Anda di halaman 1dari 7

Nama : Samuel A.

K Ompusunggu
NIM : 17.04.12.6967
M.K : Apologetika Kristen

Bab 4
Pentingnya Pendengar
Proklamasi Injil harus herorientasi pada penerima; yaitu, ia harus menunggu kesempatan
yang akan muncul di antara pendengarnya. Sebagaimana ilmu apologetika memer- hatikan
analisis teologis proklamasi Kristen, demikian pula seni berapo- logetika memerhatikan
aplikasi imajinatif dan kreatif dari komponen masing-masing kepada pendengarnya.yang
Lihatlah bagaimana Paulus dengan apik menggunakan adopsi sebagai gambaran penebusan.'
Paulus jelas menggunakan gambaran ini dalam surat- suratnya dengan harapan pembacanya
akan terbiasa dengan gambaran ini dan paham bagaimana ia mengiluminasi konsekuensi dari
kematian dan kebangkitan Kristus. Namun konsep adopsi tidak dikenal dan juga dilarang
Iukum Yahudi. Itu merupakan kategori legal yang umum bagi orang-orang dalam dunia
Greko-Roman. Tidaklah mengejutkan apabila Paulus gakan gambaran ini dalam surat yang
ditulis kepada gereja-gereja. Di roma dan daerah lain dalam dunia Greko-Roman seperti
Efesua dan saerah Galatia. Tidak ada penulis yang menggunakan gambaran ini ketuka
menulis kepada pembaca Yahudi. Hampir semua apologis Injili dengan tepat mendasari
strategi apolo- getika mereka dengan tulisan-tulisan Paulus, terutama suratnya kepada jemaat
di Roma. Tetapi surat Paulus ditulis kepada orang Kristen-yaitu, kepada orang yang sudah
percaya, dan yang membutuhkan tuntunan, dorongan, dan arahan. Surat Paulus tidak
dialamatkan kepada orang tidak percaya atau penanya. Tentu saja benar bahwa Paulus
memiliki kepentingan terhadap orang-orang demikian dalam hatinya, dan dalam beberapa
bagian di suratnya jelas bahwa ia mengkhawatirkan kesan negatif dari tingkah laku beberapa
orang Kristen memengaruhi orang yang belum percaya. Sebagai contoh, 1 Korintus jelas
mengekspresikan kekhawatiran tentang apa yang akan dipikirkan orang yang belum percaya
tentang Injil apabila mereka mendengar rumor seperti yang terjadi dalam ibadah umum di
Korintus. Dua bagian PB, yaitu empat Injil dan Kisah Para Rasul mengasumsikan pendengar
mereka sebagai orang yang belum percaya. Empat Injil mencatat pertemuan antara Yesus dan
individu-individu yang bisa menjadi contoh bagi kita dalam mempresentasikan pribadi dan
karya Yesus bagi orang dalam budaya hari ini. Meski demikian, perhatian khusus saya di bab
ini adalah tentang Kisah Para Rasul, yang mencatat beragam khotbah dan pendekatan
apologetika yang digunakan oleh Paulus dan orang Kristen mula-mula yang berpengaruh
seperti Petrus. Di sini kita menemukan materi apologetika yang gamblang. Di dalam
serangkaian khotbah dan kejadian, kita melihat Paulus dan yang lain menghadapi secara
langsung ide dan keprihatinan dari kelompok-kelompok sosial utama. Seperti yang diperjelas
oleh narasi Kisah Para Rasui (dan sejarah gereja mula-mula), setiap kelompok itu menjadi
bagian dari gereja mula-mula dan memainkan peranan penting dalam penjangkauannya.
Pendekatan-pendekatan apologetika dalam Kisah Para Rasul mem- berikan wawasan penting
tentang metode apologetika yang alkitabiah, sekaligus menyarankan strategi untuk
menghadapi kelompok yang penting bagi perkembangan gereja mula-mula. Kita akan
mengeksplorasi strategi apologetika yang dikembangkan Petrus dan Paulus dalam khotbah
kuncinya dalam Kisah Para Rasul, di mana mereka berhadapan langsung dengan keprihatinan
tiga kelompok orang: Yahudi, Yunani, dan Romawi.
 Apologetika kepada orabg Yahudi: khotbah petrus di hari pentakosta (Kis 2)
Poin pertama yang perlu dicatat adalah cara apologetika Petrus yang langsung berkaitan
dengan tema yang penting dan mudah dipahami oleh pendengar Yahudi. Pengharapan akan
kedatangan Mesias dianggap (dan masih!) signifikan bagi Yudaisme. Petrus di sini membuat
tiga langkah penting apologetika. Pertama, ia menunjukkan bahwa Yesus memenuhi kriteria
harapan Israel. Kedua, ia mengacu pada otoritas (di sini, perikop nubuatan dalam PL) yang
dianggap penting oleh pendengarnya. Dan ketiga, ia menggunakan bahasa dan terminologi
yang siap diterima dan dipahami oleh pendengarnya. Perhatikan bahwa ia menyebut Yesus
sebagai "Tuhan dan Mesias." Tidak perlu ada penjelasan bagi kedua istilah teknis itu. Kedua
ide itu sudah akrab dengan pendengarnya, dan kedua-duanya penting bagi pendengarnya.
Apa yang baru dari berita Petrus adalah penekanannya bahwa kebangkitan Kristus adalah
landasan untuk menyebut-Nya sebagai Tuhan dan Mesias. Pentingnya penafsiran dalam
apologetika perlu ditekankan di sini. Petrus tidak sekadar menegaskan aktualitas sejarah dari
kematian dan kebangkitan Yesus; ia menawarkan penafsiran khusus kepada kenyataan itu.
Membandingkan sejarah adalah fungsi yang unik dan penting dalam persenjataan apologis
Kristen. la memperkuat keyakinan orang Kristen terhadap kisah yang termasyhur dalam Injil
yang padanya iman diletakkan.Namun bagaimana dengan orang luar? Peran apa yang
diberikan oleh bukti sejarah kepada mereka yang berada di luar iman? Apakah ini akan
membuat mereka datang kepada iman? Merujuk pada bukti sejarah tidak diragukan lagi
memiliki peran yang penting di sini. Ia meminimalkan halangan pada iman-kritik, sering
dibuat oleh penulis ateis, bahwa PB adalah “karangan," yang tidak memiliki akar sejarah. la
menghadirkan tantangan yang kuat bagi mereka yang berpendapat, biasanya dengan landasan
yang kurang kuat, bahwa kekristenan hanyalah khayalan semata, dengan menekankan bahwa
kekristenan hadir melalui peristiwa dalam sejarah. Iman Kristen lahir karena respons terhadap
sejarah Yesus dari Nazaret.
Ini merupakan poin yang penting, dan perlu dipikirkan lebih lanjut. Untuk menolong kita
mengerti isu ini, coba pertimbangkan momen kritis dari prajurit Roma yang terkenal bernama
Julius Caesar. Di tahun 49 SM, Caesar memimpin pasukan di Selatan Gaul (sekarang
Perancis) menuju Italia. l'ada satu titik, inereka harus menyeberangi sungai-Rubicon. Laporan
pada masa itu mengatakan bahwa sungai itu tidak lebar maupun dalam. Menyeberangi sungai
itu tidaklah sulit. Maka, sekadar menyeberangi sungai Rubicon tidak memiliki signifikansi
historis.
Jadi apa signifikansi dari khotbah Petrus bagi kita hari ini? la mem- berikan contoh kasus
untuk meyakinkan pendengarnya bahwa Yesus merupakan puncak dari cara Allah berurusan
dengan umat pilihan-Nya. Sebagaimana ditekankan Petrus, kebangkitan Yesus mewakili titik
kulminasi dari banyaknya petunjuk yang mengarah kepada kesimpulan bahwa Dia adalah
"Tuhan dan Mesias." Apologetika yang baik bukan hanya mene- gaskan fakta sejarah. Kita
tidak hanya sekadar membuktikan bahwa Yesus niati di kayu salib dan bangkit. Kita ingin
menjabarkan signifikansi dari fakta ini kepada dunia yang sudah jatuh dan terhilang ini.
Apologetika yang baik juga bukan sekadar penegasan wawasan spiritual-sebagai contoh,
kemampuan iman Kristen untuk memenuhi kebutuhan terdalam dari umat manusia. Wawasan
ini diberikan melalui peristiwa sejarah. Ketika peristiwa ini dipahami dengan benar, maka
makna spiritualnya yang terdalam bisa ditangkap. Kejadian dan maknanya harus diberikan
bersama dan diproklamasikan bersama. Khotbah Petrus pada hari Pentakosta memberikan
kita petunjuk penting tentang bagaimana melakukan ini dengan baik.
 Apologetika kepada orang Yunani: Khotbah Paulus di Atena
Salah satu pendengar penting yang diceritakan penulis PB adalah "orang Yunani." Di dalam
surat Paulus yang pertama kepada jemaat Korintus, "orang Yunani" diletakkan di samping
"orang Yahudi" sebagai kelompok yang berpengaruh (1Kor. 1:22).
Menurut Lukas, Paulus memulai pidatonya kepada orang Atena dengan memperkenalkan
tema mengenai Allah yang hidup secara bertahap, membuat keingintahuan filosofis dan
religius orang-orang Atena menjadi garis besar eksposisi teologisnya. la merujuk pada "rasa
ketuhanan" (sense of divinity-red.) yang hadir di dalam setiap individu sebagai titik temu
bagi iman Kristen. Dengan melakukan ini, Paulus mempertemukan asumsi Yunani mengenai
Allah, dan pada saat yang sama mendemonstrazikan bagaimana Injil Kristen melampauinya.
Paulus menunjukkan penghargaan yang jelas akan potensi apologetika dari filsafat Stoa,
menggambarkan Injil sebagai gema kepada keprihatinan Stoa yang sentral, sambil
memperluas batasan dari apa yang bisa diketahui. Apa yang tidak diketahui crang Yunani,
mungkin tidak bisa diketahui, Paulus menyatakan sudah bisa diketahui melalui kebangkitan
Kristus. Paulus sanggup menghubungkan dirinya dengan dunia kognitif dan pengalaman dari
pendengarnya tanpa mengompromikan integritas iman Kristen.
Jadi otoritas seperti apa yang digunakan Paulus untuk berbicara kepada pendengarnya yang
berasal dari Atena? Penting untuk melihat bahwa orang Atena tidak memahami PL. Padahal
khotbah Petrus di hari pentakosta berbicara kepada orang Yahudi yang sangat paham dengan
PL, khotbah Paulus di Atena berhadapan dengan orang yang berasal dari konteks kebudayaan
yang sangat berbeda, Paulus berada dalam situasi vang memaksa dia untuk menyampaikan
Injil tanpa merujuk pada sejarah dan Iurapan orang Israel. Jadi bagaimana ia melakukannya?
Paulus menyadari identitas dan karakteristik pendengarnya yang unik, dan menggunakan
kepercayaan lokal serta peristiwa penting sebagai jangkar dalam presentasi apologetikanya.
Karena pendengarnya tidak memahami PL, Paulus menggunakan literatur yang sudah akrab
dengan mereka dalam kasus ini, penyair Atena, Aratus, yang dikenal luas sebagai ikon
budaya di zaman itu. Aratus berasal dari akhir abad keempat hingga awal abad III SM, dan ia
dipercaya lahir di Soli, seprovinsi dengan Paulus di Kilikia. Aratus mempelajari filsafat Stoa
di Atena di sekolah yang didirikan oleh Zeno. Tidak banyak tulisannya yang bertahan hingga
hari ini. Tetapi jelas mengapa Paulus memilih untuk mengutip dia dengan cara ini:
[Allah] tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita
hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh
pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga. (Kis.
17:27-28)
Di sini Paulus mengutip separuh kalimat Aratus untuk memperkuat- bukan membuktikan-
poinnya sendiri tentang Allah yang dekat dengan kita. Tugu lokal yang kedua juga
memainkan peranan kunci dalam pendekatan Paulus-prasasti pada altar yang berruliskan
"Kepada allah yang tidak dikenal" (Kis. 17:23). Literatur zaman itu, seperti tulisan Diogenes
Laertus, membicarakan mengenai "altar anonim" yang ada di zaman itu. Paulus berargumen
di sini bahwa allah yang orang-orang Yunani pahami secara implisit atau intuitif sekarang
telah diperkenalkan secara penuh dalam Injil. Allah dikenal secara tidak langsung melalui
tatanan ciptaan sekarang Suek bisa dikenal secara penuh melalui kebangkitan Yesus Kristus.
Pidato apologetis Paulus di Atena memberikan wawasan yang penting tentang bagaimana
mengadaptasi proklamasi Injil kepada pendengar lokal. Pendekatan Petrus kepada pendengar
Yahudi di Yerusalem jelas tidak cocok dengan pendengar Paulus di Atena, demikian pula
pendekatan Paulus di Atena tidak akan cocok dengan pendengar di Yerusalem. Paulus
mengadaptasi retorikanya dengan situasi lokal, mengutip sumber yang berotoritas dari lokal
(penyair Aratus), memanfaatkan potensi apologetis dari tugu lokal (altar anonim), dan
mengembangkan garis pemikiran yang harmonis dengan ide orang Atena tentang kehadiran
Ilahi dalam tatanan ciptaan. Ini merupakan pendekatan yang dengan mudah bisa diadopsi dan
diadaptasi hari ini.
 Apologetika kepada orang Romawi: Pidato Resmi Paulus (kis 24-26)
Pendengar ketiga dari kekristenan mula-mula adalah orang Romawi. Pada saat itu, Roma
merupakan kekuatan imperial yang menguasai dunia Mediterania. Jelas bahwa penguasa
kekaisaran Romawi memandang kemunculan kekristenan dengan kecurigaan. Salah satu
alasannya adalah potensi gereja untuk membuat masalah di tengah daerah yang sedang
bergejolak di dalam kerajaan. Tetapi ada lagi alasan yang mungkin lebih signifikan yang
mengkhawatiran mengenai kekristenan-yang disebut kultus imperial. Kultus imperial adalah
bentuk agama sipil yang beralaskan pandangan yang meninggikan kaisar Romawi. Kultus ini
muncul pada masa peme- rintahan Agustus, dan tampaknya langsung menjadi signifikan
dalam dekade- dekade sebelum kelahiran Kristus. Pada tahun 50 M ketika kekristenan mulai
tampil secara signifikan pada bagian timur kekaisaran Romawi-kultus imperial telah berdiri
kokoh sebagai aspek rutin dari kehidupan koloni tomawi, secara khusus pada daerah jajahan
Mediterania. penyembahan kepada kaisar Romawi merupakan sarana penting untuk menjaga
kesatuan dan stabilitas di seluruh kekaisaran. Penolakan untuk berpartisipasi dalam kultus
imperial ini dianggap setara dengan subversi politik atau pemberontakan. Orang Kristen
rawan dituduh bersikap menghasut apabila mereka menolak menyesuaikan diri dengan kultus
imperial tersebut.
Paulus dituduh scbagai penghasut pada satu titik perjalanan hidup- uya. Tuduhan diberikan
kepadanya oleh orator profesional Tertulus (Kis. 24:1-8). Menurut Tertulus, Paulus adalah
“penghasut di antara semua rang Yahudi di seluruh dunia yang beradab, dan seorang tokoh
dari sekte otang Nasrani" (Kis. 24:5). Ini merupakan tuduhan serius, yang disamakan dengan
tuduhain subversi politik dan pemberontakan terhadap otoritas tefaisaran Romawi. Paulus
perlu menjawab tuduhan tersebut dengan efektif dan halus. Pentingnya poin ini bisa dilihat
dengan meneliti pidato pembelaan Paulus dalam Kisah Para Rasul 24:10-21, di sini Paulus
merespons tuduhan yang diberikan Tertulus kepadanya. Penting dicatat cara Paulus
mengikuti- menurut banyak ahli, dengan lihai"peraturan pembelaan" yang dituturkan oleh
peraturan hukum Romawi ketika ia membantah satu demi satu tuduhan Tertulus. Secara
khusus, Paulus menekankan kontinuitas antara kepercayaannya dan orang-orang Yahudi yang
menuduhnya, khususnya mengenai Alkitab dan kebangkitan. Tetapi yang paling signifikan
adalah rujukan buktinya pada peraturan Romawi, yang ia gunakan dengan mahir untuk
mempermainkan lawannya. Kita mendiskusikan masalah ini bukan sekadar untuk memahami
apa yang terjadi dalam konfrontasi historis yang penting ini, tetapi menemukan relevansinya
dalam situasi apologetika kita hari ini. Poin yang bagus dari argumentasi hukuin Romawi
tidak menjadi perhatian kita di sini. Poinnya adalah Paulus tahu bagaimana pengadilan
Romawi memeriksa bukti dan mampu bekerja dengan sistem tersebut. Dua poin muncul
dengan jelas. Pertama, penting untuk mencatat bagaimana Paulus menggunakan secara efektif
"peraturan pembelaan" dalam sistem hukum Romawi. la menangkap pentingnya berapa
argumen jenis tertentu di mata mereka yang akan mengambil keputusan penting nmengenai
masa depannya. Dan menyadari apa yang benar-benar penting, ia mampu menyampaikan
pembelaan paling efektif tentang dirinya sebagai orang percaya dan mengenai Injil Kristen,
Poin ini tetap penting hari ini. Kita harus membela Injil di hadapan banyak pengkritik. Tetapi
kita tidak bisa menganggap semua orang yang tidak suka atau menolak kekristenan sebagai
satu kelompok homogen. Alasan mereka menolak kekristenan bervariasi, sebagaimana alasan
untuk menerimanya. Argumen yang terasa begitu meyakinkan bagi sekelompok orang
mungkin malah bertentangan dengan iman Kristen di kelompok lain! Kita perlu mengenali
argumen yang berbobot bagi pendengar kita. Kedua, cukup jelas bahwa Paulus dan Injil
Kristen pernah dipelintir oleh penuduh dan penguasa legal mereka. Secara umum, strategi
apologetika Paulus adalah memaparkan apa yang ia yakini. Penolakan terhadap kekristenan
entah dalam bentuk keputusan spontan untuk tidak berurusan dengannya atau membencinya
secara tidak sadar-bergantung bagaimana pemahamannya tentang kekristenan sebelumnya.
Ada banyak kemungkinan bahwa sindiran atau rumor mengenai kekristenan telah ditolak,
sementara kekristenan yang sesungguhnya tidak pernah dihadapi atau dipahami. Bagi paulus,
salah satu pembelaan terkuat dari iman Kristen adalah penjelasannya.
Apologetika dan Pendengar: Prinsip-prinsip umum
Tiga prinsip umum muncul dari refleksi pidato apologetika dalam Kisah Para Rasul. Prinsip-
prinsip itu bermanfaat apabila kita merangkum- kan poin-poin ini, dan mempertimbangkan
bagaimana kita bisa meng- inakannya hari ini.
1. Alamatkan kepada pendengar yang spesifik. Ketiga pidato yang dibahas di sini
memiliki pendengar yang sangat berbeda. Sebagai contoh, Petrus berbicara kepada
orang Yahudi yang sudah memahami PL, dan mengetahui harapan Yudaisme; di
Atena, Paulus berhadapan dengan kepentingan paganisme sekuler Yunani,
menggunakan istilah yang mereka bisa pahami. Dalam setiap kasus, pendekatan
apologetika ini disesuaikan dengan keunikan pendengarnya. Kita perlu menunjukkan
kemampuan yang sama (dan siap repot) untuk menemukan Injil yang tak berubah
dengan kebutuhan yang sangat berbeda dari kelompok-kelompok yang kita akan
temui.
2. Poin kedua masih berkaitan dengan ini. Identifikasikan otoritas yang dianggap
penting oleh pendengar. Petrus merujuk PL, menyadari bahwa pendengar Yahudi
akan menganggapnya berotoritas; Paulus merujuk pada penyair Yunani ketika ia
berupaya membela Injil di Atena. Sang apologis perlu untuk memikirkan otoritas
mana yang dihargai olch setiap pendengar, dengan tetap mengingat bahwa oto- ritas
yang dianggap penting bagi satu pendengar mungkin dianggap remeh oleh yang lain.
3. Akhirnya, ingatlah bahwa penting bagi kita untuk menggunakan bentuk argumen
yang akan dianggap penting oleh pendengar. Paulus dengan teliti menyesuaikan
penyampaiannya dengan praktik legal Romawi adalah contoh prinsip umum yang
memastikan kebenaran Injil disampaikan dengan cara paling efektif kepada pendengar
yang kita tuju. Bukti ketidakbersalahan Paulus aman dan kokoh. Tetapi apabila
disampaikan dengan cara yang tidak sesuai dengan harapan dan pola pikir
pendengarnya, maka akan terdengar lemah dan tidak memadai. Dengan bijak, Paulus
memilih untuk bekerja di dalam kerangka pikir Romawi dalam menyampaikan bukti
dan mengembangkan argumentasi.
BAB 5
Rasionalitas Iman Kristen
Sebelum menjadi Kristen, Waugh hanya melihat dunia yang terdistorsi oleh asap dan kaca;
setelah pertobatan, ia melihat dunia ini sebagaimana adanya. Ia mulai menjelajahi dunia baru
ini dengan gembira, antusias, dan kekaguman, yang terlihat jelas melalui karya-karyanya
setelah itu. Jadi bagaimana kita memahami rasionalitas iman? Rasionalitas dari iman Kristen
dapat didemonstrasikan dengan dua cara yang meski berbeda, namun saling mnelengkapi: 1.
Dergan menunjukkan dasar argumentasi dan bukti yang baik bagi kepercayaan inti iman
kekristenan. Pendekatan semacam ini mungkin termasuk membangun argumen intelektual
tentang keberadaan Allah, atau argumentasi sejarah untuk kebangkitan Yesus dari Nazaret.
Di sini, sebuah pembuktian dilangsungkan demi menunjukkan bahwa clemen fundamental
inman Kristen itu layak dipercaya. 2. Dengan menunjukkan bahwa, apabila iman Kristen itu
benar, maka realitas menjadi lebih masuk akal ketimbang aliernatifrya. Kekristenan cocok
dengan observasi dan pengalaman kita lebih dari- pada alternatifnya, Ada analogi yang pas di
sini dengan pengujian teori sains, yang biasanya dinilai melalui kemampuan mereka untuk
mengakomodasi atau menjelaskan observasi.
 Memahami Natur Iman
Kebangkitan "Ateisme Baru" di tahun 2006 melahirkan ketertarikan baru tentang natur iman.
Mengapa percaya kepada Allah, apabila ia tidak bisa dibuktikan secara tepat dan pasti? Salah
satu kata-kata dari Ateis Baru yang sangat menusuk adalah “iman kepada Allah itu irasional."
Bagi ateis militan Richard Dawkins, iman adalah tentang melarikan diri dari bukti,
menyembunyikan kepala Anda di dalam pasir, dan menolak untuk berpikir. Meskipun banyak
pengamat media merespons dengan positif terhadap kritik semacam ini, hasil pengamatan
menunjukkan bahwa mereka sangat dangkal. Ateisme Baru ini ternyata memiliki
kepercayaan dan dogma yang belum terbukti-dan tidak dapat dibuktikan, sama seperti
pandangan yang lain. Kritikas filosofis terhadap Pencerahan-seperti Alasdair MacIntyre atau
John Gray-berargumen bahwa pencarian Pencerahan terhadap fondasi dan kriteria
pengetahuan yang universai gagal dan akhirnya runtuh di hawah beban bukti yang
sebaliknya. Visi untuk memiliki satu rasionalitas miversal tidak dapat dipertahankan atau
dicapai. Sebagai manusia, kita lak punya pilihan lain, tetapi kita harus menyadari bahwa kita
harus hidup dalam kebenaran rasional yang abu-abu, ambigu, tidak absolut, dan tidak murni.
Kita tentu harus mengekspresikan dan membela kriteria di mana man kita dapat dibenarkan,
tetapi kita harus sadar bahwa kepercayaan tesebut mungkin melampaui bukti. Mereka, seperti
frasa yang dipopulerkan psakolog Harvard William James, paling baik dipahami sebagai
“hipotesis" kerja.
Semua orang secara rasional memercayai sesuatu sebagai kebenaran, walaupun mereka
menyadari bahwa kepercayaan-kepercayaan itu tidak bisa dibuktikan secara tepat. Pengkritik
agama sering berpendapat bahwa "iman" adalah semacam penyakit mental, khusus kepada
mereka yang beragama. Ini jelas salah. Iman adalah bagian dari manusia. Sebagaimana filsuf
Julia Kristeva nyatakan baru-baru ini: "Entah saya ada dalam sebualh agama, entah saya
agnostik atau ateis, ketika saya mengatakan 'Saya percaya,' maksud saya "Saya yakin benar."
Kepercayaan mengenai Allah, keadilan, dan hak asasi manusia juga mengalami problema
yang sama-daftar ini pun masin bisa ditambah dengan teori-teori yang lainnya.
Maka, iman adalah mengenai percaya kepada seseorang, bukan sekadar percaya bahwa ia
ada. Poin ini dinyatakan oleh penulis Denmark Søren Kicrkegaard (1813-1855), yang
menekankan bahwa iman yang benar kepada Allah adalah sebuah "lompatan kualitatif" dari
satu cara ke cara lainnya. Iman Kristen bukanlah sekadar menambahkan satu ide tambahan
pada konten dunia-yaitu, Allah. Iman Kristen adalah tentang menyadari dan menerima "mode
eksistensi" baru yang dimungkinkan melalui penyerahan diri kita. Filsuf Austria Ludwig
Wittgenstein yang luas dianggap sebagai alah satu orang paling jenius abad XX. Ia sangat
meragukan kemungkinan vang membuktikan" keberadaan Allah. Ia belum pernah, kata dia,
bertemu dengan orang yang percaya kepada Allah sebagai hasil dari argumentasi! Poin
penting ini sudah diantisipasi oleh teolog Puritan Amerika Jonathan Edwards (1703-1758).
Bagi Edwards, argumen yang rasional memiliki tempat yang penting dalam apologetika
Kristen. Tetapi ini bisa membuat kita Janya percaya bahwa Allah itu ada, tanpa memiliki
dampak transformatif. Seperti yang dikatakan Edwards, beberapa orang "menyatakan
semacam persetujuan pada kebenaran agama Kristen dari bukti rasional atau argumentasi
yang ditawarkan dengan jelas."Tetapi ini tidak membuat orang bertobat atau memiliki "iman
yang benar.

Anda mungkin juga menyukai