Menyikapi COVID-19
Mewabahnya COVID-19 di berbagai belahan dunia, memang
menjadi teguran bagi umat manusia, khususnya dalam
mempersiapkan ketahanan yang memadai pada bidang
kesehatan, termasuk bangsa Indonesia, yang sedang diuji dalam
menyikapi dan melawan virus tersebut. Data terbaru
menunjukan, bahwa sebanyak 4.557 masyarakat Indonesia
dinyatakan positif, 380 sembuh serta 399 meninggal.
Bagaimana dengan masyarakat yang berstatus positif tetapi
“tidak terdata”, ketakutan tersebut masih menjadi misteri, serta
yang bisa kita lakukan hanya berdoa kepada Tuhan yang Maha
Kuasa. Lalu mengoptimalkan layanan khusus yang dibuat oleh
pemerintah berupa aduan COVID-19, di daerah masing-masing,
dalam ikhtiar menyelamatkan nyawa kita sendiri, maupun orang
lain, sebagai saudara setanah air.
Proses penyebaran COVID-19 yang cepat, mengakibatkan ribuan
orang Indonesia terpapar, sehingga pemerintah memberlakukan
berbagai kebijakan sebagai upaya menyelamatkan nyawa
masyarakatnya, seperti membentuk Gugus Tugas Penanganan
COVID-19, memberlakukan proses pembelajaran di rumah,
terbaru Kemenkes menyetujui status DKI Jakarta, serta Bodebek
(Bogor, Depok, Bekasi), menjadi daerah yang memberlakukan
PSBB (pembatasan sosial berskala besar).
Cara masyarakat dalam menyikapi COVID-19 begitu beragam,
sehingga merepresentasikan sudah sejauh mana bangsa ini
dewasa, serta menunjukan bagaimana eksistensi ideologi
Pancasila apakah masih “terpatri” pada nurani setiap manusia
Indonesia. Faktanya banyak masyarakat yang mengutamakan
keselamatannya, karena merupakan sebuah kelaziman, tetapi
tidak sedikit juga oknum yang mengutamakan keselamatannya,
dengan menghilangkan sifat kemanusiaannya.
Menolak dikuburkannya jenazah yang “terpapar virus COVID-19”
merupakan fenomena sosial yang begitu menyakitkan, serta
menjadi catatan kelam bagi keberlangsungan hidup bangsa ini.
Jenazah tersebut dianggap aib, penuh dengan dosa, sehingga
keberadaannya ditolak oleh oknum masyarakat, lebih
memprihatinkan apabila jenazah tersebut pernah berprofesi
sebagai tenaga medis atau pernah mengajukan diri untuk
menjadi relawan dalam melawan pandemi COVID-19.
Lantas apa bedanya kita dengan penjajah yang tidak menghargai
nyawa pribumi (manusia Indonesia asli), apabila realita sosial
tersebut telah terdeskripsikan. Rasional kita bersikap untuk
menjaga keselamatan diri sendiri, tetapi tidak harus
menghilangkan sifat kemanusiaan, perlu kita merefleksikan
bagaimana “sakitnya” apabila kita yang mendapatkan perlakukan
tidak adil tersebut.
Bangsa ini berdiri melalui semangat kolektifitas, begitu
beragamnya gangguan yang berpotensi merusak persatuan dan
kesatuan bangsa sejak awal kemerdekaan, mampu diatasi
dengan berbagai pendekatan dan strategi kebijakan yang baik.
Dalam merusak persatuan dan kesatuan bangsa, konflik
horizontal antar sesama saudara sebangsa dan setanah air,
terbukti lebih efektif dari pada konflik yang dihasilkan dari
perang internasional maupun agresi militer.
Bagaimana kekuatan serta komitmen bangsa untuk menjadi
modal utama dalam menghadapi berbagai peristiwa sosial
maupun tantangan zaman, begitu berarti untuk bangsa ini agar
tetap eksis bahkan menjadi pemenang.
Menolak jenazah yang terindikasi COVID-19 merupakan falasi
berpikir, serta merusak kesatuan dan persatuan bangsa, kita
perlu menjaga perasaan keluarga terkait, karena pada hakikatnya
kita adalah saudara sebangsa dan setanah air, tidak terkotak-
kotakan oleh preferensi sosial dan politik, bahkan oleh hubungan
darah sekali pun.
Menolak jenazah individu yang terpapar oleh pandemi COVID-19
merupakan perbuatan yang keji, tidak manusiawi, serta
merepresentasikan bangsa yang tidak beradab.
Menjadi catatan bersama akibat terjadinya peristiwa sosial yang
sangat memalukan tersebut, terlebih bagi pemerintah,
khususnya aparat keamanan, yang perlu mengatasi kejadian
tersebut, agar tidak terulang kembali, karena berpotensi untuk
merusak moralitas dan solidaritas bangsa.
Rusaknya moralitas dan solidaritas bangsa, mengakibatkan
bangsa ini hilang identitas atau jati dirinya, sebagai bangsa yang
memiliki keadaban yang tinggi. Tentu nilai-nilai ideal tidak hanya
dijargonkan tetapi diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Realita sosial tersebut menjadi indikator kuat sudah sejauh mana
“ikatan emosional” kita sebagai sebuah bangsa, sehingga apabila
peristiwa memalukan tersebut tetap terjadi, maka perlu kita
refleksikan, di manakah letak “keadilan”.