Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH AKHLAK TASAWUF

TASAWUF IRFANI

Dosen Pengampu: Dr. Anas Alamsyah, M.Ag.

Disusun Oleh:

Ghali Ihtifazhuddin Achmad (07020320041)

Hasbullah Ali Masykur (07020320042)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2021
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, nikmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tujuan penulisan makalah ini adalah
demi memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Anas Alamsyah,


selaku dosen pengampu mata kuliah ini yang telah memberi kesempatan kepada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Adanya tugas pembuatan makalah ini
diharapkan mampu membantu penulis dalam memahami materi ini lebih baik lagi
ke depannya.

Selain itu, penulis sampaikan pula terima kasih kepada seluruh pihak yang
turut andil dalam proses pembuatan hingga terselesaikannya makalah ini. Bantuan
baik dalam bentuk fisik, moral, material, maupun psikis berperan penting dalam
terselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi
terwujudnya karya tulis yang lebih baik ke depannya. Demikian makalah ini
dibuat dan penulis harap supaya makalah ini bermanfaat bagi kita semua, baik
bagi penulis maupun pembaca.

Surabaya, 24 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan Masalah......................................................................................................1
D. Manfaat.……………………………………...........................................................2

BAB II...............................................................................................................................3
A. Pengertian Tasawuf Irfani......................................................................................3
B. Sejarah Perkembangan Tasawuf Irfani...................................................................3
C. Tokoh-tokoh Tasawuf Irfani dan Ajarannya...........................................................4
1. Rabi'ah Al-Adawiyah (95-185 H)..............................................................................4
2. Dzu An-Nun Al-Mishri (180-246 H)..........................................................................6
3. Abu Yazid Al-Bustami (874-974 M)..........................................................................9
BAB III............................................................................................................................17
A. Kesimpulan..........................................................................................................17
B. Saran....................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Timbulnya tasawuf dalam islam bersamaan dengan kelahiran agama islam


itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammmad SAW di utus menjadi rasul untuk
segenap umat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukan
bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali
tahnuts dan Khalwat di gua Hira, disamping untuk mengasingkan diri dan
kehidupan masyarakat Mekah yang sibuk dengan hal-hal yang menghinggapi
masyarakat disekitarnya pada waktu itu.
Kecendrungan yang seperti inilah yang diikuti oleh orang-orang sufi,
mereka berusaha untuk mendekatkan diri serta meninggikan cintanya kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pengalaman religius orang sufi sangat berbeda jauh dengan pengalaman
religius dengan orang biasa (awam), pengalaman religius mereka dapat
menghantarkan kepada ma’rifah Tuhanya. Orang sufi untuk mencapai tingkatan
pengalaman religius tertinggi itu tidak hanya dialami oleh kaum laki-laki saja,
tetapi dapat pula dicapal oleh kaum wanita , yang salah satu diantaranya adalah
Rabiah Al Adawiyah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, kita dapat menyimpulkan
beberapa rumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa Pengertian tasawuf irfani?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan tasawuf irfani?
3. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf irfani?
5. Apa metode Yang digunakan dalam tasawuf irfani?

C. Tujuan Masalah

Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini.


Secara umum: untuk mengetahui dan menambah wawasan tantang cabang
ilmu tasawuf seperti tasawuf irfani dan mengetahui sejarah dari tasawuf irfani

1
juga mengetahui bagaimana ajaran-ajarannya tasawuf irfani dari para
tokohnya dan mengetahui metode apa yang digunakan dalam tasawuf irfani.
Secara khusus: untuk memenuhi tugas semester mata kuliah ilmu tasawuf.

D. Manfaat

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penyusunan makalah ini.


1. Menambah pengetahuan Dan kajian seputar tasawuf khususnya tasawuf
irfani. .
2. Mengetahui tasawuf irfani dan falsafi.
3. Mengambil manfaat dari ajaran-ajaran tasawuf irfani dan falsafi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Irfani


Secara etimologis, kata ‘irfan merupakan kata jadian (mashdar) dari
kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan
diindetikkan dengan makrifat sufistik. Orang yang ‘irfan/makrifat kepada
Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf
(ketersingkapan). Ahli ‘irfan adalah orang yang bermakrifat kepada Allah.
Terkadang, kata itu diidentikkan dengan sifat-sifat inheren tertentu yang
tampak pada diri seorang yang ‘arif (yang bermakrifat kepada Allah), dan
menjadi hal baginya.1
B. Sejarah Perkembangan Tasawuf Irfani

Tasawuf irfani atau irfan atau makrifat di kalangan sufi dimulai sekitar
abad ke III dan ke IV Hijriah. Tokoh sufi yang sangat menonjol
membicarakannya adalah Dzu An-Nun Al-Mishri (245 H/859 M).
Sementara Al-Ghazali diposisikan sebagai tokoh sufi pertama kali
mendalaminya secara intens. Dalam perkembangannya sebagai sebuah
ilmu, irfani memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis.
Aspek praktis adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan
pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Sebagai
ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian praktis ini juga disebut
syar wa suluk (Perjalanan rohania). Bagian ini menjelaskan bagaimana
seorang penempuh-rohania (salik) yang ingin mencapai tujuan puncak
kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh
tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berurutan dan keadaan
jiwa (hal) yang bakal dialaminya sepanjang perjalanannya tersebut.
Sementara itu, irfan teoritis memfokuskan perhatiannya oada masalah
wujud (ontologi), mendiskusikan manunisa, Tuhan serta alam semesta.
Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah Ilahi) yang
juga memberikan penjelasan tentang wujud seperti halnya filsafat, bagaian

1
Ibid.,hlm. 145

3
ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemnya. Namun, jika filsafat
hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, irfan
mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemuadian diterjemahkan
kedalam bahasa rasional untuk menjelaskan.2

C. Tokoh-tokoh Tasawuf Irfani dan Ajarannya


1. Rabi'ah Al-Adawiyah (95-185 H)
a. Biografi Singkat Rabi'ah Al-Adawiyah
Nama lengkap Rabi'ah adalah Rabi'ah binti Ismail Al-Adawiyah Al-
Bashriyah AlQaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau
99 H/717 M disuatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di
kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari
keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri keempat, orang tuanya
menamakannya Rabi'ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih
kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan
penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah.
Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga
ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya
melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi'ah dan menerangi
seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah. Setelah
dimerdekakan tuannya, Rabi'ah hidup menyendiri menjalani kehidupan
sebagai seorang za hidah dan sufiah. Ia jalani sisa hidupnya hanya dengan
ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya.
Ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam
kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang
kepadanya. Bahkan, dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat
materi dari Tuhan. Pendapat ini dipersoalkan oleh Badawi. Rabi'ah,
menurutnya, sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabi'ah tidak mendapatkan jalan
lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari, sehingga begitu terbenam
dalam kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk
menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi'ah itu sendiri.
2
Ibid.,hlm. 145-146

4
Menurut Badawi, tidak mungkin kecintaan dan keimanan Rabi'ah kepada
Allah begitu ekstremnya, kecuali jika ia pernah sedemikian jauh di dalam
menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.

b. Ajaran Tasawuf: Mahabbah (cinta)

Dalam perkembangan mistisme dalam Islam, Rabi'ah Al-Adawiyah


tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah.
Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam
berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabi'ah pula yang
pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang
berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Sikap dan pandangan Rabi'ah Al-
Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung
maupun yang disandarkan kepadanya. AlQusyairi meriwayatkan bahwa,
ketika bermunajat Rabi'ah berdoa, " Tuhanku akankah Kau bakar kalbu
yang mencintai-Mu oleh api neraka?" Tiba-tiba, terdengar suara, "Kami
tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada
kami." Diantara cinta syair Rabi'ah yang paling masyhur adalah:3

"Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-
Mu. Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu,
Cinta karena diri-Mu adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga
Engkau kulihat. Baik ini maupun itu, pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mu
pujiam untuk kesemuanya."

Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabi'ah, yaitu hubb


al-hawa dan hub anta ahl lahu, perlu dikutip tafsiran beberapa tokoh
berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qulub sebagaimana
dijelaskan Badawi memberikan penafsiran bahwa makna hubb alhawa
adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang
diberikan Allah. Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat
material, tidak spiritual, karenanya hubb disini bersifat hubb indrawi.
Walaupun demikian, hubb al-hawa yang diajukan Rabi'ah ini tidak

3
Ibid, hlm. 146-148

5
berubah-ubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambah dan
berkurangnya nikmat. Sebab Rabi'ah tidak memandang nikmat itu sendiri,
tetapi sesuatu yang ada dibalik nikmat. Adapun al-hubn anta ahl lahu
adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong dzat
yabg dicinta. Cinta Rabi'ah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi
seluruh relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal
ini seperti terungkap dalam sya'irnya:

"Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu Tubuhku pun biar


berbincang dengan temanku. Dengab temanku tubuhku bercengkrama
selalu. Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku."

2. Dzu An-Nun Al-Mishri (180-246 H)

a. Biografi Singkat

Dzu An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang
tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriyah. Nama lengkapnya Abu
Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi
Mesir, pada tahun 180 H/796 M. dan meninggal pada tahun 246 H/856 M.
Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai
kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Di antaranya ia pernah
mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di
sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut. Al-Mishri dalam
hidupnya berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia pernah
menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis,
Baghdad, Mekah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan
Lembah Kan'an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang
banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama
terkemuka dalam bidang ilmu fiqih, ilmu hadis, dan guru sufi, sehingga
dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah
mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari
Malik, Al-Laits, dan lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat
darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush'ib An-Nakha'iy. Gurunya dalam

6
bidang tasawuf adalah Syaqran Al-'Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Ini
yang menjadikan ia seorang yang alim, baik dalam ilmu syariat maupun
tasawuf.4

b. Ajaran Tasawuf Dzu An-Nun

1) Makrifat

Al-Mishri adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangatlah


tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas'udi yang
kemudian dianalisis Nicholoson dan Abd Al-Qadir dalam falsafah As-
Sufiah fi Al-Islam, Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang
makrifat dalam bidang sufisme Islam. Pertma, ia membedakan antara
"makrifat sufiah" dengan "makrifat aqliyah". Bila yang pertama
menggunakan pendekatan qalb yang bisa digunakan para sufi, yang kedua
menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua,
menurut Al-Mishri, makrifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah
(penyaksian hati), sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia
sejak azali. Ketiga, teori-teori makrifat Al-Mishri menyerupai gnosisme
ala Neo-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan
menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang
sebagai orang yang permana kali memasukan unsur falsafah dalam
tasawuf.

Pandangan Al-Mishri tentang makrifat tentang makrifat pada mulanya


sulit diterima kalangan teolog sehingga ia dianggap sebagai seorang
zindiq. Karena itu pula, ia ditangkap khalifah, tetapi akhirnya dibebaskan.
Berikut ini beberapa pandangannya tentang hakikat makrifat.

a) Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan


Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, mutakalimin,
dan ahli balaghah, tetapi makrifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus
dimiliki para wali Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa
yang tidak dibukakan untuk hamba-Nya yang lain.

4
Ibid, hlm. 149-156

7
b) Makrifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari cahaya hatimu
dengan makrifat yang murni seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali
dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada
Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaan-Nya, mereka
merasa berbicara dengan ilmu yang telah diletakan Allah pada lidah
mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan
perbuatan Allah.

c) Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-


tirai larangan Tuhan.

2) Maqamat dan Ahwal

pandangan Al-Mishri tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa


hal saja,yaitu attaubah, ash-shabr, at-tawakal, dan ar-ridha. Dalam Dariat
Al-Ma'rifat Al-Islamiyyat terdapat keterangan berasal dari Al-Mishri yang
menjelaskan bahwa simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita,
mencintai kefakiran dan memiliki rasa cukup yang di sertai dengan
kesabaran. Meskipun demikian, dapat di katakan bahwa jumlah maqam
yang di sebut AlMishri lebih sedikit di bandingkan dengan apa yang di
kemukakan sejumlah penulis sesudahnya. Menurut Al-mishri, ada dua
macam tobat, yaitu tobat awan dan tobat khawas. Orang awam bertobat
karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia
mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan oleh Al-Abrar
dianggap sebagai dosa oleh Al-Muqarrabin. Pandangan ini mirip dengan
pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah "engkau
melupakan dosamu". Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan
hakikat tidak mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian
yang tertuju pada kesabaran Tuhan dan dzikir yang berkesinambungan.

Lebih lanjut, Al-mishri membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. Orang yang bertobat dari dosa dan keburukanya.


b. Orang yang bertobat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan.

8
c. Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan
ketaatannya.
Pembagian tobat atas tiga tingkatan tidak harus dilihat sebagai
keterangan yang bertentangan dengan apa yang telah di sebut di
atas. Pada pembagian ini, Al-Mishri membagi lagi orang khawas
menjadi dua bagian sehingga jenis tobat dibedakan atas tiga
macam. Perkembangan pemikiran itu boleh juga merupakan salah
satu refleksi dari proses pencarian hakibat oleh seorang sufi yang
mengalami tahapan secara gradual. Berkenaan dengan maqam at-
tawakal, Al-Mishri mendefinisikannya sebagai berhenti
memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan.
Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai
perasaan tidak meiliki kekuatan. Hilangnya daya dan kekuatan
seolah-olah mendung arti pasif atau "mati". Ungkapan seperti ini
dikemukakan oleh Abu Ya'qub An-Nahrujuri bahwa at-tawakal
adalah kematian jika tatkala ia kehilangan peluang, baik yang
menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Dalam satu doanya Al-
Mishri berkata, " Ya Allah, sesungguhnya rahmat-Mu yang luas
lebih kami dambakan daripada amal yang kami lakukan, dan kami
lebih mengharapkan ampunan-Mu daripada siksa-Mu."

3. Abu Yazid Al-Bustami (874-974 M)

a. Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin 'Isa bin Surusyan
Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (persia) tahun 874 dan wafat tahun
974 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan,
seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi
pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk orang berada di
daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam
kandungan ibunya, bayi yang ada di dalam kandungannya akan
memberontak sampai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang
diragukan kehalalannya. Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid juga

9
terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh
mengikuti perintah agama dan brrbakti kepada orang tuanya. Perjalanan
Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi membutuhkan waktu puluhan
tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih
dahulu telah menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang
gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan kepada
Abu Yazid tentang ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya. Hanya
saja, ajaran Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam
menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di
gurungurun pasir di Syam, dengan tidur, makan, dan minum sedikit
sekali.5

b. Ajaran Tasawuf

1) Fana dan Baqa

Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana' dan baqa'. Dari segi
bahasa fana' berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap.
Dalam istilah tasawuf, fana' adakalanya diartikan sebagai keadaan moral
yang luhur. Abu Bakar Al-Kalabadzi (w.378H/988 M) mendifinisikan
fana' sebagai, "hilangnya semua keinginan hawa nafsu seorang, tidak ada
pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala
perasaanya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah
menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu." Pencapaian
Abu Yazid ke tahap fana' terjadi setelah meninggalkan segala keinginan
selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya, "Setelah
Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas
dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. Mintalah kepada-Ku
semua yang kau inginkan, kata-Nya. "Engkaulah yang aku inginkan",
jawabku, "karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar
daripada kemurahan, dan melalui Engkau, aku mendapat kepuasan dalam
diriMu....." Jalan menuju fana menurut Bu Yazid dikisahkan dalam
mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, " Bagaimana caranya agar aku
5
Ibid, hlm. 156-161

10
sampai kepada-Mu?" Tuhan menjawab, "Tinggalkan diri (nafsu) mu dan
kemarilah." Abu Yazid sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana
pada salah satu ucapannya:

‫اعرفه حتى فنيت ثم عرفته به فحييت‬

Artinya: " Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana, kemudian
aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup."
Adapun baqa berasal dari kata baqiya, dari segi bahasa adalah tetap,
sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji
kepada Allah. Paham baqa tidak dapat dipisahkan dengan paham fana.
Keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang
mengalami fana, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa'. Dalam
menerangkan kaitan antara fana' dan baqa', Al-Qusyairi menyatakan,
"Barang siapa meninggalakan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang
fana' dari syahwatnya. Tatkala fana' dari syahwatnya, ia baqa' dalam niat
dan keikhlasan ibadah;....Barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan,
maka ia sedang fana' dari keinginannya, berarti pula sedang baqa' dalam
ketulusan inabahnya...."
2) Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah
melalui tahapan fana' dan baqa'. Hanya saja dalam literatur klasik,
pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Dalam tahapan ittihad,
seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan dicintai
menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam paparan Harun
Nasution, ittihad adalah satu tingkatan di mana seorang sufi telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan di mana yang mencintai dan
yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat
memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, "Hai aku." Dengan mengutip
A.R. AlBaidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad , yang dilihat
hanya satu wujud, sungguh pun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah
satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud,
dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang

11
dicintai, atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dengan fana'-nya , Abu
Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan. Bahwa ia telah
berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari syatahat yang diucapkannya.
Syatahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia
mulai berada di pintu-gerbang ittihad. Ucapan-ucapan yang demikian
belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:
‫لست أتعجب من حبي لك فأناعبدفقير ولكنى أتعجب من حبك لي وأنت ملك قدير‬
"Aku tidak heran terhada pcintaku pada-Mu, karena aku hanyalah
hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku karena
Engkau adalah raja Mahakuasa."

Tatkala berada dalam tahap ittihad Abu Yazid berkata:

‫فأنت أناوأناأنت‬:‫ فقلت‬.‫ياأبايزيدإنهم كلهم خلقي غيرك‬:‫قال‬

"Tuhan berkata, "Semua mereka kecuali engkau adalah makhluk." Aku


pun berkata, "Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu.
Abu Yazid bertanya, "Siapa yang engkau cari?" Orang itu menjawab,
"Abu Yazid". Abu Yazid berkata, "Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu
Yazid, kecuali Allah yang Mahakuasa dan Mahatinggi." Ucapanucapan
Abu Yazid diatas kalau didengar secara sepintas akan memberikan kesan
bahwa ia sudah syirik kepada Allah. Oleh karena itu, ada sufi yang
ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya yang membingungkan
golongan awam.

4. Abu Mansur Al-Hallaj (855-922 M)


a. Biografi Singkat
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin
Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di
wilayah persia, pada tahun 244 H/855 M. Ia tumbuh dewasa di kota
Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi
terkenal saat itu, yaitu Sahl bin 'Abdullah At-Tusturi di Ahwaz. Dua tahun
kemudian, ia pergi ke Basrah dab berguru pada 'Amr Al-Makki yang juga
seorang sufi, dan pada tahun 878 M ia masuk ke kota Baghdad dan belajar
kepada Al-Junaid. Setelah itu, ia pergi mengembara dari satu negeri ke

12
negeri lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf.
Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal
wol. Dalam semua perjalanan dan pengembaraanya ke berbagai kawasan
Islam seperti Khurasan, Ahwaz, India, Turkistan, dan mekah, Al-Hallaj
telah memperoleh banyak pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad
pada tahun 296 H/909 M. Di Baghdad pengikutnya semakin bertambah
banyak karena kecaman-kecamannya terhadap kebobrokan pemerintah
yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan, ia bersahabat dengan
kepala rumah tangga istana, Nashr Al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem
tata usaha yang baik,6 pemerintahan yang bersih. Al-Hallaj selalu
mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan
selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan
"pemerintahan yang bersih" dari Nashr Al-Qusyairi dan Al-Hallaj ini jelas
berbahaya karena khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang
nyata dan hanya merupakan lambang saja. Pada waktu yang sama, aliran
keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan subur maka pemerintah sangat
khawatir terhadap kecaman yang sangat keras dan pengaruh sufi ke dalam
struktur politik. Oleh karena itu, ucapan Al-Hallaj "ana al-haqq", yang
tidak bisa dimaafkan para ulama fiqih dan dianggap sebagai ucapan
kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkapnya dan memenjarakannya.
Setahun kemudian ia dapat meloloskan diri dari penjara berkat
pertolongan sopir penjara, tetapi empat tahun kemudian ia tertangkap lagi
di kota Sus. Setelah dipenjara selama delapan tahun, Al-Hallaj dihukum
gantung. Sebelum di gantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh
kesakitan, lalu kepalanya dipenggal. Sebelum dipancung ia meminta
waktu untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Setelah selesai shalat, kaki
dan tangannya di potong, badannya digulung dalam tikar bambu lalu
dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke
Khurasan untuk dipertontonkan. Akhrinya Al-Hallaj wafat pada tahun 922
M.

6
Ibid, hlm. 164-166

13
b. Ajaran Tasawuf: Hulul dan Wahdat Asy-Syuhud
Diantara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-
hulul dan wahdat asysyuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-
wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn 'Arabi. Kata al-hulul
berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapaun
menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh
itu di lenyapkan. Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia
sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan:
‫واذقلنا للمإلكت اسجدواالدمفسجدوااإلبليس ابى واستكبروكان من الكفرين‬
Artinya: "Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat,
'sujudlah kamu kepada Adam', maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang
kafir." (Q.S. Al-Baqarah: 34)

Pada ayat di atas, Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud
kepada Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud adalah Allah, Al-
Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur
ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk,
Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan Ia pun cinta pada Dzat-Nya sendiri,
cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud
dan sebab dari yang banyak. Ia mengelurkan sesuatu dari tiada dalam
bentuk copi diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy
ini adalah Adam. Pada diri Adam-lah Allah muncul. Teori ini tampak
dalam sya'irnya:

‫في صورةاألكل والشارب‬،‫سرسناالهوتهالثاقب ثم بدابخلقه ظاهرا‬،‫سبحان من أظهرناسوته‬

Artinya: " Maha suci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membuka rahasia
ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelibatan bagi makhluk-Nya
dengan nyata. Dalam bentuk manusia yang makan dan minum.

14
Melalui sya'ir di atas tampak Al-Hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan
mempunyai fua sifat dasar, sifat ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat
kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia
yang terdiri atas roh dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan manusia,
kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaannya
hilang, seperti yang terjadi pada diri Isa. Menurut Al-Hallaj pada hulul
terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi,
sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga
tindakannya. Namun, di lain waktu Al-Hallaj mengatakan: " Barang siapa
mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun
kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. Sebab, Allah
mandiri dalam Dzat maupun sifatNya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak
sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan merekapun tidak sekali-kali
memyerupai-Nya. Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul yang
terjadi pada Al-Hallaj tidak real karena memberi pengertian secara jelas
adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang
terjadi sekadar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana', atau
menurut ungkapannya sekadar terlebarnya lahut dan nasut, atau dapat
dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan seperti dalam sya'irnya, air
tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk.

D. Metode Tasawuf Irfani


Berikut ini penjelasan masing-masing bagian dari metode irfani:
1. Riyadhah

Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri


agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya (Solihin, 2003: 54).
Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga
seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh
dari berbuat maksiat atau dosa. Riyadhah bukanlah perkara amudah,
sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu kesungguhan
dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk (Anwar dan Solihin,
2000:79). Dengan kata lain, riyadhah dapat diartikan sebagai salah satu

15
metode sufistik dengan latihan amal-amal positif (salih) secara istiqamah
dan mujahadah guna melenyapkan pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa
yang terkontaminasi dosa.

2. Tafakur (Refleksi)
Secara harfiah 'tafakur' berarti memikirkan sesuatu secara mendalam,
sistematis, dan terperinci (Gulen, 2001: 34). Menurut Imam al-Ghazali
(dalam badri, 1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan
berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan
berubah.
3. Tazkiyat An-nafs
Secara harfiyah (etimologi) Tazkiyat An-nafs terdiri atas dua kata,
yaitu 'tazkiyat' dan 'an-nafs'. Kata 'tazkiat' yang berasal dari bahasa Arab,
yakni isim mashdar dari kata 'zakka' yang berarti penyucian. Kata 'an-nafs'
berarti jiwa dalam arti psikis. Dengan begitu dapat diketahui Tazkiyat An-
nafsbermakna penyucian jiwa. Tazkiyat An-Nafs (membersihkan jiwa)
merupakan salah satu tugas yang diembani Rasulullah saw. 4.Dzikrullah
Istilah 'zikr berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan,
mengagungkan, menyebut atau mengingat-ingat. Berzikir kepada Allah
berarti zikrullah, atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang
disembah dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha Suci.
Dzikrullah adalah tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan
dengan masalah ruhiyah (batin).7

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

7
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, PT RajaGrafindo, Jakarta,
2013, hlm. 28-29.

16
Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam
hubungan antar manusia,tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita
lakukan tidak pernah kita lakukan.Ini tingkatan ikhlas yang paling
tinggi.Tokoh sufi yang mengembangkan tasawuf irfani adalah Rabi’ah al-
Adawiyah (96 – 185 H),Dzu An-Nun Al-Misri (180 H – 246 H),Abu
Manshur AlHallaj (224 H-309 H),dan Abu Yazid al-Bustami (200 H – 261
H).

B. Saran
Sebagai mahasiswa, hendaknya kita terus menggali ilmu keislaman
dan mendalami Islam agar tidak mudah terjerumus kepada pemikiran-
pemikiran yang sesat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Mahyuddin. 1999. akhlaq Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.

Solihin, M dan Rosihohon Anwar. 2014. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Bangun Nasution, Ahmad dan Hanum Siregar, Rayani, 2013, Akhlak Tasawuf, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai