Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI PADA Tn. D DENGAN TBC

Disusun oleh :

Didin Setiyadi Inado PO0220220033


Rizky Agustina PO0220220026
Debora Violin Rato PO0220220006
Munawarah PO0220220017
Ining Rurua PO0220220035
Zainuddin Bahrin PO0220220028

POLTEKKES KEMENKES PALU


PRODI D III KEPERAWATAN POSO
TAHUN 2021

i
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan limpahan rahmat-Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan
tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai “Asuhan
Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi Pada Tn. D Dengan Tbc” dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah metodologi keperawatan.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan. Untuk ini kami

menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yan telah berkontribusi

dalam pembuatan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat

menambah pengetahuan bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat

memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada

makalah ini. Oleh karena itu kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca

agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata semoga makalah tentang

pengaruh komunikasi perawar terhadap kkepuasan pasien ini dapat memberikan

manfaat bagi kita sekalian.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Tujuan..........................................................................................................3
C. Manfaat........................................................................................................3
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Tuberkulosis.........................................................................5
B. Teori Asuhan Keperawatan Tuberkulosis...................................................11
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN RASA NYAMAN
NYERI PADA TN. B DENGAN HIPERTENSI
A. Pengkajian..................................................................................................18
B. Diagnosis Keperawatan .............................................................................24
C. Intervensi Keperawatan..............................................................................24
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis atau yang biasa disebut TBC adalah suatu penyakit
infeksi menular yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis,
yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru (Kementrian
Kesehatan, 2015)
World Health Organization (WHO),
(2013)melaporkanbahwapadatahun 2013diperkirakan terdapat 8,6 juta
kasus TB di tahun 2012, 1,1 juta (13%) adalah pasien TB dengan HIV
positif. Sekitar Sekitar 75% pasien tersebut berasal dari wilayah
Afrika.Lebihlanjutdijelaskanpada tahun 2012, diiaporkandari 450.000
orang yang menderita tuberkolosis Multidrug-resistant (MDR), 170.000
orang diantaranya meninggal dunia.
Ditjen P2P, Kemenkes RI dengan data per 25 Mei 2018
melaporkanbahwa, di Indonesia diperkirakan terdapat 992.441kasus,
temuan 425.089 kasus, penderita TBC
terbanyakadalahpriadenganpresentase 58,28%.
Cakupankesembuhandanpengobatanberdasarkanjumlahkohort (kasus
control) tahun 2016 berjumlah 366.673, sebanyak 154.744
dinyatakansembuhdansebanyak 159.447 menjalanipengobatanlengkap.
Terjadinya TBC dapat disebabkan oleh dua faktor. Faktor individu
dan faktor lingkungan. Faktor individu ini didukung oleh(Doenges,
Moorhouse, & Geissler, 2000)yang mengatakan bahwa orang yang
memiliki resiko paling tinggi terkangkit TB paru adalah seseorang yang
memiliki kekebalan tubuh rendah. Sedangkan, faktor lingkungan ini telah
terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudiro, Martono,
Nursalam, & Ferry, (2019)dengan subyek seorang petugas lalu lintas di
terminal bus. Martono lebih lanjut menjelaskan bahwa seseorang akan

1
beresiko besar mengalami TBC apabila banyak menghirup udara yang
tercemar.
Apabila TB paru tidak segera ditangani dapat menyebabkan
kematian.Kematian akibat TB paru dapat disebabkan karena penumpukan
sputum pada jalur pernapasan sehingga terjadi penyempitan jalur napas
yang membuat berkurangnya kadar oksigen di otak.
Pemerintah telah menjalankan progamDirectly Observe Treatment
Short (DOTS)
ataupengobatanjangkapendekdenganpengawasanlangsunguntukmenangani
penyakit TBC di Indonesia. DOTS tediriatas lima komponenutama
:komitmenpolitisi, pemeriksaandahakmikroskopis yang terjaminmutunya,
pengobatanjangkapendek yang standarbagisemuakasus TB
dengantatalaksanakasus yang
tepattermasukpengawasanlangsungpngobatan, jaminanketersediaanobat
anti TB (OAT) yang bermutu, serta system pencatatandanpelaporan.
(Kementrian Kesehatan, 2015).
Perawat sebagai ujung tombak kesehatan di Indonesia berperan
penting untuk menekan angka kematian akibat TB paru. Perawat dapat
menghimbau penderita untuk selalu menggunakan masker dimanapun ia
berada dan mengedukasi agar penderita tidak berbagi barang pribadi
dengan orang lain. Memberikan edukasi kepada keluarga klien, kerabat
dan masyarakat bahwa seorang penderita TB jangan dikucilkan karena hal
tersebut dapat mematahkan semangat penderita untuk segera sembuh.
Menghimbau masyarakat apabila berinteraksi dengan penderita TB
pastikan menggunakan masker karena TB dapat menyebar melalui udara.
Penyakit TBC ini menjadi sangat menakutkan bahkan mematikan
apabila terlambat dalam diagnosis dan penangannya. Pemeriksaan secara
cepat dan menyeluruh masih menjadi tugas bagi tenaga kesehatan di
Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut kami tertarik untuk
membahas lebih lanjut tentang penyakit TBC.

2
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memperoleh gambaran secara nyata Asuhan Keperawatan pada pasien
D dengan TB paru di ruang mawar RSUD X
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus studi kasus ini adalah untuk :
a. Mendeskripsikan pengkajian pada pasien D dengan TB paru di
ruang mawar RSUD X.
b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien D dengan TB paru
di ruang mawar RSUD X.
c. Merencanakan tindakan keperawatan pada pasien D dengan TB
paru di ruang mawar RSUD X.

C. Manfaat
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan menambah ilmu pengetahuan, wawasan dan informasi
kepada institusi pendidikan terutama mahasiswa Keperawatan
Poltekkes Surakarta tentang Asuhan Keperawatan TB paru.
2. Bagi Penelitian
Diharapkan dapat menambah wawasan ilmu penelitian keperawatan
khususnya tentang Asuhan Keperawatan TB paru.
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan menambah informasi dan pengetahuan kepada masyarakat
tentang Asuhan Keperawatan TB paru yang meliputi gejala dan
penanganannya.
4. Bagi Pelayanan Kesehatan
Diharapkan sebagai bahan atau informasi atau bahan pelayanan
keperawatan khususnya Asuhan Keperawatan TB paru.

3
D. Sistematika Penulisan
1. Pembukaan
Bagian pembukaan merupakan awal dari penulisan studi kasus yang
mencakup halaman judul, pernyataan plagiarisme, perssetujuan,
pengesahan, kata pengantar dan daftar isi.
2. Bagian Inti
a. BAB I Pendahuluan
Bab ini menjelaskan dan memaparkan secara keseluruhan tentang
isi studi kasus yang mencakup latar belakang, tujuan, manfaat, dan
sistematika penulisan dari studi kasus yang telah dilaksanakan.
b. BAB II Tinjauan Teori
Bab ini memaparkan tentang tinjauan teori yang mendukung studi
kasus, mulai dari konsep tinjauan medis yang berisi pengertian,
etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, manifestasi klinik,
pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan serta
konsep asuhan keperawatan kritis yang meliputi pengkajian sampai
dengan evaluasi.
c. BAB III Metode Penelitian
Pada bab ini berisi tentang metode penelitian yang mencakup jenis
dan rancangan penelitian menggunakan studi kasus, tempat dan
waktu penelitian menunjukan tempat dimana penelitian
berlangsung dan waktu yang digunakan dalam penelitian, subyek
penelitian menunjukkan pasien kelolaan dengan diagnosa media
yang diderita oleh pasien, teknik pengumpulan data observasi,
wawancara, pemeriksaan fisik, dan studi dokumentasi analisis data
dengan deskriptif.

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Tuberkulosis


1. Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan


Mycobacterium tuberculosi yang menyerang paru-paru dan hampir
seluruh organ tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran
pernapasan dan saluran pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit.
Tetapi paling banyak melalui inhalasi droplet yanf berasal dari orang
yang terinfeksi bakteri tersebut. (Price, Anderson, Wilson, & Mc
Carty, 2006)

Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan penyakit menular yang


disebabkan oleh infeksi basil tahan asam (Acid Alcohol Fast Bacillus/
AAFB). Kuman Mycobakterium tuberculosis yang terutama
menyerang paru, kelenjar limfe dan usus. 1 Penyakit ini menjadi
penyebab utama kecacatan (berupa kelainan pada organ paru maupun
ekstra paru) dan kematian hampir di sebagian besar negara di seluruh
dunia(Nurkumalasari, Wahyuni, & Ningsih, 2016).
Risiko tertinggi untuk terinfeksi kuman tuberkulosis adalah
seseorang yang paling memiliki kedekatan dengan penderita
tuberkulosis. Risiko juga akan meningkat apabila orang yang
mengalami batuk tidak menutupi mulut menggunakan saputangan.
Hampir semua infeksi tuberkulosis lewat batuk, bersin, berbicara, atau
menggunakan saputangan yang mengandung kuman tuberkulosis
(Failing, Kaleta, Kinndle, & Theis, 2009).

5
2. Klasifikasi Tuberkulosis
Klasifikasi menurut WHO 1991 TB menurut Aru, (2009) terbagi
dalam 4 kategori yaitu:
1. Kategori 1, ditujukan terhadap:
a. Kasus baru dengan sputum positif
b. Kasus baru dengan bentuk TB berat
2. Kategori 2, ditujukan tehadap:
a. Kasus kambuh
b. Kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori 3, ditujukan terhadap:
a. Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang luas
b. Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam
kategori
4. Kategori 4, ditujukan terhadap: TB kronik.

Klasifikasi di Indonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis,


radologis, dan makro biologis:
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberkulosis paru
3. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam:
a. TB tersangka yang diobati: sputum BTA (-), tetapi tanda-
tanda lain positif.
b. TB tersangka yang tidak diobati: putum BTA (-) dan tanda-
tanda lain juga meragukan.

3. Etiologi
M.Black & Hawks, (2009) menjelaskan bahwa TB merupakan
infeksi menular udara dan umumnya didapatkan dengan inhalasi
partikel kecil yang mencapai alveolus. Droplet tersebut keluar saat
berbicara, batuk, tertawa, bersin, atau menyanyi. Droplet nuklei
terinfeksi kemudian dapat terhirup oleh orang yang rentan (inang).

6
Sebelum terjadi infeksi paru, organisme yang terhirup harus melewaati
mekanisme pertahanan paru dan menembus jaringan paru.
Paparan singkat dengan TB biasanya tidak menyebabkan infeksi.
Orang yang paling umum terserang infeksi adalah orang yang serig
melakukan kontak dekat berulang dengan orang yang terinfeksi yang
penyakitnya masih belum terdiagnosis. Orang tersebut mungkin orang
yang memiliki kontak berulang dengan klien yang kurang tertangani
secara medis, populasi pendapatan rendah, orang yang dilahirkan
diluar negeri, atau penghuni fasilitas perawatan jangka panjang atau
suatu asrama. Populasi risiko tinggi lainnya adalah penggunaan obar-
obatan intravena, tuna wisa, dan orang yang karena pekerjaannya
sering terpapar TB aktif.
Di negara yang tidak memiliki program kesehatan masyarakat dan
TB yang sering terjadi pada hewan ternak, manusia dapat mengalami
TB sapi setelah meminum susu mentah dari ternak yang terinfeksi.
Bentuk TB ini dapat dicegah dengan mempasteurisasi susu dan
memberikan program uji kulit tuberkulin untuk ternak.

4. Patofisiologi
M.Black & Hawks, (2009) menjelaskan bahwa patofisiologi TB
dibagi menjadi dua yaitu infeksi primer dan infeksi sekunder.
a. Infeksi Primer (pertama)
Infeksi primer adalah waktu pertama kali terinfeksi TB.
infeksi TB primer biasanya menyerang apeks dari paru-paru atau
dekat pleura dari lobus bawah. Walaupun infeksi primer, dapat
berupa mikroskopik (sehingga tudak muncul pada rongten dada),
namun kelanjutan penyakit seperti di bawah ini sering ditemui.
Muncul suatu bagian kecil yang trserang bronkopneumonia
pada jaringan paru. TB banyak menginfeksi secara fagositosis (di
pencernaan) oleh makrofag yang beredar. Namun, sebelum
berkembangnya hipersensitivitas dan imunitas, banyak basilus

7
yang dapat bertahan hidup dalam sel-sel darah tersebut dan terbawa
ke bronkopulmonalis (hilus) kelenjar getah bening melalui sistem
limfatik. Basilus bahkan dapat menyebar ke seluruh tubuh.
Walaupun infeksi kecil, tapi penyebarannya sangat cepat.
Infeksi TB primer akan menyebabkan tubuh mengembangkan
reaksi alergi terhadap basilus tuberkel atau proteinnya. Respon
imunitas dimediasi sel ini muncul dalam bentuk sel-T tersensitasi
dan dapat dideteksi sebagai reaksi positif pada uji kulit tuberkulin.
Munculnya sensitivitas tuberkulin ini terjadi pada semua sel tubuh
2 hingga 6 minggu setelah infeksi primer. Sensitivitas ini ada
selama basilus hidup masih berada di dalam tubuh. Kekebalan
yang didapat ini bisa menghambat pertumbuhan lebih lanjut dari
basil dan perkembangan infeksi aktif.
Faktor yang tampaknya berperan pada perkembangan dari
infeksi TB dorman menjadi penyakit aktif melibatkan hal-hal
antara lain: kontak ulang dengan orang yang memiliki TB aktif,
usia lanjut, infeksi HIV, imunosupresi, terapi kortikosteroid jangka
panjang, tinggal atau bekerja pada area padat berisiko tingi
(penjara, fasilitas perawatan berjangka panjang), berat badan
rendah (10% atau lebih di bawah berat ideal), penyalahgunaan
narkoba, adanya penyakit lain (misalnya, diabetes melitus,
penyakit ginjal stadium akhir, atau penyakit ganas).
b. Infeksi Sekunder
Selain penyakit primer progresif, terinfeksiulang juga dapat
menyebabkan bentuk klinis TB aktif., atau infeksi sekunder.
Lokasi infeksi primer yang mengandung basilus TB mungkin tetap
laten bertahun-tahun dan dapat mengalami reaktivasi jika resistensi
klien turun. Oleh karena dimungkinkan terjadinya infeksi ulang
dan karena lesi dorman dapat mengalami reaktivasi, maka penting
bagi klien dengan infeksi TB untuk dikaji secara periodik terhadap
bukti-bukti adanya penyakit aktif.

8
5. Manifestasi Klinis
M.Black & Hawks, (2009) menjelaskan bahwa gejala
tuberkulosis aktif terdiri atas gejala patru dan gejala umum yaitu:
a. Gejala Paru, terdiri dari:
1) Dispnea
2) Batuk nonproduktif atau produktif
3) Hemoptisis
4) Nyeri dada yang berupa pleuritik atau nyeri dada tumpul
5) Sesak di dada
6) Crackles dapat ditemukan pada auskultasi
b. Gejala Umum
1) Rasa lelah
2) Anoreksia (hilang nafsu makan)
3) Kehilangan berat badan
4) Demam rendah diikuti menggigil dan berkeringat (sering pada
malam hari)

6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler, (2000) pemeriksaan
penunjang dibagi menjadi :
a. Uji Kulit Tuberkulin
Uji kulit tuberkulin, biasanya uji Mantoux, dilakukan secara
rutin pada kelompok risiko tinggi yang diduga TB aktif. Uji ini
menggunakan tuberkulin purified protein derivative (PPD) untuk
mengidentifikasi infeksi TB. Sejumlah kecil (0,1 ml) derivat
tersebut diberikan secara intradermal untuk membentuk bentol di
kulit berukuran 6 hingga 10 mm. Bentol tersebut harus diperiksa
dalam 48 hingga 72 jam oleh profesional terlatih. Adanya indurasi
(bentukan keras, teraba, dan meninggi) dan bukan eritema,
mengindikasikan hasil positif.

9
Reaksi positif palsu terhadap uji kulit tuberkulin dapat terjadi
pada klien yang memiliki infeksi mikrobakterial lain atau yang
telah mendapatkan vaksin bacille Calmette Guerin (BCG). Reaksi
negatif palsu juga dapat terjadi, terutama pada orang yang
mengalami supresi imun atau energi (gangguan kemampuan untuk
bereaksi terhadap antigen). Pada klien tersebut, dan untuk siapa
pun yang memiliki uji kulit positif, pemeriksaan apusan sputum
AFB dan rontgen dada dapat digunakan untuk mengidentifikasi
penyakit aktif. Penting untuk memilai isolasi respiratoris untk klien
tersebut hingga hasil sputum AFB diketahui.
Istilah tuberkulin konverter merujuk pada klien yang tidak
menunjukkan bukti radiologis maupun bakteriologis adanya TB
paru tetapi ui kulit tuberkulinnya “berubah” dari reaksi negatif
menjadi reaksi positif. Hasil tuberkulin yang negatif tidak selalu
berarti bahwa tidak ada TB.
b. Uji QuantiFERON–TB Gold
Uji QuantiFERON–TB Gold merupakan pemeriksaan darah
yang digunakan untuk menentukan bagaimana sistem imunitas
klien bereaksi terhadap M. Tuberculosis. Hasil positif
QuantiFERON–TB Gold hanya menunjukkan bahwa klien pernah
terinfeksi, dan seperti uji Mantoux, tidak dapat mengonfirmasi
apakah klien telah berlanjut menjadi penyakit TB aktif.
c. Apusan dan Kultur Acid-Fast Bacillus
Diagnosa TB yang lebih definitif dibuat dari apusan dan
kultur AFB. Tiga spesimen sputum yang berbeda diambil pada tiga
pagi berurutan. Apusan AFB sputum tidak terlalu sensitif, tetapi
hasil positif dari apusan AFB sputum akan mengonfirmasi penyakit
aktif. Indikator yang lebih reliabel adalah kultur positif M.
Tuberculosis, yang mengonfirmasi TB aktif; namun, hasil akhir
kultur mungkin baru didapatkan 2 hingga 12 minggu kemudian.
Walaupun pemeriksaan deteksi terbaru dapat menghasilkan hasil

10
yang lebih cepat dan menunjukkan keuntungan klinis, namun
peningkatan prevalensi MDR-TB dan XDR-TB masih
membutuhkan penggunaan metode kultur tradisional untuk
mendiagnosisnya.

B. Teori Asuhan Keperawatan Tuberkulosis


1. Pengkajian
Pengkajian asuhan keperawatan pada pasien dengan TB paru menurut
Doenges, Moorhouse, & Geissler, (2000) :
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama pasien TB paru adalah gangguan sistem
pernapasan. Keluhan-keluhan yang timbul antara lain batuk
berdahak yang tak kunjung sembuh, sesak napas dan demam
yang tak kunjung turun.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat kesehatan sekarang yang mungkin didapatkan antara
lain ; gangguan pernapasan masih berlanjut, sesak napas, batuk
serta badan yang terasa lemah.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu ini mengarah pada penyakit-penyakit
sebelumnya yang kemungkinan besar berhubungan dengan
penyakit sekarang yag di derita.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga mengarah pada mendata penyakit-
penyakit yang terjadi pada keluarga pasien, baik secara
keturunan ataupun tinggal di rumah yang sama yang
kemungkinan mempengaruhi kesehatan pada pasien.
5) Pola Metabolik
Kemungkinan masalah yang di derita pasien adalah kesulitan
dalam menelan serta adanya mual muntah.

11
6) Pola Eliminasi
Mengkaji adanya inkontinensia urin atau feses
7) Pola Aktivitas
Kaji adanya kelemahan pada satu sisi tubuh.
8) Pola Persepsi
a) Kaji pasien apabila pasien tidak memahami penjelasan dari
yang telah dipaparkan atau menanggapi pertanyaan.
b) Kaji pasien saat mengeluh nyeri saat batuk, demam, sesak
napas, dan nyeri pada dada.
c) Kaji pola pikir, emosi dan perubahan perilaku pada pasien.
9) Pola Istirahat
Kaji gejala-gejala susah tidur karena sesak napas, batuk dan
nyeri pada dada.
10) Paru-paru
Kaji adanya infeksi komplikasi pada paru-paru seperti
meningitis, spondilitis, pleuritis paru, brokopneumon, dan
ateleksi.
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
Menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler, (2000) :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan mucus
berlebihan.
Tujuan : menunjukkan bersihan jalan napas yang tidak efektif dan
menunjukkan status pernapasan.
Intervensi :
1) Kaji fungsi pernapasan, seperti suara napas, kecepatan, irama,
dan kedalaman pernapasan, serta penggunaan otot aksesoris
pernapasan.
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukus dan melakukan
batuk secara efektif; dokumentasikan karakter dan jumlah
sputum dan keberadaan hemoptisis.

12
3) Letakkan klien dalam posisi semi-fowler atau fowler tinggi.
Bantu klien untuk batuk dan melakukan latihan napas dalam.
4) Bersihkan sekresi dari mulut dan trakea; lakukan pengisapan
sesuai kebutuhan.
5) Pertahankan asupan cairan minimal 2500 ml/hari kecuali
dikontraindikasikan.
6) Lembapkan oksigen yang diinspirasi atau dihirup.
7) Beri medikasi, sesuai indikasi, misalnya :
Agens mukolitik, seperti asetilsitein
Bronkodilator, seperti oktrifilin dan teofilin kortikosteroid
(prednison).
8) Bersiap untuk membantu intubasi emerjensi.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
Tujuan : Mengurangi gangguan pertukaran gas, pertukaran gas
tidak akan terganggu, ventilasi tidak akan terganggu.
Intervensi :
1) Kaji dispnea (menggunakan skala 0-10 [atau yang serupa
dengan skala ini]), takipnea, suara napas abnormal,
peningkatan upaya pernapasan, keterbatasan ekspansi dinding
dada, dan keletihan.
2) Evaluasi perubahan dalam tingkat mental.
3) Catat sianosis atau perubahan warna kulit, termasuk membran
mukosa dan bantalan kuku.
4) Demonstrasikan dan dorong pernapasan dengan mendorong
bibir selama ekshalasi, terutama untuk klien fibrosis atau klien
yang mengalami dekstruksi atau penghancuran parenkim.
5) Tingkatkan tirah baring, atau batasi aktifitas dan bantu aktifitas
perawatan diri sesuai kebutuhan.
6) Pantau GDA serial dan oksimetri nadi.
7) Beri oksigen tambahan sesuai kebutuhan.

13
c. Ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan faktor biologis-
sering batuk dan produksi sputum; dispnea
Tujuan : Memenuhi kebutuhan metabolik.
Intervensi :
1) Dokumentasikan status nutrisional klien saat masuk rumah
sakit, catat turbor kulit, berat badan saat ini dan derajat
penurunan berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan
untuk menelan, keberadaan tonus usus besar, dan riwayat mual,
muntah, atau diare.
2) Pastikan pola diet klien yang biasa dan apa yang disukai dan
tidak disukai.
3) Pantau asupan dan keluaran (I & O) dan berat badan secara
periodik.
4) Investigasi anoreksia, mual, dan muntah. Catat kemungkinan
korelasi dengan medikasi. Pantau frekuensi, volume, dan
konsistensi feses.
5) Dorong dan beri periode istirahat yang sering.
6) Beri perawatan oral sebelum dan sesudah terapi pernapasan.
7) Dorong makan dalam porsi sedikit namun sering dengan
makanan tinggi protein dan karbohidrat.
8) Dorong orang dekat untuk membawa makanan dari rumah dan
berbagai makanan dengan klien kecuali dikontraindikasikan.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan perluasan jaringan (perluasan
infeksi)
Tujuan : Faktor resiko infeksi akan hilang, pasien dapat
memperlihatan pengendalian resiko.
Intervensi :
1) Tinjau patologi penyakit – infeksi aktif atau inaktif, diseminasi
atau penyebaran infeksi melalui bronki ke jaringan di dekatnya
atau melalui aliran darah dan sistem limfatik – dan
kemungkinan penyebaran infeksi via droplet yang ditularkan

14
melalui udara selama batuk, bersin, meludah, berbicara,
tertawa, dan bernyanyi.
2) Indentifikasi orang lain yang beresiko, seperti anggota rumah
tangga, orang dekat, dan teman.
3) Instrusikan klien untuk batuk, bersin dan mengeluarkan secret
ke tisu dan menahan diri untuk tidak meludah. Tinjau
pembuangan tisu yang benar dan teknik mencucui tangan yang
baik. Minta klien untuk mendemontrasikan ulang.
4) Tinjau keharusan tindakan untuk mengendalikan infeksi,
seperti isolasi pernapasan secara sementara.
5) Pantau suhu tubuh, sesuai indikasi.
6) Indentifikasi faktor resiko individual untuk reaktifasi
tuberkulosis, seperti penurunan resistensi yang berhubungan
dengan alkoholisme, malnutrisi, bedah pintas intestinal atau
usus, kegunaan obat imunosupresan (penekan imun), adanya
diabetes melitus atau kanker, atau pascapartum.
7) Tekankan pentingnya terapi obat yang tidak terputus. Evaluasi
potensi klien untuk bekerja sama.
8) Tinjau pentingnya tindak lanjut dan kultur sputum ulang secara
periodik selama durasi terapi.
9) Dorong pemilihan dan memakan makanan seimbang. Beri
makanan kudapan dalam porsi kecil namun sering sebagai
pengganti makan besar jika tepat.
e. Ketidakefektifan menejemen kesehatan berhubungan dengan
defisiensi pengetahuan
Tujuan : Untuk mengatur dan mengintegrasikan ke dalam
kebiasaan terapeutik hidup sehari-hari untuk pengobatan penyakit
dan skuelanya yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan
kesehatan spesifik.
Intervensi :

15
1) Kaji kemampuan klien untuk belajar, seperti tingkat ketakutan,
kekhawatiran, keletihan, partisipasi; lingkungan terbaik yang
membuat klien dapat belajar; seberapa banyak materi yang
dapat klien pelajari; media dan bahasa terbaik apa yang
digunakan untuk mengajarkan klien; dan menentukan siapa
yang harus dilibatkan.
2) Beri instruksi dan informasi tertulis spesifik untuk dapat dilihat
oleh klien, seperti jadwal medikasi dan uji sputum lanjuta
untuk mendokumentasi respons terhadap terapi.
3) Dorong klien dan orang dekat untuk mengungkapkan ketakutan
dan kekhawatiran. Jawab pertanyaan secara faktual. Catat
penggunaan penyangkalan dalam waktu lebih lama.

3. Implementasi Keperawatan
Tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan tindak keperawatan
yang telah di tentukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
pasien secara optimal. Pelaksanaan adalah pengelolaan dan
perwujudan dari rencana keperawatn yang telah di susun pada tahap
perencanaan. Implementasi dilakukan sesuai prioritas masalah dan
kondisi pasien yang memungkinkan.

4. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian proses menentukan apakah ada
kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari pengkajian, diagnosa,
perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu sendiri. [CITATION zai09 \l
1057 ].
Dan hasil yang diharapkan sebagai indikator evaluasi asuhan
keperawatan pada penderita TBC yang tertuang dalam tujuan
pemulangan adalah :
a. Bersihan jalan napas baik
b. Menyeimbangkan ventilasi-perfusi

16
c. Keseimbangan nutrisi
d. Penurunan resiko infeksi
e. Keefektifan menejemen kesehatan

17
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI


PADA Tn. D DENGAN TBC

A. Pengkajian
1. Identitas
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 30 tahun
Alamat : Jl. Kebangsaan No. 55 RT 09/RW10, Surakarta
Tanggal masuk : 12 Desember 2018
Tanggal Pengkajian: 30 Desember 2018
Agama : Islam
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Guru
No. RM : 80975

2. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Sesak napas yang dirasakan dalam beberapa hari terakhir
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Sejak seminggu terakhir, awalnya pasien merasa kadang-kadang
sesak dan tidak mengganggu aktifitas, tapi beberapa hari terakhir
semakin sesak dan mengganggu aktifitas sehari-hari, pasien masih
bisa tidur dengan menggunakan satu bantal, memberat saat pasien
batuk dan melakukan aktifitas, batuk dialami satu bulan sebelum
masuk rumah sakit, terdapat lendir berwarna kuning kehijauan,
tidak ada darah, nyeri dada ada bila batuk sangat keras saja.

18
Ada demam sejak dua minggu terakhir, menggigil dan berkeringat
banyak pada malam hari. Nafsu makan menurun dan ada penurunan
berat badan sekitar 10 kg dalam satu bulan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan bahwa pasien tidak memiliki riwayat penyakit
yang serius.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan bahwa dalam keluarga pasien tidak ada anggota
keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit TBC ataupun
penyakit serius lainnya.
e. Pola metabolik
1) Intake makan
Sebelum sakit : pasien mengatakan sehari makan ±3x
dengan porsi sedang dirumah dengan nasi,
lauk, buah, dan sayur.
Selama sakit : pasien mengatakan sehari makan 3x porsi
rumah sakit habis, dengan nasi, lauk pauk,
buah dan sayur.
2) Intake minum
Sebelum sakit : pasien mengakatan minum ±3x sehari @
250 cc air putih dan teh.
Selama sakit : pasien mengatakan minum ±3x sehari @
250 cc air putih.
f. Pola Eliminasi
1) BAB
Sebelum sakit : pasien BAB 1 hari 1x, dengan bau khas,
konsisten, lunak, kuning, dan tidak ada
darah.
Selama sakit : pasien BAB 1 hari 1x, dengan bau khas,
konsisten, lunak, kuning, dan tidak ada
darah.

19
2) BAK
Sebelum sakit : pasien BAK sehari ± 4x @200 ml, jernih
tidak ada gangguan.
Selama sakit : pasien BAK sehari ± 4x @200 ml, jernih
tidak ada gangguan dan tidak terpasang
kateter.
g. Pola aktivitas dan latihan
Sebelum sakit

Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4


Makan / minum √
Mandi √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilisasi di tempat tidur √

Selama sakit

Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4


Makan / minum √
Mandi √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilisasi di tempat tidur √

Keterangan :
1 : mandiri 2 : dibantu orang 4 :
tertantung total
2 : alat bantu 3 : orang lain + alat
h. Pola persepsi diri
1) Pasien dapat memahami penjelasan yang telah dipaparkan oleh
tenaga medis

20
2) Pasien merasa nyeri saat batuk, demam pada malam hari dan
sesak napas.
3) Pasien menjadi tidak percaya diri karena penyakitnya, pasien
sering menyendiri karena penyakitnya
i. Pola Istirahat
Sebelum sakit : pasien mengatakan tidur ± 6 jam pada
malam hari dan tidak tidur siang.
Selama sakit : pasien tidur 4 jam pada malam hari. Karena
pasien mengeluh sering terbangun bila tidur
malam karena sesak napas, batuk keras dan
merasa tidak nyaman karena banyak
mengeluarkan keringat.
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
N : 78x /menit
RR : 20x / menit
TD : 90/60 mmHg
S : 36, 3 °C
Head to toe :
a. Paru-paru
Inspeksi : simetris, tidak ada bekas luka, pengembangan dada
kanan dan kiri sama.
Palpasi : vocal fremitus teraba kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor
Auskultasi : terdapat suara ronchi di paru kiri.
b. Ekstremitas
Atas kanan : terpasang infus NaCl 0,9% 20 tpm.
Atas kiri : tidak ada ganggguan.

4. Pemeriksaan penunjang
Diperiksa pada tanggal 30 Desember 2018.

21
No Nama Hasil Normal Satuan
.
1. BTA + -
2. Golongan darah B -
3. HbsAg - -
4. Gula darah sewaktu 94 75-115 Mg/dl
5. SGOT *72 <31 u/1 (37°)
6. SGPT 32 <32 u/1 (37°)
7. Kreatinin 0,73 0,5-0,9 Mg/dl
Ureum *26 10-15 Mg/dl
WBC 0,8 - k/ul
Lym 0,9 13,3 M
MID 0,4 6,4 L

5. Pola fokus
a. Data Subjektif
- Pasien mengatakan lemas
- Pasien mengatakan batuk berdahak
- Pasien mengatakan seluruh ADL dibantu orang lain
b. Data Objektif
- TD = 90/60 menit
- N = 78x per menit
- S = 36,3° C
- RR = 24x per menit
- Terpasang infus NaCl 0,9% 20 tetes per menit
- Pasien tampak lemah
- Pasien tampak dibantu keluarga saat beraktifitas
- Terdapat hasil lab sputum

22
6. Analisis data

N Data sign dan symton Etiologi Problem


O
1 Ds = pasien mengatakan batuk Penumpu Ketidakefektifanb
. berdahak. kan secret ersihanjalannapas
Do = kesadaran CN
- TD = 90/60 mmHg
- N = 78 x permenit
- S = 36,3 derajatcelcius
- RR = 24x per menit
Terdapathasillabsputum
2 Ds = Minimny Kurangnyapenget
. pasienmengatakanbelumtahute ainformas ahuan
ntangbagaimanaperawatan TB. i
Keluargapasienmengatakanala
tmakanmasihdipakaibersama.
DO =
Ketikabatukpasientidakmenutu
pmulut,
membuangdahaksembarangan.
Alatmakanmasihdipakaibersa
ma.

B. Diagnosis keperawatan
a. Ketidakefektifanbersihanjalannapasberhubungandenganmukusberle
bih.
b. Ketidakefektifan menejemen kesehatan berhubungan dengan
defisiensi pengetahuan

C. Intervensi keperawatan

23
a. Ketidakefektifanbersihanjalannapasberhubungandenganmukusber
lebih.
Intervensi :
9) Kaji fungsi pernapasan, seperti suara napas, kecepatan, irama,
dan kedalaman pernapasan, serta penggunaan otot aksesoris
pernapasan.
10) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukus dan melakukan
batuk secara efektif; dokumentasikan karakter dan jumlah
sputum dan keberadaan hemoptisis.
11) Letakkan klien dalam posisi semi-fowler atau fowler tinggi.
Bantu klien untuk batuk dan melakukan latihan napas dalam.
12) Bersihkan sekresi dari mulut dan trakea; lakukan pengisapan
sesuai kebutuhan.
13) Pertahankan asupan cairan minimal 2500 ml/hari kecuali
dikontraindikasikan.
14) Lembapkan oksigen yang diinspirasi atau dihirup.
15) Beri medikasi, sesuai indikasi, misalnya :
Agens mukolitik, seperti asetilsitein
Bronkodilator, seperti oktrifilin dan teofilin kortikosteroid
(prednison).
16) Bersiap untuk membantu intubasi emerjensi.

Rasional :menunjukkanbersihanjalannapas yang


tidakefektifdanmenunjukkan status pernapasan

b. Ketidakefektifan menejemen kesehatan berhubungan dengan


defisiensi pengetahuan
Intervensi :
4) Kaji kemampuan klien untuk belajar, seperti tingkat ketakutan,
kekhawatiran, keletihan, partisipasi; lingkungan terbaik yang
membuat klien dapat belajar; seberapa banyak materi yang
dapat klien pelajari; media dan bahasa terbaik apa yang

24
digunakan untuk mengajarkan klien; dan menentukan siapa
yang harus dilibatkan.
5) Beri instruksi dan informasi tertulis spesifik untuk dapat dilihat
oleh klien, seperti jadwal medikasi dan uji sputum lanjutan
untuk mendokumentasi respons terhadap terapi.
6) Dorong klien dan orang dekat untuk mengungkapkan
ketakutan dan kekhawatiran. Jawab pertanyaan secara faktual.
Catat penggunaan penyangkalan dalam waktu lebih lama.
Rasional : Untuk mengatur dan mengintegrasikan ke dalam
kebiasaan terapeutik hidup sehari-hari untuk pengobatan penyakit
dan skuelanya yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan
kesehatan spesifik.

25
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Z. (2009). Dasar-dasar Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC.


Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2000). Rencana Asuhan
Keperawatan.
Failing, K., Kaleta, E. F., Kinndle, M. B. P., & Theis, H. P. (2009). In-vitro-
Untersuchungen zur Wirksamkeit von Antiinfektiva gegen Chlamydophila
psittaci Vergleichende Testung von Chlortetracyclin, Doxycyclin,
Enrofloxacin, Difloxacin, Clarithromycin und Erythromycin. Tierarztliche
Praxis Ausgabe K: Kleintiere - Heimtiere, 37(5), 334–341.
https://doi.org/10.1088/0256-307X/19/5/336
Hapsari, A. R., Faridah, F., Balwa, A. F., & Saraswati, L. D. (2013). 10873-
24810-1-SM.pdf. Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 3(2), 47–50.
https://doi.org/10.1016/j.jim.2006.03.001
Hariadi, S. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru . Surabaya: Departemen Ilmu
Penyakit Paru FK Unai-RSUD Dr. Soetomo.
M.Black, J., & Hawks, jane hokanson. (2009). Keperawatan Medikal Bedah.
Nurkumalasari, Wahyuni, D., & Ningsih, N. (2016). Hubungan Karakteristik
Penderita Tuberkulosis Paru dengan Hasil Pemeriksaan Dahak Di Kabupaten
Ogan Ilir. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 3(2355), 51–58.
Price, Anderson, S., Wilson, & Mc Carty, L. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit (6th ed.). Jakarta: EGC.
Rodal, C. (2018). Tuberculosis, Enfermedad Infecciosa Más Letal En El Mundo.
Boletín UNAM-DGCS-187bis Ciudad Universitaria., 44(2), 145–152.
Retrieved from http://www.scielo.br/scielo.php?
script=sci_arttext&pid=S1806-37132018000200145&lng=en&tlng=en
Setyanegara. (2010). ilmu bedah saraf edisi IV. Tangerang: Gramedia Pustaka
Utama.
Sitti Maryam, B. (n.d.). Penerapan Askep Pada Pasien Tn. B dengan Tuberkulosis
Paru Dalam Pemenuhan Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan, 82–94.
Sudiro, S., Martono, M., Nursalam, N., & Ferry, E. (2019). Early Detection of
Risk Factors and Severity of Airway Obstruction Through Measurement of
Critical Values of FVC and FEV on Bus Terminal Officers. Indian Journal of
Public Health Research & Development, 1010.59.
https://doi.org/10.5958/0976-5506.2019.00126.8
Aru, S. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Keempat). Jakarta: Internal
Publishing.
Wim De Jong et al. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC:Jakarta

26
Wulandari, A. A., Nurjazuli, N., & Adi, M. S. (2015). Faktor Risiko dan Potensi
Penularan Tuberkulosis Paru di Kabupaten Kendal , Jawa Tengah. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia, 14(1), 7–13.
https://doi.org/10.14710/JKLI.14.1.7 - 13

27

Anda mungkin juga menyukai