Anda di halaman 1dari 77

SKRIPSI

EVALUASI RASIONALITAS PERESEPAN OBAT


ANTI HIPERTENSI PADA PASIEN GANGGUAN
GINJAL KRONIK STAGE V DI
RSUD Dr. PIRNGADI

OLEH :
MAYARNI TAON BARU PARDOSI
190205416

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU
KESEHATAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA
INDONESIA MEDAN
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi dengan Judul:

EVALUASI RASIONALITAS PERESEPAN OBAT ANTI HIPERTENSI


PADA PASIEN GANGGUAN GINJAL KRONIK STAGE V DI RSUD Dr.
PIRNGADI

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

MAYARNI TAON BARU PARDOSI


190205416

Telah diuji dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Program Studi Farmasi Fakultas
Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia pada tanggal 30
September 2021 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima.

Tim Penguji:

Tanda Tangan
Ketua Penguji : apt. Dra. Elly Sitorus, M.KM.

Anggota : 1. apt. Modesta Harmoni T, M.Si

2. apt. Cut Masyitah Thaib, M. Si

Disetujui Oleh Diketahui Oleh


Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Ketua Program Studi Sarjana Farmasi
Universitas Sari Mutiara Indonesia Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia

(Taruli Rohana Sinaga, SP., MKM) (apt. Cut Masyitah Thaib, M.Si)
NIDN. 0116107103 NIDN. 0101018106
i
LEMBAR PERSETUJUAN

skripsi dengan judul:

EVALUASI RASIONALITAS PERESEPAN OBAT ANTI HIPERTENSI


PADA PASIEN GANGGUAN GINJAL KRONIK STAGE V DI RSUD Dr.
PIRNGADI

Yang dipersiapkan oleh:

MAYARNI TAON BARU PARDOSI


NIM: 190205416

Telah diperiksa dan disetujui untuk dipersentasikan pada tanggal:


27 Agustus 2021

Medan, Agustus 2021


Dosen Pembimbing,

(apt. Dra. Elly Sitorus, M.KM.)

ii
EVALUASI RASIONALITAS PERESEPAN OBAT ANTIHIPERTENSI
PADA PASIEN GANGGUAN GINJAL KRONIK STAGE V DI RSUD DR
PIRNGADI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Hipertensi adalah penyakit tidak menular yang ditandai dengan tekanan darah yang
meningkat mencapai angka >140/90 mmHg. Hipertensi ini menjadi faktor resiko utama dalam
menyebabkan penyakit kardiovaskular lainnya. Angka kejadian hipertensi beserta komplikasinya
terus meningkat setiap tahun sehingga potensi adanya ketidakrasionalan penggunaan obat juga
semakin meningkat. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui rasionalitas
penggunaan obat antihipertensi di instalasi rawat inap RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan periode
tahun 2021 dimana meninjau dari segi tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dilakukan dengan metode deskriptif dan
menggunakan data retrospektif yaitu lembar rekam medis pasien hipertensi tahun 2021. Metode
pengambilan sampel yang digunakan yaitu proportional stratified random sampling. Dari jumlah
total 97 rekam medis pasien hipertensi, jumlah besaran sampel yang digunakan yaitu sebanyak 41
rekam medis dimana terdapat 135 lembar resep didalamnya. Data - data yang diperoleh kemudian
dibandingkan dengan menggunakan literatur American Society of Hypertension (ASH) tahun 2013
dan Pharmaceutical Care untuk Pasien Hipertensi tahun 2006. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rasionalitas penggunaan obat antihipertensi di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan periode
tahun 2021 yaitu tepat indikasi 100%, tepat pasien 100%, tepat obat 100%, dan tepat dosis 98,52%.

Kata-Kata Kunci: Evaluasi Rasionalitas, Peresepan, Obat Anti Hipertensi, Gagal Ginjal
Kronik Stage V

iii
EVALUATION OF THE RATIONALITY OF USE OF
ANTIHYPERTENSIVE DRUGS IN PATIENTS WITH STAGE V
CHRONIC KIDNEY DISORDERS AT DR HOSPITAL
PIRNGADI

ABSTRACT

Hypertension is a non-communicable disease characterized by increased blood pressure


reaching > 140/90 mmHg. Hypertension is a major risk factor in causing other cardiovascular
diseases. The incidence of hypertension and its complications continues to increase every year so
that the potential for irrational use of drugs is also increasing. The purpose of this study is to
determine the rationality of the use of antihypertensive drugs in the outpatient installation of
RSUD Dr. Pirngadi, Medan City, for the 2021 period, reviewing in terms of the right indication,
right patient, right drug, and right dose. This study is an observational study conducted with a
descriptive method and using retrospective data, namely medical record sheets for hypertension
patients in 2021. The sampling method used is proportional stratified random sampling. From a
total of 97 medical records of hypertension patients, the number of samples used was 41 medical
records where there were 135 prescription sheets in it. The data obtained were then compared
using the literature of the American Society of Hypertension (ASH) in 2013 and Pharmaceutical
Care for Hypertension Patients in 2006. The results showed that the rationality of the use of
antihypertensive drugs in RSUD Dr. Pirngadi, Medan City for the period of 2021, namely 100%
correct indication, 100% correct patient, 100% correct drug, and 98.52% correct dose.

Keywords: Evaluation of Rationality, Prescription, Anti Hypertension Drugs, Chronic Kidney Disease
Stage V

iv
SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Mayarni Taon Baru Pardosi


NIM : 190205412
Program Studi : Farmasi

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya susun dengan judul:

EVALUASI RASIONALITAS PERESEPAN OBAT ANTI HIPERTENSI


PADA PASIEN GANGGUAN GINJAL KRONIK STAGE V DI RSUD Dr.
PIRNGADI

adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan plagiat dari Skripsi
orang lain. Apabila dikemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia
menerima sanksi akademis yang berlaku.

Demikian pernyataan ini Saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan bila
mana diperlukan.

Medan, 27 Agustus 2021


Pembuat Pernyataan,

Mayarni Taon baru Pardosi


NIM: 190205416

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis dalam melaksanakan
penelitian hingga dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi yang berjudul
“Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Anti Hipertensi pada Pasien Gangguan
Ginjal Kronik Stage V di RSUD Dr. Pirngadi”.
Proposal ini disusun untuk melengkapi tugas dan memenuhi salah satu
syarat dalam menyelesaikan tugas akhir pendidikan dalam mendapatkan gelar
Sarjana Farmasi dalam Program Studi Farmasi di Fakultas Farmasi dan Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan.
Penyusunan proposal ini banyak hambatan yang penulis alami, namun
berkat kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak sehingga proposal ini dapat
diselesaikan walaupun masih jauh dari kata sempurna. Pada kesempatan ini,
dengan kerendahan hati dan hormat penulis menyampaikan ucapan terima kasih
sebesar-besarnya kepada :
a. Bapak Dr. Parlindungan Purba, SH, MM selaku Ketua Yayasan Sari Mutiara
Indonesia Medan.
b. Ibu Dr. Ivan Elisabeth Purba, M.Kes selaku Rektor Universitas Sari Mutiara
Indonesia Medan.
c. Ibu Taruli Rohana Sinaga, SP, M.KM selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan.
d. Ibu apt. Cut Masyitah Thaib, S.Farm, M.Si selaku Ketua Prodi S1 Farmasi
Fakultas Farmasi Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan dan sekaligus
selaku Dosen Penguji II yang telah meluangkan waktu untuk bersedia
menguji dan memberikan masukan kepada penulis.
e. Ibu apt. Elly Sitorus, M.KM., selaku Dosen Pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan saran dengan

vi
penuh kesabaran dan membimbing penulis dalam penyusunan Skripsi ini.
f. Ibu apt. Modesta Harmoni T,M.Si selaku Dosen Penguji I yang telah
meluangkan waktu untuk bersedia menguji dan memberikan masukan kepada
penulis.

vii
g. Dosen-dosen dan seluruh Staf pengajar S1 Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan yang telah banyak membimbing
penulis selama melakukan perkuliahan.
h. Teristimewa kepada Almarhum/ almarhumah orang tua tercinta, Suami dan
keluarga yang telah memberikan motivasi, dukungan dan do’a sehingga
penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
i. Ibu Dra. Peri, Apt selaku Kepala Instalasi Farmasi RSUD Dr. Pirngadi Kota
Medan yang telah membimbing dan membantu saya dalam menyelesaikan
Skripsi ini.
j. Teman-teman dekat saya Irma Handayani, Ramadani Mayasari, Siska
Handayani, Martha Siregar, Nurlaili, dan semua teman-teman mahasiswa/i
Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia
Medan yang telah membantu dan memberikan perhatian, semangat, dukungan
dan do’a kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
k. Serta terkhusus buat teman-teman sejawat dan seluruh pegawai di Instalasi
Farmasi RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan yang telah membantu dan
memberikan perhatian, semangat serta dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan Skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan proposal ini, masih terdapat
banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun untuk penyempurnaan skripsi ini dimasa mendatang. Akhir
kata penulis berharap agar tugas akhir dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 27Agustus 2021


Penulis

Mayarni Taon Baru Pardosi


190205416

viii
DAFTAR ISI

HALAMAMN SAMPUL............................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
ABSTRACT ............................................................................................................. v
SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT............................................................ . vi
KATA PENGANTAR.................................................................................................. vii
DAFTAR ISI................................................................................................................. ix
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah.................................................................... 3
1.3 Hipotesis ..................................................................................... 3
1.4 Tujuan Penelitian ....................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................... 4
1.6 Kerangka Konsep ...................................................................... 4

BAB II : LANDASAN TEORI


2.1 Rumah Sakit ............................................................................. 6
2.2 Monitoring Kerusakan Organ Target dan Efek Samping
Obat ........................................................................................... 8
2.3 Evaluasi Rasionalitas........................................................................10
2.3.1 Tepat Diagnosis...................................................................11
2.3.2 Tepat Indikasi.......................................................................11
2.3.3 Tepat Pasien.........................................................................11
2.3.4 Tepat Obat............................................................................11
2.3.5 Tepat Dosis..........................................................................11
2.3.6 Tepat Informasi....................................................................12
2.3.7 Tepat Harga..........................................................................12
2.3.8 Tepat Cara dan Lama Pemberian.........................................12
2.3.9 Waspada Efek Samping.......................................................12
2.4 Resep............................................................................................ 12
2.5 Hipertensi......................................................................................... 13

ix
2.5.1 Epidemiologi........................................................................13
2.5.2 Etiologi................................................................................. 14
2.5.3 Patofisiologi.........................................................................14
2.5.4 Klasifikasi Hipertensi...........................................................15
2.6 Gagal Ginjal Kronik (GGK).............................................................15
2.6.1 Epidemiologi........................................................................15
2.6.2 Etiologi................................................................................. 16
2.6.3 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik...........................................16
2.7 Farmakokinetik pada Pasien Gagal Ginjal Kronik...........................17
2.7.1 Absorpsi Obat......................................................................17
2.7.2 Volume Distribusi................................................................18
2.7.3 Metabolisme.........................................................................18
2.7.4 Ekskresi................................................................................18
2.8 Penilaian Terhadap Fungsi Ginjal....................................................18
2.8.1 Pemeriksaan Kreatinin Serum..............................................19
2.8.2 Pemeriksaan Perhitungan LFG............................................19
2.9 Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK..............................................20
2.9.1 Dosis Loading......................................................................20
2.9.2 Dosis Pemeliharaan..............................................................20
2.10 Penyakit Hipertensi pada Pasien GGK.............................................21

x
2.11 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien GGK................. 21
2.12 Obat Antihipertensi yang Perlu Penyesuaian Dosis pada Pasien
GGK ..................................................................................... 23
BAB III : METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian .......................................................................... 25
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 25
3.3 Populasi dan Sampel ................................................................. 25
3.3.1 Populasi ......................................................................... 25
3.3.2 Sampel ……….............................. ............................... 25
3.4 Definisi Operasional .................................................................. 26
3.5 Cara Kerja .................................................................................. 27
3.6 Analisis Data ............................................................................. 27
3.7 Tahapan Penelitian .................................................................... 28

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Data Karakteristik Responden.................................................... 30
4.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 30
4.1.2 Karakteristik Responden berdasarkan Usia ................... 31
4.1.3 Karakteristik Responden berdasarkan Komplikasi dan
Penyakit Penyerta........................................................... 32
4.2 Gambaran Distribusi Penggunaan Obat Antihipertensi............. 33
4.2.1 Penggunaan Monoterapi Obat Antihipertensi ............... 34
4.2.2 Penggunaan Kombinasi 2 Obat Antihipertensi.............. 36
4.2.3 Penggunaan Kombinasi 3 Obat Antihipertensi.............. 37
4.2.4 Penggunaan Kombinasi 4 Obat Antihipertensi.............. 39
4.2.5 Penggunaan Kombinasi 5 Obat Antihipertensi.............. 41
4.3 Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Antihipertensi ............ 42
4.3.1 Evaluasi Rasionalitas berdasarkan Ketepatan Indikasi . 43
4.3.2 Evaluasi Rasionalitas berdasarkan Ketepatan Pasien .... 44
4.3.3 Evaluasi Rasionalitas berdasarkan Ketepatan Obat....... 45
4.3.4 Evaluasi Rasionalitas berdasarkan Ketepatan Dosis ..... 47

BAB V : PENUTUP
5.1 Kesimpulan......................................................................................49
5.2 Saran................................................................................................. 49

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 50

LAMPIRAN I DATA OBAT PASIEN......................................................................... 53

LAMPIRAN II Surat Keterangan Kelayakan Etik (Ethical Clearance)...........66

LAMPIRAN III SURAT IZIN PENELITIAN.....................................................67

xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit yang


prevalensinya meningkat seiring bertambahnya
usia. Hipertensi dikarakteristikan dengan
peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik
yang menetap pada serial 140/90 mmHg.
Penderita hipertensi di Indonesia diperkirakan
mencapai 15 juta orang, sementara itu hanya
4% yang merupakan hipertensi terkontrol, itu
artinya sisanya merupakan hipertensi tak
terkontrol yang berisiko menjadi hipertensi
dengan komplikasi (Dipiro 2015).
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis di
Indonesia meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, meningkat pada kelompok
umur 35-44 tahun sebesar 0,3% dan terus
meningkat hingga 0,6% pada kelompok umur
≥75 tahun (Balitbangkes RI, 2013).
Individu dengan gangguan fungsi ginjal
diyakini lebih rentan terhadap masalah terkait
obat dikarenakan adanya kecenderungan
akumulasi obat dalam tubuh, mengingat
banyaknya jenis obat yang diekskresikan
melalui ginjal. Penelitian terdahulu di Perancis
menunjukkan bahwa 93% pasien dengan gagal
ginjal kronik mengalami DRPs (Baleiche et al,
2012). Masalah terkait obat yang mungkin
terjadi akibat gangguan ginjal perlu dihindari
dengan cara pemilihan obat yang tepat dan
penyesuaian dosis untuk obat yang memerlukan
berdasarkan kondisi ginjal pasien. Penyesuaian
1
dosis perlu dengan menghasilkan enzim yang disebut
dilakukan renin, yang memicu pembentukan hormon
agar angiotensi, yang selanjutnya memicu pelepasan
efektivitas hormon aldoesteron. Ginjal merupakan organ
terapi, penting dalam mengendalikan tekanan darah
tercapai, karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada
meminimal ginjal dapat menyebabkan terjadinya tekanan
kan darah tinggi, seperti penyempitan arteri yang
kejadian menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri
toksisitas renalis) bisa menyebabkan hipertensi (Triyanto,
dan 2014).
mecegah
penurunan
fungsi
ginjal.
Intervensi
farmasis
dalam
penyesuaia
n dosis
terbukti
dapat
meminimal
isasi angka
DRPs
(Viva-Sosa
et al,
2013).
Ginja
l bisa
meningkat
kan
tekanan
darah
2
Evaluasi penggunaan obat antihipertensi bertujuan untuk menjamin
penggunaan obat yang rasional pada penderita hipertensi. Penggunaan obat yang
rasional sangat penting untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Apabila
penderita hipertensi tidak diterapi dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang
dapat memperburuk keadaan penderita (Suyono dan Lyswanti, 2008). Diantara
pasien dengan gagal ginjal kronis, penyakit kardiovaskuler memiliki prevalensi
yang paling tinggi dan merupakan penyebab kematian yang umum pada populasi
ini (Lerma, et al., 2016).
Hasil penelitian Naomi (2018), menunjukkan bahwa pada tahun 2016
mengenai studi penggunaan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik di
ruang rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pringadi periode Januari -
Desember 2016. Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin laki-laki lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan.
Menurut penelitian yang dilakukan Utami (2015), bahwa identifikasi drug
related problems (DRPs) pada pasien penyakit ginjal kronik diruang interna pria
RSUP H. Adam Malik periode September - November 2015 menunjukkan bahwa
terdapat 11 pasien yang mengalami DRPs dan diperoleh terdapat DRPs pada dosis
obat sebanyak 6 kasus (50,0%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Siahaan
(2015), evaluasi peresepan obat anti hipertensi pada pasien gangguan ginjal kronik
di RSUD Dr. Pringadi periode September - November 2015 bahwa tingkat
peresepan dosis penggunaan obat antihipertensi pada pasien gangguan ginjal
kronik sebesar 92,31%.
Keberadaan farmasis sebagai bagian dari agen perubahan (agent of change)
yang dapat mengoptimalkan perannya yakni memberikan informasi dan edukasi
yang memadai bagi pasien dalam hal penggunaan obat secara benar dan
pemantauan terapi obat untuk mencapai tujuan pengobatan. Farmasis juga
diharapkan mampu melakukan praktek kefarmasian yang profesional dan
bertanggungjawab dalam rangka mewujudkan Universal Health Coverage (UHC)
dengan menjamin ketersediaan obat yang bermutu dan memberikan pelayanan
kefarmasian sesuai standar ditempat praktek (Kemenkes RI, 2018).
Formularium Obat Rumah Sakit merupakan daftar obat yang disepakati
beserta informasinya yang harus diterapkan di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan.
Formularium Obat Rumah Sakit disusun oleh Komite Farmasi dan Terapi
berdasarkan Daftar Obat Essensial Nasional (DOEN), Formularium Nasional
beserta perubahannya, E-Catalog, dan disempurnakan dengan mempertimbangkan
obat lain yang diusulkan oleh SMF/DPJP yang terbukti secara ilmiah
dibutuhkan untuk pelayanan di rumah sakit. Penyusunan Formularium Obat
Rumah Sakit juga mengacu pada pedoman pengobatan yang berlaku. Penerapan
Formularium Obat Rumah Sakit harus selalu dipantau. Hasil pemantauan dipakai
untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran. (Formularium RSUD Dr. Pirngadi Kota
Medan, 2019)
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti ingin mengetahui
gambaran rasionalitas masalah dan peresepan obat anti hipertensi pada pasien
gangguan ginjal kronik stage v di RSUD Dr. Pirngadi periode Januari - Juni 2021.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka perumusan
masalah pada penelitian ini adalah :
a. Apakah jenis – jenis obat antihipertensi yang diresepkan pada pasien
gagal ginjal kronik stage V sudah sesuai dengan Formularium RSUD
Dr. Pirngadi Kota Medan ?
b. Bagaimana rasionalitas peresepan obat antihipertensi pada pasien
gagal ginjal kronik stage V berdasarkan tepat indikasi, tepat pasien,
tepat obat, tepat dosis sesuai dengan Peraturan Permenkes no 74 tahun
2016?
1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis penelitian ini
adalah:
a. Jenis – jenis obat antihipertensi yang diresepkan pada pasien gagal
ginjal kronik stage v sudah sesuai dengan Formularium RSUD Dr.
Pirngadi Kota Medan
b. Rasionalitas peresepan obat antihipertensi di RSUD Dr. Pirngadi Kota
Medan berdasarkan tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis
sudah sesuai dengan Peraturan Permenkes tahun 2016 tentang standar
pelayanan kefarmasian di rumah sakit
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan hal yang telah dikemukakan, maka penelitian untuk
mengetahui :
a. Untuk mengetahui jenis obat antihipertensi yang diresepkan pada
pasien gagal ginjal kronik stage V di RSUD Dr. Pirngadi Kota MedaN
b. Untuk mengevaluasi rasionalitas peresepan obat antihipertensi
berdasarkan tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis.
1.5 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka manfaat pada penelitian ini yaitu:
a. Mengetahui pola peresepan obat anti hipertensi pada pasien gagal
ginjal kronik stage v di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan sudah sesuai
dengan Peraturan Permenkes tahun 2016.
b. Mengetahui rasionalitas peresepan obat antihipertensi di RSUD Dr.
Pirngadi Kota Medan berdasarkan tepat indikasi, tepat pasien, tepat
obat, tepat dosis.
c. Meningkatkan mutu dan evaluasi pada pelayanan kesehatan dan
kefarmasian di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan.
1.6 Kerangka Konsep
Penelitian ini menggambarkan tentang evaluasi rasionalitas penggunaan
obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik di RSUD Dr. Pirngadi Kota
Medan periode Januari - Juni 2021. Pada hal ini faktor resiko berupa karakteristik
pasien (usia, jenis kelamin, rekam medik pasien antihipertensi gangguan ginjal
kronik) merupakan variabel bebas dan peresepan obat antihipertensi sebagai
variabel terikat.
Kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1 dibawah ini :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Karakteristik Pasien: Peresepan obat antihipertensi

1. Umur 1. Jenis-jenis obat yangdigunakan

2. Jenis kelamin 2. Rasionalitas peresepan obat


• Tepat indikasi Sesuai dengan
3. Rekam medik pasien PERMENKES tahun 2016
• Tepat obat dan formularium RS
antihipertensi gangguan • Tepat pasien
ginjal kronik stage v • Tepat dosis

BAB II
2.1 Rumah Sakit LANDASAN TEORI

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan


pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna adalah
pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative
(Permenkes RI, 2016).
Organisasi kesehatan dunia, menjelaskan mengenai rumah sakit dan
peranannya, bahwa rumah sakit merupakan suatu bagian integral dari organisasi
sosial dan medis yang fungsinya adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan
menyeluruh pada masyarakat baik pencegahan maupun penyembuhan dan
pelayanan pada pasien yang jauh dari keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya,
serta sebagai tempat pendidikan bagi tenaga kesehatan dan tempat penelitian
biososial (Permenkes RI, 2016).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit.
Rumah sakit dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
a. Klasifikasi berdasarkan kepemilikan, terdiri dari :
1) Rumah sakit pemerintah, terdiri dari:
a) Rumah sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan
b) Rumah sakit pemerintah daerah.
c) Rumah sakit militer.
d) Rumah sakit Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
2) Rumah sakit yang dikelola oleh masyarakat(swasta).
b. Klasifikasi berdasarkan jenis pelayanan, terdiri dari:
1) Rumah Sakit Umum
Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan yang bersifat dasar, spesialis dan subspesialis yang mempunyai
tugas melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil
guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang
dilaksanakan secara terpadu dan serasi dengan peningkatan dan
pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan (Permenkes RI, 2016).
2) Fungsi rumah sakit adalah:
a) Penyelenggara akan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
b) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis.
c) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan
teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan
kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang
kesehatan.
c. Klasifikasi berdasarkan filiasi pendidikan, terdiri dari 2 jenis:
1) Rumah sakit pendidikan, yaitu rumah sakit yang menyelenggarakan
program latihan untuk berbagai profesi.
2) Rumah sakit non pendidikan, yaitu rumah sakit yang tidak memiliki
program pelatihan profesi dan tidak ada kerjasama rumah sakit dengan
universitas (Permenkes RI, 2016).
Rumah sakit umum pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi
rumah sakit kelas A,B,C, dan D. Klasifikasi tersebut di dasarkan pada unsur
pelayanan, ketenagaan, fisik dan peralatan (Permenkes RI, 2014).
a. Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis
dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13
(tiga belas) Subspesialis.
b. Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis
dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2
(dua) Subspesialis dasar.
c. Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis
dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik.
Rumah sakit umum kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik sedikitnya 2 (dua) spesialis dasar.
Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium
Rumah Sakit (Permenkes RI, 2016).
2.2 Monitoring Kerusakan Organ Target dan Efek Samping Obat
Pasien hipertensi harus di monitor secara berkala untuk melihat tanda-tanda
dan gejala adanya penyakit target organ yang berlanjut. Riwayat sakit dada
palpitasi, pusing, dyspnea, orthopnea, sakit kepala, penglihatan tiba-tiba berubah,
bicara terbata-bata, dan kehilangan keseimbangan harus diamati secara seksama
dan berkala untuk menilai kemungkinan terjadinya komplikasi kardiovaskular dan
serebrovaskular. Parameter laboratorium untuk masing-masing golongan obat
akan disajikan pada tabel 2.12. Tes laboratorium sebaiknya diulangi setiap 6-12
bulan pada pasien yang stabil (Depkes RI, 2006).
Tabel 2.1 Monitoring kerusakan organ target (Depkes RI, 2006)

Parameter Pasien yang


Golongan Obat Monitoring Tambahan
Dimonitor
Hipotensi pada pemberian Fungsi ginjal (BUN,
ACEI dosis pertama, pusing, batuk, serum kreatinin) serum
tekanan darah, kepatuhan elektrolit (kalium)
Hipotensi pada pemberian Fungsi ginjal (BUN,
ARB dosis pertama, pusing, tekanan serum kreatinin), serum
darah, kepatuhan elektrolit (kalium)
Denyut nadi (verapamil,
diltiazem), edema perifer, sakit
kepala (terutama dengan
CCB Gejala gagal jantung
dihidropiridin), gejala gagal
jantung, tekanan darah,
kepatuhan
Fungsi ginjal (BUN,
serum kreatinin), serum
Pusing, status cairan, urin
elektrolit (kalium,
Diuretik output, berat badan, tekanan
natrium, magnesium),
darah, kepatuhan
kadar gula, asam urat
(untuk thiazid)
Denyut nadi, tekanan darah,
Beta Blocker pusing, disfungsi seksual, gejala
gagal jantung, kepatuhan Gejala gagal jantung,
gula darah

Alfa-1 Blocker Hipotensi ortostatik (terutama


dengan dosis pertama), pusing, -
tekanan darah, kepatuhan

Sedasi, mulut kering, denyut nadi,


Agonis Alfa-2 sentral gejala retensi cairan, tekanan darah, Enzim liver (metildopa)
kepatuhan

Efek samping umumnya akan muncul pada 2-4 minggu setelah penggunaan
obat baru atau setelah menaikkan dosis. Kejadian efek samping ini dapat diatasi
dengan melakukan penurunan dosis atau penambahan dengan obat antihipertensi
golongan lain. Beberapa kontraindikasi dan efek samping obat pada masing-
masing golongan obat akan ditampilkan pada tabel 2.13 (Depkes RI, 2006).
Tabel 2.2 Kontraindikasi dan efek samping pada masing-masing golongan
obat (Depkes RI, 2006)

Golongan obat Kontraindikasi Efek Samping


Batuk kering, hipotensi,
Kehamilan, menyusui,
gangguan fungsi ginjal,
ACEI hiperkalemia,
angioedema, hiperkalemia,
hipersensitif
disfungsi renal
Angioedema (jarang),
Kehamilan, menyusui,
ARB hiperkalemia, hipovolemia,
hiperkalemia
disfungsi renal, gagal jantung
Heart block, disfungsi Sakit kepala, edema perifer,
sistolik gagal jantung konstipasi (verapamil),
CCB
(verapamil, diltiazem), palpitasi, mual, hipotensi
hipersensitif ortostatik
Pirai atau Hipokalemia,
Diuretik gout, hiperurisemia,
hiperkalsemia, hiperkalsemia (thiazid),
hipovolemia hiperlipidemia,
hiponatremia
Asma, heart block, Bronkospasma, gagal
sindrom jantung, gangguan sirkulasi
Beta Blocker Raynaud’s yang perifer, insomnia, letih,
parah, bradikardi, peningkatan
hipersensitif, hipotensi
trigliserida, hiperglikemia

Sakit kepala, pusing, letih,


Alfa-1 Blocker Hipotensi ortostatik, hipotensi postural,
gagal jantung, hipotensi dosis pertama,
diabetes hidung tersumbat
Sedasi, mulut kering,
Agonis Alfa-2 sentral Depresi, penyakit liver bradikardi, retensi natrium
(metildopa), diabetes dan cairan, hepatitis
(jarang)

2.3 Evaluasi Rasionalitas


Menurut World Health Organization (WHO), penggunaan obat yang
rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan
klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang
sesuai, dan dengan biaya yang terjangkau oleh pasien tesebut dan oleh
kebanyakan masyarakat (Kemenkes RI, 2006). WHO memperkirakan bahwa lebih
dari separuh dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan, dan dijual dengan
cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak
tepat. Adanya penggunaan obat yang rasional yaitu untuk menjamin pasien
mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu
yang adekuat, serta dengan harga yang terjangkau (Kemenkes RI, 2011).
Evaluasi penggunaan obat sangat penting dilakukan oleh apoteker untuk
menjamin ketepatan peresepan dan penggunaan obat, cost effectiveness, serta
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan (Florensia, 2016). Evaluasi
rasionalitas penggunaan obat dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Secara kuantitatif, dapat digunakan metode Anatomycal Therapeutic
Chemical/Defined Daily Dose (ATC/DDD). Hasil yang didapatkan menggunakan
metode ini selanjutnya dibandingkan dengan penggunaan obat di rumah sakit
yang setara, sehingga dapat ditentukan apakah penggunaan satu macam atau
kelompok obat tersebut berlebihan, sedang, atau kurang (Florensia, 2016).
Sedangkan secara kualitatif, menurut Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia tahun 2011 yang mengacu pada WHO, evaluasi penggunaan obat dapat
dilakukan dengan cara meninjau dari segi tepat diagnosa, tepat indikasi, tepat
pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat informasi, tepat harga, tepat cara dan lama
pemberian, serta waspada efek samping.
2.3.1 Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.
Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa
mengacu pada diagnosis yang tidak tepat tersebut. Akibatnya obat yang diberikan
juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya serta tidak akan mampu
memenuhi pengobatan pasien (Kemenkes, 2011).
2.3.2 Tepat Indikasi
Evaluasi ketepatan indikasi dilihat dari perlu tidaknya pasien diberi obat
tersebut. Ketepatan untuk memutuskan pemberian obat harus benar-benar
didasarkan pada alasan medis dan terapi farmakologi yang dibutuhkan oleh pasien
(Kemenkes, 2011).
2.3.3 Tepat Pasien
Ketepatan pasien ialah ketepatan pemilihan obat yang mempertimbangkan
keadaan pasien sehingga tidak menimbulkan kotraindikasi kepada pasien secara
individu. Hal ini dikarenakan respon tiap-tiap individu terhadap efek obat
sangatlah beragam (Sumawa, 2015).
2.3.4 Tepat Obat
Keputusan pemilihan obat diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan
benar. Pemberian obat dikatakan tepat apabila jenis obat yang dipilih berdasarkan
pertimbangan manfaat dan resiko. Evaluasi ketepatan obat dinilai berdasarkan
kesesuaian pemilihan obat dengan mempertimbangkan diagnosis yang telah
tertulis (Sumawa, 2015).
2.3.5 Tepat Dosis
Kriteria tepat dosis yaitu tepat dalam frekuensi pemberian, dosis yang
diberikan, serta cara pemberian. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya
untuk obat yang memiliki indeks terapi sempit, akan sangat beresiko untuk
menimbulkan efek samping. Begitupun sebaliknya, dosis yang terlalu kecil tidak
menjamin tercapainya efek farmakologi yang optimal dan diharapkan (Kemenkes,
2011).
2.3.6 Tepat Informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangatlah penting
dalam menunjang keberhasilan terapi. Misalnya obat rifampisin akan
mengakibatkan urin pasien berwarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan
kepada pasien, dikhawatirkan pasien akan berhenti mengkonsumsi obat tersebut
karena menduga obat tersebut menyebabkan buang air kecil disertai darah
(Kemenkes, 2011).
2.3.7 Tepat Harga
Tepat harga yaitu harga yang diberikan mampu mencapai cost effectiveness
pasien. Penggunaan obat tanpa indikasi ataupun untuk keadaan yang tidak
memerlukan terapi obat tentu merupakan pemborosan dan akan membebani
pasien.

2.3.8 Tepat Cara dan Lama Pemberian


Ketepatan cara pemberian yaitu tepat tidaknya cara pasien dalam
mengkonsumsi obat. Misalnya antasida harus dikunyah dahulu kemudian baru
ditelan. Begitu pula interval waktu pemberian, sebaiknya dibuat sesederhana
mungkin. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Karena
semakin sering frekuensi pemberian obat per hari, semakin rendah kepatuhan
pasien untuk meminum obat. Lama pemberian obat juga harus disesuaikan dengan
penyakit yang diderita pasien. Karena pemberian obat yang terlalu singkat atau
terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh pada hasil pengobatan
(Kemenkes, 2011).

2.3.9 Waspada Efek Samping


Pemberian obat potensial dapat menimbulkan efek samping. Efek samping
yaitu efek yang tidak diharapkan kehadirannya pada saat terapi. Misalnya
pemberian tetrasiklin pada anak usia kurang dari 12 tahun tidak diperbolehkan
karena dapat menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang pada masa pertumbuhan
(Kemenkes, 2011).

2.4 Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada
apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronik untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku(Menkes, 2016).
Resep asli tidak boleh diberikan kembali setelah obatnya diambil oleh pasien,
hanya dapat diberikan copy resep atau salinan resep. Resep asli tersebut harus
disimpan diapotek dan tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain kecuali
diminta oleh:
a. Orang yang menulisnya atau merawatnya
b. Pasien yang bersangkutan
c. Pegawai (kepolisian, kehakiman, kesehatan) yang ditugaskan untuk
memeriksa
d. Yayasan atau lembaga lain yang menanggung biaya pasien
Resep selalu dimulai dengan tanda R/ yang artinya recipe = ambillah.
Dibelakang tanda ini biasanya baru tertera nama dan jumlah obat. Umumnya
resep ditulis dalam bahasa latin. Jika tidak jelas atau tidak lengkap, apoteker harus
menanyakan kepada dokter penulis resep tersebut (Syamsuni H, 2006).
2.5 Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah tinggi di dalam arteri
menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke, gagal jantung, dan gagal
ginjal serta mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka
kematian (mortalitas). Hipertensi pada dasarnya memiliki sifat yang cenderung
tidak stabil dan sulit untuk dikontrol, baik dengan pengobatan maupun dengan
tindakan medis lainnya (Triyanto, 2014).
2.5.1 Epidemiologi
Penyakit hipertensi di Indonesia dengan tingkat kesadaran dan kesehatan
yang lebih rendah, jumlah pasien yang tidak menyadari bahwa dirinya menderita
hipertensi dan yang tidak patuh minum obat kemungkinan lebih besar.
Kecenderungan perubahan tersebut dapat disebabkan meningkatnya ilmu
kesehatan dan pengobatan, serta perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat.
Dalam lingkup penyakit kardiovaskuler, hipertensi menduduki peringkat pertama
dengan penyakit terbanyak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada
tahun 2012 sedikitnya sejumlah 839 juta kasus hipertensi atau sekitar 29% dari
total penduduk dunia, dimana penderitanya lebih banyak pada wanita (30%)
dibanding pria (29%). Sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terjadi terutama di
negara-negara berkembang (Triyanto, 2014).
Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 39,7% dari populasi usia 18
tahun ke atas. Dari jumlah itu 60% penderita hipertensi mengalami komplikasi
stroke.Sedangkan sisanya mengalami penyakit jantung, gagal ginjal, dan
kebutaan. Hipertensi sebagai penyebab kematian ketiga setelah stroke dan
tuberkulosis, jumlahnya mencapai 6,8% dari proporsi penyebab kematian pada
semua umur di Indonesia (Riskesdas,2018).
Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif. Umumnya tekanan
darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur, di Amerika
menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES III) paling
sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka, dan hanya 31%
pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan dibawah
140/90 mmHg (Triyanto, 2014).
2.5.2 Etiologi
Hipertensi pada penderitanya lebih dari 95% tidak dapat ditemukan
penyebab yang khusus, berdasarkan etiologi hipertensi dibagi menjadi hipertensi
primer, yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi
sekunder, yaitu hipertensi disebabkan penyakit lain. Hipertensi primer terdapat
pada lebih dari 90% penderita hipertensi, penyebabnya dari faktor keturunan dan
kebiasaan hidup. sedangkan 10% disebabkan oleh hipertensi sekunder, faktor
penyebab hipertensi sekunder diantaranya berkaitan dengan penyakit
ginjal ,endokrin dan obat-obatan (Padila, 2017).
2.5.3 Patofisiologi
Hipertensi merupakan penyakit yang disebabkan oleh penyebab yang
spesifik. Hipertensi primer, suatu kondisi dimana penyebabnya tidak ditemukan
yang bergantung pada interaksi antara kecenderungan genetik dan faktor
lingkungan, hipertensi diikuti oleh ginjal, sistem renin-angiotensin.Pada hipertensi
sekunder dapat terjadi karena beberapa obat dapat meningkatkan tekanan darah
diantaranya golongan kortikosteroid, simpatomimetika, siklosporin, obat
antiinflamasi nonsteroid, eritropoietin (Padila, 2017).
2.5.4 Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi dapat dikalsifikasikan berdasarkan tekanan darah sistolik,
diastolik dan penyebabnya. Berdasarkan tekanan darah seseorang dikatakan
hipertensi apabila tekanan sistolik mencapai 140 mmHg dan tekanan diastoliknya
90 mmHg. Target tekanan darah pada managemen terapi hipertensi bergantung
pada komplikasi penyekit penderita (James, 2014). Untuk pembagian yang lebih
rinci The Joint National Committee on prevention detection, evaluation and
treatment of high blood pressure (JNC), telah membuat klasifikasi tekanan darah.
Berdasarkan JNC VIII (2014) klasifikasi tekanan darah dapat dilihat pada
Tabel 2.1 berikut ini
Tabel 2.3 Klasifikasi Tekanan Darah berdasarkan JNC VIII, 2014

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89


Hipertensi
Stage 1 140-159 90-99
Stage 2 ≥160 ≥100
Sumber: (JNC VIII, 2014)
2.6 Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah proses pengurangan signifikan jumlah
nefron yang terus menerus dan ireversibel biasanya sesuai dengan stadium 3-5.
Pada stadium ini terjadi akumulasi toksin, cairan, dan elektrolit yang secara
normal diekskresikan oleh ginjal yang menyebabkan sindrom uremik.
Dikategorikan GGK bila nilai LFG (Laju Filtrasi Glomeruler) adalah <60
mL/min/1.73m2. Umur lebih dari 60 tahun, proteinuria, dan tekanan darah sistolik
berperan sebagai prediktor nilai LFG (Larry, 2013).
2.6.1 Epidemiologi
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Indonesian Renal
Registry (IRR). Pada tahun 2015 IRR melapor dari 249 renal unit tercatat sekitar
30,554 pasien aktif menjalani dialisis sebagian besar adalah pasien dengan gagal
ginjal kronik. Pada tahun 2016 hingga Oktober terdapat 169 dari total 382 fasilitas
pelayanan dialisis diIndonesia yang mengirimkan data sebanyak 44,2%, proporsi
diagnosis penyakit utama pasien hemodialisis di Indonesia pada tahun 2015
adalah gagalginjal kronik 789,4% dan akan meningkat setiap tahunnya
(Kemenkes RI, 2017)
2.6.2 Etiologi
Gagal ginjal kronik sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit
lainnya, sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary illness). Penyebab
yang sering adalah diabetes melitus dan hipertensi. Selain itu ada beberapa
penyebab lainnya dari ginjal kronik, yaitu glomerulonefritis, penyakit vaskular,
obstruksi saluran kemih dan obat-obatan nefrotoksik seperti aminoglikosida
(Robinson, 2013).
2.6.3 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Klasifikasi derajat penurunan LFG perlu digunakan untuk panduan terapi,
terbagi atas 5 tingkatan yang didasarkan dengan ada atau tidaknya kerusakan pada
ginjal. Derajat gagal ginjal kronik berdasarkan LFG sesuai dengan rekomendasi
National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Iniciative (NKF-
K/DOQI) (2015) dapat dilihat pada Tabel 2.2 :
Tabel 2.4 Klasifikasi GGK berdasarkan derajat penyakit ginjal kronik

LFG
Derajat Keterangan
(ml/menit/1,73m2)

1 ≥90 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat


2 60-89 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan
3 30-59 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat
5 <15 atau dialisis Gagal ginjal
Sumber: NKF-KDOQI (2015)
Pada tahap stadium 1 dengan nilai LFG ≥90 dan stadium 2 LFG (60-89)
biasanya tidak memperlihatkan gejala apapun yang berkaitan dengan penurunan
LFG. Namun, mungkin terdapat gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ginjal
seperti, edema dengan sindrom nefrotik atau tanda-tanda hipertensi akibat
penyakit ginjal. Jika penurunan berlanjut hingga ke stadium 3 dengan nilai LFG
(30-59) dan stadium 4 nilai LFG (15-29), maka dapat menyebabkan anemia dan
mudah lelah, penurunan nafsu makan disertai malnutrisi yang progresif, kelainan
hormon pengatur mineral, kalsium, dan fosfor serta kelainan homeostasis natrium,
kalium, air dan asam - basa. Pada pasien stadium 5 dengan nilai LFG <15, maka
terjadi akumulasi toksin sehingga pasien biasanya mengalami gangguan berat
dalam aktivitas sehari-hari, status gizi, serta homeostasis air dan elektrolit yang
kemudian berakhir dengan sindrom uremik (Larry, 2013).
Pada pasien GGK stadium 5 dapat terjadi karena kerusakan ginjal berlanjut
dan jumlah nefron yang berfungsi semakin sedikit oleh karena itu GFR juga terus
menurun tubuh menjadi kelebihan air, garam dan sisa metabolisme lain. Ketika
GFR turun dibawah 10-20 ml/menit efek toksin uremik akan timbul. Jadi perlu
dilakukan terapi dengan dialisis perlu dilakukan untuk mengurangi masalah
neurologis, apabila tidak diatasi dapat terjadi gangguan motorik (Bayhakki, 2012).
2.7 Farmakokinetik pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
Ginjal merupakan organ utama pengeleminasi berbagai senyawa dari dalam
tubuh, termasuk obat dan metabolitnya. Eliminasi obat dan metabolitnya
berkurang pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan akan mengakibatkan
akumulasi didalam tubuh selanjutnya dapat mengakibatkan berbagai masalah
terhadap pasien termasuk efek toksik. Oleh karena itu dosis obat untuk pasien
dengan gangguan ginjal perlu disesuaikan dengan fungsi ginjal, dapat ditentukan
dengan menganalisis berbagai indikator yaitu inulin, Blood Urea Nitrogen (BUN)
dan kreatinin. Blood Urea Nitrogen (BUN) mudah ditentukan namun, mempunyai
beberapa kelemahan yaitu terjadi reabsorpsi secara signifikan sehingga kadarnya
tergantung pada urine flow rate. Kreatinin mudah ditentukan dan memberikan
hasil yang lebih akurat sehingga nilai dapat dijadikan sebagai indikator LFG
(Nasution, 2017).
2.7.1 Absorpsi Obat
Absorpsi obat pada pasien dengan gangguan ginjal dipengaruhi oleh
perubahan pH disaluran pencernaan yang dialami oleh pasien sebagai akibat
peninggian ureum didalam saliva dan pemberian obat. Untuk obat yang bersifat
basa, peninggian pH akan menurunkan konsentrasi obat tak terionisasi didalam
saluran pencernaan yang akan menurunkan absorpsi, bioavaibilitas dan efek terapi
(Nasution, 2017).
2.7.2 Volume Distribusi
Volume distribusi obat pada pasien dengan gangguan ginjal dapat
meningkat, menurun ataupun tidak berubah. Peninggian volume distribusi dapat
terjadi sebagai akibat penurunan ikatan antara obat dengan protein, dan akumulasi
cairan didalam tubuh. Selain itu hipoalbuminemia selalu dialami oleh pasien
dengan gangguan ginjal karena terganggu produksi albumin oleh ginjal, kondisi
ini dapat mengakibatkan penurunan ikatan antara obat yang bersifat asam dengan
protein yang dapat meningkatkan kadar obat bebas didalam darah, meningkatkan
distribusi obat kedalam organ, ikatan jaringan, efek, pada akhirnya meningkatkan
toksisitas (Nasution, 2017).
2.7.3 Metabolisme
Ginjal memiliki beberapa aktivitas metabolik dan beberapa enzim ginjal
dianggap memiliki aktivitas yang sama dengan hati. Aktivitas metabolik ini
berkurang pada gagal ginjal kronik dan clearence beberapa obat menurun sebagai
akibat penurunan aliran darah ke ginjal pasien dengan gangguan dengan kondisi
kronis (Nasution, 2017).
2.7.4 Ekskresi
Umumnya obat – obatan dieksresikan melalui ginjal, pada pasien dengan
gangguan ginjal kemampuan ginjal untuk mengeleminasi senyawa dari dalam
tubuh menurun. Pada obat–obat yang diekskresikan dalam bentuk tidak berubah
melalui ginjal dalam hal ini, untuk mencegah efek toksik maka dosis obat harus
disesuaikan berdasarkan kepada fungsi ginjal (Nasution, 2017).
2.8 Penilaian Terhadap Fungsi Ginjal
Kreatinin adalah metabolit endogen yang berguna untuk menilai fungsi
glomerulus. Semuanya diekskresikan melalui ginjal dengan proses filtrasi
glomerus. Beberapa jenis obat-obatan dapat mempengaruhi sekresi kreatinin
melalui tubulus dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi kreatinin dan
penurunan bersihan kreatinin tanpa perubahan LFG. Konsentrasi plasma kreatinin
dan konsentrasi kreatini urin juga harus diperiksa. Nilai normal bersihan kreatinin
berkirar 120 ml/menit dan dapat bervariasi sesuai dengan permukaan tubuh
(Hakim, 2013).
2.8.1 Pemeriksaan Kreatinin Serum
Pemeriksaan konsentrasi kreatinin serum berguna untuk menilai LFG,
kreatinin menggambarkan kesetimbangan antara kreatinin (hasil metabolisme
otot) dengan pengeluarannya oleh ginjal. Kadar kreatinin serum akan berbeda –
beda tergantung pada pasien (berat, usia, dan jenis kelamin), penyakit ginjal yang
mendasari dan adanya penyakit lain. Dosis obat perlu diukur berdasarkan fungsi
ginjal. Semakin buruk fungsi ginjal, akan semakin rendah pula dosis yang
dibutuhkan oleh karena itu pemeriksaan fungsi ginjal sangat penting. Pemeriksaan
yang biasa digunakan sebagai acuan adalah pemeriksaan LFG atau klirens
kreatinin (Hakim, 2013).
2.8.2 Pemeriksaan Perhitungan LFG
Penentuan LFG penting untuk penanganan pasien dengan gagal ginjal akut
maupun kronik LFG digunakan untuk mengetahui obat-obat yang diekskresikan

Untuk pria:

(140−Umur)x (BB/kg)

LFG =

72 x kreatinin serum (mg/dL)

melalui ginjal diberikan pada dosis yang sesuai dan memantau perubahan
LFG. Adapun rumus yang digunakan secara luas untuk memperkirakan LFG
yaitu:
a. Persamaan Cockcroft- Gault:
Dengan demikian perhitungan yang terbaik untuk LFG adalah dengan
menentukan bersihan kreatinin. Nilai normal pada bersihan kreatinin adalah:
Laki-laki = 97-137 mL/menit/1,73m2 atau 0,93-1,32
mL/detik/m2 Perempuan = 88-128 mL/menit/1,73m2 atau 0,85-1,23
mL/detik/m2
b. Persamaan MDRD (modification of diet in renal disease):
Untuk pria : GFR (mL/menit/1,73m2 (= 175x(Scr)-1,154x(usia)-0,203
Untuk Perempuan : GFR pada pria dikalikan 0,742
[Scr = kreatinin serum dalam mg/dL, usia dalam tahun. Jika pasien kelebihan
berat badan kalikan dengan LFG yang diperoleh dengan BSA/1,73 sehingga
didapat LFG dalam mL/menit] (Larry, 2013).
Beberapa studi menyarankan penggunaan persamaan Cockcroft - Gault atau
pengukuran GFR secara langsung daripada persamaan MDRD (modification of
diet in renal disease, khususnya dalam hal pendosisan obat-obat yang berkisar
terapeutiknya sempit, atau pada pasien yang peka terhadap perubahan dosis.
Perkiraan fungsi ginjal berkaitan dengan pendosisan, khususnya obat-obat yang
diekskresi sebagian besar melalui ginjal (Hakim, 2013).
2.9 Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK
Pada gangguan ginjal kemampuan ginjal untuk mengeleminasi senyawa-
senyawa dari dalam tubuh menurun, perhatian harus difokuskan terhadap obat dan
metabolitnya karena umumnya obat-obatan dan metabolitnya diekskresikan
melalui ginjal yang dapat mengakumulasi didalamtubuh. Selanjutnya
meningkatkan respons dan menimbulkan efek toksik sebagai akibat penurunan
fungsi ginjal. Dalam hal ini untuk mencegah efek toksik, maka dosis obat harus
sesuai berdasarkan fungsi ginjal (Nasution, 2017).
2.9.1 Dosis Loading
Dosis loading merupakan dosis awal untuk memulai suatu terapi sehingga
dapat mencapai konsentrasi terapeutik obat dalam tubuh yang menghasilkan atau
memberikan efek klinik. Dosis awal tergantung pada waktu paruh eleminasi obat,
interval dosis dan konsentrasi obat dalam darah, plasma atau serum yang ingin
dicapai, pada gangguan ginjal waktu paruh beberapa jenis obat akan memanjang
sehingga pemberian dosis loading akan dibutuhkan (Joenoes, 2006).
2.9.2 Dosis Pemeliharaan
Dosis pemeliharan adalah dosis obat yang diperlukan untuk
mempertahankan efek klinis atau konsentrasi terapeutik obat yang sesuai dengan
dosis regimen. Bila kadar terapeutik obat sudah diperoleh, konsentrasi ini harus
tetap dipertahankan untuk menghindari toksisitas. Obat dengan waktu paruh
panjang atau juga dapat dilakukan dengan interval tetap, namun dosisnya
disesuaikan (Hakim, 2013).
2.10 Penyakit Hipertensi pada Pasien GGK
Tujuan utama terapi untuk hipertensi untuk memperlambat perkembangan
penyakit ginjal dan mencegah penyulit tekanan darah misalnya penyakit
kardiovaskular dan stroke. Pada semua pasien dengan gagal ginjal kronik tekanan
darah harus dikontrol (Larry, 2013).
Pengobatan yang dapat diberikan pada penyakit ginjal kronik yang
mengalami hipertensi diantaranya dengan Diuretik, ß-blocker, Angiotensin
Universitas Converting Enzyme-Inhibitor (ACE-I), Channel Blocker (CCB) dan
Angiotensin Receptor Blocker (ARB). Pasien dengan umur lebih muda mungkin
peka terhadap penghambat beta blocker dan inhibitor ACE sementara pasien
berusia lebih dari 50 tahun lebih responsif terhadap diuretik dan antagonis kalsium
(Larry, 2013).
2.11 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien GGK
Penggolongan obat antihipertensi yang sering digunakan sebagai first-line
theraphy, yaitu ACE-I, ß-blocker, CCB dan diuretik. Terdapat variasi dalam
respons seseorang terhadap berbagai kelas obat antihipertensi dan besarnya
respons terhadap setiap obat, pemilihan obat antihipertensi dan kombinasi obat
perlu disesuaikan dengan mempertimbangkan usia, keparahan hipertensi, faktor
risiko penyakit kardiovaskular lainnya, pertimbangan efek samping dan frekuensi
pemberian (Larry, 2013).
a. Golongan Diuretik
Diuretik bekerja menurunkan tekanan darah dengan meningkatkan asupan
natrium dan ekskresi air, hal ini menyebabkan penurunan volume
ekstraseluler mengakibatkan penurunan curah jantung dan aliran darah
ginjal. Diuretika meningkatkan pengeluaran garam dan air oleh ginjal
hingga volume darah dan tekanan darah menurun, obat ini tidak efektif
pada pasien dengan fungsi ginjal yang tidak adekuat (creatinine clearence
<50mL/menit) oleh sebab itu, diuretik berguna dalam terapi kombinasi
dengan antihipertensi lain seperti beta blocker, ACE-I, ARB (Finkel et al,
2016).
b. Golongan ACE-I
Penghambat ACE menurunkan kadar angiotensin II dan meningkatkan
kadar bradikinin, vasodilatasi terjadi akibat efek kombinasi vasokonstriksi
yang lebih rendah yang disebabkan oleh pengurangan kadar angiotensin II
dan efek vasodilator dari peningkatan bradikinin, dengan menurunkan
kadar angiotensin II dalam sirkulasi penghambat ACE juga menurunkan
sekresi aldoesteron mengakibatkan penurunan natrium dan retensi air
penghambat ACE-I (Finkel et al, 2016). Pada ACEI terutama kaptopril
diekskresikan melalui urin dalam bentuk tidak berubah sebesar 24-38%
selama 24 jam dan memiliki bioavaibilitas oral sebesar 65% (Anderson,
2002).
c. Golongan ß-bloker
Golongan ß-bloker terkait dengan kemampuannya untuk mencegah
perubahan yang terjadi karena pengaktifan kronis karena pengaktifan
kronis sistem saraf simpatis, meliputi penurunan denyut jantung dan
penghambatan pelepasan renin. Selain itu, ß-bloker (Finkel et al, 2016).
Reseptor-ß terdapat dalam 2 jenis, yakni ß1 dan ß2 pada jantung, ssp dan
ginjal reseptor ß1 blokade reseptor ini mengakibatkan pelemahan daya
kontraksi, penurunan frekuensi jantung dan juga perlambatan penyaluran
impuls di jantung (Tjay dan Rahardja, 2014). Bisoprolol memiliki waktu
paruh 9-12 jam dan diekskresikan melalui urin dalam bentuk tidak berubah
50% (Anderson, 2002).
d. Golongan CCB
CCB direkomendasikan ketika agen lini pertama yang pilih mempunyai
kontraindikasi atau tidak efektif. Obat-obat ini efektif dalam mengobati
hipertensi pada pasien dengan angina dan diabetes, CCB kerja singkat
berdosis tinggi harus dihindari karena adanya peningkatan risiko infak
miokardium akibat vasodilatasi berlebihan dan stimulasi refleks jantung.
Sebagian besar golongan obat ini memiliki waktu paruh yang pendek (3-8
jam) pada dosis pemberian oral, CCB tidak selalu memerlukan diuretik
tambahan (Finkel et al, 2016).
e. Golongan Angiotensin Reseptor Bloker (ARB)
Penghambat reseptor angiotensin merupakan alternatif penghambat ACE
yaitu menghasilkan dilatasi arteriol dan vena menghambat sekresi
aldoesteron sehingga menurunkan retensi garam beserta air (Finkel et al,
2016). Berlainan dengan penghambat ACE yang merombak angiotensin I
menjadi angiotensin II melainkan memblok reseptor angiotensin II dengan
efek vasodilatasi. Obat-obat pada golongan ARB diantaranya yaitu,
valsartan, irbesartan, candesartan, yang dapat melindungi ginjal terhadap
kerusakan lebih lanjut pada pasien diabetes tipe 2 dan memperlambat
terjadinya albuminuria (Tjay dan Rahardja, 2014).
2.12 Obat Antihipertensi yang Perlu Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK
Pasien dengan gangguan ginjal mengalami penurunan ekskresi obat yang
selanjutnya akan mengakibatkan akumulasi dan efek toksik terhadap organ-organ
tubuh. Oleh karena itu, penyesuaian dosis untuk mencegah efek yang tidak
diinginkan maka untuk mengoptimalkan terapi, dosis obat terutama yang bersifat
nefrotoksik dan rentang terapi sempit yang diberikan kepada pasien dengan
gangguan ginjal harus disesuaikan berdasarkan fungsi ginjalnya (Nasution, 2017).
Golongan utama obat antihipertensi menunjukkan bahwa golongan obat
antihipertensi memiliki efek penurun tekanan darah yang pada hakikatnya setara
jika digunakan sebagai monoterapi yaitu diuretik tiazid, penghambat beta,
inhibitor ACE, penghambat reseptor angiotensin II, dan antagonis kalsium. Pada
rata-ratanya dosis standar sebagian besar obat antihipertensi menurunkan tekanan
darah sebesar 8-10/4-7 mmHg, namun terdapat perbedaan subkelompok dalam
responsivitas. Pasien dengan hipertensi tinggi renin lebih responsif terhadap ACE
dan penghambat reseptor angiotensin (ARB) dari pada golongan obat lain (Larry,
2013).
Bila kreatinin klirens dibawah 60 mL/menit maka perlu penyesuaian dosis
obat yang dikonsumsi. Penyesuaian dapat dengan cara mengurangi dosis obat atau
memperpanjang interval minum obat. Penyesuaian ini bertujuan untuk mendapat
efek terapeutik maksimal tanpa efek samping. Adapun beberapa macam obat
antihipertensi yang perlu penyesuaian dosis saat diberikan pada pasien dengan
gangguan ginjal yaitu, golongan ACE-I (Kaptopril, Lisinopril, Ramipril,
Benazepril, Enalapril), golongan β-blocker (Bisoprolol dan Atenolol). (Munar dan
Singh, 2007).

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan termasuk penelitian observasional non


eksperimental, dengan mendeskripsikan obat-obat anti hipertensi yang diresepkan
pada peresepan obat.
Penelitian menggunakan data sekunder pasien dengan diagnosis gagal ginjal
kronik stage V yang mendapat terapi antihipertensi yang memenuhi kriteria, data
rekam medik dan peresepan obat pasien yang dirawat di instalasi rawat inap
RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di ruang rekam medik RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan
di Jl. Prof. H. M. Yamin S.H No. 47 Medan, dan waktu penelitian dilaksanakan
pada bulan Juni – Juli 2021.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian yang dilakukan ini adalah seluruh data rekam
medik pasien gagal ginjal kronik stage V sebanyak 97 orang dan menggunakan
obat antihipertensi di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan periode Januari - Juni
2021.
3.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan harus memenuhi kriteria inklusi terdapat 41
sampel Kriteria inklusi :
a. pasien yang dirawat di instalasi rawat inap dengan diagnosis penyakit
gagal ginjal kronik dan mendapat terapi obat antihipertensi periode
Januari - Juni 2021.
b. data rekam pasien lengkap, yang terdiri: data pasien, diagnosis
penyakit, data penggunaan obat, dan data laboratorium minimal
memuat data kreatinin serum.
Kriteria Eksklusi :
Rekam medik pasien yang tidak memenuhi kriteria inklusi.
3.4 Definisi Operasional
Definisi operasional yaitu sebagai berikut :
a. pola peresepan adalah gambaran obat yang diresepkan dan digunakan
atas permintaan tertulis dokter kepada apoteker untuk menyiapkan
obat pasien.
b. subjek penelitian adalah pasien GGK dengan obat antihipertensi di
rawat inap RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan pada periode Januari -
Juni 2021.
c. penyakit ginjal kronik adalah kerusakan fungsi ginjal yang progresif
dan bertahap yang dapat mengakibatkan penurunan laju filtrasi
glomerulus ginjal selama tiga bulan atau lebih pada gagal ginjal kronik
terjadi akumulasi toksin, cairan, dan elektrolit yang secara normal
diekskresikan oleh ginjal menyebabkan sindrom uremik.
d. rekam medik adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan
kepada pasien pada sarana kesehatan.
e. kesesuaian dosis adalah suatu takaran obat yang memenuhi batasan
dosis terapi berdasarkan kondisi pasien pada penelitian ini dosis obat
antihipertensi disesuaikan berdasarkan fungsi ginjal pasien yang
dihitung menggunakan persamaan Cockroft-Gault.
f. dosis kurang adalah dosis yang tidak mencapai terapi yang telah
ditentukan olehbuku standar seperti, Renal Pharmacotherapy Dosage
Adjustment of Medication Eliminated by the Kidneys, The Renal
Drug Handbook.
g. dosis lebih adalah dosis yang mencapai terapi lebih tinggi yang telah
ditentukan oleh buku standar seperti, Renal Pharmacotherapy Dosage
Adjustment of Medication Eliminated by the Kidneys, The Renal
Drug Handbook.
h. Tepat indikasi adalah pemberian obat sesuai dengan indikasi yang
tepat sesuai dengan diagnosis yang ditegakkan.
i. Tepat pasien adalah ketepatan pemilihan obat yang didasarkan pada
kondisi klinis pasien diantaranya yaitu penyakit komplikasi, alergi,
ataupun kontraindikasi lainnya yang disesuaikan dengan literatur
yang digunakan dalam penelitian yaitu Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Hipertensi tahun 2006.
j. Tepat obat adalah ketepatan untuk menentukan golongan terapi baik
tunggal maupun kombinasi yang didasarkan pada klasifikasi hipertensi
serta usia pasien dan disesuaikan dengan literatur yang digunakan
dalam penelitian yaitu American Society of Hypertension (ASH)
tahun 2013.
k. Tepat dosis adalah jumlah dosis yang diberikan tidak lebih dan tidak
kurang dan tepat frekuensi pemberiannya, serta sesuai dengan literatur
yang digunakan dalam penelitian Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Hipertensi tahun 2006.
3.5 Cara Kerja
Adapun cara kerja pada penelitian ini yaitu sebagai berikut :
a. survei awal
survei ini dilakukan untuk mengetahui proporsi pasien GGK. Proses
survei ini dimulai dari observasi laporan di Sub Bagian Rekam Medik
untuk kasus-kasus dengan diagnosis GGK dan diterapi dengan obat
antihipertensi periode Januari - Juni 2021.
b. pembuatan master data rekam medik yang dijadikan sebagai sampel
memuat data seperti: nama/ inisial, berat badan, umur, jenis kelamin,
data laboratorium (kreatinin serum) dan menggunakan obat
antihipertensi.
c. analisis dan tabulasi data
3.6 Analisis Data
Hasil penelitian yang didapat dicatat, dikelompokkan dan dianalisis
menggunakan metode analisis deskriptif non analitik dengan cara
membandingkan terhadap :
a. Karakteristik pasien yaitu persentase dari distribusi jenis kelamin dan
umur, diagnosis, serta status pulang pasien yang terdiagnosa hipertensi
dengan gagal ginjal.
b. Karakteristik obat yaitu persentase dari distribusi jenis obat yang
digunakan berdasarkan jumlah obat yang diberikan kepada pasien.
c. Persentase ketepatan penggunaan antihipertensi yang ditinjau dari aspek
tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis.
d. Persentase tepat indikasi yaitu jumlah peresepan antihipertensi yang
sesuai dengan diagnosa yang tertulis direkam medik dibagi dengan
jumlah seluruh peresepan antihipertensi yang digunakan dikali 100%.
e. Persentase tepat obat yaitu jumlah peresepan antihipertensi yang sesuai
dengan keefektifan obat untuk pasien hipertensi dengan gagal ginjal
dibagi dengan jumlah seluruh peresepan antihipertensi yang digunakan
dikali 100%.
f. Persentase tepat pasien yaitu jumlah peresepan antihipertensi yang
sesuai dengan kondisi pasien hipertensi dengan gagal ginjal dibagi
dengan jumlah seluruh peresepan antihipertensi yang digunakan dikali
100%.
g. Persentase tepat penggunaan yaitu jumlah peresepan antihipertensi yang
sesuai besaran penggunaan obat, frekuensi pemberian obat dalam sehari
dan durasi pemberian obat dibagi dengan jumlah seluruh peresepan
antihipertensi yang digunakan dikali 100%.
3.7 Tahapan Penelitian
Adapun tahapan penelitian ini dengan urutan sebagai berikut:
a. meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sari Mutiara
Indonesia untuk dapat melakukan penelitian di RSUD Dr. Pirngadi
Kota Medan.
b. menghubungi Kepala Bidang Pendidikan dan Penelitian RSUD Dr.
Pirngadi Kota Medan untuk mendapatkan izin melakukan penelitian
dan pengambilan data, dengan membawa surat rekomendasi dari
fakultas.
c. mengumpulkan data rekam medis pasien dan data laporan pemakaian
obat GGK yang mendapat terapi obat antihipertensi berdasarkan kriteria
inklusi.
d. data yang dicatat meliputi golongan dan nama obat antihipertensi,
kekuatan, frekuensi dan durasi pemakaiannya, serta lama hari rawat
pasien
e. analisis data dan menyajikan dalam bentuk tabel sehingga di dapatkan
kesimpulan dari penelitian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan rekam medik terdapat 97 orang pasien hipertensi. Dari data
pasien tersebut diambil sejumlah 41 yang memenuhi berdasarkan kriteria
pengambilan sampel. Diketahui bahwa dalam sebagian besar rekam medis
tersebut terdapat lebih dari 3 resep sehingga jumlah total resep dalam 41 rekam
medis yaitu sebanyak 135 recipe.
4.1 Data Karakteristik Responden
Pengumpulan data karakteristik responden ini bertujuan untuk mengetahui
identitas responden serta untuk mengetahui profil pasien hipertensi di instalasi
rawat jalan RSUD. Dr. Pirngadi Kota Medan periode tahun 2021 secara umum.
Berikut deskripsi karakteristik responden yang meliputi jenis kelamin, usia, serta
komplikasi dan penyakit penyerta berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.
4.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan tabel 4.1 di bawah ini dapat dilihat bahwa dari 41 rekam
medis pasien hipertensi sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu
sejumlah 22 orang (53,66%), sedangkan untuk pasien laki-laki sejumlah 19 orang
(46,34%).
Tabel 4.1 Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin Jumlah Persentase
1. Perempuan 22 53,66%
2. Laki-laki 19 46,34%
Jumlah 41 100%

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor resiko terjadinya hipertensi


yang tidak dapat diubah. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wahyuni dan David (2013) mengenai hubungan jenis kelamin dengan kejadian
hipertensi dimana hasilnya yaitu dari 207 penderita hipertensi sejumlah 130
penderita (62,80%) berjenis kelamin perempuan, sedangkan jenis kelamin laki-
laki sejumlah 77 penderita (37,19%).
Survei dari badan kesehatan nasional dan penelitian nutrisi menyatakan
bahwa hipertensi banyak terjadi pada wanita dibanding pria. Pengaruh perbedaan
jenis kelamin terhadap regulasi tekanan darah dapat dikaitkan dengan peran
hormonal terhadap sistem renin angiotensin dalam mengatur tekanan darah,
namun mekanisme pasti bagaimana hormon tersebut mempengaruhi regulasi
fungsi tekanan darah belum diketahui secara detail. Hormon estrogen merupakan
hormon yang turut mempengaruhi perkembangan penyakit hipertensi, dimana
estrogen ini berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein
(HDL). Kadar HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dari terjadinya
aterosklerosis, yang mana aterosklerosis ini dapat menyebabkan terjadinya
hipertensi. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya
imunitas wanita pada masa sebelum pramenopause yaitu sebelum usia 40 tahun.
Pada masa pramenopause wanita mulai kehilangan hormon estrogen sedikit demi
sedikit. Proses ini terus berlanjut hingga masuk masa menopause yaitu usia 50
tahun dimana hormon estrogen semakin rendah kuantitasnya. Menurunnya kadar
estrogen yang melindungi pembuluh darah dari kerusakan inilah yang menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan wanita rentan terkena penyakit
kardiovaskular (Florensia, 2016; Ta’adi dkk, 2016).
Evaluasi penggunaan obat yaitu suatu upaya yang dilakukan dengan tujuan
untuk mengevaluasi penggunaan obat yang diberikan kepada pasien apakah sudah
sesuai efikasi serta keamanannya berdasarkan kondisi klinis pasien tersebut
Penggunaan obat dapat dinyatakan rasional apabila pasien menerima obat yang
sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat, dan dengan
harga yang terjangkau (Kemenkes RI, 2011). Adapun penelitian mengenai
evaluasi penggunaan obat ini dilakukan pada pasien hipertensi di instalasi rawat
jalan RSUD. Dr. Pirngadi Kota Medan periode tahun 2021.
4.1.2 Karakteristik Responden berdasarkan Usia
Berdasarkan tabel 4.2 yang mengacu pada pembagian usia oleh WHO
yaitu usia dewasa < 45 tahun 2 orang ( 4,88%), usia pertengahan (middle age) 45-
60 tahun 19 orang (46,34%) , dan lanjut usia >60 tahun 20 orang (48,78%).
Tabel 4.2 Karakteristik Responden berdasarkan Usia
No. Kelompok Usia Jumlah Persentase
1. < 45 tahun 2 4,88%

2. 45-60 tahun 19 46,34%

3. > 60 tahun 20 48,78%


Jumlah 41 100%

Dari tabel 4.2 di atas maka secara teoritis hasil ini dapat dijelaskan dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia
dalam Pharmaceutical Care untuk hipertensi tahun 2006 bahwa semakin
bertambahnya usia maka akan terjadi penurunan fungsi fisiologis dalam tubuh
seperti penurunan elastisitas pembuluh darah dan perubahan struktur pembuluh
darah besar yang menyebabkan lumen menjadi lebih sempit dan dinding
pembuluh darah yang menjadi lebih kaku yang mengakibatkan tekanan darah
meningkat (Depkes RI, 2006).
4.1.3 Karakteristik Responden berdasarkan Komplikasi dan Penyakit
Penyerta
Pada penelitian ini yang dimaksud dengan penyakit komplikasi yaitu
penyakit baru yang muncul akibat tingkat keparahan hipertensi serta berkaitan
dengan kardiovaskular. Sedangkan penyakit penyerta yaitu penyakit yang muncul
sebelum, bersamaan, ataupun sesudah pasien mengalami hipertensi serta tidak
berhubungan dengan kardiovaskular, dapat kita lihat pada tabel 4.3 berikut.
4.3 Karakteristik Responden berdasarkan Komplikasi dan Penyakit Penyerta
Kategori Jenis Penyakit Jumlah Persentase

DM 14 38,89%
CVA Infark 12 33,33%
Komplikasi PJK 5 13,89%
CKD 4 11,11%
Anemia 1 2,78%
Total (n=36) 36 100%
Hipertensi dapat menjadi salah satu faktor resiko utama bagi
penyakit kardiovaskular lainnya maupun serebrovaskular (Chiburdanidze,
2013). Adapun jenis komplikasi yang banyak diderita pasien adalah diabetes
melitus(14 kasus) dan CVA infark (12 kasus). Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Chiburdanidze (2013) terkait komplikasi yang paling banyak
terjadi pada pasien hipertensi rawat jalan di RS “A” yaitu diabetes melitus(15
kasus). Penelitian oleh Ujung dkk (2013) juga menghasilkan bahwa CVA infark
merupakan komplikasi hipertensi terbanyak di rawat inap RSUD Sidikalang yaitu
sebanyak 7 kasus (53,8%). Selain diabetes melitus dan CVA infark, komplikasi
yang paling banyak terjadi beberapa pasien menderita komplikasi yang lain
diantaranya Penyakit Jantung Koroner (PJK), Chronic Kidney Disease (CKD),
dan Anemia yang dimana masing-masing komplikasi berjumlah kurang dari 10
kasus.
Hipertensi jangka panjang juga dapat menyebabkan CVA infark atau
yang biasa dikenal dengan istilah stroke. Dimana stroke terjadi apabila pembuluh
darah arteri dalam otak mengalami hipertropi atau penebalan sehingga aliran
darah ke daerah otak akan berkurang yang selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya aterosklerosis melalui efek penekanan pada sel endotel dan
mengakibatkan pembentukan plak pada pembuluh darah semakin cepat.
Akibatnya aliran darah ke daerah-daerah yang dilalui termasuk otak akan
berkurang sehingga otak tidak akan mendapat suplai oksigen yang cukup.
Kurangnya suplai oksigen inilah yang menyebabkan stroke (AHA, 2011).
4.2 Gambaran Distribusi Penggunaan Obat Antihipertensi
Berbagai macam obat diresepkan untuk pasien hipertensi di RSUD. Dr.
Pirngadi Kota Medan namun 5 golongan yang paling banyak diresepkan yaitu
ACEI, ARB, CCB, diuretik, dan β-Blocker. Terapi yang digunakan juga sangat
bervariasi mulai dari monoterapi hingga kombinasi 2-5 obat antihipertensi dimana
variasi pengobatan ini bersifat individual berdasarkan kondisi klinis pasien
dikarenakan suatu obat terkadang memberikan efek yang tidak sama pada satu
individu dengan individu lainnya. Berikut gambaran distribusi obat antihipertensi
yang digunakan di instalasi rawat jalan RSUD. Dr. Pirngadi Kota Medan periode
tahun 2021.
Tabel 4.4 Variasi terapi penggunaan obat antihipertensi
No. Variasi Terapi Jumlah Persentase

1 Monoterapi 9 21.95%
2 Kombinasi 32 78,05%
TOTAL 41 100%

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa dari 41 rekam medis yang


digunakan sebagai obyek penelitian terdapat 135 resep yang diberikan kepada
pasien dimana dari 41 pasien terdapat 9 (21,95%) mendapatkan terapi tunggal
dan 32 pasien (78,05%) mendapatkan terapi kombinasi. Banyaknya pasien yang
mendapatkan terapi kombinasi ini dikarenakan sebagian besar pasien hipertensi di
instalasi rawat inap RSUD. Dr. Pirngadi Kota Medan periode tahun 2021 yaitu
geriatri berusia > 60 tahun (50,0%) dimana pada usia ini terjadi perubahan
fisiologis pada tubuh seperti penurunan elastisitas pembuluh darah yang
menyebabkan potensi terjadinya hipertensi semakin besar, sehingga penggunaan
kombinasi obat antihipertensi diharapkan dapat menjaga tekanan darah tetap
dalam rentang normal. Selain itu pemberian kombinasi obat antihipertensi juga
banyak diberikan pada pasien yang menderita hipertensi stage 2 dan pasien
hipertensi dengan komplikasi.
4.2.1 Penggunaan Monoterapi Obat Antihipertensi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pengobatan monoterapi
antihipertensi di instalasi rawat inap RSUD. Dr. Pirngadi Kota Medan tahun 2021
yaitu sebesar 21,95% (9 pasien) dimana pengobatan ini diberikan kepada pasien
hipertensi stage 1 ataupun pasien dengan rentang tekanan darah <140/90 mmHg
dimana untuk menjaga tekanan darah agar tetap dalam rentang normal.
Tabel 4.5 Distribusi penggunaan monoterapi obat antihipertensi
Persentase
No. Golongan Obat Jenis Obat Jumlah Persentase Golongan
Jenis Obat Obat
1 Calsium Amlodipin 4 44,44% 44,44%
Chane
l Blocker (CCB)
Angiotensin II Candesartan 1 11,11%
Losartan
2 Reseptor 1 11,11% 22,22%
Blocker (ARB)
3 β-Blocker Bisoprolol 1 11,11% 22,22%
Propanolol 1 11,11%

4 Diuretik Furosemid 1 11,11% 11,11%


TOTAL 9 100%

Monoterapi antihipertensi yang paling banyak diresepkan yaitu amlodipin


(44,44%). Amlodipin termasuk golongan CCB dimana golongan ini merupakan
lini pertama dalam pengobatan hipertensi pada lansia (James et al., 2014). Hal ini
terjadi karena pada lansia lebih sering terjadi hipertensi sistolik dibandingkan
hipertensi diastolik. Hipertensi sistolik ini lebih meningkatkan resiko kerusakan
organ lainnya pada lansia dibandingkan hipertensi diastolik. Data menunjukkan
bahwa golongan CCB dihidropiridin lebih dapat menurunkan hipertensi sistolik
pada lansia sehingga dapat menurunkan resiko semakin parahnya kerusakan organ
(Dipiro, 2008). Hasil ini sudah tepat dengan banyaknya responden dalam
penelitian ini yang berusia >60 tahun sehingga penggunaan golongan
CCB merupakan monoterapi terbanyak yang digunakan.
CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan
menghambat masuknya kalsium ke dalam pembuluh darah dimana kalsium ini
dibutuhkan untuk kontraksi otot. Pada otot polos ketika saluran kalsium tersebut
dihambat maka akan menyebabkan penurunan influks kalsium sehingga tonus
akan melemah dan terjadi relaksasi pada otot polos vaskular. Relaksasi ini adalah
bentuk dari terjadinya vasodilatasi, sehingga tekanan darah dapat menurun
(Hendarti, 2016).
Pengobatan monoterapi terbanyak selanjutnya yaitu golongan ARB
(22,22%). Golongan ini mempunyai efektivitas yang hampir sama dengan ACEI
dimana banyak digunakan sebagai lini pertama pengobatan hipertensi. Golongan
ARB ini banyak dipilih dibandingkan ACEI karena untuk menghindari efek
samping dari golongan ACEI yaitu batuk kering yang tak kunjung sembuh pada
penggunaan jangka panjang. Hal ini disebabkan ARB tidak seperti ACEI yang
menghambat enzim pengubah angiotensin sehingga tidak terjadi inhibisi degradasi
bradikinin dan bradikinin tetap menjadi metabolit inaktif. Hal inilah yang
menyebabkan ARB tidak menimbulkan efek samping batuk kering (Hendarti,
2016). Hasil pengobatan monoterapi terbanyak ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Suprapti dkk (2014) mengenai obat antihipertensi yang digunakan
di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya dimana monoterapi yang banyak
digunakan yaitu golongan ARB (22,22%) dan CCB (44,44%).
4.2.2 Penggunaan Kombinasi 2 Obat Antihipertensi
American Society of Hypertension (ASH) menyatakan bahwa kombinasi 2
obat antihipertensi diberikan kepada pasien hipertensi stage 2 atau pasien
hipertensi stage 1 yang tidak dapat mencapai target tekanan darah menggunakan
monoterapi antihipertensi (ASH, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
pengobatan kombinasi 2 obat antihipertensi di instalasi rawat jalan RSUD. Dr.
Pirngadi Kota Medan tahun 2021 yaitu sebesar 59,26% (80 resep).
Tabel 4.6 Distribusi penggunaan kombinasi 2 obat antihipertensi
Persentase
No. Golongan Obat Jenis Obat Jumlah Persentase Golongan
Jenis Obat Obat

1 CCB + β-Blocker Amlodipin + Bisoprolol 3 25% 33,3%


2 Bisoprolol + Lisinopril 1 11,1%
β-Blocker + ACEI Bisoprolol + Captopril 1 11,1% 22,2%
3 β-Blocker + ARB Bisoprolol + Candesartan 1 11,1% 11,1%
4 Candesartan + 1 11,1%
ARB + Diuretik Spironolakton 22,2%
Losartan + Spironolakton 1 11,1%
5 ACEI + Diuretik Lisinopril + Furosemid 1 11,1% 11,1%
TOTAL 9 100%
Pengobatan 2 kombinasi yang paling banyak diresepkan yaitu kombinasi
antara golongan CCB + β-Blocker (25%), dan selanjutnya golongan β-Blocker +
ACEI (25%). Menurut Sargowo (2012) kombinasi antara golongan CCB dengan
ACEI/ARB ini telah menunjukkan efek penurunan tekanan darah yang lebih besar
dibandingkan dengan penggunaan monoterapi. Kombinasi ini juga telah
menunjukkan penurunan tekanan darah yang efektif pada pasien hipertensi dengan
gagal ginjal tanpa mempengaruhi fungsi renal yang tersisa. Dalam jurnal meta
analisis dinyatakan bahwa kombinasi antara ACEI/ARB dengan CCB lebih
menguntungkan dibandingkan dengan kombinasi obat antihipertensi lainnya
dengan menunjukkan hasil lebih rendah dalam kejadian kardiovaskular dan efek
samping yang merugikan (Chi et al., 2016). Pernyataan ini juga diperkuat dengan
literatur oleh Syamsudin (2011) yang menyebutkan bahwa kombinasi CCB dan
ACEI/ARB menunjukkan suatu efek perlindungan ginjal serta memicu
pengurangan massa ventrikel kiri sehingga penggunaan kedua obat ini bermanfaat
bagi pasien DM ataupun pasien penyakit ginjal.
Tingginya penggunaan kombinasi CCB+ACEI/ARB ini sudah tepat
dengan banyaknya responden dalam penelitian ini dimana penyakit penyerta yang
banyak diderita pasien yaitu DM sehingga kombinasi ini menjadi pilihan utama
dalam pengobatan.
4.2.3 Penggunaan Kombinasi 3 Obat Antihipertensi
Kombinasi 3 obat antihipertensi diberikan kepada pasien hipertensi dimana
tekanan darahnya belum mencapai target ketika menggunakan terapi tunggal
maupun 2 kombinasi. Dalam penelitian ini kombinasi 3 obat antihipertensi terjadi
pada 14 resep (34,14%). Berikut akan disajikan tabel yang menggambarkan
distribusi kombinasi 3 obat antihipertensi tersebut.
Tabel 4.7 Distribusi penggunaan kombinasi 3 obat antihipertensi
Jumlah Persentase Persentase
No. Golongan Obat Jenis Obat Jenis Obat Golongan
Obat
Amlodipin + Lisinopril 2 14,29%
1 CCB + ACEI + β- + Bisoprolol 21,43%
Blocker Amlodipin + Captopril 1 7,14%
+ Bisoprolol

Loop Diuretik Furosemid +


2 + Diuretik Spironolakton 2 14,29% 14,29%
Hemat Kalium + Candesartan
+ ARB
Amlodipin + 2 14,29%
3 CCB + ARB + β- Candesartan 21,43%
Blocker + Bisoprolol 1 7,14%
Amlodipin + Valsartan
+ Bisoprolol
Loop Diuretik Furosemid + 1
4 + Diuretik Spironolakton 7,14% 7,14%
Hemat Kalium + Lisinopril
+ ACEI
5 Loop Diuretik + Furosemid + Captopril 2 14,29% 14,29
ACEI + β- + Bisoprolol
Blocker
Loop Diuretik Furosemid +
6 + Diuretik Spironolakton 1 7,14% 7,14%
Hemat Kalium + Bisoprolol
+ β- Blocker
7 Loop Diuretik + Furosemid + Amlodipin
CCB + β- + Bisoprolol 1 7,14% 7,14%
Blocker
8 Loop Diuretik + Furosemid + 1 7,14% 7,14%
ARB + β- Candesartan
Blocker + Bisoprolol

TOTAL 14 100%
Kombinasi menggunakan 3 obat antihipertensi yang paling banyak
digunakan yaitu kombinasi antara golongan CCB+ACEI+β-Blocker (21,43%)
dimana kombinasi 3 obat antihipertensi ini diberikan kepada pasien dengan
komplikasi PJK dan penyakit penyerta DM serta usia yang lebih dari 60 tahun,
dimana pada usia tersebut terjadi perubahan alamiah dalam tubuh yaitu perubahan
struktur pada pembuluh darah besar yang menyebabkan lumen menjadi lebih
sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku yang kemudian
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah (Depkes RI, 2006).
Sehingga digunakan kombinasi 3 obat antihipertensi ini bertujuan untuk
memaksimalkan kemampuan dalam menurunkan tekanan darah, meminimalkan
efek samping obat, serta menjaga tekanan darah pasien dalam rentang normal
sehingga tekanan darah tidak mudah naik turun yang mengakibatkan resiko
terjadinya stroke 5x lebih besar.
Penggunaan 3 kombinasi ini dipilih berdasarkan manfaat masing-masing
golongan. Pemberian golongan ACEI akan membantu meminimalisir terjadinya
CKD yang disebabkan oleh DM dengan memberikan efek renoprotektor serta
membantu meningkatkan sensitifitas insulin sehingga dapat meningkatkan proses
hipoglikemia. Penggunaan β-Blocker merupakan pengobatan lini pertama untuk
pasien hipertensi dengan PJK yaitu golongan ini akan bekerja memberikan efek
inotropik negatif yaitu mengurangi daya kontraksi otot jantung sehingga terjadi
vasodilatasi. Golongan CCB juga akan membantu memaksimalkan penurunan
tekanan darah dengan memblok masuknya kalsium pada pembuluh darah dimana
kalsium ini dibutuhkan untuk kontraksi otot polos sehingga terjadi relaksasi otot
polos vaskular.
4.2.4 Penggunaan Kombinasi 4 Obat Antihipertensi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pengobatan menggunakan
kombinasi 4 obat antihipertensi di instalasi rawat jalan RSUD. Dr. Pirngadi Kota
Medan tahun 2021 yaitu sebesar 19,51% (8 resep). Berikut akan disajikan tabel
yang menggambarkan distribusi kombinasi 4 obat antihipertensi tersebut.
Tabel 4.8 Distribusi penggunaan 4 obat antihipertensi

Persentase
Golongan Σ Persentase
No. Golongan
Obat Jenis Obat Kasus Jenis Obat
Obat
Loop Diuretik Furosemid +
+ Diuretik Spironolakton + 2 25% 25%
Hemat Kalium Bisoprolol
1
+ β- Blocker + + Captopril
ACEI

Loop Diuretik Furosemid + 1 12,5%


+ CCB + ARB Amlodipin + 25%
+ Candesartan + 1 12,5%
2
β-Blocker Bisoprolol Furosemid +
Amlodipin + Valsartan
+ Bisoprolol
Loop Diuretik Furosemid +
+ Diuretik Spironolakton + 1 12,5 12,5%
3 Hemat Kalium Amlodipin + %
+ CCB Lisinopril
+ ACEI
Loop Diuretik Furosemid +
+ Diuretik Spironolakton + 1 12,5 12,5%
4 Hemat Kalium Bisoprolol %
+ β- Blocker + + Candesartan
ARB
Loop Diuretik Furosemid + Amlodipin
+ CCB + + Captopril + 1 12,5 12,5%
5
ACEI + Bisoprolol %
β-Blocker
ACEI + CCB Lisinopril + Amlodipin
6 + ACEI + β- + Captopril + 1 12,5 12,5%
Blocker Bisoprolol %
TOTAL 8 100%

Berdasarkan tabel 4.8 diatas diketahui bahwa kombinasi menggunakan 4


obat antihipertensi yang paling banyak digunakan yaitu kombinasi antara
golongan Loop Diuretik+Diuretik Hemat Kalium+β-Blocker+ACEI (25%) dan
golongan Loop Diuretik+CCB+ARB+β-Blocker (25%). Hasil ini sedikit berbeda
dengan penelitian oleh Florensia (2016) dimana kombinasi 4 obat antihipertensi
yang paling banyak digunakan yaitu kombinasi antara golongan
Diuretik+ACEI+CCB+β-Blocker (2,94%).
Kombinasi 4 obat antihipertensi ini diberikan kepada pasien dengan
hipertensi stage 2, usia lebih dari 60 tahun, dan menderita komplikasi CKD, PJK,
serta penyakit penyerta DM. Pemberian kombinasi 4 obat antihipertensi ini dipilih
dengan mempertimbangkan manfaat dari masing-masing golongan. Pemberian
kombinasi ini dapat memaksimalkan kemampuan dalam menurunkan tekanan
darah, meminimalkan efek samping obat, serta menjaga tekanan darah pasien
dalam rentang normal sehingga dapat menurunkan resiko stroke dan semakin
parahnya kerusakan organ.
Pada pasien hipertensi dengan komplikasi CKD, pembuluh darah yang
berada di ginjal mengalami kerusakan yang disebabkan oleh penekanan dari
tekanan darah yang tinggi secara terus-menerus sehingga ginjal mengalami
penurunan fungsinya dalam menyaring darah. Pemberian golongan ACEI/ARB
akan bekerja dengan memberikan efek renoprotektif dengan mekanisme
memvasodilatasi arteriol ginjal dengan memblok kerja dari angiotensin II dimana
angiotensin II ini merupakan vasokonstriktor yang memicu rusaknya glomerulus.
Penambahan golongan diuretik juga membantu proses ekskresi cairan yang
terakumulasi dalam tubuh dimana disebabkan karena ginjal tidak dapat
membuang cairan seperti biasanya.
Pada pasien PJK dan DM golongan β-Blocker akan bekerja dengan
memblok reseptor beta adrenergik yang berada di miokardium dimana reseptor ini
dapat menyebabkan kontraksi kuat di miokardium sehingga akan terjadi
vasodilatasi. Golongan ACEI/ARB dapat meningkatkan sensitifitas insulin
sehingga meningkatkan proses hipoglikemia, serta efek renoprotektor yang
dimiliki golongan tersebut akan membantu pencegahan DM berkembang menjadi
CKD. Sedangkan golongan diuretik digunakan untuk meminimalisir efek samping
dari golongan ACEI/ARB yaitu hiperkalemia.
4.2.5 Penggunaan Kombinasi 5 Obat Antihipertensi
Penggunaan kombinasi 5 obat antihipertensi dalam penelitian ini hanya
terdapat 1 kasus yaitu kombinasi antara golongan Loop Diuretik+Diuretik Hemat
Kalium+CCB+ARB+β-Blocker dimana kombinasi ini diberikan kepada pasien
dengan usia 67 tahun dan tekanan darah 190/100 mmHg serta komplikasi PJK
dan penyakit penyerta OA. Hasil ini juga sedikit berbeda dengan penelitian oleh
Florensia (2016) dimana kombinasi 5 obat antihipertensi yang paling banyak
digunakan yaitu kombinasi antara golongan CCB+ARB+ACEI+β-
Blocker+Diuretik (2,94%).
Alasan pasien diberikan 5 kombinasi obat antihipertensi tersebut yaitu
dikarenakan tekanan darahnya terus naik dibandingkan pemeriksaan bulan-bulan
sebelumnya. Pada awal pengobatan pasien mendapatkan terapi 2 kombinasi
obat antihipertensi, kemudian dengan naiknya tekanan darah 30/- mmHg
pengobatan pasien ditambah menjadi 4 kombinasi obat antihipertensi. Dan
pengobatan selanjutnya tekanan darah pasien naik kembali 30/10 mmHg sehingga
pengobatan ditambah menjadi 5 kombinasi obat antihipertensi. Kombinasi ini
dipilih karena dapat memaksimalkan kemampuan dalam menurunkan tekanan
darah, meminimalkan efek samping obat, serta menjaga tekanan darah pasien
dalam rentang normal.
4.3 Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Antihipertensi
Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antihipertensi adalah evaluasi yang
dilakukan untuk mengevaluasi ketepatan pemilihan obat oleh tim medis kepada
pasien yang bertujuan untuk menjamin penggunaan obat yang rasional kepada
pasien hipertensi (Depkes RI, 2006). Penggunaan obat yang rasional sangatlah
penting untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Apabila penderita hipertensi
tidak menerima pengobatan yang tepat maka dikhawatirkan akan menyebabkan
semakin tingginya tingkat keparahan hipertensi tersebut hingga menyebabkan
komplikasi yang dapat memperburuk keadaan penderita.
Terapi non farmakologis misalnya mengikuti pola makan Dietary
Approach to Stop Hypertension (DASH), diet rendah sodium, penurunan berat
badan, serta aktifitas fisik yang cukup yang dilakukan pasien dapat dilakukan
sebagai terapi penunjang dalam keberhasilan penanganan hipertensi. Namun
tenaga medis umumnya tetap memberikan terapi secara farmakologis
menggunakan obat penurun tekanan darah dengan tujuan untuk mendapatkan
tekanan darah target dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama dan menjaganya
dalam rentang normal. Penurunan tekanan darah secara farmakologis dan yang
terpenting secara rasional ini juga efektif dalam mencegah kerusakan pembuluh
darah serta telah terbukti dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas
(McGowan, 2001).
Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antihipertensi yang dilakukan dalam
penelitian ini yaitu secara kualitatif dimana meninjau dari empat hal yaitu tepat
indikasi, tepat pasien, tepat obat, serta tepat dosis. Evaluasi rasionalitas dalam
penelitian ini juga dihitung berdasarkan tiap lembar resep yang diterima oleh
pasien, sehingga resep sebelum dan sesudahnya tidak mempengaruhi penilaian
ketepatan karena dihitung tiap lembar resep. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan pada 41 rekam medis yang menjadi obyek penelitian, diketahui bahwa
dalam sebagian besar rekam medis tersebut terdapat lebih dari 3 resep sehingga
jumlah total resep dalam 41 rekam medis yaitu sebanyak 135 resep. Berikut akan
dipaparkan secara rinci mengenai hasil yang didapatkan berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan.
4.3.1 Evaluasi Rasionalitas berdasarkan Ketepatan Indikasi
Evaluasi ketepatan indikasi merupakan suatu proses penilaian terhadap
pemilihan obat yang sesuai dengan yang dibutuhkan pasien yang didasarkan pada
diagnosa yang ditegakkan berdasarkan alasan medis (Sumawa, 2015). Dikatakan
tepat indikasi apabila pemberian obat sesuai dengan gejala yang dirasakan pasien
dan diagnosis yang telah ditegakkan serta telah terbukti manfaat terapinya.
Apabila suatu obat diberikan tanpa ada indikasi yang sesuai maka gejala serta
penyakit yang diderita pasien tidak akan hilang karena suatu obat memiliki
spektrum terapi yang spesifik dan berbeda-beda (Andriyana, 2018). Ketepatan
indikasi pada penggunaan obat antihipertensi ini didasarkan pada ketepatan dalam
memutuskan pemberian obat antihipertensi yang sepenuhnya berdasarkan alasan
medis yaitu jika tekanan darah pasien berada pada angka >140/90 mmHg.
Penggunaan obat dikategorikan tepat indikasi apabila obat yang diresepkan sesuai
dengan diagnosa adanya penyakit hipertensi.
100%

Tepat indikasi

Gambar 4.1 Diagram evaluasi rasionalitas berdasarkan ketepatan indikasi


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap 135 lembar resep
pasien hipertensi di instalasi rawat jalan RSUD. Dr. Pirngadi Kota Medan
periode tahun 2021 didapatkan nilai dari ketepatan pemilihan obat antihipertensi
berdasarkan tepat indikasinya yaitu mencapai 100%. Penggunaan obat
antihipertensi ini dikategorikan tepat indikasi karena obat antihipertensi ACEI,
ARB, CCB, diuretik, dan β-Blocker diberikan kepada pasien dengan diagnosis
hipertensi stage 1, stage 2, ataupun hipertensi dengan komplikasi.
Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Salwa (2013) mengenai evaluasi
penggunaan obat antihipertensi di instalasi rawat inap RS Dr. Moewardi pada
tahun 2010 dengan jumlah sampel sebanyak 41 rekam medis menghasilkan
ketepatan indikasi sebesar 100%.
4.3.2 Evaluasi Rasionalitas berdasarkan Ketepatan Pasien
Ketepatan pasien adalah ketepatan pemilihan obat yang didasarkan dengan
mempertimbangkan keadaan pasien secara individu sehingga tidak menimbulkan
kontraindikasi (Sumawa, 2015). Ketepatan pasien ini perlu dipertimbangkan agar
tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat kepada pasien yang tidak
memungkinkan penggunaan obat tersebut atau keadaan yang dapat meningkatkan
resiko efek samping obat (Depkes RI, 2006). Evaluasi ketepatan pasien pada
penelitian ini dilakukan dengan membandingkan kontraindikasi obat yang
diberikan dengan kondisi pasien dimana dilihat dari penyakit komplikasi yang
sedang diderita pasien ataupun jika ada riwayat alergi yang tertera di rekam
medis. Berikut akan disajikan diagram yang mempresentasikan hasil evaluasi
rasionalitas penggunaan obat berdasarkan ketepatan pasien.
100%

Gambar 4.2 Diagram evaluasi rasionalitas berdasarkan ketepatan pasien


Penelitian yang telah dilakukan pada 135 lembar resep pasien hipertensi
dimana yang disesuaikan dengan standar American Society of Hypertension
(ASH) tahun 2013 menunjukkan hasil evaluasi rasionalitas penggunaan obat
berdasarkan ketepatan pasien yaitu mencapai 100%. Hasil ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sumawa (2015) tentang evaluasi
rasionalitas berdasarkan tepat pasien di rawat inap RSUP Prof. Kandou Manado
dengan jumlah sampel 39 rekam medis dan menggunakan standar JNC 7
menyebutkan bahwa jumlah yang tepat pasien sebesar 100%.
4.3.3 Evaluasi Rasionalitas berdasarkan Ketepatan Obat
Pengobatan hipertensi memiliki tujuan yaitu untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas yang berhubungan dengan faktor resiko penyakit kardiovaskular.
Pemberian obat dikatakan tepat apabila jenis obat yang dipilih berdasarkan
pertimbangan besarnya manfaat dan resiko dikarenakan pengobatan tersebut
bersifat individual dengan memperhatikan bahwa efek obat terkadang tidak sama
bagi setiap individu (Kowalski, 2010). Evaluasi ketepatan obat dalam penelitian
ini dinilai berdasarkan kesesuaian pemilihan golongan terapi baik tunggal maupun
kombinasi dengan mempertimbangkan diagnosis yang telah tertulis dalam rekam
medis dan membandingkan dengan literatur yang digunakan yaitu American
Society of Hypertension (ASH) tahun 2013. Berikut akan disajikan diagram yang
mempresentasikan hasil evaluasi rasionalitas berdasarkan ketepatan obat
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.
100%

Gambar 5.3 Diagram evaluasi rasionalitas berdasarkan ketepatan obat


Melalui gambar 5.3 diketahui bahwa dari 135 Penelitian yang telah
dilakukan pada 135 lembar resep pasien hipertensi dimana yang disesuaikan
dengan standar American Society of Hypertension (ASH) tahun 2013
menunjukkan hasil evaluasi rasionalitas penggunaan obat berdasarkan ketepatan
0bat yaitu mencapai 100%..

4.3.4 Evaluasi Rasionalitas berdasarkan Ketepatan Dosis

Dosis obat adalah kadar obat yang digunakan oleh seorang pasien untuk
memperoleh efek terapeutik yang diharapkan. Dosis merupakan salah satu aspek
yang paling penting dalam menentukan efikasi obat. Apabila dosis yang diberikan
terlalu rendah atau di bawah rentang terapi, maka efek terapi yang diharapkan
tidak akan tercapai, begitu sebaliknya apabila dosis yang diberikan terlalu tinggi
terutama jika obat tersebut memiliki rentang terapi sempit maka akan sangat
beresiko untuk menimbulkan overdosis (Kemenkes RI, 2011). Dalam penelitian
ini dinilai tepat dosis apabila dosis yang diberikan tidak kurang dan tidak lebih
dari rentang yang ditentukan dalam literatur Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Hipertensi tahun 2006.

1,48%

98,52
Gambar 4.4 Diagram evaluasi rasionalitas berdasarkan ketepatan dosis
Melalui gambar 4.4 diketahui bahwa dari 135 resep sebanyak 1,48% (2
resep) dinilai tidak tepat dosis dan 133 resep lainnya (98,52%) dinilai tepat dosis.
Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendarti (2015) di
Puskesmas Ciputat periode Januari - Maret 2015 dimana dengan sampel sebanyak
80 pasien menghasilkan ketepatan dosis sebesar 42,5%.
Tabel 4.11 Hasil ketidaktepatan dosis dalam evaluasi rasionalitas
Dosis dalam
Obat Dosis dalam RM Pharmaceutical
Antihipertensi Care
Dosis bisoprolol Dosis bisoprolol
Bisoprolol 2,5 mg 1x1/2 2,5-10 mg 1x1

Berdasarkan tabel 4.11 diketahui bahwa ketidaktepatan dosis terjadi


pada 2 resep sedangkan 133 resep lainnya (98,52%) dinyatakan tepat dosis.
Alasan dari ketidaktepatan ini yaitu kurangnya dosis bisoprolol yang diberikan.

Dosis bisoprolol yang diterima pasien yaitu < 2,5 mg dalam sehari, sedangkan
menurut literatur Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi oleh
Departemen Kesehatan RI tahun 2006 dosis minimal bisoprolol dalam sehari yaitu
2,5 mg dan dosis maksimalnya 10 mg.
JNC 8 menyebutkan bahwa terdapat 3 strategi dalam penentuan dosis obat
antihipertensi yaitu yang pertama strategi 1 dimana pengobatan dimulai dengan
monoterapi, jika tekanan target belum tercapai maka dosis ditingkatkan secara
bertahap, dan jika tekanan darah target masih belum tercapai maka tambahkan
obat kedua. Strategi kedua yaitu dimulai dengan satu obat kemudian tambahkan
obat kedua sebelum obat pertama mencapai dosis maksimalnya, selanjutnya dosis
kedua obat ini ditambahkan secara bertahap untuk mencapai target tekanan darah.
Strategi terakhir yaitu terapi dimulai dengan kombinasi 2 obat, baik secara
terpisah maupun kombinasi dalam 1 sediaan. Pertimbangan untuk memulai terapi
dengan kombinasi dengan dua obat ini yaitu apabila tekanan darah 200/100
mmHg diatas target (Depkes RI, 2006; James et al., 2014).
Pengobatan hipertensi merupakan pengobatan berulang dan dalam jangka
waktu yang panjang, sehingga ketepatan dosis sangat penting agar tercapainya
efek terapi yang maksimal. Hipertensi sendiri merupakan penyakit tanpa gejala
sehingga ketidakpatuhan seringkali terjadi. WHO (2003) menyatakan bahwa
hampir 75% pasien dengan diagnosis hipertensi gagal mencapai tekanan darah
optimum dikarenakan rendahnya kepatuhan penggunaan obat (WHO dalam
Mutmainah dan Mila, 2010). Adanya ketidakpatuhan pasien dapat memberikan
efek negatif yang sangat besar diantaranya resiko terjadinya stroke akan 5x lebih
tinggi dikarenakan tekanan darah yang naik turun, resiko kerusakan organ penting
seperti jantung dan ginjal juga akan semakin tinggi jika tekanan darah tidak
terkontrol, oleh sebab itu pengobatan hipertensi disebut dengan pengobatan
seumur hidup.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada 41 rekam medis (135


resep) pasien hipertensi di instalasi rawat jalan RSUD. Dr. Pirngadi Kota Medan
maka kesimpulan yang dapat diambil yaitu sebagai berikut:
1. Jenis-jenis obat antihipertensi yang di gunakan pada pasien gagal ginjal
kronik stage v di RSU Dr. Pirngadi Kota Medan, meliputi obat diuretik,
ACEI, ARB, CCB, dan β-Blocker sudah sesuai dengan Formularium
Rumah Sakit.
2. Rasionalitas peresepan obat anti hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik
stage v berdasarkan kriteria tepat indikasiyaitu sebesar 100%, tepat pasien
sebesar 100%, tepat obat sebesar 100%, tepat dosis sebesar 98,52%.
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai kepatuhan pasien dalam
penggunaan obat antihipertensi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas
kesehatan pasien dimana dengan meningkatkan kepatuhan pasien dalam
penggunaan obat antihipertensi maka dapat menurunkan resiko terjadinya
penyakit komplikasi ataupun kerusakan organ penting lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aslam, S., Santha, T., Leone A., & Wicox, C, 2006, Effects of amlodipine and
valsartan on oxidative stress and plasma methylarginines in end-stage
renal disease patients on hemodialysis., Kidney International (2006) 70,
2109–2115. doi:10.1038/sj.ki.5001983
Bakris,GL., 2001, A practical approach to achieving recommended BP goals in
diabetic patients. Arch Intern Med 161:2662‐2667
Benowitz, N.L., 2001, Obat Antihipertensi, dalam Katzung, B.G., Farmakologi
Dasar dan Klinik, diterjemahkan oleh Staf dosen Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya, Ed. VI, 269-270, EGC, Jakarta.
Chobanian, A.V.,Bakris, G.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo,
J.L., Jones, D.W., Materson, B.J., Oparil, S., & Wright, J.T., 2004, The Seventh
Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure:The Complete
Report, U.S Department of Health and Human Services, New York.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., & Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice, 59,
75, 82-83, 88-90, 114-115, The McGraw-Hill Companies, New York.
DeBellis, R. J., Smith, B. S., Cawley, P. A., & Burniske, G. M, 2000, Drug Dosing in
Critically Ill Patients with Renal Failure: A Pharmacokinetic Approach,
University of Maryland Medical Center, Baltimore.
Dipiro, J. T., Talbert, L. R., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, L. M.,
2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Seventh Edition,
The McGraw-Hill Companies, Inc, United States of America.
Dussol, B. MD, PhD., Frances, J.M. MD., Morange, S. MD., Delpero, C. S. MD,
PhD., Mundler, O. MD., & Berland, Y. MD ., 2012, A Pilot Study
Comparing Furosemide and Hydrochlorothiazide in Patients With
Hypertension and Stage 4 or 5 Chronic Kidney Disease, The Journal of
Clinical Hypertension Vol 14 | No 1 | January 2012. The American
Society of Hypertension, INC.
Harjaningsih, W., & Diantari, P. W, 2005, Evaluasi Penggunaan ACE Inhibitor Pada
Pasien Gagal Ginjal Kronik, Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 3 No. 4 Juli
2007: 189 – 194
Hidayati, Titiek., 2007. Tesis : Hubungan hipertensi minuman suplemen energi dan
merokok dengan kejadian penyakit ginjal kronik yang menjalani
Hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Karyadi, E., 2002, Hidup Bersama Penyakit Hipertensi, Asam Urat, Jantung
Koroner, Intisari Mediatama, Jakarta.
Katzung, Bertram G., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik, diterjemahkan oleh
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Ed. I,
495, Salemba Empat, Jakarta.
Kestenbaum, B., Gillen, D. L., Sherrard, D. J., Seliger, S., Ball, A., & Breen, C.S,
2002, Calcium Channel Blocker Use and Mortality Among Patients with
End-Stage Renal Disease, Kidney International, Vol 61 (2002), pp. 2157-
2164.
Levey, S. A., Coresh, J., Bolton, K., Culleton, B., Harvey, S. K., & Kusek, J. 2002.
K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease, The
National Kidney Foundation, New York.
Mulyani, Y., 2005, Evaluasi Penggunaan Obat pada Penderita Gangguan Fungsi
Ginjal, Usia lanjut, Hipertensi dan Diabetes Mellitus di bagian Ilmu
Penyakit Dalam Perjan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Abstrak,
(online), (http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=,
diakses 25 Agustus 2011).
Murdiana, H. E. 2007. Tesis : Evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien
Diabetes Mellitus tipe 2 di rawat jalan RS Dr. Muwardi Surakarta.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rahajeng, E., 2009, Masalah Hipertensi di Indonesia,
(online),(http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-
2009ekowatirah3195&q=insidens&PHPSESSID=6c215d2b3aa0625f225
6e2ce2bf0f74, diakses 27 Desember 2011).
Kidney Disease as a Risk Factor for Development of Cardiovascular Disease: A
Statement From the American Heart Association Councils on Kidney in
Cardiovascular Disease, High Blood Pressure Research, Clinical
Cardiology, and Epidemiology and Prevention
(online)(http://circ.ahajournals.org/cgi/content/full/108/17/215, diakses
27 Desember 2011).
Suyono & Lyswanti, E.N., 2008, Studi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada
Penderita Hipertensi Rawat Inap : Penelitian di RSU Dr. Saiful Anwar
Malang, (online), (http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-
gds12006suyonoeren1669&PHPSESSID=4a5098ca21600bae878e3cbe5
a83116, diakses tanggal 27 Desember 2011).
Vasavada, N., Saha, C., & Agarwl, R, 2003, A double-blind randomized crossover
trial of two loop diuretics in chronic kidney disease. Kidney
International, Vol. 64 (2003), pp. 632–640. Indiana University School of
Medicine, Indianapolis.
Formularium RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan tahun 2019
Lampiran I Data Obat Pasien
Jenis Komplikasi Tekanan Σ Aturan
No. Nama Usia Terapi
Kelamin dan Penyerta Darah Obat Pakai
130/90 Bisoprolol
1 AY P 63 PJK 7 1x1/2
mmHg 2,5 mg
Amlodipin 5
30
110/70 mg 1x1
mmHg Lisinopril 10 1x1
2 AH L 70 CVA Infark 30
mg
Amlodipin 5
30 1x1
120/70 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Amlodipin 5
30 1x1
120/70 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
110/70 Amlodipin 5
30 1x1
mmHg mg
120/70 Amlodipin 5
30 1x1
mmHg mg
120/80 Amlodipin 5
30 1x1
mmHg mg
120/70 Amlodipin 5
30 1x1
mmHg mg
Amlodipin 5
30 1x1
130/80 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Amlodipin 5
30
140/90 mg 1x1
mmHg Lisinopril 10 1x1
3 AMR P 51 CVA Infark 30
mg
Amlodipin 5
30 1x1
140/80 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Amlodipin 5
30 1x1
140/80 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Amlodipin 5
30 1x1
130/80 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
130/90 Candesartan 30 1-0-0
mmHg 8 mg
130/90 Candesartan
30 1-0-0
mmHg 8 mg
Candesartan 1-0-
30
140/90 8 mg 0
mmHg Amlodipin 5 1-0-
30
mg 0
Candesartan 1-0-
4 AG P 46 DM 30
130/80 8 mg 0
mmHg Amlodipin 5 1-0-
30
mg 0
Amlodipin 10 1-0-
30
130/90 mg 0
mmHg Candesartan 1-0-
30
8 mg 0
140/90 Candesartan
30 1-0-0
mmHg 8 mg
140/80 Candesartan
30 1-0-0
mmHg 8 mg
120/80 Amlodipin 5
30 1-0-0
mmHg mg
Amlodipin 5
30 1x1
130/70 mg
mmHg Lisinopril 5
30 1x1
mg
Amlodipin 5
30 1x1
140/80 mg
mmHg Lisinopril 5
30 1x1
mg
140/90 Amlodipin 5
30 1x1
mmHg mg
Amlodipin 5
5 AP P 57 CVA Infark 30 1x1
160/100 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Amlodipin 5
40
150/100 mg 1x1
mmHg Lisinopril 10 1x1
40
mg
Amlodipin 5
30 1x1
140/80 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Amlodipin 5
140/90 30 1x1
mg
mmHg
Lisinopril 10 30 1x1
mg
Amlodipin 5
30 1x1
140/70 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Amlodipin 5
30
140/80 mg 1x1
mmHg Lisinopril 10 1x1
30
mg
Amlodipin 10
30 1x1
160/110 mg
mmHg Lisinopril 10
6 AMY L 67 - 30 1x1
mg
Bisoprolol
30
170/110 2,5 mg 1x1
mmHg Candesartan 1x1
30
16 mg
Amlodipin 10
15
130/80 mg 1x1
7 BAP L 62 -
mmHg Lisinopril 10 1x1
30
mg
Amlodipin 10
30
190/100 mg 1x1
8 BEN P 86 -
mmHg Lisinopril 10 1x1
30
mg
Amlodipin 10
15
160/100 mg 1x1
9 BON L 57 -
mmHg Lisinopril 10 1x1
30
mg
140/90 Furosemid 40
30 1x1
mmHg mg
150/90 Candesartan
30 1x1
mmHg 8 mg
Amlodipin 5
30 1x1
mg
1x1/
130/90 Furosemid 40
10 DK L 66 DM 15 2 1x1
mmHg mg
1x1
Spironolakton
30
25 mg
Lisinopril 10
30
mg
Spironolakton
30 1x1
170/90 25 mg
mmHg Candesartan
30 1x1
16 mg
Furosemid 40 15 1x1/
mg 2
160/90 Spironolakton 1x1
30
mmHg 25 mg 1x1
Lisinopril 10
30
mg
Amlodipin 5
30
150/90 mg 1x1
11 FAK L 60 -
mmHg Candesartan 1x1
30
8 mg
Amlodipin 10
15
140/80 mg 1x1
mmHg Candesartan 1x1
30
8 mg
Amlodipin 5
12 JOH L 72 - 30 1x1
140/90 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Amlodipin 10
30
190/100 mg 1x1
mmHg Lisinopril 10 1x1
30
mg
230/110
13 ES L 52 CVA Infark Divask 5 mg 15 1-0-0
mmHg
160/80 Amlodipin 10
30 1-0-0
mmHg mg
Amlodipin 10
30 1-0-0
150/90 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1-0-0
mg
150/90 Amlodipin 5
30 1x1
mmHg mg
140/90 Amlodipin 5
14 ESY L 64 - 30 1x1
mmHg mg
120/80 Candesartan
30 1x1
mmHg 8 mg
150/90 Amlodipin 5
30 1x1
mmHg mg
Amlodipin 10
30 1x1
140/80 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
140/70 Amlodipin 5
30 1-0-0
mmHg mg
Amlodipin 5
180/90 30 1x1
mg
mmHg 1x1
15 EVL L 63 CVA Infark Lisinopril 10 30
mg
140/90 Amlodipin 5
30 1x1
mmHg mg
Amlodipin 5
30 1x1
160/90 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Amlodipin 5
30
140/90 mg 1x1
mmHg Lisinopril 10 1x1
30
mg
Amlodipin 10
30
140/80 mg 1x1
mmHg Lisinopril 10 1x1
30
mg
Amlodipin 10
30
150/80 mg 1x1
mmHg Lisinopril 10 1x1
30
mg
Amlodipin 10
30 1x1
120/70 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Amlodipin 5
30 1x1
130/90 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Amlodipin 10
30
170/90 mg 1x1
mmHg Lisinopril 10 1x1
30
mg
160/90 Amlodipin 5
30 1x1
mmHg mg
140/70 Amlodipin 5
30 1x1
mmHg mg
160/80 Amlodipin 5
16 IH L 72 DM 30 1x1
mmHg mg
140/80 Amlodipin 5
30 1x1
mmHg mg
140/80 Amlodipin 10
30 1x1
mmHg mg
Amlodipin 10
15
140/80 mg 1x1
mmHg Lisinopril 10 1x1
30
mg
140/70 Amlodipin 5 30 1x1
mmHg mg 1x1
Lisinopril 10
30
mg
Amlodipin 5
30
140/70 mg 1x1
mmHg Lisinopril 10 1x1
30
mg
Amlodipin 10 1x1/
30
140/80 mg 2
17 IS P 81 CVA Infark mmHg Lisinopril 10 1x1/
30
mg 2
Furosemid 40 1/2-0-
mg 15 0
160/90 Spironolakton 0-0-
25 mg 30 1
mmHg
Bisoprolol 0-1/2-
2,5 mg 15 0
Captopril 1-0-
30
12,5 mg 0
Furosemid 40
mg 15 ½-0-0
160/90 Spironolakton 0-0-
25 mg 30 1
mmHg
Bisoprolol 0-1/2-
2,5 mg 15 0
Captopril 1-0-
30
12,5 mg 0
Furosemid 40 1-0-
mg 30 0
110/70 Spironolakton 0-0-
25 mg 30 1
mmHg
Lisinopril 5 1-0-
30
mg 0
160/90 Amlodipin 10
CVA Infark, 30 1-0-0
18 IRW P 62 mmHg mg
DM 160/70 Amlodipin 10
30 1-0-0
mmHg mg
140/90 Amlodipin 5
30 1-0-0
mmHg mg
150/80 Amlodipin5
30 1-0-0
mmHg mg
140/80 Amlodipin 5
19 JP L 68 PNP, DM 30 1-0-0
mmHg mg
160/90 Amlodipin 5
30 1-0-0
mmHg mg
150/80 Amlodipin 5
30 1-0-0
mmHg mg
Amlodipin 10
30 1x1
mg
Bisoprolol
20 KSR P 67 PJK, OA 15
2,5 mg
Amlodipin 5
mg 15 1x1
190/100 Furosemid 40 1x1 1x1
mg 8 1x1 1x1
mmHg
Spironolakton
25 mg 8
Candesartan
8 mg 15
Bisoprolol
15
2,5 mg
Furosemid 40
mg 15 ½-0-0
160/90 Amlodipin 5 0-0-
mg 30 1
mmHg
Candesartan 1-0-
8 mg 30 0
Bisoprolol 1-0-
30
2,5 mg 0
CKD,
160/90 Amlodipin 5
21 KH P 72 Chepalgia, 10 1-0-0
mmHg mg
Leukositosis
110/70 Losartan 50
10 1-0-0
mmHg mg
Losartan 50 1-0-
22 LSM P 85 DM 15
mg 0
130/90 Spironolakton 0-0-
8
mmHg 25 mg 1/2
Candesartan 0-1-
23 MRS L 68 CVA, CKD 30
8 mg 0
160/110 Bisoprolol
30 1-0-0
mmHg 2,5 mg
170/100 Bisoprolol
30 1-0-0
mmHg 2,5 mg
130/80 Candesartan
30 1-0-0
mmHg 8 mg
140/80 Candesartan
30 1-0-0
mmHg 8 mg
170/100 Candesartan
24 MRH L 54 DM 30 1-0-0
mmHg 8 mg
160/100 Amlodipin 5
30 1-0-0
mmHg mg
170/100 Amlodipin 5
30 1-0-0
mmHg mg
130/80 Candesartan
30 1-0-0
mmHg 8 mg
110/60 Amlodipin 5
10 1x1
mmHg mg
Amlodipin
30 1x1
140/90 5mg
mmHg Candesartan
25 MRLM P 68 CVA Infark 30 1x1
8 mg
Amlodipin 10
30 1x1
160/90 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Amlodipin 5
30 1x1
150/110 mg
mmHg Candesartan
30 1x1
8 mg
150/90 Candesartan
15 1x1
mmHg 16 mg
Vertigo, CVA 140/90 Amlodipin 5
26 MS P 60 30 1-0-0
Infark mmHg mg
130/90 Candesartan
10 1x1
mmHg 16 mg
150/90 Candesartan
30 1x1
mmHg 16 mg
Furosemid 40
mg 8 ½-0-0
150/90 Spironolakton 1x1/
25 mg 15 2
mmHg
Candesartan 1x1/
15
8 mg 2
Furosemid 40 1x1/
mg 8 2
120/90 Spironolakton 1x1/
25 mg 8 2
mmHg
Candesartan 1x1/
15
8 mg 2
Furosemid 40 1x1/
8 2
mg
120/80 Spironolakton 1x1/
25 mg 8 2
mmHg
Candesartan 1x1/
15
8 mg 2
Furosemid 40 1x1/
8
mg 2
140/90 Spironolakton 1x1/
mmHg 8
25 mg 2
Candesartan 15 1x1/
8 mg 2
Furosemid 40 1x1/
27 MT L 78 - 8
mg 2
140/90 Spironolakton 1x1/
8
mmHg 25 mg 2
Candesartan 1x1/
15
8 mg 2
Furosemid 40 1x1/
8
mg 2
150/90 Spironolakton 1x1/
15
mmHg 25 mg 2
Candesartan 1x1/
15
8 mg 2
Furosemid 40 1x1/
mg 15 2
140/90 Spironolakton 1x1/
25 mg 15 2
mmHg
Candesartan 1x1/
15
8 mg 2
Furosemid 40 1x1/
mg 15 2
130/90 Spironolakton 1x1/
25 mg 15 2
mmHg
Candesartan 1x1/
15
8 mg 2
110/60 Candesartan
30 1x1
mmHg 8 mg
120/70 Candesartan
30 1x1
mmHg 8 mg
130/80 Amlodipin 10
30 1x1
mmHg mg
Amlodipin 10
30 1x1
120/80 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
110/60 Amlodipin 10
30 1x1
mmHg mg
Amlodipin 10
30 1x1
120/70 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
140/80 Candesartan
30 1x1
mmHg 16 mg
Amlodipin 5
30 1x1
mg
130/90 Lisinopril 5
30 1x1
mmHg mg
Bisoprolol
15 ½-0-0
2,5 mg
Amlodipin 5
30 1x1
mg
120/80 Captopril
12,5 mg 30 1x1
mmHg
Bisoprolol
15 ½-0-0
2,5 mg
Amlodipin 5
mg 30 1x1
150/100 Lisinopril 5
mg 30 1x1
mmHg
Bisoprolol
15 ½-0-0
2,5 mg
Amlodipin 5
mg 30 1x1
130/90 Lisinopril 5
mg 30 1x1
mmHg
Bisoprolol
15 ½-0-0
2,5 mg
Amlodipin 5
mg 30 1x1
130/90 Lisinopril 5
mg 30 1x1
28 NAF L 62 DM mmHg
Bisoprolol
15 ½-0-0
2,5 mg
Amlodipin 5
mg 30 1x1
110/80 Lisinopril 5
mg 30 1x1
mmHg
Bisoprolol
15 ½-0-0
2,5 mg
Amlodipin 5
mg 30 1x1
120/90 Lisinopril 5
mg 30 1x1
mmHg
Bisoprolol
15 ½-0-0
2,5 mg
Amlodipin 5
mg 30 1x1
120/80 Lisinopril 5
mg 30 1x1
mmHg
Bisoprolol
15 ½-0-0
2,5 mg
Amlodipin 5
30 1x1
mg
110/80 Lisinopril 5
30 1x1
mmHg mg
Bisoprolol
15 ½-0-0
2,5 mg
Amlodipin 5
30 1x1
mg
130/80 Lisinopril 5
30 1x1
mmHg mg
Bisoprolol
15 ½-0-0
2,5 mg
Amlodipin 5
30 1x1
170/100 mg
DM, mmHg Candesartan
29 NRK P 63 30 1x1
Hiperlipidemia 8 mg
Amlodipin 5
30 1x1
130/90 mg
mmHg Candesartan
30 1x1
8 mg
140/90 Amlodipin 10
8 1x1
mmHg mg
Amlodipin 5
30 1x1
150/90 mg
mmHg Bisoprolol
15 1x1
2,5 mg
Bisoprolol
15 1x1
140/90 2,5 mg
mmHg Amlodipin 5
30 NRH P 62 - 15 1x1
mg
Amlodipin 5
15 1x1
130/90 mg
mmHg Bisoprolol
15 1x1
2,5 mg
Bisoprolol
15 1x1
140/90 2,5 mg
mmHg Amlodipin 5
15 1x1
mg
Amlodipin 5
15 1x1
140/90 mg
mmHg Bisoprolol
15 1x1
2,5 mg
150/100 Propanolol 40
31 OKT P 34 - 10 1x1
mmHg mg
Amlodipin 5 1-0-
14 1
mg
150/90 Candesartan 1-0-
32 RBR P 54 DM, CKD 8 mg 14 0
mmHg
Bisoprolol 1x1/
7
2,5 mg 2
180/100 Amlodipin 10
7 1-0-0
mmHg mg
33 RH P 39 CKD, Anemia
180/110 Amlodipin 10
7 1-0-0
mmHg mg
Captopril 25
30
mg 3x1
190/100 Bisoprolol 1x1/2
6
mmHg 2,5 mg 1x1
Amlodipin 5 1x1/2
10
mg
Captopril 25 3x1 2x1
34 RDW P 61 PJK, GERD mg 90 0-0-1
190/110 Bisoprolol
mmHg 2,5 mg 15 ½-0-0
Amlodipin 5
mg 30
Furosemid 40
15
mg
Amlodipin 5
mg 30 1x1
190/110 Bisoprolol 2x1
2,5 mg 15 1x1
mmHg
Candesartan
15
8 mg
Bisoprolol
15 1x1
130/80 2,5 mg
mmHg Captopril
30 1x1
12,5 mg
Amlodipin 5
7 1x1
160/110 mg
mmHg Lisinopril 10
7 1x1
mg
Amlodipin 10
35 ROB P 54 - 7 1x1
160/90 mg
mmHg Lisinopril 10
7 1x1
mg
160/90 Amlodipin 10
30 1x1
mmHg mg
120/80 Amlodipin 10
36 RKN P 62 DM 10 1x1
mmHg mg
Amlodipin 5 0-0-
7
110/80 mg 1
37 RS P 58 Vertigo
mmHg Candesartan 1-0-
7
8 mg 0
Candesartan 1-0-
170/90 30
38 RUS P 62 DM 8 mg 1
mmHg
Bisoprolol 15 1-0-
2,5 0
170/90 Amlodipin 5
39 RY L 58 CVA Infark 30 1-0-0
mmHg mg
Amlodipin 5
30
150/90 mg 1x1
mmHg Candesartan 1x1
40 RS P 63 DM 30
8 mg
Candesartan
30
140/90 8 mg 1x1
mmHg Amlodipin 5 1x1
30
mg
Furosemid 40
8
mg
150/90 Candesartan 1x1 1x1
41 RES L 57 DM 15
mmHg 8 mg 1x1
Bisoprolol
15
2,5 mg
Amlodipin 5 1-0-
30
mg 0
Amlodipin 10 1-0-
30
130/90 mg 0
mmHg Candesartan 1-0-
30
8 mg 0
140/90 Candesartan
30 1-0-0
mmHg 8 mg
140/80 Candesartan
30 1-0-0
mmHg 8 mg
120/80 Amlodipin 5
30 1-0-0
mmHg mg
Amlodipin 5
30 1x1
130/70 mg
mmHg Lisinopril 5
30 1x1
mg
Amlodipin 5
30 1x1
140/80 mg
mmHg Lisinopril 5
30 1x1
mg
140/90 Amlodipin 5
30 1x1
mmHg mg
Amlodipin 5
30 1x1
160/100 mg
mmHg Lisinopril 10
30 1x1
mg
Lampiran II Surat Keterangan Kelayakan Etik (Ethical Clearance)

Anda mungkin juga menyukai