Masalah merupakan perihal yang subtansial dan krusial dalam kegiatan penelitian. Menurut Ary
(1979), penelitian yang sistematis diawali dengan persoalan. Jhon Dewey menegaskan bahwa
langkah pertama dalam metode ilmiah adalah pengkuan akan adanya kesulitan, hambatan, atau
masalah yang membingungkan peneliti.
Masalah merupakan sesuatu yang memerlukan jawaban, penjelasan, atau pemecahan (Ibnu, 2003).
Dalam perspektif peneliti, masalah muncul karena adanya kesenjangan antara harapan dan
kenyataan dan kesenjangan tersebut belum diketahui jawabannya. Masalah penelitian atau dalam
bahasa Arab disebut musykilah mengacu pada ada tidaknya suatu kesulitan, kekurangan, atau
kesalahan. Apabila kita menghadapi hal ini maka berarti kita dapat mengatakan bahwa hal itu
merupakan suatu masalah.
Masalah dalam suatu penelitian bisa bersifat praktis maupun teoritis dan atau keduanya.
Contoh masalah praktis misalnya di sekolah ditemukan adanya keluhan dari guru untuk menerapkan
pendekatan komunikastif dalam pembelajaran bahasa Arab. Masalah ini lebih bersifat prakis, karena
persoalan atau isu yang mengemukakan adalah masalah kesulitan guru dalam menerapkan
pendekatan komunikatif. Kesimpulan yang diharapkan melalui penelitian ini adalah langkah-langkah
yang perlu ditempuh agar guru terampil menggunakan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran
bahasa Arab. Sementara itu, contoh masalah teoritis misalnya benarkah kesalahan berbahasa Arab
yang dibuat oleh pembelajar dipengaruhi oleh interfensi bahasa pertama atau bahasa nasional
(bahasa Indonesia). Masalah ini muncul karena ada teori yang mengatakan demikian. Masalah
teoritis lainnya, benarkah bahwa pembelajar dalam memperoileh bahasa melalui urutan yang
hampir sama. Masalah ini didasarkan pada suatu teori yang mengatakan bahwa kita memperoleh
kaidah bahasa dalam suatu urutan yang dapat dipredeksi, beberapa kaidah bahasa ada yang
cenderng diperoleh lebih awal dari yang lain. Teori ini disebut dengan Hipotesis Urutan Alamiah (The
Natural Order Hyphotesis) (Krashen, 1985).
Identifikasi dan perumusan masalah yang akan diteliti merupakan langkah pertama yang
harus dilakukan peneliti, karena tanpa identifikasi dan perumusan masalah yang jelas, sebuh
penelitian akan kehilangan makna landasn ontologism sebagai suatu kerangka kajian yang akan
dilakukan. Persoalannya adalah masalah yang bagaimanakah yang layak untuk diteliti, apakah semua
masalah dapat diteliti. Jawabannya tentu tidak. Huda (1988) menyebutkan bahwa suatu masalah
dapat diteliti apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Researchable
Suatu masalah dapat diteliti (researchable) apabila masalah tersebut dapat dijawab dengan
data empiris, data tersedia atau dapat dicari oleh peneliti, dan sampel data diperoleh. Masalah yang
menyangkut keyakinan atau nilai-nilai, atau masalah-masalah “ghaib” tidak atau kurang memenuhi
kriteria. Misalnya penelitian tentang karakteristik bahasa yang digunakan oleh Malaikat Munkar-
Nakir pada saat berinteraksi dengan manusia (mayat) didalam kubur. Fenomena ini merupakan
masalah tapi masalah ini unresearchable, karena peristiwa ini termasuk fenomena metafisika yang
berada diluar jangkauan logika manusia selain data empiris juga sulit diperoleh.
Menurut Ary (1979), idealnya masalah yang diteliti merupakan yang pemecahannya
memberikan sumbanga kepada pengembangan ilmu pengetahuan, khususya di bidang pendidikan.
Dalam pandangan Ary (1979), masalah yang diteliti hendaknya memberikan sumbangan kepada
pengembangan teori maupun praktik. Apabila masalah tersebut kurang mempunyai implikasi
teoritis, paling tidak mempunyai implikasi praks, maka maslah yang diagkat dalam penelitian kurang
memenuhi kriteria sebagai suatu masalah yang layak untuk diteliti.
3. Asli
Yang dimaksud denganasli disini adalah bahwa masalah itu ditemukan sendiri oleh peneliti.
Hal ini sudah tentu melalui proses yang panjang, yakni melalui kajian kepustakaan, kajian trhadap
hasil penelitian sebelumnya, dan melalui perenungan serta sharing dengan pihak lain. Dari kajian
yang dilakukan ini, peneliti diharapkan menemukan masalah-masalah yang belum terjawab.
Berkaitan dengan keaslian suatu masalah, pertanyaan yang mucul bagaimana dengan
penelitian ulang. Apakah penelitian bukan termasuk plagiat. Penelitian ulang atau replikasi bleh saja
dilakukan dengan syarat tidak persis sama dalam segala hal Bahkan hal-hal tertentu, replikasi
berfungsi sebagai penguji dan verifikasi teradap hasil peneltian sebelumnya. Apakah dengan
responden yang berbeda menghasilkan temuan yang berbeda atau tetap sama.
4. Feasibility
Feasibility atau kelayakan mengacu pada kemampuan financial peneliti untuk melakukan
penelitian. Pertanyaan yang mengemukakan berkaitan dengan kriteria feasibility ini adalah berapa
lama waktu yang digunakan, bagaimana kemampuan tenaga peneliti, apakah peneliti memiliki
sarana yang memadai dalam melakukan penelitian, dan apakah peneliti memiliki banyak biaya yang
cukup. Masalah yang dapat diteliti memang banyak beragam, memiliki sumbangan terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta secara teoriis menarik untuk diteliti.
Akan tetapi, tidak semua masalah tersebut layak untuk diteliti. Keterbatasan kemampuan peneliti
(waktu, tenaga, sarana, dan biaya) menentukan kelayakan masalah yang akan diteliti.
Sebagai gambaran dari uraian diatas, seorang mahasiswa S1 dengan masa kuliah, sarana,
dan biaya yang relative terbatas, akan tidak realistis apabila dia melakukan penelitian yang
memerlukan waktu lebih dari 8 tahun. Penelitian yang masalahnya kurang layak untuk diteliti karena
finansial misalnya studi longitudinal yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Arab pembelajar
dari kelas III Madrasah Ibtidaiyah sampai kelas III Madrasah Aliyah/SMA. Masalah ini memang
menarik dan memberikan sumbangan keilmuan yang cukup besar, tetapi dari sisi kelayakan, masalah
ini dipertanyakan.
Berkenaan dengan fisibilitas permasalahan, Ibnu (2003) mengemukakan perihal kelayakan
suatu penelitian sebagai berikut :
d. Ketersediaan dana
Menurut Ary (1979) yang termasuk salah satu kriteria masalah penelitian adalah
permasalahan yang diangkat dalam penelitian membawa kita kepada permasalahan baru. Selain itu,
masalah tersebut juga membawa kita untuk melakukan penelitian lanjutan. Dalam pandangan Ary
(1979) suatu penelitian yang baik, disamping dapat menjawab suatu permasalahan, ia juga
menyebabkan timbulnya permasalahan lain yang memerlukan penelitian berikutnya.
Dilihat dari kriteria diatas, suatu masalah penelitian itu baik untuk diteliti, tetapi disisi lain,
masalah tersebut tidak cocok bagi peneliti. Menurut Ary (1979) beberapa aspek pribadi yang perlu
diperhatikan adalah :
a. Permasalahan yang hendaknya menarik bagi peneliti dan membuatnya semangat untuk
melakukan penelitian
c. Permasalahan tersebut dapat diteliti dan diselesaikan sesuai dengan watu yang tersedia.
Rumusan masalah adalah pertanyaan penelitian, yang umumnya disusun dalam bentuk
kalimat tanya, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi arah kemana sebenarnya
penelitian akan dibawa, dan apa saja sebenarnya yang ingin dikaji / dicari tahu oleh si
peneliti. Masalah yang dipilih harus “researchable” dalam arti masalah tersebut dapat
diselidiki. Masalah perlu dirumuskan secara jelas, karena dengan perumusan yang jelas,
peneliti diharapkan dapat mengetahui variabel-variabel apa yang akan diukur dan apakah
ada alat-alat ukur yang sesuai untuk mencapai tujuan penelitian. Dengan rumusan
masalah yang jelas, akan dapat dijadikan penuntun bagi langkah-langkah selanjutnya. Hal
ini sesuai dengan pandangan yang dinyatakan oleh Jack R. Fraenkel dan Norman E. Wallen
(1990:23) bahwa salah satu karakteristik formulasi pertanyaan penelitian yang baik yaitu
pertanyaan penelitian harus clear. Artinya pertanyaan penelitian yang diajukan hendaknya
disusun dengan kalimat yang jelas, tidak membingungkan. Dengan pertanyaan yang jelas
akan mudah mengidentifikasi variabel-variabel apa yang ada dalam pertanyaan penelitian
tersebut, dan berikutnya memudahkan dalam mendefenisikan istilah atau variabel dalam
pertanyaan penelitian. Dalam mendefenisikan istilah tersebut depat dengan (1)
Constitutive definition, yakni dengan pendekatan kamus (dictionary approach), (2), Contoh
atau by example dan (3) Operational definition, yakni mendefenisikan istilah atau variabel
penelitian secara spesifik, rinci dan operasional.
Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam merumuskan masalah penelitian, antara lain adalah :
2. Rumusan masalah hendaknya dalam bentuk kalimat tanya. Masalah akan lebih tepat
apabila dirumuskan dalam bentuk kalimat pertanyaan, bukan kalimat pernyataan.
3. Rumusan masalah hendaknya jelas dan kongkrit. Rumusan masalah yang jelas dan
kongkrit akan memungkinkan peneliti secara eksplisit dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan: apa yang akan diselidiki, siapa yang akan diselidiki, mengapa diselidiki,
bagaimana pelaksanaannya, bagaimana melakukannya dan apa tujuan yang diharapkan.
3. Rumusan masalah asosiatif adalah suatu rumusan masalah yang bersifat menanyakan
hubungan antara dua variabel atau lebih. Terdapat tiga bentuk hubungan, yaitu hubungan
simetris, misal: adakah hubungan antara disiplin kerja dengan kinerja organisasi?,
hubungan kausal, misal: Adakah pengaruh sistem pengajian terhadap prestasi kerja? dan
interaktif/resiprokal/timbalbalik, contohnya: Hubungan antara kecerdasan dan kekayaan.