Anda di halaman 1dari 6

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini telah dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Tk III


Banjarmasin pada tanggal 8 – 18 November 2021. Data diambil dari resep-resep
pasien diabetes rawat jalan pada tanggal 8 – 18 November 2021. Berdasarkan data
populasi dari resep diketahui bahwa total resep diabetes rawat jalan adalah 217
resep, dan setelah dilakukan perhitungan sampel yang diambil adalah sebanyak
141 lembar resep dengan 5% kesalahan.
4.1. Persentase Penggunaan Obat Antidiabetes Berdasarkan
Karakteristik
4.2.1. Jenis kelamin
Berdasarkan hasil sampel yang diperoleh, total penggunaan obat
pada pasien diabetes melitus rawat jalan di RS Bhayangkara
Banjarmasin pada tanggal 8 – 18 November 2021 adalah sebanyak 141
lembar resep dimana mayoritas penggunaan obat pada pasien
perempuan yaitu sebanak 85 resep (60,28%) dapat dilihat pada Tabel
4.1
Table 4.1 Karakteristik Jumlah Penggunaan Obat Antidiabetes
Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
1 Laki-laki 85 60,28
2 Perempuan 56 39,72
Total 141 100
Perbedaan resiko ini dipengaruhi oleh distribusi lemak tubuh, laki-
laki penumpukan lemak terkonsentrasi di sekitar perut sehingga
memicu obesitas sentral yang lebih berisiko memicu gangguan
metabolisme. Hal ini dapat disimpulkan bahwa laki-laki memiliki
peluang yang lebih besar mengalami diabetes dibandingkan dengan
wanita (Syarif, dkk., 2011).
4.2.2. Usia
Berdasarkan hasil sampel yang diperoleh, total penggunaan obat
pada pasien diabetes melitus rawat jalan di RS Bhayangkara
Banjarmasin pada tanggal 8 – 18 November 2021 adalah sebanyak 141
lembar resep dimana mayoritas penggunaan resep adalah pasien berusia
diatas 45 tahun yaitu 127 resep (90,07%) dapat dilihat pada table 4.1
Table 4.2 Karakteristik Jumlah Penggunaan Obat ANtidiabetes
Berdasarkan Usia
No Usia Jumlah Persentase (%)
1 < 45 Tahun 127 90,07
2 > 45 Tahun 14 9,93
Total 141 100
Menurut PERKENI (2019) umur diatas 45 tahun merupakan
kelompok risiko tinggi untuk terjadinya diabetes. Dikarenakan manusia
mengalami penurunan fisiologi yang dramatis menurun dengan cepat
dengan risiko penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi
insulin (Fatimah, 2015). DM akan semakin meningkat dengan
bertambahnya umur dan paling banyak ditemukan pada umur lebih dari
50 tahun. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu perubahan
komposisi tubuh yang terjadi karena penurunan jumlah masa otot,
perubahan peningkatan jaringan lemak, penurunan aktivitas fisik yang
dapat mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah reseptor insulin.
Perubahan pola makan yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah gigi
geligi sehingga proporsi jumlah karbohidrat meningkat, yang dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan ambilan glukosa karena
menurunnya sensitivitas insulin (Firni, Inayah dan Yulis, 2016).
4.2. Persentase Penggunaan Obat Antidiabetes Berdasarkan Bentuk
Sediaan
Table 4.3 Terapi Pengobatan Pasien Diabetes Melitus
No Terapi Jumlah Persentase (%)
1 Obat oral 100 70,92
2 Insulin 41 29,08
Total 141 100
Berdasarkan Tabel 4.3 peresepan yang banyak digunakan adalah dengan
menggunakan obat oral sejumlah 70,92%, sedangkan untuk terapi insulin
didapat persentase 29,08%.
Terapi farmakologi atau pengobatan DM harus dikelola melalui beberapa
tahapan yang paling terkait, diberikan bersama dengan pengaturan pola makan
dan gaya hidup sehat serta latihan fisik yang cukup. Apabila dalam periode
tertentu kadar glukosa darah masih tinggi dari normal, baru diberikan OAD.
Pasien DM tipe 2 tidak tergantung pada insulin, karena insulin yang ada tidak
dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal rendah atau bahkan
meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau
kurang. Terapi insulin wajib diberikan pada pasien DM tipe 1, pada pasien DM
tipe 2 sekitar 40% juga harus menjalani terapi insulin.
Terapi farmakologi dengan pemberian OAD diawali terapi tunggal yaitu
memberikan satu jenis obat saja yang ditujukan untuk penanganan pasien DM
tipe 2 ringan sampai sedang.
4.3. Persentase Penggunaan Obat Antidiabetes Oral
Table 4.4 Terapi Obat Diabetes Oral
No Golongan Obat diabetes oral Jumlah Persentase (%)
1 Biguanide 73 37,43
2 Sulfonilurea 67 34,36
3 Tiazolidindion 31 15,9
4 Inhibitor α Glukosidase 16 8,21
5 Glipizide 8 4,10

Berdasarkan Tabel 4.4 terapi pengobatan OAD tungal dari golongan


Biguanide diresepkan paling banyak sejumlah 37,43%, sulfonylurea dengan
presentase 34,36%, tiazolidindion 15%, inhibitor α glukosidase 8,21% dan
golongan glipizide 4,10%.
Menurut rekomendasi ADA tahun 2020 golongan biguanide adalah agen
farmakologi awal yang disukai untuk pengobatan DM tipe 2, setelah diinisiasi
golongan biguanide harus dilanjutkan selama ditoleransi dan tidak
dikontraindikasi agen lain, termasuk insulin harus ditambahkan ke golongan
biguanide. Biguanide harus dimulai pada saat DM tipe 2 didiagnosis kecuali
ada kontraindikasi, bagi banyak pasien ini akan menjadi monoterapi dalam
kombinasi dengan modifikasi gaya hidup.
Biguanide efektif dan aman, tidak mahal, dapat mengurangi risiko
kejadian kardiovaskular, dan kematian. Biguanide tersedia dalam bentuk rilis
langsung untuk dosis harian (pada dosis 500 mg - 850 mg) atau sebagai bentuk
rilis diperpanjang yang dapat diberikan sekali sehari (pada dosis 500 mg - 750
mg). Dibandingkan dengan sulfonilurea, biguanide sebagai lini pertama
memiliki efek menguntungkan pada berat badan, mortalitas kardiovaskular, ada
sedikit data yang tersedia untuk agen oral lainnya sebagai terapi awal DM tipe
2. Efek samping utama dari biguanide adalah intoleransi gastrointestinal karena
kembung, ketidaknyamanan perut, dan diare, ini dapat dititrasi melalui dosis
tunggal. Biguanide dibersihkan oleh filtrasi ginjal dan tingkat sirkulasi yang
sangat tinggi, misalnya akibat overdosis atau gagal ginjal akut telah dikaitkan
dengan asidosis laktat serta terjadinya komplikasi sekarang diketahui sangat
jarang, dan biguanide dapat digunakan dengan aman pada pasien dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus yang diperkirakan. Food and Drug
Administration (FDA) telah merevisi label metformin untuk mencerminkan
keamanannya pada pasien dengan (ADA, 2020).

4.4. Waktu Tunggu Pasien Rawat Jalan


Waktu tunggu merupakan salah satu komponen yang menyebabkan
ketidakpuasan pasien, yang berdampak pada loyalitas pasien. Waktu tunggu
pelayanan resep adalah tenggang waktu mulai dari pasien menyerahkan resep
sampai menerima obat. Waktu tunggu pelayanan resep yang lama dapat
mengakibatkan ketidakpuasan pasien. Pelayanan farmasi merupakan revenue
center bagi rumah sakit, sehingga pendapatan rumah sakit dapat ditingkatkan
melalui banyaknya resep yang terlayani mengingat lebih dari 90% pelayanan
kesehatan menggunakan perbekalan farmasi dan 50% pemasukan rumah sakit
berasal dari perbekalan farmasi.
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan
adalah lamanya waktu tunggu pelayanan resep di instalasi farmasi,
sebagaimana berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit.
Waktu tunggu pelayanan resep adalah tenggang waktu mulai dari pasien
menyerahkan resep sampai dengan pasien menerima obat(Permenkes, 2016)
Standar waktu tunggu pelayanan resep non racikan menurut SPM (Standar
Pelayanan Minimal) adalah ≤30 menit dan untuk standar waktu tunggu
pelayanan resep racikan menurut SPM adalah ≤60 menit.
Table 4.5 Waktu Tunggu Pasien Non Racikan
Pasien Skrining Dispensing Penulisan Etiket Penyerahan ke Total ket
(menit) (menit) (menit) pasien (menit)
1 3,45 5,12 10,43 5,12 24,12 Sesuai
2 3,25 2,22 12,31 6,56 24,34 Sesuai
3 3,20 4,32 13,36 5,24 26,12 Sesuai
4 3,15 6,21 12,55 8,15 30,06 Tidak Sesuai
5 2,57 4,42 13,11 7,45 27,55 Sesuai
6 3,30 4,29 11,56 7,47 27,52 Sesuai
7 3,14 5,56 11,47 9,21 29,38 Sesuai
8 2,37 4,46 13,12 8,44 28,39 Sesuai
9 1,55 4,34 13,27 9,51 29,07 Sesuai
10 2,24 4,45 11,58 5,41 24,08 Sesuai
11 3,22 6,21 14,08 5,47 29,38 Sesuai
12 3,40 5,35 13,39 7,46 29,60 Sesuai
13 4,15 5,24 13,43 8,13 31,35 Tidak Sesuai
14 3,44 5,56 14,67 8,32 32,39 Tidak Sesuai
15 4,31 5,12 12,23 9,27 31,33 Tidak Sesuai
Rata-rata 3,12 5,26 13,10 7,41 28,28 Sesuai

Dari tabel di atas di dapat 73,33% resep non racikan sudah mencapai
standar SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan 26,67% tidak mencapai standar
SPM. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa rata-rata waktu tunggu pelayanan
resep non racikan di apotek Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin memenuhi
standar pelayanan minimal rumah sakit sesuai kepmenkes No.129 tahun 2008
yang mempunyai standar pelayanan minimal untuk resep non racikan ≤ 30
menit dan resep racikan ≤ 60 menit.
Resep non racikan yang memenuhi standar waktu tunggu pelayanan resep
sebanyak 11 resep dan yang tidak memenuhi standar didapat sebanyak 4 resep.
Rata-rata waktu yg dibutuhkan adalah 28,28 menit.
Table 4.6 Waktu Tunggu Pasien Racikan
Skrining Dispensing Racikan Penulisan Penyerahan ke
Pasien Total ket
(menit) (menit) (menit) Etiket (menit) pasien (menit)
1 3,20 5,22 30,52 8,34 2,15 67,43 TidakSesuai
2 3,25 6,10 45,26 7,13 3,51 65,25 TidakSesuai
3 3,30 5,52 40,39 5,03 3,24 57,48 Sesuai
4 3,15 5,41 35.41 7,35 2,48 54,20 Sesuai
5 2,37 5,12 36,18 6,01 2,53 52,21 Sesuai
Rata-rata 3,05 5,47 41,15 7,17 2,78 59,31 Sesuai
Dari tabel di atas di dapat 60% resep racikan sudah mencapai standar SPM
(Standar Pelayanan Minimal) dan 40% tidak mencapai standar SPM. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa rata-rata waktu tunggu pelayanan resep
racikan di apotek Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin memenuhi standar
pelayanan minimal rumah sakit sesuai kepmenkes No.129 tahun 2008 yang
mempunyai standar pelayanan minimal untuk resep non racikan ≤ 30 menit dan
resep racikan ≤ 60 menit.
Resep racikan yang memenuhi standar waktu tunggu pelayanan resep
sebanyak 3 resep dan yang tidak memenuhi standar didapat sebanyak 2 resep.
Rata-rata waktu yg dibutuhkan adalah 59,31 menit. Waktu tunggu pelayanan
resep racikan lebih lama dibandingkan dengan pelayanan resep non racikan
karena resep racikan memerlukan waktu yang lebih lama, tidak hanya
mempersiapkan obat tetapi juga perlu perhitungan dosis obat, serta melakukan
peracikan obat.

Anda mungkin juga menyukai