok. Sebagai reaksi pada tahun 1921 pemerintah
mengumumkan Ordonansi No. 134 yang juga dikenal dengan sebutan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde
Scholen Ordonnantie). Dalam keputusan itu pemerintah mewajibkan setiap guru untuk melapor dan
memberikan sanksi bagi mereka yang melanggarnya.
 
Lima tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan Ordonansi No. 260 yang memerintahkan guru-guru
menutup semua ‘sekolah liar’ karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Semua sekolah yang
berhaluan nasionalis menjadi sasaran, dan penindasan pun semakin hebat setelah terjadinya
pemberontakan rakyat di Jawa dan Sumatera pada tahun 1926-27.
 
Tidak banyak sekolah yang bisa bertahan, dan salah satunya adalah perguruan Taman Siswa, yang
didirikan 1922 di Yogyakarta. Sementara kaum terpelajar menjadi sasaran represi dan sekolah-sekolah
ditutup, Taman Siswa terus bergerak dan tumbuh menjadi lembaga pendidikan terpenting dalam
perjuangan nasionalis. Pimpinannya seorang priyayi, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat – kemudian
berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara – dikenal sebagai tokoh nasionalis yang tajam.
Menjadi bagian dari pergerakan adalah kunci keberhasilan Taman Siswa. Sementara guru-guru
bumiputra yang mengajar di sekolah kolonial menolak dan bahkan mengecamnya, di banyak tempat
rakyat justru meminta sekolah itu didirikan. Di tengah represi dan pengawasan intel kolonial, Taman
Siswa menggelar konperensi besar pertama tahun 1923. Agenda utamanya adalah menetapkan prinsip
dasar dan perluasan organisasi. Perguruan yang semula hanya membuka Kindergarten dan sekolah
guru itu pun mulai nampak sebagai sebuah gerak kebudayaan yang merambah di berbagai daerah.
 
Penyadaran Demi Pembebasan
Dalam gerakan pendidikan sepanjang sejarah terbentuk pemahaman umum bahwa pendidikan
bukanlah proses transfer pengetahuan apalagi pemaksaan doktrin. Justru sebaliknya, gerakan
pendidikan melawan kecenderungan tersebut. Pendidikan di kalangan ini adalah proses
pengembangan sikap terhadap lingkungan alam, sosial dan diri sendiri sebagai manusia. Pengetahuan
pun bukan barang jadi yang tinggal diterima, tapi sebuah hasil penjelajahan yang memerlukan
kreativitas dan kebebasan.
 
Di sekolah-sekolah rakyat dan alternatif individu adalah subyek dan titik pusat pendidikan. Seluruh
paradigma pendidikan otoriter di sekolah tradisional dijungkir-balikkan, karena seperti dikatakan Ivan
Illich, di dalamnya individu hanya dijadikan kuda beban atau domba korban yang melayani kepentingan
penguasa dan praktek diskriminasi yang menyingkirkan kalangan tak mampupun tak dapat dihindarkan.
Baginya sekolah tradisional lebih jauh mengebiri kecerdasan dan menjerat kemanusiaan dalam
perangkap mekanik, sehingga tak ada pilihan lain kecuali membangun masyarakat tanpa sekolah.
Untuk mengembangkan dan memperkuat gagasannya Illich aktif dalam Center of Intercultural
Documentation (CIDOC) yang didirikan di Mexico tahun 1961. Di sini ia membuat studi dan diskusi-
diskusi tentang pendidikan alternatif, di samping memikirkan masalah jumlah anak putus sekolah yang
semakin membengkak di seluruh Amerika Latin. Karena tidak ada dana mendirikan sekolah sementara
pendidikan sangat diperlukan, Illich mulai berpikir tentang pendidikan rakyat tanpa sekolah yang
sesungguhnya hanya membelenggu kemerdekaan berpikir dan berkarya.
 
Gagasan radikal itu mendapat wujudnya dalam model pendidikan yang dikembangkan Paulo Freire.
Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil, di mana penindasan bercokol dengan
mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa. Pada tahun 1960-an ketika ia
mulai bergerak, hampir separuh dari 34,5 juta penduduknya buta huruf. Di tengah lautan ketidaktahuan
para politisi bermain (dan mempermainkan) rakyat dan akhirnya mampu mempertahankan penindasan
yang hebat.
 
Baginya, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientização), yang akhirnya bermuara
pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah yang hanya
memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk menjadi
pelayan kepentingan penguasa. Baginya pengenalan abjad terkait dengan pembebasan, karena itu
program pemberantasan buta hurufnya sekaligus bermaksud membangkitkan kesadaran politik rakyat.
Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang pedantik dan berhenti pada pengetahuan, dengan
menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.
 
Metode itu tentu saja mengganggu kenyamanan penguasa. Kecerdasan rakyat adalah musuh setiap
penguasa lalim. Ketika terjadi kudeta, rezim militer yang kemudian berkuasa menuduh metode Freire
adalah subversi yang mengancam status quo. Tahun 1964, setelah dipenjara selama 70 hari, ia
dibuang ke luar negeri. Selama lima tahun ia terpaksa hidup di pengasingan, dan melanjutkan
perjuangan pendidikannya di negeri-negeri Amerika Latin, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.
Dalam keadaan carut-marut seperti sekarang, sudah saatnya kita berpikir tentang membangun kembali
pendidikan sebagai bagian dari gerakan rakyat. Sudah saatnya pula pemerintah berbesar hati
mengakui keterbatasannya, dan mundur dari pengelola yang otoriter menjadi lembaga pemberi fasilitas
dan pengakuan kepada usaha-usaha rakyat membangun pendidikannya sendiri. Pengalaman sejarah
Indonesia sendiri memperlihatkan bahwa ‘kaum terpelajar’ yang membangun negeri ini bukan hanya
mereka yang dididik di sekolah kolonial. Kekuasaan dan kewenangan tidak ada urusan dengan
kecerdasan. Karena itu tidak ada salahnya ‘meninggalkan sekolah’ untuk membangun gerakan
pendidikan rakyat.
 
TIM MEDIA KERJA BUDAYA: Ayu Ratih, Hilmar Farid, IBE Karyanto, Razif.

....
 

Lembaga Pendidikan Semi Palar | Artikel | Desember 2004

Anda mungkin juga menyukai